Kondisi Sosial Politik dan Penyiapan Per
Kondisi Sosial Politik dan Penyiapan Peran Serta
Pemerintah Daerah dalam Mendukung dan Mensukseskan
Rencana Umum Energi Nasional
Cornelis Lay1
Dari sudut politik, pemenuhan kebutuhan akan energi sangat penting karena dua alasan berikut
ini: Pertama, ia telah menjadi tuntutan publik yang secara rutin disuarakan melalui aneka cara – mulai
dari rangkaian antrian BBM yang rutin kita saksikan di era sebelumnya, omelan baik di media sosial
maupun di ruang sosial mengenai listrik yang mati-hidup tak karuan yang menebar praktis merata di
seluruh kawasan Indonesia, apalagi di daerah-daerah luar Jawa-Bali, hingga keluhan luas yang disuarakan
dunia bisnis. Dengannya, pemenuhan kebutuhan energi menjadi indikator penting untuk melihat kapasitas
pemerintah dalam merespons tuntutan masyarakat, kapasitas dalam merespons demokrasi. Kedua, di
dalam isu energi melekat sekaligus isu yang terkait dengan survivalitas sebuah bangsa: ia terkait dengan
persoalan kedaulatan sebuah negara. Henry Kissinger (93 tahun), seorang diplomat Amerika yang juga
ilmuwan politik, Menlu AS pada masa pemerintahan Presiden Nixon merangkum hal di atas dengan
sangat baik: “control oil and you control nations; control food and you control the people”. Karena itu ia
membutuhkan keterlibatan negara lebih total dalam memenuhi kebutuhan energi sebagai bagian integral
dari tugas negara memelihara kedaulatannya.
Pada 2 Maret 2017 Presiden Jokowi menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) No 22 Tahun
2017 tentang Rancangan Umum Energi Nasional (RUEN) . RUEN yang ditetapkan merupakan hasil
kesepakatan Sidang Paripurna Dewan Energi Nasional (DEN) keempat, 5 Januari 2017. 2 Penetapan
RUEN merupakan pelaksanaan pasal 12 ayat 2 dan pasal 17 ayat 1 Undang-Undang No 30 Tahun 2007.
1 Dosen di Departemen Ilmu Politik dan Pemerintahan (DPP), Fisipol, UGM, Kepala Research Centre for Politics and
Government (PolGov) di DPP, Fisipol, UGM. Catatan ini disampaikan pada Diskusi Nasional Kebijakan Energi:
Mewujudkan Keselarasan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan Rencana Umum Energi Daerah (RUED)
dalam Mencapai Sasaran Kebijakan Energi Nasional, diselenggarakan Pusat Pengembangan Kapasitas dan
Kerjasama (Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada), Pusat Studi Energi (Universitas Gadjah
Mada) dan PolGov, di Balai Senat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 25-26 April 2017.
2 Iwan Supriyatna, “Jonan: Optimalkan Potensi Daerah agar Harga Energi Terjangkau,” Kompas,13 Maret 2017,
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2017/03/13/182000126/jonan.optimalkan.potensi.daerah.agar.harga.ene
rgi.terjangkau
Pasal 12 ayat 2 mengamanatkan DEN untuk: (a) merancang dan merumuskan kebijakan energi nasional
untuk ditetapkan Pemerintah dengan persetujuan DPR, (b) menetapkan rencana umum energi nasional, (c)
menetapkan langkah-langkah penanggulangan kondisi krisis dan darurat energi, (d) mengawasi
pelaksanaan kebijkan di bidang energi yang bersifat lintas sektoral. Sedangkan pasal ayat 1 menyatakan
bahwa Pemerintah menyusun rancangan rencana umum energi nasional berdasarkan Kebijakan Energi
Nasional (KEN). KEN telah ditetapkan pada 17 Oktober 2014 melalui PP No 79 Tahun 2014. Dasar
penerbitan PP ini adalah pasal 11 ayat 2 UU No 30 Tahun 2007. KEN telah mendapat persetujuan DPR
melalui keputusan DPR No 01/DPR RI/III/2013-2014.3
Secara kelembagaan, di level pusat, RUEN di melibatkan hampir semua Kementerian
Negara/Lembaga. Sejunmlah terlibat secara lasung -- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral,
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perhubungan,
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional,
Kementerian Pertanian, Kementerian Keuangan, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi –
sejumlah lainnya yang tugas dan fungsinya berkaitan dengan kebijakan energi -- Kementerian Dalam
Negeri, Kementerian Badan Usaha Milik Negara, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, serta Pemerintah Daerah – juga dilibatkan. Perpres
No 22 Tahun 2017 menyebutkan koordinasi antar-Kementerian/ lembaga diperlukan untuk
mensinkonkran beberapa kebijakan, seperti kebijakan harga energi, tata ruang, pemanfaatan dan tata
kelola air, transportasi massal, manajemen lalu lintas, perindustrian, retribusi, pajak, iuran daerah,
perizinan usaha, perizinan lokasi, standarisasi, penerapan teknologi, dll.
Sedangkan di level daerah, RUEN menjadi acuan dalam penyusunan Rancangan Umum Energi
Daerah (RUED) Provinsi dan Kabupaten/Kota. Pemerintah Daerah menjabarkan RUEN dalam RUED
serta mengimplementasikan program dan kegiatan, sebagaimana diatur oleh UU No 30 Tahun 2007 yang
mengamanatkan perencanaan energi daerah diserahkan kepada daerah sesuai kewenangannya dengan
memperhatikan karakter dan kondisi masing-masing daerah. Dalam proses penyusunan RUED,
Pemerintah Daerah melibatkan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), rancangan kemudian diajukan
ke DPRD untuk ditetapkan dalam bentuk Peraturan Daerah.
Dalam sosialisasi RUEN oleh DEN Se-Jawa dan Kalimantan disebutkan poin penting peran
daerah yaitu penyelarasan lahan energi dengan RTRW, lahan untuk Bahan Bakar Nabati, pembangunan
pembangkit EBT, perluasan jaringan gas (Jargas) kota dan infrastruktur ketenagalistrikan, audit energi
3 M. Hamidi Rahmat, “RUEN, Rencana Umum Energi Nasional,” Setkab, 24 Maret 2017, http://setkab.go.id/ruenrencana-umum-energi-nasional/
dalam rangka konservasi energi, subsidi energi yang bersumber dari APBD, penyederhanaan perizinan,
pengembangan transportasi masal, dan optimalisasi layanan penerbitan izin pemanfaatan kawasan hutan. 4
Menyimak lebih jauh rute kebijakan pengelolaan energi yang tertuang dalam Perpres No 22
Tahun 2017, disebutkan pula bahwa arah kebijakan energi ke depan berpedoman pada paradigma “baru”.
Sumber daya energi tidak lagi dijadikan komoditas ekspor semata, tetapi sebagai modal pembangunan
nasional untuk tujuan mewujudkan kemandirian – terminologi yang perlu dipikirkan kembali -pengelolaan energi dan terpenuhinya kebutuhan sumber energi dalam negeri, mengoptimalkan
pengelolaan sumber daya energi secara terpadu dan berkelanjutan, meningkatkan efisiensi pemanfaatan
energi, menjamin akses yang adil dan merata terhadap energi, pengembangan kemampuan teknologi,
industri energi dan jasa energi dalam negeri, menciptakan lapangan kerja, dan terkendalinya dampak
perubahan iklim dan terjaganya fungsi lingkungan hidup. 5
Mengalir dari pemaparan mengenai rute kebijakan pengelolaan energi nasional di atas, terdapat
poin penting yang perlu digarisbawahi lebih lanjut, yakni perlunya pergeseran perspektif dari yang
semata-mata memusat pada fungsi ekonomi dari energi ke fungsi yang lebih luas, yakni fungsi politik,
sosial dan budaya. Cara pandang yang keluar dari cara berpikir determinasi ekonomi, tanpa menafikan
dimensi ekonomi.6 Dalam kaitan ini, politik energi kita sekaligus menjadi instrumen politik bagi
kepentimngan integrasi nasional dan alat transformasi masyarakat dimana di atas kematian energi tak
terbarukan harus tumbuh rangkaian aktivitas ekonomi baru yang mensejahterakan. Pada saat yang
bersamaan, secara sosial politik energi dapat menjadi instrumen dalam mengintegrasikan masyarakat ke
dalam sebuah matriks kompleks pengelolaan energi yang berbasis pada kekuatan sendiri: salah satu
instrumen penting dalam kerangka penegakan kedaulatan energi bangsa. Dua hal ini menjadi relevan jika
kisah-kisah ilustratif berikut ini dipahami melalui kaca-mata politik.
Kisah pertama, citra satelit malam hari yang dipublikasikan National Aeronautics and Space
Administration (NASA) mengungkap kesenjangan pemerataan energi listrik Pulau Jawa dibanding
dengan pulau-pulau di luar Jawa. Sebagaimana ditunujukkan gambar 1.
4 Sosialisasi Rencana Umum Energi Nasional dalam rangka Penyusunan Rencana Umum Energi Daerah, Sosialisasi
RUEN Se-Jawa dan Kalimantan, Jakarta 20 September 2016.
5 Peraturan Presiden Republik Indonesia No 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional.
Kemandirian energi merupakan ketersediaan energi dengan memanfaatkan semaksimal
mungkin potensi dari sumber dalam negeri. Sedangkan ketahanan energi nasional
didefiniskan sebagai suatu kondisi ketersediaan energi, akses masyarakat terhadap energi
pada harga terjangkau dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan perlindungan
terhadap lingkungan hidup
6 Dalam cara pandang ekonomi, pasar terutama, sumberdaya energi dapat dilihat sebagai public good, private
good, dan marketable public good.
Gambar 1. Citra Satelit Indonesia di Malam Hari
Sumber: “Citra Satelit: Gelap Membekap Indonesia,” Deutsche Welle, 18 April 2017, http://www.dw.com/id/citrasatelit-gelap-membekap-indonesia/g-38462167.7
Nampak pada gambar, Jawa, tempat lebih dari separuh penduduk Indonesia bermukim adalah
yang paling cemerlang di malam hari. Sebaran cahaya tidak hanya di perkotaan tapi juga jalur-jalur
penghubung utama antara kota. Gambaran serupa tidak ditemukan di pulau-pulau lainnya. Di Kalimantan
dan Indonesia bagian Timur umumnya, kegelapan bertakhta angkuh. Singapura dan Kuala lumpur lebih
cemerlang dibanding Sumatera, di citra terlihat Kota Pakanbaru, Medan dan Padang. Di Sulawesi, Tanah
Luwu yang terletak antara Kota Palopo dan Bonebone yang paling cemerlang dibanding Makasar, Kota
terbesar di Sulawesi. Tanah Luwu merupakan kawasan subur diidami kurang lebih dua juta penduduk
yang hidup dari pertanian. Papua tenggelam dalam kegelapan. Sedikit cahaya terbersit di Kota Jayapura,
Oksibil, Merauke Timika, Sorong, dan Manokwari. Uniknya, kawasan yang seharusnya paling gelap,
Puncak Jaya, justru bermandikan cahaya dari tambang Grasberg milik Freeport. Pada citra satelit malam
tersebut, Manado terlihat seperti mercusuar. Satu-satunya kota yang bisa menandingi gemerlapnya adalah
Gorontalo dan Ternate di Maluku Utara. Sedangkan di Kalimantan, pendaran sinar dari Kota
Banjarmasin, Balikpapan, Samarinda, dan Bontang. Pontianak menjadi satu-satunya kota yang bercahaya
di wilayah barat.8
Cerita di atas jika dibaca melalui kaca-mata politik menyampaikan pesan yang sangat kuat:
ketimpangan merajalela di Indonesia. Dan kita sama paham, bahwa dalam kegelapan selalu ada bisikbisik soal kesenjangan. Semakin nyaring dan meluas bisik-bisik-bisik dalam kegelapan, ia bisa dengan
7 Lihat juga http://www.nightearth.com/[email protected],121.234186,5.000227099578876z&data=$bWVsMg==
8 Citra Satelit, 2017.
cepat berubah jadi persengkongkolan; dan persengkongkolan bisa melahirkan apa saja. Karenanya politik
energi kita harus dengan kesadaran penuh di arahkan untuk menjawab masalah-masalah seperti ini. Kita
sudah memulai dengan satu langkah sederhana tapi krusial, politik satu harga. Tetapi kita butuh lebih dari
itu. Dan dalam kerangka ini daerah-daerah menjadi krusial perannya.
Kisah kedua, di level mikro, dalam luasan geografis yang terbatas, ada banyak cerita mengenai
pengelolaan sumber daya energi yang bersifat common pool resources, berbasis komunitas. Belasan tahun
silam, Warga Desa Reno, Kecamatan Poco Ranaka, Flores, NTT, tidak bisa menikmati penerangan
dengan baik. Didampingi Pendeta Marselus Hasan dari gereja lokal, warga melakukan musyawarah,
mengidentifikasi air sungai, sebagai sumber daya yang bisa digunakan sebagai pembangkit listrik.
Dengan uang iuran dan pinjaman dari koperasi gereja, warga bergotong royong membangun Pembangkit
Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) – yang kemudian dinamai PLTMH Wae Rina- selama empat bulan.
Pembangkit swadaya masyarakat ini mampu menerangi 134 rumah, 1 puskesmas, satu pasar, dan satu
gereja. Warga Desa Reno bersama Pendeta Marselus membentuk tim untuk membantu desa lain yang
punya masalah sama. Hingga kini tim telah membangun tiga PTLMH lain: PLTMH Wae Mese Wangkar
di Kecamatan Sambi Rampas yang kini dimanfaatkan 400 keluarga, 1 mushola, 1 puskesmas, dan 1
rumah adat; PLTMH Wae Laban Elar menerangi 316 keluarga, 1 musola, 1 gereja, 1 sekolah, 1 kelurahan,
1 asrama, 1 puskesmas, dan 1 kantor kecamatan; dan PLTMH Wae Lenger di Kecamatan Elar Poco
Ranaka menerangi 264 rumah, 3 sekolah, 1 puskesmas pembantu, dan tiga rumah adat. Keempat PLTH
berkapasitas 260 Kw. Sejak ada PLTMH, warga yang biasa menggunakan minyak tanah, bisa menghemat
hingga 230.000 rupiah per bulan. Warga yang memakai genset bisa menghemat hingga 860.000 rupiah
per bulan. Secara umum, terjadi peningkatan ekonomi warga yang sehari-hari hidup dari menenun,
membuat kue, beternak ayam ras atau babi. Dengan memanfaatkan koperasi, sisa hasil dan iuran
pembuatan pembangkit listrik menjadi modal warga anggota koperasi gereja. 9
Cerita keberhasilan perencananaan dan pengelolaan energi secara swadaya, datang juga dari
Pulau Siberut. Warga Desa Madobak, Desa Matotonan, dan Desa Saliguma berhasil membangun
Pembangkit Listrik Tenaga Bio Massa (PLTBM) secara gotong royong dengan memanfaatkan bambu
yang melimpah.10 Di Bantul, warga Desa Ngentak, Kecamatan Poncosari, membangun Pembangkit
Listrik Tenaga Hibrid (PLTH) di Pantai Baru. PLTH ini menggunakan kincir angin yang digerakkan
hembusan angin laut dan panel surya yang menyimpan energi dari matahari. Energi listrik yang dihasilkan
mensuplai 70% kebutuhan pedagang kuliner, nelayan, dan kebutuhan pertanian di pesisir Pantai Baru,
9 Della Syahni, Desa-desa ini Penuhi Energi dari Sumber Lokal Ramah Alam, 11 November 2016,
http://www.mongabay.co.id/2016/11/11/desa-desa-ini-penuhi-energi-dari-sumber-lokal-ramah-alam/
10 Della Syahni, Desa.
30% sisanya dari PLN. Warga Desa Ngentak juga mengintegrasikan penggunaan Biogas dari kotoran
ternak sapi bagi kebutuhan pertanian.11
Di Sumba, warga Desa Kamanggih, Kecamatan Kahaungu Eti Sumba Timur, Nusa Tenggara
Timur, memiliki 20 kincir angin di bukit yang menghasilkan daya listrik yang mampu menerangi 22
rumah yang lokasinya berjauhan dan tak terjangkau PLN. Sedangkan warga yang rumahnya berada di
dekat badan Sungai Mbakuhau membangun PLTMH yang berhasil menerangi 334 rumah selama 24 jam
sejak 2011. Sebelumnya, tidak ada listrik di Desa Kamanggih. Pembangkit ini merupakan pengembangan
dari pembangkit berbasis tenaga surya yang sudah ada sebelumnya. Tahun 1999, Umbu Hinggu Paujanji,
anggota DPRD Sumba Timur dan Yayasan Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan membangun
Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Ketika PLTS beroperasi, warga membentuk Koperasi Jasa
Peduli Kasih. Melalui koperasi ini, sistem penyaluran, iuran, dan pengelolaan listrik. Mulai 2011,
Humanist Institute for Cooperation (Hivos) dan Japan International Cooperation Agency (JICA)
mendampingi warga membangun pembangkit listrik menggunakan kincir angin dan panel surya di Desa
Kamanggih. Kini, sistem pengelolaan energi di Desa Kamanggih sudah saling terkoneksi. Dari pasokan
sistem interkoneksi, ditambah simpan pinjam, Koperasi kini mengelola aset tidak kurang dari 8 miliar
rupiah.12
Cerita-cerita di atas memastikan, pengelolaan energi oleh warga bukanlah hal baru. 13 Tidak hanya
lembaga donor internasional seperti Hivos atau JICA yang bergerak, tetapi elemen masyarakat sipil, baik
organisasi maupun individu terlibat dalam inisiatif pengembangan energi terbarukan. Banyak yang
mengenal sosok Tri Mumpuni, Ketua Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (IBEKA), yang bersama
suaminya (Iskandar Budisaroso Kuntoadji), tercatat hingga pertengahan 2010, telah membangun 60
pembangkit tenaga air berskala kecil atau mikrohidro di berbagai wilayah di Indonesia (Jawa Barat, Jawa
Tengah, Jawa Timur, Nanggroe Aceh Darussalam, Tana Toraja, Bengkulu, Sumba, Kalimantan Timur). 14
Dalam wawancara dengan BBC, ia mengaku tidak pernah berputus asa berhubungan dengan masyarakat,
tetapi ironisnya, yang acap membuatnya frustasi adalah perilaku birokrat yang mempersulit interaksinya
11 Tommy Apriando,”Kisah Sukses Desa Wisata Berbasis Energi Terbarukan di Pesisir Yogyakarta, 6 Desember 2013,
http://www.mongabay.co.id/2013/12/06/kisah-sukses-desa-wisata-berbasis-energi-terbarukan-di-pesisiryogyakarta/; Tommy Apriando, “Pembangkit Listrik Hibrid Bantul, Solusi Kedaulatan Energi Terbarukan, 7 Mei 2014,
http://www.mongabay.co.id/2014/05/07/pembangkit-listrik-hibrid-bantul-solusi-kedaulatan-energi-berkelanjutan/
12 Eko Rusdianto, Asa Sumba, Mandiri Energi dari Sumber-sumber Terbarukan, 31 Oktober 2016,
http://www.mongabay.co.id/2016/10/31/asa-sumba-mandiri-energi-dari-sumber-sumber-terbarukan/
13 “Penyusuran Jejak Komunitas Menuju Kemandirian: Pengalaman Mengelola Dana Hibah Kecil untuk Lingkungan”
Global Environment Facility Small grants Programme Indonesia (2010), http://www.sgp-indonesia.org/cms/wpcontent/uploads/downloads/2011/08/Penyusuran-Jejak-Komunitas-Menuju-Kemandirian-2010.pdf.
14 Reni Susanti, Perempuan Pejuang Listrik untuk Desa Terpencil, Kompas, 9 Maret 2016,
http://regional.kompas.com/read/2016/03/09/15300051/Tri.Mumpuni.Perempuan.Pejuang.Listrik.untuk.Desa.Terp
encil?page=all
dengan rakyat, dengan merongrong atau terkadang meminta uang. Sumber dana membangun pembangkit
listrik tidak pernah berasal dari APBN, karena mengharuskan adanya tender yang tidak mungkin rakyat
kecil mengaksesnya.15
Di Jawa Barat terdapat cerita Almarhum Abah Anom, pemimpin Kasepuhan Ciptagelar, Cisolok,
Sukabumi merintis pengelolaan energi di kampungnya. Pada tahun 1988, saat itu berusia 21 tahun, ia
membangun pembangkit listrik tenaga air dengan menggunakan kincir kayu di Kampung Ciptarasa untuk
menerangi 55 rumah. Sukses dengan pembangkit pertama, ia mencoba membangun turbin lebih besar di
Kampung Cicemet, targetnya menerangi 6.000 rumah warga dengan kapasitas 30.000 watt. Modalnya
adalah debit air yang berlimpah dari berbagai sumber mata air dan sungai di Kasepuhan yang hutannya
masih terjaga. Proyek ini hanya bertahan satu tahun karena rusak. Dengan memanfaatkan kharisma dan
jejaring sosialnya di ibukota, tahun 1996, Abah Anom mendapat dukungan Kedutaan Jepang untuk
memperbaiki turbinnya. Tahun 1997, dibangunlah infrastruktur energi listrik di Kasepuhan Ciptagelar
secara bergotong royong oleh warga. Tahun 1998, Kasepuhan Ciptagelar memasok listrik hingga 60.000
watt bagi warganya. Inisatif proyek energi mandiri Abah Anom tersebut kini dilanjutkan anaknya, Abah
Ugi.16
Potensi-potensi pengelolaan energi yang bersifat common pool resources di atas dalam RUEN,
sayangnya belum muncul. Sebagai public good, energi mempunyai potensi salah urus yang sangat tinggi,
terjadinya over consumption misalnya—Garret Hardins, tragedy of the commons. Paradox of plenty,
disebut juga sebagai resource curse, merujuk pada kegagalan negara kaya untuk memperoleh keuntungan
dari kekayaan sumberdaya alam dan kegagalan merespon kebutuhan public welfare secara efektif. Istilah
resource curse menunjukkan cakupan persoalan politik, ekonomi, dan sosial yang dihadapi negara-negara
kaya sumberdaya minyak, gas, dan mineral. Karakter sumberdaya minyak, gas, dan mineral: biaya pra
produksi tinggi, jangka waktu produksi lama, lokasi spesifik, sumberdaya alam tidak terbarukan, tingkat
kerahasiaan/ketertutupan industri minyak, gas, dan mineral. Persoalan yang diakibatkan dari kondisi
negara seperti itu adalah munculnya pemerintah otoritarian, konflik antar kelompok untuk mengontrol
sumberdaya atau penggunaan sumberdaya untuk membiayai aktifitas/gerakan mereka, tendensi
pembelanjaan yang boros (inefficient salaries, inefficient fuel subsidies) dan hutang yang membengkak,
dutch disease (peningkatan pendapatan dari sumberdaya alam dapat mempengaruhi sektor usaha berbasis
ekspor, dengan menyebabkan terjadinya inflasi dan gejolak nilai tukar uang, bergesernya tenaga kerja dari
sektor non-sumberdaya alam ke sektor sumberdaya alam, lemahnya pengembangan kelembagaan karena
15
Heyder
Affan,
Sosok
Wanita
Penerang
Desa,
BBC
Indonesia,
25
Mei
2010,
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2010/05/100525_tokohmeitrimumpuni
16 Taufik Subarkah (ed), “Energi dari Gunung Halimun,” Tirto, 15 Agustus 2016, https://tirto.id/energi-dari-gununghalimun-bAsw\
elit mudah memperoleh uang dalam jumlah banyak secara tunai dari perusahaan-perusahaan minyak, gas,
mineral (rent seeking), masalah ekonomi dan sosial. 17
Dalam kerangka seperti di atas, saya kira peran daerah dalam mendukung RUEN menjadi sangat
strategis; ia sewajarnya melampaui mandat dalam Perpres No 22 Tahun 2017 tentang RUEN yang masih
terkesan hanya menempatkan peran daerah-daerah sebatas mengurusi persoalan adiminstrasi dan
teknokrasi.
Daftar Pustaka
Heyder Affan, “Sosok Wanita Penerang Desa,” BBC Indonesia, 25 Mei 2010,
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2010/05/100525_tokohmeitrimumpuni
Apriando, Tommy,”Kisah Sukses Desa Wisata Berbasis Energi Terbarukan di Pesisir
Yogyakarta,”
Mongabay,
6
Desember
2013,
http://www.mongabay.co.id/2013/12/06/kisah-sukses-desa-wisata-berbasis-energiterbarukan-di-pesisir-yogyakarta/; Tommy Apriando, “Pembangkit Listrik Hibrid Bantul,
17 “The Resource Curse: The Political and Economic Challenges of Natural Resource
Wealth,” Natural Resource Governance Institute (NRGI), Maret 2015.
Solusi
Kedaulatan
Energi
Terbarukan,
7
Mei
2014,
http://www.mongabay.co.id/2014/05/07/pembangkit-listrik-hibrid-bantul-solusikedaulatan-energi-berkelanjutan/
Peraturan Presiden Republik Indonesia No 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi
Nasional
Rahmat, M. Hamidi, “RUEN, Rencana Umum Energi Nasional,” Setkab, 24 Maret 2017,
http://setkab.go.id/ruen-rencana-umum-energi-nasional/
Rusdianto, Eko, “Asa Sumba, Mandiri Energi dari Sumber-sumber Terbarukan,” Mongabay, 31
Oktober 2016, http://www.mongabay.co.id/2016/10/31/asa-sumba-mandiri-energi-darisumber-sumber-terbarukan/
Sosialisasi Rencana Umum Energi Nasional dalam rangka Penyusunan Rencana Umum Energi
Daerah, Sosialisasi RUEN Se-Jawa dan Kalimantan, Jakarta 20 September 2016.
Subarkah, Taufik (ed), “Energi dari Gunung Halimun,” Tirto, 15 Agustus 2016,
https://tirto.id/energi-dari-gunung-halimun-bAsw\
Supriyatna, Iwan, “Jonan: Optimalkan Potensi Daerah agar Harga Energi Terjangkau,”
Kompas,13 Maret 2017,
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2017/03/13/182000126/jonan.optimalkan.potensi
.daerah.agar.harga.energi.terjangkau
Susanti, Reni, “Perempuan Pejuang Listrik untuk Desa Terpencil,” Kompas, 9 Maret 2016,
http://regional.kompas.com/read/2016/03/09/15300051/Tri.Mumpuni.Perempuan.Pejuan
g.Listrik.untuk.Desa.Terpencil?page=all
Syahni, Della, “Desa-desa ini Penuhi Energi dari Sumber Lokal Ramah Alam,” Mongabay, 11
November 2016, http://www.mongabay.co.id/2016/11/11/desa-desa-ini-penuhi-energidari-sumber-lokal-ramah-alam/
______, “Penyusuran Jejak Komunitas Menuju Kemandirian: Pengalaman Mengelola Dana
Hibah Kecil untuk Lingkungan,” Global Environment Facility Small grants Programme
Indonesia, 2010, http://www.sgp-indonesia.org/cms/wpcontent/uploads/downloads/2011/08/Penyusuran-Jejak-Komunitas-Menuju-Kemandirian2010.pdf.
“The Resource Curse: The Political and Economic Challenges of Natural Resource Wealth,”
Natural Resource Governance Institute (NRGI), Maret 2015.
Pemerintah Daerah dalam Mendukung dan Mensukseskan
Rencana Umum Energi Nasional
Cornelis Lay1
Dari sudut politik, pemenuhan kebutuhan akan energi sangat penting karena dua alasan berikut
ini: Pertama, ia telah menjadi tuntutan publik yang secara rutin disuarakan melalui aneka cara – mulai
dari rangkaian antrian BBM yang rutin kita saksikan di era sebelumnya, omelan baik di media sosial
maupun di ruang sosial mengenai listrik yang mati-hidup tak karuan yang menebar praktis merata di
seluruh kawasan Indonesia, apalagi di daerah-daerah luar Jawa-Bali, hingga keluhan luas yang disuarakan
dunia bisnis. Dengannya, pemenuhan kebutuhan energi menjadi indikator penting untuk melihat kapasitas
pemerintah dalam merespons tuntutan masyarakat, kapasitas dalam merespons demokrasi. Kedua, di
dalam isu energi melekat sekaligus isu yang terkait dengan survivalitas sebuah bangsa: ia terkait dengan
persoalan kedaulatan sebuah negara. Henry Kissinger (93 tahun), seorang diplomat Amerika yang juga
ilmuwan politik, Menlu AS pada masa pemerintahan Presiden Nixon merangkum hal di atas dengan
sangat baik: “control oil and you control nations; control food and you control the people”. Karena itu ia
membutuhkan keterlibatan negara lebih total dalam memenuhi kebutuhan energi sebagai bagian integral
dari tugas negara memelihara kedaulatannya.
Pada 2 Maret 2017 Presiden Jokowi menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) No 22 Tahun
2017 tentang Rancangan Umum Energi Nasional (RUEN) . RUEN yang ditetapkan merupakan hasil
kesepakatan Sidang Paripurna Dewan Energi Nasional (DEN) keempat, 5 Januari 2017. 2 Penetapan
RUEN merupakan pelaksanaan pasal 12 ayat 2 dan pasal 17 ayat 1 Undang-Undang No 30 Tahun 2007.
1 Dosen di Departemen Ilmu Politik dan Pemerintahan (DPP), Fisipol, UGM, Kepala Research Centre for Politics and
Government (PolGov) di DPP, Fisipol, UGM. Catatan ini disampaikan pada Diskusi Nasional Kebijakan Energi:
Mewujudkan Keselarasan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan Rencana Umum Energi Daerah (RUED)
dalam Mencapai Sasaran Kebijakan Energi Nasional, diselenggarakan Pusat Pengembangan Kapasitas dan
Kerjasama (Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada), Pusat Studi Energi (Universitas Gadjah
Mada) dan PolGov, di Balai Senat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 25-26 April 2017.
2 Iwan Supriyatna, “Jonan: Optimalkan Potensi Daerah agar Harga Energi Terjangkau,” Kompas,13 Maret 2017,
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2017/03/13/182000126/jonan.optimalkan.potensi.daerah.agar.harga.ene
rgi.terjangkau
Pasal 12 ayat 2 mengamanatkan DEN untuk: (a) merancang dan merumuskan kebijakan energi nasional
untuk ditetapkan Pemerintah dengan persetujuan DPR, (b) menetapkan rencana umum energi nasional, (c)
menetapkan langkah-langkah penanggulangan kondisi krisis dan darurat energi, (d) mengawasi
pelaksanaan kebijkan di bidang energi yang bersifat lintas sektoral. Sedangkan pasal ayat 1 menyatakan
bahwa Pemerintah menyusun rancangan rencana umum energi nasional berdasarkan Kebijakan Energi
Nasional (KEN). KEN telah ditetapkan pada 17 Oktober 2014 melalui PP No 79 Tahun 2014. Dasar
penerbitan PP ini adalah pasal 11 ayat 2 UU No 30 Tahun 2007. KEN telah mendapat persetujuan DPR
melalui keputusan DPR No 01/DPR RI/III/2013-2014.3
Secara kelembagaan, di level pusat, RUEN di melibatkan hampir semua Kementerian
Negara/Lembaga. Sejunmlah terlibat secara lasung -- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral,
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perhubungan,
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional,
Kementerian Pertanian, Kementerian Keuangan, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi –
sejumlah lainnya yang tugas dan fungsinya berkaitan dengan kebijakan energi -- Kementerian Dalam
Negeri, Kementerian Badan Usaha Milik Negara, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, serta Pemerintah Daerah – juga dilibatkan. Perpres
No 22 Tahun 2017 menyebutkan koordinasi antar-Kementerian/ lembaga diperlukan untuk
mensinkonkran beberapa kebijakan, seperti kebijakan harga energi, tata ruang, pemanfaatan dan tata
kelola air, transportasi massal, manajemen lalu lintas, perindustrian, retribusi, pajak, iuran daerah,
perizinan usaha, perizinan lokasi, standarisasi, penerapan teknologi, dll.
Sedangkan di level daerah, RUEN menjadi acuan dalam penyusunan Rancangan Umum Energi
Daerah (RUED) Provinsi dan Kabupaten/Kota. Pemerintah Daerah menjabarkan RUEN dalam RUED
serta mengimplementasikan program dan kegiatan, sebagaimana diatur oleh UU No 30 Tahun 2007 yang
mengamanatkan perencanaan energi daerah diserahkan kepada daerah sesuai kewenangannya dengan
memperhatikan karakter dan kondisi masing-masing daerah. Dalam proses penyusunan RUED,
Pemerintah Daerah melibatkan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), rancangan kemudian diajukan
ke DPRD untuk ditetapkan dalam bentuk Peraturan Daerah.
Dalam sosialisasi RUEN oleh DEN Se-Jawa dan Kalimantan disebutkan poin penting peran
daerah yaitu penyelarasan lahan energi dengan RTRW, lahan untuk Bahan Bakar Nabati, pembangunan
pembangkit EBT, perluasan jaringan gas (Jargas) kota dan infrastruktur ketenagalistrikan, audit energi
3 M. Hamidi Rahmat, “RUEN, Rencana Umum Energi Nasional,” Setkab, 24 Maret 2017, http://setkab.go.id/ruenrencana-umum-energi-nasional/
dalam rangka konservasi energi, subsidi energi yang bersumber dari APBD, penyederhanaan perizinan,
pengembangan transportasi masal, dan optimalisasi layanan penerbitan izin pemanfaatan kawasan hutan. 4
Menyimak lebih jauh rute kebijakan pengelolaan energi yang tertuang dalam Perpres No 22
Tahun 2017, disebutkan pula bahwa arah kebijakan energi ke depan berpedoman pada paradigma “baru”.
Sumber daya energi tidak lagi dijadikan komoditas ekspor semata, tetapi sebagai modal pembangunan
nasional untuk tujuan mewujudkan kemandirian – terminologi yang perlu dipikirkan kembali -pengelolaan energi dan terpenuhinya kebutuhan sumber energi dalam negeri, mengoptimalkan
pengelolaan sumber daya energi secara terpadu dan berkelanjutan, meningkatkan efisiensi pemanfaatan
energi, menjamin akses yang adil dan merata terhadap energi, pengembangan kemampuan teknologi,
industri energi dan jasa energi dalam negeri, menciptakan lapangan kerja, dan terkendalinya dampak
perubahan iklim dan terjaganya fungsi lingkungan hidup. 5
Mengalir dari pemaparan mengenai rute kebijakan pengelolaan energi nasional di atas, terdapat
poin penting yang perlu digarisbawahi lebih lanjut, yakni perlunya pergeseran perspektif dari yang
semata-mata memusat pada fungsi ekonomi dari energi ke fungsi yang lebih luas, yakni fungsi politik,
sosial dan budaya. Cara pandang yang keluar dari cara berpikir determinasi ekonomi, tanpa menafikan
dimensi ekonomi.6 Dalam kaitan ini, politik energi kita sekaligus menjadi instrumen politik bagi
kepentimngan integrasi nasional dan alat transformasi masyarakat dimana di atas kematian energi tak
terbarukan harus tumbuh rangkaian aktivitas ekonomi baru yang mensejahterakan. Pada saat yang
bersamaan, secara sosial politik energi dapat menjadi instrumen dalam mengintegrasikan masyarakat ke
dalam sebuah matriks kompleks pengelolaan energi yang berbasis pada kekuatan sendiri: salah satu
instrumen penting dalam kerangka penegakan kedaulatan energi bangsa. Dua hal ini menjadi relevan jika
kisah-kisah ilustratif berikut ini dipahami melalui kaca-mata politik.
Kisah pertama, citra satelit malam hari yang dipublikasikan National Aeronautics and Space
Administration (NASA) mengungkap kesenjangan pemerataan energi listrik Pulau Jawa dibanding
dengan pulau-pulau di luar Jawa. Sebagaimana ditunujukkan gambar 1.
4 Sosialisasi Rencana Umum Energi Nasional dalam rangka Penyusunan Rencana Umum Energi Daerah, Sosialisasi
RUEN Se-Jawa dan Kalimantan, Jakarta 20 September 2016.
5 Peraturan Presiden Republik Indonesia No 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional.
Kemandirian energi merupakan ketersediaan energi dengan memanfaatkan semaksimal
mungkin potensi dari sumber dalam negeri. Sedangkan ketahanan energi nasional
didefiniskan sebagai suatu kondisi ketersediaan energi, akses masyarakat terhadap energi
pada harga terjangkau dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan perlindungan
terhadap lingkungan hidup
6 Dalam cara pandang ekonomi, pasar terutama, sumberdaya energi dapat dilihat sebagai public good, private
good, dan marketable public good.
Gambar 1. Citra Satelit Indonesia di Malam Hari
Sumber: “Citra Satelit: Gelap Membekap Indonesia,” Deutsche Welle, 18 April 2017, http://www.dw.com/id/citrasatelit-gelap-membekap-indonesia/g-38462167.7
Nampak pada gambar, Jawa, tempat lebih dari separuh penduduk Indonesia bermukim adalah
yang paling cemerlang di malam hari. Sebaran cahaya tidak hanya di perkotaan tapi juga jalur-jalur
penghubung utama antara kota. Gambaran serupa tidak ditemukan di pulau-pulau lainnya. Di Kalimantan
dan Indonesia bagian Timur umumnya, kegelapan bertakhta angkuh. Singapura dan Kuala lumpur lebih
cemerlang dibanding Sumatera, di citra terlihat Kota Pakanbaru, Medan dan Padang. Di Sulawesi, Tanah
Luwu yang terletak antara Kota Palopo dan Bonebone yang paling cemerlang dibanding Makasar, Kota
terbesar di Sulawesi. Tanah Luwu merupakan kawasan subur diidami kurang lebih dua juta penduduk
yang hidup dari pertanian. Papua tenggelam dalam kegelapan. Sedikit cahaya terbersit di Kota Jayapura,
Oksibil, Merauke Timika, Sorong, dan Manokwari. Uniknya, kawasan yang seharusnya paling gelap,
Puncak Jaya, justru bermandikan cahaya dari tambang Grasberg milik Freeport. Pada citra satelit malam
tersebut, Manado terlihat seperti mercusuar. Satu-satunya kota yang bisa menandingi gemerlapnya adalah
Gorontalo dan Ternate di Maluku Utara. Sedangkan di Kalimantan, pendaran sinar dari Kota
Banjarmasin, Balikpapan, Samarinda, dan Bontang. Pontianak menjadi satu-satunya kota yang bercahaya
di wilayah barat.8
Cerita di atas jika dibaca melalui kaca-mata politik menyampaikan pesan yang sangat kuat:
ketimpangan merajalela di Indonesia. Dan kita sama paham, bahwa dalam kegelapan selalu ada bisikbisik soal kesenjangan. Semakin nyaring dan meluas bisik-bisik-bisik dalam kegelapan, ia bisa dengan
7 Lihat juga http://www.nightearth.com/[email protected],121.234186,5.000227099578876z&data=$bWVsMg==
8 Citra Satelit, 2017.
cepat berubah jadi persengkongkolan; dan persengkongkolan bisa melahirkan apa saja. Karenanya politik
energi kita harus dengan kesadaran penuh di arahkan untuk menjawab masalah-masalah seperti ini. Kita
sudah memulai dengan satu langkah sederhana tapi krusial, politik satu harga. Tetapi kita butuh lebih dari
itu. Dan dalam kerangka ini daerah-daerah menjadi krusial perannya.
Kisah kedua, di level mikro, dalam luasan geografis yang terbatas, ada banyak cerita mengenai
pengelolaan sumber daya energi yang bersifat common pool resources, berbasis komunitas. Belasan tahun
silam, Warga Desa Reno, Kecamatan Poco Ranaka, Flores, NTT, tidak bisa menikmati penerangan
dengan baik. Didampingi Pendeta Marselus Hasan dari gereja lokal, warga melakukan musyawarah,
mengidentifikasi air sungai, sebagai sumber daya yang bisa digunakan sebagai pembangkit listrik.
Dengan uang iuran dan pinjaman dari koperasi gereja, warga bergotong royong membangun Pembangkit
Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) – yang kemudian dinamai PLTMH Wae Rina- selama empat bulan.
Pembangkit swadaya masyarakat ini mampu menerangi 134 rumah, 1 puskesmas, satu pasar, dan satu
gereja. Warga Desa Reno bersama Pendeta Marselus membentuk tim untuk membantu desa lain yang
punya masalah sama. Hingga kini tim telah membangun tiga PTLMH lain: PLTMH Wae Mese Wangkar
di Kecamatan Sambi Rampas yang kini dimanfaatkan 400 keluarga, 1 mushola, 1 puskesmas, dan 1
rumah adat; PLTMH Wae Laban Elar menerangi 316 keluarga, 1 musola, 1 gereja, 1 sekolah, 1 kelurahan,
1 asrama, 1 puskesmas, dan 1 kantor kecamatan; dan PLTMH Wae Lenger di Kecamatan Elar Poco
Ranaka menerangi 264 rumah, 3 sekolah, 1 puskesmas pembantu, dan tiga rumah adat. Keempat PLTH
berkapasitas 260 Kw. Sejak ada PLTMH, warga yang biasa menggunakan minyak tanah, bisa menghemat
hingga 230.000 rupiah per bulan. Warga yang memakai genset bisa menghemat hingga 860.000 rupiah
per bulan. Secara umum, terjadi peningkatan ekonomi warga yang sehari-hari hidup dari menenun,
membuat kue, beternak ayam ras atau babi. Dengan memanfaatkan koperasi, sisa hasil dan iuran
pembuatan pembangkit listrik menjadi modal warga anggota koperasi gereja. 9
Cerita keberhasilan perencananaan dan pengelolaan energi secara swadaya, datang juga dari
Pulau Siberut. Warga Desa Madobak, Desa Matotonan, dan Desa Saliguma berhasil membangun
Pembangkit Listrik Tenaga Bio Massa (PLTBM) secara gotong royong dengan memanfaatkan bambu
yang melimpah.10 Di Bantul, warga Desa Ngentak, Kecamatan Poncosari, membangun Pembangkit
Listrik Tenaga Hibrid (PLTH) di Pantai Baru. PLTH ini menggunakan kincir angin yang digerakkan
hembusan angin laut dan panel surya yang menyimpan energi dari matahari. Energi listrik yang dihasilkan
mensuplai 70% kebutuhan pedagang kuliner, nelayan, dan kebutuhan pertanian di pesisir Pantai Baru,
9 Della Syahni, Desa-desa ini Penuhi Energi dari Sumber Lokal Ramah Alam, 11 November 2016,
http://www.mongabay.co.id/2016/11/11/desa-desa-ini-penuhi-energi-dari-sumber-lokal-ramah-alam/
10 Della Syahni, Desa.
30% sisanya dari PLN. Warga Desa Ngentak juga mengintegrasikan penggunaan Biogas dari kotoran
ternak sapi bagi kebutuhan pertanian.11
Di Sumba, warga Desa Kamanggih, Kecamatan Kahaungu Eti Sumba Timur, Nusa Tenggara
Timur, memiliki 20 kincir angin di bukit yang menghasilkan daya listrik yang mampu menerangi 22
rumah yang lokasinya berjauhan dan tak terjangkau PLN. Sedangkan warga yang rumahnya berada di
dekat badan Sungai Mbakuhau membangun PLTMH yang berhasil menerangi 334 rumah selama 24 jam
sejak 2011. Sebelumnya, tidak ada listrik di Desa Kamanggih. Pembangkit ini merupakan pengembangan
dari pembangkit berbasis tenaga surya yang sudah ada sebelumnya. Tahun 1999, Umbu Hinggu Paujanji,
anggota DPRD Sumba Timur dan Yayasan Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan membangun
Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Ketika PLTS beroperasi, warga membentuk Koperasi Jasa
Peduli Kasih. Melalui koperasi ini, sistem penyaluran, iuran, dan pengelolaan listrik. Mulai 2011,
Humanist Institute for Cooperation (Hivos) dan Japan International Cooperation Agency (JICA)
mendampingi warga membangun pembangkit listrik menggunakan kincir angin dan panel surya di Desa
Kamanggih. Kini, sistem pengelolaan energi di Desa Kamanggih sudah saling terkoneksi. Dari pasokan
sistem interkoneksi, ditambah simpan pinjam, Koperasi kini mengelola aset tidak kurang dari 8 miliar
rupiah.12
Cerita-cerita di atas memastikan, pengelolaan energi oleh warga bukanlah hal baru. 13 Tidak hanya
lembaga donor internasional seperti Hivos atau JICA yang bergerak, tetapi elemen masyarakat sipil, baik
organisasi maupun individu terlibat dalam inisiatif pengembangan energi terbarukan. Banyak yang
mengenal sosok Tri Mumpuni, Ketua Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (IBEKA), yang bersama
suaminya (Iskandar Budisaroso Kuntoadji), tercatat hingga pertengahan 2010, telah membangun 60
pembangkit tenaga air berskala kecil atau mikrohidro di berbagai wilayah di Indonesia (Jawa Barat, Jawa
Tengah, Jawa Timur, Nanggroe Aceh Darussalam, Tana Toraja, Bengkulu, Sumba, Kalimantan Timur). 14
Dalam wawancara dengan BBC, ia mengaku tidak pernah berputus asa berhubungan dengan masyarakat,
tetapi ironisnya, yang acap membuatnya frustasi adalah perilaku birokrat yang mempersulit interaksinya
11 Tommy Apriando,”Kisah Sukses Desa Wisata Berbasis Energi Terbarukan di Pesisir Yogyakarta, 6 Desember 2013,
http://www.mongabay.co.id/2013/12/06/kisah-sukses-desa-wisata-berbasis-energi-terbarukan-di-pesisiryogyakarta/; Tommy Apriando, “Pembangkit Listrik Hibrid Bantul, Solusi Kedaulatan Energi Terbarukan, 7 Mei 2014,
http://www.mongabay.co.id/2014/05/07/pembangkit-listrik-hibrid-bantul-solusi-kedaulatan-energi-berkelanjutan/
12 Eko Rusdianto, Asa Sumba, Mandiri Energi dari Sumber-sumber Terbarukan, 31 Oktober 2016,
http://www.mongabay.co.id/2016/10/31/asa-sumba-mandiri-energi-dari-sumber-sumber-terbarukan/
13 “Penyusuran Jejak Komunitas Menuju Kemandirian: Pengalaman Mengelola Dana Hibah Kecil untuk Lingkungan”
Global Environment Facility Small grants Programme Indonesia (2010), http://www.sgp-indonesia.org/cms/wpcontent/uploads/downloads/2011/08/Penyusuran-Jejak-Komunitas-Menuju-Kemandirian-2010.pdf.
14 Reni Susanti, Perempuan Pejuang Listrik untuk Desa Terpencil, Kompas, 9 Maret 2016,
http://regional.kompas.com/read/2016/03/09/15300051/Tri.Mumpuni.Perempuan.Pejuang.Listrik.untuk.Desa.Terp
encil?page=all
dengan rakyat, dengan merongrong atau terkadang meminta uang. Sumber dana membangun pembangkit
listrik tidak pernah berasal dari APBN, karena mengharuskan adanya tender yang tidak mungkin rakyat
kecil mengaksesnya.15
Di Jawa Barat terdapat cerita Almarhum Abah Anom, pemimpin Kasepuhan Ciptagelar, Cisolok,
Sukabumi merintis pengelolaan energi di kampungnya. Pada tahun 1988, saat itu berusia 21 tahun, ia
membangun pembangkit listrik tenaga air dengan menggunakan kincir kayu di Kampung Ciptarasa untuk
menerangi 55 rumah. Sukses dengan pembangkit pertama, ia mencoba membangun turbin lebih besar di
Kampung Cicemet, targetnya menerangi 6.000 rumah warga dengan kapasitas 30.000 watt. Modalnya
adalah debit air yang berlimpah dari berbagai sumber mata air dan sungai di Kasepuhan yang hutannya
masih terjaga. Proyek ini hanya bertahan satu tahun karena rusak. Dengan memanfaatkan kharisma dan
jejaring sosialnya di ibukota, tahun 1996, Abah Anom mendapat dukungan Kedutaan Jepang untuk
memperbaiki turbinnya. Tahun 1997, dibangunlah infrastruktur energi listrik di Kasepuhan Ciptagelar
secara bergotong royong oleh warga. Tahun 1998, Kasepuhan Ciptagelar memasok listrik hingga 60.000
watt bagi warganya. Inisatif proyek energi mandiri Abah Anom tersebut kini dilanjutkan anaknya, Abah
Ugi.16
Potensi-potensi pengelolaan energi yang bersifat common pool resources di atas dalam RUEN,
sayangnya belum muncul. Sebagai public good, energi mempunyai potensi salah urus yang sangat tinggi,
terjadinya over consumption misalnya—Garret Hardins, tragedy of the commons. Paradox of plenty,
disebut juga sebagai resource curse, merujuk pada kegagalan negara kaya untuk memperoleh keuntungan
dari kekayaan sumberdaya alam dan kegagalan merespon kebutuhan public welfare secara efektif. Istilah
resource curse menunjukkan cakupan persoalan politik, ekonomi, dan sosial yang dihadapi negara-negara
kaya sumberdaya minyak, gas, dan mineral. Karakter sumberdaya minyak, gas, dan mineral: biaya pra
produksi tinggi, jangka waktu produksi lama, lokasi spesifik, sumberdaya alam tidak terbarukan, tingkat
kerahasiaan/ketertutupan industri minyak, gas, dan mineral. Persoalan yang diakibatkan dari kondisi
negara seperti itu adalah munculnya pemerintah otoritarian, konflik antar kelompok untuk mengontrol
sumberdaya atau penggunaan sumberdaya untuk membiayai aktifitas/gerakan mereka, tendensi
pembelanjaan yang boros (inefficient salaries, inefficient fuel subsidies) dan hutang yang membengkak,
dutch disease (peningkatan pendapatan dari sumberdaya alam dapat mempengaruhi sektor usaha berbasis
ekspor, dengan menyebabkan terjadinya inflasi dan gejolak nilai tukar uang, bergesernya tenaga kerja dari
sektor non-sumberdaya alam ke sektor sumberdaya alam, lemahnya pengembangan kelembagaan karena
15
Heyder
Affan,
Sosok
Wanita
Penerang
Desa,
BBC
Indonesia,
25
Mei
2010,
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2010/05/100525_tokohmeitrimumpuni
16 Taufik Subarkah (ed), “Energi dari Gunung Halimun,” Tirto, 15 Agustus 2016, https://tirto.id/energi-dari-gununghalimun-bAsw\
elit mudah memperoleh uang dalam jumlah banyak secara tunai dari perusahaan-perusahaan minyak, gas,
mineral (rent seeking), masalah ekonomi dan sosial. 17
Dalam kerangka seperti di atas, saya kira peran daerah dalam mendukung RUEN menjadi sangat
strategis; ia sewajarnya melampaui mandat dalam Perpres No 22 Tahun 2017 tentang RUEN yang masih
terkesan hanya menempatkan peran daerah-daerah sebatas mengurusi persoalan adiminstrasi dan
teknokrasi.
Daftar Pustaka
Heyder Affan, “Sosok Wanita Penerang Desa,” BBC Indonesia, 25 Mei 2010,
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2010/05/100525_tokohmeitrimumpuni
Apriando, Tommy,”Kisah Sukses Desa Wisata Berbasis Energi Terbarukan di Pesisir
Yogyakarta,”
Mongabay,
6
Desember
2013,
http://www.mongabay.co.id/2013/12/06/kisah-sukses-desa-wisata-berbasis-energiterbarukan-di-pesisir-yogyakarta/; Tommy Apriando, “Pembangkit Listrik Hibrid Bantul,
17 “The Resource Curse: The Political and Economic Challenges of Natural Resource
Wealth,” Natural Resource Governance Institute (NRGI), Maret 2015.
Solusi
Kedaulatan
Energi
Terbarukan,
7
Mei
2014,
http://www.mongabay.co.id/2014/05/07/pembangkit-listrik-hibrid-bantul-solusikedaulatan-energi-berkelanjutan/
Peraturan Presiden Republik Indonesia No 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi
Nasional
Rahmat, M. Hamidi, “RUEN, Rencana Umum Energi Nasional,” Setkab, 24 Maret 2017,
http://setkab.go.id/ruen-rencana-umum-energi-nasional/
Rusdianto, Eko, “Asa Sumba, Mandiri Energi dari Sumber-sumber Terbarukan,” Mongabay, 31
Oktober 2016, http://www.mongabay.co.id/2016/10/31/asa-sumba-mandiri-energi-darisumber-sumber-terbarukan/
Sosialisasi Rencana Umum Energi Nasional dalam rangka Penyusunan Rencana Umum Energi
Daerah, Sosialisasi RUEN Se-Jawa dan Kalimantan, Jakarta 20 September 2016.
Subarkah, Taufik (ed), “Energi dari Gunung Halimun,” Tirto, 15 Agustus 2016,
https://tirto.id/energi-dari-gunung-halimun-bAsw\
Supriyatna, Iwan, “Jonan: Optimalkan Potensi Daerah agar Harga Energi Terjangkau,”
Kompas,13 Maret 2017,
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2017/03/13/182000126/jonan.optimalkan.potensi
.daerah.agar.harga.energi.terjangkau
Susanti, Reni, “Perempuan Pejuang Listrik untuk Desa Terpencil,” Kompas, 9 Maret 2016,
http://regional.kompas.com/read/2016/03/09/15300051/Tri.Mumpuni.Perempuan.Pejuan
g.Listrik.untuk.Desa.Terpencil?page=all
Syahni, Della, “Desa-desa ini Penuhi Energi dari Sumber Lokal Ramah Alam,” Mongabay, 11
November 2016, http://www.mongabay.co.id/2016/11/11/desa-desa-ini-penuhi-energidari-sumber-lokal-ramah-alam/
______, “Penyusuran Jejak Komunitas Menuju Kemandirian: Pengalaman Mengelola Dana
Hibah Kecil untuk Lingkungan,” Global Environment Facility Small grants Programme
Indonesia, 2010, http://www.sgp-indonesia.org/cms/wpcontent/uploads/downloads/2011/08/Penyusuran-Jejak-Komunitas-Menuju-Kemandirian2010.pdf.
“The Resource Curse: The Political and Economic Challenges of Natural Resource Wealth,”
Natural Resource Governance Institute (NRGI), Maret 2015.