Kajian Etnografi Tanah Adat dan Sumbanga

Kajian Etnografi Tanah Adat dan Sumbangannya
Terhadap Upaya Penyelesaian Sengketa Tanah
Adat di Kabupaten Humbang-Hasundutan,
Propinsi Sumatera Utara.
Bahan Presentasi pada “Seminar dan
Lokakarya Kajian Etnografi Tanah Adat
untuk Penyelesaian Konflik Agraria”,
Medan, 30 April 2018.

Tim PeneliL
•  Kar$ni Pandjaitan-Sjahrir, Ph.D
(Penanggungjawab)
•  Drs. R. Yando Zakaria (Koordinator peneli$an)
•  Dr. Fikarwin Zuska
•  Dra. Frieda Amran
•  Yohana Pamella Berliana Marpaung, M.A.
•  Rio Heykhal Belvage, M.A.
•  Yudhi R. Harahap, S.Pd

Latar Belakang (1)
•  Akhir 2016 Presiden Jokowi menyerahkan Surat Keputusan Menteri

Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang pencadangan hutan adat
untuk ‘masyarakat adat Pandumaan – Sipituhuta.
•  Penyebutan ‘‘hutan adat masyarakat adat Pandumaan – Sipituhuta’
dan ‘silsilah Marga Marbun Lumban Gaol sebagai Marga Bius Huta’
telah menimbulkan kebingungan.
•  Dalam pada itu, belakangan, menyusul pembentukan Badan Otorita
Pengelola Kawasan Pariwisata Danau Toba (BOPKPDT) melalui
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 49/2016, muncul pula
kekuaLran konflik tanah ini (termasuk konflik internal)
intensitasnya akan terus meningkat. Terutama di 7 kabupaten yang
bersentuhan langsung dengan Danau Toba.
•  Bagaimana susunan ‘masyarakat hukum adat’ di Kabupaten
Humbang Hasundutan itu sebenarnya? Tanah-tanah mana pula
yang dapat dikategorikan sebagai tanah adat di daerah ini?

Latar Blakang (2)
UUPA 1960 dan Hak Masyarakat Adat Atas Tanah
•  Pasal 2 ayat (1):
–  Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar
dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang

angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu
pada Lngkatan terLnggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi
kekuasaan seluruh rakyat.

•  Pasal 2 ayat (4):
–  Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat
dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakatmasyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan Ldak bertentangan
dengan kepenLngan nasional, menurut ketentuan-ketentuan
Peraturan Pemerintah.

•  Pasal 3
–  Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2
pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakatmasyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada,
harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepenLngan nasional
dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta Ldak boleh
bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain
yang lebih Lnggi.

Latar Belakang (3)
Logika Pengakuan Hukum Hak Masyarakat Adat Atas Tanah/Hutan


Hutan adat
bukan hutan
negara =
+++

Hutan adat
bagian dari
ulayat MHA =
+++

Ulayat MHA
diakui jika MHA
ybs ditetapkan
dalam Perda =
---

(1) UU Desa No. 6/2014:
desa adat adalah MHA yang: Pasal 97 ayat (2): Kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya yang

masih hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
harus memiliki wilayah dan paling kurang memenuhi
salah satu atau gabungan unsur adanya: (a) masyarakat
yang warganya memiliki perasaan bersama dalam
kelompok; (b) pranata pemerintahan adat; (c) harta
kekayaan dan/atau benda adat; dan/atau (d) perangkat
norma hukum adat.
Pemberlakukan pemenuhan sayrat secara fakultaLf.

(2) Permendagri 52/2014:
Menetapkan MHA, tp tdk ada rumusan tujuan:
dgn mencerma$ (?) : (a) sejarah; (b) wilayah adat; (c)
hukum adat; (d) harta/benda adat; dan (e) kelembagaan/
sistem pemerintahan adat. Ditetapkan dlm keputusan
bupaL/walkot atau keputusan bersama kepala daerah,
tanpa penjelasan dg ukuran untuk verifikasinya.
Pemberlakuan pemenuhan syarat secara akumulaLf.

Putusan MK
35/2012

(5) Permen ATR 9/2015 à Permen ATR 10/2016:
Muncul nomenklaur baru hak komunal (bersifat perdata),
hak ulayat (bersifat publik) Ldak disebut lagi;
Hak Komunal diberikan pada MHA, yg memenuhi syarat:
(a) Msh dlm bentuk paguyuban; (b) ada kelembagaan dlm
perangkat penguasa adatnya; (c) ada wilayah hukum
adat yang jelas; dan (d) ada pranata dan perangkat
hukum yg msh ditaaL.
Pemberlakuan pemenuhan syarat secara akumulaLf.

(3) Perber 4 Kementerian 2014 à Perpres 88 Tahun
2017:
(4) Permen LHK 32/2015 tentang Hutan Hak:
Mengatur pengakuan hak ulayat MHA; MHA diakui
seturut per-UU-an yg ada (cq. Pasal 67, UU 41/1999 =
MHA ditetapkan dulu dgn Perda); Ldak dijelaskan apakah
Tim IP4T merujuk pada perda/sk yang sdh ada atau juga
bisa melakukan penetapan tersediri.
Pemberlakuan pemenuhan syarat secara akumulaLf.


METODOLOGI

Pertanyaan-pertanyaan pokok kajian
tenurial sistem
•  Sumber agraria dan SDA apa saja yang menjadi objek
hak? à Tata guna dalam pengerLan yang luas
•  Apa unit sosial dari hak-hak dimaksud? à subyek hak
à sistem organisasi sosial yang terlibat dalam
penguasaan dan pemanfaatan obyke hak dimaksud
•  Bagaimana bentuk dan karakter hubungan antar aktor
dalam penguasaan dan proses-proses perolehan,
pengalihan, pengasingan, dan pewarisan atas objekobyek hak tercakup? à Apa saja jenis atau macam
hak-hak itu? à Termasuk soal siapa yang memiliki
wewenang atas berbagai jenis hak itu?

Tiga dimensi untuk pemahaman
tenurial sistem
Aspek sosial-poliLk
organisasi komunitas
dan supra-komunitas


Mekanisme
penyelesaian sengketa

Sistem inL tenurial:
Sistem hak (obyek,
subyek, dan jenis hak)

Sistem tenurial sebagai Sistem Sosial
yang Kompleks
Aspek struktur sosial
Yang lebih luas

Aspek sosial-poliLk
organisasi komunitas
dan supra-komunitas

Mekanisme
penyelesaian
sengketa


Sistem hak

HASIL PENELITIAN

Lokasi PeneliLan
•  Kecamatan Sijamapolang
–  Desa Batunajagar

•  Kecamatan Lintongnihuta
–  Desa SiLo II

•  Kecamatan Dolok Sanggul
–  Desa Saitnihuta dan Desa Simarigung

•  Kecamatan Parlilitan
–  Desa Sihotang Hasugian Tonga, Desa Pusuk II, Desa
Sionom Hudon Toruan, Desa Sionom Hudon Tonga, Desa
Sionom Hudon Julu, Desa Sionom Hudon Timur II, Desa
Sionom Hudon Sibulbulon, Desa Simataniari, Desa Sionom

Hudon Habinsaran.

Gambaran Umum Lokasi PeneliLan
•  Kecuali di Kecamatan Parlilitan, desa-desa yang
menjadi lokasi peneliLan dilakukan dikenal sebagai
wilayah adat kelompok etnik Batak Toba.
•  Adapun pemukim utama Kecamatan Parlilitan berasal
dari kelompok etnik Dairi dengan pengaruh budaya
Batak Toba yang sangat kental sekali. Oleh sebab itu
pula muncul penyebutan baru Daito, yang pada
dasarnya merupakan gabungan singkatan dari Dairi
dan Toba.
•  Kegiatan utama penduduk di desa-desa lokasi
peneliLan adalah di sektor pertanian. Baik untuk
menghasilkan bahan pangan ataupun komodisL
perdagangan (utamanya Kopi)

Tanah Adat Batak Toba (Simbolon, 1998, Simanjuntak &
Situmorang, 2004; dan KarLni Sjahrir-Pandjaitan, et.al., 2017)
Subyek hak


Obyek hak

Bius (+/-)
Partolian (+/-)
Golat (+/-)
Huta (=/-), dengan
Marga raja, sebagai
pemangku hak utama, dan
•  marga boru, sebagai para
pihak yang mendapatkan hak
untuk turut memanfaatkan
dan/atau dapat memilikinya.

•  tano rimba dan harangan, dan
hutan muda (tombak atau
rabi)
•  parhutaan
•  saoa atau hauma
•  Jalangan (padang rumput) dan

jampalan (tempat
(pengembalaan)
•  Arena cadangan (Hauma
harajaon, tombak ripe, dll)
•  Daerah suci (parsombaonan,
solobean, parbeguan, saba
parhombanan, dll.)

• 
• 
• 
• 
• 

Asal-usul penguasaan tanah:
Tarombo sebagai sumber sejarah tanah
•  Pembukan lahan
–  Lahan huta induk sudah sempit sehingga huta baru perlu
didirikan
–  Adanya tradisi mengajurkan anak laki-laki sudah menikah
untuk hidup mandiri (manjae) dengan keluarganya; dan
–  Adanya perperangan atau perkelahian antar-saudara
sehingga salah satu pihak harus pindah keluar dari huta à
Pengusiran

• 
• 
• 
• 
• 

Pewarisan
Jual- Beli (ulos tu piso)
Pemberian
Gadai (dondon)
Kontrak

ANALISIS

Tantangan masyarakat adat dalam memenuhi ketentuan
peraturan perundang-undangan
•  Organisasi sosial yang memiliki kewenangan dan kecakapan untuk
mengurus urusan publik (bius dan huta) relaLf sudah sejak lama
memudar dan saat ini lebih banyak berfungsi sebagai idenLtas
sosial-budaya saja. Misalnya dalam konteks penyelenggaraan
paradotan.
•  Urusan penguasaan tanah berpusat kepada sistem kekerabatan
yang berpusat pada marga raja bersama marga boru-nya.
•  Dengan demikian, kapasitas masing-masing unit sosial tersebut
untuk mengakses proses poliLk legsilasi di parlemen daerah
ataupun di ranah eksekuLf relaLf sangat terbatas.
•  Ada tata-krama adat yang sulit untuk dilangkahi oleh pejabat
negara, yang bisa berdampak secara sosial-budaya dan juga
dukungan poliLk.
•  Pemberian otoritas penetapan pada pihak lain rawan menimbulkan
konflik harizontal, padahal sudah tersedia mekanisme internal
untuk menentukan keabsahan klaim parapihak dalam komunitas
yang bersangkutan.

Dengan demikian,
•  Pelaksanaan peraturan perundang-undangan terkait
pengakuan hak masyarakat adat atas tanah mengalami
hambatan dari sisi kuanLtas (begitu banyaknya subyek hak
yang harus diakui), dan dari kualitas (kemampuan masingmasing subyek hak itu mengakses proses-proses poliLk
legislasi dan eksekuLf).
•  Oleh sebab itu perlu dicari terobosan-terobosan hukum
(daerah) yang lebih memudahkan masyarakat adat, karena
pada dasarnya hak masyarakat adat atas tanah adalah hak
konsLtusional yang harus diupayakan pelaksanaannya oleh
pemerintah.
•  Terobosan itu dapat dilakukan melalui penyusunan dan
penetapan “Peraturan Daerah tentang Tata Cara
Pelindungan Hak Masyarakat Adat atas Tanah”

Permenagraria 5/1999
•  BAB II:
–  PELAKSANAAN PENGUASAAN TANAH ULAYAT

•  Pelaksanann hak ulayat sepanjang pada kenyataannya masih ada
dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan
menurut ketentuan hukum adat stempat.
•  Hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apanbila :
–  terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan
hukm adatnya sebgai warga bersama suatau persekutuan hukum
tertentu, yang mengakui dan menerpkan ketentuan-ketentuan
persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari,
–  terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para
warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil
keperluan hidupnya sehari-hari, dan
–  terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguaasaan
dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaaL oleh para
warga persekutuan hukum tersebut.

Permenagraria 5/1999
•  BAB III:
–  PENENTUAN MASIH ADANYA HAK ULAYAT DAN PENGATURAN LEBIH LANJUT
MENGENAI TANAH ULAYAT YANG BERSANGKUTAN

•  Pasal 5
–  PeneliLan dan penentuan masih adanya hak ulayat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan mengikutsertakan
para pakar hukum adat, masyarakat hukum adat yang ada di daerah yang
bersangkutan, Lembaga Swadaya Masyarakat dan instansi-instansi yang
mengelola sumber daya alam.
–  Keberadaan tanah ulayat masyarakat hukum adat yang masih ada
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dinyatakan dalam peta dasar pendanaran
tanah dengan membubuhkan suatu tanda kartografi dan, apabila
memungkinkan, menggambarkan batas-batasnya serta mencatatnya dalam
danar tanah.

•  Pasal 6
–  Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pasal 5 diatur dengan Peraturan
Daerah yang bersangkutan.

Langkah-langkah
•  Kajian Kerangka Hukum Pendukung di Tingkat Nasional
•  Studi Etnografi Tanah Adat
•  Penyusunan Naskah Akademik, dengan Ruang Lingkup
Pengaturan:
–  Landasan Hukum
–  Rincian Obyek, Subyek, dan Jenis Hak Atas Tanah Adat
–  Kelembagaan
–  Pendanaan
–  Mekanisme Penyelesaian Sengketa

•  Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang
Tata Cara Pengakuan dan Pendanaran Tanah Adat.

TERIMA KASIH