Literasi Media dan Konsumerisme Pemasara

Literasi Media dan Konsumerisme Pemasaran yang Berfokus Pada Anak-Anak
Oleh Blandina Sramova
Jurnal Procedia - Social and Behavioral Sciences 141 ( 2014 ) 1025 – 1030
Comenius University in Bratislava, Faculty of Education, Račianska 59, 813 34
Bratislava, Slovak Republic
Abstrak
Makalah ini menunjukkan pentingnya mengembangkan literasi media pada anak-anak,
yang lebih berfokus pada pemasaran kontemporer. Tujuan dari upaya pemasaran adalah
menempatkan lebih banyak tekanan pada orang tua anak untuk mempengaruhi proses dan
perilaku pengambilan keputusan belanja mereka terhadap pembelian produk yang diiklankan.
Penelitian ini dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama berfokus pada pemasaran yang
ditargetkan pada anak-anak, kemampuan kognitif untuk mengenali maksud persuasif dari
iklan tidak cukup sampai usia delapan. Pandangan kami didasarkan pada teori perkembangan
kognitif Pigeot. Berdasarkan teori ini , kita menjelaskan perkembangan pola perilaku
konsumen dikalangan anak-anak akan melalui empat tahap perkembangan (dari lahir sampai
usia 12 dan seterusnya). Kami menunjukkan bahwa pemahaman konten komersial tergantung
pada bagaimana kematangan proses kognitif dari individu. Hal yang sama penting adalah
untuk pengembangan perilaku konsumen dan kemampuan untuk membedakan antara
komersialisme dan realitas dalam iklan. Bagian kedua dari makalah ini adalah dampak
negatif dari komersialisasi pada perkembangan anak , seperti tingginya tingkat materialisme
yang ditemukan pada iklan negative yang mempengaruhi harga diri anak, orientasi nilai,

kebiasaan dan sikap. Bagian ketiga dari makalah ini menekankan pentingnya meningkatkan
literasi media baik di dalam keluarga dan di sekolah-sekolah dengan sarana pendidikan
literasi media.
1. Pendahuluan
Menyadari bahwa konsumen anak-anak memiliki kekuatan yang semakin meningkat dan
didukung meningkatnya perilaku belanja dari orang tua pada usia mereka, mendapat
perhatian lebih dari profesional pemasaran untuk konsumen anak-anak. Komersial tidak
disampaikan kepada anak-anak secara eksklusif dengan cara tradisional, tetapi ada metode
pemasaran baru dan media. Teknologi selalu lebih dimanfaatkan oleh berbagai perusahaan
komersial. Selain itu metode pemasaran ini diterapkan dalam konteks sekolah, misalnya
dengan cara penempatan produk dalam buku teks siswa atau materi pendidikan yang
disponsori perusahaan, yang bahkan lebih mendesak untuk kebutuhan yang lebih besar dalam
perlindungan perkembangan anak oleh orang tua dan guru.

Perusahaan menempatkan penekanan pada penciptaan asosiasi positif pada produk
mereka dengan mempengaruhi emosi konsumen, dan bekerja dengan premis bahwa dengan
memenuhi kebutuhan (yaitu, dengan membeli produk) konsumen dapat menghindari
kecemasan yang disebabkan oleh kurangnya pemenuhan kebutuhannya sosial (kebutuhan
untuk cinta, milik, hormat, dll) ( Moschis & Churchill , 1979 ; Buijzen & Valkenburg , 2003).
Hal ini juga diketahui bahwa berbagai merek ditargetkan pada anak-anak, yang berasal dari

ide bahwa sebelumnya seorang individu menjadi konsumen yang loyal, semakin lama
perusahaan akan mampu mempengaruhi keinginan dan preferensinya. Itulah mengapa begitu
banyak perusahaan berusaha untuk mengambil alih apa yang disebut ruang anak-anak,
meskipun mereka menawarkan produk-produk yang tidak berguna dan tidak terjangkau di
usia mereka (seperti mobil Ferrari).
Perilaku konsumen anak-anak dan remaja sering dipelajari sebagai bagian dari paradigma
berurusan dengan sosialisasi konsumen (Ward, 1974), yaitu sebuah proses di mana anak
mengadopsi keterampilan, pengetahuan, kebiasaan, kompetensi, dan sikap yang penting
untuk peran konsumen. Literatur ilmiah tidak memberikan definisi terpadu perilaku
konsumen. Ilmuan lain setuju, meskipun, konsumen adalah orang yang (1) memiliki beberapa
keinginan dan preferensi, (2) mencari cara dalam menemukannya , (3) memilih dan membeli,
serta ( 4 ) mengevaluasi produk dan alternatif (Mowen & minor 1998). Perhatian khusus
diberikan untuk pengembangan perilaku konsumen anak, yang berhubungan erat dengan
teori-teori perkembangan kognitif, berdasarkan teori J. Piaget (misalnya Flavell, Miller &
Miller, 2002; Valkenburg, 2000; McNeal 2007; Nairn & Fine, 2008), dengan teori
perkembangan hubungan interaktif anak - orang tua ( misalnya Kuczynski & Kochanska,
1990; Belk, 1988), model pemasaran (misalnya Acuff , 1997; McNeal, 1992), dan teori-teori
dari popularitas mainan dan cara-cara hiburan (Valkenburg, Cantor & Peeters, 2000).
Makalah ini menjelaskan perkembangan perilaku konsumen atas dasar teori perkembangan
kognitif.

2. Perkembangan Anak menjadi seorang konsumen
Pemasaran ditargetkan pada anak-anak dan remaja yang dipikirkan dan dikembangkan
dengan baik. Memfokuskan perhatian pada bagaimana proses pembelajaran berlangsung dan
bagaimana anak secara bertahap mengembangkan skema kognitifnya. Skema ini
membantunya memahami dunia, termasuk dunia perdagangan. Perkembangan perilaku
konsumen sering dijelaskan menggunakan teori perkembangan kognitif, yang menentukan
korelasi antara pemahaman tentang konten komersial dan tahap-tahap perkembangan
kognitif. Anak-anak mengalami kesulitan membedakan antara komersialisme dan realitas

dalam iklan, karena memahami kedua konsep ini tergantung pada seberapa matang proses
kognitif mereka.
Makalah kami berkaitan dengan perkembangan perilaku konsumen anak, berdasarkan
teori perkembangan kognitif. Salah satu teori yang paling umum digunakan dalam riset
pemasaran adalah teori perkembangan kognitif Jean Piaget (1999 ). Menurut teori ini,
perkembangan kognitif, dibagi oleh penulis menjadi empat tahap (Piaget, 1999), hal ini
penting bagi kemampuan individu dalam memecahkan kode pesan iklan yang ditujukan
untuknya.
Pertama dari empat tahap perkembangan kognitif, yang disebut tahap sensorimotor
(Piaget, 1999), adalah tahap di mana anak-anak mulai memahami dunia melalui kegiatan
koordinasi persepsi sensorik dan motorik. Anak belajar bagaimana memahami fakta bahwa ia

terpisah dari dunia di sekitarnya dan bahwa dunia ini ada meskipun ia tidak bisa melihatnya
(kita berbicara tentang pengembangan objek permanen). Pada usia empat bulan usia, bayi
tertarik pada program TV (misal Sesame Street, Teletubbies, di Lemish, 1987; Valkenburg &
Cantor, 2001). Pada usia delapan belas bulan, anak ingin orang tuanya untuk membelikan
produk tertentu untuknya (McNeal, 1992), ia dapat mengenali berbagai logo perusahaan
(Schor, 2004), dan mampu menemukan hubungan antara TV komersial dan produk yang
relevan di toko (Valkenburg & Cantor, 2001). Menurut model konseptual yang
dikembangkan oleh Valkenburg & Cantor (2001), menjelaskan bagaimana anak-anak
menjadi konsumen, usia 0 sampai 2 mewakili tahap di mana keinginan, keinginan dan
preferensi muncul. Namun, dalam tahap perkembangan ini, belum dapat dianggap
konsumerisme.
Menurut Piaget (1999), tahap perkembangan kedua dimulai ketika fungsi simbolik bahasa
terjadi pada anak-anak. Tahap ini disebut tahap pra - operasional . Para peneliti berpendapat
bahwa anak-anak pada tahap perkembangan kognitif pra operasional (usia 2 sampai 7 tahun)
tidak membedakan antara realitas media dan realitas sosial. Mereka tidak memahami maksud
persuasif dari iklan dan percaya bahwa segala sesuatu yang disajikan di media benar. Dalam
tahap perkembangan ini, anak tidak mengerti bahwa hal ini dapat dilihat dari berbagai sudut
pandang dan yakin bahwa sudut pandangnya adalah satu-satunya (yang disebut berpikir
egosentris). Tahap praoperasional dibagi menjadi dua sub-tahap – sub-tahap fungsi simbolik
(dari 2 sampai 4 tahun) dan sub-tahap pikiran intuitif (4-7 tahun). Anak-anak berusia 2

sampai 4 dapat berpikir dal am simbol dan gambar. Bermain imajinatif mencapai puncaknya
antara usia 4 sampai 7. Anak menjadi pengguna aktif media yang lebih memilih hiburan dan
petualangan, objek visual, dan juga tokoh-tokoh kartun dan tokoh kartun animasi, seperti

hewan dan anak-anak (Kirkorian, Wartella & Anderson, 2008; Acuff, 1997; Lemish, 2007).
Mempertimbangkan perilaku konsumen, kita sekarang dapat menyaksikan perilaku keras
kepala, marah dan kesal pada anak-anak (yang disebut faktor nag) sebagai cara untuk
membuat orang tua mereka membelikannya produk tertentu di toko (Valkenburg & Cantor,
2001). Perilaku tersebut menggambarkan hubungan dengan fakta bahwa anak menyadari
keberadaannya sebagai individu yang memiliki kebutuhan dan keinginannya sendiri. Dari
sudut pandang perkembangan, ini merupakan tonggak perkembangan alami, sering dicap
sebagai tahap di mana anak mulai bertindak mengeluarkan amarahnya (Šramová, 2007).
Anak-anak yang lebih tua mendapatkan apa yang mereka inginkan dengan cara-cara yang
lebih canggih seperti negosiasi. Dengan cara ini memainkan peranan penting baik dalam
komunikasi keluarga (Kuczynki & Kochanska, 1990) dan dalam mempengaruhi belanja
keluarga (McNeal, 1992). Anak-anak sendiri menjadi pembeli independen dari kehadiran
orang tua mereka saat melakukan belanja kira-kira pada usia 5 (Valkenburg & Cantor, 2001).
Tahap operasional konkret (antara usia 7 sampai 12) adalah tahap ketiga dari
perkembangan kognitif (Piaget, 1999). Ini adalah tahap di mana mengembangkan pemikiran
anak dan struktur logis diciptakan. Struktur ini visual, yaitu mereka terhubung dengan bendabenda tertentu. Pada tahap ini, individu mampu membedakan antara pendapatnya sendiri, dan

opini orang lain. Namun, kemampuannya untuk membedakan antara fantasi dan kenyataan
masih kekal. Oleh karena itu, penafsiran konten, termasuk konten media, terdistorsi. Namun
demikian, dibandingkan dengan tahap perkembangan sebelumnya, pandangannya dari dunia
sekarang lebih realistis. DIa sangat kritis terhadap isi hiburan dan komersial yang kurang
realisme (Acuff, 1997), dan mampu mengenali lebih dari seratus merek (Schor, 2004).
Kemampuannya untuk membedakan konten komersial di iklan sekarang jauh lebih canggih
(John, 1999). Ia menjadi pembelanja independen dan materialismenya meningkat (Schor,
2004). Ia juga merasa tertarik dengan olahraga yang nyata dan pahlawan media (Acuff,
1997). Menurut Lemish (2007), dalam tahap perkembangan ini, anak-anak kehilangan minat
pada saluran anak dan menjadi tertarik pada film komedi keluarga, drama, kuis, reality TV,
olahraga dan saluran musik. Mengingat hubungan sosial mereka, kita bisa melihat
peningkatan interaktivitas dalam kelompok sebaya mereka, yang mulai mempengaruhi
preferensi konsumen dan itu dilihatnya dari sesuatu yang dianggap "keren".
Menurut Piaget (1999), dalam tahap terakhir dari perkembangan kognitif, yang disebut
tahap operasional formal (di luar usia 12), individu mampu bekerja secara logis dengan
simbol-simbol yang berkaitan dengan konsep-konsep abstrak. Ia mampu memahami motif
dari pengiklan dan dapat menjadi kritis dari iklan (Calvert, 2008). Hal ini tidak biasa baginya

untuk memperhatikan isu-isu sosial, politik, etis dan ideologis. Dibandingkan dengan tahap
sebelumnya, tahap perkembangan kognitif ditandai oleh materialisme yang kuat dan

identifikasi pada selebriti (Šramová, 2012), serta dengan menggunakan media interaktif untuk
membeli produk (Chen & Cheng , 2009). Juga, pengaruh teman sebaya menjadi lebih
dominan sehubungan dengan perilaku individual konsumen, preferensi merek dan loyalitas
merek (Šramová, Džupina & Jurášková , 2013).
Perilaku konsumen juga terus berkembang di masa dewasa. Namun, itu hanya tahap
sebelum dewasa yang dianggap batu loncatan untuk pengembangan lebih lanjut. Ini adalah
periode waktu di mana pendapat konsumen, keinginan, kebiasaan dan perilaku dapat secara
signifikan dipengaruhi.
3. Efek Negatif dari Komersialisasi
Komersialisasi, berdasarkan konsumerisme sebagai cara hidup , secara luas dibahas
dalam media dan sering dikritik karena dampak negatif pada kehidupan konsumen.
Pemasaran menawarkan produk ke individu yang menyiratkan bahwa jika ia memiliki produk
yang disajikan dan jika ia memiliki banyak produk tersebut ia akan bahagia, puas dan
menarik bagi orang lain. Namun, ini hanya sebuah ilusi, karena nilai-nilai ini tidak
berhubungan langsung untuk mengulang pembelian atau merupakan suatu akumulasi.
Dengan cara ini, konsumen menghabiskan banyak waktu untuk mengkonsumsi hal yang
merugikan kegiatan alami non - materialistik (misal menghabiskan waktu dengan keluarga,
dengan teman-teman , menciptakan sesuatu, dll ).
Kegiatan pemasaran mengakibatkan peningkatan komersialisasi secara khusus dikritik
karena alasan berikut. Dalam kegiatan ini, cara-cara manipulatif produk dan presentasi

layanan yang digunakan, aspek perkembangan tidak dihormati, dan anak-anak naif, imajinasi,
rasa ingin tahu dan keinginan untuk meningkatkan keuntungan dari bahan konsumsi mereka.
Para orang tua dan guru tidak dipersiapkan dengan baik untuk proses ini, yang selanjutnya
meningkatkan bahaya pengaruh tersebut, seperti dicatat oleh beberapa penulis (Schor, 2004 ;
McNeal , 2007).
Hal ini sangat jelas di negara-negara pasca - komunis , di mana konsumen tidak bisa
membangun kebiasaan konsumen mereka seiring dengan perkembangan bertahap dari iklan.
Mereka tidak siap untuk "invasi" iklan setelah tahun 1989, ketika perbatasan dibuka.
Komersialisasi dimulai di masa kecil dan, menurut temuan di Schor (2004),
komersialisasi masa kanak-kanak adalah didasarkan pada gender. Ilmuan mempelajari catatan
perkembangan anak bahwa produk yang ditargetkan untuk anak laki-laki mempromosikan
perilaku agresif dan kekerasan serta berisiko terjadi kecanduan (seperti kecanduan video

game). Anak perempuan terancam oleh distorsi citra tubuh, yang dapat menyebabkan
kebiasaan makan disfungsional, rendah diri dan self-assessment, memburuknya hubungan
sosial, dan ketidaknyamanan hidup (Ravitch & Viteritti, 2003; Schor, 2004; Šramová 2010 ).
Orang muda cenderung ditarik ke dalam dunia orang dewasa saat ini (Hellus, 2004;.
Vysekalová et al, 2011). Menurut Postman (1994), kita dapat melihat "penurunan masa
kecil", yaitu, jumlah game khusus anak-anak dan pakaian anak-anak menurun, anak-anak
eroticized oleh iklan dan pakaian, usia rata-rata penyalahgunaan narkoba dan alkohol yang

masih muda, dll . (Saffer & Dhaval, 2005;. Sargent et al, 2004). Mall menawarkan produk
bagi konsumen yang sangat menarik untuk anak-anak dan pusat perbelanjaan yang sering
disesuaikan dengan arsitek, masyarakat post-modern saat ini, berorientasi pada konsumsi.
Anak-anak menghabiskan banyak waktu di toko-toko dan media lingkungan serta kurang
waktu dengan orang tua, teman-teman, melakukan olahraga, komunikasi pribadi, yang
semuanya memiliki efek buruk pada proses sosialisasi serta perkembangan kognitif dan
moral mereka (Šramová 2007 ). Dokter anak memperingatkan bahwa obesitas pada anakanak terus meningkat. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa anak-anak tidak hanya
menghabiskan waktu luang mereka yang tidak aktif, tetapi mereka juga mengkonsumsi
makanan berkalori tinggi dan minuman dengan nilai gizi yang rendah, yang mereka beli
karena terpengaruh oleh iklan catchy (Calvert, 2008; The Henry J. Kaiser Family foundation,
2004). Untuk mencapai hal ini, tidak hanya metode tradisional yang digunakan dalam
pemasaran. Juga, cara-cara yang lebih dekat dengan dunia fantasi anak serta mainan yang
digunakan. Hal ini tidak biasa untuk melihat sudut anak dengan mainan terutama di restoran
cepat saji. Kadang-kadang, menu anak berisi mainan. Dengan demikian, jenis makan dan
minum ini menarik bagi anak-anak dan kebiasaan makan yang tidak sehat, yang dapat
berlnjut hingga dewasa. Sebagai hasil dari ekspansi teknologi baru (misalnya perluasan
Internet dan ponsel), komersialisasi masa kanak-kanak terjadi lebih cepat dan lebih mudah
untuk dicapai. Ini adalah alasan mengapa sangat penting untuk mengajarkan anak-anak, baik
di dalam keluarga dan di sekolah (sebagai bagian dari pendidikan literasi media), bagaimana
menjadi konsumen yang bertanggung jawab.

4. Literasi Media dan Perilaku Konsumen
Media literasi, yaitu kemampuan individu untuk menganalisis, mengevaluasi dan
membuat informasi untuk berbagai jenis media dengan cara menggunakan genre sastra dan
bentuk yang berbeda, adalah salah satu cara untuk melindungi anak-anak dan remaja dari
dampak yang tidak menguntungkan dari komersialisasi. Media literasi adalah kemampuan
individu untuk memahami bagaimana kerja media massa, bagaimana mereka membuat dan

mengatur pesan mereka, dan bagaimana pesan ini kemudian disampaikan kepada khalayak
mereka. Di sekolah, pendidikan literasi media terutama bertujuan untuk secara bertahap
mengembangkan pemikiran dan keterampilan kritis prroduksi media, yang sangat berguna
bagi setiap orang yang menetap di masa teknologi informasi. Di satu sisi, individu akrab
dengan cara kerja media saaat ini serta dengan peran yang mereka mainkan dalam
masyarakat. Di sisi lain, ia belajar bagaimana berurusan dengan media, bagaimana
berkomunikasi dengan mereka, bagaimana menafsirkan isi yang mereka dapatkan, dll
(Hradiská, Brečka & Vybiral, 2009). Dengan cara ini, literasi media menyediakan individu
dengan keterampilan yang memungkinkannya untuk menganalisis secara kritis media
informasi, menggunakan potensi kreatifnya ketika mengembangkan pesan media, dll Dengan
demikian, ia mampu mengevaluasi secara kritis konten media, untuk aktif memilih di antara
berbagai penawaran media, dan tidak hanya untuk pasif menerima konten media yang
ditawarkan.

Mengembangkan literasi media harus disertai dengan pendidikan yang mengarah ke
pengembangan dari perilaku konsumen dari usia dini, karena anak-anak terkena iklan dan
pemasaran sejak lahir. Oleh karena itu, orang tua memainkan bagian penting dalam
melakukan pendekatan terhadap keinginan dan tuntutan anak mereka terkait dengan
pembelian produk yang diiklankan, meskipun hal tersebut tidak baik untuk kesehatan, seperti
makanan berkalori tinggi dengan nilai gizi yang rendah. Orang tua seharusnya tidak hanya
memilih program-program yang cocok untuk anak-anak dan memonitor waktu yang
dihabiskan oleh anak di dunia media (konsumsi media), tetapi mereka juga harus menonton
program bersama dengan anak-anak mereka, terutama jika mereka memiliki anak-anak prasekolah. Hal ini memungkinkan orang tua untuk membahas konten media secara aktif dengan
anak-anak mereka, sehingga membantu mereka memahami pesan media serta untuk
membantu mereka membuat pandangan mereka sendiri terhadap konten media. Hal ini
terutama berlaku untuk menciptakan pemandangan kegiatan pemasaran yang bertujuan untuk
meningkatkan konsumsi, yang mengarah ke gaya hidup yang tidak sehat, dll. Namun,
mengadopsi tindakan pembatasan, seperti mengeluarkan larangan iklan yang ditujukan pada
anak di bawah usia tertentu (biasanya di bawah usia 12, Valkenburg, 2000), yang digunakan
untuk melindungi anak-anak sebagai konsumen, tidak dapat dianggap cukup kecuali kedua
orang tua dan sekolah, sebagai dua kelompok sosialisasi yang paling mempengaruhi
perkembangan anak, juga terlibat dalam proses yang diberikan.
5. Kesimpulan

Mendidik dan melatih anak-anak dalam perilaku kritis konsumen, memperoleh sikap
efektif dan keterampilan yang berkaitan dengan konsumen serta perilaku belanja (sosialisasi
konsumen) merupakan hal penting, karena perusahaan dengan strategi " cradle - to-grave "
mencoba untuk menarik anak-anak sedini mungkin kemudian mendapatkan loyalitas jangka
panjang mereka. Mereka memanfaatkan berbagai sarana dan cara (yang belum tentu
menghormati aspek perkembangan dan prinsip-prinsip moral ) untuk sedekat mungkin
dengan anak-anak (contoh sekolah, taman bermain). Meningkatkan literasi media adalah
salah satu cara untuk membantu anak-anak memahami pesan pemasaran dan membantu
mereka memahami maksud persuasif dari iklan dan teknik yang digunakan dalam public
relations. Memahami media sebagai alat membantu individu membuat citra mereka dari
dunia, meskipun juga mendistorsi gambar, harus menjadi salah satu tujuan utama dalam
mengembangkan literasi media baik di dalam keluarga dan di sekolah.