BAB II LANDASAN TEORI - Pengaruh Job Insecurity Terhadap Turnover Intentions Pada Pegawai Perusahaan Merger

BAB II LANDASAN TEORI A. Turnover Intentions A.1. Defenisi Intention Fishbein dan Ajzen (1975) mengajukan teori pembentukan tingkah laku

  yang dibangun dengan adanya hubungan timbal balik antara kepercayaan (belief), sikap (attitude) dan intensi (intention). Sikap (attitude) adalah bagaimana seseorang berpendapat, berpandangan atau evaluasi terhadap objek. Kepercayaan (belief) merupakan informasi yang dimiliki seseorang mengenai objek. Intensi merupakan intensi individu untuk menunjukkan suatu perilaku. Selanjutnya dalam Fishbein & Ajzen (1975) dijelaskan bahwa intensi terdiri atas empat elemen, yaitu tingkah laku, target yang akan dikenakan perilaku, situasi dimana perilaku akan ditunjukkan dan waktu tindakan tersebut ditunjukkan.

  Kemudian, Fishbein & Ajzen (1975) mengemukakan theory of reasoned

  behavior yang menjelaskan bahwa terdapat dua faktor penentu terjadinya intensi

  yaitu attitude toward the behavior dan subjective norms. Attitude toward the

  behavior merupakan sikap seseorang berdasarkan pandangan dan evaluasi

  terhadap suatu perilaku, dan subjective norms merupakan bagaimana persepsi seseorang terhadap objek dengan mempertimbangkan pendapat orang-orang yang berpengaruh baginya.

  Selanjutnya Ajzen (1991) mengemukakan theory of planned behavior yang merupakan modifikasi dari theory of reasoned behavior. Teori ini dapat dipergunakan untuk memperediksikan dan menjelaskan tingkah laku manusia pada konteks spesifik. Teori ini berisikan penambahan atas faktor intensi, yaitu penambahan faktor perceived behavioral control. Perceived behavioral control merupakan bagaimana kontrol seseorang terhadap suatu perilaku, dimana hal ini didukung dengan sejauhmana seseorang memiliki kesempatan, sumber daya yang dibutuhkan dan bermaksud untuk melakukan suatu tindakan yang akan dia lakukan.

  Dengan kata lain, berdasarkan theory of planned behavior, intensi dipandang sebagai determinan terdekat dari perilaku yang terlihat Gambar 1. Theory of planned behavior

  A.2. Aspek-Aspek Intention

  Berdasarkan theory of planned behavior Ajzen (1991), intensi terdiri atas : 1. Attitude toward the behavior

  Aspek ini menjelaskan bagaimana sikap seseorang berdasarkan pandangan dan evaluasi terhadap objek atau perilaku.

  2. Subjective norms Aspek ini berisikan bagaimana persepsi seseorang terhadap objek dengan mempertimbangkan pendapat orang-orang yang berpengaruh baginya.

  3. Perceived behavioral control Aspek ini menjelaskan bagaimana kontrol seseorang terhadap suatu perilaku, dimana hal ini didukung dengan sejauhmana seseorang memiliki kesempatan, sumber daya yang dibutuhkan dan bermaksud untuk melakukan suatu tindakan yang akan dia lakukan

  A.3. Defenisi Turnover Turnover menurut Cascio (1998) adalah berhentinya hubungan kerja

  karyawan dan perusahaannya. Sementara (Mobley, 1982 ; Jewell & Siegall, 1998) berpendapat bahwa turnover bukan merupakan pelarian, penghindaran, atau “penarikan diri” dari pekerjaan yang tidak memuaskan dan penuh stress melainkan karena adanya alternatif pekerjaan lain. Price (2001) mendefinisikan

  turnover sebagai pindahnya individu dari keanggotaan dalam suatu organisasi.

  Sementara itu menurut (Bluedorn, 1993 ; Jewell & Siegall, 1998) istilah

  turnover dalam kepustakaan industri dan organisasi dibedakan menjadi dua, yaitu pengertian umum dan khusus. Dalam pengertian umum, turnover mengacu pada perubahan dalam keanggotaan dari organisasi dimana posisi yang ditinggalkan oleh pemegang jabatan yang keluar dari organisasi digantikan oleh pendatang baru, sementara dalam pengertian khusus, turnover mengacu pada anggota organisasi yang keluar.

  Berdasarkan pemaparan definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa turnover adalah berhentinya hubungan kerja karyawan dengan perusahaan tempatnya bekerja.

  A.4. Jenis-jenis Turnover

  Menurut Price (2001) turnover dibagi menjadi dua macam, yaitu sukarela dan tidak sukarela. Turnover sukarela (voluntary turnover) adalah keluarnya karyawan dari perusahaan dengan kemauannya sendiri. Sementara Turnover tidak sukarela (involuntary turnover) adalah keluarnya karyawan berdasarkan keputusan perusahaan.

  Sementara menurut (Dalton, Tudor, & Krackhard, 1987 ; Jewell & Siegall, 1998) terdapat organisasi yang tidak keberatan atas turnover sukarela karyawannya, sehingga turnover sukarela dibagi menjadi fungsional dan

  disfungsional. Turnover disfungsional terjadi apabila karyawan yang meninggalkan organisasi adalah karyawan yang ingin dipertahankan organisasi.

  Sementara karyawan yang meninggalkan organisasi dan organisasi tidak keberatan disebut dengan turnover fungsional.

  Dari penjelasan diatas diketahui bahwa terdapat empat jenis pembagian yang dibagi atas keadaan karyawan saat keluar dan bagaimana

  turnover intentions

  dari sisi organisasi tempatnya bekerja. Pada penelitian ini turnover yang dimaksudkan adalah turnover sukarela (voluntary turnover).

  A.5. Defenisi Turnover Intention

  diindikasikan sebagai sifat individu yang mengacu pada

  Turnover Intentions

  hasil evaluasi mengenai kelangsungan hubungannya dengan organisasi dimana dirinya bekerja dan belum terwujud dalam bentuk tindakan (Suwandi dan Indrantoro, 1999). Sementara menurut Mobley (2011) turnover intentions merupakan prediktor dominan yang bersifat positif terhadap terjadinya turnover.

  Berdasarkan definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa turnover intentions adalah intensi karyawan untuk berhenti dari pekerjaan dimana ia bekerja selama ini.

  A.6. Aspek-Aspek Turnover Intention

  Berdasarkan aspek-aspek intensi yang dikemukakan Ajzen (1991) melalui

  

theory of planned behavior dan perilaku yang dimaksudkan adalah turnover, maka

  dikembangkan aspek-aspek turnover intentions, yaitu : a.

  Attitude toward turnover Aspek ini menjelaskan bagaimana sikap seseorang berdasarkan pandangan dan evaluasi terhadap turnover. b.

  Subjective norms Aspek ini berisikan bagaimana persepsi seseorang dengan mempertimbangkan pendapat orang-orang yang berpengaruh baginya terhadap turnover.

  c.

  Perceived behavioral control Aspek ini menjelaskan bagaimana kontrol seseorang terhadap turnover, dimana hal ini didukung dengan sejauhmana seseorang memiliki kesempatan, sumber daya yang dibutuhkan dan bermaksud untuk melakukan turnover.

  A.7. Faktor-Faktor Turnover

  Price (2001) mengemukakan beberapa faktor yang mendukung terjadinya

  turnover , yaitu: a.

  Opportunity, yaitu adanya ketersediaan alternatif pekerjaan lain dan daya tarik lingkungan, daya tarik lingkungan mengacu pada tingkat gaji yang lebih tinggi. Faktor ini memiliki hubungan positif dengan tindakan turnover .

  b.

  Kinship responsibility, yaitu adanya kewajiban terhadap kerabat yang tinggal di masyarakat, seperti orang tua, kakek dan nenek. Faktor ini memiliki hubungan negatif dengan tindakan turnover.

  c.

  General training, yaitu pelatihan yang diberikan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan karyawan yang dibutuhkan perusahaan.

  Faktor ini memiliki hubungan negatif dengan turnover. d.

  Job satisfaction, merupakan bagaimana seorang individu menyukai pekerjaannya. Faktor ini memiliki hubungan negatif dengan turnover, dan juga memililki hubungan negatif dengan job insecurity, tetapi job

  satisfaction ini juga dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :

  a) Job involvement, merupakan kemauan untuk mengerahkan usaha pada pekerjaan tanpa mengacu kepada pekerjaan spesifik. Faktor ini dapat mengurangi turnover dikarenakan memberikan pengaruh positif terhadap kepuasan kerja b)

  Positive and negative affectivity, merupakan kecenderungan seseorang mengalami keadaan yang menyenangkan atau tidak menyenangkan. Faktor ini mempengaruhi kepuasan kerja sesuai dengan perspektif subjektif masing-masing individu, apabila yang dirasakan negative affectivity maka akan menurunkan kepuasan kerja dan dapat meningkatkan turnover.

  c) Autonomy, merupakan sejauh mana individu dapat mandiri terhadap pekerjaannya. Faktor ini dapat mengurangi turnover dikarenkan memberikan efek positif pada kepuasan kerja.

  d) Distributive justice, seperti apa reward ataupun punishment yang diberikan perusahaan terhadap performa kerja individu. Faktor ini memberikan pengaruh positif terhadap kepuasan kerja sehingga mengurangi turnover.

  e) Job stress, sejauh mana individu merasakan kesulitan untuk memenuhi kewajiban atas pekerjaannya. Dimana stress yang dirasakan karyawan dapat mempengaruhi kinerja dan berhubungan positif dengan job insecurity. Faktor ini mengurangi turnover dikarenakan memberikan efek negatif terhadap kepuasan kerja.

  f) Pay, merupakan uang atau imbalan yang diterima individu atas kinerja yang telah mereka berikan. Faktor ini memberikan efek positif terhadap kepuasan kerja sehingga dapat mengurangi turnover.

  g) Promotional chances, tingkat potensi mobilitas pekerjaan dalam sebuah organisasi. Faktor ini mengurangi turnover dengan memberikan dampak positif terhadap kepuasan kerja.

  h) Routinization, sejauh mana suatu pekerjaan dilakukan berulang- ulang oleh individu. Faktor ini mengurangi turnover dengan memberikan dampak negatif terhadap kepuasan kerja. i)

  Social support, bagaimana dukungan yang didapat untuk menghadapi masalah dalam pekerjaan. Dukungan dari pengawas dalam perusahaan dan dukungan dari rekan kerja memberikan dampak positif terhadap kepuasan kerja dan mengurangi turnover.

  e.

  Organizational commitment, berfokus kepada loyalitas individu terhadap pekerjaannya. Faktor ini memiliki hubungan negatif dengan turnover dan berhubungan negatif dengan job insecurity, tetapi faktor ini juga dipengaruhi beberapa faktor, yaitu:

  a) Distributive justice, faktor ini memberikan efek positif terhadap organizational commitment b) Promotional chances, faktor ini memberikan efek positif terhadap

  , dan

  organizational commitment

  c) Social support, dukungan yang didapat dari pengawas juga memberikan efek positif terhadap organizational commitment.

  f.

  Search behavior, tindakan individu untuk mecari alternative pekerjaan lain. Faktor ini meningkatkan terjadinya turnover.

  g.

  Intent to stay, individu merencanakan untuk tetap bekerja di perusahaan tempatnya bekerja. Faktor ini mengurangi terjadinya turnover.

  Beberapa faktor turnover diatas seperti, organizational commitment dan job

  satisfaction memiliki hubungan negatif dengan job insecurity (Ashford, Lee, & Bobko, 1989).

B. Job Insecurity B.1. Defenisi Job Insecurity

  Job insecurity menurut (Kuhnert, Sims, & Lahey, 1989 ; Jewell, 1998)

  merupakan ketakutan kehilangan pekerjaan ketika tidak memadai kinerja, usia atau alasan lain yang merupakan stressor yang berkelanjutan bagi banyak karyawan organisasi.

  Ashford, Lee, dan Bobko (1989) mengatakan bahwa job insecurity merupakan suatu tingkat dimana para pekerja merasa pekerjaannya terancam dan merasa tidak berdaya untuk melakukan apapun terhadap situasi tersebut. Job

  insecurity dirasakan tidak hanya disebabkan oleh ancaman terhadap kehilangan pekerjaan, tetapi juga kehilangan bagian dari pekerjaan.

  Burchell, Ladipo, & Wilkinson (2002) mendefinisikan job insecurity sebagai perasaan subjektif karyawan mengenai resiko kehilangan pekerjaan.

  Dapat disimpulkan bahwa job insecurity merupakan penilaian karyawan terhadap pekerjaannya yang menyebabkan dirinya merasa pekerjaannya terancam dan merasa tidak berdaya untuk melakukan apapun terhadap situasi tersebut.

  B.2. Aspek-aspek Job Insecurity

  Konstruk job insecurity menurut (Greenhalgh dan Rosenblatt, 1984 ; Ashford, Lee & Bobko, 1989) terdiri dari lima komponen, yaitu penerimaan ancaman pada berbagai kejadian kerja, derajat kepentingan tiap kejadian kerja bagi individu, penerimaan ancaman pada berbagai fitur kerja, derajat kepentingan tiap fitur kerja bagi individu, dan powerlessness.

  Selanjutnya Ashford, Lee & Bobko (1989) menggabungkan komponen pertama dan kedua, lalu menggabungkan komponen ketiga dengan keempat sehingga menjadi tiga komponen, yaitu: pertama adalah perasaan terancam pada total pekerjaan seseorang, yaitu kehilangan keseluruhan atau banyaknya pekerjaan yang dimiliki, misalnya seseorang dipindahkan ke posisi yang lebih rendah dalam organisasi, dipindahkan ke pekerjaan lain dengan level yang sama dalam organisasi atau diberhentikan sementara. Kehilangan pekerjaan mungkin dapat terjadi secara permanen atau seseorang mungkin dipecat atau dipaksa pensiun terlalu awal.

  Komponen kedua job insecurity adalah perasaan terancam terhadap tampilan kerja (job features), yaitu kehilangan bagian-bagian dari pekerjaan. Misalnya, perubahan organisasional mungkin menyebabkan seseorang kesulitan mengalami kemajuan dalam organisasi, mengalami pengurangan wewenang (otoritas) untuk mengerjakan pekerjaan sesuai dengan kehendaknya, dan dalam hal pengambilan keputusan.

  Komponen ketiga, job insecurity mungkin berperan dalam perasaan seseorang terhadap kurangnya kontrol atau ketidakmampuan untuk mengendalikan kejadian kejadian di lingkungan kerjanya yaitu perasaan tidak berdaya (powerlessness).

  Berdasarkan pemaparan diatas, telah terjadi penggabungan komponen dari Ashford, Lee & Bobko mengenai aspek-aspek job insecurity menjadi tiga dimensi yaitu perasaan terancam pada total pekerjaan, perasaan terancam terhadap tampilan kerja dan powerlessness.

  B.3. Dampak Job Insecurity

1. Bagi Perusahaan

  Job insecurity pada pegawai perlu dipahami perusahaan dikarenakan job insecurity mempengaruhi perilaku dan kinerja/performa dari perusahaan sendiri.

  Hal tersebut dapat terjadi karena job insecurity dapat mengganggu semangat kerja karyawan sehingga efektifitas dan efisiensi dalam melaksanakan tugas tidak maksimal dan mengakibatkan turunnya produktivitas kerja (Ermawan, 2007).

  Konsekuensi yang ditimbulkan job insecurity dari beberapa studi adalah

  job insecurity meningkatkan kecenderungan karyawan untuk meninggalkan organisasi tempat mereka bekerja (Ashford, Lee, & Bobko, 1989).

2. Bagi Karyawan

  Selain dampak bagi perusahaan, job insecurity juga berdampak bagi karyawan yang merasakan job insecurity secara langsung. Berdasarkan hasil penelitian Burgard (2006) didapat hasil bahwa pekerja yang merasa khawatir akan kehilangan pekerjaan secara berlebihan, akan berdampak pada kesehatan karyawan dan tingkat depresi yang tinggi walaupun pegawai telah melakukan penyesuaian sosial dan demografi.

C. Merger

  Undang Undang No.40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, ayat 1 menyatakan bahwa Merger adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Perseroan lain yang telah ada mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Perseroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada Perseroan yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum Perseroan yang menggabungkan diri berakhir secara hukum (Manurung, 2011) Menurut Manurung (2011) merger berasal dari bahasa latin yaitu Mergere, yang mempunyai arti bergabung bersama, menyatu, berkombinasi, yang menyebabkan hilangnya perusahaan yang digabungkan.

  Menurut (Sartono, 2005 ; Fahlevi, 2011) merger merupakan penggabungan dua atau lebih perusahaan yang melebur menjadi satu perusahaan baru.

  Perusahaan yang memiliki asset dan tingkat keuntungan lebih besar akan dibiarkan berdiri, sementara perusahaan yang memiliki ukuran lebih kecil akan dibubarkan.

  Merger adalah bergabungnya dua atau lebih perusahaan untuk beroperasi di masa mendatang dimana salah satu perusahaan tidak beroperasi lagi (hilang).

  Perusahaan yang beroperasi dapat berganti nama setelah merger dilakukan untuk menyatakan operasi perusahaan. Perusahaan yang digabungkan harus dileburkan atau dibubarkan untuk menyatakan telah terjadi penggabungan perusahaan (Reed and Lajoux, 1999 ; Manurung, 2011)

  Menurut Manurung (2011) menggabungkan dua atau lebih perusahaan berarti menggabungkan aset, struktur organisasi, sumber daya manusia, budaya dan tanggung jawab antar dua perusahaan. Penggabungan yang pertama adalah penggabungan aset dengan cara menggunakan perubahan nama secara akta yang dibuat notaris. Kedua adalah penggabungan struktur untuk dijadikan landasan struktur organisasi ke depan. Ketiga adalah penggabungan sumber daya manusia (SDM) dua perusahaan yang masing-masing SDM telah memiliki cara berpikir berbeda pada perusahaan terdahulu, pada tahap ini dilakukan rekam jejak SDM untuk mendapatkan kemampuan SDM dan memilih SDM yang berkualitas untuk posisi-posisi penting di perusahaan. Keempat adalah penggabungan budaya, dimana budaya yang baik di masing-masing perusahaan disatukan sehingga SDM dapat menyadari untuk membuat yang terbaik bagi kelangsungan perusahaan.

  Kelima adalah tanggung jawab, penggabungan tanggung jawab dapat dilakukan dengan pertemuan antara manajemen dan karyawan.

  Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa merger adalah proses penggabungan dua atau lebih perusahaan dimana dalam proses penggabungan tersebut salah satu perusahaan dinyatakan bubar secara hukum.

D. Pengaruh Job Insecurity Terhadap Turnover Intentions

  Berbagai perubahan yang terjadi dalam organisasi sangat memungkinkan munculnya perasaan terancam, gelisah dan tidak aman yang dirasakan karyawan dalam pekerjaannya (Greenhalgh & Rosenblatt, 1984 ; Ashford, Lee & Bobko, 1989). Job insecurity memiliki dampak negatif yang muncul ketika kondisi tersebut terjadi secara terus-menerus pada karyawan. Hal tersebut dapat mengganggu semangat kerja karyawan sehingga efektifitas dan efisiensi dalam melaksanakan tugas tidak maksimal dan menyebabkan turunnya produktifitas kerja (Ermawan, 2007)

  Salah satu bentuk perubahan dalam organisasi adalah penggabungan organisasi yaitu merger dan akuisisi. Merger adalah kombinasi antara dua atau lebih perusahaan yang melebur menjadi satu perusahaan baru. Dalam peleburan perusahaan (merger) berarti melakukan penggabungan aset, struktur organisasi, sumber daya manusia, budaya dan tanggung jawab antar dua perusahaan (Manurung, 2011). Ketika melakukan perubahan-perubahan tersebut memerlukan strategi adaptasi yang tepat. Apabila strategi adaptasi yang digunakan tidak tepat, maka karyawan dapat merasakan ketidakpastian (uncertainty) yang menyebabkan karyawan enggan melakukan perubahan sehingga dapat membentuk ketidaknyamanan dan berakhir pada job insecurity (Burchel, 1994 ; Pradiansyah, 1999).

  Berdasarkan hasil penelitian Pasewark dan Strawser (1996) menunjukkan bahwa job insecurity merupakan salah satu faktor yang menyebabkan seseorang memilih bertahan dengan pekerjaannya atau tidak. Individu yang mengalami tekanan job insecurity memiliki alasan rasional untuk mencari alternative pekerjaan lain yang dapat mendukung kelanjutan dan memberikan rasa aman bagi kariernya atau disebut dengan turnover (Greenhalgh dan Rosenblat, 1984 ; Ashford, Lee & Bobko, 1989).

  Berdasarkan teori pembentukan tingkah laku Fishbein & Ajzen (1975) terdapat intensi yang dapat memprediksikan munculnya perilaku. Dalam hal ini intensi untuk turnover dikenal dengan istilah turnover intentions. Turnover

  intentions diindikasikan sebagai sikap individu yang mengacu pada hasil evaluasi

  mengenai kelangsungan hubungannya dengan organisasi tempatnya bekerja dan belum terwujud dalam bentuk tindakan pasti (Suwandi dan Indrantoro, 1999).

  Ruvio dan Rosenblat (1999) menyatakan bahwa job insecurity juga terbukti sebagai salah satu penyebab munculnya intensi (keinginan) keluar seseorang dari pekerjaan. Penelitian Irwandi (2002) juga menunjukkan bahwa job insecurity memiliki pengaruh positif terhadap turnover intentions.

  Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu dan teori-teori yang telah dikemukakan oleh para ahli di atas maka peneliti tertarik untuk melihat apakah

  job insecurity berpengaruh terhadap turnover intentions pada pegawai perusahaan merger .

E. Hipotesa Penelitian

  Berdasarkan penjelasan diatas, maka hipotesa yang diajukan pada penelitian adalah ada pengaruh positif job insecurity terhadap turnover intentions pada pegawai perusahaan merger.