Pengaruh Job Insecurity dan Job Involvement terhadap Kesiapan Berubah Karyawan pada Perusahaan Telekomunikasi

(1)

PENGARUH JOB INSECURITY DAN JOB INVOLVEMENT

TERHADAP KESIAPAN BERUBAH KARYAWAN

PADA PERUSAHAAN TELEKOMUNIKASI

(The Influences of Job Insecurity and Job Involvement

toward Employee Readiness for Change in Telecommunication Organization)

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Psikologi Profesi pada Program Pendidikan Magister Psikologi Profesi

Universitas Sumatera Utara

Sri Wahyuni

117029009

PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER PSIKOLOGI PROFESI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2013


(2)

Pengaruh Job Insecurity dan Job Involvement terhadap Kesiapan Berubah Karyawan pada Perusahaan Telekomunikasi

Sri Wahyuni, Vivi Gusrini R. Pohan, dan Cherly K. Ulfa

ABSTRAK

Perubahan adalah fenomena yang pasti terjadi dan tidak dapat dielakkan oleh organisasi. Karyawan merupakan sumber dan “kendaraan” yang nyata untuk perubahan dalam perusahaan. Untuk itu karyawan yang memiliki kesiapan untuk berubah sangat dibutuhkan oleh perusahaan dalam mencapai kesuksesan perubahan tersebut. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kesiapan berubah karyawan antara lain job insecurity dan job involvement. Tujuan dari penelitian ini adalah menguji apakah ada pengaruh job insecurity dan job involvement terhadap kesiapan berubah karyawan. Partisipan dalam penelitian ini sebanyak 112 karyawan perusahaan yang bergerak di bidang telekomunikasi. Data penelitian diperoleh dengan menggunakan skala kesiapan berubah, skala job insecurity dan skala job involvement. Kemudian data dianalisis dengan menggunakan uji regresi berganda. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan antara job insecurity dan job involvement dengan kesiapan berubah (p<0,05). Setelah dianalisa dengan metode stepwise ditemukan bahwa job insecurity tidak memberikan konstribusi yang signifikan (p>0,05), sedangkan variabel job involvement secara signifikan memberikan kontribusi yang positif sebesar 36,9% terhadap kesiapan berubah karyawan (r2 = 0,369, F = 64,391 dan p<0,05).


(3)

The Influences ofJob Insecurity and Job Involvement toward Employee Readiness for Change in Telecommunication Organization

Sri Wahyuni, Vivi Gusrini R. Pohan, dan Cherly K. Ulfa

ABSTRACT

Change is an inevitable phenomenon and cannot be avoided by the organizations. Employees are the real source of and the "vehicle" for change. Therefore, the employees who have the readiness for change is needed by organizations in achieving successfull changes. There are several factors that influence employee readiness for change such as job involvement and job insecurity. The purpose of this study was to investigate the influence of job insecurity and job involvement toward employee readiness for change. Participants in this study were 112 employees of telecommunication sector. The data were obtained by using the job insecurity scale, job involvement scale and employee readiness for change scale. Then the data were analyzed by using multiple regression. The results showed that job insecurity and job involvement have a significant correlation with employee readiness for change (p<0,05). Furthermore, stepwise methode result showed that job insecurity has no significant contribution to employee readiness for change (p>0,05), whereas job involvement has significant contribution to employee readiness for change (r2= 0,369, F = 64,391 and p<0,05).


(4)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohim....

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmat dan hidayah-Nya. Teriring shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Pengaruh Job Insecurity dan Job Involvement terhadap Kesiapan Berubah Karyawan pada Perusahaan Telekomunikasi”. Tesis ini disusun sebagai tugas akhir belajar dan syarat guna memperoleh derajat sarjana S2 pada Program Magister Psikologi Profesi Universitas Sumatera Utara.

Berkenaan dengan penulisan laporan tesis ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya untuk bantuan dan dukungan dari banyak pihak yang telah memungkinkan selesainya penyusunan maupun penyajian laporan tesis ini, kepada:

1. Orangtua tercinta, khususnya ibu Ismayati yang telah memberikan segala kasih sayang dan dukungan baik secara material maupun psikologis ketika dekat maupun jauh. Dedi Novizon sebagai abang yang juga telah mendukung penulis selama ini.

2. Ibu Vivi Gusrini Ramadhani Pohan, M.A, M.Sc, Psikolog sebagai dosen pembimbing utama yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan dan bantuan dalam penyelesaian tesis ini.


(5)

3. Ibu Cherly Kemala Ulfa, M.Psi, Psikolog sebagai dosen pembimbing kedua yang juga telah memberikan waktu luang untuk memberikan bimbingan serta selalu memberikan semangat selama penyusunan tesis ini.

4. Bapak Zulkarnain, Ph.D, Psikolog selaku dosen penguji yang juga telah banyak memberikan masukan, saran dan perbaikan yang sangat berguna bagi penelitian ini.

5. Segenap dosen Fakultas Profesi Psikologi khususnya Psikologi Industri dan Organisasi yang telah menjadi fasilitator untuk mendidik dan membimbing penulis dalam proses perkuliahan.

6. Divisi SDM perusahaan telekomunikasi tempat penulis melakukan penelitian yang telah memberikan izin dan bantuannya selama penelitian berlangsung, serta para karyawan yang telah bersedia meluangkan waktu untuk menjadi partisipan dalam penelitian ini.

7. Para sahabat, Sherry Hadiyani (kak ai), Karlina Yunisa (karli) dan Suci Rahma Nio (uci), banyak kenangan yang lucu, sedih dan indah bersama kalian. Teman-teman seperjuangan lainnya Sri Azni, Ivi Vanessa, Amelia Alsa, Ridzky Anggarini, Ghita Sandra Amalia, dan Rara Sasmayahati. Terimakasih untuk social support yang kalian berikan selama ini. Dua tahun yang kita lalui penuh kenangan dan perjuangan, senang bersama kalian.

8. Semua pihak yang telah banyak membantu yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.


(6)

Semoga segala dukungan dan bantuan yang ditelah diberikan mendapatkan balasan dari Allah SWT, Aamiin. Penulis berharap tesis ini dapat dikembangkan lagi sebagai dasar oleh para peneliti ke depan dalam bidang penelitian psikologi khususnya Psikologi Industri dan Organisasi. Penulis menyadari bahwa penyusunan maupun penyajian tesis ini kurang sempurna. Oleh karena itu, penulis mohon maaf atas semua kekurangan dalam tesis ini dan menerima dengan senang hati segala bentuk kritik maupun saran yang membangun.

Medan, Agustus 2013 Penulis,


(7)

DAFTAR ISI

Abstrak………. i

Kata Pengantar ……… iii

Daftar Isi……….. v

Daftar Tabel.……… viii

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……… 1

B. Rumusan Masalah .……… 8

C. Tujuan Penelitian ………... 8

D. Manfaat Penelitian ………. 8

E. Sistematika Penulisan ……… 9

BAB II. LANDASAN TEORI A. Kesiapan Berubah 1. Definisi Kesiapan Berubah ……….. 11

2. Dimensi Kesiapan Berubah.………. 12

3. Pengukuran Kesiapan untuk Berubah...………... 14

4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kesiapan Berubah...…… 15

B. Job Insecurity 1. Definisi Job Insecurity……… 17

2. Aspek-Aspek Job Insecurity……… 19

3. Dampak Job Insecurity.……… 20

C. Job Involvement 1. Definisi Job Involvement.……… 22

2. Dimensi Job Involvement.………... 24

3. Karakteristik Job Involvement.……… 25


(8)

E. Kaitan Job Involvement dan Kesiapan Berubah….……… 28

F. Hipotesis ……… 30

BAB III METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel Penelitian ……….. 31

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian ………... 31

C. Subjek Penelitian 1. Populasi………. 34

2. Sampel..………. 34

3. Metode Pengambilan Sampel...………. 34

4. Jumlah Sampel.………. 35

D. Metode Pengumpulan Data 1. Skala Kesiapan Berubah..……….. 35

2. Skala Job Insecurity……… 36

3. Skala Job Involvement……… 38

E. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur 1. Validitas. ……….. 39

2. Daya Beda Aitem..……… 39

3. Reliabilitas.……… 40

F. Uji Coba Alat Ukur 1. Tujuan Uji Coba……… 40

2. Hasil Uji Coba . ……… 41

G. Prosedur Pelaksanaan Penelitian 1. Persiapan Penelitian……….. 43

2. Pelaksanaan Uji Coba Alat Ukur.………. 44

3. Pengolahan Data Uji Coba……… 44

4. Pelaksanaan Penelitian ………. 44

H. Metode Analisa Data 1. Uji Asumsi Klasik ………. 44


(9)

BAB IV. ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Subjek Penelitian

1. Gambaran Umum Partisipan ………. 48 B. Hasil Uji Asumsi..……… 49 C. Hasil Penelitian

1. Hasil Utama ……….. 53 2. Hasil Tambahan………. 55 D. Pembahasan..……… 61

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ………. 66

B. Saran

1. Saran Praktis ……… 67

2. Saran Metodologis ……….... 68

Daftar Pustaka ………. 69 Lampiran


(10)

Pengaruh Job Insecurity dan Job Involvement terhadap Kesiapan Berubah Karyawan pada Perusahaan Telekomunikasi

Sri Wahyuni, Vivi Gusrini R. Pohan, dan Cherly K. Ulfa

ABSTRAK

Perubahan adalah fenomena yang pasti terjadi dan tidak dapat dielakkan oleh organisasi. Karyawan merupakan sumber dan “kendaraan” yang nyata untuk perubahan dalam perusahaan. Untuk itu karyawan yang memiliki kesiapan untuk berubah sangat dibutuhkan oleh perusahaan dalam mencapai kesuksesan perubahan tersebut. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kesiapan berubah karyawan antara lain job insecurity dan job involvement. Tujuan dari penelitian ini adalah menguji apakah ada pengaruh job insecurity dan job involvement terhadap kesiapan berubah karyawan. Partisipan dalam penelitian ini sebanyak 112 karyawan perusahaan yang bergerak di bidang telekomunikasi. Data penelitian diperoleh dengan menggunakan skala kesiapan berubah, skala job insecurity dan skala job involvement. Kemudian data dianalisis dengan menggunakan uji regresi berganda. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan antara job insecurity dan job involvement dengan kesiapan berubah (p<0,05). Setelah dianalisa dengan metode stepwise ditemukan bahwa job insecurity tidak memberikan konstribusi yang signifikan (p>0,05), sedangkan variabel job involvement secara signifikan memberikan kontribusi yang positif sebesar 36,9% terhadap kesiapan berubah karyawan (r2 = 0,369, F = 64,391 dan p<0,05).


(11)

The Influences ofJob Insecurity and Job Involvement toward Employee Readiness for Change in Telecommunication Organization

Sri Wahyuni, Vivi Gusrini R. Pohan, dan Cherly K. Ulfa

ABSTRACT

Change is an inevitable phenomenon and cannot be avoided by the organizations. Employees are the real source of and the "vehicle" for change. Therefore, the employees who have the readiness for change is needed by organizations in achieving successfull changes. There are several factors that influence employee readiness for change such as job involvement and job insecurity. The purpose of this study was to investigate the influence of job insecurity and job involvement toward employee readiness for change. Participants in this study were 112 employees of telecommunication sector. The data were obtained by using the job insecurity scale, job involvement scale and employee readiness for change scale. Then the data were analyzed by using multiple regression. The results showed that job insecurity and job involvement have a significant correlation with employee readiness for change (p<0,05). Furthermore, stepwise methode result showed that job insecurity has no significant contribution to employee readiness for change (p>0,05), whereas job involvement has significant contribution to employee readiness for change (r2= 0,369, F = 64,391 and p<0,05).


(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Perubahan adalah fenomena yang pasti terjadi, berkesinambungan dan akan terus terjadi. Setiap perusahaan atau organisasi tidak dapat menghindari perkembangan dan perubahan tersebut baik untuk saat ini maupun di masa yang akan datang. Tujuan perubahan tersebut adalah untuk kelangsungan hidup organisasi itu sendiri. Hanya perusahaan atau organisasi yang mampu beradaptasi dengan perubahan yang dapat tetap bertahan “hidup”.

Terdapat beberapa faktor yang menuntut perusahaan untuk melakukan perubahan, baik internal maupun eksternal perusahaan. Faktor eksternal perusahaan antara lain perkembangan teknologi, perubahan keadaan ekonomi, keadaan sosial politik, dan persaingan dengan kompetitor (Robbins, 2001; Robbins & Judge, 2007). Hussey (2000) menjelaskan beberapa faktor yang mendorong organisasi untuk melakukan perubahan yaitu perubahan teknologi yang terus meningkat, persaingan yang intensif dan global, tuntutan pelanggan, perubahan demografis negara, privatisasi bisnis dan tuntutan dari pemegang saham yang meminta lebih banyak nilai. Faktor-faktor tersebut bergerak sangat dinamis dan sulit untuk diprediksi oleh organisasi dan tidak satupun dari faktor-faktor lingkungan tersebut dapat dikendalikan oleh perusahaan manapun.

Selain faktor eksternal tersebut di atas, beberapa faktor internal yang mengharuskan perusahaan untuk berubah, seperti pertumbuhan perusahaan itu


(13)

sendiri, kesempatan untuk mengembangkan bisnis perusahaan, adanya inovasi baru dari dalam perusahaan dan kebijakan yang dilakukan oleh manajemen perusahaan (Madsen, Miller, & John, 2005). Meskipun pengaruhnya tidak sehebat faktor lingkungan luar, namun faktor-faktor ini juga tetap harus dicermati oleh perusahaan dengan baik.

Pada hakikatnya, perubahan merupakan upaya pergeseran dari status quo

ke kondisi yang baru (Wibowo, 2005). Sedangkan Jones (2007) mengemukakan bahwa perubahan organisasi merupakan sebuah proses dimana sebuah organisasi berubah dari keadaan saat ini ke keadaan yang diinginkan untuk meningkatkan efektivitasnya. Jika organisasi dapat beroperasi secara lebih efektif, maka ia akan lebih mampu dalam menghadapi tantangan dan perubahan di lingkungannya.

Dengan adanya perubahan lingkungan yang terus menerus, maka organisasi perlu beradaptasi dengan baik. Smith (2005) mengemukakan bahwa mengelola perubahan organisasi merupakan bagian yang sangat luas tentang bagaimana pengelolaan aspek-aspek manusia dalam proses perubahan, karena karyawan merupakan sumber dan “kendaraan” yang nyata untuk perubahan. Kesiapan karyawan untuk berubah merupakan salah satu aspek yang sangat penting karena kesiapan berkaitan dengan keyakinan, sikap dan intensi mengenai perubahan apa yang diperlukan dan mendukung keberhasilan organisasi dalam melakukan perubahan. Hal ini dipandang sebagai tanda-tanda yang menunjukkan apakah perilaku karyawan menolak atau mendukung upaya perubahan yang dilakukan organisasi (Armenakis, Harris & Mossholder, 1993)


(14)

Armenakis, et al (1993) dalam penelitiannya juga menyatakan bahwa kesiapan karyawan merupakan pendorong tercapainya efektivitas perubahan organisasi. Jika karyawan tidak percaya bahwa perubahan tersebut diperlukan atau karyawan melihat bahwa perusahaan tidak mampu melakukan perubahan tersebut, maka proses perubahan akan mengalami kegagalan.

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kesiapan untuk berubah pada karyawan. Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, para peneliti menentukan banyak variabel yang berbeda untuk mengidentifikasi kesiapan terhadap perubahan seperti peran agen perubahan, partisipasi, pemikiran dan perilaku (Hanpacern, Morgan & Griego, 1998; Eby, Adam, Russel & Gaby, 2000; Cunningham, Woodward, Shannon, Maclntosh, Lendrum, Rosenbloom & Brown, 2002; Madsen, Miller & John, 2005; Rafferty & Simons 2006; Bernerth, 2004; Holt, Armenakis, Feild & Harris, 2007).

Goksoy (2012) dalam penelitiannya menemukan bahwa job insecurity, ambiguitas peran, self-monitoring dan keadilan yang dirasakan pada perubahan sebelumnya memiliki pengaruh terhadap kesiapan untuk berubah. Sedangkan Ciliana dan Mansoer (2008) menemukan bahwa ada pengaruh kepuasan kerja, keterlibatan kerja, stres kerja dan komitmen organisasi terhadap kesiapan karyawan untuk berubah.

Berdasarkan penelitian tersebut, diketahui bahwa job insecurity

merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kesiapan untuk berubah. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Babalola (2013) bahwa job insecurity memiliki kontribusi negatif terhadap keterbukaan perubahan. De Witte


(15)

(1999) menyatakan bahwa karyawan sangat dipengaruhi oleh perubahan organisasi, karena mereka melihat kehilangan pekerjaan tidak hanya dari segi sosioekonomi saja namun juga keuntungan secara psikologis.

Job insecurity memberikan kontribusi negatif terhadap kesiapan untuk berubah. Ketika karyawan merasakan insecure, mereka tidak akan merasa siap untuk berubah, tidak akan termotivasi, tidak menerima ide perubahan dengan bergairah dan secara jelas menganggap perubahan sebagai ancaman bagi diri mereka (Goksoy, 2012). Selain itu, Anderson (2010) mengemukakan bahwa sebagian karyawan atau anggota organisasi, perubahan dapat memberikan pencerahan dan menggairahkan, namun perubahan juga dapat menyakitkan,

stressful dan membuat frustrasi.

Vakola & Nikolaou (2005) menyatakan bahwa perubahan organisasi merupakan tantangan terhadap cara hal-hal yang dilakukan secara normal atau biasa dalam organisasi, dan akibatnya individu merasakan ketidakpastian, stres dan kekhawatiran mengenai peluang mengalami kegagalan dalam menghadapi situasi baru. Ashford (1988) mengemukakan bahwa perubahan adalah sumber dari perasaan terancam, ketidakpastian, frustasi, alienasi dan kecemasan.

Selain job insecurity, penelitian yang dilakukan Weber & Weber (2001) menemukan bahwa ada keterkaitan antara keterlibatan atau partisipasi karyawan dalam organisasi dengan kesiapan karyawan untuk berubah. Penelitian tersebut didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Shah (2009), bahwa job involvement memiliki korelasi positif yang signifikan terhadap kesiapan untuk berubah.


(16)

Tingkat keterlibatan kerja yang rendah memberikan kontribusi terhadap perasaan karyawan tentang keterasingan tujuan, keterasingan dalam organisasi atau perasaan terpisah antara apa yang karyawan lihat sebagai "kehidupan" dan pekerjaan yang mereka lakukan. Keterasingan kerja dan keterlibatan kerja berkorelasi satu sama lain (Rabinowitz & Hall, 1981; Hirschfeld & Field, 2000; Hafer & Martin, 2006).

Madsen, et al (2005) menemukan keterlibatan dalam organisasi memiliki hubungan yang bermakna dengan kesiapan individu untuk berubah. Hal tersebut menunjukkan bahwa individu yang terlibat secara aktif dalam organisasi memiliki kesiapan untuk berubah yang lebih tinggi daripada individu yang terlibat secara pasif. Individu yang terlibat secara aktif dalam organisasi, akan memiliki keterlibatan yang cukup tinggi pula terhadap pekerjaannya.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa job insecurity dan job involvement karyawan merupakan faktor penting yang berpengaruh terhadap kesiapan karyawan untuk menghadapi perubahan organisasi.

Berkaitan dengan penelitian ini, fenomena yang diteliti adalah perubahan organisasi yang dilakukan oleh salah satu perusahaan telekomunikasi di wilayah Sumatera Utara. Tidak dapat dipungkiri, saat ini bisnis di bidang informasi, telekomunikasi dan teknologi sangat dinamis dan melaju pesat. Khususnya di Indonesia saat ini ada beberapa perusahaan (provider) nasional maupun swasta yang menyediakan jasa tersebut. Perusahaan ini merupakan BUMN yang telah banyak melakukan perubahan atau transformasi. Transformasi yang dilakukan didorong oleh beberapa hal, yang pertama adalah perubahan dari lifestyle (gaya


(17)

hidup pelanggan). Kedua, yang juga sangat vital adalah perubahan dari sisi teknologi yang dulu narrowband menjadi broadband, dari yang fixed (telepon kabel) menjadi mobile (telepon seluler). Ketiga yang juga tidak kalah drastis adalah perubahan peta kompetisi. Pemegang lisensi dulu hanya satu, sekarang sebelas. Keempat, telekomunikasi sendiri sudah menjadi komoditas biasa (http://p2tel.or.id, diakses 25 Mei 2013).

Adapun perubahan atau transformasi yang dilakukan oleh perusahaan ini meliputi empat hal. Pertama, transformasi bisnis dan produk dari POTS (derivative product), multimedia service atau FMM (Fixed, Multimedia, Mobile) menjadi TIME Service (Telecommunication, Information, Multimedia dan

Edutainment). Kedua, transformasi infrastruktur untuk memenuhi requirement. Ketiga, transformasi sistem, mulai dari sistem billing, monitoring, jaringan dan

customer. Keempat, transformasi sumber daya manusia adalah yang paling berat. Sistem dan alat bisa dibeli, tetapi tidak dengan sumber daya manusia. Mengingat hal ini sangat besar dan fundamental maka culture pun berubah dan harus melekat pada stakeholder dan karyawan (http://p2tel.or.id, diakses 25 Mei 2013).

Transformasi atau perubahan yang dilakukan perusahaan bukanlah untuk yang pertama kali. Terhitung mulai tahun 2009 perusahaan ini telah beberapa kali melakukan transformasi hingga saat ini (http://p2tel.or.id, diakses 25 Mei 2012). Meskipun demikian tidak seluruhnya karyawan siap menghadapi perubahan tersebut. Hasil wawancara awal yang dilakukan dengan bagian SDM mengemukakan bahwa meskipun telah beberapa kali melakukan perubahan, reaksi dari para karyawan cukup beragam mulai dari yang sangat antusias, bersemangat


(18)

namun ada juga yang cemas, khawatir bahkan cenderung menolak perubahan. Selain itu, adanya program pensiun dini yang ditawarkan oleh perusahaan ini merupakan salah satu jalan yang ditempuh untuk melakukan downsizing cukup diminati oleh sebagian kalangan karyawan yang diindikasikan kurang mampu beradaptasi dengan perubahan yang terjadi di perusahaan ini.

Transformasi atau perubahan yang dilakukan juga melibatkan restrukturisasi mangakibatkan banyak karyawan yang dipindahkan ke lokasi kerja yang berbeda, jabatan yang berbeda dan juga dengan pekerjaan yang berbeda dari pekerjaan sebelumnya. Hal inilah yang membuat sebagian karyawan merasa tidak nyaman dan khawatir. Di sisi lain, dengan adanya perubahan tersebut apakah karyawan masih tetap dapat terlibat secara aktif dalam pekerjaannya kelak.

Penelitian mengenai variabel-variabel yang mempengaruhi kesiapan untuk berubah sudah cukup banyak diteliti di luar negeri, namun di Indonesia masih jarang. Penelitian sebelumnya oleh Priantalo (2008) dilakukan pada kantor perpajakan, Ciliana & Mansoer (2008) pada perusahaan perbankan dan Irwanti (2012) pada perusahaan yang bergerak di bidang broadcasting. Sedangkan pada perusahaan telekomunikasi, dilakukan oleh Pramadani (2012) dan Megani (2012) dengan variabel yang berbeda dari peneliti.

Berdasarkan data-data yang telah dikemukakan di atas, peneliti tertarik untuk melihat pengaruh job insecurity dan job involvement terhadap kesiapan berubah karyawan di salah satu perusahaan telekomunikasi yang dalam waktu dekat akan melakukan transformasi atau perubahan struktur lagi.


(19)

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu:

1. Bagaimana pengaruh job insecurity terhadap kesiapan berubah karyawan? 2. Bagaimana pengaruh job involvement terhadap kesiapan berubah

karyawan?

3. Bagaimana gambaran kesiapan berubah karyawan? 4. Bagaimana gambaran job insecurity karyawan? 5. Bagaimana gambaran job involvement karyawan?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini yaitu:

1. Untuk mengetahui pengaruh job insecurity terhadap kesiapan berubah karyawan.

2. Untuk mengetahui pengaruh job involvement terhadap kesiapan berubah karyawan.

3. Untuk mengetahui bagaimana gambaran kesiapan berubah karyawan. 4. Untuk mengetahui bagaimana gambaran job insecurity karyawan. 5. Untuk mengetahui bagaimana gambaran job involvement karyawan.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi tambahan bagi penelitian mengenai perubahan organisasi, kesiapan berubah, job insecurity dan job involvement karyawan.


(20)

b. Memberikan pemahaman mengenai pengaruh job insecurity dan job involvement terhadap kesiapan berubah karyawan.

2. Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi perusahaan yang sedang mengalami perubahan dalam merencanakan intervensi terhadap kesiapan karyawan untuk berubah.

E. Sistematika Penulisan Bab I Pendahuluan

Bab ini terdiri dari latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II Landasan Teori

Bab ini menguraikan landasan teori mengenai kesiapan berubah, job insecurity, job involvement, pengaruh job insecurity terhadap kesiapan berubah, pengaruh job involvement terhadap kesiapan berubah, dan hipotesis penelitian.

Bab III Metode Penelitian

Bab ini memuat tentang identifikasi variabel penelitian, definisi operasional, subyek penelitian, metode pengumpulan data, validitas dan reliabilitas alat ukur, uji coba alat ukur, prosedur pelaksanaan penelitian dan metode analisis data.


(21)

Bab IV Analisa Data dan Pembahasan

Bab ini memuat gambaran umum subjek penelitian, hasil uji asumsi, hasil penelitian dan pembahasan.

Bab V Kesimpulan dan Saran

Bab ini berisi tentang kesimpulan penelitian, saran praktis dan saran metodologis yang berkaitan dengan penelitian ini.


(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kesiapan Berubah

1. Definisi Kesiapan Berubah

Holt, Armenakis, Feild & Harris (2007) mendefinisikan kesiapan individu untuk berubah sebagai sikap komprehensif yang secara simultan dipengaruhi oleh isi (apa yang berubah), proses (bagaimana perubahan diimplementasikan), konteks (lingkungan dimana perubahan terjadi), dan individu (karakteristik individu yang diminta untuk berubah) yang terlibat di dalam suatu perubahan. Kesiapan individu untuk berubah secara kolektif merefleksikan sejauh mana individu atau sekelompok individu cenderung untuk menyetujui, menerima, dan mengadopsi rencana spesifik yang bertujuan untuk mengubah keadaan saat ini.

Hanpachern, Morgan & Griego (1998) menyatakan bahwa kesiapan untuk berubah merupakan sejauh mana karyawan siap secara mental, psikologis atau fisik, sedia untuk berpartisipasi dalam aktivitas pengembangan organisasi. Terutama lebih merujuk pada kondisi dimana karyawan akan memiliki skor yang tinggi pada dukungan dan partisipasi dalam perubahan.

Berneth (2004) menjelaskan bahwa kesiapan adalah lebih dari pemahaman akan perubahan, kesiapan adalah lebih dari keyakinan pada perubahan tersebut, kesiapan adalah kumpulan dari pemikiran dan intensi pada usaha perubahan yang spesifik. Backer (1995) juga mengemukakan bahwa


(23)

kesiapan karyawan untuk berubah melibatkan kepercayaan, sikap, dan intensi karyawan terhadap sejauh mana tingkat perubahan dibutuhkan dan persepsi karyawan serta kapasitas organisasi untuk melakukan perubahan tersebut dengan sukses.

Karyawan yang siap untuk berubah akan percaya bahwa organisasi akan mengalami kemajuan apabila organisasi melakukan perubahan, selain itu mereka memiliki sikap positif terhadap perubahan organisasi dan memiliki keinginan untuk terlibat dalam pelaksanaan perubahan organisasi (Armenakis, Harris & Mossholder, 1993). Sebaliknya, apabila para karyawan tidak siap untuk berubah, maka mereka tidak akan dapat mengikuti dan merasa kewalahan dengan kecepatan perubahan organisasi yang sedang terjadi (Hanpacern et al, 1998)

Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh beberapa ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa kesiapan untuk berubah adalah sikap komprehensif yang secara simultan dipengaruhi oleh isi, proses, konteks dan karakteristik individu; merefleksikan sejauh mana individu atau sekelompok individu cenderung untuk menyetujui, menerima, dan mengadopsi rencana spesifik yang bertujuan untuk mengubah keadaan saat ini.

2. Dimensi Kesiapan untuk Berubah

Holt et al (2007) mengemukakan ada beberapa dimensi kesiapan karyawan untuk berubah sebagai berikut:

a. Appropriateness (Ketepatan untuk melakukan perubahan)

Dimensi ini merupakan dimensi yang menjelaskan tentang keyakinan individu bahwa perubahan yang diusulkan akan tepat bagi organisasi dan organisasi


(24)

akan mendapatkan keuntungan dari penerapan perubahan. Individu akan meyakini adanya alasan yang logis untuk berubah dan adanya kebutuhan untuk perubahan yang diusulkan, serta berfokus pada manfaat dari perubahan bagi perusahaan, efisiensi yang diperoleh dari perubahan, dan kongruensi tujuan perusahaan dengan tujuan perubahan.

b. Change efficacy (Rasa percaya terhadap kemampuan diri untuk berubah) Dimensi ini menjelaskan aspek keyakinan individu tentang kemampuannya untuk menerapkan perubahan yang diinginkan, dimana ia merasa mempunyai keterampilan seta sanggup untuk melakukan tugas yang berkaitan dengan perubahan. Dengan kata lain, karyawan merasa bahwa ia memiliki kemampuan dan dapat menyelesaikan tugas dan aktivitas yang berhubungan dengan pelaksanaan perubahan yang diusulkan.

c. Management support (Dukungan manajemen)

Dimensi ini menjelaskan aspek keyakinan atau persepsi individu bahwa para pemimipin atau manajemen akan mendukung dan berkomitmen terhadap perubahan yang diusulkan. Dengan kata lain, karyawan merasa bahwa pemimpin dan manajemen dalam organisasi memiliki komitmen dan mendukung pelaksanaan perubahan yang diusulkan.

d. Personal benefit (Manfaat bagi individu)

Merupakan dimensi yang menjelaskan aspek keyakinan mengenai keuntungan yang dirasakan secara personal yang akan didapatkan apabila perubahan tersebut diimplementasikan. Dengan kata lain karyawan merasa bahwa ia akan memperoleh manfaat dari pelaksanaan perubahan yang diusulkan.


(25)

Menurut Hanpachern (1997), dimensi kesiapan berubah terdiri dari tiga yaitu participating (keterlibatan anggota organisasi dalam pelaksanaan proses perubahan), promoting (adanya promosi yang dilakukan oleh anggota organisasi kepada rekannya) dan resisting (penolakan karyawan terhadap perubahan). Namun dalam penelitian ini dimensi kesiapan berubah yang digunakan adalah dimensi kesiapan berubah yang dikemukakan oleh Holt et al (2007).

3. Pengukuran Kesiapan untuk Berubah

Holt et al (2007) mengemukakan bahwa dalam mengukur kesiapan individu untuk berubah, perlu diperhatikan beberapa perspektif yang terkandung di dalam domain-domain kesiapan untuk berubah, yaitu:

a. Proses perubahan

Merupakan langkah-langkah yang dilakukan selama implementasi perubahan. Salah satu dimensi dari proses perubahan adalah sejauh mana partisipasi karyawan diperbolehkan.

b. Isi dari perubahan organisasi

Merupakan inisiatif spesifik yang diperkenalkan (dan karakteristiknya). Secara khusus, isi perubahan organisasi terarah pada administrasi, prosedur, teknologi, atau karakteristik struktural dari organisasi.

c. Konteks organisasi

Merupakan kondisi dan lingkungan dimana para karyawan berfungsi dalam organisasi.


(26)

d. Atribut individual dari karyawan

Biasanya beberapa karyawan lebih menghendaki adanya perubahan organisasi daripada karyawan lainnya.

Isabella (Holt et al, 2007) menyatakan bahwa pengukuran kesiapan individu untuk berubah dapat dilakukan dengan metode kualitatif maupun kuantitatif. Meskipun metode kualitatif memberikan informasi yang kaya dan spesifik, namun metode kuantitatif merupakan suplemen yang sesuai, memberikan keuntungan yang unik bagi manager, konsultan pengembangan organisasi, dan peneliti dalam lingkungan atau suasana teretentu. Hal tersebut disebabkan oleh efisiensi yang diperoleh dari pendistribusian instrumen kuantitatif yang memiliki daerah cakupan yang luas dalam periode waktu yang relatif singkat.

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesiapan untuk Berubah

Terdapat beberapa penelitian yang telah dilakukan mengenai faktor-faktor atau variabel yang mempengaruhi kesiapan untuk berubah. Holt et al (2007) mengemukakan bahwa kesiapan karyawan untuk berubah secara simultan dapat dipengaruhi oleh tiga hal utama yaitu:

a. Change content merujuk pada apa yang akan diubah oleh organisasi (misalnya perubahan sistem administrasi, prosedur kerja, teknologi, atau struktur)

b. Change process meliputi bagaimana proses pelaksanaan perubahan yang telah direncanakan sebelumnya


(27)

c. Organizational context terkait dengan kondisi atau lingkungan kerja saat perubahan terjadi.

Armenakis & Harris (2009) mengidentifikasi lima faktor utama yang dapat merubah keyakinan diri karyawan untuk mendukung perubahan yaitu: a. Discrepancy, yaitu keyakinan bahwa perubahan itu diperlukan oleh organisasi b. Aappropriateness yaitu adanya keyakinan bahwa perubahan spesifik yang

dilakukan merupakan cara yang tepat untuk mengatasi masalah yang dihadapi c. Efficacy yaitu rasa percaya bahwa karyawan dan organisasi mampu

mengimplementasikan perubahan

d. Principal support yaitu persepsi bahwa organisasi memberikan dukungan dan berkomitmen dalam pelaksanaan perubahan dan mensukseskan perubahan organisasi

e. Personal valance yaitu keyakinan bahwa perubahan akan memberikan keuntungan personal bagi karyawan.

Adarnya kelima keyakinan diatas tidak semata-mata hanya mempengaruhi kesiapan untuk berubah namun juga mempengaruhi bagaimana karyawan akan mengadopsi dan berkomitmen terhadap perubahan organisasi.

Selain faktor di atas, McNabb & Sepic (1995) menemukan bahwa kepuasan kerja dan unjuk kerja memiliki pengaruh positif terhadap kesiapan untuk berubah. Karyawan yang memiliki kepuasan kerja dan unjuk kerja yang tinggi akan cenderung memiliki sikap positif terhadap perubahan. Hasil penelitian Zangaro (2001) menunjukkan bahwa terdapat hubungan tidak langsung antara


(28)

komitmen organisasi dan dukungan organisasi, kepuasan dan keterlibatan kerja, dan kesetiaan dengan kesiapan individu untuk berubah.

Hanpachern et al (1998) dalam penelitiannya menemukan adanya hubungan antara kesiapan untuk berubah dengan hubungan sosial dalam tempat kerja, budaya organisasi dan hubungan manajemen-kepemimpinan. Hal ini juga didukung oleh penelitian Madsen, Miller & John (2005) bahwa persepsi dari adanya relasi sosial yang baik atau positif juga berkaitan secara positif dengan kesiapan terhadap perubahan organisasi. Dalam penelitian Madsen et al (2005) juga ditemukan bahwa identifikasi, keterlibatan serta loyalitas terhadap organisasi berkaitan secara positif dengan kesiapan terhadap perubahan organisasi.

B. Job Insecurity

1. Definisi Job Insecurity

Job insecurity adalah ketidakberdayaan untuk mempertahankan kelanjutan pekerjaan yang dikehendaki pada kondisi kerja yang mengancam (Grennhalgh & Rosenblatt, 1984). Hal ini berdasarkan persepsi dan interpretasi dari karyawan itu sendiri terhadap lingkungan kerjanya. Adanya berbagai perubahan yang terjadi di dalam organisasi membuat karyawan sangat mungkin merasa terancam, gelisah dan tidak aman karena potensi perubahan mempengaruhi kondisi kerja dan kelanjutan hubungan serta balas jasa yang diterimanya dari organisasi (Grennhalgh & Rosenblatt, 1984).


(29)

Definisi lain yang dikemukakan oleh Ashford, Lee & Bobko (1989) bahwa job insecurity merupakan suatu tingkat dimana para pekerja merasa pekerjaannya terancam dan merasa tidak berdaya untuk melakukan apapun terhadap situasi tersebut. Job insecurity dirasakan tidak hanya disebabkan oleh ancaman terhadap kehilangan pekerjaan tetapi juga kehilangan dimensi pekerjaan tersebut.

Joelsen & Wahlquist (Hartley Jacobson, Klandermans & Van Vuuren, 1991) menyatakan bahwa job insecurity merupakan pemahaman individual pekerja sebagai tahap pertama dari proses kehilangan pekerjaan. Pada kenyataannya, populasi yang mengalami Job insecurity adalah selalu dalam jumlah yang lebih besar daripada pekerja yang benar-benar kehilangan pekerjaan. Hartley et al (1991) menambahkan bahwa job insecurity dilihat sebagai kesenjangan antara tingkat security yang dialami seseorang dengan tingkat

security yang diperolehnya.

Selain itu, Smithson & Lewis (2000) menyatakan bahwa job insecurity

merupakan kondisi seseorang (karyawan) yang menunjukkan rasa bingung atau merasa tidak aman dikarenakan kondisi lingkungan yang berubah-ubah. Kondisi ini muncul karena banyaknya jenis pekerjaan yang sifatnya sesaat atau pekerjaan kontrak. Makin banyak jenis pekerjaan dengan durasi waktu yang sementara atau tidak permanen menyebabkan semakin banyaknya karyawan yang mengalami job insecurity.


(30)

Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa job insecurity merupakan penilaian pekerja terhadap suatu keadaan dimana mereka merasa terancam dan mereka merasa tidak berdaya untu mempertahankan kelanjutan pekerjaan tersebut.

2. Aspek-Aspek Job Insecurity

Grennhalgh & Rosenblatt (1984) mengungkapkan bahwa Job insecurity

terdiri dari dua aspek yaitu aspek ancaman akan kehilangan pekerjaan itu sendiri dan aspek ancaman kehilangan facet-facet penting dalam pekerjaan seperti gaji, kesempatan untuk promosi dan lain sebagainya.

Ashford et al (1989) mengembangkan komponen-komponen job insecurity menjadi dua, yaitu:

a. Keparahan ancaman (severity of threat)

Keparahan ancaman meliputi seberapa besar individu mempersepsikan adanya ancaman terhadap aspek-aspek dalam pekerjaan dan ancaman terhadap pekerjaannya secara keseluruhan.

1) Ancaman terhadap aspek-aspek dalam pekerjaan

Aspek-aspek yang bekaitan dengan pekerjaan, meliputi kesempatan untuk promosi, kebebasan menentukan jadwal pekerjaan, dan lain-lain. Persepsi seseorang mengenai besarnya ancaman aspek-aspek pekerjaan dapat diketahui melalui seberapa besar aspek-aspek tersebut dirasakan penting dan seberapa besar kemungkinan individu kehilangan aspek-aspek tersebut. Semakin penting dan semakin tinggi aspek-aspek tersebut


(31)

dipersepsikan mungkin hilang, maka semakin tinggi tingkat ancaman terhadap aspek-aspek dalam pekerjaan yang dirasakan individu tersebut. 2) Ancaman kehilangan pekerjaan secara keseluruhan

Ancaman kehilangan pekerjaan secara keseluruhan merupakan persepsi seseorang mengenai adanya kejadian-kejadian negatif yang dapat mempengaruhi pekerjaannya, seperti diberhentikan untuk sementara waktu. Ancaman tersebut dapat diketahui melalui seberapa penting dan seberapa mungkin kejadian-kejadian negatif tersebut dipersepsikan akan mempengaruhi pekerjaannya secara keseluruhan.

b. Ketidakberdayaan (powerlessness)

Ketidakberdayaan menunjukkan kemampuan seseorang untuk mencegah munculnya ancaman yang berpengaruh terhadap pekerjaan secara keseluruhan dan aspek-aspek dalam pekerjaan. Individu yang memiliki tingkat ketidakberdayaan yang rendah memiliki tingkat job insecurity yang tinggi.

3. Dampak Job Insecurity

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ashford et al (1989) diketahui bahwa job insecurity yang tinggi yang dirasakan karyawan akan berhubungan dengan:

a. Keinginan untuk mencari pekerjaan baru

Ketegangan yang dipengaruhi oleh job insecurity juga penting disebabkan karena efeknya terhadap turnover. Seperti stressor lainnya, job insecurity


(32)

mungkin berhubungan dengan respon penarikan diri (sebuah usaha untuk menghindari stres). Oleh karena itu job insecurity seharusnya mempunyai hubungan yang positif dengan keinginan untuk bekerja.

Karyawan yang mengalami job insecurity mungkin juga meninggalkan pekerjaan demi alasan yang masuk akal. Hal ini akan masuk akal bagi karyawan yang khawatir terhadap kesinambungan pekerjaan mereka, kemudian mencari kesempatan karir yang lebih aman (Grennhalgh & Rosenblatt, 1984; Ashford et al, 1989).

b. Komitmen organisasi yang rendah

Karyawan mengembangkan pendekatan efektif dalam sikap terhadap perusahaan sepanjang waktu, yang ditunjukkan sebagai level komitmen, kepuasan dan kepercayaan yang tinggi. Perasaan job insecurity dapat mengancam pendekatan tersebut terhadap perusahaan (Mowday, Steers & Porter, 1979; Ashford et al, 1989). Selain itu karyawan mengharapkan perusahaan dapat diandalkan untuk menegakkan akhir dari kontrak psikologis di antara mereka (Buchanan, 1974 ; Ashford et al, 1989).

c. Trust organisasi yang rendah

Job insecurity akan berhubungan secara negatif dengan komitmen karyawan dan kepercayaan mereka terhadap perusahaan. Hubungan ini akan terjadi karena karyawan yang merasa tidak aman akan kehilangan kepercayaan dan keyakinan bahwa perusahaan dapat diandalkan dan pendekatan mereka terhadap perusahaan akan berkurang (Forbes, 1985; Ashford et al, 1989).


(33)

d. Kepuasan kerja yang rendah

Persepsi terhadap job insecurity akan berhubungan secara negatif dengan pengukuran kepuasan kerja. Karyawan dengan tingkat persepsi terhadap job insecurity yang tinggi akan kurang puas dengan pekerjaan mereka (Oldam, Julik, Ambrose, Stevina & Brand, 1986; Ashford et al, 1989).

e. Meningkatnya gangguan psikologis

Penurunan kondisi kerja seperti rasa tidak aman (insecure) menurunkan kualitas individu bukan dari pekerjaannua semata, namun juga mengarahkan pada munculnya rasa kehilangan martabat yang pada akhirnya menurunkan kondisi psikologis dari karyawan yang bersangkutan. Jangka panjangnya akan muncul ketidakpuasan dalam bekerja dan akan mengarah pada intensi

turnover (Roskies & Guerin, 1998; Greenglass, Burke & Fiksenbaum, 2002). Jadi dapat disimpulkan bahwa job insecurity dapat menyebabkan karyawan untuk mencari pekerjaan baru, memiliki komitmen organisasi yang rendah, trust organisasi yang rendah, kepuasan kerja yang rendah serta meningkatkan gangguan psikologis.

C. Job Involvement

1. Definisi Job Involvement

Job involvement (keterlibatan kerja) merupakan internalisasi nilai-nilai tentang kebaikan pekerjaan atau pentingnya pekerjaan bagi keberhargaan seseorang. Job involvement sebagai tingkat sampai sejauh mana performansi kerja seseorang mempengaruhi dirinya dan tingkat sampai sejauh mana seseorang


(34)

secara psikologis mengidentifikasikan diri terhadap pekerjaannya atau pentingnya pekerjaan dalam gambaran diri totalnya (Lodahl & Kejner, 1965; Cohen, 2003). Demikian pula dengan Schultz & Schultz (1990) mendefinisikan keterlibatan kerja merupakan intensitas dari identifikasi psikologis seseorang terhadap pekerjaannya.

Rabinowitz & Hall (1977) mendefinisikan job involvement ke dalam dua kategori. Pertama, job involvement dipandang sebagai suatu “performance self-esteem contingency”, job involvement adalah tingkat sampai sejauh mana harga diri individu dipengaruhi oleh tingkat performansinya ketika bekerja. Sehingga dapat dikatakan bahwa job involvement yang lebih rendah atau yang lebih tinggi menunjukkan harga diri yang lebih rendah atau yang lebih tinggi yang diperoleh ketika bekerja. Kedua, job involvement sebagai suatu identifikasi psikologis dengan pekerjaan seseorang.

Davis & Newstrom (1997) mendefinisikan job involvement adalah tingkatan sampai seberapa besar seseorang menekuni serta menggunakan waktu dan tenaga untuk pekerjaannya dan memandang pekerjaan sebagai satu hal penting bagi hidupnya. Hal ini dapat dilihat dari kesediaan karyawan untuk mematuhi peraturan dan melaksanakan prosedur perusahaan yang telah ditetapkan, menyelesaikan seluruh pekerjaan dengan tepat waktu, serta memanfaatkan potensi keahliannya secara maksimal untuk pekerjaannya.

Brown (1996) mengemukakan bahwa job involvement merujuk pada tingkat dimana seseorang secara psikologis memihak kepada organisasinya dan pentingnya pekerjaan bagi gambaran dirinya. Seseorang yang memiliki job


(35)

involvement yang tinggi dapat terstimulasi oleh pekerjaannya dan tenggelam dalam pekerjaannya. Hal ini didukung oleh Robbins (2001) bahwa karyawan yang memiliki tingkat keterlibatan yang tinggi sangat memihak dan benar-benar peduli serta akan melebur dengan bidang pekerjaan yang mereka lakukan. Namun seseorang yang terlibat dalam pekerjaannya belum tentu merasa senang dengan pekerjaannya karena pada kenyataannya, seseorang yang tidak merasa senang dengan pekerjaannya juga dapat memiliki derajat keterlibatan yang sama dengan orang yang menyukai pekerjaannya (Lodahl & Kejner, 1965; Ciliana & Mansoer, 2008).

Berdasarkan definisi yang telah diungkapkan di atas, dapat disimpulkan bahwa job involvement merupakan intensitas dimana seorang karyawan mengidentifikasikan diri terhadap pekerjaannya yang ditandai dengan adanya kepedulian yang tinggi dan terlibat secara aktif dalam pekerjaan, adanya perasaan terikat secara psikologis terhadap pekerjaan yang dilakukan dan keyakinan yang kuat terhadap kemampuannya dalam menyelesaikan pekerjaan tersebut.

2. Dimensi Job Involvement

Lodahl & Kejner (1965; Cohen, 2003) mengemukakan bahwa job involvement memiliki 2 dimensi sebagai berikut:

a. Performance self-esteem contingency

Dimensi ini merefleksikan tingkat dimana rasa harga diri seseorang dipengaruhi oleh performansi kerjanya. Aspek ini mencakup tentang seberapa jauh hasil kerja seorang karyawan (performance) dapat mempengaruhi harga


(36)

dirinya (self esteem). Keterlibatan kerja muncul ketika performansi yang baik meningkatkan harga diri seseorang (Vroom, 1964; Kanungo, 1982).

b. Psychological identification

Dimensi ini merujuk pada tingkat sejauh mana seseorang mengidentifikasikan dirinya secara psikologis pada pekerjaannya atau pentingnya pekerjaan bagi gambaran diri totalnya. Orang yang memiliki keterlibatan kerja adalah orang yang menganggap pekerjaan sebagai bagian yang paling penting dalam hidupnya. Ini berarti bahwa dengan bekerja, ia dapat mengekspresikan diri dan menganggap bahwa pekerjaan merupakan aktivitas yang menjadi pusat kehidupannya (Dubin, 1966; Kanungo, 1982).

3. Karakteristik Job Involvement

Ada beberapa karakteristik dari karyawan yang memiliki job involvement

yang tinggi maupun yang rendah menurut Mathis & Jackson (2006), yaitu: a. Karakteristik karyawan yang memiliki job involvement tinggi

1) Menghabiskan waktu untuk bekerja

2) Memiliki kepedulian yang tinggi terhadap pekerjaan dan organisasi 3) Merasa puas dengan pekerjaannya

4) Memiliki komitmen yang tinggi terhadap profesi, karir dan organisasi 5) Memberi usaha yang terbaik untuk organisasi

6) Tingkat absesnsi dan intensi turnover rendah 7) Memiliki motivasi yang tinggi


(37)

b. Karakteristik karyawan yang memiliki job involvement rendah 1) Tidak berusaha keras untuk kemajuan organisasi

2) Tidak peduli dengan pekerjaan maupun perusahaan 3) Tidak puas dengan pekerjaan

4) Tidak berkomitmen dengan pekerjaan maupun organisasi 5) Tingkat absen dan intensi turnover tinggi

6) Motivasi kerja rendah

7) Kurang bangga dengan pekerjaan maupun organisasi

D. Kaitan Job Insecurity dan Kesiapan untuk Berubah

Pesatnya kemajuan teknologi, tekanan ekonomi, persaingan bisnis yang ketat maupun semakin tingginya tuntutan pelanggan memaksa organisasi untuk melakukan perubahan. Perubahan tersebut menghadirkan sesuatu yang baru atau dengan kata lain perubahan merupakan upaya pergeseran dari status quo ke kondisi yang baru (Wibowo, 2005).

Perubahan yang dilakukan organisasi beraneka ragam seperti

restrukturisasi, merger, akuisisi dan program “right-sizing” yang disertai dengan

pengurangan tenaga kerja. Sebagai konsekuensinya, Burchell (2002) menyatakan bahwa terjadi peningkatan jumlah karyawan yang merasa insecure tentang eksistensi pekerjaan mereka di masa mendatang (Goksoy, 2012).

Senada dengan hal tersebut, Grennhalgh & Rosenblatt (1984) mengemukakan bahwa adanya berbagai perubahan yang terjadi di dalam organisasi membuat karyawan sangat mungkin merasa terancam, gelisah dan tidak


(38)

aman karena potensi perubahan mempengaruhi kondisi kerja dan kelanjutan hubungan serta balas jasa yang diterimanya dari organisasi.

Selain itu, Anderson (2010) mengemukakan bahwa sebagian karyawan atau anggota organisasi, perubahan dapat memberikan pencerahan dan menggairahkan, namun perubahan juga dapat menyakitkan, stressful dan membuat frustrasi. Vakola & Nikolaou (2005) menyatakan bahwa perubahan organisasi merupakan tantangan terhadap cara hal-hal yang dilakukan secara normal atau biasa dalam organisasi, dan akibatnya individu merasakan ketidakpastian, stres dan kekhawatiran mengenai peluang mengalami kegagalan dalam menghadapi situasi baru.

Penelitian yang dilakukan oleh Goksoy (2012) menemukan bahwa job insecurity memberikan kontribusi negatif terhadap kesiapan untuk berubah. Ketika karyawan merasa insecure, mereka tidak akan merasa siap untuk berubah, tidak akan termotivasi, tidak menerima ide perubahan dengan bergairah dan secara jelas menganggap perubahan sebagai ancaman bagi diri mereka.

Hasil penelitian tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Babalola (2013) bahwa job insecurity memiliki kontribusi negatif terhadap keterbukaan perubahan. Karyawan yang merasa insecure akan lebih tertutup atau kurang terbuka terhadap perubahan yang dilakukan organisasi. Selain itu, De Witte (1999) menyatakan bahwa karyawan sangat dipengaruhi oleh perubahan organisasi, karena mereka melihat kehilangan pekerjaan tidak hanya dari segi sosioekonomi saja namun juga keuntungan secara psikologis.


(39)

E. Pengaruh Job Involvement terhadap Kesiapan untuk Berubah

Job involvement merupakan intensitas dimana seseorang mengidentifikasikan diri secara psikologis terhadap pekerjaannya, terlibat secara aktif serta menyeadari bahwa unjuk kerjanya merupakan hal yang penting bagi harga dirinya (Lodahl & Kejner, 1965; Cohen, 2003). Karyawan yang memiliki

job involvement yang tinggi adalah karyawan yang memandang pekerjaan sebagai bagian yang sangat penting dalam kehidupannya dan karyawan yang dipengaruhi secara personal oleh situasi kerjanya. Sedangkan karyawan dengan job involvement yang rendah tidak memandang pekerjaan sebagai bagian yang penting dalam kehidupan psikologisnya. Minatnya tidak terletak pada pekerjaan yang ia miliki dan ia juga tidak terpengaruh oleh jenis pekerjaan apa yang sedang dilakukannya ataupun seberapa baik ia melakukan pekerjaan tersebut.

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi job involvement

diantaranya karakteristik pekerjaan yang dapat memenuhi kebutuhan pertumbuhan yang kuat, memiliki otonomi keberagaman, identitas tugas yang jelas, umpan balik dan memungkinkan pekerja untuk memiliki artisipasi yang tinggi. Hal ini dapat diartikan bahwa karyawan yang terlibat dalam pekerjaannya memiliki kebutuhan pertumbuhan yang kuat dan berpartisipasi secara aktif dalam pekerjaannya. Karyawan tersebut akan lebih siap untuk berubah karena perubahan dapat memenuhi kebutuhannya untuk terus bertumbuh dan berkembang dalam pekerjaannya (Ciliana & Mansoer, 2008).


(40)

Job involvement adalah bagaimana individu melihat pekerjaan mereka berhubungan dengan lingkungan kerja dan pekerjaan itu sendiri, dan bagaimana pekerjaan dan kehidupan mereka menyatu atau saling terkait. Memiliki job involvement yang rendah memberikan kontribusi terhadap perasaan karyawan tentang keterasingan tujuan, keterasingan dalam organisasi atau perasaan terpisah antara apa yang karyawan lihat sebagai "kehidupan" dan pekerjaan yang mereka lakukan. Alienasi dan job involvement berkorelasi satu sama lain (Hirschfeld & Field, 2000; Rabinowitz & Hall, 1981; Hafer & Martin 2006).

Penelitian yang dilakukan oleh Zangaro (2001) menunjukkan bahwa terdapat hubungan tidak langsung antara komitmen organisasi dan dukungan organisasi, kepuasan dan job involvement, dan kesetiaan dengan kesiapan individu untuk berubah. Selanjutnya Weber & Weber (2001) menemukan bahwa ada keterkaitan antara involvement atau partisipasi karyawan dalam organisasi dengan kesiapan karyawan untuk berubah. Penelitian tersebut didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Shah (2009), bahwa job involvement memiliki korelasi positif yang signifikan terhadap kesiapan untuk berubah. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi job involvement seorang karyawan maka semakin tinggi pula kesiapan berubah keryawan tersebut, demikian pula sebaliknya.

Madsen et al (2005) menemukan keterlibatan dalam organisasi memiliki hubungan yang bermakna dengan kesiapan individu untuk berubah. Hal tersebut menunjukkan bahwa individu yang terlibat secara aktif dalam organisasi memiliki kesiapan untuk berubah yang lebih tinggi daripada individu yang terlibat secara pasif. Individu yang terlibat secara aktif dalam organisasi, akan memiliki


(41)

keterlibatan yang cukup tinggi pula terhadap pekerjaannya. Selain itu karyawan yang memiliki keterlibatan kerja yang tinggi akan menunjukkan perasaan solidaritas yang tinggi terhadap perusahaan dan mempunyai motivasi internal yang tinggi. Sehingga dapat dikatakan bahwa karyawan yang memiliki keterlibatan kerja yang tinggi akan lebih siap untuk mengikuti dan terlibat dalam perubahan yang dilakukan oleh perusahaan.

F. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Ada pengaruh negatif job insecurity terhadap kesiapan berubah karyawan.

2. Ada pengaruh positif job involvement terhadap kesiapan berubah karyawan.


(42)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: 1. Variabel terikat (Y) : Kesiapan berubah

2. Variabel bebas (X1) : Job Insecurity

(X2) : Job Involvement

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian 1. Kesiapan Berubah

Kesiapan berubah adalah perilaku karyawan yang menerima, merangkul dan mengadopsi perubahan serta bersedia untuk terlibat dalam aktivitas perubahan tersebut. Kesiapan berubah diukur menggunakan skala yang disusun berdasarkan dimensi-dimensi kesiapan berubah yang dikemukakan oleh Holt et al (2003) pada tabel 1 berikut ini:

Tabel 1. Dimensi Kesiapan Berubah

Dimensi Definisi

Appropriateness Keyakinan karyawan bahwa perubahan memang tepat dilakukan dan organisasi akan mendapatkan keuntungan dengan menerapkan perubahan

Change specific efficacy Keyakinan karyawan bahwa mereka memiliki keterampilan dan sanggup untuk melakukan tugas yang berkaitan dengan.perubahan

Management support Keyakinan atau persepsi karyawan bahwa pihak manajemen akan mendukung dan berkomitmen untuk melaksanakan perubahan yang direncanakan

Personal valence Keuntungan personal yang akan diperoleh karyawan ketika perubahan diimplementasikan


(43)

Skor kesiapan berubah diperoleh dari total skor seluruh dimensi dari skala kesiapan berubah. Skor tinggi pada skala kesiapan berubah menggambarkan bahwa subjek memiliki kesiapan berubah yang tinggi dan sebaliknya skor rendah yang didapatkan menggambarkan bahwa subjek memiliki kesiapan berubah yang rendah pula.

2. Job Insecurity

Job insecurity adalah ketidakamanan yang dipersepsi oleh pekerja mengenai kelanjutan pekerjaan dan aspek-aspek penting dalam pekerjaannya karena adanya ancaman dari perubahan situasi kerjanya saat ini. Job insecurity

diukur dengan menggunakan skala yang disusun berdasarkan komponen job insecurity yang dikemukakan oleh Ashford et al (1989) tabel berikut:

Tabel 2. Komponen Job Insecurity

Komponen Deskripsi

Severity of threat

1. Pentingnya aspek-aspek pekerjaan (job features)

Persepsi tentang pentingnya aspek-aspek pekerjaan bagi diri karyawan. Misalnya: kesempatan untuk promosi dan kebebasan untuk mengatur jadwal kerja. 2. Kemungkinan munculnya

perubahan negatif atau kehilangan aspek-aspek dalm pekerjaan (job features).

Persepsi tentang tingkat kemungkinan munculnya perubahan negatif atau ancaman terhadap aspek-aspek pekerjaan yang dianggap penting. Misalnya kemungkinan mendapat promosi, mempertahankan tingkat gaji atau memperoleh kenaikan gaji.

3. Pentingnya kejadian negatif dalam pekerjaan (total job).

Persepsi tentang pentingnya potensi atau kemungkinan setiap peristiwa negatif terjadi pada keseluruhan pekerjaan.

4. Kemungkinan munculnya kejadian negatif atau kehilangan pekerjaan (total job)

Persepsi tentang tingkat kemungkinan terjadinya peristiwa yang secara negatif mempengaruhi dan mengancam keseluruhan pekerjaan. Misalnya: kemungkinan dipecat atau demosi

Powerlesness Perasaan tidak berdaya karena kehilangan kontrol terhadap pekerjaan


(44)

Skor job insecurity diperoleh dari total skor seluruh komponen dari skala

job insecurity. Skor tinggi pada skala job insecurity menggambarkan bahwa subjek memiliki tingkat job insecurity yang tinggi dan sebaliknya skor rendah yang didapatkan menggambarkan bahwa subjek memiliki tingkat job insecurity

yang rendah pula.

3. Job Involvement

Job involvement adalah tingkat seberapa besar seorang pekerja menekuni dan menggunakan waktu serta tenaga untuk pekerjaannya, dan memandang pekerjaan sebagai satu hal penting dalam hidupnya dan dapat meningkatkan harga dirinya.

Job involvement diukur dengan menggunakan skala yang disusun berdasarkan dimensi job involvement yang dikemukakan oleh Lodahl & Kejner (1965) pada tabel 2 berikut:

Tabel 3. Dimensi Job Involvement

Dimensi Deskripsi

1. Performance self esteem contingency

Aspek ini mencakup tentang seberapa jauh hasil kerja (performance) seorang karyawan dapat mempengaruhi harga dirinya (self esteem)

2. Psychological identification

Pentingnya pekerjaan bagi gambaran diri total seorang karyawan

Skor job involvement diperoleh dari total skor seluruh komponen dari skala job involvement. Skor tinggi pada skala job involvement menggambarkan bahwa subjek memiliki tingkat job involvement yang tinggi dan sebaliknya skor rendah menggambarkan bahwa subjek memiliki tingkat job involvement yang


(45)

C. Subyek Penelitian 1. Populasi

Populasi adalah suatu kelompok besar dimana peneliti ingin menggeneralisasikan hasil sampel (Hadi, 2000). Sedangkan Sugiyono (2007) menjelaskan bahwa populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Populasi yang diteliti dalam penelitian ini adalah karyawan perusahaan telekomunikasi Wilayah Sumatera Utara bagian Barat.

2. Sampel

Hadi (2000) menyatakan bahwa sampel adalah sebagian dari populasi yang dikenakan dalam penelitian. Sedangkan Sugiyono (2007) mengemukakan bahwa sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Karena adanya keterbatasan peneliti untuk menjangkau keseluruhan populasi, maka peneliti hanya meneliti sebagian dari populasi yang dijadikan sebagai subjek penelitian.

3. Metode Pengambilan Sampel

Dalam penelitian ini, pengambilan sampel digunakan dengan menggunakan metode pengambilan sampel non probability yaitu metode pengambilan sampel yang tidak dilakukan secara acak sehingga tidak semua anggota organisasi memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi partisipan penelitian (Kerlinger & Lee, 2000). Salah satu teknik pengambilan sampel non


(46)

probability yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik accidental sampling dimana pemilihan anggota sampelnya dilakukan terhadap individu yang kebetulan ada atau dijumpai.

4. Jumlah Sampel

Jumlah partisipan dalam penelitian ini direncanakan sebanyak 150 orang, dengan pertimbangan bahwa semakin besar sampel maka akan semakin representatif. Penggunaan sampel yang besar dalam pendekatan kuantitatif dianggap akan menghasilkan perhitungan statistik yang lebih akurat (Kerlinger & Lee, 2000).

D. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode skala dengan model Likert. Penskalaan ini merupakan model penskalaan pernyataan sikap yang menggunakan distribusi respons sebagai dasar penentuan nilai sikap (Azwar, 2005). Adapun skala yang digunakan dalam penelitian ini yaitu skala kesiapan berubah, skala job involvement dan skala job insecurity.

1. Skala Kesiapan Berubah

Skala ini disusun berdasarkan dimensi kesiapan berubah yang dikemukakan oleh Holt et al (2007). Kesiapan berubah terdiri dari 4 dimensi yang masing-masing berisi 5 item yang mendukung (favorable) dan 5 item yang tidak mendukung (unfavorable). Jumlah keseluruhan item dalam skala adalah 38


(47)

Model skala yang digunakan adalah penskalaan model Likert yang menggunakan metode rating dan distribusi respon sebagai dasar penentuan nilai skalanya (Azwar, 2005). Dalam skala ini digunakan lima pilihan jawaban yaitu sangat setuju (SS), setuju (S), netral (N), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS). Skornya bergerak dari angka 5 sampai dengan angka 1 untuk item yang mendukung (favorable) dan angka 1 sampai dengan angka 5 untuk item yang tidak mendukung (unfavorable). Skor yang diperoleh merupakan jumlah dari skor yang diperoleh subjek untuk setiap item yang mengindikasikan dimensi kesiapan berubah.

Tabel 4. Distribusi Item Skala Kesiapan Berubah

No Aspek Item favorable Item unfavorable Jumlah 1 Appropriateness 1, 9, 17, 25, 33 5, 13, 21, 29, 38 10 2 Change specific efficacy 6, 14, 22, 30, 37 2, 10, 18, 26, 34 10 3 Management support 3, 11, 19, 27, 36 7, 15, 23, 31 9

4 Personal valance 8, 16, 24, 32 4, 12, 20, 28, 35 9

Total Butir 19 19 38

2. Skala Job Insecurity

Skala job insecurity dalam penelitian ini menggunakan alat ukur Job Insecurity Scale yang dibuat oleh Ashford et al (1989) yang kemudian dimodifikasi oleh peneliti. Skala ini didasarkan pada komponen-komponen job insecurity yang terdiri dari keparahan ancaman dan ketidakberdayaan.


(48)

Skala ini berjumlah 43 item yang terdiri dari 14 item untuk mengukur seberapa besar aspek-aspek pekerjaan dirasakan penting, 14 item untuk mengukur seberapa besar kemungkinan individu akan kehilangan aspek-aspek dalam pekerjaan, 6 item untuk mengukur seberapa penting peristiwa (job event) negatif dipersepsikan akan mempengaruhi pekerjaan secara keseluruhan (total job), 6 item untuk mengukur seberapa besar kemungkinan peristiwa (job event) negatif dipersepsikan akan mempengaruhi pekerjaan secara keseluruhan (total job), dan 3 item untuk mengukur ketidakberdayaan.

Tabel 5. Distribusi item skala Job Insecurity

No Aspek Item Jumlah

1 Keparahan Ancaman (Severity of threat)

Pentingnya aspek-aspek pekerjaan 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14

14 Pentingnya peristiwa (job event)

negatif dipersepsikan akan mempengaruhi pekerjaan

15, 16, 17, 18, 19, 20 14

Besarnya kemungkinan kehilangan aspek-aspek pekerjaan

21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34

6 Besarnya kemungkinan kehilangan

pekerjaan

35, 36, 37, 38, 39, 40 6 2 Ketidakberdayaan (Powerlessness) 41, 42, 43 3

Total Butir 43

Model skala yang digunakan adalah penskalaan model Likert yang menggunakan metode rating dan distribusi respon sebagai dasar penentuan nilai skalanya (Azwar, 2005). Skala ini terdiri dari 3 jenis respon jawaban yang berbeda, dengan rincian pilihan jawaban dan pemberian skor sebagai berikut:


(49)

Tabel 6. Pemberian skor Job Insecurity

Komponen Pilihan jawaban Skoring

- Pentingnya aspek-aspek pekerjaan

- Pentingnya peristiwa (job event) negatif dipersepsikan akan mempengaruhi pekerjaan

Sangat tidak penting (STP) Tidak penting (TP)

Netral (N) Penting (P)

Sangat penting (SP)

1 2 3 4 5 - Besarnya kemungkinan

kehilangan aspek-aspek pekerjaan

- Besarnya kemungkinan kehilangan pekerjaan

Sangat tidak mungkin (STM) Tidak mungkin (TM)

Netral (N) Mungkin (M)

Sangat mungkin (SM)

1 2 3 4 5 - Ketidakberdayaan Sangat tidak setuju (STS)

Tidak setuju (TS) Netral (N)

Setuju (S)

Sangat setuju (SS)

1 2 3 4 5

3. Skala Job Involvement

Skala ini disusun berdasarkan dimensi job involvement yang dikemukakan oleh Lodahl & Kejner (1965). Jumlah keseluruhan item dalam skala adalah 24 pernyataan, yang terdiri dari 11 item untuk dimensi performance self esteem contingency dan 13 item untuk dimensi pentingnya pekerjaan bagi gambaran diri total individu.

Model skala yang digunakan adalah penskalaan model Likert yang menggunakan metode rating dan distribusi respon sebagai dasar penentuan nilai skalanya (Azwar, 2000). Dalam skala ini digunakan lima pilihan jawaban yaitu sangat sesuai (SS), sesuai (S), netral (N), tidak sesuai (TS), dan sangat tidak sesuai (STS). Skornya bergerak dari angka 5 sampai dengan angka 1 untuk item yang mendukung (favorable) dan angka 1 sampai dengan angka 5 untuk item


(50)

yang tidak mendukung (unfavorable). Skor yang diperoleh merupakan jumlah dari skor yang diperoleh subjek untuk setiap item yang mengindikasikan dimensi kesiapan berubah.

Tabel 7. Distribusi item skala Job Involvement

No Aspek Item favorable Item unfavorable Jumlah 1 Performance self esteem

contingency

1, 5, 12, 15, 21, 24

3, 7, 10, 16, 20 11

2 Psychological identification

2, 6, 9, 13, 14, 19, 22

4, 8, 11, 17, 18, 23 13

Total Butir 13 11 24

E. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur 1. Validitas

Validitas alat ukur adalah sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Suatu alat ukur dapat dikatakan mempunyai validitas tinggi apabila alat ukur tersebut menjalankan fungsi ukurnya atau data yang dihasilkan relevan dengan tujuan pengukurannya (Azwar, 2001).

Sedangkan item dikatakan valid apabila nilai koefisiennya ≥ 0,300.

2. Daya beda aitem

Uji daya beda item dilakukan untuk melihat sejauh mana item mampu membedakan antara individu atau kelompok individu yang memiliki atribut dengan yang tidak memiliki atribut yang diukur (Azwar, 2001). Pernyataan-pernyataan pada skala diuji daya bedanya dengan menggunakan Pearson Product Moment.


(51)

3. Reliabilitas

Reliabilitas mengacu kepada konsistensi atau keterpercayaan hasil ukur, yang mengandung makna kecermatan pengukuran (Azwar, 2001). Reliabilitas dinyatakan oleh koefisien reliabilitas (rxx) yang angkanya berada dalam rentang dari 0 sampai dengan 1,00. Semakin tinggi koefisien reliabilitas mendekati angka 1,00 berarti semakin tinggi reliabilitasnya. Sebaliknya koefisien yang semakin rendah mendekati angka 0 berarti semakin rendah reliabilitasnya. Teknik yang digunakan untuk menguji reliabilitas alat ukur adalah dengan menggunakan koefisien Alpha Cronbach.

F. Uji Coba Alat Ukur 1. Tujuan uji coba

Skala kesiapan berubah, skala job involvement dan skala job insecurity

yang telah dibuat oleh peneliti diujicobakan terlebih dahulu sebelum digunakan dalam penelitian yang sesungguhnya. Tujuan dilakukannya uji coba alat ukur adalah untuk :

a. Melihat seberapa jauh alat ukur skala kesiapan berubah, skala job involvement

dan skala job insecurity dapat mengungkap dengan tepat kesiapan berubah,

job involvement dan job insecurity pada karyawan.

b. Seberapa jauh alat ukur menunjukkan kecermatan atau ketelitian pengukuran atau dengan kata lain dapat menunjukkan keadaan sebenarnya.

Kedua hal tersebut merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh suatu alat ukur (Azwar, 1999).


(52)

2. Hasil Uji Coba Alat Ukur

Uji coba skala dilakukan pada perusahaan yang berbeda. Pada tanggal 22-25 Juli 2013 skala disebarkan kepada 100 orang karyawan. Dari 100 skala yang disebarkan, skala yang kembali berjumlah 83 dan hanya 74 skala memenuhi kriteria untuk dianalisis.

a. Skala Kesiapan Berubah

Hasil analisis skala kesiapan berubah menunjukkan bahwa dari 38 aitem terdapat 33 aitem yang memiliki daya beda tinggi. Ada 5 aitem yang gugur (daya beda aitem lebih kecil dari 0,3) yaitu aitem nomor 4, 13, 14, 22, 30. Hasil uji daya beda aitem ini menggunakan batasan rix ≥ 0,30. Koefisien

korelasi aitem total bergerak dari 0,305 sampai 0,581. Hasil reliabilitas dengan menggunakan Cronbach Alpha diperoleh hasil rxx = 0,896 yang berarti tingkat

reliabilitas tinggi.

Tabel 8. Skala Kesiapan Berubah Setelah Uji coba

No Aspek Item favorable Item unfavorable Jumlah

1 Appropriateness 1, 9, 17, 25, 33 5, 21, 29, 38 9

2 Change specific efficacy 6, 37 2, 10, 18, 26, 34 7

3 Management support 3, 11, 19, 27, 36 7, 15, 23, 31 9

4 Personal valance 8, 16, 24, 32 12, 20, 28, 35 8

Total Butir 16 17 33

b. Skala Job Insecurity

Hasil analisis skala kesiapan berubah menunjukkan bahwa dari 44 aitem terdapat 30 aitem yang memiliki daya beda tinggi. Ada 13 aitem yang gugur


(53)

30, 35, 39, 40, 41, 42, 43. Hasil uji daya beda aitem ini menggunakan batasan rix ≥ 0,30. Koefisien korelasi aitem total bergerak dari 0,390 sampai 0,704.

Hasil reliabilitas dengan menggunakan Cronbach Alpha diperoleh hasil rxx =

0,932 yang berarti tingkat reliabilitas tinggi.

Tabel 9. Skala Job Insecurity Setelah Uji Coba

No Aspek Item Jumlah

1 Keparahan Ancaman (Severity of threat)

Pentingnya aspek-aspek pekerjaan 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 11, 12, 13

12 Pentingnya peristiwa (job event)

negatif dipersepsikan akan mempengaruhi pekerjaan

17, 18 2

Besarnya kemungkinan kehilangan aspek-aspek pekerjaan

21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 31, 32, 33, 34

13 Besarnya kemungkinan kehilangan

pekerjaan

36, 37, 38 3

2 Ketidakberdayaan (Powerlessness) 0

Total Butir 30

c. Skala Job Involvement

Hasil analisis skala kesiapan berubah menunjukkan bahwa dari 24 aitem terdapat 20 aitem yang memiliki daya beda tinggi. Ada 4 aitem yang gugur (daya beda aitem lebih kecil dari 0,3) yaitu aitem nomor 7, 10, 11, 20. Hasil uji daya beda aitem ini menggunakan batasan rix ≥ 0,30. Koefisien korelasi

aitem total bergerak dari 0,347 sampai 0,660. Hasil reliabilitas dengan menggunakan Cronbach Alpha diperoleh hasil rxx = 0,895 yang berarti tingkat


(1)

Daftar Pustaka

Anderson, D.L. (2010). Organization development: The process of leading organizational change. USA: Sage Publications, Inc.

Armenakis, A.A., Harris, S.G., & Mossholder, K.W. (1993). Creating readiness for change. Human Relations, 46 (6), 681-183.

Armenakis, A.A. & Harris, S.G. (2009). Reflections : Our journey in organizational change research and practice. Journal of Change Management, 9(2), 127-142.

Ashford, S.J., Lee, C. & Bobko, P. (1989). Content, causes, and consequences of job insecurity: A theory-based measure and subtantive test. Academy of Management Journal, 32 (4), 803-829.

Asim, A.I., Waqas, M & Cheema, L.J. (2012). Mediating characters of readiness to change between training & development and employees performance. Arabian Journal of Business and Management Review, 2 (1), 1-11.

Azwar, S. (2005). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ________. (2001). Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Babalola, S.S. (2013). The impact of commitment and job insecurity on openness to organizational change: The case of nigerian civil aviation industry. African Journal of Business Management, 7 (3), 206-212.

Backer, T.E. (1995). Readiness for change : Strategies to use before schools meets science. in T. Tyden. (Ed.), when school meets science. Stockholm : Stockholm Institute of Education Press.

Bazionelos, N. (2004). The big five of personality and work involvement. Journal of Managerial Psychology, 19 (1).

Bernerth, J. (2004). Expanding our understanding of the change message. HR Development Review 3 (1), 36-52.

Borg, I & Elizur, D. (1992). Job insecutiry: Correlates, moderators and measurements. International Journal of Manpower, 13 (2), 13-20.

Brown, S.P. (1996). A Meta-analysis and review of organizational research on job involvement. Psychological Buletin, 120 (2), 235-255.


(2)

Carmeli, A. (2005). Exploring determinants of job involvement: An empirical test among senior executives. International Journal of Manpower, 26 (5), 457-472.

Ciliana & Mansoer,W.D. (2008). Pengaruh kepuasan kerja, keterlibatan kerja, stres kerja dan komitmen organisasi terhadap kesiapan untuk berubah pada karyawan PT. Bank Y. JPS, 12 (2), 151-164.

Cohen, A. (2003). Mutiple Commitment in the Workplace: An Integrative Approach. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.

Cunningham, C.E., Woodward, C.A., Shannon, H.S., Maclntosh, J., Lendrum,B., Rosenbloom, D., & Brown, J. (2002). Readiness for organizational change: A longitudinal study of workplace, psychological and behavioral correlates. Journal of Occupational and Organizational Psychology, 75, 377-392

Davis, K & Newstrom, W.J. (1997). Organizational Behavior: Human Behavior at Work. New York: McGraw Hill Company.

De Witte, H. (1999). Job insecurity and psychological well-being: Review of the literature and exploration of some unresolved issues. European Journal of Work & Organanizational Psychology, 8, 155-177.

De Witte, H. (2005). Job insecurity: Review of the international literature on definitions, prevalences, antecedents, and consequences. SA Journal of Industrial Psychology, 31 (4), 1-6.

Eby, L.T., Adams, D.M., Russel, J.E.A., & Gaby, S.H. (2000). Perceptions of organizational readiness for change: Factors related to employees’ reactions to the implementation of team-based selling. Human Relations, 53 (3), 419-442.

Erlinghagen. (2007). Self-perceived job insecurity and social context: Are there different European cultures of anxiety?. German Institute for Economic Reaserch, Discussion Paper of DIW Berlin, no. 688. Online (http://www.diw.de/publikationen//dp688.pdf).

Field, A. (2009). Discovering Satistic Using SPSS, Third Edition. Sage: India. Ghozali, I. (2005). Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS.

Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Greenglass, E., Burke, R., & Fiksenbaum, L. (2002). Impact of restructuring, job insecurity and job satisfaction in hospital nurses. Stress News, 14 (1), 1-10. Greenhalgh, L. (1983). Organizational decline in S.B. Bacharach. Research in the


(3)

Greenhalgh, L & Rossenblat, Z. (1984). Job insecurity: Toward conceptual clarity. Academy of Management Review, 9 (1), 438-448.

Goksoy, A. (2012). The impact of job insecurity, role ambiguity, self monitoring and perceived fairness of previous change on individual readiness for change. Journal of Global Strategic Management, 11, 102-111.

Gujaratii, D, N. (2006). Essential Of Econometrics. Third Edition. USA: McGraw Hill International Edition.

Hadi, S. (2000). Metodologi research, Jilid I. Yogyakarta: Penerbit Andi. ______. (2000). Metodologi research, Jilid II. Yogyakarta: Penerbit Andi. ______. (2000). Metodologi research, Jilid III. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Hafer, J.C & Martin, T.N. (2006). Job involvement or affective commitment: A sensitivity analisys study of apathetic of employee mobility. Omaha: University of Nebraska.

Hanpacern, C., Morgan, G.A., & Griego, O.V. (1998). An extention of the theory of margin: A framework for asessing readiness for change. Human Resources Department Quarterly, 9 (4), 339.

Hanpachern, C. (1997). The extension of the theory of margin: A framework for assesing readiness for change. Unpublished doctoral dissertation. Colorado State University, Fort Collins.

Hartley, J., Jacobson, D., Klandermans, B., & Van Vuuren, T. (1991). Job Insecurity: Coping with Jobs at Risk. London: Sage.

Haugen, J.L. (2004). Relations between job Insecurity and job satisfaction industrial workers in Norway. Research Center for Health Promotion, Faculty of Psychology University of Bergen. [online] (http://www.vbergencenter_haugen04_com).

Hirschfeld, R. R., & Field, H.S. (2000). Work centrality and work alienation: Distinct aspects of a general commitment to work. Journal of Organizational Behavior, 21(7), 789-800.

Holt, D.T., Armenakis, A.A., Feild, H.S & Harris, S.G. (2007). Readiness for organizational change: The systematic development of a scale. The Journal of Applied Behavioral Science, (43) 2, 232-255.

http://p2tel.or.id/2011/07/wawancara-p2tel-dengan-dirut-telkom/?. Wawancara P2TEL dengan Dirut Telkom. Online (diakses tanggal 25 Mei 2013)


(4)

Hussey, D.E. (2000). How to Manage Organisational Change. Kogan Page Publisher.

Ito, J.K & Brotheridge, C.M. (2007). Exploring the predictors and consequences of job insecurity’s components. Journal of Managerial Psychology, 22 (1), 40-64.

Irwanti, A. (2012). Meningkatkan rasa percaya pada atasan melalui pelatihan & pengembangan berbasis manajemen pengetahuan. Tesis. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Jahoda, M. (1981). Work, employment and unemployment. American Psychologist, 36, 184-191.

Jones, G.R. (2007). Organizational Theory, Designs and Change. New Jersey: Pearson Education.

Kanungo, R.N. (1982). Work Alienation: An Integrative Approach: New York: Praeger Publisher.

Kerlinger, F.N & Lee, H.B. (2000). Foundations of Behavioral Research (4th Ed). Fort Worth, TZ: Harcourt College Publisher.

Kobasa, S.C. (1982). Commitment and coping in stress resistance among lawyers. Journal Personality and Social Psychology, 42(4):,707-717.

Lodahl, T.M. & Kejner, M.M. (1965), The definition and measurement of job involvement, Journal of Applied Psychology, 49, 24-33.

Lord, H & Hartley, J. (1998). Organizational commitment and job insecurity in a changing public service organization. European Journal of Work & Organizational Psychology, 7 (3), 341-354.

Madsen, S.R., Miller, D & John, C.R. (2005). Readiness for organizational change: Do organizational commitment and social relationships in the workplace make a difference?. Human Resource Development Quarterly, 16 (2), 213-233.

Mathis, R.L & Jackson, J.H. (2006). Human Resources Management. Jakarta: Penerbit Salemba Empat.

McNabb, D.E & Sepic, F.T. (1995). Culture, climate, and total quality management: Measuring readiness for change. Public Productivity & Management Review, 18 (4), 369-385.

Megani, A. (2012). Hubungan antara employee engagement dan kesiapan karyawan untuk berubah. Skripsi. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.


(5)

Naswall, K & De Witte, H. (2003). Who feels insecure in Europe? Predicting job insecurity from background variables. Economic and Industrial Democracy, 24 (2), 189-215.

Periantalo, J. (2008). Pengaruh keadilan organisasi, komitmen Organisasi, dukungan organisasi, dan iklim psikologis terhadap kesiapan untuk berubah pada pegawai Dirjen PQR. Skripsi. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Portal perusahaan online. www.telkom.co.id (diakses 15 September 2012)

Pramadani, A.B & Fajrianthi. (2012). Hubungan antara komitmen organisasi dengan kesiapan untuk berubah pada karyawan Divisi Enterprise Service (DES) Telkom Ketintang Surabaya. Jurnal Psikologi Industri dan Organisasi, 1 (02), 102-109.

Rabinowitz, S & Hall, D.T. (1977). Organizational research on job involvement, Psychological Bulletin, 84 (2), 265-88.

Rafferty, A.E & Simons, R.H. (2006). An examination of the antecedents of readiness for fine-tuning and corporate transformation change. Journal of Business and Psychology, 20 (3), 325-350.

Robbins, S.P. (2001). Organizational Behavior (9th ed). USA: Prentice-Hall International Edition.

Robbins, S.P & Judge. (2007). Perilaku Organisasi. Jakarta: Salemba Empat. Schultz, D.P & Schultz, S.E. (1990). Psychology and Industry Today: An

Introduction to Industrial and Organizational Psychology. New York: Mac Millan Publishing Company.

Shah, N. (2009). Determinants of employee readiness for organizational change. Thesis. West London: Brunel University.

Smith, I. (2005). Achieving readiness for organizational change. Library Management, 26 (6/7), 408.

Smithson, J & Lewis, S. (2000). Is job insecurity changing the psychological contract?. Personel Review, 29 (6), 1-15.

Srivastava, S.K. (2005). Organizational Behavior and Management. New Delhi: Sarup & Sons.

Sugiyono. (2007). Statistika untuk Penelitian. Bandung: CV. Alfabeta. Umar, H. (2003). Metode Riset Akuntansi Terapan. Gahlia Indonesia. Jakarta


(6)

Vakola, M. & Nikolau, I. (2005). Attitudes towards organizational change: What is the role of employees’ stress and commitment? Employee Relations, 27, 160-174.

Weber, P.S & Weber, J.E. (2001). Changes in employee perception during organizational change. Leadership and Organization Development Journal, 22 (5/6), 291-300.

Wibowo. (2005). Managing Change: Pengantar Manajemen Perubahan. Bandung: Alfabeta.

Wibowo. (2008). Manajemen Perubahan (edisi kedua). Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Zangaro. G.A. (2001). Organizational commitment: A concept analysis. Nursing Forum, 36 (2), 14-22.