PELAKSANAAN TUGAS KEPOLISIAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DILIHAT DARI PERSPEKTIF KEBIJAKAN KRIMINAL

  PELAKSANAAN TUGAS KEPOLISIAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DILIHAT DARI PERSPEKTIF KEBIJAKAN KRIMINAL (STUDI DI POLDA SUMATERA UTARA) S K R I P S I Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Oleh : Berman Prananta NIM : 0301200127 DEPARTEMEN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2007 Berman Prananta : Pelaksanaan Tugas Kepolisian Dalam Sistem Peradilan Pidana Dilihat Dari Perspektif Kebijakan Kriminal (Studi Di Polda Sumatera Utara), 2007.

  PELAKSANAAN TUGAS KEPOLISIAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DILIHAT DARI PERSPEKTIF KEBIJAKAN KRIMINAL (STUDI DI POLDA SUMATERA UTARA) S K R I P S I Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Oleh : Berman Prananta NIM : 0301200127 DEPARTEMEN HUKUM PIDANA Disetujui Oleh : Ketua Departemen Hukum Pidana ABUL KHAIR, SH.M.Hum NIP. 131 842 854 Pembimbing I Pembimbing II Abul Khair,SH.M.Hum Dr. Mahmud Mulyadi,SH.M.Hum NIP. 131 842 854 NIP. 132 299 900 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2007 Berman Prananta : Pelaksanaan Tugas Kepolisian Dalam Sistem Peradilan Pidana Dilihat Dari Perspektif Kebijakan Kriminal (Studi Di Polda Sumatera Utara), 2007.

KATA PENGANTAR

  Puji dan syukur atas berkat dan anugrahNya, penulis dapat menyelesaikan, menyusun skripsi yang berjudul : “Pelaksanaan Tugas

  

Kepolisian Dalam Sistem Peradilan Pidana Dilihat Dari Perspektif

Kebijakan Kriminal (Studi di Polda Sumatera Utara)”.

  Penyusunan skripsi ini dilakukan untuk memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

  Untuk kedua orang tuaku yang sangat mendukung dan senantiasa member masukan atas pengerjaan skripsi ini. Dan untuk seluruh keluarga yang turut membantu atas penyelesaian skripsi ini, hanya beribu terima kasih yang dapat penulis ucapkan.

  Dengan segala kerendahan hati, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang tulus atas bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Rasa terima kasih dan penghargaan ini penulis sampaikan kepada :

  1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH. M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum dan sebagai Penasehat Akademik penulis;

  2. Bapak Abul Khair, SH. M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Pidana, dan sebagai Dosen Pembimbing I penulis, yang telah menyediakan waktu dan

  

Berman Prananta : Pelaksanaan Tugas Kepolisian Dalam Sistem Peradilan Pidana Dilihat Dari Perspektif Kebijakan Kriminal (Studi Di Polda Sumatera Utara), 2007. pikirannya untuk membimbing dan mengarahkan penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan;

  3. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, SH. M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II penulis yang telah banyak menyediakan waktu dan pikiran serta membantu penulis dalam menyediakan bahan skripsi dan membantu mengarahkan penulis hingga skripsi ini selesai. Tanpa bantuan Bapak, skripsi ini akan sulit

  4. Ibu Nurmalawaty, SH.M.Hum, selaku dosen yang telah membantu dan memberikan saran dalam penyiapan judul diawal pembuatan skripsi ini;

  5. Seluruh Dosen dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Univrsitas Sumatera Utara yang telah mengajar dan memberi bimbingan kepada penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

  6. Seluruh Staf Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan seluruh Staf Administrasi Perpustakaan Universitas Sumatera Utara;

  7. Seluruh Staf Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Sumatera Utara (POLDA SUMUT), yang telah membantu Penulis dalam melakukan riset, dan terima kasih penulis ucapkan kepada AKBP. M. Zein Kepala Bagian Pembinaan dan Penyuluhan Biro Bina Mitra POLDA SUMUT, AKBP. Kunaeni Kepala Bagian Pembinaan Keamanan Masyarakat Biro Bina Mitra POLDA SUMUT. Juga tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada AKBP. Harahap Kepala Bagian Analisis Dir Reskrim POLDA SUMUT, serta

  

Berman Prananta : Pelaksanaan Tugas Kepolisian Dalam Sistem Peradilan Pidana Dilihat Dari Perspektif

Kebijakan Kriminal (Studi Di Polda Sumatera Utara), 2007.

  

Berman Prananta : Pelaksanaan Tugas Kepolisian Dalam Sistem Peradilan Pidana Dilihat Dari Perspektif

Kebijakan Kriminal (Studi Di Polda Sumatera Utara), 2007.

  kepada AKP. M. Yusuf Tarigan,SH dan AKP. Darwin Sinaga, SH Penyidik pada Dir Reskrim POLDA SUMUT.

  8. Seluruh teman-teman stambuk 2003, khususnya kepada teman-teman comot community yang telah banyak memberi masukan kepada penulis dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

  9. Kepada pihak lain yang telah memberikan bantuan kepada penulis dalam persatu.

  Besar harapan penulis, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi yang membacanya, meskipun penulis menyadari kekurangan-kekurangan dalam penyusunan skripsi ini.

  Medan, Maret 2008 Penulis

  Berman Prananta 030200127

DAFTAR ISI KATA

  Berman Prananta : Pelaksanaan Tugas Kepolisian Dalam Sistem Peradilan Pidana Dilihat Dari Perspektif Kebijakan Kriminal (Studi Di Polda Sumatera Utara), 2007.

  PENGANTAR……………………………………………………………...i DAFTAR

  ISI………………………………………………………………………..ii ABSTRAKSI……………………………………………………………………….

  iii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang……………………………………………………1 B. Perumusan Masalah………………………………………………5 C. Keaslian Penulisan………………………………………………..6 D. Tujuan dan Manfaat Penulisan……………………………………6 E. Tinjauan Kepustakaan…………………………………………….7 F. Metode Penelitian…………………………………………………22 G. Sistematika Penulisan……………………………………………..25 BAB II PELAKSANAAN TUGAS KEPOLISIAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DARI SUDUT PANDANG KEBIJAKAN KRIMINAL

  Berman Prananta : Pelaksanaan Tugas Kepolisian Dalam Sistem Peradilan Pidana Dilihat Dari Perspektif Kebijakan Kriminal (Studi Di Polda Sumatera Utara), 2007.

  A. Pelaksanaan Tugas Kepolisian Dari Sudut Pandang Kebijakan Penal (Penal

  Policy )…………………………………..28

  B. Pelaksanaan Tugas Kepolisian Dari Sudut Pandang Kebijakan Non-Penal (Non-Penal

  Policy )………………………..54

  BAB III HAMBATAN-HAMBATAN YANG DIHADAPI POLRI DALAM MENJALANKAN FUNGSINYA DI MASYARAKAT A. Hambatan Dalam Undang- Undang……………………………….65 B. Hambatan Karena Kemampuan Aparat Kepolisian………………68 C. Hambatan Karena Budaya Hukum Masyarakat…………………..74 BAB IV UPAYA YANG DAPAT DILAKUKAN UNTUK MENGATASI HAMBATAN POLRI UNTUK MENJALANKAN FUNGSINYA DI MASYARAKAT A. Upaya Untuk Mengatasi Hambatan Di Dalam Undang- Undang…78 B. Upaya Untuk Mengatasi Hambatan Karena Kemampuan Aparat Kepolisian…………………………………………………79 C. Upaya Untuk Mengatasi Hambatan Karena Budaya Hukum Masyarakat……………………………………………………….

  .84

  BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

  A. Kesimpulan ……………………………………………………….88

  B. Saran ……………………………………………………………...93

  DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………….96 LAMPIRAN

Berman Prananta : Pelaksanaan Tugas Kepolisian Dalam Sistem Peradilan Pidana Dilihat Dari Perspektif

Kebijakan Kriminal (Studi Di Polda Sumatera Utara), 2007.

  

ABSTRAKSI

  Skripsi yang berjudul “Pelaksanaan Tugas Kepolisian Dalam Sistem Peradilan Pidana Dilihat Dari Perspektif Kebijakan Kriminal” membahas tentang bagaimana Polri bertindak sebagai institusi penegak hukum dan bagaimana Polri dalam menghadapi masyarakat menggunakan pendekatan penal dan non-penal. Harapan masyarakat akan Polri yang profesional menuntut Polri untuk memperbaiki diri. Data kriminal di Sumatera Utara pada tahun 2003-2007 berjumlah 125.570 kasus, menunjukkan masih cukup tingginya angka kejahatan dan merupakan tugas Polri untuk dapat mengurangi atau menanggulanginya demi memberikan rasa aman kepada masyarakat.

  Dalam skripsi ini dibahas beberapa permasalahan yaitu bagaimana pelaksanaan tugas Kepolisian dalam perspektif kebijakan kriminal, hambatan- hambatan apa saja yang dihadapi Polri dalam menjalankan fungsinya, dan bagaimana solusi-solusi untuk menghadapi hambatan-hambatan tersebut. Metode penelitian yang digunakan untuk menjawab permasalahan-permasalahan diatas adalah penggabungan penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Penulis menggabungkan data-data yang didapat dalam literatur dan undang- undang dan digabungkan dengan data yang didapat dari penelitian lapangan dengan mengadakan wawancara kepada narasumber yang berkaitan dengan judul skripsi ini. Keseluruhan data akan dianalisa secara kualitatif.

  Polri merupakan ujung tombak dalam penegakan hukum. Dalam sistem peradilan pidana Polri bertindak sebagai penyelidik dan penyidik. Polri sebagai penyelidik untuk membuat terang suatu kejadian, apakah tindak pidana atau tidak. Sesudah jelas tindak pidana, Polri sebagai penyidik akan menelusuri kebenaran tentang terjadinya tindak pidana. Dalam pelaksanaan tugasnya, Polri dilengkapi dengan kewenangan yaitu menggunakan upaya paksa demi tercapainya kebenaran dan rasa adil masyarakat. Penyidikan yang dilakukan Polri terdiri dari beberapa tahapan yaitu, tindakan pertama di tempat kejadian perkara, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, dan pada akhirnya penyerahan tersangka dan barang bukti kepada Kejaksaan.

  Polri dalam menjalankan fungsinya tentu mengahadapi beberapa hambatan yaitu hambatan dari undang-undang, hambatan karena kemampuan aparat Kepolisian, dan hambatan karena budaya hukum masyarakat. Hambatan- hambatan yang timbul harus dapat dicari solusinya. Permasalahan undang-undang dapat ditanggulangi dengan semakin melibatkan Polri dalam pembuatan undang- undang sehingga lebih tepat sasaran, hambatan karena kemampuan aparat Kepolisian diperbaiki dengan peningkatan kemampuan aparat dan penerimaan anggota yang lebih transparan sehingga mendapatkan anggota Polri yang lebih baik kualitasnya, hambatan karena budaya hukum masyarakat dapat diperbaiki

  

Berman Prananta : Pelaksanaan Tugas Kepolisian Dalam Sistem Peradilan Pidana Dilihat Dari Perspektif Kebijakan Kriminal (Studi Di Polda Sumatera Utara), 2007. dengan menjalin kemitraan dengan masyarakat sehingga kesadaran hukum dan partisipasi masyarakat semakin baik dan mendukung tugas Kepolisian.

  

Berman Prananta : Pelaksanaan Tugas Kepolisian Dalam Sistem Peradilan Pidana Dilihat Dari Perspektif

Kebijakan Kriminal (Studi Di Polda Sumatera Utara), 2007.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kondisi Polri pada saat ini digambarkan dalam bentuk harapan masyarakat

  dan bersumber dari tuntutan kebutuhan masyarakat yang dikaitkan dengan tugas dan wewenang serta tanggung jawab Polri. Harapan masyarakat kepada Polri untuk dapat melaksanakan tugasnya cukup besar namun pada kenyataannya

  

kinerja Polri masih jauh dari memuaskan.

  Kesadaran akan adanya kekurangan tersebut telah membuat adanya upaya- upaya pembenahan yang dilakukan oleh para Pimpinan Polri. Ternyata upaya- upaya yang dilakukan belum dapat mengurangi rasa ketidakpuasan dari masyarakat. Hal ini dikarenakan perubahan yang dilakukan tidak dapat merubah tingkah laku dari para anggota polisi tersebut.

  Fungsi Polri dalam peradilan pidana menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Pasal 2 disebutkan bahwa “Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan Negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

  Kemudian pada Pasal 4 ditegaskan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi 1 Bibit S. Rianto, Pemikiran Menuju Polri Yang Profesional,Mandiri,Berwibawa Dan

  Dicintai Rakyat, Restu Agung , Jakarta, 2006., hal. 1

Berman Prananta : Pelaksanaan Tugas Kepolisian Dalam Sistem Peradilan Pidana Dilihat Dari Perspektif Kebijakan Kriminal (Studi Di Polda Sumatera Utara), 2007. terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

  Menurut ketentuan Undang-Undang diatas maka institusi Kepolisian mempunyai fungsi serta kewajiban yang sangatlah berat. Dengan kata lain, Polri Sebagai institusi yang baru saja mandiri, Kepolisian dituntut untuk dapat berkembang serta berhadapan langsung dengan masyarakat yang majemuk. Hal ini bukanlah sesuatu hal yang mudah. Kepolisian harus berhadapan dengan masyarakat yang sangat beranekaragam. Hal ini ditandai dengan beragam agama, suku, kebudayaan bahkan warna kulit yang hidup di masyarakat dan Polri dituntut kemandiriannya dalam bertindak. Polri dituntut untuk dapat berdiri ditengah- tengah kemajemukan masyarakat yang mempunyai banyak celah yang dapat menimbulkan gesekan-gesekan yang dapat mengganggu ketertiban umum.

  Kondisi ini menjadikan Polri bukan saja sebagai penegak hukum pidana tetapi sebagai pelayan masyarakat dan penjamin berlangsungnya kedamaian di masyarakat. Untuk menjalankan fungsinya diatas Polri dihadapkan dengan batasan-batasan. Pada Pasal 4 ditegaskan bahwa dalam melaksanakan tugasnya Polri harus menjunjung tinggi hak asasi manusia, sehingga Polri yang mendapatkan kewenangan yang begitu luasnya tetapi tidak dapat bertindak sewenang-wenang.

  

Berman Prananta : Pelaksanaan Tugas Kepolisian Dalam Sistem Peradilan Pidana Dilihat Dari Perspektif

Kebijakan Kriminal (Studi Di Polda Sumatera Utara), 2007.

  Hal ini berbeda dengan Undang-Undang Pokok Kepolisian Negara (UUPKN) Nomor 13 Tahun 1961, yang menegaskan pada Pasal 2 (2), bahwa tugas kepolisian hanyalah terbatas di bidang penyelidikan dan penyidikan. Tugas- tugas lainnya tidak secara langsung berkaitan dengan penegakan hukum pidana, walaupun memang ada beberapa aspek hukum pidananya. Misalnya tugas memelihara ketertiban dan keamanan umum, mencegah penyakit-penyakit

   hukum warga masyarakat.

  Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 menempatkan Kepolisian sebagai ujung tombak dalam pemberantasan tindak pidana. Hal ini dapat kita lihat dalam

  Pasal 1 ayat 8 tentang penyelidik. Disebutkan bahwa penyelidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang- undang untuk melakukan penyelidikan. Kemudian pada ayat 9 ditegaskan bahwa penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.

  Berdasarkan ketentuan pasal ini maka Polri ditempatkan sebagai ujung tombak dalam penegakan hukum. Dari sinilah maka Polri menempati posisi yang vital dalam sistem peradilan pidana, karena Polri adalah titik awal dari dimulainya 2 M. Faal (1991), Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi, PT. Pradnya Paramita, Jakarta,

  1991., hal. 5

Berman Prananta : Pelaksanaan Tugas Kepolisian Dalam Sistem Peradilan Pidana Dilihat Dari Perspektif Kebijakan Kriminal (Studi Di Polda Sumatera Utara), 2007. suatu proses peradilan pidana. Pelaksanaan perannya sebagai penyidik, Polri berkoordinasi dengan PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) dalam kasus-kasus tertentu yang diatur dengan Undang-Undang.

  Selain dalam penegakan hukum, Polri harus dapat membuat masyarakat menyadari arti pentingnya hukum. Apabila hanya menanganinya dari sisi pendekatan nomatif dengan cara penegakan hukum, maka ketertiban dan rasa lain kepada masyarakat. Polri harus dapat membuat masyarakat mengenai arti dan manfaat dari hukum itu sendiri. Dalam hal mengusahakan ketaatan hukum warga masyarakat, maka Polri dituntut untuk dapat memberikan contoh pada masyarakat.

  Dalam hal inilah, Polri belum dapat memberikan jaminan kepada masyarakat. Seringkali kita melihat ketidakseriusan Polri dalam menangani suatu kejahatan. Bahkan tidak jarang kita melihat dalam menangani suatu kasus Polri terlihat membeda-bedakan atau terkesan tebang pilih. Sering kali rasa keadilan masyarakat terlukai dengan tindakan para anggota Polri.

  Sesuai dengan kewenangan yang didapat, maka Polri dituntut untuk dapat memberikan kepastian hukum terhadap masyarakat. Peradilan pidana menuntut posisi Polri sebagai penyidik dan merupakan ujung tanduk dalam membuktikan terjadinya suatu kejahatan yang merugikan bagi masyarakat. Ketidakseriusan Polri dalam mengungkap kejahatan akan menyebabkan masyarakat akan kehilangan kepercayaan Polri seperti yang selama ini terjadi.

  

Berman Prananta : Pelaksanaan Tugas Kepolisian Dalam Sistem Peradilan Pidana Dilihat Dari Perspektif

Kebijakan Kriminal (Studi Di Polda Sumatera Utara), 2007.

  Dalam melaksanakan tugasnya, maka akan terjadi suatu kerjasama antara Polri dengan komponen lain dalam sistem peradilan pidana, dalam hal ini Jaksa, Hakim dan pihak Lembaga Pemasayarakatan. Dengan adanya kerjasama yang baik, maka proses penanganan suatu kejahatan akan sangat mudah untuk mencapai keadilan.

  Tidak dapat kita pungkiri bahwa ada hambatan-hambatan yang dapat yang muncul selain dari dalam institusi Polri saja juga berasal dari luar institusi Polri. Hal ini bisa berupa hal-hal seperti ketidakstabilan politik sampai dengan kemungkinan adanya kecemburuan dari pihak Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang merasa bahwa Polri selalu “dianakemaskan”, karena mendapat perhatian lebih dari pemerintah. Ini disebabkan karena masih kuatnya rasa lebih superior TNI terhadap Polri, karena masih terbawa pada saat masih bergabung dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).

  Tugas utama kepolisian adalah menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Pelaksanaan tugas ini diwujudkan dengan menyelesaikan kejahatan yang terjadi sehingga dapat memberikan perlindungan kepada masyarakat. Penelitian ini dilakukan di Sumatera Utara, khususnya Kepolisian Daerah Sumatera Utara. Dipilihnya Polda Sumatera Utara karena angka statistik kriminal yang terjadi di wilayah Polda Sumatera Utara Kurun Waktu 5 (lima) tahun terakhir (2003-2007) menunjukan kenaikan yang cukup signifikan, seperti pada Tabel 1 di bawah ini.

  

Berman Prananta : Pelaksanaan Tugas Kepolisian Dalam Sistem Peradilan Pidana Dilihat Dari Perspektif

Kebijakan Kriminal (Studi Di Polda Sumatera Utara), 2007.

  Tabel 1. Jumlah Kejahatan di Wilayah Poldasu Kurun Waktu 5 (2003-2007) No. Tahun Jumlah Tindak Jumlah Tindak Jumlah Tindak

  Pidana (Kasus) Pidana Yang selesai Pidana Yang Belum Disidik Selesai Disidik

  1. 2003 19.106 9. 972 9.134 2. 2004 22.442 12.044 10.398 3. 2005 24.952 13.063 13.063 4. 2006 29.454 15.084 14.370 5. 2007 29.616 17.373 12.243

  Sumber : Direktorat Reserse Kriminal Poldasu Berdasarkan Tabel 1 di atas maka dapat kita ketahui bahwa jumlah kejahatan yang dilaporkan pada tahun 2003 sebanyak 19.106 kasus. Kejahatan yang diselesaikan pada tahun 2003 sejumlah 9.134 kasus. Hal ini berarti keberhasilan aparat dalam menyelesaikan kasus pada tahun 2003 sebesar 47,81%.

  Jumlah kejahatan yang dilaporkan tahun 2004 sejumlah 22.422 kasus. Kejahatan yang diselesaikan pada tahun 2004 sejumlah 12.044 kasus. Hal ini berarti keberhasilan aparat dalam menyelesaikan kasus pada tahun 2004 sebesar 53,66%.

  Jumlah kejahatan yang dilaporkan pada tahun 2005 sejumlah 24.952 kasus. Kejahatan yang diselesaikan pada tahun 2005 sejumlah 13.063 kasus. Hal ini berarti keberhasilan aparat dalam menyelesaikan kasus pada tahun 2005 adalah sebesar 52,55%. Jumlah kejahatan yang dilaporkan pada tahun 2006 sejumlah 29.454 kasus. Kejahatan yang diselesaikan pada tahun 2006 sejumlah 14.370

  

Berman Prananta : Pelaksanaan Tugas Kepolisian Dalam Sistem Peradilan Pidana Dilihat Dari Perspektif Kebijakan Kriminal (Studi Di Polda Sumatera Utara), 2007. kasus. Hal ini berarti keberhasilan aparat dalam menyelesaikan kasus pada tahun 2006 adalah sebesar 48,79%.

  Jumlah kejahatan yang dilaporkan pada tahun 2007 sejumlah 29.616 kasus. Kejahatan yang diselesaikan pada tahun 2007 sejumlah 17.373 kasus. Hal ini berarti keberhasilan aparat dalam menyelesaikan kasus pada tahun 2007 sebesar 41,34%. Total data statistik kriminal Sumatera Utara selama tahun 2003- menunjukkan tindak kejahatan di Sumatera Utara tiap tahunnya mengalami kenaikan. Pada tahun 2003, jumlah tindak pidana di Sumatera Utara tercatat sebanyak 19. 106 kasus dan pada tahun 2007 tercatat 29. 616 kasus. Ini menunjukkan Polda Sumut mempunyai tugas yang semakin berat.

  Perkembangan statistik kriminal Polda Sumut cukup menunjukkan kenaikan yang cukup tajam. Polda Sumut sebagai institusi terdepan dalam penegakan hukum dan penjaga ketertiban dan keamanan masyarakat harus memiliki langkah-langkah strategis untuk dapat menanggulangi kenaikan statistik kriminal. Tentu saja banyak hal yang harus mendapat perhatian Kepolisian. Kemitraan dengan masyarakat adalah sesuatu yang terpenting ynag harus dijaga dan dikembangkan. Kepolisian tanpa bantuan masyarakat adalah sia-sia.

  Dukungan masyarakat harus semakin dikembangkan.

B. Perumusan Masalah

  

Berman Prananta : Pelaksanaan Tugas Kepolisian Dalam Sistem Peradilan Pidana Dilihat Dari Perspektif

Kebijakan Kriminal (Studi Di Polda Sumatera Utara), 2007.

  Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan, maka dapat ditarik beberapa permasalahan yang penulis anggap penting untuk dibahas lebih lanjut.

  Adapun permasalahan yang akan diangkat dalam skripsi ini adalah :

  1. Bagaimana pelaksanaan tugas Kepolisian dalam perspektif kebijakan kriminal?

  2. Apa sajakah yang menjadi hambatan-hambatan Polri dalam menjalankan fungsinya di masyarakat? Kepolisian? C.

   Keaslian Penulisan

  Penulisan skripsi mengenai pelaksanaan tugas Kepolisian dalam perspektif Kebijakan Kriminal belum pernah diangkat di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dengan demikian penulis menyatakan bahwa skripsi ini adalah benar hasil karya penulis dan belum pernah diangkat oleh penulis lain dengan permasalahan yang sama. Skripsi ini dibuat berdasarkan hasil pemikiran dan juga referensi dari buku-buku serta informasi yang didapat dari media baik cetak ataupun elektronik, juga dilengkapi dengan fakta-fakta yang didapat dari hasil riset yang dilaksanakan oleh penulis.

D. Tujuan dan Manfaat Penulisan

  

Berman Prananta : Pelaksanaan Tugas Kepolisian Dalam Sistem Peradilan Pidana Dilihat Dari Perspektif

Kebijakan Kriminal (Studi Di Polda Sumatera Utara), 2007.

  1. Tujuan Penulisan

  Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan diatas, maka tujuan penulisan skripsi ini adalah :

  1. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan tugas Kepolisian dalam perspektif kebijakan kriminal

  2. Untuk mengetahui apa saja yang menjadi hambatan-hambatan Polri dalam

  3. Untuk mengetahui solusi atas hambatan-hambatan dalam pelaksanaan tugas Kepolisian.

  2. Manfaat Penulisan

  Adapun Manfaat dari penulisan skripsi ini adalah :

  a. Teoritis Penulisan skrisi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pikiran dalam rangka perkembangan ilmu hukum pada umumya serta perkembangan hukum pidana khususnya mengenai peran Polri dalam perspektif Kebijakan Kriminal.

  b. Praktis

  1. Dapat menjadi bahan masukan bagi bagi Polri dalam menjalankan fungsinya di masyarakat agar dapat lebih melayani masyarakat dengan baik.

  

Berman Prananta : Pelaksanaan Tugas Kepolisian Dalam Sistem Peradilan Pidana Dilihat Dari Perspektif

Kebijakan Kriminal (Studi Di Polda Sumatera Utara), 2007.

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Kepolisian

  

Berman Prananta : Pelaksanaan Tugas Kepolisian Dalam Sistem Peradilan Pidana Dilihat Dari Perspektif

Kebijakan Kriminal (Studi Di Polda Sumatera Utara), 2007.

  2. Dapat memberikan informasi kepada masyarakat, bahwa Polri adalah pelayan masyarakat. Sehingga dapat mengganti kesan yang menyeramkan tentang Polri yang selama ini telah terbangun di masyarakat.

  Didalam Encyclopedia of Social Sciences, didapatkan pengertian Polisi

  “The term police in its early definitions has covered a wide range of functions. It has been employed to described various aspects of the control of pulic sanitation; it has had a highly special meaning with respect to the suppression of political offences; and at times it has been expanded to cover practically all form of public regulation and domestic order. Now, however it is used primarily with reference to the maintenance of public order and the protection of person and property from the commission of unlawful acts. Hence police and constabulary have come to be almost synonymous”

3 Dilihat dari pengertian diatas, Polisi pada pengertian semulanya meliputi

  bidang-bidang tugas yang luas. Istilah itu dipergunakan untuk menjelaskan berbagai aspek dari pengawasan kesehatan umum dan perlahan meluas secara praktis meliputi semua bentuk pengaturan dan ketertiban umum. Dan sekarang istilah itu dipergunakan untuk pemeliharaan ketertiban umum dan perlindungan orang-orang serta harta bendanya dari tindakan-tindakan yang melanggar hukum.

   Pada awalnya, Polri berada di lingkungan Kementerian Dalam Negeri.

  Karena masih dalam suasana transisi, pada masa penjajahan Belanda, administrasi 3 Momo Kelana, (1984), Hukum Kepolisian, CV. Sandaan, Jakarta, hal. 19 4 Momo Kelana , Op.Cit., hal. 19

  Kepolisian dilaksanakan oleh Departement Van Binnenlasch Bestuur (Departemen Dalam Negeri). Sedangkan dalam masa penjajahan Jepang, pengaturan pola-pola Kepolisian sesuai dengan peraturan Pemerintahan Jepang, Oleh sebab itu sejak tanggal 8 Agustus 1942 di Jawa, dibentuk Keimubu (Departemen Kepolisian) yang berdiri sendiri, tidak berada dibawah Departemen Dalam Negeri atau Departemen Kehakiman.

  Instruksi Dewan Pertahanan Negara (DPN) dengan TAP No. 112/DPN/1947, 1 Agustus 1947, bahwa kewajiban Kepoisian Negara secara umum tetap berlaku menurut peraturan yang ada, kecuali ditentukan lain dalam Penetapan Dewan Pertahanan Negara No. 39 Tahun 1946, 19 September 1945, dan dalam penetapan tersebut memuat hal-hal yang mengatur fungsi Kepolisian sebagai militer.

  Dalam Penetapan Dewan Pertahanan Negara (DPN), diatur beberapa ketentuan tentang Kepolisian yang menyatakan tentang militerisasi Kepolisian yaitu : Kepolisian Negara menjalankan perintah-perintah dan putusan-putusan DPN yang diberikan dengan Surat Penetapan atau Surat Perintah. Dalam keadaan mendesak, perintah diberikan dengan lisan yang kemudian disusul dengan surat.

  Kepolisian Negara mempunyai kedudukan yang sama dengan tentara, dengan Peraturan Tata Tertib Militer (bukan pidana militer) dan pengadilan tentara berlaku bagi segenap anggota Keposian Negara. Dalam suatu penyidikan perkara, Kepolisian dapat menangkap anggota-anggota tentara untuk kemudian diserahkan kepada komando tentara yang bersangkutan disertai dengan laporannya. Untuk

  

Berman Prananta : Pelaksanaan Tugas Kepolisian Dalam Sistem Peradilan Pidana Dilihat Dari Perspektif Kebijakan Kriminal (Studi Di Polda Sumatera Utara), 2007. kepentingan pertahanan, DPN berhak memasukkan Kepolisian sebagian atau seluruhnya menjadi kesatuan tentara. Dalam hal ini, fungsi Kepolisian sebagai

   combatant , karena Kepolisian dapat dijadikan tentara.

  Hal diatas diperkuat dengan keluarnya Undang-Undang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 13 Tahun 1961, bersamaan dengan integrasi Polri ke dalam ABRI. Maka pengaturan tentang dalam ABRI.

  Keadaan ini berlangsung selama 36 tahun, sampai diundangkannya Undang-Undang No. 28 Tahun 1997. Dalam prakteknya, Undang-Undang ini adalah penyempurnaan dari Undang-Undang No. 13 Tahun 1961 dengan tetap mengacu pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1988 dan Undang-Undang No. 2 Tahun 1988 tentang Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.

  Dalam hal ini, fungsi Polri adalah merupakan bagian integral dari fungsi ABRI, sehingga dalam praktek pelaksanaan tugasnya, Polri masih tetap diwarnai dengan pelaksanaan tugas kemiliteran, dan menghasilkan pelaksanaan togas Polri yang tidak dapat dibedakan dengan pelaksanaan tugas tentara.

  Keadaan yang terus berlanjut membuat pelaksanaan tugas Polri menjadi kurang professional dan proporsional, karena sistem pendidikan dan kurikulum yang ada pada lembaga-lembaga pendidikan Polri mengacu pada sistem 5 Irwan Suwarto (2003), Polri Dalam Dinamika Ketatanegaraan Indonesia, Ekasakti Press,

  Padang, hal. 49

Berman Prananta : Pelaksanaan Tugas Kepolisian Dalam Sistem Peradilan Pidana Dilihat Dari Perspektif Kebijakan Kriminal (Studi Di Polda Sumatera Utara), 2007. pendidikan militer. Hal ini membuat dalam praktek kerja di masyarakat, sifat militer lebih dominan daripada fungsi awal Polri sebagai pelayan masyarakat.

  Kondisi di atas tidak hanya terjadi di lapangan, juga pada kehidupan ketatanegaraan Indonesia. Pada saat Orde Lama dan Orde Baru, pemerintahan bersifat sentralistik, baik Presiden selaku Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Akibatnya fungsi negara dalam melaksanakan fungsi Polri tidak

   tugas Polri yang sangat jauh berbeda dengan fungsi tentara.

  Kedudukan dan peran Polri dalam Era Reformasi, setelah diundangkannya Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai pengganti Undang-Undang No. 28 Tahun 1997 membawa perubahan fungsi Polri berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dimana pelaksanaan tugasnya secara tegas telah dipisahkan dari tentara. Ini ditetapkan berdasarkan TAP MPR No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, serta TAP MPR No. VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia.

  Perubahan peraturan ini membuat peran dan kedudukan Polri yang setara dengan TNI. Diharapkan juga dengan peraturan ini membuat peran yang setara dengan Kejaksaan Agung dan departemen-departemen lainnya, termasuk lembaga pemerintah non-departemen atau setara dengan menteri negara. Keluarnya 6 Ibid., hal. 51

  Berman Prananta : Pelaksanaan Tugas Kepolisian Dalam Sistem Peradilan Pidana Dilihat Dari Perspektif Kebijakan Kriminal (Studi Di Polda Sumatera Utara), 2007.

  Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan pengaturan kedudukan dan peran Polri pasca Undang- Undang No. 28 Tahun 1997.

2. Sistem Peradilan Pidana

  Sistem Peradilan Pidana adalah sistem yang dibuat untuk menanggulangi masalah-masalah kejahatan yang dapat mengganggu ketertiban dan mengancam mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi yang

  

  dapat diterima. Pelaksanaan peradilan pidana adalah upaya untuk menanggulangi kejahatan yang terjadi di masyarakat dengan mengajukan para pelaku kejahatan ke pengadilan sehingga menimbulkan efek jera kepada para pelaku kejahatan dan membuat para calon pelaku kejahatan berpikir dua kali sebelum melakukan

   kejahatan .

  Menurut Muladi, sistem peradilan pidana sesuai dengan makna dan ruang lingkup sistem dapat bersifat phisik dalam arti sinkronisasi struktural (structural

  

syncronization ) dalam arti keselarasan mekanisme administrasi peradilan pidana,

  dapat pula bersifat substansial (substancial syncronization) dalam kaitannya dengan hukum positif yang berlaku, dan dapat pula bersifat kultural (cultural

  7 Mardjono Reksodiputro (1997), Kriminologi Dan Sistem Peradilan Pidana, Jakarta : Lembaga Kriminologi UI, hal. 140 8 Abdussalam dan DPM Sitompul (2007), Sistem Peradilan Pidana, Jakarta : Restu Agung, hal 4.

  

Berman Prananta : Pelaksanaan Tugas Kepolisian Dalam Sistem Peradilan Pidana Dilihat Dari Perspektif

Kebijakan Kriminal (Studi Di Polda Sumatera Utara), 2007.

  

syncronization ) dalam arti menghayati pandangan, sikap, dan falsafah yang secara

   menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana.

  Diharapkan dengan adanya peradilan pidana maka kejahatan yang terjadi di masyarakat masuk ke dalam batas-batas yang masih dapat ditolerir. Karena untuk menghilangkan kejahatan adalah sesuatu yang sangat sulit untuk tercapai.

   Tujuan diadakannya sistem peradilan pidana adalah :

  2. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana

  3. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak lagi mengulanginya.

  Upaya terbaik menegakkan hukum pidana meteril selalu menuntut dan bersandar pada bagaimana ketentuan hukum pidana formil untuk mampu mengawal tujuan hukum pidana materil itu sendiri. Kejahatan menjadi sasaran tuduhan akibat lemahnya penegakan hukum materil, jika saja perangkat hukum yang mengatur komponen dalam sistem peradilan juga lemah.

  Sistem Peradilan Pidana yang Terpadu (SPPT) atau Integrated Criminal

  

Justice System (ICJS) merupakan unsur hukum pidana yang sangat penting dalam

  kerangka penegakan hukum pidana materil. Philip. P. Purpura menyatakan bahwa sistem peradilan pidana (criminal justice system) merupakan suatu sistem yang 9 10 Muladi (1995), Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang : Undip, hal. 13.

  Abdussalam dan DPM Sitompul., Op. Cit

Berman Prananta : Pelaksanaan Tugas Kepolisian Dalam Sistem Peradilan Pidana Dilihat Dari Perspektif Kebijakan Kriminal (Studi Di Polda Sumatera Utara), 2007. terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan yang bertujuan untuk melindungi dan menjaga ketertiban masyarakat, mengendalikan kejahatan, melakukan penangkapan, dan penahanan terhadap pelaku kejahatan, memberikan batasan bersalah atau tidaknya seseorang, memidana pelaku yang bersalah dan melalui komponen sistem secara keseluruhan

   dapat memberikan perlindungan hukum terhadap hak-hak terdakwa.

  dalam KUHAP (Undang-Undang No. 8 Tahun 1981), adalah gambaran betapa komponen hukum pidana yang kita punyai kurang mampu diharapkan untuk

  

  mengawal penegakan hukum pidana materil. Kelemahan mendasar yang terlihat dari KUHAP adalah terabaikannya hak-hak tersangka/ terdakwa/ terpidana dan korban kejahatan yang harus diperhatikan kemungkinan mendapatkan perlindungan hukum akan hak-haknya sebagai korban kejahatan, tidak mendapat pengaturan yang memadai. Kekerasan baik fisik maupun psikis seringkali dialami oleh tersangka/ terdakwa/ terpidana ketika mereka harus mengikuti prosedur tetap yang dimainkan oleh aparat penegak hukum dengan dalih semua perbuatan aparat penegak hukum sudah menjalankan tugas dan kewajiban penegakan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam hal ini KUHAP.

  Selain itu, terlantarnya, tersia-siakannya, menderitanya korban kejahatan yang seharusnya mendapatkan perlindungan dan jaminan hak-haknya untuk 11 Sidik Sunaryo (2005), Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Malang : UMM Press, hal.

  2 12 Ibid.

  

Berman Prananta : Pelaksanaan Tugas Kepolisian Dalam Sistem Peradilan Pidana Dilihat Dari Perspektif Kebijakan Kriminal (Studi Di Polda Sumatera Utara), 2007. memperoleh ganti rugi, rehabilitasi, baik secara lahir maupun batin nampaknya juga tidak ada aturan dalam KUHAP secara tegas. Aspek perlindungan saksi yang merasa terancam keselamatan jiwa dan hartanya akibat memberikan keterangan terhadap kejahatan tertentu, juga tidak mendapat pengaturan khusus dalam KUHAP. Di sisi lain, membicarakan sistem peradilan yang terpadu, tidak dapat dilepaskan dari upaya penegakan hukum pidana baik yang hukum pidana formil

  Pada dasarnya, asas peradilan yang paling mendasar dari pelaksanaan dan pelayanan administrasi peradilan mengarah pada prinsip dan asas efektif dan efisien adalah asas sederhana, cepat dan murah. Namun demikian, penyelesaian perkara di Pengadilan sangat bergantung pada beberapa faktor yaitu : faktor substansi perkara, faktor pencari keadilan, faktor kuasa hukum, faktor kesiapan alat-alat bukti, faktor sarana dan prasarana, faktor budaya hukum, faktor komunikasi dalam persidangan, faktor pengaruh dari luar, faktor aparat

  

  pengadilan, faktor hakim, dan faktor manajeman. Walaupun faktor-faktor diatas mempunyai pengaruh, namun pelaksanaan asas sederhana, cepat, murah, masih merupakan faktor yang menentukan dalam pelaksanaan pelayanan administrasi peradilan yang benar-benar sederhana, cepat dan murah.

  Sederhana dimaknai bahwa dalam peradilan pidana diharapkan sebagai

  proses yang tidak bertele-tele, berbeli-belit, tidak berliku-liku, tidak rumit, jelas, lugas, mudah dipahami,mudah diterapkan, sistematis, baik untuk pencari keadilan 13 Ibid., Hal. 46

  

Berman Prananta : Pelaksanaan Tugas Kepolisian Dalam Sistem Peradilan Pidana Dilihat Dari Perspektif Kebijakan Kriminal (Studi Di Polda Sumatera Utara), 2007. maupun aparat penegak hukum. Namun dalam praktek nyata, sering kali asas tersebut dipahami secara beragam oleh aparat penegak hukum disemua tingkatan.

  Pemahaman oleh aparat penegak hukum lebih dimaksudkan sebagai proses birokrasi yang wajib dilalui oleh pencari keadilan, dan dipihak lain aparat penegak hukum mempunyai kewajiban untuk menerapkannya sesuai dengan pemahaman aparat penegak hukum sendiri. administrasi saja, namun juga harus menjadi jiwa dan semangat motivasi aparat penegak hukum dalam gaya dan pola kehidupan sehari-hari. Konsistensi dan komitmen aparat penegak hukum dalam menjalankan asas sederhana juga harus dimulai dalam diri sendiri, kemudian pada insitusi dalam semua tingkatan (kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan, dan advokat).

  Cepat , dimaknai sebagai upaya strategis untuk menjadikan sistem

  peradilan pidana sebagai institusi yang dapat menjamin terwujudnya/ tercapainya keadilan dalam penegakan hukum secara cepat oleh pencari keadilan. Baik cepat dalam proses, cepat dalam hasil, dan cepat dalam evaluasi terhadap kinerja dan tingkat produktifitas institusi peradilan (kepolisian, kejakasaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan, dan advokat). Satu saja komponen tidak berfungsi maka

  

  unsur cepat tidak akan tercapai. Kecepatan proses, hasil, dan evaluasi tersebut menggunakan ukuran parameter dari prinsip tepat dan cermat. Tepat dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan yang dipergunakan sebagai 14 Abdussalam dan DPM Sitompul., Op. Cit

  

Berman Prananta : Pelaksanaan Tugas Kepolisian Dalam Sistem Peradilan Pidana Dilihat Dari Perspektif Kebijakan Kriminal (Studi Di Polda Sumatera Utara), 2007. dasar yuridis keputusannya (tidak bertentangan dengan asas-asas hukum umum yang berlaku secara universal seperti lex specialis de rogat lex generalis dan lainnya), tepat dalam memilih dan memilah pasal-pasal yang dipergunakan sebagai dasar dalam pertimbangan keputusannya, tepat dalam mengolah dan memahami secara filosofis (bersandar pada nilai-nilai keadilan yang berkembang di masyarakat maupun yang terkandung dalam hukum positif) terhadap keadilan masyarakat, mengembalikan dan menjaga keseimbangan sosial, mempunyai manfaat). Demikian juga tindakan penegak hukum harus cermat, dalam arti mengandung unsur kehati-hatian, ketelitian, kesungguhan, dalam proses, hasil maupun evaluasinya.

  Murah , mengandung makna bahwa mencari keadilan melalui lembaga

  peradilan adalah tidak sekedar orang mempunyai harapan akan jaminan keadilan di dalamnya, tetapi harus ada jaminan bahwa keadilan tidak mahal, keadilan tidak dapat dimaterialisasikan, keadilan mempunyai sifat mandiri dan bebas dari nilai- nilai lain yang dapat mengaburkan nilai keadilan itu sendiri, keadilan tidak dapat diperjualbelikan, keadilan bukan merupakan komoditas, keadilan bukan merupakan kata dengan sejuta pesimisme, keadilan tidak dapat dikuantifikasikan dalam bentuk dan jenis apapun, keadilan adalah kebutuhan dasar bagi manusia yang hidup di dunia secara universal.

  Apabila asas sederhana, cepat, murah sebagaimana telah diuraikan diatas menjadi semangat para penegak hukum, maka sistem peradilan pidana yang

  

Berman Prananta : Pelaksanaan Tugas Kepolisian Dalam Sistem Peradilan Pidana Dilihat Dari Perspektif Kebijakan Kriminal (Studi Di Polda Sumatera Utara), 2007. efektif dan efisien dapat diwujudkan. Persoalan kualifikasi sumber daya manusia yang menjadi penegak hukum dalam hal ini, memang menjadi kendala yang serius. Pembenahan sistem peradilan pidana akhirnya tidak dapat hanya bergantung dalam pemahaman harfiah dari penegak hukum terhadap asas sederhana, cepat, dan murah saja, namun lebih dari itu semua adalah nurani penegak hukum, pencari keadilan, penguasa, legislatif dan sistem yang

  Di Indonesia, peradilan pidana mengacu pada kodifikasi pidana formil yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang diberlakukan melalui Undang-Undang No. 8 Tahun 1981. Tetapi belum ada upaya yang sistematis dan signifikan dalam rangka untuk mengatasi kekosongan dan kekurangan hukum pidana formil yang hanya mendasarkan pada acuan Undang- Undang No. 8 Tahun 1981. Payung hukum untuk menutupi kekosongan dan kelemahan tersebut adalah apa yang disebut dengan kebijakan pidana.

  Sementara itu tuntutan perkembangan sistem informasi dan teknologi, semakin sulit untuk dikejar dan diimbangi hanya dengan Undang-Undang ini.

  Ketentuan mengenai proses beracara untuk kasus-kasus pidana di Indonesia harus mengacu pada ketentuan umumnya yakni KUHAP, disamping juga terdapat ketentuan hukum pidana formil selain yang telah diatur dalam KUHAP tersebut, yang tersebar dalam Undang-Undang di luar KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Namun terjadi masalah yang sering menjadi penghalang tercapainya peradilan yang diharapkan.

  

Berman Prananta : Pelaksanaan Tugas Kepolisian Dalam Sistem Peradilan Pidana Dilihat Dari Perspektif

Kebijakan Kriminal (Studi Di Polda Sumatera Utara), 2007.

  Apabila dicermati, muara persoalan tersebut mengarah kepada tiga hal yaitu : tidak ada sanksi apabila prosedur yang ditetapkan tersebut dilanggar, termasuk pelanggaran terhadap hak-hak yang telah dirumuskan, kurang efektif dan efisien dalam penyelenggaraan peradilan pidana, karena terdapat tahapan proses yang tidak diperlakukan dan mubazir serta berbelit dan sia-sia, formulasi pasal-pasal sangat memungkinkan adanya interpretasi yang berbeda-beda, yang

   Berbagai kendala dan kelemahan yang terjadi, juga tidak diiringi dengan

  mekanisme pengawasan yang baik dan transparan. Walaupun ada lembaga pengawas , biasanya juga tidak berjalan dengan efektif. Kehadiran lembaga- lembaga pengawas tidak memberikan arti dan makna yang cukup berarti dalam menjamin terwujudnya penegakan hukum. Banyak pengaduan, laporan, dan desakan baik secara demokratis dan tidak jarang dapat mengundang aksi-aksi kekerasan yang dilakukan masyarakat atas ketidakpuasan kinerja lembaga- lembaga pengawas tersebut.

3. Kebijakan Kriminal

  Kebijakan kriminal pada hakekatnya adalah bagian dari upaya perlindungan terhadap masyarakat dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat.