ANALISIS KEBIJAKAN KRIMINAL TINDAK PIDANA KUMPUL KEBO DALAM RUU KUHP TAHUN 2012

(1)

ANALISIS KEBIJAKAN KRIMINAL TINDAK PIDANA KUMPUL KEBO DALAM RUU KUHP TAHUN 2012

(Skripsi)

Oleh

AMELIA ENGGARSASI

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDARLAMPUNG 2013


(2)

ABSTRAK

ANALISIS KEBIJAKAN KRIMINAL TINDAK PIDANA KUMPUL KEBO DALAM RUU KUHP TAHUN 2012

Oleh

Amelia Enggarsasi

Kehidupan masyarakat mulai terganggu dengan adanya penyimpangan kehidupan di bidang kejahatan seksual. Penyimpangan kesusilaan itu adalah perbuatan hidup bersama tanpa adanya suatu ikatan perkawinan yang terjadi antara seorang pria dan seorang wanita yang dikenal dengan istilah kumpul kebo karena itu maka dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2012 telah diatur tentang tindak pidana kumpul kebo. Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah bagaimanakah kebijakan kriminal tentang tindak pidana kumpul kebo dalam RUU KUHP Tahun 2012 serta apakah kebijakan kriminal tentang tindak pidana kumpul kebo dalam RUU KUHP Tahun 2012 mencerminkan rasa kesusilaan bangsa Indonesia menurut norma agama yang berlaku di Indonesia.

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan bersifat yuridis normatif, prosedur pengumpulan data adalah data sekunder melalui penelusuran studi kepustakaan dengan mempelajari berbagai literatur dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan objek penelitian. Sedangkan analisis data yang dilakukan secara deduktif yaitu cara berpikir dari hal-hal yang bersifat umum ke arah yang lebih khusus dan dari berbagai kesimpulan tersebut dapat diajukan saran.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat diambil kesimpulan bahwa ditentukannya kebijakan kriminal tindak pidana kumpul kebo dalam RUU KUHP tahun 2012 melalui sarana penal tentang perbuatan apa yang dilarang yaitu tindak pidana kumpul kebo seperti yang diatur dalam Pasal 485 RUU KUHP Tahun 2012 dengan sanksi pidananya yaitu pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II (Rp 30.000.000,00) dirasa belum menunjukkan bahwa perbuatan kumpul kebo termasuk dalam tindak pidana berat, hal ini dapat dilihat dari sanksinya masih masuk dalam tindak pidana ringan. Walaupun dengan sanksi yang masih ringan kebijakan kriminal kumpul kebo sudah sepatutnya dilakukan karena perbuatan kumpul kebo tidak sesuai dengan


(3)

penyakit sosial yang cukup mengganggu masyarakat Indonesia yang membawa dampak negatif lainnya. Hubungan hukum dengan norma kesusilaan dan norma agama berdasarkan tujuan norma kesusilaan yaitu mewujudkan keharmonisan hubungan antarmanusia maka kebijakan kriminal tindak kumpul kebo dalam RUU KUHP tahun 2012 merupakan suatu perwujudan dan pencerminan dari tujuan norma kesusilaan serta norma agama agar dapat terlaksananya keserasian antara hukum dengan adanya norma kesusilaan dan norma agama sebagai pertimbangan yang ada dalam pembaharuan hukum pidana di Indonesia.

Adapun saran yang dapat penulis berikan yaitu para pembuat kebijakan formulasi hukum pidana dalam upaya penanggulangan tindak pidana kumpul kebo hendaknya memperhatikan karakteristik kumpul kebo sebagai kejahatan yang berhubungan dengan perzinahan serta berorientasi pada Konsep KUHP Tahun 2012 karena merupakan bagian dari pembaharuan hukum pidana nasional. Upaya penanggulangan kumpul kebo ini dapat berjalan secara efektif melibatkan berbagai pihak yang berkompeten, seperti pemerintah, parlemen, akademisi, aparat penegak hukum, dan masyarakat.


(4)

ANALISIS KEBIJAKAN KRIMINAL TINDAK PIDANA KUMPUL KEBO DALAM RUU KUHP TAHUN 2012

Oleh

AMELIA ENGGARSASI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDARLAMPUNG 2013


(5)

Judul Skripsi : ANALISIS KEBIJAKAN KRIMINAL TINDAK PIDANA KUMPUL KEBO DALAM RUU KUHP TAHUN 2012

Nama Mahasiswa : AMELIA ENGGARSASI No. Pokok Mahasiswa : 0912011004

Bagian : Hukum Pidana Fakultas : Hukum

MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing

Dr. Maroni, S.H., M.H. Maya Shafira, S.,H., M.H.

NIP 19600310 198703 1 002 NIP 19770601 200501 2 002

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H. NIP 19620817 198703 2 003


(6)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Dr. Maroni, S.H., M.H. ...

Sekretaris/Anggota : Maya Shafira, S.H., M.H. ...

Penguji Utama : Firganefi, S.H., M.H. ...

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H., M.S. NIP 19621109 198703 1 003


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Badransari pada tanggal 18 Mei 1991. Penulis merupakan anak Ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Bripka Sambudi dan Suyatmi, Ama.Pd.

Penulis mengawali pendidikannya di Taman Kanak-Kanak (TK) PGRI pada tahun 1997 kemudian melanjutkan ke Sekolah Dasar Negeri 1 Badransari Punggur yang selesai pada tahun 2003, Sekelah Menengah Pertama Negeri 1 Punggur yang diselesaikan pada tahun 2006 dan Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Kotagajah Lampung Tengah yang diselesaikan pada tahun 2009. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung kemudian penulis mengkonsentrasikan diri pada bagian Hukum Pidana.

Pada awal tahun 2012 penulis melaksanakan KKN (Kuliah Kerja Nyata) di Dsn. Mekar Sari Kec. Bumi Dana Kab. Way Kanan.


(8)

MOTTO

Janganlah Kamu Mengikuti Hawa Nafsumu Karena Ingin Menyimpang Dari Kebenaran/Keadilan

(Q. S. An-Nissa’ Ayat135)

Seorang Pemenang Sejati Bukanlah Seorang Yang Sukses Hidupnya Dengan Meraih Gelar, Kehormatan Dan Kekayaan Tetapi Ialah Yang Dapat Menaklukkan Keinginan Nafsu Dan Mengekangnya Dengan Rasa Malu


(9)

Bismillahirrahmannirrahiim

Kupersembahkan Karya Sederhana ini untuk

Ayah (Bripka Sambudi) &

Ibu (Suyatmi, Am.Pd.)

yang selalu mendukungku, mendampingiku, menyayangiku dengan cinta kasih sayang yang tulus dan tak henti-hentinya mendo’akan keberhasilanku

di dalam setiap sujudnya. Kakak-kakakku

( Brigpol Septa Budiansyar & Herry Agus Setiawan Amd.Kom. ) Adikku Tersayang

( Inne Prihastuti )

Keluarga besarku yang senantiasa mendo’akan keberhasilanku, serta


(10)

SANWACANA

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillahirobbil’alamin, Puji syukur Penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena atas Rahmat dan Hidayah yang dilimpahkan kepada Penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Universitas Lampung dengan Judul : “Analisis Kebijakan Kriminal Tindak Pidana Kumpul Kebo Dalam RUU KUHP Tahun 2012”.

Selanjutnya ucapan Terima Kasih ini Penulis sampaikan kepada orang-orang yang penulis hormati, semoga selalu dalam Lindungan Allah SWT terutama kepada Komisi Pembimbing Terima Kasih atas bimbingan, saran dan masukan yang diberikan, baik dalam menyelesaikan proses perkuliahan dan penyelesaian skripsi ini. Tidak lupa Penulis juga mengucapkan Terima Kasih Kepada :

1. Bapak Dr. Hi. Heryandi, S.H.,M.S. Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung ;

2. Ibu Diah Gustiniati M, S.H.,M.H. Ketua Bagian Hukum Pidana ;

3. Bapak Dr. Maroni, S.H.,M.H. selaku Pembimbing I atas kesediaannya memberikan bimbingan, saran dan masukan dalam proses penyelesaian skripsi ini ;


(11)

skripsi ini ;

5. Ibu Firganefi, S.H.,M.H. selaku Penguji I pada ujian skripsi. Terima Kasih untuk masukan dan saran-sarannya saat seminar dan Ujian ;

6. Bapak Ahmad Irzal F, S.H,M.H. selaku Pembahas II pada seminar I dan II, terima kasih atas masukan dan saran-sarannya saat seminar ;

7. Bapak Charles Jackson, S.H.,M.H. selaku Dosen Pembimbing Akademik, terima kasih atas masukan, arahan dan nasihat yang diberikan selama penulis menyelesaikan Perkuliahan ;

8. Seluruh Dosen Pengajar Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan pendidikan yang sangat bermanfaat bagi Penulis ;

9. Seluruh Staf dan Karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung ;

10.Sahabat - Sahabatku Seperjuangan, Cindy Kartika, Endang Purnawita, Nevi Handayani, Julianna Angelia S, Elfrida Lubis, terima kasih untuk persahabatan, bantuan dan dukungan selama ini ;

11.Teman-teman lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu ;

Akhir kata penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, April 2013 Penulis


(12)

DAFTAR ISI

Halaman I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah dan Ruang Lingkup ... 5

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... ... 6

D. Kerangka Teoristis dan Konseptual ... 7

E. Sistematika Penulisan ... 15

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Pengaturan Tindak Pidana Perzinahan atau Kumpul Kebo... 17

1. Pengertian Tindak Pidana Perzinahan atau Kumpul Kebo ... 17

2. Pengaturan Tindak Pidana Perzinahan atau Kumpul Kebo ... 18

B. Kebijakan Kriminal ... 21

1. Pengertian Kebijakan Kriminal ... 21

2. Keterkaitan Politik Kriminal dengan Politik Sosial ... 23

3. Kebijakan Kriminalisasi ... 24

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 29

B. Sumber dan Jenis Data ... 30

C. Penentuan Narasumber ... 31

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 31

E. Analisis Data ... 32

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Narasumber ... 33

B. Kebijakan Kriminal Tindak Pidana Kumpul Kebo Dalam RUU KUHP Tahun 2012 ... 34


(13)

Rasa Kesusilaan Bangsa Indonesia Menurut

Norma Agama yang Berlaku di Indonesia... 48 V. PENUTUP

A. Simpulan ... 55 B. Saran ... 57 DAFTAR PUSTAKA


(14)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian dan Pengaturan Tindak Pidana Perzinahan atau Kumpul Kebo

1. Pengertian Tindak Pidana Kumpul Kebo

Tindak Pidana kumpul kebo adalah perbuatan berhubungan antara laki-laki dan perempuan layaknya suami isteri, dimana salah satunya atau kedua-duanya sudah menikah, kumpul kebo dalam pengertian istilah adalah hubungan kelamin antara seorang lelaki dengan seorang perempuan yang satu sama lain tidak terikat dalam hubungan perkawinan.1

Masalah perzinahan merupakan salah satu contoh adanya benturan antara pengertian dan paham tentang zina dalam KUHP dan nilai-nilai sosial masyarakat. Benturan yang terjadi dalam masyarakat seringkali menimbulkan kejahatan baru diantaranya pembunuhan, penganiayaan atau main hakim sendiri, hal ini dipengaruhi dengan lemahnya praktek penegakan hukum maka dari itu perzinahan harus dikaji lagi agar lebih mudah mencermatinya.

Kumpul kebo tidak terbatas pada orang yang sudah menikah saja, tetapi berlaku bagi siapa saja yang berhubungan badan sementara mereka bukan suami istri, baik sudah menikah atau belum menikah. Berbeda dengan hukum positif yang hanya

1


(15)

menjatuhkan hukuman bagi pezina yang sudah kawin, kemudian bagi yang belum kawin atau atas dasar suka sama suka atau lazimnya dikalangan masyarkat menyebut dengan kumpul kebo tidak diberi hukuman.

Zina tidak terbatas pada orang yang sudah menikah saja, tetapi berlaku bagi siapa saja yang berhubungan badan sementara mereka bukan suami istri, baik sudah menikah atau belum menikah. Siapa pun yang terbukti secara meyakinkan telah melakukan perzinahan hanya saja ada perbedaan hukuman yang akan dijatuhkan terhadap orang yang telah atau pernah menikah dengan orang yang belum pernah menikah. Berbeda dengan hukum positif yang hanya menjatuhkan hukuman bagi pezina yang sudah kawin, kemudian bagi yang belum kawin atau atas dasar suka sama suka atau lazimnya dikalangan masyarkat menyebut dengan kumpul kebo tidak diberi hukuman.

Perbuatan kumpul kebo ini sesungguhnya merupakan perbuatan perzinahan sebab mereka telah menjadi satu rumah tanpa perkawinan yang sah, dengan demikian dimasa mendatang diharapkan rumusan tindak pidana tersebut dapat mengatasi minimal dapat mengurangi tindak pidana perzinahan.

2. Pengaturan Tindak Pidana Perzinahan atau Kumpul Kebo

Sistem hukum yang berlaku dalam masyarakat yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai kesusilaan, perzinahan akan dipandang sebagai sebuah perbuatan yang asusila. Namun hal ini berbeda menurut masyarakat yang lebih bercorak individualis. Hal ini disebabkan karena tiap sistem hukum yang ada didunia memandang berbeda terhadap delik perzinahan sebagai bagian dalam delik-delik mengenai kesusilaan dan perbedaan cara pandang dan nilai-nilai yang


(16)

melatarbelakanginya. Mereka menilai perzinahan sebagai bentuk perbuatan yang biasa dan tergantung kemauan tiap individu. Perzinahan akan dipandang tercela jika terjadi hal itu dilakukan dalam bingkai perkawinan. Usaha pembaharuan hukum pidana Indonesia yang didengungdengungkan selama ini, diharapkan banyak membuat perubahan-perubahan baru mengenai kelemahan aturan pidana mengenai delik perzinahan.

Perzinahan akan dipandang tercela jika terjadi hal itu dilakukan dalam bingkai perkawinan. Tindak pidana kumpul kebo adalah dalam delik aduan, dalam KUHP yang berasal WvS zaman Hindia Belanda, kumpul kebo tidak dinyatakan sebagai perbuatan yang dapat dipidana. Dalam penyusunan Konsep KUHP Nasional, perbuatan kumpul kebo kemudian dijadikan sebagai tindak pidana yaitu Konsep tahun 1977, dalam perkembangan konsep berikutnya Konsep tahun 1989/1990, perumusan delik kumpul kebo pernah ditiadakan/ditarik kembali namun kemudian dimasukkan lagi ke dalam Konsep 1991/1992 (edisi Desember), Konsep edisi Maret 1993, Konsep 1994, Konsep 1997/1998, Konsep 2006/2007, Konsep 2010 sampai trakhir Konsep 2012.2

Unsur-unsur terpenting dari tindak pidana perzinahan yang harus dipenuhi guna menghukum seseorang sebagai pelaku tindak pidana perzinahan adalah :

a. Salah satu pihak telah menikah sah.

b. Adanya persetubuhan atas dasar suka sama suka (unsur ini menekankan bahwa persetubuhan sudah harus benar-benar terjadi. Perbedaan persetubuhan dalam pidana perzinahan dan pidana pemerkosaan adalah dalam pidana perzinahan terjadinya persetubuhan oleh karena suka sama suka sedangkan

2


(17)

dalam pidana pemerkosaan, terjadinya persetubuhan oleh karena tidak disukai oleh salah satu pihak dan diikuti dengan adanya ancaman kekerasan.

c. Harus ada Pengaduan dari suami/istri yang menjadi korban/dirugikan (unsur ini menggambarkan bahwa pidana perzinahan sebagai sebuah delik aduan yang absolut, tidak dapat dituntut apabila tidak ada pengaduan dari suami/istri yang menjadi korban/dirugikan). Bila dari ketiga unsur ini, salah satu tidak terpenuhi, maka sudah pasti seseorang tidak dapat diproses sebagai pelaku tindak pidana perzinahan.

Delik aduan adalah delik yang hanya dapat dituntut, jika diadukan oleh orang yang merasa dirugikan. Delik aduan sifatnya pribadi/privat, yang memiliki syarat yaitu harus ada aduan dari pihak yang dirugikan. Selain itu, yang dimaksid dengan delik aduan/klach delict merupakan pembatasan inisiatif jaksa untuk melakukan penuntutan. Ada atau tidaknya tuntutan terhadap delik ini tergantung persetujuan dari yang dirugikan/korban/orang yang ditentukan oleh undang-undang. Delik ini membicarakan mengenai kepentingan korban

Delik Aduan absolute (absolute klacht delict), merupakan suatu delik yang baru ada penuntutan apabila ada pengaduan dari pihak yang dirugikan. Dan yang diadukan sifatnya hanyalah perbuatannya saja atau kejahatannya saja. Dalam hal ini bahwa perbuatan dan orang yang melakukan perbuatan itu dianggap satu kesatuan yang tetap bermuara pada kejahatan yang dilakukan. Oleh karena itu delik aduan absolute ini mempunyai akibat hukum dalam masalah penuntutan tidak boleh dipisah-pisahkan/onsplitbaar.


(18)

Delik aduan relative (relatieve klacht delict), yakni merupakan suatu delik yang awalnya adalah delik biasa, namun karena ada hubungan istimewa/keluarga yang dekat sekali antara si korban dan si pelaku atau si pembantu kejahatan itu, maka sifatnya berubah menjadi delik aduan atau hanya dapat dituntut jika diadukan oleh pihak korban. Dalam delik ini, yang diadukan hanya orangnya saja sehingga yang dilakukan penuntutan sebatas orang yang diadukan saja meskipun dalam perkara tersebut terlibat beberapa orang lain. Dan agar orang lain itu dapat dituntut maka harus ada pengaduan kembali. Dari sini, maka delik aduan relative dapat dipisah-pisahkan/splitsbaar.

B.Kebijakan Kriminal

1. Pengertian Kebijakan Kriminal

Kebijakan kriminal terdapat tiga pengertian, yaitu:3

1. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana. 2. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum

termasuk di dalam cara kerja dari pengadian dan polisi.

3. Dalam arti paing luas, ialah keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.

Hukum pidana hendak dilibatkan dalam usaha mengatasi segi-segi negatif dari perkembangan masyarakat modernisasi maka hendaknya dilihat dari dalam hubungan keseluruhan kebijakan kriminal dan harus merupakan bagian integral dari rencana pembangunan nasional, maka kebijakan kriminal merupakan suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan.

3


(19)

Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat, oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa tujuan dari kebijakan kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.4 Upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan, dalam arti:

a) Ada keterpaduan antara kebijakan kriminal dan kebijakan sosial

b) Ada keterpaduan antara upaya penanggulangan kejahatan dengan penal dan non-penal

Kebijakan kriminal bisa diartikan sebagai suatu prilaku dari semua pemeran untuk menetapkan suatu perbuatan sebagai bentuk tindakan pidana dengan tujuan-tujuan tertentu, yaitu untuk mencapai kesejahteraan dan melindungi masyarakat pada umumnya dengan demikian hal ini berefek pada pembentukan atau pengoreksian terhadap undang-undang, di mana perbautan itu diancam dengan suatu sanksi yaitu berupa pidana. Berdasarkan tujuan di atas, menunjukkan bahwa kebijakan kriminal itu sangat berkaitan erat dengan kebijakan sosial, bahkan kebijakan-kebijakannya termasuk dalam kebijakan sosial. Konsekuensi sebagai kebijakan pidana bukan merupakan suatu keharusan.

Kebijakan kriminal merupakan suatu usaha yang rasional dari masayarakat dalam menanggulangi kejahatan, untuk mengendalikan kejahatan, tidak lah cukup hanya menggunakan sarana panel, tetapi juga harus melibatkan usaha non-penal yang berupa penyantunan dan pendidikan sosial, dalam rangka mengembangkan

4


(20)

tanggung jawab sosial masyarakat, penggarapan kesehatan jiwa masyarakat melalui pendidikan moral, agama dan sebagainya.

Kebijakan kriminal harus dapat mengintegrasikan dan mengharmonisasikan seluruh kegiatan preventif non penal ke dalam suatu sistem kegiatan yang teratur dan terpadu. Karena kegiatan non penal itu mempunyai pengaruh provensi terhadap kejahatan. Sehingga dapat dikatanakan bahwa seluruh kegiatan provensi non penal itu mempunyai kedudukan yang sangat strategis dam mempunyai kunci yang harus diintegrasikan.

2. Keterkaitan Politik Kriminal dengan Politik Sosial

Mengendalikan kejahatan, tidak lah cukup hanya menggunakan sarana penal, tetapi juga harus melibatkan usaha non-penal yang berupa penyantunan dan pendidikan sosial, dalam rangka mengembangkan tanggung jawab sosial masyarakat, penggarapan kesehatan jiwa masyarakat melalui pendidikan moral, agama dan sebagainya, peningkata usaha-usaha kesejahteraan anak dan remaja, kegiatan pengawasan secara terus-menerus oleh polisi, aparat keamanan dan sebagainya.

Kebijakan kriminal harus dapat mengintegrasikan dan mengharmonisasikan seluruh kegiatan preventif non penal ke dalam suatu sistem kegiatan yang teratur dan terpadu karena kegiatan non penal itu mempunyai pengaruh provensi terhadap kejahatan. Sehingga dapat dikatanakan bahwa seluruh kegiatan provensi non penal itu mempunyai kedudukan yang sangat strategis dam mempunyai kunci


(21)

yang harus diintegrasikan bahwa pada realitasnya, kejahatan itu muncul disebabkan oleh ketimpangan sosial.5

3. Kebijakan Kriminalisasi

Penanggulangan kejahatan dilakukan dengan mendayagunakan hukum pidana yang pertama kali dilakukan adalah dengan melarang perbuatan-perbuatan tertentu disertai dengan ancaman sanksi pidananya melalui suatu kebijakan, kebijakan ini lazim disebut dengan kebijakan kriminalisasi.

Kebijakan kriminalisasi ditempuh dengan bertitik tolak dari pendekatan kebijakan praktis. Pendekatan praktis ini ditempuh mengingat kenyataan praktek penegakan hukum selama ini sudah mendasarkan pada kedua sumber bahan hukum yaitu KUHP dan Undang-Undang di luar KUHP, pendekatan ini dilakukan juga dengan pendekatan selektif evaluasi dan pendekatan antisipatif sesuai dengan perkembangan masyarakat dan perkembangan ilmu pengetahuan teknologi.6

Kebijakan kriminalisasi akan mempengaruhi adanya delik-delik yang baru muncul, kebijakan kriminalisasi merupakan suatu pilihan untuk menentukan suatu perbuatan yang sebelumnya bukan tindak pidana menjadi tindak pidana. Pilihan tersebut harus memperhatikan standar kriminalisasi dan prosedur penegakan hukum pidana. Kebijakan kriminalisasi dalam menentukan perbuatan yang akan dijadikan tindak pidana dan sanksi yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar harus memperhatikan sejumlah ukuran atau kriteria. Ukuran kriminalisasi untuk menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak kriminal khusus

5

Ibid, hlm. 2-4 6


(22)

yang berasal dari pernyataan sikap dan pandangan masyarakat mengenai patut tercelanya suatu perbuatan tertentu yang berhubungan dengan kemajuan perkembangan teknologi dan perubahan nilai sosial.

Ukuran kriminalisasi adalah konsep-konsep ukuran atau kriteria kriminalisasi yang dapat dikategorikan ke dalam empat persoalan, yaitu:

1. Pencapaian tujuan hukum pidana

2. Penetapan perbuatan yang tidak dikehendaki 3. Perbandingan antara sarana dan hasil

4. Kemampuan badan penegak hukum

Pengaruh sosial dari kriminalisasi yang berkenaan dengan atau dipandang dari pengaruh-pengaruh yang sekunder adalah bisa menentramkan kembali rasa keadilan dan kebenaran yang berkaiatan rasa susila di masyarakat.

Penentuan perbuatan yang semula bukan merupakan perbuatan yang dilarang kemudian dilarang disertai ancaman sanksi tertentu serta pemberatan sanksi pidana terhadap tindak pidana yang sudah ada harus memperhatikan hal-hal dibawah ini, yaitu:7

1) Pengunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur merata materi dan sprituil berdasarkan pancasila.Kaitannya dengan hal ini, penggunaan hukum pidana bertujuaan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.

2) Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan sprituil) atas warga negara.

3) Penanggulangan hukum pidana harus pula memperhatikan prinsip biaya dan hasil (cost and benefit principle).

7


(23)

4) Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan batas tugas (overbelasting).

Empat hal diatas, harus terdapat dasar pembenar untuk mengkualifikasi suatu perbuatan sebagai perbuatan terlarang hal ini berhubungan erat dengan teori kriminalisasi.

Teori-Teori Kriminalisasi:8

a. Teori Moral

Teori ini menyatakan bahwa kriminalisasi berpangkal tolak dari pendapat bahwa perbuatan yang harus dipandang sebagai kriminalisasi adalah setiap perbuatan yang bersifat merusak atau tindak asusila.

Hal ini karena moralitas umum (Common Morality) memiliki peranan sesensial untuk mempertahankan masyarakat. Jika ikatan-ikatan moral yang mengikat masyarakat hilang, masyarakat akan mengalami disintegrasi. Oleh karena itu, masyarakat berhak mengundang moralitas yang dapat menjamin keutuhannya. Apabila masyarakat berhak melakukan itu, maka ada batasan praktis tentang jumlah maksimum kebebasan individual yang bersesuain dengan integrasi masyarakat. Tetapi jika kebebasan individu melampaui batasan yang diperkenankan, maka perbuatan immoral yang menimbulkan kegaduhan, kemarahan, kejengkelan dan kejijikan patutlah menerima pengaturan dengan berbagai instrumen dari hukum pidana.

8


(24)

b. Teori Liberal Individualistik

Titik tolak teori ini yang merupakan antithesis teori moral adalah prinsip kerugian, bahwa kekuasaan negara untuk mengatur masyarakat dibatasi oleh kebebasan warga negara. Negara hanya boleh campur tangan terhadap kehidupan pribadi warga negara bila warga negara tersebut merugikan kepentingan orang lain. Jika tindakan seorang tidak merugikan orang lain, maka tidak boleh ada pembatasan terhadap kebebasannya. Berdasarkan pendapat ini, suatu perbuatan tertentu dilarang karena perbuatan tersebut merugikan orang lain. Selama suatu perbuatan tertentu tidak meugikan orang lain, maka negara tidak berhak campur tangan terhadap kehidupan warga negara dalam kehidupan bermasyarakat.

c. Teori Paternalisme

Teori ini merupakan reaksi terhadap kelemahan teori liberal individualistik yang tidak dapat memberikan perlindungan kepada kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki kelemahan fisik, pikiran, dan mental. Tugas pokok teori paternalisme adalah perlindungan untuk tidak merugikan diri sendiri. Hukum pidana melegitimasi pelarangan perbuatan seseorang yang dapat merugikan dirinya sendiri.

d. Teori Feinberg

Teori ini bukan sekedar menambah prinsip dasar kriminalisasi, tapi juga memperjelas konsep kerugian sebagai dasar untuk mengkriminalisasi suatu perbuatan menjadi terlarang. Jika menetapkan satu-satunya dasar pembenaran kriminalisasi adalah perbuatan seseorang yang merugikan orang lain, maka teori


(25)

ini mengajukan dua alasan sebagai dasar kriminalisasi, yakni untuk mencegah atau mengurangi kerugian kepada orang lain dan untuk mencegah serangan-serangan serius terhadap orang lain.

e. Teori Ordenings Strafrecht

Teori ini di dalam hukum pidana adalah alat atau instrumen kebijakan pemerintah. Penggunaan hukum pidana sebagai instrumen kebijakan pemerintah merupakan kecenderungan baru dalam perkembangan hukum pidana modern.

f. Teori Gabungan

Teori gabungan bukan nama sebuah teori, tapi merupakan istilah untuk menjelaskan dua teori yang digabungkan menjadi satu guna membentuk teori baru mengenai kriminalisasi. Ide penggabungan kedua teori tersebut dilatarbelakangi oleh kelemahan-kelemahan yang dimiliki oleh masing-masing teori kriminalisasi dalam mencari dasar pembenar untuk mengkriminalisasi suatu perbuatan sebagai kejahatan.


(26)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah merupakan proses pemecahan atau penyelesaian masalah melalui tahap-tahap yang telah ditentukan, sehingga mencapai tujuan penelitian. Melalui proses tersebut diadakan analisa dan konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah.1

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan bersifat yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang dilakukan berdasarkan bahan utama hukum utama atau mempergunakan data sekunder yang diantaranya ialah dengan mempelajarindan menelaah perundang-undangan, asas-asas, mempelajari kaedah hukum, teori-teori, doktrin-doktrin hukum, pandangan dan konsep-konsep yang berhubungan dengan analisis kebijakan kriminal tindak pidana kumpul kebo dalam RUU KUHP tahun 2012.

1


(27)

B.Sumber dan Jenis Data

Jenis data dapat dilihat dari sumbernya, dapat dibedakan antara data yang diperoleh langsung dari masyarakat dan data yang diperoleh dari bahan pustaka.2

Adapun dalam mendapatkan data atau jawaban yang tepat dalam pembahasan sesuai dengan pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini maka jenis data yang digunakan, yaitu data sekunder. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari penelusuran studi kepustakaan dengan mempelajari berbagai literatur dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan objek penelitian. Jenis data sekunder dalam penelitian ini terdiri dari:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mepunyai kekuatan hukum mengikat, yang tediri dari:

1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang dapat membantu menganalisa dan memahami bahan hukum primer, seperti Peraturan Pelaksana, Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2012 untuk mendukung pemecahan masalah dalam penelitian ini.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang fungsinya melengkapi bahan hukum primer, seperti teori-teori dan pendapat-pendapat dari sarjana-sarjana

2


(28)

atau ahli hukum, literatur-literatur, kamus, dan artikel internet yang berkaitan dengan pokok pembahasan dalam penelitian ini.

C. Penentuan Narasumber

Informan (narasumber) penelitian adalah seserang yang memiliki informasi (data) banyak mengenai objek yang sedang diteliti, dimintai informasi mengenai objek penelitian tersebut. Informan dalam penelitian ini yaitu berasal dari wawancara langsung yang disebut narasumber.

Definisi narasumber adalah peranan informan dalam mengambil data yang akan digali dari orang-orang tertentu yang dinilai menguasai persoalan yang hendak diteliti, mempunyai keahlian dan berwawasan cukup.3 Peneliti dapat memilih informan atau bisa juga informan yang mengajukan secara sukarela. Informan dalam penelitian ini adalah 1 (satu) orang Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung dan 2 (satu) orang Tokoh Agama.

D. Metode Pengumpulan Data dan Pengolahan Data 1. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dilakukan dalam penelitian ini menggunakan langkah-langkah studi kepustakaan. Studi Kepustakaan yaitu studi kepustakaan yang dilakukan untuk memperoleh data sekunder dengan cara membaca, mempelajari, dan mencatat hal-hal penting dari berbagai buku literatur, perundang-undangan, artikel dan informasi lain yang berkaitan dengan penelitian ini.

3


(29)

2. Metode Pengolahan Data

Penulis melakukan beberapa kegiatan dalam pengolahan data yang diperoleh dari penelitian ini, antara lain:

a. Editing, yaitu memeriksa kembali mengenai kelengkapan, kejelasan, dan kebenaran data dengan permasalahan yang akan dibahas agar dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan kenyataan.

b. Klasifikasi data, yaitu mengelompokkan data yang diperoleh menurut pokok bahasan yang telah ditentukan.

c. Sistematika data, yaitu menyusun dan menempatkan data pada tiap-tiap pokok bahasan secara sistematis sehingga mempermudah interprestasi data dan tercipta keteraturan dalam menjawab permasalahan.

E. Analisis Data

Setelah data diperoleh, maka tahap selanjutnya adalah menganalisa data tersebut dengan tujuan menyerhanakan data ke dalam bentuk penjelasan atau uraian secara terperinci yang akan menggambarkan dan memaparkan kenyataan-kenyataan yang diperoleh dari penelitian secara sistematis guna mendapatkan kesimpulan dari hasil penelitian yang dilakukan secara deduktif yaitu cara berpikir dari hal-hal yang bersifat umum ke arah yang lebih khusus dan dari berbagai kesimpulan tersebut dapat diajukan saran.


(30)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Narasumber

Sebagaimana dikemukakan dalam metode penelitian, penyusunan skripsi ini menggunakan data sekunder untuk menyelidiki permasalahan penelitian. Narasumber-narasumber tersebut antara lain:

1. Nama : Eddy Rifa’i, S.H., M.H., Dr. NIP : 19610912 198603 1 003

Status : Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung

2. Nama : Muhammad Yunus Jenis Kelamin : Laki-laki

Status : Tokoh Agama Islam 3. Nama : Daniel Supardi

Jenis Kelamin : Laki-laki

Status : Tokoh Agama Kristen Protestan

Berdasarkan data narasumber tersebut, maka dianggap memenuhi kriteria untuk memberikan keterangan atau masukan dalam rangka penyusunan skripsi ini. tentang Analisis Kebijakan Kriminal Tindak Pidana Kumpul Kebo Dalam RUU KUHP Tahun 2012.


(31)

B. Kebijakan Kriminal Tindak Pidana Kumpul Kebo Dalam RUU KUHP Tahun 2012

Pembaharuan hukum pidana melalui perancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru harus ditempatkan dalam konteks pembangunan hukum nasional. Pembaharuan hukum pidana dalam konteks pembangunan hukum nasional pertama-tama harus dilihat sebagai upaya memperbaharui sistem hukum nasional. Sekaligus harus sesuai dengan tuntutan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, sistem hukum nasional harus bersumber dari kebudayaan sendiri sehingga khas berkepribadian Indonesia. Berdasarkan hal ini, tidak tepat apabila RUU KUHP hanya dikaji berpangkal tolak pada prinsip-prinsip hukum Barat tetapi harus tempatkan sebagai upaya anak bangsa untuk membangun sistem hukumnya sendiri.

Berdasarkan hal tersebut, menurut penulis berbagai pendapat kontra yang dilontarkan masyarakat terhadap RUU KUHP dikarenakan perbedaan perspektif yang digunakan. Apabila RUU KUHP dilihat dalam perspektif rule of law masyarakat liberal, maka memang ada sejumlah ketentuan yang dapat dipandang memasuki ruang privat seseorang terlalu dalam. Justru hal ini akan terlihat sebaliknya apabila ketentuan-ketentuan tersebut dilihat sistem baru yang disusun dalam RUU KUHP tersebut. Diperluasnya pengertian perzinahan, sehingga tidak hanya ditujukan terhadap mereka yang sudah menikah, jangan dilihat dari perspektif liberal. Tentunya hal ini harus dilihat dalam konteks sosial dan budaya masyarakat Indonesia yang menempatkan lembaga perkawinan sebagai satu-satunya legitimasi aktivitas seksual.


(32)

Selain itu, pembaharuan hukum pidana sebagai bagian dari pembangunan hukum nasional, bukan semata-mata mengganti Wetboek van Strafrecht (WvS) dengan KUHP baru yang lebih mencerminkan jatidiri bangsa Indonesia, tetapi meliput suatu skala yang lebih luas lagi. Tepatnya pembaharuan hukum (pidana) bukan hanya sekedar memperbaharui hukum yang telah ada tetapi lebih jauh daripada itu pembaharuan hukum (pidana) berarti menggantikan yang ada dengan yang lebih baik. Oleh karena itu, cara melihat hal itu tidak dapat semata-mata dilakukan terhadap naskah RUU KUHP tersebut tetapi harus pula mengkaji berbagai latar belakang pemikiran yang berkembang dan suasana kebatinan yang timbul dalam proses perumusannya.

Penyusunan RUU KUHP baru harus mengaktualisasi rancangan yang ada dengan perkembangan terakhir. Hal ini dilakukan mengingat proses penyusunan RUU KUHP tersebut sudah memakan waktu yang cukup lama, dengan menggunakan berbagai metode, dan melibatkan kalangan yang cukup luas sehingga lebih banyak menyesuaikan rancangan yang ada dengan berbagai perkembangan, baik perkembangan dalam tataran teoretis (ilmu hukum), politis (perundang-undangan), praktis (praktek peradilan) maupun perkembangan global (konvensi internasional dan perundang-undangan negara lain). Penyusunan Konsep RUU KUHP menjadikan kumpul kebo sebagai tindak pidana terdapat pro dan kontra. Kontra antara lain menyatakan bahwa dibanyak negara masalah susila tidak pernah dipersoalkan karena memang negara tidak berhak untuk mengurusi moral dan rasa kesusilaan masyarakat dan diaturnya masalah kumpul kebo berarti memasuki ranah kehidupan seks pribadi (individu). Bahkan ada pula yang


(33)

berpendapat bahwa apabila revisi KUHP disetujui dijadikannya kumpul kebo sebagai tindak pidana, maka akan berpotensi konflik horizontal.

Pembangunan hukum nasional, termasuk pembaharuan hukum pidana melalui penyusunan RUU KUHP, bukan hanya dapat dilihat sebagai bagian dari cara perancangan sistem hukum pidana baru, tetapi lebih jauh lagi hal itu merupakan bagian dari proses besar perbaikan masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar hukum pidana Indonesia menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia itu sendiri.

Pembaharuan hukum pidana melalui penyusunan RUU KUHP merupakan upaya perubahan kultur dan struktur masyarakat secara berencana dan bertahap. Oleh karena itu pembangunan hukum yang dilakukan melalui pembaharuan hukum pidana mempunyai watak menentukan arah. Dengan RUU KUHP sebenarnya masyarakat sedang diarahkan kepada tujuan tertentu. Untuk melihat tujuan yang hendak dicapai tersebut, tidak dapat dilihat di dalam hukum pidana (baru) itu sendiri. Dengan kata lain, tujuan tersebut berada di luar hukum pidana, yang harus dicari dalam tujuan bangsa Indonesia itu sendiri.

Berdasarkan hal ini maka terdapat sejumlah ketentuan dalam RUU KUHP yang diyakini dapat mengarahkan masyarakat Indonesia kepada situasi yang lebih baik. Dalam bidang kesusilaan misalnya, sekalipun tidak dapat dinafikkan ada sejumlah daerah yang menjadikan hidup bersama diluar pernikahan adalah hal yang biasa, bahkan sah dimata hukum (adat), tetapi melalui RUU KUHP berangsur-angur kebiasaan seperti itu diarahkan untuk dapat dikurangi, atau bahkan ditinggalkan. Oleh karena itu, dalam RUU KUHP mengenai hal ini diadakan kriminalisasi. Berdasarkan hal tersebut di atas, sebenarnya hukum pidana digunakan sebagai


(34)

bagian dari perekayasaan sosial dan budaya masyarakat sebagai mana dicita-citakan nilai-nilai ketuhanan. Mengingat berdasar nilai-nilai ketuhanan tersebut, perbuatan semacam itu tidak sejalan dengan ajaran agama apapun.

Tujuan memberikan watak perubahan secara terencana dan bertahap, maka dalam RUU KUHP ditentukan bahwa sifat tercela dari perbuatan kumpul kebo sebagaiman tersebut di atas, sangat tergantung dari rasa kesusilaan masyarakat sekitar perbuatan terjadi. Hal inilah sebenarnya yang melatarbelakangi mengenai hal ini ditentukan sebagai delik aduan masyarakat. Dalam hukum pidana yang menjadi perhatian adalah perbuatan-perbuatan yang bersifat melawan hukum/yang dilarang dan diancam pidana/sesuai dengan KUHP. Mengenai sifat melawan ini merupakan suatu sifat tercelanya atau terlarangnya dari suatu perbuatan, di mana sifat tercela ini dapat bersumber pada undang-undang dan dapat bersumber dari masyarakat.

Pendapat pro, kumpul kebo merupakan suatu realitas sosial dan memunculkan problem sosial tetapi tidak ada aturannya dan belum terjamah oleh hukum. Wajar jika kemudian diwadahi dalam peraturan yang lebih konkret serta belum ada bukti bahwa pemberlakuan sanksi pidana bagi pelaku kumpul kebo akan tercipta konflik horizontal. Pandangan pro dan kontra merupakan pemikiran atau dasar pertimbangan Konsep KUHP mengatur perbuatan kumpul kebo sebagai suatu tindak pidana dan dimasukkan sebagai salah satu jenis kesusilaan, sebagai berikut. Landasan Sosio-filosofis dan Sosio-kultural Sistem Hukum Nasional, penyusunan Konsep KUHP Baru melatarbelakangi oleh kebutuhan dan tuntutan nasional


(35)

untuk melakukan pembaharuan/penggantian KUHP lama warisan zaman kolonial Belanda, jadi berkaitan erat dengan ide pembaharuan hukum pidana.

Sebelum penulis melakukan pembahasan mengenai kebijakan kriminal tindak pidana kumpul kebo dalam RUU KUHP, penulis akan menjelaskan bahwa kebijakan kriminal merupakan upaya melakukan pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya termasuk bidang kebijakan kriminal yang merupakan bagian dan terkait erat dengan pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari kebijakan atau upaya rasional memperbarui substansi hukum untuk lebih mengefektifkan penegakan hukum, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari kebijakan untuk memberantas kejahatan dalam rangka perlindungan masyarakat, pembaharuan hukum masalah sosial dan masalah kemanusian dalam rangka mencapai tujuan nasional.

Kebijakan kriminal tentang kumpul kebo dalam rangka pembaharuan hukum pidana nasional. Hal ini dilatarbelakangi masuknya kebiasaan-kebiasaan budaya asing ke Indonesia, salah satunya adalah kebiasaan hidup bersama sebagai suami-isteri di luar perkawinan yang sah yang lebih dikenal dengan istilah kumpul kebo, dan Indonesia belum memiliki suatu KUHP nasional yang merupakan KUHP buatan sendiri, melainkan tetap menggunakan KUHP peninggalan kolonial Belanda, secara tidak langsung menganut unsur budaya barat yang berbeda dengan budaya timur yang dianut Bangsa Indonesia.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak mengatur mengenai pemidanaan bagi seseorang yang tinggal bersama dalam satu rumah atau yang dikenal dengan istilah kumpul kebo, oleh karena tidak adanya peraturan yang mengaturnya maka


(36)

praktek kumpul kebo dapat berkembang di masyarakat mengetahui upaya penanggulangan hukum yang diatur penyusunan konsep rancangan KUHP mengenai kumpul kebo.

Kebijakan kriminal tindak pidana kumpul kebo dalam RUU KUHP merupakan upaya yang dilakukan dalam bentuk pemidanaan dari suatu kebijakan kriminal dengan menggunakan hukum pidana objektif berisi tentang berbagai macam perbuatan yang dilarang, terhadap perbuatan-perbuatan itu telah ditetapkan ancaman pidana kepada barangsiapa yang melakukannya. Sanksi pidana yang telah ditetapkan dalam undang-undang kemudian oleh Negara dijatuhkan dan dijalankan kepada pelaku perbuatan. Pemidanaan dapat diartikan sebagai penjatuhan pidana yang merupakan konkritisasi atau realisasi dari ketentuan pidana dalam undang-undang yang merupakan sesuatu yang abstrak berdasarkan kebijakan kriminal suatu berbuatan yang dilarang.

Selanjutnya dalam melakukan pembahasan mngenai kebijakan kriminal tindak pidana kumpul kebo dalam RUU KUHP, penulis akan memberikan penjelasan bahwa kebijakan kriminal tindak pidana kumpul kebo dalam RUU KUHP adalah salah satu upaya penanggulangan kejahatan melalui sarana penal. Dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) ialah masalah penentuan:

1) Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana

2) Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar 3) Sistem peradilan pidana dalam menjalankan peraturan tersebut


(37)

Penganalisisan terhadap tiga masalah sentral ini tidak dapat dilepaskan dari konsepsi integral antara kebijakan kriminal dengan kebijakan sosial atau kebijakan pembangunan nasional. Untuk menghadapi masalah yang pertama yang sering disebut masalah kriminalisasi, harus diperhatikan hal-hal berikut: 1. Pengunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan

nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur merata materi dan sprituil berdasarkan pancasila. Kaitannya dengan hal ini, penggunaan hukum pidana bertujuaan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat. Penggunaan sanksi pidana dalam tindak pidana kumpul kebo yang diatur dalam RUU KUHP adalah merupakan salah satu bentuk respon pemerintah terhadap tindakan yang melanggar asusila.

2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan sprituil) atas warga negara. Dalam hal ini kebijakan kriminal tindak pidana kumpul kebo dalam RUU KUHP merupakan salah satu usaha untuk perlindungan masyarakat terhadap sifat bahayanya si pelaku tindak pidana kumpul kebo apabila melakukan tindakan tersebut, maka tujuan pidana adalah upaya untuk memperbaiki si pelaku. 3. Penanggulangan hukum pidana harus pula memperhatikan prinsip biaya dan

hasil (cost and benefit principle). Peraturan tentang tindak pidana kumpul kebo dalam RUU KUHP mempertimbangkan dalam hal perlunya mempertahankan keseimbangan atau keselarasan berbagai kepentingan dan


(38)

nilai yang terganggu oleh adanya kejahatan. Tujuan pidana adalah untuk memelihara atau memulihkan keseimbangan masyarakat.

4. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan batas tugas (overbelasting). Upaya penanggulangan tindak pidana kumpul kebo yang diatur dalam RUU KUHP adalah sebagai bentuk perlindungan masyarakat terhadap penyalahgunaan kekuasaan dalam mengunakan sanksi pidana, maka tujuan pidana adalah untuk mengatur atau membatasi kesewenang-wenangan penguasa maupun warga masyarakat pada umumnya.

Menyelesaikan masalah kebijakan kriminal yaitu perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, harus terdapat dasar pembenar untuk mengkualifikasi suatu perbuatan sebagai perbuatan terlarang hal ini berhubungan erat dengan teori kriminalisasi. Dalam hal ini penulis menggunakan teori moral, teori ini menyatakan bahwa kriminalisasi berpangkal tolak dari pendapat bahwa perbuatan yang harus dipandang sebagai kriminalisasi adalah setiap perbuatan yang bersifat merusak atau tindak asusila karena moralitas umum (Common Morality) memiliki peranan esensial untuk mempertahankan masyarakat. Jika ikatan-ikatan moral yang mengikat masyarakat hilang, masyarakat akan mengalami disintegrasi. Oleh karena itu, masyarakat berhak mengundang moralitas yang dapat menjamin keutuhannya. Apabila masyarakat berhak melakukan itu, maka ada batasan praktis tentang jumlah maksimum kebebasan individual yang bersesuain dengan integrasi masyarakat. Tetapi jika kebebasan individu melampaui batasan yang diperkenankan, maka perbuatan immoral yang menimbulkan kegaduhan,


(39)

kemarahan, kejengkelan dan kejijikan patutlah menerima pengaturan dengan berbagai instrumen dari hukum pidana.

Penetapan tentang perbuatan apa yang dijadikan tindak pidana adalah kumpul kebo, apabila telah ditentukan perbuatannya maka dapat ditentukan sanksi pidananya sesuai dengan ketentuan yang berlaku apakah tindak pidana tersebut termasuk tindak pidana berat atau tindak pidana ringan. Pada peraturan tentang tindak pidana kumpul kebo dalam RUU KUHP Tahun 2012 pada Pasal 485 telah ditentukan bahwa sanksi pidananya berupa pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah), dilihat dari sanksi pidananya maka tindak pidana kumpul kebo masih termasuk sebagai tindak pidana ringan sehingga dalam sistem peradilan pidananya dilakukan dengan aturan yang berlaku.

Menurut pendapat Eddy Rifa’i, kebijakan kriminal tindak pidana kumpul kebo dari sisi sosiologis adalah upaya yang merupakan salah satu bentuk perlindungan terhadap kehormatan baik individu maupun masyarakat Indonesia dari perbuatan yang bersifat anti kesusilaan tentang tindak pidana kumpul kebo. Meskipun tidak pidana kumpul kebo tidak ada unsur korbannya tetapi kebijakan kriminal dibuat untuk pelakunya. Kebijakan kriminal merupakan suatu pilihan untuk menentukan suatu perbuatan yang sebelumnya bukan tindak pidana menjadi tindak pidana. Pilihan tersebut harus memperhatikan standar kriminalisasi dan prosedur penegakan hukum pidana. Kebijakan kriminal dalam menentukan perbuatan yang akan dijadikan tindak pidana dan sanksi yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelaku harus memperhatikan sejumlah ukuran atau kriteria.


(40)

Ukuran kriminalisasi untuk menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak kriminal khusus yang berasal dari pernyataan sikap dan pandangan masyarakat mengenai patut tercelanya suatu perbuatan tertentu yang berhubungan dengan kemajuan perkembangan teknologi dan perubahan nilai sosial.1

Menurut Eddy Rifa’i, kebijakan kriminal tentang tindak pidana kumpul kebo

dalam RUU KUHP berdasarkan peraturan tentang zina dala KUHP serta dalam UU tentang Perkawinan sebagai sisi yuridis tanpa mengesampingkan sisi filosofis yaitu Pancasila dan UUD Tahun untuk menyeimbangkan ukuran penetapan kebijakan kriminal suatu perbuatan yang tidak dikehendaki perlu memperhatikan dari segi pencapaian tujuan hukum pidana, perbandingan antara sarana dan hasil, kemampuan penegak hukum agar kebijakan yang dibuat tidak sia-sia.

Terhadap pendapat Eddy Rifa’i, penulis setuju dengan pendapat bahwa dalam

menetukan kebijakan kriminal perlu memperhatikan prosedur dalam mengkriminalisasikan tindakan menjadi suatu tindak pidana yang diatur dalam RUU KUHP dan ditentukan sanksi pidananya dan memperhatikan berdasarkan sisi yuridis, filosofis dan sosiologis. Sisi yuridis merupakan landasan yang menjadi dasar dalam hal mendukung kebijakan kriminal tentang suatu tindakan ditentukan, dalam kebijakan kriminal tindak pidana kumpul kebo sebagai bagian yuridis adalah Undang-Undang tentang Perkawinan yang mengatur tentang hakikat-hakikat perkawinan serta bagaiman kedudukan perkawinan dalam hukum maka dari itu tindak pidana kumpul kebo perlu diatur untuk mendukung agar Undang-Undang Perkawinan dapat berjalan sesuai yang telah ditentukan. Demikian juga dengan tinjauan yuridis, kedudukan agama dalam konteks hukum

1


(41)

dan eratnya hubungan antara keduanya menyatakan negara berdasar atas ke Tuhanan yang Maha Esa dan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Sisi filosofis adalah falsafah yang digunakan sebagai acuan suatu kebijakan kriminal dibentuk untuk mencegah suatu tindakan, penulis berpendapat bahwa tidak dapat dipungkiri terdapat adanya kaitan antara hukum pidana dengan norma yang hidup dalam masyarakat baik norma agama dan kesusilaan (moral) dalam kehidupan bermasyarakat juga harus ada keseimbangan antara kebebasan individu dan masyarakat yaitu dengan memegang teguh falsafah Pancasila dan UUD 1945 sebagai aspek filosofis maka kumpul kebo merupakan suatu kejahatan karena bertentangan dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, oleh karena itu produk hukum Indonesia harus disesuaikan dengan filosofi dan jati diri bangsa yang religius dalam menegakkan demokrasi Pancasila yang harmonis dan berkeseimbangan antara rohani dan jasmani, antar manusia dengan Ketuhanan Yang Maha Esa (agama).

Sisi sosiologis dalam kebijakan kriminal adalah landasan yang bersifat berasal dari pemikiran masyarakat tentang sebab akibat suatu tindakan yang terjadi dan harus diatur, kumpul kebo merupakan penyakit masyarakat yang sangat meresahkan dalam kehidupan mengingat dampak negatif yang ditimbulkan kumpul kebo, baik terhadap diri, maupun keluarga, dan masyarakat begitu besar.

Menurut Daniel Supardi, kebijakan kriminal harus menghasilkan peraturan yang dapat dilaksanakan yang sesuai dengan kemampuan dari sumber daya manusia


(42)

yang akan melaksanakan karena apabila tidak, akan mengakibatkan kerugian yang cukup besar bagi negara dan akan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap hukum pidana sebab dipandang tidak mampu melakukan penanggulangan kejahatan. Kriminalisasi terhadap perbuatan-perbuatan yang melanggar nilai kesusilaan yang berkembang di sebagian masyarakat merupakan perwujudan dari tujuan pembangunan nasional yang tidak lain penguatan nilai-nilai masyarakat. Perbuatan yang diusahakan dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus perbuatan yang tidak dikehendaki yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian bagi warga masyarakat terutama dari segi moral. Mengkriminalisasi juga perlu mempertimbangkan pengaruh sosial yang diharapkan agar dapat memberikan rasa aman dan tertib bagi masyarakat. Pengaruh sosial dari kriminalisasi yang berkenaan dengan atau dipandang dari pengaruh-pengaruh yang sekunder adalah bisa menentramkan kembali rasa keadilan dan kebenaran. Kebijakan kriminal dalam RUU KUHP tentang tindak pidana kumpul kebo merupakan tahap awal dalam menanggulangi pelanggaran yang mengganggu ketertiban dalam masyarakat yang harus memperhatikan dasar-dasar yang harus ditentukan.2

Terhadap pendapat Daniel Supardi, penulis sependapat bahwa ketentuan kumpul kebo dalam RUU KUHP sebagai tindak pidana merupakan suatu kebijakan kriminal sebagai tahap formulasi dalam rangka pembaharuan hukum pidana Indonesia yang dirumuskan dengan memperhatikan dan mempertimbangkan beberapa hal yaitu:

2


(43)

1) Ketentuan umum meliputi perumusan pengertian kumpul kebo, perumusan istilah baru atau memperluas pengertian istilah yang telah ada berkaitan dengan pelanggaran kesusilaan dan aspek jurisdiksi yang mengacu pada asas universal.

2) Tahap formulasi tindak pidana meliputi pengintegrasian tindak pidana kumpul kebo dalam RUU KUHP dan dapat diintegrasikan dalam Undang-Undang tentang Perkawinan yang disertai dengan perumusan aturan umum hukum pidana berkaitan dengan hal-hal khusus yang tidak diatur dalam KUHP, sehingga dapat menjangkau tindak pidana kumpul kebo.

3) Tahapan formulasi pertanggungjawaban pidana, meliputi prinsip pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan, prinsip pertanggungjawaban yang ketat dan prinsip pertanggungjawaban pengganti.

4) Tahapan formulasi sistem pidana dan pemidanaan, meliputi sistem perumusan sanksi pidana menggunakan sistem kumulatif alternatif, sistem perumusan lamanya pidana menggunakan sistem minimum khusus dan maksimum khusus, jenis-jenis sanksi pidana terdiri dari pidana penjara, denda dan pidana tambahan atau pidana administratif yang disesuaikan dengan pelakunya orang.

Peraturan tindak pidana kumpul kebo yang terdapat dalam RUU KUHP Tahun 2012 merupakan kebijakan formulasi dari sebuah kebijakan dalam menanggulangi kejahatan perbuatan kumpul kebo, namun Pasal 485 RUU KUHP Tahun 2012 dirasa belum dapat diaplikasikan secara sempurna apabila perbuatan kumpul kebo dilakukan pelakunya dengan cara-cara yang belum ada dalam unsur-unsur peraturan tersebut. Kumpul kebo juga dapat dilakukan dengan cara-cara yang


(44)

dapat melemahkan peraturan pada pasal tersebut, pada Pasal 485 belum menyebutkan siapa yang dapat dikenakan pidana apakah kedua pelaku yaitu pria dan wanita atau hanya salah satu pelaku. Dan juga apabila kumpul kebo dilakukan melalui cara yang tersembunyi yaitu melalui perjanjian kawin kontrak, nikah siri atau dengan melalui hal-hal kecil seperti menjadikan pasangan kumpul kebo sebagai pembantu rumah tangga, baby sister. Maka dari itu bukan hanya sanksi pidananya saja yang masih ringan tetapi peraturan dalam pasal tersebut belum dapat mencakup semuanya termasuk hal-hal yang dapat menyebabkan kumpul kebo itu sendiri.

Pasal 485 juga belum bisa mengatur bagaimana jika dalam suatu daerah mempunyai adat istiadat atau kebudayaan yang bisa juga termasuk dalam unsur-unsur tindak pidana kumpul kebo, sedangkan dalam daerah tersebut masih percaya dengan berlakunya hukum adat dari nenek moyang. Hal ini yang menambah kelemahan-kelemahan dari kebijakan kriminal pada Pasal 485 RUU KUHP Tahun 2012, sehingga harapan dalam konsep RUU KUHP tahun berikutnya agar dapat lebih mengikat dan dapat mengatur hal-hal yang lebih khusus yang masuk dalam tindak pidana kumpul kebo. Walaupun dalam RUU KUHP Tahun 2012 sudah lebih baik dari KUHP, namun tetap para legislator atau pembuat kebijakan agar lebih memperhatikan isi pasal yang akan disahkan agar pasal-pasal yang dirumuskan tidak sia-sia.


(45)

C.

Kebijakan Kriminal Tentang Tindak Pidana Kumpul Kebo dalam RUU KUHP Tahun 2012 dalam Mencerminkan Rasa Kesusilaan Menurut Norma Agama yang Berlaku di Indonesia

Selain bertolak dari ide keseimbangan Pancasila, pembaharuan hukum pidana di Indonesia khususnya penyusunan Konsep KUHP Baru bahwa pembaharuan hukum pidana dan penegakan hukum pidana hendaknya dilakukan dengan menggali dan mengkaji sumber hukum tidak tertulis dan nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat, antara lain dalam hukum agama dan hukum adat.

Selanjutnya dalam melakukan pembahasan mengenai kebijakan kriminal tentang tindak pidana kumpul kebo dalam RUU KUHP dalam mencerminkan rasa kesusilaan bangsa Indonesia, penulis akan menjelaskan bahwa perlu ada harmonisasi atau konsistensi antara pembangunan atau pembaharuan hukum nasional dengan nilai-nilai atau aspirasi sosiofilosofis dan sosiokultural yang ada di masyarakat. Oleh karena itu dalam melakukan upaya pembaharuan hukum pidan perlu dilakukan pengkajian dan penggalian nilai-nilai nasional yang bersumber dari Pancasila dan bersumber pada nilai-nilai yang ada dalam masyarakat seperti nilai agama maupun budaya/adat.

Menurut Muhammad Yunus, kumpul kebo tidak hanya dilarang dalam satu agama saja tetapi seluruh agama yang ada di Indonesia pasti juga melarang tindakan tersebut. Kumpul kebo mencerminkan keimanan seseorang terhadap Tuhan sangat lemah, hal ini karena kumpul kebo adalah kegiatannya lebih patut dilakukan oleh pasangan suami istri. Setiap agama sudah ada pengaturan tentang pernikahan jadi apabila seseorang melakukan tindakan kumpul kebo bukan alasan


(46)

untuk bisa hidup bersama, seseorang itu bisa terlebih dahulu melakukan pernikahan sesuai peraturan agama yang dianutnya masing-masing.3

Menurut M. Yunus, individu dalam kehidupan sehari-hari melakukan interaksi dengan individu atau kelompok lainnya. Interaksi sosial juga senantiasa didasari oleh adat dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Masyarakat yang menginginkan hidup aman, tentram dan damai tanpa gangguan, maka bagi tiap manusia perlu menjadi pedoman bagi segala tingkah laku manusia dalam pergaulan hidup, sehingga kepentingan masing-masing dapat terpelihara dan terjamin. Setiap anggota masyarakat mengetahui hak dan kewajiban masing-masing. Norma-norma itu mempunyai dua macam isi, dan menurut isinya berwujud perintah dan larangan. Perintah merupakan kewajiban bagi seseorang untuk berbuat sesuatu oleh karena akibat-akibatnya dipandang baik. Sedangkan larangan merupakan kewajiban bagi seseorang untuk tidak berbuat sesuatu oleh karena akibat-akibatnya dipandang tidak baik. Dalam hubungannya dalam tindak pidana kumpul kebo, norma dapat dijadikan patokan perilaku dalam peraturan sosial.

Menurut pendapat Daniel Supardi, akibat kumpul kebo selain merusak suatu perkawian juga akan membuat sulit status anak yang dihasilkan dari kumpul kebo tersebut. Apabila kumpul kebo tidak segera diatur maka pelakunya akan menjadi bebas melakukan hal yang tidak sewajarnya hingga mengakibatkan kehamilan yang anak tersebut tidak mempunyai perlindungan hukum karena dilahirkan diluar perkawinan dan akan menjadi bahan cemooh atau penghinaan bagi lingkungannya

3


(47)

sendiri, jadi memang tepat apabila kumpul kebo telah dibuat peraturannya sesuai nilai-nilai agama yang ada di Indonesia.4

Terhadap kedua pendapat tersebut penulis setuju dengan kedua pendapat tersebut karena norma kesusilaan merupakan norma yang bersumber dari hati nurani (batin) manusia agar manusia selalu berbuat kebaikan dan tidak melakukan perbuatan yang tercela, peraturan hidup yang berasal dari suara hati sanubari manusia. Pada dasarnya setiap manusia memiliki hati nurani yang sama dan selalu mengajak pada kebaikan dan kebenaran. Karenanya, ketika melakukan pelanggaran terhadap teguran hati nurani, akan timbul penyesalan dan rasa kecewa yang mendalam. Pelanggaran norma kesusilaan ialah pelanggaran perasaan yang berakibat penyesalan. Norma kesusilaan bersifat umum dan universal dapat diterima oleh seluruh umat manusia, pelanggaran terhadap norma ini berakibat sanksi pengucilan secara fisik (dipenjara, diusir) ataupun batin (dijauhi). Sedangkan norma agama adalah norma yang berasal dari Tuhan, pelanggarannya disebut dosa. Norma agama adalah peraturan hidup yang harus diterima manusia sebagai perintah-perintah, larangan-larangan dan ajaran-ajaran yang bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa. Pelanggaran terhadap norma ini akan mendapat hukuman dari Tuhan Yang Maha Esa berupa siksa kelak di akhirat.

Kehidupan manusia dalam bermasyarakat, selain diatur oleh hukum juga diatur oleh norma-norma agama, kesusilaan, dan norma lainnya. Kaidah-kaidah sosial itu mengikat dalam arti dipatuhi oleh anggota masyarakat di mana kaidah itu berlaku. Hubungan antara hukum dan kaidah-kaidah sosial lainnya itu saling

4


(48)

mengisi. Artinya kaidah sosial mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat dalam hal-hal hukum tidak mengaturnya. Selain saling mengisi, juga saling memperkuat. Suatu kaidah hukumdiperkuat oleh kaidah sosial lainnya. Kaidah agama dan kesusilaan juga berisi suruhan yang sama. Dengan demikian, tanpa adanya kaidah hukum pun dalam masyarakat sudah ada larangan untuk melakukan kumpul kebo. Hubungan antara norma agama dan kesusilaan tidak dapat dipisahkan, pembedanya karena masing-masing memiliki sumber yang berlainan. Norma Agama sumbernya kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Norma kesusilaan sumbernya suara hati (insan kamil).

Pembaharuan hukum pidana dari pendekatan nilai merupakan upaya peninjauan dan penilaian kembali pokok-pokok pemikiran, ide-ide dasar atau nilai-nilai sosiofilosofis, sosiopolitik dan sosiokultural yang melandasi kebijakan kriminal dan kebijakan hukum pidana selama ini. Ajaran agama dijadikan sebagai sumber motivasi, sumber inspirasi dan sumber evaluasi yang kreatif dalam membangun insan hukum yang berakhlak mulia sehingga wajib dikembangkan upaya-upaya konkret dalam muatan kebijakan pembaharuan hukum nasional yang dapat memperkuat landasan keagamaan yang sudah berkembang dalam masyarakat, memfasilitasi perkembangan keberagaman dalam masyarakat dengan kemajuan bangsa, mencegah konflik sosial antar umat beragama dan meningkatkan kerukunan antar umat bangsa.

Nilai-nilai berkehidupan kebangsaan yang dilandaskan pada moralitas religius ini kemudian diwujudkan di dalam Undang-Undang tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah


(49)

tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

Kebijakan kriminal tindak kumpul kebo pada hakikatnya berhubungan dengan norma kesusilaan dan norma agama. Norma kesusilaan adalah norma yang mengatur hidup manusia yang berlaku secara umum dan bersumber dari hati nurani manusia. Tujuan norma kesusilaan, yaitu mewujudkan keharmonisan hubungan antarmanusia. Sanksi bagi pelanggarnya, yaitu rasa bersalah dan penyesalan mendalam bagi pelanggarnya. Kumpul kebo bisa terjadi karena orang yang melakukan tidak mempunyai sikap dan rasa malu terhadap masyarakat. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang lebih mengutamakan rasa malu apabila ingin melakukan hal-hal yang melanggar norma-norma dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat memerlukan perlindungan kepentingan, yang tercapai dengan terciptanya pedoman atau peraturan hidup yang menentukan bagaimana seharusnnya manusia itu betingkah laku dalam masyarakat agar tidak merugikan orang lain dan dirinya sendiri jadi wajar apabila kumpul kebo dijadikan sebagai tindak pidana dan ada sanksi pidananya. Norma agama dan norma kesusilaan berlaku secara luas di setiap kelompok masyarakat bagaimanapun tingkat peradabannya karena itu sangatlah tepat jika kebijakan kriminal tindak pidana berkaitan dengan kedua norma tersebut.

Ketentuan-ketentuan pidana mengenai kejahatan-kejahatan terhadap kesusilaan yang sengaja dibuat oleh pembentuk undang-undang untuk melindungi orang-orang dari tindakan-tindakan asusila dan perilaku-perilaku baik dengan ucapan


(50)

maupun dengan perbuatan yang menyinggung rasa asusila karena bertentangan dengan pandangan orang tentang kepatutan-kepatutan dibidang seksual baik ditinjau dari segi pandangan masyarakat setempat maupun dari segi kebiasaan masyarakat dalam menjalankan kehidupan seksual mereka.

Pidana mengenai delik kesusilaan semestinya hanya perbuatan-perbuatan yang melanggar norma-norma kesusilaan seksual yang tergolong dalam kejahatan terhadap kesusilaan. Pengertian kesusilaan hendaknya tidak dibatasi pada pengertian kesusilaan dalam bidang seksual saja tetapi juga meliputi hal-hal lain yang termasuk dalam penguasaan norma-norma bertingkah laku dalam pergaulan masyarakat. Oleh karena itu perzinahan dipandang sebagai perbuatan dosa yang dapat dilakukan oleh pria maupun wanita dan dipandang sebagai suatu penodaan terhadap ikatan suci dari perkawinan.

Norma menyangkut perilaku-perilaku yang pantas dilakukan dalam menjalani interaksi sosialnya karena norma adalah aturan-aturan atau pedoman sosial yang khusus mengenai tingkah laku, sikap, dan perbuatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan di lingkungan kehidupannya. Keberadaan norma dalam masyarakat bersifat memaksa individu atau suatu kelompok agar bertindak sesuai dengan aturan sosial yang telah terbentuk. Pada dasarnya, norma disusun agar hubungan di antara manusia dalam masyarakat dapat berlangsung tertib sebagaimana yang diharapkan. Norma tidak boleh dilanggar. Siapa pun yang melanggar norma atau tidak bertingkah laku sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam norma itu, akan memperoleh hukuman. Norma merupakan hasil buatan manusia sebagai makhluk sosial. Pada awalnya, aturan ini dibentuk secara


(51)

tidak sengaja. Lama-kelamaan norma-norma itu disusun atau dibentuk secara sadar. Norma dalam masyarakat berisis tata tertib, aturan, dan petunjuk standar perilaku yang pantas atau wajar.

Tujuan norma adalah untuk menjamin keteraturan. Kongkretnya membentuk negara hukum dan menunjukkan sikap positif dan proaktif. Untuk menjamin keteraturan memang ada hambatannya, yaitu adanya mentalitas suka menerabas dan banyak bicara tapi sedikit bertindak. Fungsi Norma untuk menyelesaikan konflik, menciptakan ketertiban atau keteraturan, memenuhi rasa keadilan dan kepastian hukum karena kumpul kebo tidak lebih baik daripada menikah. Pelaku kumpul kebo mengalami depresi yang jauh lebih tinggi dan mengalami kepuasan yang lebih rendah dibandingkan mereka yang menikah. Kualitas hubungannya juga lebih rendah, oleh karena itu cukuplah kiranya itu sebagai alasan untuk menghindari kumpul kebo. Oleh karena itu ketentuan tentang kumpul kebo yang diatur dalam RUU KUHP merupakan salah satu pencerminan rasa kesusilaan bangsa Indonesia berdasarkan norma agama yang ada dalam masyarakat sebagai salah satu perwujudan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.


(52)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan oleh penulis, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa :

1. Kebijakan kriminal tentang tindak pidana kumpul kebo dalam RUU KUHP tahun 2012 dengan diatur dalam Pasal 485 RUU KUHP Tahun 2012 dengan sanksi pidananya yaitu pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II (Rp 30.000.000,00) dirasa belum menunjukkan bahwa perbuatan kumpul kebo termasuk dalam tindak pidana berat, hal ini dapat dilihat dari sanksinya masih masuk dalam tindak pidana ringan. Walaupun dengan sanksi yang masih ringan kebijakan kriminal kumpul kebo sudah sepatutnya dilakukan karena perbuatan kumpul kebo tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, selain itu kumpul kebo juga dianggap sebagai penyakit sosial yang cukup mengganggu masyarakat Indonesia yang membawa dampak negatif lainnya.

Pendapat pertama menyatakan bahwa dalam menetukan kebijakan kriminal perlu memperhatikan prosedur dalam mengkriminalisasikan tindakan menjadi suatu tindak pidana yang diatur dalam RUU KUHP dan ditentukan sanksi pidananya dan memperhatikan berdasarkan sisi yuridis, filosofis dan


(53)

sosiologis sehingga tujuan untuk menyeimbangkan ukuran penetapan kebijakan kriminal suatu perbuatan yang tidak dikehendaki dalam masyarakat tidak sia-sia dalam rangka menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, sehingga lebih jauh dapat memberikan perlindungan masyarakat demi tercapainya kesejahteraan masyarakat.

Pendapat kedua menyatakan bahwa menentukan tindak pidana kumpul kebo dalam RUU KUHP adalah merupakan tahap formulasi dalam kebijakan kriminal hukum pidana yang akan datang sepenuhnya dan harus dirumuskan dengan memperhatikan dan mempertimbangkan ketentuan-ketentuan yang berlaku.

2. Kebijakan kriminal tentang tindak pidana kumpul kebo dalam RUU KUHP Tahun 2012 dalam mencerminkan rasa kesusilaan menurut norma agama yang berlaku di Indonesia pada hakikatnya berdasarkan dari pengertian norma kesusilaan, hubungan norma kesusilaan dan norma agama serta tujuan norma kesusilaan yaitu mewujudkan keharmonisan hubungan antarmanusia maka kebijakan kriminal tindak kumpul kebo dalam RUU KUHP tahun 2012 merupakan suatu perwujudan dan pencerminan dari tujuan norma kesusilaan serta norma agama agar dapat terlaksananya keserasian antara hukum dengan adanya norma kesusilaan dan norma agama sebagai pertimbangan yang ada dalam pembaharuan hukum pidana di Indonesia.


(54)

B.Saran

Penulis memberikan beberapa saran atau masukan yang mudah-mudahan dapat bermanfaat:

1. Para pembuat kebijakan (legislator) pada tahap formulasi hukum pidana dalam upaya penanggulangan tindak pidana kumpul kebo hendaknya memperhatikan karakteristik kumpul kebo sebagai kejahatan yang berhubungan dengan perzinahan serta berorientasi pada RUU KUHP Tahun 2012 karena merupakan bagian dari pembaharuan hukum pidana nasional.

2. Upaya penanggulangan kumpul kebo ini dapat berjalan secara efektif dengan sarana penal, apabila ada kerjasama dan harmonisasi materi/substansi tindak pidana dan harmonisasi kebijakan formulasi pada tingkat nasional, regional maupun internasional.

3. Proses kebijakan formulasi hukum pidana dalam penanggulangan kumpul kebo harus melibatkan berbagai pihak yang berkompeten, seperti pemerintah, parlemen, akademisi, aparat penegak hukum, dan masyarakat.

4. Perlunya memaksimalkan upaya penanggulangan kumpul kebo dengan sarana non penal melalui berbagai pendekatan, karena lebih bersifat preventif dan mengingat adanya keterbatasan kemampuan sarana penal.


(55)

1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Salah satu upaya untuk melakukan pembaharuan Hukum Pidana Nasional adalah dengan meyusun Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi masyarakat sekarang dan nilai-nilai sesuai dengan kepribadian bangsa. Bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesusilaan dalam kehidupannya sehari-hari kini mulai mempersoalkan timbulnya fenomena baru dalam kehidupan bermasyarakatnya yaitu berupa penyimpangan kehidupan di bidang kejahatan seksual.1

Penyimpangan kesusilaan itu salah satunya adalah hidup bersama tanpa adanya suatu ikatan perkawinan yang terjadi antara seorang pria dan seorang wanita yang dalam masyarakat dikenal dengan istilah kumpul kebo.2

Perbuatan kumpul kebo tersebut mulai di kota-kota besar di Indonesia. Hal ini dianggap telah merusak rasa kesusilaan masyarakat Indonesia. Kebijakan kriminal tindak pidana kumpul kebo dalam RUU KUHP dengan pertimbangan bahwa kumpul kebo merupakan penyakit sosial, dan bertentangan dengan ajaran agama. Ditinjau dari tujuan pemidanaan, kriminalisasi kumpul kebo dimaksudkan melindungi masyarakat dan individu pelaku tindak pidana tersebut. Ditinjau dari

1

http://www.wordpress.com diakses pada tanggal 14 Oktober 2012 2


(56)

pentingnya pembaharuan hukum pidana di Indonesia, kriminalisasi kumpul kebo dilakukan untuk menegakkan nilai dan norma serta untuk mengagungkan lembaga perkawinan. Manusia dilahirkan dengan kodratnya untuk hidup bersama dengan lawan jenis untuk membentuk suatu ikatan keluarga yang kekal dan bahagia.3

Hasrat untuk hidup bersama memang telah menjadi pembawaan manusia yang merupakan suatu keharusan badaniah untuk melangsungkan hidupnya. Menurut kodrat alam, manusia ada di mana-mana dan pada zaman apapun juga selalu hidup bersama dan hidup berkelompok-kelompok. Sekurang-kurangnya kehidupan bersama itu terdiri dari dua orang, suami-istri ataupun ibu dan bayinya. Dalam sejarah perkembangannya, manusia tidak dapat hidup sendiri, terpisah dari kelompok masyarakat lainnya kecuali dalam keadaan terpaksa dan itupun hanya untuk sementara waktu. Pelaku kumpul kebo pada saat ini sudah lihai dalam melakukan perbuatan tindak asusila tersebut dengan berbagai cara seperti melalui perjanjian kawin kontrak, pernikahan siri bahkan melalui hal-hal yang tidak diduga seperti menjadikan pasangannya sebagai pembantu rumah tangga, baby sister atau pengasuh orang-orang lanjut usia. Maka karena itu pelaku kumpul kebo sangat sulit untuk dapat dituntut dengan menggunakan peraturan yang hanya mengatur tentang perbuatan kumpul kebo dan belum mencakup pengaturan hal-hal apa saja yang dapat mengakibatkan perbuatan kumpul kebo.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berasal dari WvS (Wetboek van Strafrecht) kumpul kebo tidak dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang dapat dipidana. Sedangkan di dalam RUU KUHP Tahun 2012 telah diatur tentang

3


(57)

kumpul kebo dalam Pasal 485 pada BAB XVI tentang Tindak Pidana Kesusilaan Bagian Keempat tentang Zina dan Perbuatan Cabul:

Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan yang sah, dipidana pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II.

Pidana denda pada kategori II Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah), tercantum pada Bagian Kedua tentang Pidana Paragraf 5 Pidana Denda Pasal 80 RUU KUHP 2012.

Berdasarkan pada peraturan maka tindak pidana kumpul kebo di dalam RUU KUHP ini lebih luas dibandingkan dengan KUHP saat ini yang hanya mengatur tindak pidana zina sebagai persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan laki-laki atau perempuan yang bukan istri atau suaminya. Perzinahan dalam konteks RUU KUHP juga mencakup perbuatan laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan.

Perumusan tindak pidana kumpul kebo ini menimbulkan banyak perdebatan. Hal ini dikarenakan pada perbuatan perzinaan tidak terjadinya unsur kekerasan dan tidak dilakukan di muka umum. Kebijakan kriminal atas perbuatan di atas maka akan mengganggu kebebasan masyarakat sehingga ini mengarah pada tindak pidana yang tidak ada korbannya. RUU KUHP ini menitik beratkan kepada perlindungan kepentingan politik negara dan kepentingan hak-hak masyarakat atau kepentingan umum sehingga mengancam kebebasan individual. Hal ini


(58)

terlihat dari kebijakan kriminalisasi atas perbuatan yang berada di ranah privat (hak-hak individu) yang cenderung berlebihan (overcriminalization) karena terlalu jauh memasuki wilayah paling personal seseorang. Kebijakan kriminal terhadap perbuatan ini berdampak menghidupkan kembali banyak delik yang sudah banyak ditinggalkan oleh negara-negara demokratis. Perbuatan-perbuatan tersebut sebetulnya berada dalam tataran moralitas dan kesopanan yang tidak semestinya dihadapkan dengan hukum pidana.4

Perbuatan yang menyangkut delik kumpul kebo yang dirumuskan dalam RUU KUHP Tahun 2012 merupakan abstraksi dari nilai-nilai yang hidup dan tubuh berkembang dalam kehidupan bangsa Indonesia selama ini. Hal ini merupakan langka maju dalam menemukan dan menetapkan falsafah pemidanaan yang bercorak dan berciri ke Indonesiaan. Dari sisi sosiologis, perbuatan yang dikriminalisasi dalam tindak pidana perzinahan dan kumpul kebo ini merupakan salah satu bentuk perlindungan terhadap kehormatan baik individu, maupun masyarakat Indonesia dari perbuatan yang bersifat anti kesusilaan.

Bangsa Indonesia di hadapkan pada kondisi kehidupan yang menjadikan perbuatan selama ini baik dan terhormat menjadi tidak baik atau sebaliknya perilaku yang dulu dianggap tabu dan bertentangan dengan kesusilaan, menjadi perbuatan yang biasa dan dianggap normal. Hal ini terlihat dari praktek hidup bersama kumpul kebo yang dulu dianggap tabu, sekarang dianggap hal yang biasa. Kalau dibiarkan terus, maka masyarakat kita akan hidup dalam kondisi kekacauan norma.

4


(1)

Penyelesaian masalah kedua tentang penentuan kebijakan kriminal yaitu tentang sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar digunakan melalui beberapa pendekatan kebijakan. Pendekatan-pendekatan tersebut untuk mempertimbangkan efektivitas sanksi pidana dari kebijakan kriminal tindak pidana itu sendiri agar tercapainya tujuan pidana yang berupa perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan. Dengan bentuk-bentuknya antara lain berupa:11

1. Perlindungan masyarakat terhadap tindakan anti sosial, maka tujuan pidana adalah penanggulangan kejahatan.

2. Perlindungan masyarakat terhadap sifat bahayanya si pelaku, maka tujuan pidana adalah upaya untuk memperbaiki si pelaku.

3. Perlindungan masyarakat terhadap penyalahgunaan kekuasaan dalam mengunakan sanksi pidana, maka tujuan pidana adalah untuk mengatur atau membatasi kesewenang-wenangan penguasa maupun warga masyarakat pada umumnya.

4. Perlindungan dalam hal perlunya mempertahankan keseimbangan atau keselarasan berbagai kepentingan dan nilai yang terganggu oleh adanya kejahatan. Tujuan pidana adalah untuk memelihara atau memulihkan keseimbangan masyarakat.

Menurut Prof. Muladi unsur-unsur yang terkandung dalam suatu pidana adalah:12 1. Pidana itu pada hakikatnya merupakan sesuatu pengenaan atau penderitaan

atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;

2. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh orang yang berwenang);

3. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut Undang-Undang.

Menurut Muladi:

Kombinasi tujuan pemidanaan yang dianggap cocok dengan pendekatan-pendekatan sosiologis, ideologis, dan yuridis filosofis dengan dilandasi oleh asumsi dasar bahwa tindak pidana merupakan gangguan terhadap keseimbangan, keselarasan dan keserasian dalam kehidupan masyarakat, yang mengakibatkan kerusakan individual ataupun masyarakat. Dengan demikian maka tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki kerusakan individual dan

11

Ibid, hlm. 17

12


(2)

sosial yang diakibatkan oleh tindak pidana. Perangkat tujuan pemidanaan tersebut adalah: pencegahan umum dan khusus, perlindungan masyarakat, memelihara solidaritas masyarakat, pengimbalan/pengimbangan.

Menurut Jimly Asshiddiqie:13

Eratnya hubungan antara agama dan hukum, khususnya hukum pidana yang hendak diperbaharui, dapat dilihat secara filosofis-politis dan juridis. Secara filosofis-politis, eratnya hubungan keduanya dapat dilihat dari perspektif Pancasila yang menurut doktrin ilmu hukum di Indonesia merupakan sumber dari segala sumber hukum. Dalam Pancasila itu sendiri, agama mempunyai posisi yang sentral. Di dalamnya, terkandung prinsip yang menempatkan agama dan ke-Tuhanan Yang Maha Esa dalam posisi yang pertama dan utama. Oleh karena itu, tidak dapat tidak, agama juga harus diakui mempunyai posisi yang penting dan utama dalam usaha pembaharuan hukum pidana nasional.

Ajaran agama dijadikan sebagai sumber motivasi, sumber inspirasi dan sumber evaluasi yang kreatif dalam membangun insan hukum yang berakhlak mulia sehingga wajib dikembangkan upaya-upaya konkret dalam muatan kebijakan pembaharuan hukum nasional yang dapat memperkuat landasan keagamaan yang sudah berkembang dalam masyarakat, memfasilitasi perkembangan keberagaman dalam masyarakat dengan kemajuan bangsa, mencegah konflik sosial antar umat beragama dan meningkatkan kerukunan antar umat bangsa.

Norma kesusilaan merupakan norma yang bersumber dari hati nurani (batin) manusia agar manusia selalu berbuat kebaikan dan tidak melakukan perbuatan yang tercela, peraturan hidup yang berasal dari suara hati sanubari manusia. Pada dasarnya setiap manusia memiliki hati nurani yang sama dan selalu mengajak pada kebaikan dan kebenaran.Hubungan antara norma agama dan kesusilaan tidak dapat dipisahkan, pembedanya karena masing-masing memiliki sumber yang

13


(3)

berlainan. Norma Agama sumbernya kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Norma kesusilaan sumbernya suara hati (insan kamil).

Nilai-nilai berkehidupan kebangsaan yang dilandaskan pada moralitas religius ini kemudian diwujudkan di dalam Undang-Undang tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

2. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang akan diteliti.14

Definisi yang berkaitan dengan judul dapat diartikan sebagai berikut, diantaranya adalah:

a. Kebijakan Kriminal adalah merupakan suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan.15

b. Tindak Pidana Kumpul Kebo adalah perbuatan melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan yang sah.16

14

Mohammad Nazir. Op.Cit. hlm 32

15

Sudarto. Op.Cit. hlm. 38

16


(4)

E. Sistematika Penulisan

Sistematika dalam penulisan ini memuat uraian keseluruhan yang akan disajikan dengan tujuan agar pembaca dapat dengan mudah memahami dan memperoleh gambaran menyeluruh. Sistematika tersebut dirincikan sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Berisi latar belakang, kemudian menarik permasalahan dan membatasi ruang lingkup penulisan, memuat tujuan dan kegunaan penelitian, keranggka teori dan konseptual serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Merupakan bab pengantar yang menguraiakan tenetang pengertian-pengertian umum dari pokok bahasan yang memuat tinjauan mengenai kebijakan kriminal, tindak pidana kumpul kebo.

III. METODE PENELITIAN

Merupakan bab yang membahas tentang metode yang digunakan yang meliputi pendekatan masalah, sumber dan jenis data, prosedur pengumpulan data serta analisis data yang di dapat.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Merupakan bab yang berisi tentang hasil pembahasan berdasarkan hasil penelitian terhadap permasalahan dalam penelitian ini yaitu analisis kebijakan kriminal tindak pidana kumpul kebo dalam RUU KUHP Tahun 2012.


(5)

V. PENUTUP

Merupakan bab penutup yang memuat kesimpulan sebagai jawaban terhadap permasalahan yang diajukan berdasarkan hasil penelitian.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Arif, Barda Nawawi. 2002. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Citra Aditya Bakti. Bandung

Arief, Barda Nawawi dan Muladi. 2005. Teori-teori dan Kebijakan Pidana. Alumni. Bandung

Asshiddiqie, Jimly. 1996. Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia. Angkasa. Bandung

Hiariej, O.S Eddy 2001. Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana. Erlangga. Jakarta

Muhammad, Abdulkadir. 2004. Metode Penelitian Hukum. Sinar Grafika. Jakarta. Nazir, Mohammad. 1999. Metode Penelitian. Erlangga. Jakarta

Salman Luthan. 2007. Kebijakan Penal Mengenai Kriminalisasi. FH-UI. Jakarta

Soekanto, Seorjono. 1989. Sosiologi Suatu Pengantar. Ghalia Indonesia. Jakarta Soekanto, Soerjono dkk. 1986. Kriminologi. Ghalia Indonesia. Jakarta

Sudarto. 1981. Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni. Bandung

Universitas Lampung. 2009. Format Penulisan Karya Ilmiah Universitas Lampung. Universitas Lampung. Bandar Lampung

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 19991 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tahun 2012 http:// www.google.co.id

http:// id.wikipedia.org http://www.wordpress.com