THE MODERATION POLICY OF CAPITAL PUNISHMENT

KEBIJAKAN MODERASI PIDANA MATI

Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007

THE MODERATION POLICY OF CAPITAL PUNISHMENT

An Analysis of Constitutional Court’s Decision Number 2-3/PUU-V/2007

Mei Susanto & Ajie Ramdan

Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Jl. Dipati Ukur No. 35, Bandung 40135 E-mail: m.susanto@unpad.ac.id; ajie.ramdan@unpad.ac.id

Naskah diterima: 13 Maret 2017; revisi: 14 Agustus 2017; disetujui 14 Agustus 2017

ABSTRAK

lamanya penundaan pelaksanaan pidana mati, dan jenis Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007 selain menjadi pidana apa saja yang dapat diancamkan pidana mati. dasar konstitusionalitas pidana mati, juga memberikan Kata kunci: kebijakan, KUHP, moderasi, pidana mati.

jalan tengah (moderasi) terhadap perdebatan antara kelompok yang ingin mempertahankan (retensionis)

dan yang ingin menghapus ( ABSTRACT abolisionis) pidana mati. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana Constitutional Court’s Decision Number 2-3/

kebijakan moderasi pidana mati dalam putusan a PUU-V/2007, in addition to being the basis of the quo dikaitkan dengan teori pemidanaan dan hak asasi constitutionality of capital punishment, also provides manusia dan bagaimana kebijakan moderasi pidana

a moderate way of arguing between retentionist mati dalam RKUHP tahun 2015 dikaitkan dengan groups and those wishing to abolish the death penalty

putusan a quo. Penelitian ini merupakan penelitian (abolitionist). The problem in this research is how doktrinal, dengan menggunakan bahan hukum primer the moderation policy of capital punishment in aquo dan sekunder, berupa peraturan perundang-undangan, decision is associated with the theory of punishment literatur, dan hasil-hasil penelitian yang relevan dengan and human rights and how the moderation policy of objek penelitian. Penelitian menyimpulkan, pertama, capital punishment in the draft Criminal Code of 2015 putusan a quo yang memuat kebijakan moderasi pidana (RKUHP) is related with the aquo decision. This study is mati telah sesuai dengan teori pemidanaan khususnya doctrinal, using primary and secondary legal materials, teori integratif dan teori hak asasi manusia di Indonesia in the form of legislation, literature and research results di mana hak hidup tetap dibatasi oleh kewajiban asasi that are relevant to the object of analysis. This study yang diatur dengan undang-undang. Kedua, model concludes, firstly, the aquo decision containing the kebijakan moderasi pidana mati dalam RKUHP tahun moderation policy of capital punishment has been in 2015 beberapa di antaranya telah mengakomodasi accordance with the theory of punishment, specificallyy amanat putusan a quo, seperti penentuan pidana mati di the integrative theory and the theory of human rights in luar pidana pokok, penundaan pidana mati, kemungkinan Indonesia, in which the right to life remains limited by the pengubahan pidana mati menjadi pidana seumur hidup fundamental obligations set forth in the law. Secondly, atau penjara paling lama 20 tahun. Selain itu masih some of the modes of moderation model of capital menimbulkan persoalan berkaitan dengan lembaga yang punishment in RKUHP of 2015 have accommodated the memberikan pengubahan pidana mati, persoalan grasi, mandate of aquo decision, such as the determination

Kebijakan Moderasi Pidana Mati (Mei Susanto & Ajie Ramdan) | 193 Kebijakan Moderasi Pidana Mati (Mei Susanto & Ajie Ramdan) | 193

Keywords: policy, criminal code, moderation, capital regarding the institutions that provide for conversion of

punishment.

I. PENDAHULUAN

berpendapat bahwa ke depan, dalam rangka pembaruan hukum pidana nasional dan

A. Latar Belakang

harmonisasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pidana mati, maka

Perdebatan mengenai pidana mati dalam perumusan, penerapan, maupun pelaksanaan pidana mati dalam sistem peradilan pidana

sistem hukum Indonesia selalu menarik untuk di Indonesia hendaklah memperhatikan

dikaji. Apalagi terdapat kelompok yang saling dengan sungguh-sungguh hal-hal berikut: bertentangan yaitu yang tetap mempertahankan

a. pidana mati bukan lagi merupakan pidana mati dan kelompok yang ingin

pidana pokok, melainkan sebagai menghapuskan pidana mati saling memberikan

pidana yang bersifat khusus dan alternatif;

argumentasinya terhadap eksistensi pidana mati tersebut. Salah satu puncak dari perdebatan

b. pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun

tersebut adalah dengan adanya pengujian yang apabila terpidana berkelakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang

terpuji dapat diubah dengan pidana Narkotika pada tahun 2007 di Mahkamah

penjara seumur hidup atau selama 20 tahun;

Konstitusi, yang kemudian diputus dalam Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007 yang intinya

c. pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum

pidana mati konstitusional dalam sistem hukum

dewasa;

Indonesia. Dengan demikian, pidana mati tetap

d. eksekusi pidana mati terhadap dipertahankan dalam sistem hukum Indonesia.

perempuan hamil dan seseorang Selain memberikan dasar konstitusionalitas

yang sakit jiwa ditangguhkan sampai pidana mati, Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007

perempuan hamil tersebut melahirkan dan terpidana yang sakit jiwa tersebut

juga memberikan semacam petunjuk ( guideline),

sembuh.”

yang mengarahkan agar pidana mati diupayakan untuk dimoderasikan. Hal tersebut dapat dilihat

Pertimbangan tersebut menunjukkan bahwa dari salah satu pertimbangan dalam putusan pidana mati haruslah dimoderasikan dalam artian tersebut, yang menyatakan:

mengambil jalan tengah terhadap persoalan

“Menimbang pula bahwa dengan pidana mati, yang secara ekstrem di satu sisi ingin

memperhatikan sifat irrevocable pidana mempertahankannya (kelompok retensionisme) mati, terlepas dari pendapat mahkamah dan di sisi yang lain ingin menghapuskannya perihal tidak bertentangannya pidana mati dengan UUD NRI 1945 bagi kejahatan- (kelompok abolisionisme). kejahatan tertentu dalam Undang-Undang Narkotika yang dimohonkan pengujian

Kebijakan jalan tengah tersebut terutama dalam permohonan a quo, mahkamah terlihat dari poin a dan b yaitu pidana mati bukan

Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 193 - 215 Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 193 - 215

pidana yang bersifat khusus dan alternatif serta Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji dan pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa menganalisis Putusan Nomor 2-3/PUUV/2007 percobaan selama sepuluh tahun yang apabila yang tidak hanya menjadi dasar konstitusionalitas terpidana berkelakuan terpuji dapat diubah pidana mati di Indonesia namun juga dengan penjara seumur hidup atau selama 20 memerintahkan adanya kebijakan moderasi tahun. pidana mati. Kebijakan tersebut dianalisis dengan

Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian menggunakan teori tujuan pemidanaan dan hak ini hendak menganalisis pertimbangan asasi manusia sehingga akan dapat diperoleh Mahkamah Konstitusi yang memberikan perintah gambaran ketepatan dalam moderasi pidana mati. memoderasikan pidana mati dapat dibenarkan

Kebijakan moderasi pidana mati tersebut dari aspek teoritis khususnya tujuan pemidanaan akan dikontekskan dengan RKUHP yang dan perkembangan hak asasi manusia. diajukan pemerintah ke DPR. Lebih lanjut tulisan Mengingat putusan tersebut juga menjadi dasar ini diharapkan memiliki kegunaan, yaitu: 1) pembentukan peraturan perundang-undangan sumbangsih pemikiran berkaitan dengan pidana khususnya berkaitan dengan pidana mati, maka mati dan hak asasi manusia; dan 2) akan dapat dengan adanya Rancangan Undang-Undang memberikan masukan terhadap konstitusionalitas tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana moderasi pidana mati serta penerapannya (RKUHP) yang diajukan pemerintah kepada dalam RKUHP yang sedang dibahas DPR dan DPR pada pertengahan tahun 2015, di mana

pemerintah.

telah mengakomodir upaya untuk melakukan moderasi pidana mati. Karena itu, tulisan ini juga

akan melihat apakah konsep moderasi pidana D. Tinjauan Pustaka

mati dalam RKUHP tersebut sudah tepat dan Tulisan ini akan menggunakan dua teori, sesuai dengan arahan dalam Putusan Nomor 2-3/ yaitu teori pemidanaan dan teori hak asasi

PUU-V/2007 tersebut. manusia (HAM), di mana keduanya memiliki kaitan yang sangat erat dalam persoalan pidana

B. Rumusan Masalah

mati. Walau bagaimanapun juga pidana mati dalam peraturan perundang-undangan yang

Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan berlaku akan selalu berkaitan dengan tujuan

masalah dalam tulisan ini adalah: pemidanaan yang hendak dicapai dalam

1. Bagaimana kebijakan moderasi pidana mati membentuk peraturan perundang-undangan dalam Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007 tersebut. Sementara teori HAM hampir selalu dikaitkan dengan teori pemidanaan dan hak mengiringi perdebatan pidana mati, dengan asasi manusia?

pertanyaan apakah pidana mati melanggar prinsip-prinsip HAM atau tidak.

2. Bagaimana kebijakan moderasi pidana mati dalam RKUHP tahun 2015 dikaitkan

Dalam teori pidana, setidaknya terdapat dengan Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007? empat teori yang dapat dipergunakan, yaitu teori

Kebijakan Moderasi Pidana Mati (Mei Susanto & Ajie Ramdan) | 195 Kebijakan Moderasi Pidana Mati (Mei Susanto & Ajie Ramdan) | 195

kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu

Menurut Muladi & Arief yang dikutip yang bermanfaat. Jadi dasar pembenaran pidana

Priyanto (2006: 24), dalam teori absolut ini, menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya.

pidana dijatuhkan semata-mata karena orang Pidana dijatuhkan bukan quia peccatum est telah melakukan suatu kejahatan atau tindak

(karena orang membuat kejahatan) melainkan pidana ( quia peccatumest). Menurut teori ne peccatum (supaya orang jangan melakukan absolut ini setiap kejahatan harus diikuti dengan

kejahatan).

pidana, tidak boleh tidak, tanpa tawar-menawar. Seseorang mendapat pidana oleh karena

Berkaitan dengan teori pemidanaan ini, melakukan kejahatan. Tidak dilihat akibat-akibat Van Bemmelen telah berpikir lebih maju, yakni apapun yang timbul dengan dijatuhkannya dengan tidak melihat pidana itu semata-mata pidana, tidak peduli apakah masyarakat mungkin sebagai pemidanaan saja, melainkan telah akan dirugikan.

mengaitkan lembaga-lembaga pidana atau pemidanaan itu dengan tujuan yang ingin dicapai.

Kedua, teori tujuan atau doeltheorieen. Pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran

Teori ini berusaha mencari dasar pembenaran tentang tujuan yang ingin dicapai dengan suatu

dari suatu pidana itu semata-mata pada satu pemidanaan, yaitu: a) untuk memperbaiki pribadi

tujuan tertentu, di mana tujuan tersebut dapat dari penjahat itu sendiri; b) untuk membuat

berupa: a) tujuan untuk memulihkan kerugian orang menjadi jera untuk melakukan kejahatan-

yang ditimbulkan oleh kejahatan; b) tujuan kejahatan; dan c) untuk membuat penjahat-

untuk mencegah agar orang lain tidak melakukan penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk

kejahatan (Priyanto, 2006: 24). melakukan kejahatan-kejahatan yang lain,

Teori-teori yang berusaha mencari dasar yakni penjahat-penjahat yang dengan cara-cara pembenaran dari suatu pidana semata-mata pada yang lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi (Van satu tujuan tertentu seperti dimaksudkan di atas, Bemmelen dalam Lamintang, 1988: 22). selanjutnya masih dapat dibagi menjadi dua

teori perbaikan/prevensi macam teori, yakni: a) teori-teori pencegahan khusus. Teori perbaikan murni ( zuivere

Ketiga,

Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 193 - 215 Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 193 - 215

Teori ini mengatakan bahwa pemidanaan terarah dalam kemanfaatannya. Hukum pidana

menjadi sangat kompleks sebagai akibat dari usaha tidak perlu setiap saat dan niscaya ditujukan pada

untuk lebih memperhatikan faktor-faktor yang upaya memperbaiki (perilaku ataupun sikap)

menyangkut hak asasi manusia, serta menjadikan semua delinkuen, terutama bila menyangkut

pidana bersifat operasional dan fungsional. Untuk mereka yang hanya bersalah melakukan tindak

ini diperlukan pendekatan multidimensional yang pidana ringan.

bersifat mendasar terhadap dampak pemidanaan, Hukum pidana tidak mungkin memperbaiki baik yang menyangkut dampak yang bersifat semua delinkuen, terutama karena tidak semua individual maupun dampak yang bersifat sosial. cocok dan dapat diperbaiki dengan obat (hukum

Pendekatan semacam ini mengakibatkan pidana) yang sama. Lagipula, jika perbaikan

adanya keharusan untuk memilih teori integratif dapat dilaksanakan dengan menjatuhkan tindakan

tentang tujuan pemidanaan yang dapat ( maatregel), maka pengenaan penderitaan melalui mempengaruhi fungsinya dalam rangka mengatasi

pidana dalam pandangan di atas akan kehilangan kerusakan-kerusakan yang diakibatkan oleh

landasan pembenarannya (Remmelink, 2003: tindak pidana ( individual and social damages).

609-610). Keempat, teori gabungan atau juga dikenal Teori HAM berangkat dari konsepsi dasar HAM di mana setiap orang/manusia sejak lahir

dengan teori integratif (Priyanto, 2006: 26-27). memiliki hak utama yang melekat dan suci, Menurut Priyanto, penulis yang pertama kali yaitu hak hidup dari Tuhan dan hak-hak lainnya mengajukan teori gabungan ini ialah Pellegrino demi pemenuhan kebutuhan lahir batinnya, Rossi (1787—1848). Sekalipun Rossi tetap maka tidak ada kelompok/golongan/kekuatan menganggap pembalasan sebagai asas dari apapun/manapun dan juga orang per orang yang pidana dan bahwa beratnya pidana tidak boleh berhak dan mampu mencabutnya. Hanya dengan melampaui suatu pembalasan yang adil, namun landasan/dasar hukum dan konstitusional, adil dia berpendirian bahwa pidana mempunyai dan benar lewat proses legal, pencabutan, baik berbagai pengaruh antara lain perbaikan sesuatu untuk sementara maupun seterusnya, dapat yang rusak dalam masyarakat dan prevensi dibenarkan (Effendi, 2005: 76). general (Rossi dalam Priyanto, 2006: 26-27).

Menurut Budiardjo (1977: 120), HAM Muladi (1984) dalam disertasinya

adalah hak yang dimiliki manusia yang telah yang berjudul “Lembaga Pidana Bersyarat

diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan sebagai Faktor yang Mempengaruhi Proses

kelahiran atau kehadirannya di dalam kehidupan Hukum Pidana yang Berperikemanusiaan”

masyarakat. Sedangkan Setiardja (1993: 73) memperkenalkan teori tujuan pemidanaan yang

mengemukakan bahwa HAM berarti hak- integratif (kemanusiaan dalam sistem Pancasila)

hak yang melekat pada manusia berdasarkan yang tepat untuk diterapkan di Indonesia karena

kodratnya, jadi hak-hak yang dimiliki manusia mendasarkannya pada nilai-nilai yang dianut

sebagai manusia.

Kebijakan Moderasi Pidana Mati (Mei Susanto & Ajie Ramdan) | 197

Hook (1987: 19) mengemukakan bahwa atau “penghindaran keekstreman” (KBBI, HAM adalah tuntutan yang secara moral bisa 2017). Dengan demikian, dalam tulisan ini dibenarkan, agar seluruh manusia dapat menikmati yang dimaksud dengan moderasi pidana mati dan melaksanakan kebebasan dasar mereka adalah upaya untuk mengambil jalan tengah yang dipandang perlu untuk mencapai harkat terhadap persoalan pidana mati, yang secara kemanusiaan. Dalam Undang-Undang Nomor 39 ekstrem di satu sisi ingin mempertahankannya Tahun 1999 disebutkan bahwa hak asasi manusia (kelompok retensionisme) dan di sisi lain ingin adalah seperangkat hak yang melekat pada menghapuskannya (kelompok abolisionisme). hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk

Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah- II. METODE

Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan

Sesuai dengan permasalahan yang diteliti, setiap orang demi kehormatan serta perlindungan tulisan ini merupakan penelitian hukum ( legal

harkat dan martabat manusia. research). Istanto (2007: 29) mengatakan

penelitian hukum adalah penelitian yang Affandi (2013: 22) mengatakan bahwa diterapkan atau diberlakukan khusus pada ilmu

HAM adalah hak-hak manusia yang penting dan hukum. Sejalan dengan Istanto, Marzuki (2005: mendasar sebagai pemberian Tuhan pada saat

35) mengatakan penelitian hukum adalah suatu kelahiran yang diperlukan untuk menjaga harkat proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-

dan martabat kemanusiaan. Dan menganggap prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum bahwa tidak semua hak adalah HAM, tetapi HAM guna menjawab isu-isu hukum yang dihadapi. adalah salah satu jenis hak. HAM merupakan hak yang penting dan mendasar, karena tidak semua

Berangkat dari pemahaman tersebut, maka hak bersifat penting dan mendasar sehingga tidak tulisan ini termasuk ke dalam penelitian hukum dapat dikategorikan sebagai HAM.

guna mencari jawaban persoalan moderasi pidana mati, melalui aturan hukum, prinsip

Muladi (2002: 56-57) menyatakan bahwa hukum maupun doktrin hukum terutama yang HAM adalah hak yang melekat (inherent) secara mencuat dalam Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007 alamiah pada diri manusia sejak manusia lahir dan serta dalam RKUHP tahun 2015. Oleh karena itu, tanpa hak tersebut manusia tidak dapat tumbuh tulisan ini termasuk ke dalam penelitian hukum dan berkembang sebagai manusia yang utuh. dengan pendekatan doktrinal yang condong Demikian pentingnya keberadaan HAM, tanpa bersifat kualitatif berdasarkan data sekunder HAM manusia tidak dapat mengembangkan (Supranto, 2003: 2). bakat-bakat dan memenuhi kebutuhan- kebutuhannya.

Jenis penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah penelitian pustaka ( library Selain dasar teoritik tersebut, perlu research). Library research berarti penelitian juga menjelaskan apa yang dimaksud dengan yang menggunakan dokumen tertulis sebagai “moderasi” dalam tulisan ini. Dalam Kamus data, dan sumber data yang digunakan dalam Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah moderasi penelitian ini mencakup bahan hukum primer mengandung arti “pengurangan kekerasan” dan bahan hukum sekunder.

Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 193 - 215

Bahan hukum primer adalah bahan hukum ( philosophical approach) digunakan untuk yang mengikat atau yang membuat orang taat melihat konsep kebijakan moderasi pidana hukum, meliputi produk hukum yang menjadi mati dari aspek filosofi dan ideologi dalam bahan kajian dan produk hukum sebagai alat pembentukan peraturan perundang-undangan kritiknya. Bahan hukum sekunder meliputi yang terdapat dalam Pancasila. penjelasan bahan hukum primer berupa doktrin para ahli yang ditemukan dalam buku, jurnal, dan

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

dalam website.

A. Analisis Kebijakan Moderasi Pidana

Cohen mengatakan dalam penelitian

Mati dalam Putusan Nomor 2-3/

hukum ( legal research) terdapat beberapa

PUU-V/2007

pendekatan yang digunakan, yaitu statute approach, conceptual approach, analitycal Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007 adalah

approach, comparative approach, hystorical putusan yang menguji konstitusionalitas pidana approach, philosophical approach, dan case mati dalam sistem hukum Indonesia yang terdapat approach (dalam Marzuki, 2005: 93). Merujuk dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 pada pendekatan-pendekatan tersebut, penulis tentang Narkotika. Walaupun yang diuji hanya menggunakan pendekatan perundang-undangan terhadap satu undang-undang saja, putusan (s

tatute approach), pendekatan konseptual ini memberikan dampak yang besar terhadap

conceptual approach), dan pendekatan filosofis konstitusionalitas pidana mati yang terdapat di

( philosophical approach). dalam berbagai undang-undang lainnya. Pendekatan perundang-undangan (

statute Tercatat ada sekitar 12 undang-undang lain research), digunakan untuk meneliti, mendalami, yang mengatur mengenai pidana mati, yaitu:

dan menelaah berbagai peraturan perundang- 1. KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum undangan yang berbicara mengenai pidana

Pidana);

mati. Ibrahim (2006) menyatakan bahwa statute research diperlukan untuk meneliti berbagai 2. KUHPM (Kitab Undang-Undang Hukum

aturan hukum yang fokus sekaligus tema sentral

Pidana Militer);

suatu penelitian . Untuk itu, karena fokus dan

3. Undang-Undang Nomor 12/Drt/1951 tema sentral tulisan ini adalah mengenai moderasi

tentang Senjata Api;

pidana mati, maka akan diteliti dan dievaluasi berbagai aturan mengenai hal tersebut seperti 4. Penetapan Presiden Nomor 5 Tahun 1959 RKUHP, KUHP, termasuk juga Putusan Nomor

tentang Wewenang Jaksa Agung/Jaksa 2-3/PUU-V-2007.

Tentara Agung dalam Hal Memperberat Ancaman Hukuman terhadap Tindak

Pendekatan konseptual ( conceptual Pidana yang Membahayakan Pelaksanaan approach) digunakan untuk mendalami

Perlengkapan Sandang Pangan; kebijakan moderasi pidana mati yang sesuai

dengan politik hukum pemidanaan nasional dan 5. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- konsep hak asasi manusia. Pendekatan filosofis

Undang (Perppu) Nomor 21 Tahun 1959

Kebijakan Moderasi Pidana Mati (Mei Susanto & Ajie Ramdan) | 199 Kebijakan Moderasi Pidana Mati (Mei Susanto & Ajie Ramdan) | 199

ini dapat dianggap sebagai salah satu putusan dari Mahkamah Konstitusi yang sangat penting,

6. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976 bahkan dianggap sebagai landmark decision tentang Perubahan dan Penambahan

karena persoalan konstitusionalitas pidana Beberapa Pasal dalam KUHP Bertalian

mati dalam sistem hukum Indonesia akan dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan

selalu mengacu kepada putusan ini. Selain itu, Perundang-Undangan Pidana Kejahatan

sebagaimana telah disebutkan di awal, putusan ini Penerbangan dan Kejahatan terhadap

juga penting yang memberikan petunjuk perlunya Sarana/Prasarana Penerbangan;

kebijakan moderasi pidana mati dalam sistem

7. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 hukum Indonesia di masa yang akan datang. tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Mengingat putusan ini menguji suatu Korupsi;

kebijakan yang sifatnya sensitif dan ideologis,

8. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 maka majelis hakim cukup berhati-hati dalam tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia;

mengambil keputusan. Bahkan untuk sampai pada pertimbangan yang bersifat rekomendasi yaitu

9. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 pidana mati konstitusional dalam sistem hukum

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Indonesia dan di masa yang akan datang harus

Terorisme; dimoderasikan, majelis hakim butuh bekerja keras

10. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 dalam melakukan penafsiran terhadap pasal-pasal tentang Narkotika;

terkait dengan berbagai macam konsep dalam hal pemidanaan, hak asasi manusia, konstitusi, dan

11. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 prinsip-prinsip internasional. tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Apalagi, sebagaimana disebutkan oleh Anak; dan

Lindsay & Santosa (2008: 2-3), sistem hukum Indonesia sangatlah kompleks, tidak hanya

12. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 menerapkan sistem hukum Eropa Kontinental tentang Penetapan Peraturan Pemerintah ( Civil Law System) yang merupakan warisan Pengganti Undang-Undang Nomor 1 sistem hukum kolonial Belanda, namun juga Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua secara campuran mengombinasikan penerapan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun hukum adat ( traditional customary law) dan juga 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi hukum Islam (Syariah). Undang-Undang.

Selain tiga sistem hukum tersebut, standar Banyaknya undang-undang yang terkait hukum internasional juga sering kali dipergunakan

serta sensitifnya isu pidana mati dalam sistem sebagai acuan dalam sistem hukum Indonesia, hukum Indonesia yang tidak hanya berbicara khususnya ketika berkaitan dengan persoalan hak soal hukum semata, melainkan juga berkaitan asasi manusia (Zerial, 2008: 219). Karena itulah, dengan ideologi dan pandangan hidup masyarakat Zerial mendeskripsikan sistem hukum Indonesia

Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 193 - 215 Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 193 - 215

influences” (Zerial, 2008: 219). Berdasarkan Laporan 6 Tahun Mahkamah Konstitusi, pada tahun 2007 Mahkamah Sistem hukum yang sinkretis dalam rangka Konstitusi memutus 29 perkara, jangka waktu penyesuaian dan mencapai keseimbangan ini yang paling cepat adalah kurang dari satu bulan kemudian didukung dengan adanya Pancasila sejumlah satu perkara, sedangkan jangka waktu yang memuat prinsip-prinsip ketuhanan, yang paling lama adalah 10 bulan sejumlah tiga kemanusiaan, persatuan, demokrasi perwakilan, perkara salah satunya adalah Putusan Nomor 2-3/ dan keadilan sosial. Kelima prinsip ini dibuat PUU-V/2007. Jangka waktu pemeriksaan sampai untuk membentuk karakter nasional terhadap diputus yang bervariasi tersebut, bergantung masyarakat yang heterogen. Pada masa Soeharto, pada kompleksitas substansi perkara (MKRI, Pancasila ditempatkan sebagai sumber hukum 2008: 19-20). Dengan demikian, kompleksitas yang tertinggi, namun pada masa reformasi, persoalan konstitusionalitas pidana mati membuat Pancasila dimasukkan ke dalam UUD NRI 1945 Mahkamah Konstitusi membutuhkan waktu yang sebagai bagian yang tidak terpisahkan ketika cukup lama untuk mengambil putusan. Bahkan menafsirkan konstitusi (Zerial, 2008: 219).

kompleksitas tersebut dapat dilihat dari jumlah halaman putusan sebanyak 471 halaman.

Mengingat sistem hukum Indonesia yang kompleks tersebut, maka apabila dicermati dalam

Kedua, berkaitan dengan banyaknya Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007 tersebut, pertimbangan yang diminta. Hal ini dapat kehati-hatian dan kedalaman pemikiran mengenai terlihat dari 23 orang ahli yang dihadirkan konstitusionalitas pidana mati sampai pada dalam persidangan (empat orang di antaranya rekomendasi pidana mati harus dimoderasikan, merupakan ahli dari luar negeri, sementara 19 dapat dilihat dari teknis putusan, berupa orang adalah ahli dalam negeri). Bahkan, pihak teknis waktu dan jumlah halaman, banyaknya pemerintah yang biasanya hanya diwakili sendiri, pertimbangan yang diminta, sampai dengan juga melibatkan lembaga-lembaga lainnya, adanya perbedaan pendapat dari para hakim.

yaitu Badan Narkotika Nasional, Kejaksaan Agung, dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia

Pertama, berkaitan dengan teknis putusan (Komnas HAM). Selain itu juga ada keterangan

yaitu berupa waktu lamanya putusan dan jumlah DPR. Dengan demikian ada sekitar 28 pihak baik halaman. Putusan ini menggabungkan dua personal maupun kelembagaan yang dimintai permohonan yang sama yaitu perkara Nomor 2/ pendapatnya berkaitan dengan persoalan pidana PUU-V/2007 yang didaftarkan pada 16 Januari

mati.

2007 dan perkara Nomor 3/PUU-V/2007 yang didaftarkan pada 30 Januari 2007, yang kemudian

Ketiga, perbedaan pendapat dari para diputuskan pada rapat permusyawaratan hakim hakim atau dissenting opinion. Dapat dilihat,

pada 23 Oktober 2007 dan diucapkan pada sidang dari 9 hakim konstitusi, 5 orang hakim pleno terbuka untuk umum pada 30 Oktober menyatakan pidana mati adalah konstitusional 2007. Ini artinya, majelis hakim membutuhkan dalam sistem hukum Indonesia, namun 4 orang

Kebijakan Moderasi Pidana Mati (Mei Susanto & Ajie Ramdan) | 201 Kebijakan Moderasi Pidana Mati (Mei Susanto & Ajie Ramdan) | 201

Pasal 28J Apabila dicermati secara substantif, ayat (1): “Setiap orang wajib menghormati

memang memutuskan persoalan pidana mati hak asasi manusia orang lain dalam tertib

kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan konstitusional tidaklah mudah. Apalagi,

bernegara”.

gelombang reformasi tahun 1998 yang mengakhiri ayat (2): “Dalam menjalankan hak dan rezim otoriter Soeharto telah mengantarkan

kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada penghormatan yang tinggi terhadap

kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud

kedudukan hak asasi manusia dalam kehidupan semata-mata untuk menjamin pengakuan

bernegara di Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat serta penghormatan atas hak dan kebebasan dengan dimasukkannya poin-poin jaminan

orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan

hak asasi manusia dalam Perubahan UUD NRI moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan

1945. Khusus persoalan pidana mati, sangat erat ketertiban umum dalam suatu masyarakat kaitannya dengan hak hidup yang dijamin dalam

demokratis” (garis miring penulis). Pasal 28A dan Pasal 28I UUD NRI 1945.

Formulasi ketentuan dalam Pasal 28J Pasal 28A: “Setiap orang berhak untuk UUD NRI 1945 inilah yang sering kali luput

hidup serta berhak mempertahankan hidup dalam membaca pasal-pasal jaminan hak dan kehidupannya.”

asasi manusia. Mengingat perdebatan dan Pasal 28I ayat (1): “ Hak untuk hidup, hak kedalaman pertimbangan dalam persoalan

untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak konstitusionalitas pidana mati dalam Putusan untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui Nomor 2-3/PUU-V/2007, menarik untuk sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang mencermati analisis yang dibuat oleh Zerial berlaku surut adalah hak asasi manusia dalam Australian International Law Journal yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan yang berjudul “ Decision No. 2-3/PUU-V/2007 apa pun” (garis miring penulis).

[2007] (Indonesian Constitutional Court).” Dua pasal tersebut menunjukkan adanya

Analisis tersebut juga telah diulas oleh jaminan hak hidup bagi setiap orang yang berada Faiz (2015) dalam rubrik Khazanah Majalah dalam wilayah hukum Indonesia. Bahkan hak Konstitusi No. 96 – Februari 2015 dengan judul hidup tersebut merupakan “hak asasi manusia “Pendekatan MK Terhadap Konstitusionalitas yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa Hukuman Mati.” Dalam artikel tersebut Zerial pun” atau yang dikenal dengan non derogable

Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 193 - 215 Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 193 - 215

harus dilihat sebagai upaya untuk mengembalikan

1. Keseimbangan Masyarakat terhadap harmoni sosial yang terganggu akibat dari

Individu kejahatan itu (dalam Faiz, 2015: 66). Menurut Zerial, keseimbangan antara

Menurut Zerial, pendekatan ini terefleksi HAM individu dengan kesejahteraan masyarakat dari pendapat ahli Didik Purwo Laksono yang

merupakan isu yang sering menjadi karakteristik menyimpulkan seolah-olah secara gramatikal perdebatan tentang HAM di Asia. Isu inilah yang (tata bahasa) ancaman pidana mati dalam dinilai oleh Zerial sebagai isu utama yang diambil Undang-Undang Narkotika bertentangan dengan oleh mayoritas hakim.

Pasal 28A dan 28I ayat (1) UUD NRI 1945. Namun, menurut Laksono, kalau ditinjau dari segi

Perspektif ini memperhadapkan antara hak politik hukumnya, landasan filosofis, landasan untuk hidup dari mereka yang dijatuhi hukuman sosiologis, maksud dan tujuan pembentuk dengan hak-hak para korban sebagai individu undang-undang, Pasal 28A dan Pasal 28I UUD ataupun hak dari ‘masyarakat sebagai korban’ NRI 1945 tidak dimaksudkan untuk melindungi ( society as victims).

pelaku tindak pidana yang telah membahayakan Mengutip pendapat Eldridge (2002), Zerial hak hidup negara, masyarakat, dan individu yang

mengatakan bahwa sistem perlindungan HAM menjadi korban tindak pidana narkotika (Putusan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh isu-isu Nomor 2-3/PUU-V/2007: 389). tentang kemiskinan, budaya, agama, stabilitas,

Zerial juga menyebutkan keseimbangan dan ketertiban nasional. Pentingnya isu-isu antara masyarakat dan individu juga terlihat dari

tersebut nampak terlihat pada pertimbangan penekanan terhadap akibat serius dari tindak hukum putusan mengenai apakah negara dapat pidana narkotika. Hal tersebut dikemukakan menjatuhkan hukuman mati kepada individu, Zerial dengan melihat pendapat ahli Arief khususnya dalam konteks kejahatan narkotika Amrullah yang menjelaskan tindak pidana (dalam Faiz, 2015: 65-66).

narkotika sebagai tindak pidana (kejahatan) Zerial juga berpendapat bahwa perhatian terhadap pembangunan dan kesejahteraan

Mahkamah Konstitusi terhadap kesejahteraan sosial ( crimes against social development and masyarakat Indonesia dapat dilihat ketika prosperty) (Zerial, 2008: 222). Mahkamah Konstitusi membantah dalil para

Hal tersebut menurut Amrullah dikarenakan pemohon, yang mengatakan tujuan utama tindak pidana narkotika merupakan bagian dari

dari hukuman pidana adalah rehabilitasi, kejahatan terorganisasi dengan ruang lingkup dengan argumentasi bahwa setiap kejahatan dan dimensi yang luas, sehingga kegiatannya merupakan serangan terhadap harmoni sosial mengandung ciri sebagai organized crime, white masyarakat ( social harmony of society) yang collar crime, corporate crime, dan transnational menimbulkan luka (wound) atau sakit ( illness) crime. Bahkan dengan kemajuan teknologi di masyarakat. Selain itu, Mahkamah Konstitusi informasi, kejahatan narkotika dapat menjadi

Kebijakan Moderasi Pidana Mati (Mei Susanto & Ajie Ramdan) | 203 Kebijakan Moderasi Pidana Mati (Mei Susanto & Ajie Ramdan) | 203

bahwa agama memiliki tempat penting dalam hukum dan masyarakat Indonesia. Dengan adanya

Badan Narkotika Nasional berpendapat Pancasila maka tidak dapat dipisahkan antara

tidak jauh berbeda, dengan menyebutkan bahwa penafsiran hukum dan konstitusi dari perspektif

secara filosofis pidana mati bertujuan untuk agama. Walaupun hukum Islam memiliki

kepentingan prevensi umum, agar orang lain tidak pengaruh besar dalam hukum Indonesia, namun

ikut melakukan kejahatan. Di samping itu, seorang Islam tidak menjadi agama negara ataupun

dihukum mati berdasarkan hukum yang berlaku, konstitusi negara. Penyebabnya, ajaran agama-

bukan karena membalas dendam kepada si agama lainnya juga memberikan pengaruh

terhukum, akan tetapi supaya orang lain tidak ikut terhadap hukum Indonesia (dalam Faiz, 2015:

melakukan kejahatan yang sama dan meresahkan 66). “Islam is not the the state religion nor is it masyarakat yang dapat mengganggu keseimbangan the constitution of the state’ and other religions -

masyarakat. Hal ini apabila dikaitkan dengan nilai- Buddhism, Hinduism and Christianity - have an nilai hukum adat, keseimbangan masyarakat itu influence on Indonesian law” (Zerial, 2008: 222). harus dijaga jangan sampai rusak (Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007: 203).

Pandangan Zerial tersebut ditarik dari pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi

Menurut Zerial, keterangan Badan yang menegaskan bahwa posisi bangsa Indonesia

Narkotika Nasional dalam persidangan terhadap hak asasi manusia, khususnya hak

memberikan bukti-bukti akibat pelaku pengedar untuk hidup, diambil dari ajaran agama, nilai

narkotika dengan dampak dari ketergantungan moral universal, dan nilai luhur budaya bangsa.

dan pengaruh narkotika telah menghilangkan Mahkamah Konstitusi juga mengakui bahwa

hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar

beragama, hak untuk tidak diperbudak, dan hak di dunia, Indonesia merujuk secara khusus pada

untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum Deklarasi Kairo tentang Hak-Hak Asasi Manusia

(Zerial, 2008: 22). Bagi Zerial, pembahasan dalam Islam yang dalam Pasal 8 huruf (a)

yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi menyatakan: “ Kehidupan adalah berkah Tuhan terhadap isu-isu terkait HAM dan hukuman dan hak untuk hidup dijamin bagi setiap umat

mati menunjukkan bahwa Mahkamah Konstitusi manusia. Adalah tugas dari individu, masyarakat, mempercayai HAM haruslah dibatasi, setidaknya dan negara-negara untuk melindungi hak-hak ini untuk sebagian, sepanjang pembatasan dari setiap pelanggaran apa pun, dan dilarang tersebut dapat melayani kebutuhan masyarakat untuk mencabut kehidupan kecuali berdasarkan sebagaimana terkonseptualisasi di dalam budaya syariat” (dalam Faiz, 2015: 66). dan sejarah Indonesia (dalam Faiz, 2015: 66).

Berdasarkan pengamatan Zerial, beberapa

2. Peran dan Pengaruh Agama ahli yang diperdengarkan dalam persidanganpun mengemukakan kesucian hidup manusia yang

Dalam putusan tersebut, Zerial juga merupakan identitas keyakinan Islam (Zerial, menyimpulkan adanya pengaruh dari ajaran 2008: 222). Menurut Zerial, baik Mahkamah agama dalam pertimbangan hukum yang diambil Konstitusi maupun para ahli mencoba untuk

Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 193 - 215

‘mendamaikan’ pertentangan antara kesucian Secara khusus, Hakim Roestandi juga hidup dengan pidana (hukuman) mati. Salah mengatakan bahwa masyarakat Indonesia sangat satu caranya dengan mempertimbangkan adanya pluralistik dan telah membuat kesepakatan prasyarat proses peradilan yang adil. Metode nasional di dalam Pancasila dan UUD NRI 1945 lainnya yaitu dengan memindahkan tanggung sebagai hukum tertinggi. Dengan demikian, jawab dari negara sebagai eksekutor kepada seharusnya tidak ada kontradiksi antara hukum pelaku kejahatan dengan penekanan bahwa Islam yang membolehkan hukuman mati dengan hukuman mati lebih merupakan hasil dari hukum sekuler yang melarangnya (dalam Faiz, keputusan yang dibuat dari seorang individu, 2015: 66). Dalam hukum pidana Islam, hukuman bukan dari kebijakan negara (dalam Faiz, 2015: tidak hanya berfungsi sebagai pembalasan, tetapi 66).

juga memiliki fungsi pencegahan (umum dan khusus) serta perbaikan. Dalam kenyataannya

Analisis Zerial ini didasarkan pada juga sangat melindungi masyarakat dari

pendapat Mahmud Mulyadi, yang didasarkan tindakan jahat serta pelanggaran hukum (fungsi

pada argumentasi bahwa hidup mati seseorang perlindungan) (Santoso, 2016: 150).

memang telah ditentukan oleh Tuhan, tetapi cara untuk hidup dan cara untuk matinya ditentukan

3. Hukum Internasional

oleh orang tersebut karena Tuhan telah memberikan pilihan-pilihan dan acuan-acuan

Menurut Zerial, perspektif mengenai dalam menjalani kehidupan ini. Oleh karena itu, HAM internasional memiliki peran kunci dalam

ketika seseorang dijatuhi pidana mati oleh negara pembuatan Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007 . atas kejahatan yang diatur dalam Undang-Undang Seluruh hakim konstitusi yang terlibat dalam Narkotika, tidak berarti bahwa negara yang memutus perkara tersebut sepakat untuk menentukan hidup matinya seseorang, melainkan menggunakan pendekatan melalui instrumen bahwa orang tersebut telah menentukan sendiri internasional guna memperkaya cakrawala secara sadar cara untuk matinya (Zerial, 2008: dalam menafsirkan UUD NRI 1945. Mahkamah 222 dan Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007: 394). Konstitusi juga mempertimbangkan bahwa

walaupun penafsiran konstitusi merupakan isu Pembahasan yang juga menarik perhatian

utama dalam perkara ini, namun Mahkamah Zerial dalam konteks agama datang dari

Konstitusi perlu menegaskan posisinya apakah dissenting opinion yang disampaikan oleh Hakim

hukuman mati bertentangan dengan kewajiban Roestandi mengenai hubungan antara negara

Indonesia dalam hukum internasional (dalam hukum ( state law) dan hukum Islam (Shariah law). Hakim Roestandi mengakui fakta bahwa Faiz, 2015: 66).

hukum Islam membolehkan adanya hukuman Dalam pembahasannya, Mahkamah mati. Namun demikian, dia menyatakan bahwa Konstitusi menyimpulkan bahwa hak untuk hidup

terdapat perbedaan antara norma agama yang tidaklah mutlak sebagaimana tertuang di sejumlah bersifat internal terkait dengan motivasi dan niat, instrumen hukum internasional, di antaranya: dengan norma hukum yang bersifat eksternal International Covenant on Civil and Political terkait dengan pelaksanaan secara lahiriyah.

Rights (ICCPR); Protocol Additional I to the

Kebijakan Moderasi Pidana Mati (Mei Susanto & Ajie Ramdan) | 205

1949 Conventions and Relating to the Protection Mahkamah Konstitusi menilai bahwa hukum of Victims of International Armed Conflict; yang berlaku pada saat itu di tingkat nasional Protocol Additional II to the 1949 Conventions adalah Undang-Undang Narkotika dan untuk and Relating to the Protection of Victims of Non- tingkat internasional adalah Konvensi Narkotika International Armed Conflict; Rome Statute of dan Psikotropika yang telah diratifikasi oleh International Criminal Court; Convention for the Indonesia tahun 1997 (dalam Faiz, 2015: 67). Protection of Human Rights and Fundamental Dalam konteks ini, Mahkamah Konstitusi merujuk Freedoms ( European Convention on Human pada Pasal 3 ayat (5) dan ayat (6) serta Pasal Rights); American Convention on Human

24 Konvensi tersebut yang memuat ketentuan Rights; Protocol No. 6 to the Convention for the bagi negara pihak untuk dapat memaksimalkan Protection of Human Rights and Fundamental efektivitas penegakan hukum terkait tindak Freedoms Concerning the Abolition of the Death pidana narkotika dan psikotropika, termasuk Penalty.

dengan menerapkan langkah-langkah lebih keras yang dalam hal ini menurut Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi juga menyimpulkan termasuk dengan ancaman pidana mati.

bahwa instrumen internasional tersebut memuat ketentuan tentang hukuman mati dengan batasan-

Mahkamah Konstitusi juga merujuk pada batasan tertentu, sehingga tidak dapat dikatakan Pembukaan Konvensi untuk menyatakan bahwa bahwa penghapusan hukuman mati telah menjadi pada faktanya kejahatan narkotika merupakan norma hukum yang diterima secara universal kejahatan yang sangat serius ( particularly oleh masyarakat internasional (dalam Faiz, 2015: serious) dengan menyandingkan antara kejahatan 66). Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah narkotika dengan genosida (genocide crime) Konstitusi memosisikan diri untuk menilai dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes apakah penjatuhan hukuman mati merupakan against humanity). Sebab, menurut Mahkamah pelanggaran bagi negara Indonesia terhadap Konstitusi, ketiga jenis kejahatan tersebut secara instrumen hukum internasional, khususnya negatif dapat memengaruhi “ economic, cultural, ICCPR. Walaupun mengakui bahwa semangat and political foundation of society and cause a dari ICCPR adalah untuk menghapuskan danger of incalculable gravity” (dalam Faiz, hukuman mati, namun Mahkamah Konstitusi 2015: 67). berpendapat Pasal 6 ayat (2) ICCPR menyediakan

Mahkamah Konstitusi berpendapat ruang bagi penjatuhan hukuman mati khusus

bahwa keikutsertaan Indonesia dalam Konvensi terhadap kejahatan-kejahatan yang paling serius

Narkotika dan Psikotropika, yang memberikan (the most serious crimes).

mandat untuk mengambil langkah nasional Selanjutnya, Mahkamah Konstitusi menilai secara keras dalam memberantas kejahatan apakah kejahatan narkotika yang dapat dihukum narkotika, memiliki kedudukan lebih tinggi dengan pidana mati merupakan jenis kejahatan berdasarkan Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah paling serius. Menurut Mahkamah Konstitusi, Internasional apabila dibandingkan dengan frasa “kejahatan yang paling serius” harus dibaca Komisi HAM PBB yang berpendapat bahwa juga dengan frasa “sesuai dengan hukum yang kejahatan terhadap obat-obatan terlarang tidak berlaku pada saat kejahatan itu dilakukan.” termasuk dalam kejahatan yang paling serius.

Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 193 - 215

Terhadap argumentasi ini, Zerial berpendapat Moderasi pidana mati dalam sistem bahwa kesimpulan Mahkamah Konstitusi cukup hukum Indonesia di masa yang akan datang bermasalah untuk beberapa alasan. Mahkamah sebagaimana disebutkan dalam Putusan Nomor Konstitusi dinilainya telah mengabaikan 2-3/PUU-V/2007 tersebut juga dapat dilihat dari pendapat dari Komisi HAM PBB yang termuat beberapa ahli yang diundang dalam persidangan di dalam General Comment 6 yang diadopsi pada sesuai dengan kapasitasnya sebagai penyusun 1982 dan beberapa laporan negara anggota, di RKUHP baru sebagai pengganti KUHP lama mana penafsiran secara langsung terhadap “most warisan Kolonial Belanda. serious crimes” merujuk pada ICCPR dan HAM,

Terdapat tiga orang ahli, yaitu Nyoman sedangkan Konvensi Narkotika dan Psikotropika

Serikat Putrajaya, Muzdzakir dan Mardjono merujuk pada konteks keseriusan kejahatan

Reksodiputro. Salah satu pendapat menarik narkotika secara umum (dalam Faiz, 2015: 67).

diungkapkan Mudzakkir yang menyatakan: Tiga isu penting yang telah dibahas “... tim perumus mencoba mengelaborasi dari oleh Zerial tersebut semakin menunjukkan yang ketat terhadap pidana mati kepada pidana kedalaman pembahasan dan pertimbangan yang mati yang bersifat lunak dengan prinsip tidak dilakukan oleh para hakim konstitusi dalam menghapuskan pidana mati tetapi bagaimana memutus perkara konstitusionalitas pidana mati. pidana mati itu tetap juga menjadi bagian di Yang paling menarik menurut penulis adalah dalamnya, sehingga unsur keadilan ( justice) bagaimana mayoritas hakim mengkonstruksikan dalam kehidupan masyarakat tetap...”. pidana mati tetap konstitusional, walaupun Pasal

Dalam persidangan, ketiga ahli tersebut 28I UUD NRI 1945 menyebut hak hidup sebagai

pada intinya menyebutkan bahwa dalam RKUHP hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi

baru yang telah disusun telah terjadi kesepakatan dalam bentuk apapun.

bersama bahwa untuk menjembatani tuntutan Sebagaimana telah disebutkan, mayoritas penghapusan pidana mati di satu sisi dan hakim berpendirian Pasal 28I UUD NRI 1945 mempertahankan pidana mati di sisi lain, maka tersebut harus dibaca secara satu kesatuan kebijakan pidana mati berbentuk: 1) pidana dengan Pasal 28J UUD NRI 1945 di mana mati dikeluarkan dari pidana pokok dan selalu pelaksanaan hak asasi manusia harus tunduk diancamkan selalu alternatif; 2) hanya tindak pula dengan kewajiban asasi manusia yang diatur pidana tertentu saja yang dapat diancamkan dengan undang-undang. Apalagi, nyata-nyata dengan pidana mati; 3) adanya penundaan ketentuan internasional yang mengatur perihal pelaksanaan pidana mati; dan 4) kemungkinan yang samapun masih memberikan pengecualian diubahnya pidana mati menjadi pidana seumur pembolehan pidana mati khususnya kepada hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun. tindak pidana serius. Pengecualian inilah yang

Dengan demikian, para hakim konstitusi kemudian menjadi salah satu titik kulminasi yang juga mempertimbangkan pendapat-pendapat membuat pidana mati ke depannya seharusnya yang bersifat ke depan ( futuristik), mengingat dimoderasikan dalam arti tetap dipertahankan sebagaimana telah disebutkan persoalan pidana namun hanya untuk tindak pidana tertentu saja. mati tidak hanya berkaitan dengan Undang-

Kebijakan Moderasi Pidana Mati (Mei Susanto & Ajie Ramdan) | 207

Undang Narkotika yang sedang diuji, melainkan tindak pidana ( individual and social damages) juga berkaitan dengan banyak undang-undang (Priyanto, 2006: 27). lainnya.

Hal tersebut sebagaimana telah diulas Menurut Arief (2005: 293) dilihat dari dapat dilihat dari bagaimana cara para hakim tujuan pemidanaan, pidana mati pada hakikatnya konstitusi mengambil keputusan dengan bukan sarana utama/pokok untuk mengatur, mempertimbangkan beragam macam pendapat menertibkan, dan memperbaiki individu/ dan masukan, baik yang sifatnya filosofis, yuridis, masyarakat. Pidana mati hanya merupakan sosiologis, bahkan termasuk pertimbangan dari sarana terakhir/perkecualian. Hal ini dapat perspektif internasional. Dengan menggunakan diidentikkan dengan amputasi/operasi di bidang teori integratif ini, persoalan konstitusionalitas kedokteran, yang pada hakikatnya juga bukan pidana mati dan pidana mati di masa yang sarana/obat utama, tetapi hanya merupakan upaya akan datang harus dimoderasikan menemui perkecualian sebagai sarana/obat terakhir. Dengan landasannya. melihat berbagai macam analisis berkaitan dengan kehati-hatian dan kedalaman Putusan

B. Analisis Kebijakan Moderasi Pidana

Nomor 2-3/PUU-V/2007, maka dapat dikatakan

Mati dalam RKUHP Tahun 2015

persoalan konstitusionalitas pidana mati sampai dengan perlunya kebijakan moderasi pidana mati

Sebagaimana sempat disinggung, saat ke depan telah sesuai dengan teori integratif ini Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum

yang dikemukakan oleh Muladi, tepatnya teori Pidana (RKUHP) telah diajukan pemerintah tujuan pemidanaan yang integratif berdasarkan ke DPR pada pertengahan 2015 sebagai upaya kemanusiaan dalam Sistem Pancasila.

mengganti KUHP warisan Kolonial Belanda. Salah satu muatan dalam RKUHP tersebut

Teori ini sebagaimana telah disebutkan, adalah mengenai pidana mati. Berdasarkan menjelaskan persoalan pidana dalam konteks uraian mengenai analisis Putusan Nomor 2-3/ kekinian sangat kompleks sebagai akibat dari PUU-V/2007, persoalan pidana mati haruslah usaha untuk lebih memperhatikan faktor-faktor dimoderasikan sebagai upaya menengahi yang menyangkut hak asasi manusia, serta tuntutan antara dipertahankannya pidana mati menjadikan pidana bersifat operasional dan dan dihapuskannya pidana mati dalam sistem fungsional. Untuk itu diperlukan pendekatan hukum Indonesia. multidimensional yang bersifat mendasar terhadap dampak pemidanaan, baik yang

Apabila dilihat dari RKUHP yang saat menyangkut dampak yang bersifat individual ini sedang dibahas di DPR, model kebijakan maupun dampak yang bersifat sosial.

moderasi pidana mati antara lain berbentuk:

1) penempatan pidana mati secara tersendiri di Pendekatan semacam ini mengakibatkan luar pidana pokok yang umum; 2) berkaitan

adanya keharusan untuk memilih teori integratif dengan pelaksanaan pidana mati yang tentang tujuan pemidanaan yang dapat dapat dilaksanakan setelah permohonan mempengaruhi fungsinya dalam rangka mengatasi grasi bagi terpidana ditolak oleh presiden; kerusakan-kerusakan yang diakibatkan oleh 3) pelaksanaan pidana mati dapat ditunda

Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 193 - 215 Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 193 - 215

20 tahun dengan keputusan menteri sebagai sungguh menjadi perhatian, yaitu: 1) pidana mati konsekuensi penundaan pelaksanaan pidana bukan lagi merupakan pidana pokok, melainkan mati dengan masa percobaan selama sepuluh sebagai pidana yang bersifat khusus dan alternatif; tahun pada poin 3; dan 5) perubahan pidana

2) pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup percobaan selama sepuluh tahun yang apabila dengan Keputusan Presiden jika permohonan terpidana berkelakuan terpuji dapat diubah grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati dengan pidana penjara seumur hidup atau selama dilaksanakan selama sepuluh tahun bukan karena

20 tahun; 3) pidana mati tidak dapat dijatuhkan terpidana melarikan diri.