Vol 19 No 2 (2008): Jurnal Tribakti | Jurnal Pemikiran Keislaman
Fungsi Kekhalifahan Manusia
- *
Oleh: Kharisudin Aqib
Abstraksi: Salah satu nilai-nilai dasar Islam adalah, bahwa semua yang
ada pada manusia merupakan amanat dari Allah, zat yang memiliki kekuasaan yang sebenarnya. Kedudukan manusia sebagai khalifatullah inilah yang mengharuskan manusia untuk bertindak dengan penuh rasa tanggung jawab. Khalifatullah disini mengandung pengertian sebagai pemimpin yang berkuasa dimuka bumi diantara sesama makhluk. Allah menurunkan umat manusia dimuka bumi ini dengan diberi otoritas (kekuasaan) sebagai fungsi manusia untuk mangatur dan memimpin kehidupan dimuka bumi.
Kata Kunci: Khalifah, Manusia. Pendahuluan
Unsur yang sangat dominan dalam pembentukan peradaban umat manusia adalah tatanilai yang dipegangi oleh suatu masyarakat, baik yang bersifat temporal maupun yang bersifat universal.
Umat Islam sebagian dari masyarakat manusia telah memperkenalkan suatu peradaban yang merupakan pencerminan pemahamannya terhadap nilai-nilai yang diajarkan oleh Islam sebagai agama. Silih berganti dan sambung menyambung mulai zaman nabi Muhammad diutus sampai dengan zaman sekarang, dalam suatu mata rantai peradaban dan kebudayaan yang beraneka warna, sesuai dengan komitmen dan pemahaman umat Islam dari masa ke masa atas islam sebagai sumber nilai.
Salah satu nilai-nilai dasar islam adalah, bahwa semua yang ada pada manusia merupakan amanat dari Allah, zat yang memiliki kekuasaan yang sebenarnya. Dan bahwa manusia hanyalah pemilik hak guna pakai terutama dalam hal pemilikan kekuasaan. Dalam beberapa ayat al-
Qur‟an menyatakan bahwa
1
allahlah pemberi kekuasaan dan oleh karena itu Dia dapat mengubah pemilikan dan menyerahkan pemilikan kepada siapa saja yang disukai-Nya. Manusia hanyalah penerima keuntungan, dan apapun yang dimilikinya, dia memiliki demi yang maha kuasa, yang sebenarnya untuk kepentingan masyarakat. Karena alasan inilah maka nabi Muhammad yang merupakan raja spiritual bagi seluruh Arabia, tetap hidup sebagai orang yang paling rendah. Kehidupan yang sangat sederhana tetap dipraktekkan bersama seluruh keluarga dan sahabat-sahabatnya, walaupun seluruh jazirah Arab telah berada dibawah kekuasaannya. Hal ini rasanya mustahil dapat dilakukan tanpa adanya suatu keyakinan bahwa segala yang dimiliki sebenarnya kepunyaan Allah dan dia hanyalah penerima amanat, bendaharawan dan sebagai pembagi semata.
Menurut H.K. Sherwani,” hal itu sangat menjelaskan bahwa penguasa Islam dalam arti duniawi sangat berbeda dari “penguasa” sebagaimana dikembangkan dikemudian hari oleh politisi dan para ilmuan politik Eropa, sebab
2
menurut ajaran Islam, tidak seorangpun yang menjadi otokrat. Dasar kekuasaan politik dalam pengertian ini adalah perwakilan (khilafat), wilayat dan jelas hal ini memerlukan tanggung jawab. Apalagi gagasan tentang pemilikan mutlak, baik dalam arti politik maupun pribadi, tidak dikenal dalam jiwa Islam. Sebab segala sesuatu dimilki oleh Allah, dan oleh karena itu dalam pengertian praktis dimiliki oleh masyarakat, dan dikuasai sebagai amanat oleh orang yang menggunakannya. Hal ini berlaku bagi semua orang yang memilki kekuasaan politik.
Ketika semua negeri dari Mesir hingga Iran, dan bahkan diluar itu telah berada dibawah kekuasaan khalifah Umar ibnu Khattab, dia hidup bukan sebagai penguasa suatu kekaisaran yang luas, tetapi sebagai pelayan sejati bagi Allah dan ummat-Nya. Membaca sejarah penyelenggaraan pemerintahan yang dipraktekkan oleh nabi dan khulafa‟ al-Rasyiddin, khususnya Umar ibnu Khattab. Kenyataan tersebut diyakni sebagai manivestasi atas keyakinan mereka terhadap prinsip kekhalifahan (kekuasaan) dalam al- Qur‟an, dan sudah barang tentu kekhalifahan disini tidak hanya berkonotasi politis semata.
Makalah ini sengaja akan menguraikan pembahasan tentang “konsepsi kekhalifahan manusia dalam al- 2 Qur‟an” untuk mencari kejelasan dan jawaban
Lihat Syekh Mahmudunnasir, Islam, Its consepts & History, diterjemahkan oleh Adang yang mendasar tentang “bagaimana fungsi kekhalifahan manusia menurut al- Qur‟an? dan bagaimana seharusnya manusia bertindak sebagai khalifah Allah itu? pemilihan tema pembahasan ini didasarkan pada term-term dalam al-
Qur‟an yang dinilai paling mendekati makna kekuasaan adalah term khalifah dan sebagai fokus kajian dalam makalah ini adalah al-
Qur‟an surat Yunus (10) ayat 14, dan ayat-ayat
3 lain yang mengandung term khalifah dengan beberapa perubahan bentuknya.
Analisa Simantik dan Eksigesis
14 ) : سّ٘ي .( ُ٘يَؼت فيم شظْتى ٌٕذؼب ٍِ ضسلاا ىف فئيح ٌنْيؼج ٌث 1.
Kata بْيؼج dalam frase ٌنْيؼج ٌث Kaliamt tersebut adalah fiil madli, yang memiliki akar kata ه ع ج , kata ini tidak ada qiyasnya, dengan kalimat-kalimat lain. Maka وؼجىا bisa berarti pemilihan untuk menjaga kekuasaan. Bentuk tunggalnya adalah
ْٔيؼج isi maf‟ulnya ه٘ؼجىا
yang berarti mendatangkan kenikmatan. Sedangkan isim failnya
ه٘ؼجىا yang
berarti sobekan kain, yang biasa digunakan untuk menurunkan panci dari tungku api. Sehingga kata mempunyai arti, setiap apa yang dijadikan
تىبؼج ْٔيؼج وؼج - -
4 untuk manusia dengan perintah untuk mengerjakannya.
Kata لعج ini, menunjukkan arti umum dalam setiap pekerjaan, dan bahkan lebih umum daripada dan حْج serta semua kata yang sejenis dengan وؼف itu (termasuk khalaqa). Kalimat ini biasanya dipakai untuk lima pengertian
(makna) diantaranya adalah bermakna menghukumi dengan suatu hukum baik yang benar maupun yang salah .sebagaimana firman ALLAH swt. Surat 28ayat
5 7.
ِييسشَىا ٍِ ٓ٘يػبجٗ ليىا ٓٗداس بّا
3 yitu QS. Al-Baqarah (2);30, QS. Al- An‟am (6):135-165, QS. Al-A‟raf (7):69,73, QS.
Yunus (10):14,73, QS. Hud (11):57; QS. An-Nur (14);55; QS. An-Naml (27):62; QS. Fathir
(35):39; QS. Sad (38):26 4 Lihat Abi al-Husain Ahmad Ibnu Faris ibn Zakariya, Mu’jam Maqayis Al-Lughah, jilid I,Cet I. Bairut: Dar al-Jail, 1991, h. 460
Kata
وؼج dalam hubungannya dengan Allah sebagai obyek, juga bisa
6
berarti menciptakan dan menitahkan. Dalam Al- Qur‟an kata ini dan (dengan segala macam perubahan benruknya) dipergunakan sebanyak 339 kali. Sedangkan yang dipergunakan dalam kaitannya dengan kekhalifahan, terdapat dalam sembilan ayat. Satu kata berbentuk isim fa‟il QS. Al-Baqarah (2):30, tiga kata berbentuk fa‟il nahnu QS. Shad (38):26, QS. Yunus (10):14,73. Dan empat kata berbentuk fi‟il madli dengan fa‟il hua QS. Al-An‟am (6):125, Qs. As-Shaffat (37):39. QS. Al-
A‟raf(7):69, 74 serta satu kata berbentuk fi‟il mudhari‟ dengan
7 fa‟il hua QS. An-Naqml 9270:62.
Untuk makna pengangkatan khlalifah, selain digunakan kata
وؼج dengan
beberapa bentuk perubahannya, juga digunakan ungkapan lain. Yaitu:
فيختسي
فيختسإ dari wazan وؼفتسإ وؼفتسي sebagai bentuk perubahan langsung dari kata فيخ
seperti dalam surat an-Nur (24):55, al-An‟am (6):133, Hud (11):57, Al-A‟raf
(7):129.
Atas adanya beberapa bentuk kata dari لعج iini, para mufassir tidak banyak menyorotinya (mungkin dianggap biasa). Karena telah berlaku kaidah bahasa secara umumdalam bahasa Arab, bahwa penggunaan dhamir nahnu (baik yang muttashil maupun munfasshil) pada seorang pembicara tunggal (misalnya
ٌنْيؼج ), berarti litta‟dim. Akan tetapi menurut Quraisyi Shihab hal tersebut
8
menunjukkan atas keterlibatan pihak lain diluar mutakallim itu sendiri. Contoh kasus dalam masalah ini terjadi pada surat Yunus (10):14 dan surat Sad (38):26, dan pihak lain tersebut bisa berarti masyarakat.
Sedangkan yang sering menjadi obyek penafsiran para mufassir dalam frase tersebut adalah pada dhamir “ ٌم “. Ada yang memberi penafsiran, sebagai
9
khitab adalah ahli makkah, misalnya, Al-Mahally. Ada juga yang menafsirkan
6 Lihat Anis Ibrahim, dkk, Al- 7 Mu’jam al-Wasilh, jilid I, cet 2, (t,t, tp.)h. 125 Lihat Abd Baqi Muhammad Fuad, Al- Mu’jamal-Mufahras li alfadzal-Qur’an al-Karim (indonesia: Maktabah Dahlan, t, th.), h. 216-222& 304-5 8 Lihat Shihab m. Quraisyi, Membumikan al-Quran (Cet X, Bandung, Mizan, 1995), 159
10
dengan umat Muhammad, misalnya Ibnu Abbas. Serta ada juga yang memberikan penafsiran (ahli Makkah dan semua ummat manusia) misalnya
11 Tantawi Jauhari.
2. Kata فئ لاخ dalam frase ضسلابىف فئ لاخ Kata فئ لاخ adalah bentuk jama‟ dari kata تفييخ sedangkan kata
12
dan kedua kata tersebut berakar ءبفيخmerupakan bentuk jama‟ dari kata فييخ . kata yang sama, yaitu dari
ف ه خ yang berarti datangnya sesuatu setelah
kedatangan yang lain, dengan menggantikan posisinya. Dari sini terbentuklah istilah khilafah, karena adanya orang kedua yang datang menggantikan posisi
13 orang pertama.
Dari akar kata ini juga bisa berarti pergantian dengan yang lain, baik karena ketidak hadirannya ataupun karena kematiannya atau juga mungkin juga karena kelemahan orang tersebut, serta bisa jadi karena kehormatan orang yang menggantikan tersebut. Dalam pengertian yang terakhir itulah Allah mengangkat
14 kekasihnya (manusia) untuk menjadi khalifah (wakil-Nya) dimuka bumi ini.
Dalam penggunaan term khilafah sebagai terminologi politik (imamah dan imarah), maka orangnya disebut khalifah atau sultan yang tertinggi. Adapun pemakaian huruf ta‟ marbutoh diakhir dimaksudkan limubalaghah. Sedangkan kata khalif sendiri tidak pernah dipakai kecuali untuk pengertian jalan diantara
15 dua bukit, atau sesuetu yang ada diantara ketisak kaki unta.
Kata فئ لاخ dalam al-Qur‟an digunakan sebanyak empat kali, dengan
16
gaya yangbberbeda-beda. Dua diantaranya dikaitkan dengan frase tempat “ضسلابىف “ sebuah yang lain dengan kata majemuk ( idafat) ضسلابىف فئ لاخ dan sebuah lagi dalam bentuk mandiri 10 فئ لاخ. Meskipun ungkapan yang dipergunakan
Lihat al- Fairuz Zabadi, Abi thahir Muhammad ibn Ya‟;qub, Tanwir al-Miqbasfi Tafsiri ibnu Abbas (Beirut: Dar al-Fikr, t,th, ), h. 131 11 Lihat Tantawi Juhari, Al-Jawahi\rfi Tafsir al- Qur’an al-Karim,jilid VI (Cet. II: Mesir
Mushtafa al-Babi al-Halabi wa auladuhu, t,th) , h. 50 12 13 Lihat al-Raghib, op, cit. h. 294. 14 Lihat, Abu Husain, op, cit. h. 212 Lihat al-Raghib, loc, cit. itu berbeda-beda, namun makna yang dikehendaki tidak jauh berbeda dari pengertian khalifah sebagai bentuk mufradnya. Menurut Abd. Muin Salim adanya partikel
ىف dalam frase tersebut menunjukan wilayah kekuasaan manusia sebagai khalifah yaitu dimuka bumi. sedanngkan penggunaan tarkib idafi lebih
17 menunjukkan pada obyek dari kekhalifahan manusia itu.
Sayyid Qutub dalam menafsirkan kata فئ لاخ dalam ayat tersebut adalah manusia sebagai
فيختسٍ sebagai status pemilikan (penguasaan) yang mempunyai
18
nilai labih rendah dari pada pemilik atau penguasa pertama (Allah). Sedangkan Ibnu Abbas (dalam Al-Fairuz Zabadi), menafsirkan kata فئ لاخ dalam frase
19
tersebut, dengan adapun Al-
ٌنْفيختسإ . Tibrisiy dalam Majma‟ Al-Bayan,
20
menafsirkan frase tersebut dengan pengertian sedangkan al- ضسلابىف ٌم بْنسإ . Garra‟ (yanng dikutip oleh Ibnu Mandhur) memberi penafsiran pada frase tersebut
21 “Allah mengangkat umat Muhammad sebagai khalifah bagi semua umat”.
3. Kata ذؼب dalam ٌٕذؼب ٍِ
Kata دعب berasal dari د ع ة yang berarti lawannya dekat dan bisa berarti kabalikan dari sebelum. lawan dari
ذؼبىا ةشقىا berarti jauh. Sedangkan ذغبىا dan ذؼبىا
berarti Adapun bisa berarti jauh, sekaligus bisa
ليٖىا (kehancuran). ذؼب اذؼب
- 22
23 berarti kehancuran.
Dengan memperhatikan pembahasan sebelumnya QS. Yunus (10):13 yang menceritakan kehancuran umat terdahulu, maka para mufassir senantiasa menafsirkan frase tersebut dengan kata kehancuran. Misalnya Al-Alusi danIbnu
17 Lihat: Abd. Muin Salim, Fiqih Siyasah: konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al- Qur’an (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), h. 119-120 18 Lihat: Saayed Qutub, Fi Dilal Al- Qur’an ,jilid 3 (cet. 17, Beirut, Muassasah A‟lamiy lilmatbu‟ah, 1991) h.23 19 20 Lihat: Al-Fairuz Zabadi, loc. Cit., Lihat: Abu Ali al-Fadal ibn Hasan Al-Tibrisiy,
Majma’ al-Bayanfi Tafsir al- Qur’an,jilid V (cet.I t.t:Dar al- Ihya al-Turast al-Araby, 1986), h. 132 21 Ibnu Manzur, Jamal al-din Muhammad ibnu Mukarram, Liosan al-Arab,juz 10 (t.t Al- Dar al-Mishriyah li al- ta‟lifat wa al-Tarjamah, t.th), h. 432
24 Abbas.
Keduanya memberikan penafsiran frase tersebut dengan “setelah kehancuran mereka”. Ada juga yang memberi penafsiran dengan “setelah umat-
25 umat terdahulu Kami hancurkan”.
4. Kata شظّْ dalam frase شظْْى
Kata شظّْ adalah fi‟il mudhari‟ dengan pelaku nahnu, yang dipergunakan sebagai isyarat li al- ta‟dzim. Ia berakar dari kata س ظ ُ yang berarti
26
memperhatikan dengan pandangan mata. Akan tetapi jiika kata ini dipakai dalam kaitannya dengan sekelompok manusia, maka artinya menghukumi atau
27 menyeleksi.
شظّْ juga bisa berarti mengharapkan dengan isyarat mata, tappi
jika dipergunakan untuk suatu kaum, maka artinya meratapi dengan menyebut- nyebut nama-Nya, atau membantunya. Sedang jika digunakan untuk sekelompok
28 manusia artinya adalah menghukumi dan menyeleksi permohonan mereka.
Dalam konteks ayat tersebut maka ungkapan ini dapat diberi pengertian “agar Kami (Allah dan yang lain) merujuk tesisnya Quraisy Syihab”.
Pada umumnya muifassirin memberikan penafsiran yanng tidak terlalu berbeda, ada yang memberi per ingatan dengan “agar Kami dapat melihat
29
, sedang penafsiran Sayyid Quttub perbuatan apa yang kalian lakaukan” memberikan penafsiran “agar sungguh-sungguh bertaqwa, sungguh-sungguh
30
waspada, dan menjadi sangat cint a kepada kebaikan dan juga pada ujian ini”. Adapun Taba Taba‟I engatakan, bahwa ayat tersebut menunjukkan adanya ujian dan musibah adasesuatu yang berlaku secara umu, dan terus menerus (univesal )
31 dan kontinyu dalam kehidupan ini). 24 Lihat: Syihabuddin, Sayyid Mahmud al-Alusiy al-Baghdady, Ruh al- Ma’aniy, jilid 10, (cet 1, Beirut: Dar al-Fikr, 1978),
h. 72 dan lihat Abi Thahir Muhammad ibn Ya‟qub al-Fairuz Zabadi, Tanwir al-Miqbas fi Tafsir Ibn Abbas, Beirut : Dar al-Fikr, t,th) 131 25 Lihat: Abu Ali al-Fadl ibn al-Hasan al-Tibrisiy, majma’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an , jilid 5 (t,t Dar al-Ihya al-aTuras al-Arabiy, Cet 1, 1986), h. 123 26 27 Lihat: Abu al-Husain jilid V, op. cit h. 444 28 lihat: Ibrahim Anis, jilid 1, op, cit. h. 932 Lihat: Butros al-Bustaniy, Qatru al-Muhid, jilid 2 (Beirut: maktabah Luknan Sahah
Riyadh al-Shulh. 1869), h. 2191 29 30 Lihat; misalnya al-Alusi, op, cit. h. 72 Lihat: Sayed Qutub, op. cit, h. 1770
32 Kata
sedangkan frase
شظّ dipergunakan sebanyak 129 kali, شظْْى
dipergunakan 3 kali, yaitu surat Yunus (10):14, surat An-naml (27):27, sedangkan ungkapan ini dalam ayat pertama diartikan dengan Kami (Allah), pada ayat kedua diartikan dengan kami (nabi Sulaiman), sedangkan pada ayat ketiga diartikan kita
33 (nabi Sulaiman dengan para pembesarnya).
5. Kata ُ٘يَؼت dalam ُ٘يَؼت فيم شظْْى
Kalimat tersebut berakar dari dengan tafsir
ه ً ع وٍبػ وَػ وَؼي (apabila
seseorang melakukan pekerjaan sendirian). Kata ini merupakan bentuk urutan dari
34
emua kata kerja. Kata ini bermakna melakukan sesuatu dengan kesadaran, juga
35 bisa berarti melayani atau membuat, atau mengerjakan.
Dalam menafsirkan kata ُ٘يَؼت dalam frase tersebut, ada kemiripan diantara para mufassir. Misalnya Al-maraghi, dia menafsirkan frase tersebut
36
dengan firman Allah; sedangkan Al-Qasimi dengan
لاَػ ِسحا ٌنيا ٌم٘يبيى
penafsiran
اششٗا شيخ ٍِ ُ٘يَؼي “dan kami akan menilai kalian sesuai dengan
37 perbuatan kalian.
Adapun Rasyid Ridha, penafsirannya lebih jelas lagi, yaitu; “agar kami dapat melihat dan menyaksikan amal apa yang kalian perbuat, dalam status
38 kekhalifahan kalian sehingga Kami akan membalas kalian.
Di riwayatkan oleh Ibnu Jarir, bahwa Umar ibnu Khattab, setelah membaca ayat ini (Yunus;14) lalu berkomentar:
لاإ ضسلابىف فئ لاخ ٌنْيؼج بٍ قذص
39 تيّلاؼىاٗ شسىاٗسبّٖاٗ ويى بب ٌنىبَػا اٗسبف بْىبَػبىىا شظْيى Analisa Perbandingan Ayat dan Asbab Al-Nuzul 32 33 Abd. Baqi, Op. Cit,. h. 1770 Lihat, Depag RI, iAl- Qur‟an dan Terjemahannya, (edisi Revisi, Surabaya, Mahkota, 1989), h. 307, 596, 598 34 35 Lihat; AbuAl-Husain, jilid IV, op, cit., h. 145 36 Lihat; Butros Al-Bustanu, op, cit.,h. 1443 37 Lihat; Mushtafa Al-Maraghi, tafsir al-Maraghi,jilid X, (t,t,tp., cet. III, 1932h. 77 Lihat; Muhammad Jamaludin Al-Qasimi, Mahasin al-
Ta’wiljilid IX (t,t Dar ihya al- Arabiyat, t,th), h. 3330 38 Lihat; Sayed Muhammad Rasyid ridha, Tafsir al-Manar,jilid Xi, (t,t, Dar Dar al-Fikr, cet 2, t,th) h. 316 Kalau diperhatikan ayat sebelumnya (ayat 13 surat Yunus), maka jelas sekali bahwa ayat ini 914 surat Yunus) merupakan kelanjutan (menyempurnakan) pembahasan ayat 13 itu, sehingga kebanyakan mufassir membahas kedua ayat tersebut kedalam satu analisa pembahasan. Ibnu Kasir memberikan penafsiran dalam kedua ayat tersebut, sebagai kisah pergantian antar generasi manusia, sejak zaman dahulu. Sehingga kata ganti ( ٌم) disini diartikan kalian manusia sebagai generasi secara umum, disini dia mengaitkan dengan sabda nabi:
40 ُ٘يَؼت فيم شظبْف بٖيف ٌنفيختسٍ الله ُاٗ ةشضح ة٘يخ بيّ ذىا ُا
Dan jika diperhatikan ayat setelahnya (15 surat Yunus), bahwa dalam ayat ini dijelaskan tentang sikap orang-oranng kafir dalam memberikan tanggapan ayat- ayat Allah. Maka pada ayat 14 tersebut juga merupakan peringatan bagi orang- orang yang beriman agar tidak ragu dan gentar menghadapi sikap orang kafir itu, karena Allah akan senantiasa memperhatikan apa yang diperbuat oleh hamba dan
41
sekaligus khalifah-Nya itu dan akan menghukum orang yang kafir itu. Ada empat pernyataan yang diungkapkan dalam al- Qur‟an yang senada dengan ayat
42
ini;
ضسلابىف فئلاخ ٌنْيؼج ٌث
Akan tetapi yang menjelaskan tentang siapa-siapa yang benar-benar akan diangkat sebagai khalifah-Nya, disebutkan dalam surat Al-Nur ayat 55;
ٌٖيبق ٍِ ِيزىا فيختسابَم ضسلاىف ٌْٖفيختسيى تحىبصىا٘يَػٗ ٌننٍْ اٍْ٘ا ِيزىا اللهذػٗ
Sedangkan frase
ُ٘يَؼت فيم شظْْى bisa diberi penafsirang dengan firman
Allah surat Hudayat 7, dan surat Al- An‟am ayat 165;
43 ٌنتا بٍ ىف ٌم٘يبيى . لاَػ ِسخا ٌنيا ٌم٘يبيى
Dari analisa ayat-ayat yang mengandung term khalifah dan membahas kekhalifahan, maka dapat dipetak-petak kandungan utamanay yaitu; surat al- Baqarah (2):30, merupakan pernyataan Allah, bahwa Allah akan mengangkat 40 Lihat Abi al-Fida Ismail ibn Kasir, Tafsir al- Qur’an al-Adzim, juz II (Semarang Thoha
Putra, t,th), h. 409 41 QS. Yunus (10):13
khalifah-Nya dimuka bumi. Surat al- An‟am (5):165 dan surat Yunus (10):14, berisi tentang fungsi kekhalifahan manusia. Surat al-
A‟raf (7):69 dan 73, peringatan Allah akan kenikmatan kekhalifahan manusia, Sebagai generasi yang lebih baikdari generasi sebelumnya(untuk kaum nabi Nuh dan Hud). Surat Yunus (10):73, tentang proses pergantian kekhalifahanmanusia sebagai generasi. Surat Al-Nur (24):55, tentanng janji Allah akan mengangkat orang yang beriman dan beramal shaleh sebagai khaligfah dimuka bumi. Surat Al-Naml (27):62, peringatan Allah bagi orang yang tidak bersyukur atas nikmat kekhalifahannya. Surat Fatir (35):39, berisi tentang ancaman Allah, atas orang yang mengingkari fungsi kekhalifahannya. Surat Shad (38):26, pengangkatan nabi Daud sebagai khalifah-Nya dan tugas-tugasnya. Surat Al-
An‟am (6);133, pengangkatan dan pergantian suatu kekhalifahan (generasi) adalah hak mutlah Allah. Surat Hud (11):57, menyatakan ancaman Allah atas orang yang tidak mematuhi ajarannya dengan digantinya posisi kekhalifahannya. Surat Al-
A‟raf (7):129, do‟a nabi Musa untuk kekhalifahan kaumnya. Walaupun secara pasti ayat ini tidak ditemukan asbab al-nuzulnya, akan tetapi secara kronologis ayat ini termasuk surat yang turun pada urutan ke 51
44
(surat Yunus), yang turun setelah surat al-Isra atau surat Bani Israil.. surat sebelumnya inin dinamakan al-Isra karena selain pada ayat-ayat pertamanya membahas tentang peristiwa Isra‟ nabi Muhammad, juga karena disalamnya terdapat isyarat bahwa kelak nabi Muhammad beserta para pengikkutnya akan mengalami kejayaan dan mencapapi martabat yang tinggi. dan juga dinamai surat Bani Israil, karena ada isyarat bahwa ummat Muhammad nantinya juga akan
45
mengalami masa kehancuran sebagaimana keadaannya Bani Israil. Jika dilihat dari surat sebelumnya itu, tampaknya ayat 13-14 surat Yunus ini merupakan inti dari isyarat itu, baik kejayaan maupun kehancurannya.
Surat Yunus ini termasuk Makkiyah, karena hampir semua ayatnya
46 termasuk makkiyah, kecuali ayat 40, 94 dan 95 yanng termasuk Madaniyah.
Dari keseluruhan ayat dari surat Yunus (yang ada asbab al-nuzulnya) diturunkan 44 Lihat; Abd. Muin Salim, Fiqh Siyasah, op , cit,. h.329 dalam rangka memberikan jawaban atas keraguan masyarakat Makkah akan
47 krebilitasMuhammad sebagai seoranng Rasulullah.
Sedangkan surat yang turun setelahnya (ke 52) adalah surat Hud yang
48
juga termasuk Makkiyah. Dalam surat ini banyak sekali uraian tentang kisah- kisah umat terdahulu, sebagaimana yang disinyalur dalam surat Yunus ayat 13-14 itu, yaitu kisah para nabi dan umat mereka, yaitu; kisah nabu Nuh(ayat 25-29), kisah nabi Hud (ayat 50-60), kisah nabi Shalih (ayat 61-68), kisah nabi Luth (ayat 69- 83), kisah nabi Syu‟aib (ayat 84-95), dan kisah nabi Musa (ayat 96-99).
Penafsiran Alternatif
Berdasarkan analisa sematik, eksigesis, perbandingan ayat dan asbabal- nuzul ayat 14 surat Yunus ini, ُ٘يَؼت فيم شظْْى ٌٕذؼب ٍِ ضسلابىف فئلاخ ٌنْيؼج ٌث , secara global dapat diberi penafsiran sebagai berikut; “ kemudian setelah generasi-generasi penguasa terdahulu dihancurkan oleh Allah karena kedzaliman mereka, maka kemudian Allah menghidupkan generasi baru di muka bumi ini, yang menggantikan posisi mereka, kedudukan itu berfungsi sebagai ujian dan amanat dari Allah, sehingga Allah dapat memberi penilaian (demikian juga makhluk-makhluk Allah dapat menyaksikan), bagaimana manusia itu bertindak sebagai khalifah-khalifah-Nya, adapun penjelasannya sebagai berikut:
Kata
ٌث disini berfungsi sebagai penyambung dari pokok uraian
sebelumnya,baik dari ayat sebeliumnya maupun surat sebelumnya ( sesuai dengan munasabat tertib al-nuzul). Dan yang secara langsung menunjuk adalah ayat sebelumnya (ayat 13), yaitu suatu kisah yanng berfungsisebagai I‟tibar (bahan renungan dan pelajaran)tentang sebab kehanccuran umat terdahulu. Sehingga kata tersebuut mengandung pengertian “kemudian setelah itu”.
Frase ٌنْيؼج artinya adalah; Kami (Allah, dengan perantaraan sistem
49 sosial dan hukum-hukumnya). Mengangkat kalian semua umat manusia. 47 Lihat asbab al-Nuzul dalam m. Jalaudin Muhammad ibnu Ahmad al-Makali dan Jalaudin Abd. Rahmanibn Abi Bakr Al-Suyuti,TafsirAl-
Qur’an al-Karim,juz I, Cirebon: al- Maktabah al-Mishriyah, t,th., h. 202 Memang kebanyakan mufassir memberikan penafsiran dhamir “مك” tersebut dengan umat Muhammad, tetapi juga tidak bertentangan jika diberi penafsiran
50
dengan umat manusia. Karena umat Muhammadsebagai generasi, bnisa bermakna umum, yaitu semua manusia yang hidup setelah masa kerasulan nabi Muhammad. Penafsiran inii kiranya dapat didukung oleh firman Allah, tentang
51
fungsi dan jangkauan kerasulan nabi Muhammad,
اشيزّٗ اشيشب سبْيى تفبم لاإ لْيسسا بٍٗ
Kata
فئلاخ walaupun kata inim merupakan bentuk jama‟ dari istilah tehnis dalam
istilah politik (khalifah), akan tetapi dalam kaitannya dalam peran manusia dengan kolektifitas generasi maupun secara individual dan universal serta dalam tataran Trio kosmos (mikro kosmos, makro kosmos, dan meta kosmos), maka manusia sebagai khalifah memiliki makna yanng multi fungsi, yang mencakup semua makna yang terkandung dalam dalam akar katanya, yaitu; wakil, pengganti, penguasa dan pemimpinatas seluruh yang ada dalam makro kosmos.
Frase
ضسلابىف فئلاخ
Frase ini berfungsi sebagai penjeas kata sebelumnya, yaitu khalifah dan mungkin dapat diinterpretasikan sebagai kalimat yang menjelaskan tentang wilayah
52
kekhalifahan manusia. Akan tetapi tidak salah juga kalau kiranya diberi pengertian sebagai tempat kedudukan para khalifah itu (manusia). Sedangkan wilayah kekuasaannya meliputi seluruh yang ada dalam makro kosmos (alam raya). Pemikiran ini dikuatkan oleh pernyataan Allah, bahwa Allah telah
53
menundukkan kepada manusia semua yang ada dilangit dan bumi. perintah
54 Allah kepada malaikat dan iblis untuk bersujud kepada Adam, serta pernyataan
55 Allah bahwa manusia adalah makhluk terbagus.
Frase 50 ٌٕذؼب ٍِ
Sebagaimana penafsirannya Tantowi Johari dalam al-jawahir fi tafsir Al-quran al- karim, jilid VI, cet II (Mesir, Mustafa al-Babi wa Auladuhu , t.th) h.50. 51 baca; Saba‟ (34): 28, Al- Anbiya‟ (21): 107 lihat Jalaluddin Abd. Rahman ibn Abi Bakr Mishiriyat, t.th) h. 92. 52 53 Merujuk pendapat Dr. H. Abd. Muin Salim dalam Fiqih Siyasah, loc, cit.
Baca QS. Ibrahim (14):32, 33, QS An-Nahl (16):12, QS. Luqman (31):60 Diantara para mufassir terjadi banyak kesamaan di dalam memberi penafsiran atas
56
frase in akan tetapi tampaknya i, yaitu; “setelah kehancuran umat terdahulu “. dalam frase ini ada isyarat yang lebih mendalam, dengan penggunaan partikel
ٍِ
sebelum kata keterangan
“ٌٕذؼب “. Yaitu tentang proses alih generasi dan estafet
kekhalifahan manusia, diisyaratkan disini bahwa alih generasi itu terjadi setiap setelah kehancuran generasi sebelumnya . Sehingga pengertian yang lebih mendalam dari frase ini adalah ”semenjak setelah kehancuran mereka / generasi ter dahulu “. Frase ُ٘يَؼت فيم شظْْى Walaupun kalimat ini menunjukan bahwa subyek dari pembicaraan ini adalah Allah (dan semua yang ada di sekitar manusia “, sebagai pengawas atau saksi . akan tetapi pesan utamanya tampak berada di kalimat berikutnya. Yaitu ُ٘يَؼت فيم , “bagaimana kalian berbuat “. Sehingga apa saja yang diperbuat manusia disaksikan Allah (dan semua yang ada disekitar manusia ), sekaligus dijadikan
57
bahan penilaian atas dirinya. karena pembicaraan ini terkait dengan manusia sebagai khalifah, maka sudah barang tentu perbuatan yang dimaksudkan disini adalah perbuatan dan tindak-tanduk manusia sebagai khalifah diantara makhluk Allah yang lain dimuka bumi ini.
Fungsi Kekhalifahan Manusia
Dari uraiann tentang penafsiran ayat 14 surat Yunus tersebut, dapat dikatakan bahwa, kekhalifahan sebagaim otorits dan kekuasaan manusia. Baik sebagai pribadi maupun kolektifitas generasi, adalah berfungsi sebagai amanat dan merupakan bahan ujian Allah atas diri manusia.
Kedudukan manusia sebagai khalifatullah inilah yang mengharuskan manusia untuk bertindak dengan penuh rasatanggung jawab. Khalifatulah disini mengandung pengertian sebagai pemimpin yang berkuasa dimuka bumi diantara sesama makhluk, dan bertindak mewakili Allah. Maka dari sini sebenarnya telah jelas bahwea otoritas yang diberikan Allah kepada manusia dimuka bumi ini 56 Baca; misalnya Tantawi jauhari, loc,cit. adalah otoritas (kekuasaan)untuk memimpin, mengatur dan memakmurkan kehidupan dimuka bumi ini.
Agar manusia dapat melaksanakan peran dan tugasnya sebagai khalifatullah ia harus mengetahui kedudukan Allah dihadapan makhluk-Nya, terutama kedudukan dirinya sebagai “mustakhlif”, dan dirinya sebagai”mustakhlaf”.
Setidaknya ada tiga fungsi Allah sebagai mustakhlifyang dapat diperankan olah manusia sebagai khalifah-Nya yaitu;
58 1.
Allah sebagai al-Khaliq
59 2.
Allah sebagai Rabbul „alamin
60 3.
Allah sebagai al-Malik Sebagai khalifahnya al-khaliq, manusia secara potensial telah dikaruniai daya cipta. Suatu kemampuan untuk inovasi dan rancangan bangun, menciptakan sesuatu yang belum ada atau mengembangkan sesuatu yang telah ada. Selain dari potensai cipta manusia, Allah juga telah membekali manusia sebagai khalifa-Nya dengan potensi kreatif “karsa” untuk melakukan sesuatu atau membuat sesuatu, kesemua potensi tersebut bera da dalam kawasan kemampuan “akal budi”. Disamping itu Allah yang maha pengasih juga memberikan petunjuk dan dorongan-dorongan kepada manusia untuk mengembangkan daya ciptanya
61 melalui wahyu.
Kemampuan manusia untuk mewujudkan daya ciptanya sudah barang tentu akan sangat berbeda dengan kemampuan Allah dalam merealisir ciptaan- Nya. Karena Ia Maha kuasa (absolut), apapun yang dikehendaki untuk jadi pasti
62
akan terjadi. Sedangkan bagi manusia tidak semua yang dibuat mesti akan
58 Baca QS. Al- An‟am (6);12, QS.Al-Ra‟d (13):16, QS. Al-Zumar (39):62, QS. Al- Mu‟min (40):62 59 Baca QS. Al-fatihah (1):2, QS. Al- An‟am(60:120, QS.QS. Al-A‟raf (7):57, 89,QS. Al- Ra‟d (13):16, QS. Al-Mu‟minun (23):116 60 Baca QS. Al-fatihah (1):4, QS. Al-Baqarah 920:107, QS. Ali Imran 93):26, 189, QS.
Taha (20):114 61 Lihat QS . Al-Ghasyiyah (88):17-20, QS. Ali Imran (3):190-191, QS. Yunus (10):5, terealiosir (baik karena estimasi, maupun karena faktor lain-lain), yang pasti karena sifat manusia yang nisbi (terbatas), QS. Al- Nisa‟ (4):28.
Akan tetapi karena manusia adalah makhluk yang berakal dan berbudaya maka manusia dapat menjadikan pengalaman yang pernah dialaminya, atau pengalaman generasi sebelumnya, sebagai acuan dan titik tolak untuk membangun peradaban yang lebih tinggi dan menciptakan sesuatu yang lebihy
63
sempurna. Maka jenis penciptaan yang bersifat evolutif dan kolektif inilah yang
64 berkembang dalam peradaban manusia.
Setelah dibekali dengan seperangkat daya cipta (akal budi dan anggota tubuh yang lengap), Allah mengangkat manusia sebagai khalifah-Nya. Sehingga sebenarnya manusia memiliki beban dan tanggung jawab untuk memanfaatkan segenap apa yang telah diberikan oleh Allah tersebt, sesuai dengan kehendak-
65 Nya. Yaitu dengan mengembangkan sikap kreatif dan inovatif, menciptakan
sesuatu yang belum ada, atau menyempurnakan sesuatu yang telah ada dalam rangka memakmurkan kehidupan dimuka bumi sebagai bukti atas tanggung
66 jawabnya sebagai khalifah-Nya.
Sebaga khalifahnya Rabbul „Alamin, manusia tidak ditugaskan tanpa bekal, Allah telah membekali manusia dengan potensi ruhaniyah yang disebut dengan zauq, atau perasaaan yang terpusatkan pada kekuatan yang disebut dengan hati nurani. Yaitu suatu kemampuan untuk merasa senang, sedih, rindu, benci, dan sebagainya. Senang melihat keindahan dan benci meilhat kejelekan. Rindu kepada yang dicintai dan benci kepada yang dimusuhi.
Dengan potensi perasaan ini, manusia secara ruhaniyah membentuk norma-norma sosial, mengatur dan menata lingkungannya menjadi rapi dan teratur. Dan dengan ini pula maka terlahir kebudayaan dan benda-benda budaya yang indah-indah. Disamping itu Allah juga memberikan hidayah-Nya, agar 63 64 Lihat QS. Al-Hasyr (59):18
Baca perhatikan sejarah sepeda motor yang ada sekarang bagaimana bentuk
pertamanya. 65 Baca Kisah Penciptaan Adam dan pengangkatannya sebagai khalifah. QS. Al-Baqarah (2);30-39 66 Bahan baku semua sudah disiapkan oleh Allh, QS. Al-baqarah (2):29 dan sistem
manusia berbuat baik, membangun dan tidak merusak melalui ayat-ayat suci-
67 Nya.
Keteraturan yang diciptakan manusia tidak akan sama kualitasnya dengan keteraturan yang diciptakan Allah. Demikian juga pemeliharaan manusia juga akan berbeda dengan pemeliharaan Allah. Karena sifat dasar manusia yang
68 nisbi, sedang sifat dasar Allah yang mutlak.
Manusia sebagai khalifahnya zat yang maha memelihara (seluruh alam), tertuntut baik secara naluriyah, diniyah atau akhlaqiyah, untuk menjaga ketertiban alam semesta yang telah ditata oleh Allah, menggalakkan kebaikan yang tellah makruf dan menghalangi kemungkaran yang tercela, memperjuangkan yang haq
69
dan membatasi yang batil, juga menegakkan keadilan dan merobohkan
70 kedzaliman serta memerataklan rahmat Allah bagi seluruh alam.
Manusia sebagai khalifahnya Al-Malik (Yang Maha Penguasa) maka manusia berada diantara sesama makhluk adalah sebagai pemimpin atau raja atau penguasa. Ditundukkanlah oleh Allah kepadanya semua yang ada di langit
71
maupun di bumi. Ia mulyakan manusia, sehingga ia pantas menjabat sebagai khalifah (raja diantara semua makhluk Allah), dengan bentuk fisik yang terbaik,
72 penghidupan dan cara hidup yang terbaik, serta kecerdasan akal yang berlian.
Selain dengan hal-hal tersebut allah juga melengkapi potensi manusia dengan naluri untuk berkuasa (menguasai), yang disebut dengan syahwat. Karena ia berambisi untuk menguasai dan memiliki serta kecenderungan untuk bertindak superior dan menolak berbagai macam penindasan dan penguasaan atas dirinya. Karena adanya kesamaan-kesamaan dalam sifat dasar itu, maka terjadilah semacam kompetisiuntuk memperebutkan kekuasaan diantara sesama manusia. Akan tetapi sebenarya Allah telah menentukan kadar kekuasaan masing-masing
73 orang dengan berbagai macam fariasinya. 67 68 Baca; QS. Al-Qasas (28):77, QS. Luqman (31):17-19, QS. Al-Asr (103):1-3 69 Baca QS. Al-Hadid (57):2-3 70 Baca;QS. An-Nahl (16), QS. Ali Imran (3):104 dan 114, QS. Taubah (9):71 Baca QS. Sad (38):26, QS. Al- 71 Anbiya‟ (21):107 Baca; QS. Luqman (31):21, QS. Al-Haj (22);65 Secara formal, manusia sebagai khalifah al-Malik, tertuntut untuk menegakkan fungsi-fungsi kekhalifahannya dengan mencontoh karakter penguasa al-malik, seperti al-Rohman, al-rahim, al-
„Adlu, al-Hakim, dan al-„Afwu. Sebagai khalifah-Nya, manusia harus bertindak dengan penuh keadilan dan kearifan. Harus mengembangkan sikap cinta kasih terhadap semua makhluik serta lapang dada dalam menghadapi keadaan masyarakat yang dipimpinnya. Banyakl dorongan yang diberikan oleh Allah untuk bertindak yang bijaksana dalam
74
kepemimpinan manusia, yang dapat dijumpai dalam al- Qur‟an.
Etika Sebagai Khalifatullah
Dengan tiga potensi dasar manusia, yaitu; potensi akliyah, potensi naqliyah dan potensi jismiyah, sebenarnya telah memungkinkan manusia untuk dapat bertindak arif dan bijaksana sebagai khalifatullah dimuka bumi ini. Akan tetapi karena disamping manusia memiliki ketiga potensi tersebut, manusia juga memiliki satu hal yang selal u ada pada dirinya, yang disebut dengan “nafsu”. Maka inilah yang seringkali menjerumuskan manusia kepada tindakan-tindakan yang tidak arif dan bijaksana sebagai khalifatullah karena nafsu ini kabanyakan memang mengajak kepada kejahatan dan kejelekan, kecualai yang dirahmati
75 Allah.
Karena sifat rahman dan rahim Allah kepada manusia, maka Ia masih juga menurunkan hidayah-Nya kepada manusia yang berupa ajaran agama, melalui
76 para nabi dan rasul-Nya, disamping hidayah-hidayah yang lain.
Agar manusia dapat melaksanakan fungsi kekhalifahannya dengan penuh kesopanan, kesadaran dan penghayatan yang tinggi, sebagai seorang muslim yang muhsin (transidentalis) yang telah menghayati makna ihsan;
77 74 . كاشي ّٔإف ٓاشت ِنت ٌى ُإف ٓاشي لّأم الله ذبؼت ُإ Baca;QS. Ali Imran (3):159, QS. An- Nisa‟ (4):58, QS. Al-Maidah (5):8, QS. Al-
Hujurat (49):8 75 76 Baca;QS. Yusuf (21):53 Baca; Al-maraghi, jilid I, op, cit., h. 35
Maka setidaknya ada tiga hal yang perlu dibudayakan dalam kehidupan sehari- hari, yaitu;
1. Mengucapkan Basmalah setiap hendak melakukan sesuatu
78 Karena pembacaan basmalah ini sebenarnya lebih الله الرحمن الرحيم مسب
merupakan pernyataan manusia akan posisi dirinya dihadapan Allah. Dengan mengucap الله ٌسب berarti telah menyatakan “atas nama Allah” maka berarti ia tidak sombong, karena dia hanya seorang khalifah (wakil) maka sebenarnya ia tidak berhak atas apa yang dilakukan, sehingga ia harus menyandarkan perbuatannya tersebut kepada yang diwakilinya. Maka tepatlah kiranya apa yang disandarkan oleh Rasulullah Saw.
79 غطقا ويق اٗشتبأ ٖ٘ف ٌيحشىا َِحشىا الله ٌسببأذبي لا هبب ير شٍا وم 2.
Senantiasa bertindak sesuai dengan missi yang diembannya.
Sebagai khalifah al-Khaliq, maka manusia harus produktif. Sebagai khalifahnya Rabbul „Alamin, makaia harus shalih dan sebagai khalifahnya al- Malik, ia harus bertindak dengan penuh keadilan dan kebijaksanaan. Dan semua apa yang dilakukan manusia harus diorientasikan kepada tujuan menghambakan
80 diri kepada Allah, sesuai dengan tujuan umum penciptaan manusia.
ُٗذبؼيى لاإ سّلإاٗ ِجىا تقيخ بٍٗ 3.
Selalul memohon petunjuk-Nya.
Berdo‟a merupakan inti ibadah, karena dengan berdo‟a berarti manusia telah mengakui keterbatasannya dan kelemahannya, termasuk didalamnya
81
memohon petunjuk. Karena manusia tidak dapat mengetahui secara pasti, bahkan karena peran nafsu dan syaitannya, maka seringkali manusia bertindak salah. Membenci sesuatu yang sebenarnya baik untuk dirinya, serta mencintai sesuatu yang sebenarnya jel;ek baginya. Berdo‟a (memohon petunjuk), kiranya dapat juga dipahami konsultasi sebelum melaksanakan sesuatu, sehingga apa yang
78 79 QS. Al-Fatihah (1):1, QS. An-Naml (27):30 Lihat; Al-Suyuti (Jami‟ Shaghir), loc, cit., dilaksanakan itu benar-benar tidak terlepas dari rahmat Allah yang berupa intervensi kekuasaa-Nya serta kerelaan-Nya.
Kesimpulan
Dari uraian-uraian tersebut diatas, dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu; Allah menurubnklan umat manusia dimuka bumi ini dengan diberi otoritas (kekuasaan) sebagai fungsi manusia untuk mangatur dan memimpin kehidupan dimuka bumi pada seluruhnya dan diseluruh kosmos ini pada umumny. Fungsi kekhalifahan tersebut sebagai amanat dan sekaligus merupakan bahan ujian bagi manusia, bagaimana ia berbuat dalam mengemban amanat tersebut.
Setidaknya ada tiga fungsi Allah, yang dapat diperankan manusia sebagai khalifah-Nya, yaitu; Allah sebagai al-Khaliq (zat yang Maha Pencipta), Allah sebagai Rabbbul „Alamin (Yang memelihara alam semesta), dan Allah sebagai al-malik (penguasa mutlak atas seluruh alam).
Sebagai khalifatullah dimuka bumi ini, maka dalam bertindak manusia harus senantasa menyandarkan perilakunya kepada Allah, selaku Zat yang memilliki kekuasaan yang sebenarnya. Berbuat sesuai dengan peran yang diembannya, bak sebagai khalifah al-
Khaliq, Rabbul „Alamin, maupun al-Malik. Serta senantiasa memohon petunjuk dan pertolongan kepada Zat Yang Maha Mengetahi, dan ayng memberi mandat kekhalifahannya.
Daftar Pustaka
Abd. Baqi Muhammad Fuad, Al-
Mu’jam al-Muharras li al-fadz al-Qur’an al- Karim. Indonesia: Maktabah Dahlan , t.th.
Abd. Rahman Jalaluddin al-Suyuti, Tafsir al-Dur al-Mansur fi Tafsir al-
Ma’suur,
jilid IV, Beirut: Dar al-Fikr, cet. I, 1983 Abi Al-
Fida Isma‟il ibn Kasir, Tafsir al-manar, jilid XI, t,t. Dar al-Fikr, cet, 2. t, th. Abi Al-Husain Ahmad ibn faris ibn Zakariya, Mu’jam Maqayis al-Lughah, jilid I. Al-Husan Muslim ibn Hajjaj al-Quyariy, Shohih Muslim,juz I, Beirut: Dar al-fikr, cet. I. 1992 Abi Tahir Muhammad ibn Ya‟qub al-Fairus Zabadi, Tanwir al-Miqbas fi tafsir ibn Abbas, Beirut: Dar al-Fikr, t,th.
Abu Ali al-Fadal ibn Hasan al-Tibrisi,
A‟lami, lil matbu‟at, 1991 Anis Ibrahim, dkk, Al-
Mu’jam al-wasith,jilid, I, cet. 2, t,t, t.p.
Asbab al-nuzul dalam M. Jalaludin Muhammad ibn Ahmad al-Makali, danMuhammad Jamaludin al-Qasimi,Maksinu al-
Al- Dar al-Mishriyah li al- Ta‟lifat wa al-Tarjamah. T,th. Jalaludin Abd. Rahman ibn Abi Bakar Al-Suyuti al-Jami al-Shaghir fi ahadisi Al- Basyir al-Nahir, jilid II, Surabaya: Dar al-nasur al-Mishriyat, t,th.
Dapag RI. Al-Quran dan Terjemahannya. Surabaya: Mahkota, edisi Revisi, 1989 Ibnu manzur, Jamal al-Din Muhammad ibn Mukarram, Lisdan al-Arab,juz 10, t,t.
Butros al-Bustani, Qatru al-Muhil, jilid II, Beirut: Maktabah Lubnan Sahah Riyadh al-Sulh, 1869
Qur’an al- Karim, juz, I, Cirebon: al-Maktabah al-Mishriyah, t,th
Jalaludin Abd. Rahman ibn Abi Bakar Al-Suyuti, Tafsir Al-
Beirut: al-Dar al-Syamsiyah, cet. I, 1992 AlTaba Taba‟I, M. Husain,Al-Mizan fi tafsir al-Quran, jilid X, Beirut: Muassasah, al-