Vol 19 No 2 (2008): Jurnal Tribakti | Jurnal Pemikiran Keislaman

  

Euthanasia dalam Perspektif Islam

Rahmat

  • * Abstrak: Euthanasia adalah mengakhiri hidup dengan cara yang mudah dan tanpa rasa sakit. Oleh karena itu euthanasia sering disebut juga dengan mercy killing (mati dengan tenang). Euthanasia bisa muncul dari keinginan pasien, permintaan dari keluarga dengan persetujuan pasien, atau tanpa persetujuan pasien. Tetapi tidak pernah ditemukan tindakan euthanasia yang dikehendaki oleh dokter tanpa persetujuan pasien maupun pihak keluarga. Orang yang mengakhiri hidupnya seperti euthanasia aktif adalah perbuatan bunuh diri, yang diharamkan. Dokter yang melaksanakan euthanasia aktif atas permintaan pasien, dipandang sebagi membantu terlaksananya bunuh diri. Eutahanasia pasif diperbolehkan, yaitu pasien otaknya sudah mengalami kerusakan fatal. Sedangkan kerusakan organ jantung, paru-paru, masih bisa diatasi, artinya belum dapat dikatakan pasien sudah mati. Maka tindakan euthanasia terhadap pasien dalam kondisi seperti ini sama dengan pembunuhan.

  Kata Kunci: Eusthanasia, Prespektif dan Islam Pendahuluan

  Akhir-akhir ini masalah euthanasia kembali mencuat di negeri ini, searah dengan semakin meningkatnya permintaan keluarga, yang anggota keluarganya mengalami sakit yang akut untuk diberikan ijin oleh pemerintah dilakukan euthanasia dengan berbagai argumennya. Euthanasia yang berasal dari kata Yunani

  

eu berarti baik, dan thanatos artinya mati. Maksudnya adalah mengakhiri hidup

  dengan cara yang mudah dan tanpa rasa sakit. Oleh karena itu euthanasia sering disebut juga dengan mercy killing (mati dengan tenang).

  1 Dilihat dari segi orang yang berkehendak, euthanasia bisa muncul dari

  keinginan pasien itu sendiri, permintaan dari keluarga dengan persetujuan pasien (bila pasien masih sadar), atau tanpa persetujuan pasien (bila pasien sudah tidak *

  Pengajar dan Pembantu Dekan III Fak. Syariah IAIT Kediri

1 Ensiklopedi Indonesia , V ol.2, dalam topik “Euthanasia” (Jakarta Ihtiar Baru Van Hoeve, 1987). hl. 987.

  sadar). Tetapi tidak pernah ditemukan tindakan euthanasia yang dikehendaki oleh dokter tanpa persetujuan pasien maupun pihak keluarga, karena hal ini berkait dengan Kode Etik Kedokteran.

  Masalah euthanasia sebetulnya telah lama dipertimbangkan oleh kalangan kedokteran dan para praktisi hukum di negara-negara Barat. Di Indonesia masalah ini juga pernah dibicarakan, seperti yang dilakukan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dalam seminarnya tahun 1985, yang melibatkan para ahli kedokteran dan ahli hukum positif dalam Islam. Pro dan kontra terhadap euthanasia itu sampai saat ini masih terus berlangsung, terutama ketika masalahnya dikaitkan dengan pernyataan bahwa yang menentukan mati itu hak siapa, dan dari sudut mana ia harus dilihat. Tulisan ini akan mengupas secara singkat tentang apa dan bagaimana euthanasia dalam tinjauan hukum Islam.

  Nilai Jiwa dalam Islam

  Islam sangat menghargai jiwa, lebih-lebih terhadap jiwa manusia. Cukup banyak ayat Al- Qur’an maupun Hadist yang mengharuskan kita untuk menghormati dan memelihara jiwa manusia (hifzh al-nafs). Jiwa, meskipun merupakan hak asasi manusia, tetapi ia adalah anugerah Allah SWT. Oleh karenanya, seseorang sama sekali tidak berwenang dan tidak boleh melenyapkannya tanpa kehendak dan aturan Allah sendiri. Diantara firman Allah yang menyinggung soal jiwa atau nafs ini adalah : Surat Al-Hijr ayat 23:

        

  Artinya: ”Dan sesungguhnya benar-benar kamilah yang menghidupkan dan mematikan, dan Kami (pulalah) yang mewarisi.

  ”

  Surat Al-Najm ayat 44:

       :

  Artinya

  ”Dan bahwasanya Dia-lah (Allah) yang mematikan dan menghidupkan.”

  Agar supaya manusia tidak memandang murah terhadap jiwa manusia, maka Allah memberikan ancaman bagi mereka yang meremehkannya. Tindakan merusak atau menghilangkan jiwa, milik orang lain maupun jiwa milik sendiri adalah perbuatan melawan hukum Allah. Tindakan menghilangkan jiwa hanya diberikan kepada lembaga peradilan (pemerintahan Islam) sesuai dengan aturan pidana Islam.

  Ini pun dilakukan dalam rangka memelihara dan melindungi jiwa manusia secara keseluruhan, sebagaimana tergambar dalam firman Allah SWT dalam surah Al- Baqarah ayat 179:

          

  Artinya: ”Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertaqwa.

  

  Orang yang menghilangkan nyawa orang lain tanpa alasan yang dibenarkan agama, sama halnya dengan merusak tatanan kehidupan masyarakat seluruhnya. Hal ini dinyatakan Allah dalam surah Al-Maidah ayat 32:

                               

             

  Artinya: ”Oleh Karena itu kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena

  2

  orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan dia telah membunuh

  3

  manusia seluruhnya. dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah dia Telah memelihara kehidupan manusia semuanya. dan Sesungguhnya Telah datang kepada mereka rasul-rasul kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang

  4

  jelas, Kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh- sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.

  ” Begitu besarnya penghargaan Islam terhadap jiwa, sehingga segala perbuatan yang merusak atau menghilangkan jiwa manusia, diancam dengan hukuman yang setimpal (qishash atau diyat). Dampak dari kerusakan sosial akibat dari pembunuhan seperti digambarkan oleh ayat di atas, menurut para ahli tafsir tidak hanya berlaku bagi Bani Israil saja, tetapi juga manusia seluruhnya.

   Euthanasia dan Jarimah Mati

  Telah disepakati oleh para ulama’ bahwa suatu perbuatan barulah digolongkan sebagai jarimah apabila perbuatan itu dengan tegas dilarang oleh syara’(Hanafi; 14) Yang menjadi unsur-unsur jarimah itu secara umum adalah: 1.

  Nash yang melarang perbuatan itu dan memberikan ancaman hukuman terhadapnya. Ini disebut sebagai unsur formal (

  rukun Syar’i).

2. Tindakan yang membentuk suatu perbuatan jarimah, baik perbuatan nyata maupun sikap tidak berbuat. Unsur ini disebut unsur material (Rukun Maddi).

  2 3 Yakni: membunuh orang bukan Karena qishaash.

  Hukum Ini bukanlah mengenai Bani Israil saja, tetapi juga mengenai manusia seluruhnya. Allah memandang bahwa membunuh seseorang itu adalah sebagai membunuh manusia seluruhnya, Karena orang seorang itu adalah anggota masyarakat dan Karena membunuh seseorang berarti juga membunuh keturunannya. 4 ialah: sesudah kedatangan Rasul membawa keterangan yang nyata.

3. Pelaku mukallaf, yaitu orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban terhadap jarimah yang dilakukannya. Ini disebut rukun moral (Rukun Abadi).

  Apakah euthanasia dapat dikatakan sebagai jarimah, atau tidak. Artinya, apakah Islam membenarkan tindakan euthanasia atau mengharamkan. Untuk menjawab persoalan ini, terlebih dahulu harus diketahui, apakah perbuatan ini memenuhi unsur- unsur jarimah di atas.

  Dari segi nash, Islam memang secara tegas melarang pembunuhan. Tetapi apakah euthanasia itu dengan begitu saja digolongkan sebagai pembunuhan? Sedangkan aspek tindakan sebagai unsur kedua sudah jelas ada, karena biasanya upaya untuk mengurangi beban pasien dalam penderitaannya melalui suntikan dengan bahan pelemah fungsi saraf dalam dosis tertentu (neurasthenia). Sementara aspek pelaku sudah jelas terdiri dari dokter, pasien dan keluarga pasien.

  Terjadinya euthanasia aktif tidak terlepas dari pertimbangan-pertimbangan berikut:

  1. Dari pihak pasien, yang meminta kepada dokter karena merasa tidak tahan lagi menderita sakit. Oleh karena penyakit yang dideritanya terlalu gawat (accut), dan telah lama dialami, maka ia meminta dokter untuk melakukan euthanasia. Pertimbangan lain bisa juga karena pasien tidak ingin meninggalkan beban ekonomi yang terlalu berat bagi keluarga, akibat biaya pengobatan yang mahal. Atau pasien sudah tahu bahwa ajalnya sudah di ambang pintu, paling tidak, harapan untuk sembuh sudah terlalu jauh, maka supaya matinya tidak merasa sakit, dia meminta jalan yang lebih “nyaman”, yaitu melalui euthanasia.

  2. Dari pihak keluarga/wali, yang merasa kasihan atas penderitaan pasien. Apabila jika pasien tampaknya tidak tahan menanggung sakitnya, baik karena sudah terlalu lama, ataupun karena amat ganasnya jenis penyakit yang menyerangnya. Bisa juga euthanasia terjadi karena permintaan keluarga yang tidak sanggup lagi memikul biaya pengobatan, sementara harapan untuk sembuh sudah tidak ada lagi.

  3.

  “Kemungkinan lain” bisa terjadi, bahwa pihak keluarga (tertentu) bekerjasama dengan dokter untuk mempercepat kematian pasien, karena menginginkan harta/milik pasien dan faktor amoral lainnya. Masalahnya adalah sejauh mana atau dalam hal apa saja nyawa seseorang boleh dihabisi. Untuk itu Allah telah menggariskannya melalui firman-Nya dalam Surah Al-

  Isra’ ayat 33 (juga al- An’am: 151):

  

  

   

   

  

  

   

     

  Artinya: ”Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah

  5

  (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. dan barangsiapa dibunuh secara zalim, Maka Sesungguhnya kami Telah

  6

  memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan. ”

  

    

   

  

   5  maksudnya yang dibenarkan oleh syara' seperti qishash membunuh orang murtad, rajam dan sebagainya. 6 Maksudnya: kekuasaan di sini ialah hal ahli waris yang terbunuh atau Penguasa untuk

menuntut kisas atau menerima diat. Qishaash ialah mengambil pembalasan yang sama. qishaash itu

tidak dilakukan, bila yang membunuh mendapat kema'afan dari ahli waris yang terbunuh yaitu dengan

membayar diat (ganti rugi) yang wajar. pembayaran diat diminta dengan baik, umpamanya dengan

tidak mendesak yang membunuh, dan yang membunuh hendaklah membayarnya dengan baik,

umpamanya tidak menangguh-nangguhkannya. bila ahli waris si korban sesudah Tuhan menjelaskan

hukum-hukum ini, membunuh yang bukan si pembunuh, atau membunuh si pembunuh setelah

menerima diat, Maka terhadapnya di dunia diambil qishaash dan di akhirat dia mendapat siksa yang

pedih. Diat ialah pembayaran sejumlah harta Karena sesuatu tindak pidana terhadap sesuatu jiwa atau

anggota badan.

  

   

   

 

  

 

   

   

  

   

  

  

  

  Artinya: ”Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu Karena takut kemiskinan, kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu

  7

  (sebab) yang benar". demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).

  ” Syekh Ahmad Mustafa al-Maraghi menjelaskan bahwa pembunuhan

  (mengakhiri hidup) seseorang bisa dilakukan apabila disebabkan oleh salah satu dari tiga sebab:

  1. Karena pembunuhan oleh seorang secara zalim.

  2. Janda (yang pernah bersuami) secara nyata berbuat zina, yang diketahui oleh empat saksi (dengan mata kepala sendiri).

  3. Orang yang keluar dari agama Islam, sebagai suatu sikap menentang jama’ah Islam. Jika dibandingkan dengan alasan-alasan yang mendorong terjadinya euthanasia seperti disebutkan terdahulu, maka tidak ada satu pun yang berkaitan dengan alasan di atas. Alasan pertama, bahwa pasien sudah tidak tahan menanggung derita

  bilhaq 7 maksudnya yang dibenarkan oleh syara' seperti qishash membunuh orang murtad, rajam dan sebagainya. yang berkepanjangan, tidak ingin meninggalkan beban ekonomi, atau tidak punya harapan sembuh, adalah suatu refleksi dari kelemahan iman. Sakit adalah satu bentuk ujian kesabaran, sehingga tidaklah tepat kalau diselesaikan dengan mengakhiri diri sendiri melalui euthanasia (aktif). Kalaupun pandangan medis bahwa pasien tidak dapat disembuhkan lagi, atau biaya untuk meneruskan pengobatan terlalu mahal, maka tidaklah salah kalaupun ia meminta pulang saja dari rumah sakit. Seandainya diyakinkan bahwa apabila pengobatan dihentikan, ia akan meninggal dunia, maka tindakan keluar dari rumah sakit atau penghentian pengobatan tidak berarti bunuh diri. Hal ini disebabkan karena kemampuan ekonomi pasien (keluarga) sudah tidak memungkinkan lagi. Pemulangan pasien seperti ini sudah sering terjadi. Menurut dr. Kartono Muhammad, para dokter diperkenankan melepaskannya, karena prosedurnya sudah ada. Akan tetapi, jika cara euthanasia yang ditempuh oleh pasien, maka yang bersangkutan akan terkena larangan Allah, yaitu sebagai tindakan bunuh diri. Bunuh diri berarti mengingkari rahmat Allah. Firman Allah dalam Surah Al- Nisa’: yang artinya ”Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. ”

  Di samping itu, Rasulullah SAW menegaskan, bahwa orang yang bunuh diri akan dimasukkan ke dalam neraka. Di antara Hadist-hadist yang berkaitan dengan tindakan bunuh diri, diriwayatkan oleh Imam Bukhari sebagai berikut:

  Artinya: Tsabit bin al-Dhalak mengatakan bahwa Nabi SAW bersabda:

“Barang siapa dengan sengaja bersumpah palsu atas nama selain

agama Islam, maka ia sebagai yang dikatakan itu. Dan barang siapa

membunuh diri dengan benda tajam, akan diazab semacam begitu

pula di hari kiamat di neraka Jahanam.

  Hadist lain yang diriwayatkan Imam Bukhari bersumber dari Abu Hurairah:

  

Artinya :Barang siapa mencekik lehernya, ia akan mencekik leher pula dalam

neraka. Dan barang siapa menikam diri, menikam diri pula dalam neraka.

  Syeikh Muhammad Yusuf al-Qardhawi mengatakan, bahwa kehidupan manusia bukan menjadi hak milik pribadi, sebab dia tidak dapat menciptakan dirinya (jiwanya), organ tubuhnya, ataupun sel-selnya. Diri manusia pada hakekatnya adalah barang titipan yang diberikan Allah, oleh karenanya ia tidak boleh diabaikan, apalagi dilepaskan dari kehidupannya. Islam menghendaki setiap muslim untuk optimis, Islam tidak membenarkan dalam situasi apapun untuk melepaskan nyawa hanya ada musibah yang menimpa atau gagal dalam cita- cita. Seorang mu’min diciptakan justru untuk berjuang, bukan untuk lari dari kenyataan. Setiap mu’min mempunyai senjata yang tidak bisa menceng, dan mempunyai kekayaan yang tidak bisa habis, yaitu iman dan kekayaan budi (Yusuf al-Qardhawi)

  Jadi jelaslah bahwa Islam tidak membenarkan seseorang yang sakit berkeinginan mempercepat kematiannya. Bahkan berdo’a meminta dimatikan pun tidak diperbolehkan.

  Sedangkan pertimbangan kedua, yaitu dari pihak keluarga yang merasa kasihan pada pasien, atau karena tidak sanggup lagi menanggung biaya perawatan, maka apabila diselesaikan dengan euthanasia, sementara penderita masih terlihat menyimpan tanda-tanda kehidupan (belum mati batang otaknya), berarti perbuatan ini tergolong pembunuhan sengaja (jarimah maqshudah atau al-qatl al-

  ‘amd). Allah

  mengancam pelaku jarimah ini dengan azab neraka, seperti yang difirmankan-Nya dalam Surah An-Nisa ayat 93:

  

  

 

  

  

  

  

  Artinya: ”Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja Maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.

  ” Pada ayat di atas tidak dibedakan apakah pembunuhan itu didasarkan atas rasa kasihan, karena kebangkrutan biaya atau pun alasan lain di luar dari yang haq, semuanya dilarang oleh Allah, walaupun tindakan itu disertai dengan kerelaan si korban.

  Apabila pembunuhan yang disengaja itu didukung oleh kerelaan si korban, maka yang demikian menjadi tindakan bunuh diri, dengan meminjam tangan atau melalui bantuan orang lain. Akan tetapi, apabila euthanasia dilakukan oleh dokter atas permintaan keluarga tanpa sepengetahuan dan persetujuan pasien, maka inipun termasuk pembunuhan sengaja.

  Masalah yang timbul adalah, apakah pelaku (dokter) terkena hukuman atau tidak dalam kasus euthanasia yang mana si korban sebagai pemilik jiwa, atau keluarga sebagai wali al-Dam telah merelakan bahkan menganjurkannya. Dalam hal ini Syeikh Mahmud Saltut memberikan pembahasan yang ringkasnya bahwa para ahli fiqh berbeda pendapat mengenai suatu kejahatan atau seseorang yang disuruh sendiri oleh si korban atau oleh walinya. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa perintah korban dapat menggugurkan qishash terhadap pelaku. Sedangkan

  8 perintah wali korban tidak menggugurkan qishash tersebut.

  Berdasarkan pendapat di atas, maka seorang dokter yang mengakhiri hidup pasien atas permintaannya sendiri bisa gugur qishashnya, apalagi bila permintaan pasien tersebut didukung oleh persetujuan wali al-Dam. Meskipun Islam memberi hak kepada wali al-Dam untuk menuntut qishash atau memaafkannya, tetapi Islam juga memberi hak kepada “penguasa” untuk bertindak menurut apa yang dianggapnya baik untuk kemaslahatan umat. Apalagi dalam pandangan Islam bahwa kemaslahatan umum menghendaki agar pelaku itu dihukum, maka Imam dapat

  9

  melakukan ta’zir dengan menahan, memenjarakan, atau membununya.

  Adapun pertimbangan ketiga, bahwa keluarga atau salah seorang diantara mereka yang bekerja sama dengan dokter untuk melakukan euthanasia, dengan 8 Al-Imam al-Akbar Mahmud Syaltut, Al- Islam Aqidah wa Syari’ah, (Mesir: Dar al-Qalam, 1966) hlm. 434. 9 Al-Imam al-Akbar Mahmud Syaltut, Al-Islam Aqidah, hlm. 345

  harapan agar segera memperoleh harta warisan dan sebagainya, maka tindakan ini jelas sekali sebagai pembunuhan sengaja.

  Kesimpulan 1.

  Dari apa yang telah dipaparkan diatas, dapat disimpulkan bahwa yang berhak mengakhiri hidup seseorang hanya Allah SWT. Oleh karena itu, orang yang mengakhiri hidupnya dengan cara dan alasan yang bertentangan dengan ketentuan agama (tidak bilhaq), seperti euthanasia aktif, adalah perbuatan bunuh diri, yang diharamkan.

  2. Euthanasia aktif menurut Islam, hukumnya haram. Terhadap keluarga yang menyuruh, maupun dokter yang melaksakannya, dipandang sebagai pelaku pembunuham sengaja (qatl al- ‘amd) dengan ancaman qishash-diyat. Sedangkan dokter yang melaksanakan euthanasia aktif atas permintaan pasien, dipandang sebagi membantu terlaksananya bunuh diri.

  3. Eutahanasia pasif diperbolehkan, yaitu sepanjang kondisi organ utama pasien berupa batang otaknya sudah mengalami kerusakan fatal. Sedangkan kerusakan organ jantung, paru-paru, dan korteks otak (otak besar) dalam dunia kedokteran sekarang masih bisa diatasi, artinya belum dapat dikatakan pasien sudah mati, karena masih ada harapan untuk disembuhkan, terutama di rumah sakit yang mempunyai peralatan lengkap. Maka tindakan euthanasia terhadap pasien dalam kondisi seperti ini sama dengan pembunuhan.

DAFTAR PUSTAKA

  Departemen Agama,

  Al Qur’an Dan Terjemahnya, Jakarta, Yayasan Penerjemah Al

  Qur’an, PT. Bumi Restu, 1984 Al-Bukhari, Abu Abdillah bin Ismail bin Ibrahim ibn al-Mughirah bin bardizbah,

  Shahih Bukhari , Juz II, Mesir: Dar Mathabi’ al-Sya’b, t.t.

  Al-Maraghi, Ahmad Musthafa, Tafsir al-Maraghi, Jus XV, Mesir: Musthafa al-Baby al-Halaby, 1971.

  Audah, Abd al-Qadir, Al- Tasyri’ al-Jina’iy al-Islami, Juz II, Kairo: Dar al-Turats, t.t.

  Ensiklopedi Indonesia

  , Vol.2, dalam topik “Euthanasia”, Jakarta Ihtiar Baru Van Hoeve, 1987.