STAGNASI SOUTH ASIAN ASSOCIATION FOR REGIONAL COOPERATION (SAARC) DALAM MENGUPAYAKAN KERJASAMA DI ASIA SELATAN Devi Ratri Mahanani1 Septyanto Galan Prakoso, S.IP., M.Sc

STAGNASI SOUTH ASIAN ASSOCIATION FOR REGIONAL

COOPERATION (SAARC) DALAM MENGUPAYAKAN KERJASAMA DI

  1 Devi Ratri Mahanani

  2 Septyanto Galan Prakoso, S.IP., M.Sc

Abstract

  South Asia is one of the regions that built up a regional organization as a

coordination of cooperation between countries. The organization of cooperation is

called as the South Asian Association for Regional Cooperation (SAARC), founded

in 1985. SAARC comprises eight member countries, namely India, Bangladesh,

Pakistan, Sri Lanka, Bhutan, the Maldives, Nepal, and Afghanistan. The

development of SAARC is considered as slow and tends to be stagnant. This

condition is due to the cooperation is built upon the area of interstate conflict that is

still rolling up to the present moment. Instability of the relationship of member

states becomes its own challenges for the sustainability of the SAARC itself,

especially in its goal to create integration in the region. The large number of

troubled regional agenda also inhibits the progress in achieving the objectives of

the cooperation. The economy in South Asia is dominated by India and the

imbalance of economic capabilities has been aggravated by low participation from

member countries of the SAARC, especially in intraregional trading post SAFTA

establishment in 2006.

  This research is aimed to explain and analyze the stagnation of SAARC in

maintaining cooperation in South Asia based on factors that are identified to be

related to this condition. Meanhile, to explain the subject of this research, the author

uses Regionalism approach that is supported by the concepts of Bandwagoning

and the Shadow of the Future to analyze the dynamics of cooperation in South Asia

within the framework of SAARC itself. The method used in this research is

qualitative-explanative. As a result of this study, it is concluded that the stagnation

experienced by SAARC in maintaining cooperation in South Asia is caused by the

failure of the member states in coordinating to bring about a peaceful and

conducive region. Therefore, economic development is running slow and

insignificant, as well as the decrease of the optimism of the member states of

SAARC in order to realize their goals through this regional cooperation.

  

Keywords: SAARC, Stagnance, Regionalism, Bandwagoning, the Shadow of the

1 Future 1 . Mahasiswa Prodi Hubungan Internasional FISIP UNS, Sebagai penulis Pertama.

  Dosen Prodi Hubungan Internasional FISIP UNS, Sebagai Penulis Kedua.

1. Pendahuluan

  SAARC berdiri pada tahun 1985 dan terdiri dari delapan negara anggota, yakni India, Bangladesh, Pakistan, Sri Lanka, Bhutan, Maladewa, Nepal, dan Afghanistan. Sebagian besar negara-negara di kawasan Asia Selatan tersebut masih dikategorikan sebagai negara-negara berkembang dengan kondisi perekonomian dan stabilitas keamanan yang lemah. Oleh sebab itu, banyak hambatan yang harus dilalui SAARC di dalam mengupayakan kerjasama di kawasan tersebut. SAARC dinilai sebagai salah satu organisasi regional yang mengalami perkembangan lambat, bahkan jika dibandingkan dengan organisasi kerjasama regional di Asia lainnya, yakni Association of South East Asia Nation (ASEAN). Misalnya dalam hal kerjasama ekonomi dengan Uni Eropa, ASEAN mampu lebih jauh mendominasi dibandingkan dengan SAARC. Laporan perdagangan Uni Eropa dengan SAARC dan ASEAN juga mencatat total perdagangan dunia yang dilakukan oleh dua region tersebut. Pada tahun 2015, SAARC tercatat hanya mampu mencapai total perdagangan sebesar € 731.211

  1

  2

  juta , sementara ASEAN sanggup menyentuh angka € 1.605.230 juta. Berbagai faktor menjadi penyebab kondisi ini, namun yang paling utama adalah instabilitas kawasan akibat konflik yang masih sering terjadi di antara sesama anggota SAARC yang mengakibatkan aktivitas kerjasama yang tidak berjalan harmonis.

  Adanya konflik antara India dan Pakistan merupakan salah satu faktor penyebab kerjasama di kawasan Asia Selatan mengalami berbagai hambatan hingga saat ini. Sentimen antara kedua negara yang dilatarbelakangi perebutan negara bagian Jammu Kashmir telah menyebabkan terjadinya perang antara 1 India dan Pakistan pada tahun 1947, 1965, 1971, dan 1999. Inti dari konflik

  European Union, “European Union, Trade in goods with ASEAN (Association Of South-East Asian Nations),” diakses

  06 April 2017, http://trade.ec.europa.eu/doclib/docs/2006/september/tradoc_111562.pdf. 2 European Union, “European Union, Trade in goods with SAARC (South Asian Association For

  perebutan wilayah ini adalah keinginan penduduk Jammu Kashmir yang mayoritas beragama Islam untuk bisa terlepas dari kekuasaan India yang notabene merupakan nagara dengan mayoritas penduduk beragama Hindu. Sementara itu, Pakistan menjadi negara yang paling menginginkan agar negara bagian Jammu Kashmir tersebut masuk ke dalam administrasinya sebab Pakistan merupakan negara dengan mayoritas penduduk Muslim. Terjadinya empat perang besar tersebut tidak lantas menghasilkan titik temu untuk keluar dari permasalahan yang ada hingga saat ini. Usaha PBB untuk menengahi konflik inipun sia-sia sebab kedua pihak sejak awal telah melanggar amanat yang

  3 sudah dituangkan di dalam dari Resolusi PBB 47 tahun 1948.

  Awal mula pembentukan SAARC diinisiasi oleh Presiden Bangladesh, Ziaur Rahman, pada tahun 1980. Inisiatif Ziaur Rahman mendapatkan dukungan dari Nepal, Sri Lanka, Maladewa, dan Bhutan, akan tetapi India dan Pakistan memberikan sinyal ketidaksepahaman dengan ide tersebut. India menganggap bahwa keinginan Bangladesh untuk membentuk organisasi ini dilatarbelakangi maksud agar negara-negara kecil di Asia Selatan bisa membawa isu-isu bilateral ke dalam level regional serta agar mereka bisa bersatu meredam dominasi

4 India. Sementara itu, Pakistan menganggap bahwa pembentukan organisasi

  regional hanya akan dijadikan India sebagai kendaraan untuk bisa membentuk

  5

  pasar guna melanggengkan dominasi ekonomi India sendiri. Meskipun kedua negara akhirnya sepakat untuk bergabung, namun ketidakpercayaan kedua pihak terhadap kemanfaatan SAARC yang sudah muncul sejak pertama kali terbentuk seolah masih melekat hingga sekarang.

  Selama berdiri sebagai sebuah organisasi kerjasama regional sejak tahun 1985, SAARC telah banyak melewatkan agenda summit. Berdasarkan SAARC

  Charter, pertemuan puncak yang dihadiri para kepala negara anggota ini

  seharusnya diadakan sekali atau bahkan lebih setiap tahunnya. Akan tetapi, 3 selama 32 tahun berdiri, ketentuan yang sudah disepakati tersebut tidak bisa

  United Nations, “UN Resolution 47,” diakses

  06 April 2017, http://www.un.org/en/ga/search/view_doc.asp?symbol=S/RES/47(1948). 4 Muhammad Jamshed Iqbal, “SAARC: Origin, Growth, Potential and Achievements,” Pakistan

Journal of History & Culture, Vol. XXVII No. 2 (2006), hal. 131, diakses 07 April 2017,

http://www.nihcr.edu.pk/Latest_English_Journal/SAARC_Jamshed_Iqbal.pdf.

  dipenuhi. Semenjak didirikan pertama kali Dhaka, hingga saat ini SAARC hanya bisa menyelenggarakan 18 summit, yakni pada tahun 1985, 1986, 1987, 1988, 1990, 1991, 1993, 1995, 1997, 1998, 2002, 2004, 2005, 2007, 2008, 2010, 2011,

  6 dan 2014.

  Pada September 2016, India, Bangladesh, Bhutan dan Afghanistan menolak untuk menghadiri SAARC Summit ke-19 yang rencananya akan diadakan di Islamabad, Pakistan pada bulan November 2016 lalu. Hingga saat ini, belum ada keputusan pasti terkait kapan akan dilaksanakan pertemuan tersebut. Penundaan pertemuan para kepala negara angota SAARC menjadi sebuah aksi yang mengganjal kelancaran agenda regional. Semestinya, pertemuan para kepala negara anggota SAARC bisa menjadi ajang untuk menyepakati tujuan- tujuan baru pembangunan kawasan setiap tahunnya. Akan tetapi, melihat fakta kondisi saat ini, komitmen SAARC untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Asia Selatan dan mendorong pertumbuhan ekonomi berdasarkan rasa saling percaya di antara anggotanya belum mampu berjalan secara optimal.

  Berdasarkan kondisi yang sudah dijelaskan di atas, peneliti tertarik untuk menganalisis lebih lanjut mengenai stagnasi SAARC di dalam mengupayakan kerjasama di Asia Selatan. Selain fakta relasi antarnegara anggota yang masih sering mengalami konflik, analisis akan dilakukan secara mendalam terhadap apa yang sebenarnya menjadi latar belakang pembentukan organisasi ini. Melalui analisis tersebut, peneliti ingin mengetahui lebih jauh mengenai faktor- faktor apa saja yang menjadi penghambat kerjasama di dalam SAARC. Adanya konflik-konflik antarnegara yang belum terselesaikan, kerjasama ekonomi yang cenderung stagnan dan dibayangi dominasi India, serta hambatan di dalam pelaksanaan agenda-agenda rutin SAARC.

2. Metode

  Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui mengapa South Asian

  Association for Regional Cooperation (SAARC) mengalami stagnasi dalam

  mengupayakan kerjasama di Asia Selatan. Melalui metode eksplanatif-kualitatif, penulis akan menggunakan pendekatan regionalisme untuk mengkaji bagaimana evolusi SAARC, relasi antarnegara anggota yang konfliktual, stagnasi kerjasama ekonomi, serta hambatan yang muncul terhadap pelaksanaan agenda SAARC itu

  7

  sendiri. Sementara itu, melalui konsep Bandwagoning, penelitian ini akan mengkaji kecenderungan dependensi negara-negara kecil di Asia Selatan

  8

  terhadap negara yang lebih besar, seperti India. Terakhir, penelitian ini juga menggunakan konsep the Shadow of the Future untuk melihat bagaimana optimisme negara-negara anggota SAARC dalam menatap masa depan organisasi regional tersebut, sehingga memengaruhi sikap-sikap mereka di masa

  9 sekarang.

3. Hasil dan Diskusi 3.1. Faktor-faktor Penghambat Peningkatan Kerjasama di Asia Selatan

  Kondisi kawasan yang masih konfliktual dianggap menjadi salah satu hambatan paling besar dalam mengupayakan kerjasama di Asia Selatan ini. Kondisi yang tidak stabil ini diperburuk dengan masih besarnya ketimpangan dalam hal kemampuan ekonomi dan rendahnya kesejahteraan di antara negara-negara anggota SAARC tersebut. Selain itu, rendahnya intensitas kerjasama dianggap sebagai aspek yang menunjukkan bahwa negara-negara Asia Selatan tidak lagi memandang SAARC sebagai kerangka utama untuk membangun sebuah kerjasama regional. Ketidakstabilan politik domestik di suatu negara juga bisa mengganggu hubungannya dengan negara anggota SAARC yang lain. Penjelasan mengenai faktor-faktor yang menghambat peningkatan kerjasama di Asia Selatan dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Kawasan Asia Selatan yang Konfliktual

  Beberapa konflik yang masih sering terjadi di kawasan Asia Selatan, baik bersenjata maupun sekadar kontravensi antarnegara. Perselisihan antara India dan Pakistan dalam beberapa hal telah 7 menggoyahkan solidaritas regional di Asia Selatan itu sendiri. Konflik

  Chandra D. Bhatta, “Regional Integration and Peace in South Asia: An Analysis,” Peace, Conflict and Development Journal, Issue 5 (2004), hal. 6, diakses

  08 Mei 2017, http://www.bradford.ac.uk/social-sciences/peace-conflict-and-development/issue- 5/RegionalIntegration.pdf. 8 Stephen M. Walt, The Origin of Alliances, (New York: Cornell University Press, 1987), hal. 112. Kashmir menjadi peristiwa besar yang hingga saat ini belum benar- benar dapat diselesaikan, meskipun sempat terjadi kesepakatan gencatan senjata pada tahun 2003. Masih banyak kasus penambakan yang menewaskan baik tentara Pakistan maupun India di kawasan perbatasan kedua negara tersebut dan tentu saja mereka menuding satu sama lain untuk bertanggung jawab. Kekerasan demi kekerasan hingga aksi teror terus terjadi di kawasan tersebut. Panglima Militer India, Jenderal Bipin Rawat, menyatakan bahwa angkatan bersenjata India terus memberikan pengawasan khusus terhadap segala bentuk aksi anti-India di Jammu-Kashmir. Bipin Rawat juga menuding bahwa pemerintah Pakistan masih secara konsisten memberikan dukungan

  10 bagi aksi terorisme di kawasan tersebut.

  Konflik-konflik yang terjadi di Asia Selatan didominasi oleh kasus yang meliputi area batas antarnegara. Seperti yang terjadi antara India dan Pakistan terkait sengekta Kashmir, atau antara Pakistan dan Afghanistan terkait aktivitas Taliban. Hampir setiap negara anggota memiliki keterkaitan dalam hal konflik yang terjadi di negara anggita yang lain. Oleh sebab itu, cross-border cooperation seharusnya menjadi sesuatu yang penting untuk dilakukan terutama dalam hal keamanan, meskipun dalam rangka mewujudkannya SAARC memiliki tantangan tersendiri.

  Pengaruh etnis menjadi salah satu faktor di dalam konflik-konflik yang terjadi di Asia Selatan, selain faktor politik atau motif kepentingan nasional lain yang mungkin melatarbelakangi kondisi tersebut. Hal ini terjadi karena di Asia Selatan terdapat kelompok etnis di suatu negara yang memiliki hubungan dengan kelompok etnis yang sama di negara lain. Kondisi ini menyebabkan terjadinya polarisasi etnis yang kemudian bisa menjadi faktor penyebab konflik di Asia Selatan. Militansi Tamil dan kekerasan etnis Sinhalese di Sri Lanka, aktivitas 10 terorisme di Kashmir, gerakan anti-Muhajir di Karachi, atau kekerasan

  Ravi Krishnan Khajuria , “Seven Pakistani soldiers killed along LoC in retaliatory firing, says Hindustan Times,

11 Januari 2018, diakses

  15 Januari Indian Army,”

2018.http://www.hindustantimes.com/world-news/pakistani-army-says-indian-fire-kills-4-soldiers- komunal di India terkait isu agama yang juga menimbulkan reaksi hingga ke Pakistan dan Bangladesh, telah memberikan efek buruk

  11

  terhadap hubungan antarnegara di Asia Selatan. Aktivitas insurgensi Tamil, meskipun dinyatakan sudah berhasil dihentikan sejak tahun 2009, pada faktanya tetap menjadi bagian dari sejarah SAARC.

  Pengaruh keberadaan kelompok tersebut sempat menjalar hingga ke gerakan Khalistan di India yang bertujuan untuk menuntut berdirinya

  12

  negara bagian Sikh di Barat Laut India. Selain itu, Tamil juga terindikasi pernah memberikan dukungan logistik kepada al-Mujahidin

  13 yang merupakan kelompok yang berafiliasi al-Qaeda di Pakistan.

  Pengaruh etnis di dalam konflik-konflik di Asia Selatan bisa dijelaskan kembali melalui beberapa permasalahan yang terjadi di masyarakat. Masalah-masalah sosial-ekonomi bisa menjadi sebuah isu sensitif yang kemudian menimbulkan reaksi terhadap suatu kelompok tertentu, seperti ketika tingginya tingkat pengangguran yang diakibatkan oleh lambatnya laju pertumbuhan perekonomian dan ledakan jumlah penduduk dapat menimbulkan adanya rasa perbedaan dalam hal besarnya kesempatan kerja antara kelompok tertentu dengan

  14

  kelompok lain. Faktor lain misalnya ketika pembangunan yang tidak merata dapat memicu anggapan bahwa suatu kelompok telah termarginalkan dari proses pembangunan dan tidak dapat ikut

  15 menikmati keuntungan dari pertumbuhan ekonomi di negaranya.

  Faktor-faktor ini dapat dilihat pada fenomena gerakan nasionalisme Tamil yang sempat memecah kestabilan keamanan Sri Lanka selama bertahun-tahun lalu. Dominasi etnis Sinhalese di Sri Lanka menimbulkan adanya sentimen antaretnis lain, baik terkait perlakuan pemerintah atau dalam aspek kehidupan yang lain. Hal-hal ini dapat 11 menyebabkan menurunnya kredibilitas negara karena dianggap telah

  Kishore C. Dash, Regionalism in South Asia: Negotiating Cooperation, Institutional Structures (New York: Routledge, 2008), hal. 51 12 “The history of the Tamil Tigers,” Al Jazeera, 28 Apr 2009, diakses 13 Januari 2018, www.aljazeera.com/focus/2008/11/2008112019115851343.html. 13 14 Ibid., Kishore C. Dash, Loc., Cit., mengesampingkan kepentingan kelompok etnis tertentu. Selain Sri Lanka, isu etnis lain juga dialami oleh Pakistan. Empat provinsi di Pakistan, masing-masing Punjab, Sindh, Baluchistan, dan Northwest

  Frontier Province (NWFP) masing-masing dihuni oleh kelompok etnis

  besar. Para Punjabis, yang tinggal di provinsi Punjab merupakan etnis terbesar yang mendominasi militer, ekonomi, hingga pemerintahan

  16

  sipil di Pakistan. Sementara itu, kelompook etnis lain seperti Sindhis,

  Pathans, Baluchis, dan Muhajirs (kelompok yang berasal dari partisi

  India) menyimpan ketidaksukaan dengan dominasi yang dipegang oleh

  17

  para Punjabis tersebut. Fenomena-fenomena seperti inilah yang dianggap berkontribusi dalam menyebabkan berbagai konflik dan kekerasan yang terjadi di Asia Selatan hingga saat ini.

  Suatu konflik yang melibatkan satu kelompok etnis di suatu negara dapat memicu gejolak kelompok etnis yang sama di negara lain. Hal inilah yang disebut mendorong munculnya subnasionalisme di Asia

18 Selatan. Subnasionalisme di sini lebih diartikan sebagai

  kecenderungan orang-orang untuk merasa lebih terikat secara etnis dibandingkan sebagai sebuah negara yang heterogen. Kondisi ini dinilai mampu memicu munculnya separatisme dan terorisme, serta destabilisasi di negara-negara Asia Selatan. Permasalahan ini dapat dilihat ketika masing-masing negara saling menyalahkan atas tuduhan pemberian asistensi terhadap gerakan separatisme, seperti protes India terhadap dukungan Pakistan atas separatisme di Kashmir dan Punjab, atau sebaliknya ketika Pakistan menyalahkan India karena diduga mendukung separatisme di Provinsi Sindh. Hal serupa juga terjadi ketika Sri Lanka menganggap India turut bertanggung jawab atas tuntutan kemerdekaan dari kelompok Tamil. Adanya rasa saling tidak percaya dan kecurigaan menjadi penghambat yang besar bagi SAARC untuk mencapai tujuan dari kerjasama regional yang dibangun.

  16 17 Ibid., hal 121 Ibid.,

  Bhutan menjadi satu-satunya negara di Asia Selatan yang nyaris tidak terdapat gejolak politik maupun keamanan di dalamnya. Tidak heran jika Bhutan termasuk ke dalam salah satu negara paling damai di

  19

  dunia. Berbeda dengan beberapa negara Asia Selatan lainnya yang masih diliputi tensi konflik yang cukup tinggi. Selain konflik internal, terorisme lintas negara juga menjadi ancaman di Asia Selatan. Kelompok teroris Al-Qaeda terus mendapat pengawasan terkait upayanya yang diduga ingin memperluas jaringan di Asia Selatan,

  20

  yakni di Pakistan, Afghanistan, Bangladesh, bahkan India. Kondisi ini juga memicu campur tangan negara lain, seperti Amerika Serikat, dan dikhawatirkan hal ini bisa menimbulkan intervensi berlebihan terhadap kedaulatan negara-negara di Asia Selatan.

2. Kerjasama Ekonomi Tidak Signifikan

  Kenyataan bahwa phasil dari kerjasama dalam bidang ekonomi yang tidak signifikan membuat kerjasama yang dijalankan hingga saat ini belum mampu mencapai hasil yang maksimal. Meskipun memang kondisi seperti ini wajar dan mungin bisa juga dialami oleh kerjasama regional lain. Akan tetapi, kondisi di Asia Selatan cenderung lebih kompleks dikarenakan adanya faktor besar lain, yakni keadaan wilayah yang masih konfliktual serta ketimpangan kemampuan ekonomi yang cukup mencolok. Artinya, SAARC masih memiliki tantangan dalam memaksimalkan potensi negara-negara tersebut agar bisa bersaing dengan negara yang lebih besar.

  Perdagangan intraregional yang tergolong rendah juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan perkembangan ekonomi SAARC tidak signifikan. Perdagangan intraregional SAARC dinilai hanya sebatas 3-5% dari volume total perdagangan mereka, yang mana itu

  19 “The world‟s most peaceful countries-which nation has been number one for seven years?” The

  

Telegraph, dikases 16 Januari 2018, http://www.telegraph.co.uk/travel/lists/most-peaceful-

countries/bhutan/. 20 “Al Qaeda wants to create local leadership in South Asia, including India:US official,” India

Times, diakses 15 Januari 2018, https://economictimes.indiatimes.com/news/defence/al-qaeda-

  21

  lebih rendah jika dibandingkan dengan blok perdagangan lain. Angka ini sangat kecil jika dibandingkan dengan erdagangan di antara negara- negara anggota ASEAN diperkirakan mencapai 25% dari total

  22

  perdagangan internasional mereka. Pada tahun 2015, perdagangan intraregional SAARC diindikasikan hanya mencapai $28-30 milyar per tahun, sementara itu ASEAN mampu mencapai $608.6 milyar pada

  23 tahun 2014.

  Berkaca pada kondisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa SAARC perlu untuk membentuk sebuah area kerjasama perdagangan yang lebih efektif dan mampu membangun kepercayaan satu dengan yang lain. Saat ini, negara anggota SAARC lebih memilih untuk saling bekerjasama justru di luar kerangka SAARC. BIMSTEC dan SASEC merupakan dua contoh alternatif organisasi kerjasama subregional yang dipilih oleh mayoritas negara-negara anggota SAARC. Pada dua organisasi ini, hanya India, Bangladesh, Nepal, Sri Lanka, Maladewa, dan Bhutan saja yang terlibat sebagai anggota. Kecenderungan untuk lebih aktif teribat dalam kerjasama subregional ini dapat dilihat sebagai

  24

  wujud strategi Arti dari strategi ini adalah “SAARC minus one”. melewatkan Pakistan dari berbagai upaya kerjasama yang dilakukan negara-negara seperti India, Bhutan, Bangladesh, Nepal, dan Sri Lanka

  25

  agar berjalan lebih kondusif dan efektif. Sebenarnya, strategi ini dianggap penting untuk dilakukan demi tetap menjaga ikatan meskipun di luar kerangka SAARC. Keberadaan kerjasama subregional yang lebih kuat, jika benar bisa memberi manfaat, maka dapat

  21 Khalid Aziz , “Social and Political Issues in South Asia,” Regional Institute of Policy Research and Training, diakses

  12 Januari 2018, http://riport.org/wp- content/uploads/pdf%20downloads/publications/Mellinium%20Development%20Goals.pdf. 22 Parthapratim Pal, “Intra-BBIN Trade: Opportunities and Challenges,” Observer Research Foundation, Maret 2016, diakses

  17 Januari 2018, 23 24 Ibid., Manjari Chatterjee Miller & Bharath Gopalaswamy , “SAARC Is Dead; Long Live SAARC,” The

Diplomat, diakses 16 Januari 2018, https://thediplomat.com/2016/11/saarc-is-dead-long-live-saarc/. mendorong interdependensi antarnegara agar terbangun semakin kuat

  26 dan bukan untuk terpecah belah.

  BIMSTEC memang tidak secara teknis sebagai sebuah organisasi perdagangan saja, akan tetapi lebih sebagai wadah bagi negara-negara anggotanya agar dapat saling bekerjasama memperbaiki aspek-aspek yang lain, seperti konektivitas dan perbaikan insfrastruktur yang juga berguna untuk memperlancar aktivitas perdagangan antarnegara. Bangladesh ditunjuk sebagai negara yang memimpin sektor perdagangan di dalam organisasi ini. Hal ini sengat menarik karena negara kecil seperti Bangladesh justru dipercaya untuk memimpin sektor yang krusial, meskipun India tetap menjelma sebagai negara dominan. Selain itu, terdapat pula Thailand dan Myanmar yang menjadikan iklim kerjasama organisasi ini berbeda dengan SAARC. Berdasarkan kondisi tersebut, penulis melihat bahwa ketidakhadiran Pakistan dan Afghanistan di dalam organisasi subregional ini

  • – selain karena kedua negara tersebut secara geografis memang eksklusif- memberikan atmosfer yang dirasa lebih kondusif karena terhindar dari pengaruh konflik yang ditimbulkan negara-negara tersebut. Oleh sebab itu, organisasi kerjasama subregional ini menjadi prioritas lain bagi negara-negara anggota SAARC.

3. Ketidakstabilan Politik

  Selain faktor keamanan dan ekonomi, dinamika politik domestik dan pengaruhnya terhadap relasi antarnegara anggota SAARC juga turut menjadi faktor yang menentukan terhambat atau tidaknya kerjasama di kawasan tersebut. Seperti yang diketahui, masing-masing negara SAARC menyimpan gejolak politik domestik yang memberikan pengaruh pula pada stabilitas keamanan di Asia Selatan. Pengaruh gejolak politik ini juga meluas hingga ke isu keamanan.

  Beberapa tahun belakangan menjadi masa yang cukup kompleks bagi beberapa negara di Asia Selatan terkait kondisi politik di dalam 26 negeri. Pada tahun 2014 lalu, pasca Narendra Modi memenangkan

  Smruti S. Pattanaik, “Making Sense of Regional Cooperation: SAARC at Twenty,” Strategic Analysis, Vol. 30, No. 1 (2006), hal. 142, diakses

  12 Januari 2018, pemilu dan terpilih menjadi Perdana Menteri, kondisi politik di India sempat mengalami sedikit pergolakan. Kondisi ini dipicu beberapa kontroversi yang menodai citra baik kepemimpinan Modi. Konfrontasi dengan Pakistan dan China terkait isu perbatasan merupakan salah satu permasalahan yang disorot. Selain itu, banyak juga anggapan bahwa pemerintahan Modi masih gagal dalam menjamin keselamatan

  27 perempuan dari berbagai aksi pelecehan dan kekerasan seksual.

  Gejolak serupa juga dialami Bangladesh ketika pada awal tahun 2014 terjadi konfrontasi antara pasukan keamanan dengan para oposisi. Pemilu sempat diboikot oleh Partai Nasionalis Bangladesh yang konservatif dan juga beraliansi dengan beberapa organisasi Islam dan

  28 partai sayap kiri Awami League. Kondisi ini menjadi pemasalahan genting bagi Bangladesh dan memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap kestabilan di Asia Selatan sendiri.

  Sementara itu, gejolak politik di Pakistan masih meliputi isu-isu insurgensi, gerakan para Islamis, separatisme, hingga kontravensi para politisi dengan pihak militer. Salah satu konflik besar yang terjadi di Pakistan saat itu adalah ketika pasukan militer Pakistan kembali berhasil menguasai wilayah North Waziristan yang berbatasan dengann Afghanistan, yang sebelumnya sempat jatuh ke tangan kelompok yang

  

29

  berafiliasi dengan Al-Qaeda. Pada saat itu, kondisi ini dikhawatirkan akan memicu adanya serangan teror di kedua negara tersebut. Pengusiran militan di kawasan ini memakan waktu bertahun-tahun hingga akhirnya kawasan ini bisa kembali ke dalam pengawasan Pakistan. Saat ini, pemerintah Pakistan di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Shahid Khaqan Abbasi, juga tengah bersitegang dengan angkatan bersenjata Pakistan. Kondisi ini sebenarnya telah berlangsung sejak masa akhir pemerintahan Nawaz Sharif, hingga 27 pihak militer dianggap sebagai dalang dibalik lengesernya Nawaz Sharif

   “A year of fast and furious politics in south Asia,” The Guardian, 31

Desember 2014, diakses 13 Januari 2018. https://www.theguardian.com/world/2014/dec/31/fast-

furious-politics-south-asia 28 Ibid.,

  pada 2017 lalu. Pemrintah Pakistan menganggap bahwa ada petinggi- petinggi militer yang berniat untuk merebut kursi pemerintahan.

  Berbeda dengan India, Pakistan, atau Bangladesh, permasalahan di Maladewa justru melanda pada keamanan di sektor pariwisata. Beberapa kasus penculikan turis dan wartawan asing terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Peristiwa ini diduga sebagai kelalaian pemerintah dalam mencegah aksi kelompok kejahatan. Sementara itu, di Sri Lanka, demokrasi dinilai belum berjalan sebagaimana mestinya

  30 karena kebebasan pers masih seringkali dikekang.

  Beberapa permasalahan domestik secara langsung menjadi pemicu terjadinya ketidaksepahaman dengan negara anggota yang lain. Isu-isu bilateral, terutama seperti ketegangan antara India dan Pakistan yang masih terus bergulir memang memberikan pengaruh yang cukup besar bagi dinamika kawasan. Contoh kejadian ini dapat dilihat pada keputusan penundaan agenda summit yang ke-19 di Islamabad pada tahun 2016 lalu. India menolak menghadiri acara tersebut karena meningkatnya tensi di wilayah Kashmir. Alasan itu juga didukung oleh negara-negara lain seperti Bangladesh, Bhutan, dan Afghanistan.

3.2. Analisis Terhadap Pola Regionalisme di Asia Selatan

  Pendekatan regionalisme yang digunakan dalam penelitian ini ditujukan untuk menganalisis bagaimana pola kerjasama regional di kawasan Asia Selatan dalam kerangka SAARC. Seperti yang sudah dijelaskan pada bab pertama, regionalisme berarti sebagai sebuah pandangan yang mendorong sekelompok negara dengan indikator kedekatan geografis dan kesamaan kepentingan untuk membentuk sebuah organisasi untuk mencapai suatu tujuan. Keinginan ini kemudian didukung dengan perwujudan sebuah institusi untuk mewadahi kerjasama ini. Akan tetapi, tidak semua kerjasama regional memiliki pola yang sama. Asia 30 Selatan sendiri, dalam hal ini SAARC, menjadi contoh kerjasama regional

  Kishali Pinto-Jayawardena , “Challenges to media freedom in Sri Lanka; the „New‟ Government‟s The Sunday Times, diakses

  15 Januari 2018, performance,”

http://www.sundaytimes.lk/170409/sunday-times-2/challenges-to-media-freedom-in-sri-lanka-the- dengan karakter mencolok, terutama berkaitan dengan konflik yang terus terjadi meskipun peningkatan kerjasama juga tetap mereka upayakan Salah satu pola yang bisa dilihat di dalam SAARC adalah adanya kecenderungan negara-negara yang relatif lemah untuk menjalin kedekatan khusus dengan negara yang memiliki kekuatan lebih besar, terutama dalam bidang ekonomi. Kondisi ini dapat dijelaskan menggunakan konsep

  Bandwagoning. Melalui konsep ini, penelitian ini bertujuan untuk melihat

  dominasi India yang besar di Asia Selatan, termasuk dalam lingkup SAARC, dan bagaimana negara-negara dengan kekuatan yang relatif lebih kecil menyikapinya. Adanya istilah „Delhineation‟ juga secara garis besar menjelaskan bahwa dalam rangka meraih perdamaian regional, keamanan, dan stabilitas di Asia Selatan, India harus tetap menjadi yang paling dominan dan mempertahankan superioritas, terutama dalam bidang

  31 ekonomi dan kemiliteran.

  Bhutan merupakan negara yang dinilai memiliki dependensi yang cukup besar terhadap India, terutama dalam bidang keamanan dan ekonomi. Hal ini dikarenakan sejarah Bhutan yang dahulunya merupakan protektorat British-India sebelum akhirnya merdeka pada tahun 1947. Kerjasama India dan Bhutan semakin kuat setelah ditandatanganinya

  32 Treaty of Friendship pada tahun 1949. India juga menjadi negara yang

  memberikan dukungan besar bagi Bhutan dalam menghadapi sengketa Tibet dengan China pada tahun 1950-an. Berdasarkan wawancara dengan Dr. Santhosh Mathew, beliau juga menyepakati bahwa kawasan ini sebagai

  33

  layak disebut sebagai Sementara itu, sebuah „Indo-centric region‟. mengenai SAARC, D r. Santosh Mathew juga mengatakan bahwa, “... Trust

  deficit among the member countries (have) already existed. Except Bhutan, rest of them (have) already (been) the part(s) of China’s

  31 32 Kishore C. Dash, Op., Cit., hal. 116.

  Arif Hussain Malik & Nazir Ahmad Sheikh, “Changing Dynamics of Indo-Bhutan Relations:

Implications for India,” International Journal of Political Science and Development, Vol. 4(2) (2016),

hal. 45, DOI: 10.14662/IJPSD2016.002. 33 Dr. Santhosh Mathew (Assistant Professor in Centre for South Asian Studies, Pondicherry

  surrounding India policy .”

34 Artinya, pengaruh India yang cukup kuat

  dapat memengaruhi beberapa negara lemah, salah satunya Bhutan untuk menggantungkan kepentingan mereka secara lebih terhadap India.

  Adanya karakteristik yang sama pada negara-negara anggota SAARC dalam menghadapi permasalahan mengenai pemerintahan, seharusnya mendorong mereka untuk juga bekerjasama guna membentuk sebuah upaya kolektif yang menguntungkan dalam rangka menangani isu-isu nation-

  building di Asia Selatan. Akan tetapi, banyak pemimpin negara yang justru

  cenderung menjaga jarak antara satu dengan yang lainnya demi tetap mewaspadai pengaruh dari dominasi India. Kondisi ini justru mendorong mereka untuk mencari dukungan dari negara di luar Asia Selatan untuk mengimbangi kekuatan India, dan salah satu negara sasaran mereka adalah China.

35 Rivalitas antara India dan Pakistan juga memberikan dampak yang

  bandwagoning untuk mengakomodasi kepentingan mereka dalam hal

  Pada sebuah kerjasama regional, negara-negara dengan kekuatann yang relatif kecil memang cenderung untuk menggunakan strategi

  Regionalism in South Asia: Negotiating Cooperation, Institutional Structures disebutkan bahwa:

  “In South Asia, all the states share a common border with India. Given

  the geographical proximity, great power disparity, and the potential for economic and security benefits from an alliance with India, it would seem that bandwagoning would be a preferred strategy for smaller South Asian countries

  .”

  36 Akan tetapi, strategi tersebut tidak lantas dijalankan oleh semua

  negara, kecuali Bhutan dan Maladewa. Hal ini terjadi karena negara-negara seperti Nepal, Sri Lanka, dan Bangladesh masih memiliki tensi etnis dengan India dan juga adanya penolakan dari domestik masing-masing 34 Ibid., 35 Kishore C. Dash, Op., Cit., 51.

  cukup besar bagi interkasi di dalam SAARC sendiri dan tidak dapat dipungkiri, kondisi ini dapat memicu berbagai konsekuensi yang besar di Asia Selatan.

  ekonomi hingga militer. Pada konteks Asia Selatan, dalam buku

  negara tersebut untuk menghindari intervensi dan mengurangi dominasi dari India pada internal negara mereka. Hal ini berarti bahwa India memang memiliki peran yang krusial, sehingga sangat penting bagi India untuk memelihara kepercayaan dengan negara-negara kecil agar tercapai

  37 tujuan dari kerjasama regional di semua bidang.

  Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa faktor-faktor yang menghambat kerjasama di Asia Selatan juga turut mengarahkan pola regionalisme di kawasan tersebut. Negara-negara minor memiliki ketakutan atas dominasi India, akan tetapi dalam beberapa hal mereka masih melindungi kepentingannya dengan bernaung di bawah kekuatan India. Saat ini, pengaruuh China memang mulai meluas di Asia Selatan, akan tetapi lebih memiliki kecenderungan dalam bidang ekonomi. Kehadiran China di Asia Selatan memang tidak lantas merubah arah regionalisme secara total di Asia Selatan. Akan tetapi, inkonsistensi India dalam menjalankan politik luar negerinya terhadap negara lain membuat kepercayaan di antara mereka sangat lemah. Beberapa peristiwa yang berakar dari sejarah masa lalu menunjukkan inkonsistensi tersebut. Misalnya, ketika India membantu kemerdekaan Bangladesh pada tahun 1971, India gagal dalam mengawal kestabilan ekonomi dan politik

  38 Bangladesh hingga terjadi kudeta militer pada tahun 1975. Contoh lain

  adalah ketika India mencoba memediasi konflik sipil di Sri Lanka pada tahun 1980-an, akan tetapi justru berakhir pada bencana politik dan militer yang lebih besar. Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa dalam beberapa hal, India tidak mampu secara konsisten menjalankan strateginya, dan tidak jarang justru terlibat konflik dengan negara tetangganya sendiri. Oleh sebab itu, kehadiran China menjadi ketakutan tersendiri bagi India dan justru bisa memberikan peluang bagi negara lain untuk menjalin kerjasama secara lebih intensif dengan China.

  3.3. 37 Stagnasi SAARC dalam Meningkatkan Kerjasama di Asia Selatan Khalid Ahmed, “Political Economy of SAARC and Regional Trade Integration: The Recent Ontogeny a nd Future Prospects,” (Makalah dipresentasikan dalam diskusi panel di Korea Institute for International Economic Policy, 29 April 2014). 38 Christian Wagner, “The Role of India and China in South Asia,” East West Center, 26 Juli 2017, diakses

22 Januari 2018,

  Analisis pada bagian-bagian sebelumnya telah menunjukkan mengenai faktor-faktor yang menghambat kerjasama di Asia Selatan dalam lingkup SAARC, serta upaya yang dilakukan SAARC untuk meningkatkan kerjasama di kawasan tersebut. Mayoritas dari penjabaran yang dituliskan lebih banyak menjelaskan mengenai ketidakstabilan kawasan yang diakibatkan oleh konflik antarnegara. Keadaan ini menjadi penyebab utama stagnasi SAARC dalam mengupayakan kerjasama di Asia Selatan itu sendiri. Selain itu, perbedaan kemampuan ekonomi juga menjadi faktor tambahan yang membuat kerjasama ekonomi, terutama dalam hal perdagangan, masih belum signifikan. Artinya, meskipun SAARC merupakan kerjasama regional dan berisi 8 negara yang sama-sama saling berkontribusi, akan tetapi kontribusi yang mereka berikan akan tetap sesuai dengan kapasitas ekonomi yang mereka miliki masing-masing. Alasan itulah yang membuat pertumbuhan ekonomi tetap ada, walaupun tidak signifikan dan masih terdapat ketimpangan. Akan tetapi, permasalahan yang dihadapi SAARC dirasa sebagai permasalahan yang wajar dan bisa saja dialami oleh organisasi kerjasama regional yang lain.

  Anggapan mengenai stagnasi yang dialami SAARC dalam mengupayakan kerjasama di Asia Selatan lebih tepat ditujukan pada masalah keamanan. Penjabaran mengenai kondisi kawasan yang masih rawan konflik dan berbagai permasalahan domestik yang bisa meluas menjadi konflik bilateral menjadi bukti bahwa kerjasama diijalankan di atas kondisi yang sama sekali tidak kondusif. Hal inilah yang menyebabkan SAARC dipandang sebagai sebuah organisasi yang belum mampu memberikan manfaat bagi integrasi dan stabilitas Asia Selatan. Beberapa data yang membandingkan mengenai perkembangan SAARC dan ASEAN menunjukkan bahwa tingkat konflik di Asia Selatan memang telah jauh menarik SAARC dari prestasi yang semestinya telah dapat tercapai sejak berdiri pada tahun 1985.

  Lambatnya perkembangan SAARC menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana masa depan dari organisasi ini, serta seberapa besar optimisme negara anggota untuk tetap menjalankan kerjasama dalam kerangka konsep Shadow of the Future. Pada bab pertama telah dijelaskan bahwa negara akan melakukan langkah-langkah tertentu untuk tetap melindungi kepentingannya sesuai dengan bayangan dari masa depan kerjasama yang menaunginya. India melihat SAARC sebagai sarana untuk tetap terikat relasi dengan negara-negara yang lebih kecil demi mempertahankan status

  quo di Asia Selatan. Meskipun demikian, tidak berarti India menaruh

  optimisme yang besar terhadap SAARC dalam konteks ekonomi, sebab saat ini, India memiliki visi yang lebih besar dengan memperkuat perannya dalam ranah global dan membidik pasar internasional yang lebih luas.

  Sejak awal pembentukan SAARC, politik luar negeri merupakan motivasi tersirat yang melatarbelakangi masing-masing negara untuk bergabung dengan SAARC. Bagi negara-negara kecil seperti Bhutan dan Nepal, SAARC merupakan harapan yang besar. Kondisi geografis juga mendorong mereka untuk bergantung kepada India, sebab mereka merasa bahwa kepentingan India dalam hal keamanan bisa menjamin kepentingan mereka dalam bidang ekonomi. Sementara itu, bagi Bangladesh, SAARC bisa memberikan kesempatan untuk memperbaiki kondisi perekonomiannya. Motif dari negara-negara kecil ini tidak lain adalah pertimbangan bahwa SAARC akan memberikan wadah untuk menjalin kerjasama regional yang memperluas interaksi negara-negara di Asia Selatan, terutama sebagai penghuubung bagi negara-negara yang tidak

  39

  saling berbagi wilayah perbatasan. Bagi negara-negara kecil ini, SAARC diyakini mampu memberikan manfaat dalam pembangunan regional,

  40 melainkan juga posisi yang setara dengan India.

  Berdasarkan konsep Shadow of the Future, optimisme negara-negara anggota SAARC bisa terjaga apabila SAARC dapat memperluas pandangan mereka terhadap masa depan organisasi ini. Artinya, negara-negara tersebut dapat melihat bahwa langkah SAARC untuk menuju tahapan- tahapan integrasi ekonomi yang selanjutnya dapat berjalan dengan efisien. Akan tetapi, sampai saat ini, perkembangan tersebut belum dapat dicapai. 39 Stagnasi dalam mengatasi masalah keamanan menjadi penghambat yang

   Smruti S. Pattanaik, Op., Cit., hal. 142 besar. Pada sebuah organisasi kerjasama regional, terdapat penggambaran yang menarik, yakni ketika terdapat sebuah konflik bilateral, semestinya diperlukan negara ketiga yang menjadi pihak penengah dan dapat bersikap netral. Akan tetapi, dalam konteks SAARC, sangat sulit untuk menemukan negara yang netral karena masing-masing masih memiliki sentimen sosio- kultural hingga politik, dan semua negara justru seolah menjadi bagian dari masalah tersebut. Kondisi ini justru memberi celah bagi pihak lain di luar kawasan untuk hadir sebagai dominasi baru, yakni China, yang mampu menjadi sumber kekuatan baru bagi negara-negara lemah sekaligus menawarkan kerjasama yang lebih netral dari konflik.

  Saat ini tahap integrasi ekonomi SAARC masih berada pada level perdagangan bebas atau free trade yang resmi berjalan sejak tahun 2006 lalu. Beberapa upaya dilakukan untuk terus mendorong perkembangan perdagangan intraregional di kawasan Asia Selatan ini, akan tetapi selama 32 tahun berdiri potensi dalam bidang ekonomi belum dapat dimaksimalkan. Demikian halnya dengan upaya menjaga hubungan antarnegara juga masih terhambat oleh konflik-konflik bilateral, terorisme, serta lemahnya kepercayaan antarnegara itu sendiri.

  Meskipun demikian, masih terdapat harapan dari masing-masing negara anggota SAARC terhadap masa depan organisasi ini. Harapan- harapan ini disampaikan melaui surat terbuka yang dikiriman oleh menteri luar negeri masing-masing negara untuk sekaligus memperingati hari jadi SAARC yang ke-32 pada 8 Desember 2017. India, melalui Perdana Menteri Narendra Modi menyatakan komitemennya dengan telah mewujudkan visinya untuk SAARC, antara lain melalui peluncuran South Asia Sattelite, pendirian Interim Unit of the SAARC Disaster Management Centre, serta menjanjikan dukungan penuh bagi South Asian University demi

  41

  perkembangan SAARC. Komitmen-komitmen lain juga disampaikan oleh negara anggota lainnya melalui pesan serupa. Sementara itu, Presiden Sri Lanka, Maitripala Sirisena menyampaikan bahwa kekuatan SAARC 41 terdapat pada keberagamannya, akan tetapi, lebih penting lagi untuk

  SAARC, “33rd SAARC Charter Day Messages: India,” diakses 18 Januari 2018, http://saarc- diketahui bahwa saat ini perkembangan SAARC masih berada jauh di bawah potensi yang sebenarnya mereka miliki.

  42 Oleh sebab itu, perlu

  kesadaran masing-masing negara untuk mendorong pembangunan di kawasan Asia Selatan itu sendiri.