BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengetahuan - Pengaruh Tingkat Pengetahuan dan Konsep Diri Perempuan Penderita Kanker terhadap Tingkat Kecemasan Menghadapi Kemoterapi di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengetahuan

  Pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui panca indra manusia, yakni: indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behaviour). Berdasarkan pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2007).

  Simon-Morton, dkk., (1995) dalam Azwar (2003), mengatakan bahwa pengetahuan merupakan hasil stimulasi informasi yang diperhatikan dan diingat.

  Informasi dapat berasal dari berbagai bentuk termasuk pendidikan formal maupun non formal, percakapan harian, membaca, mendengar radio, menonton TV dan dari pengalaman hidup. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner berisi materi yang ingin diukur dari responden.

  Pengetahuan yang dicakup di dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan (Notoatmodjo, 2007), yaitu:

  1. Tahu (know) Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.

  Termasuk dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang I pelajari atau rangsangan yang telah di terima. Oleh sebab itu, “tahu” ini adalah merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain: menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya.

  2. Memahami (comprehension) Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasi materi tersebut secara benar.

  Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, dan sebagainya terhadap objek yang telah dipelajari, misalnya dapat menjelaskan mengapa harus makan yang bergizi.

  3. Aplikasi (application) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi yang riil (sebenarnya). Aplikasi ini dapat diartikan aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain. Misalnya dapat menggunakan rumus statistik dalam penghitungan-penghitungan hasil penelitian, dapat menggunakan prinsip-prinsip siklus pemecahan masalah (problem solving cycle) di dalam pemecahan masalah kesehatan dari kasus yang diberikan.

  4. Analisis (analysis) Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau objek ke dalam komponen-komponen tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata-kata kerja, dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.

  5. Sintesis (synthesis) Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam satu bentuk keseluruhan yang baru.

  Dengan kata lain, sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun suatu formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya dapat menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkas, dapat menyesuaikan dan sebagainya.

  6. Evaluasi (evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian ini berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkatan-tingkatan di atas.

  Menurut Taufik (2007), sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru) di dalam diri seseorang terjadi proses yang berurutan yakni:

  1. Awareness (kesadaran) dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).

  2. Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut

  3. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya.

  4. Trial, sikap dimana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang di kehendaki oleh stimulus

  5. Adoption, dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.

2.2. Konsep Diri

2.2.1. Definisi

  Konsep diri merupakan semua pikiran, keyakinan, dan kepercayaan yang membuat seseorang mengetahui siapa dirinya dan memengaruhi hubungannya dengan orang lain (Stuart & Sundeen, 2005).

  Cara individu melihat pribadinya secara utuh, menyangkut aspek fisik, emosi, intelektual, sosial, dan spiritual. Termasuk di dalamnya persepsi individu tentang sifat dan potensi yang dimilikinya, interaksinya dengan orang lain dan lingkungan, nilai- nilai yang berkaitan dengan pengalaman dan objek tertentu, serta tujuan, harapan, dan keinginan individu itu sendiri (Sunaryo, 2004).

  Dengan kata lain, konsep diri merupakan suatu gagasan kompleks yang memengaruhi penderita kanker dalam berfikir, berbicara, bertindak, cara seseorang dalam memandang dan memperlakukan orang lain, pilihan yang harus diambil seseorang, kemampuan untuk memberi dan menerima cinta, serta kemampuan untuk bertindak dan mengubah sesuatu.

2.2.2 Komponen Konsep Diri

  Terdapat lima komponen konsep diri, yakni gambaran diri/citra tubuh (body

  

image ), ideal diri (self ideal), harga diri (self esteem), peran diri (self role), dan

identitas diri (self identity) (Sunaryo, 2004).

  1. Gambaran diri/citra tubuh (body image) Citra tubuh adalah bagaimana cara individu mempersepsikan tubuhnya, baik secara sadar maupun tidak sadar, yang meliputi ukuran, fungsi, penampilan, dan potensi tubuh berikut bagian-bagiannya. Dengan kata lain, citra tubuh adalah kumpulan sikap individu, baik yang disadari ataupun tidak, yang ditujukan terhadap dirinya (Sunaryo, 2004).

  Hal-hal penting yang terkait dengan gambaran diri adalah sebagai berikut: Fokus individu terhadap fisik lebih menonjol, bentuk tubuh, TB dan BB serta tanda-tanda pertumbuhan kelamin sekunder (mammae, menstruasi, perubahan suara, pertumbuhan bulu), menjadi gambaran diri, cara individu memandang diri berdampak penting terhadap aspek psikologis, Gambaran yang realistik terhadap menerima dan menyukai bagian tubuh, akan memberi rasa aman dalam menghindari kecemasan dan meningkatkan harga diri, individu yang stabil, realistik, dan konsisten terhadap gambaran dirinya, dapat mendorong sukses dalam hidupnya.

2. Ideal diri (self ideal)

  Ideal diri adalah persepsi individu tentang bagaimana seharusnya ia berprilaku sesuai dengan standar, aspirasi, tujuan, atau nilai personal tertentu. Ideal diri bisa bersifat realistis, bisa juga tidak. Saat ideal diri seseorang mendekati persepsinya tentang diri sendiri, orang tersebut cenderung tidak ingin berubah dalam kondisi saat ini. Sebaliknya jika ideal diri tersebut tidak sesuai dengan persepsinya tentang diri sendiri, orang tersebut akan terpacu untuk memperbaiki dirinya, Tetapi jika ideal diri terlalu tinggi justru dapat menyebabkan harga diri rendah (Stuart & Sundeen, 2005).

  Beberapa hal yang berkaitan dengan ideal diri antara lain: pembentukan ideal diri pertama kali pada masa anak-anak dan masa remaja terbentuk melalui proses identifikasi terhadap orang tua, guru dan teman, ideal diri individu dipengaruhi oleh orang-orang yang dianggap penting dalam memberikan tuntutan dan harapan, ideal diri mewujudkan cita-cita dan harapan pribadi berdasarkan norma keluarga dan sosial.

  Faktor yang memengaruhi ideal diri yaitu; kecenderungan individu untuk menetapkan ideal diri pada batas kemampuan, faktor budaya yang memengaruhi individu yang menetapkan ideal diri yaitu standar yang terbentuk ini kemudian akan dibandingkan dengan standar kelompok teman, ambisi dan keinginan untuk sukses dan melampaui orang lain, kebutuhan yang realistis, keinginan untuk menghindari kegagalan, perasaan cemas dan rendah diri.

3. Harga diri (self esteem)

  Harga diri adalah penilaian individu tentang nilai personal yang diperoleh dengan menganalisis seberapa baik prilaku seseorang sesuai dengan ideal dirinya (Stuart & Sundeen, 2005). Harga diri yang tinggi adalah perasaan yang berakar pada penerimaan diri sendiri tanpa syarat. Walaupun orang tersebut melakukan kesalahan, kekalahan, dan kegagalan, ia tetap merasa sebagai seseorang yang penting dan berharga. Harga diri ini dapat menjadi rendah saat seseorang kehilangan kasih sayang atau cinta kasih dari orang lain, kehilangan penghargaan dari orang lain, atau saat ia menjalani hubungan interpersonal yang buruk.

  Beberapa cara untuk meningkatkan harga diri seseorang antara lain dengan memberikan kesempatan untuk berhasil, memberinya gagasan, mendorongnya untuk beraspirasi serta membantunya membentuk koping.

4. Peran diri (self role)

  Peran diri adalah serangkaian harapan tentang bagaimana seseorang bersikap atau berprilaku sesuai dengan posisinya. Sedangkan penampilan peran adalah serangkaian pola prilaku yang diharapkan oleh lingkungan sosial, yang terkait dengan fungsi individu di kelompok sosial. Dalam hal ini, peran yang ditetapkan adalah peran yang dijalani individu ketika ia tidak mempunyai pilihan. Sedangkan peran yang diterima adalah peran yang dipilih sendiri oleh individu. Konflik peran muncul ketika peran yang dijalani berlawanan atau tidak sesuai dengan harapan. Sedangkan ketegangan peran muncul saat seseorang merasa, atau dibuat merasa, tidak adekuat atau tidak sesuai untuk menjalani suatu peran. Ini biasanya terkait dengan stereotipe peran berdasarkan jenis kelamin. Selain itu individu juga dapat mengalami ketidakjelasan peran, yakni ketika ia mendapat peran yang kabur dan tidak sesuai perilaku yang diharapkan. Ketidaksesuaian peran dapat terjadi ketika individu berada dalam peralihan, dan mengubah nilai serta sikapnya. Peran berlebih terjadi ketika individu mengalami banyak peran dalam kehidupannya (Mubarak, 2007).

5. Identitas diri (self identity)

  Identitas diri adalah kesadaran akan diri pribadi yang bersumber dari pengamatan dan penilaian, sebagai sintetis semua aspek konsep diri sebagai suatu kesatuan yang utuh (Stuart & Sundeen, 2005). Identitas mencakup konsistensi seseorang sepanjang waktu dan dalam berbagai keadaan serta menyiratkan perbedaan atau keunikan dibandingkan dengan orang lain. Pembentukan identitas sangat diperlukan demi hubungan yang intim karena identitas seseorang dinyatakan dalam hubungan dengan orang lain (Hidayat, 2006).

2.2.3 Faktor yang Memengaruhi Konsep Diri

  Konsep diri dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: 1. Tingkat perkembangan dan kematangan

  Dukungan mental, pertumbuhan, dan perlakuan terhadap anak akan memengaruhi konsep diri mereka. Seiring perkembangannya, faktor-faktor yang memengaruhi konsep diri individu akan mengalami perubahan. Sebagai contoh, bayi membutuhkan lingkungan yang mendukung dan penuh kasih sayang, sedangkan anak membutuhkan kebebasan untuk belajar dan menggali hal-hal baru.

2. Keluarga dan budaya

  Individu cenderung mengadopsi berbagai nilai yang terkait dengan konsep diri dari orang-orang terdekat dengan dirinya. Dalam konteks ini, anak-anak banyak mendapat pengaruh nilai dari budaya dan keluarga tempat ia tinggal. Selanjutnya perasaan akan diri (sense of life) mereka akan banyak dipengaruhi oleh teman sebayanya. Sense of self ini akan terganggu saat anak harus membedakan harapan orang tua, budaya, dan harapan teman sebaya.

  3. Faktor eksternal dan internal Kekuatan dan perkembangan individu sangat berpengaruh terhadap konsep diri mereka. Pada dasarnya, individu memiliki dua sumber kekuatan, yakni sumber eksternal meliputi dukungan masyarakat yang ditunjang dengan kekuatan ekonomi yang memadai. Sedangkan sumber internal meliputi kepercayaan diri dan nilai-nilai yang dimiliki.

  4. Pengalaman Ada kecenderungan bahwa konsep diri yang tinggi berasal dari pengalaman masa lalu yang sukses. Demikian pula sebaliknya, riwayat kegagalan masa lalu akan membuat konsep diri rendah. Sebagai contoh, individu yang mengalami kegagalan cenderung memandang diri mereka sebagai orang yang gagal. Sedangkan individu yang pernah mengecap kesuksesan akan mengalami konsep diri yang lebih positif.

  5. Penyakit Kondisi sakit juga dapat memengaruhi konsep diri seseorang. Seorang wanita yang menjalani operasi tubektomi mungkin akan menganggap dirinya kurang menarik, dan akan memengaruhi caranya dalam bertindak dan menilai diri sendiri.

6. Stresor

  Stresor dapat memperkuat konsep diri seseorang apabila ia mampu

  mengatasinya dengan sukses. Di sisi lain, stresor juga dapat menyebabkan respons maladaptif, seperti menarik diri, ansietas, bahkan penyalahgunaan zat.

  Mekanisme koping yang gagal dapat menyebabkan seseorang merasa cemas, menarik diri, depresi, mudah tersinggung, rasa bersalah, dan marah, dan hal ini akan memengaruhi konsep diri mereka (Mubarak, 2007).

2.2.4 Rentang Respon Konsep Diri

  Respon konsep diri sepanjang rentang sehat sakit berkisar antara status aktualisasi diri yang paling adaptif dan status keracunan identitas yang lebih maladaptif serta depersonalisasi. Keracunan identitas merupakan suatu bentuk kegagalan individu dalam mengintegrasikan berbagai proses identifikasi pada masa kanak-kanak ke dalam kepribadian psikososial dewasa yang harmonis. Depersonalisasi adalah suatu bentuk perasaan tidak realistis dan keterasingan dari diri sendiri (Mubarak, 2007).

  Seseorang dikatakan mempunyai konsep diri negatif (respon maladaptif) jika ia meyakini dan memandang dirinya lemah, tidak berdaya, tidak dapat berbuat apa- apa, tidak kompeten, gagal, malang, tidak menarik, tidak disukai dan kehilangan daya tarik terhadap hidup, sehingga mereka akan cenderung bersikap pesimistik terhadap kehidupan dan kesempatan yang dihadapinya, serta mudah menyerah, konsep diri yang negatif dapat dilihat dari hubungan sosial yang maladaptif (Calhoun & Acocella 1990).

  Sebaliknya, seseorang yang konsep diri positif (respon adaptif) akan terlihat lebih optimis, penuh percaya diri dan selalu bersikap positif terhadap segala sesuatu termasuk terhadap kegagalan yang dialaminya, mampu menghargai dirinya dan melihat hal-hal yang positif yang dapat dilakukan demi keberhasilan di masa yang akan datang. Individu dengan konsep diri yang positif dapat berfungsi lebih efektif yang terlihat dari kemampuan interpersonal, kemampuan intelektual dan penguasaan lingkungan (Calhoun & Acocella, 1990).

  Rentang Respon Konsep Diri Respon adaptif

  Respon maladaptif Aktualisasi Konsep diri Harga diri rendah Keracunan Depersonalisasi identitas

Gambar 2.1. Rentang Respon Konsep-Diri

2.3. Kanker Payudara

  Kanker Payudara (Carcinoma mammae) adalah tumor ganas yang menyerang jaringan payudara, jaringan payudara tersebut terdiri dari kelenjar susu (kelenjar pembuat air susu), saluran kelenjar (saluran air susu) dan jaringan penunjang payudara (Mardiana, 2007). Pertumbuhan kanker payudara dimulai dari epitel duktus ataupun lobulus duktus atau kelenjar di daerah lobulus dan melakukan invasi ke dalam stroma yang dikenal dengan nama karsinoma invasive. Tumor yang meluas menuju fasia otot pektoralis ataupun daerah yang menimbulkan perlengkapan dikategorikan tumor stadium lanjut (Tambunan, 1995).

  Penyebaran kanker terjadi melalui pembuluh getah bening, deposit dan tumbuh di kelenjar aksila ataupun supraklavikula, kemudian melalui pembuluh darah kanker menyebar ke organ lain seperti paru, hati, tulang dan otak (Luwia, 2004).

2.3.1. Penyebab Kanker Payudara

  Penyebab langsung kanker payudara hingga saat ini belum diketahui, namun Djindarbumi, (2003) dalam Hawari, (2004) merujuk hasil penelitian Simanjuntak T.M (1977), yang telah melakukan penelitiannya di bagian bedah FKUI/RSCM periode 1971-1973, menemukan beberapa faktor resiko pada kanker payudara yang sudah diterima secara luas oleh kalangan pakar kanker (Onkologist) di dunia yakni meliputi:

  1. Wanita yang berumur lebih dari 25 tahun mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk mendapat kanker payudara dan resiko ini akan bertambah sampai umur 50 tahun dan setelah menopause;

  2 Wanita yang tidak kawin resikonya 2-4 kali lebih tinggi daripada wanita yang kawin dan mempunyai anak;

  3 Wanita yang melahirkan anak pertama setelah berumur 35 tahun resikonya 2 kali lebih besar;

  4 Wanita yang mengalami menstruasi pertama (menarche) yang usianya kurang dari 12 tahun atau resikonya 1,7 hingga 3,4 kali lebih tinggi daripada wanita dengan menarche yang datang pada usia normal atau lebih dari 12 tahun;

  5 Wanita yang mengalami masa menopause-nya terlambat lebih dari 55 tahun, resikonya 2,5 hingga 5 kali lebih tinggi;

  6 Wanita yang pernah mengalami infeksi, trauma atau tumor jinak payudara, resikonya 3 hingga 9 kali lebih besar;

  7 Wanita dengan kanker pada payudara kontra-lateral, resikonya 3 hingga 9 kali lebih besar;

  8 Wanita yang pernah mengalami penyinaran (radiasi) di dinding dada, resikonya 2 hingga 3 kali lebih tinggi;

  9 Wanita dengan riwayat keluarga ada yang menderita kanker payudara pada ibu, saudara perempuan ibu, saudara perempuan, adik/kakak, resikonya 2 hingga 3 kali lebih tinggi; dan

10 Wanita yang memakai kontrasepsi oral pada penderita tumor payudara jinak akan meningkatkan kanker payudara 11 kali lebih tinggi.

2.3.2. Gejala Klinis Kanker Payudara

  Menurut Luwia (2004), gejala kanker payudara pada tahap dini biasanya tidak menimbulkan keluhan. Penderita merasa sehat, tidak nyeri dan tidak terganggu aktivitas sehari-hari. Satu-satunya gejala yang mungkin dirasakan pada stadium dini adalah adanya benjolan kecil di payudara. Keluhan baru timbul bila penyakit sudah memasuki stadium lanjut, Keluhan yang dirasakan seperti: (a) Ada benjolan pada payudara bila diraba dengan tangan; (b) Bentuk dan ukuran payudara berubah, berbeda dari sebelumnya; (c) Luka pada payudara yang sudah lama, tidak sembuh dengan pengobatan; (d) Eksim pada puting susu dan sekitarnya yang sudah lama, tidak sembuh dengan pengobatan; (e) Keluar darah, nanah, atau cairan encer dari puting susu atau keluar air susu pada wanita yang tidak sedang hamil atau tidak sedang menyusui; (f) Puting susu tertarik ke dalam; (g) Kulit payudara mengerut seperti kulit jeruk (Peaud de orange).

2.3.3. Tipe Kanker Payudara

  Menurut Smeltzer & Bare (2001) beberapa tipe kanker payudara adalah sebagai berikut:

  1. Karsinoma duktal menginfiltrasi Karsinoma ini adalah tipe histologis yang paling umum, merupakan 75% dari semua jenis kanker payudara. Prognosis tipe ini lebih buruk dibandingkan dengan tipe lainnya (Bonadonna, 1984).

  2. Karsinoma lobular menginfiltrasi.

  Karsinoma lobular invasif adalah tipe kanker payudara yang tersering kedua. Walaupun tingkat kejadian menurut literatur antara 1% dan 20%, tetapi jumlahnya sampai 15% dan semua kasus kanker payudara. Tipe ini biasanya terjadi pada suatu area penebalan yang tidak baik pada payudara bila dibandingkan dengan tipe duktal menginfiltrasi. Lebih umum multisentris dengan demikian dapat terjadi penebalan beberapa area pada salah satu atau kedua payudara.

  3. Karsinoma Medular Karsinoma ini menempati sekitar 6% dari kanker payudara dan tumbuh dalam kapsul di dalam duktus. Tipe tumor ini dapat menjadi besar tetapi meluas dengan lambat, sehingga prognosisnya sering kali lebih baik.

  4. Kanker Musinus Karsinoma ini menempati sekitar 3% dari kanker payudara. Menghasilkan lendir pertumbuhannya lambat sehingga kanker ini juga mempunyai prognosis yang lebih baik dari lainnya (Smeltzer & Bare, 2001; Bonadonna, 1984)

  (5). Kanker duktal-tubular Kanker ini jarang terjadi, yakni hanya menempati 2% dari kanker, karena metastase aksilaris secara histologi tidak lazim.

2.3.4 Pencegahan Kanker Payudara

  Menurut Sutjipto (2001), pencegahan penyakit kanker payudara masih sulit diterapkan karena faktor penyebabnya masih dalam penelitian. Saat ini, yang dapat dicegah adalah aspek "life style" serta mengurangi faktor risiko yang memungkinkan timbulnya kanker payudara. Usaha satu-satunya untuk meningkatkan angka penyembuhan pasien kanker payudara adalah dengan mendeteksi secara dini keberadaan kanker payudara tersebut.

  Pencegahan primer adalah langkah yang dilakukan untuk menghindari diri dari berbagai faktor resiko yakni dengan cara: (a) Mengurangi makanan yang mengandung lemak tinggi; (b) Memperbanyak aktifitas fisik dengan berolahraga. (c)Hindari penggunaan BH yang terlalu ketat dalam waktu lama; (d) Hindari banyak merokok dan mengkonsumsi alkohol; (e) Menghindari terlalu banyak terkena sinar X atau jenis-jenis radiasi lainnya; (f) Makanlah produk kedelai serta produk olahannya seperti tahu atau tempe. Kedelai selain mengandung flanoid yang berguna untuk mencegah kanker, juga mengandung genestein yang berfungsi sebagai estrogen nabati (phytoestrogen). Estrogen nabati ini akan menempel pada reseptor estrogen sel-sel epitel saluran kelenjar susu, sehingga akan menghalangi estrogen asli untuk menempel pada saluran susu yang akan merangsang tumbuhnya sel kanker; (g)Mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung serat. Serat akan menyerap zat-zat yang bersifat karsinogen dan lemak, yang kemudian membawanya keluar melalui feses. Serat yang dibutuhkan menurut National Cancer Institut, USA adalah 20-30 gram setiap hari; (h) Memperbanyak mengkonsumsi buah-buahan dan sayuran, terutama yang mengandung vitamin C, zat anti oksidan dan fitokimia, seperti jeruk, wortel tomat, labu, pepaya, mangga, brokoli, bayam, kangkung, kacang-kacangan dan biji-bijian; (i) Penggunaan obat-obat hormonal harus dengan sepengetahuan.

2.3.5. Faktor-faktor yang Memengaruhi Wanita Mengalami Kanker Payudara

  Menurut Moningkey dan Kodim dalam (Berthold, 2000), penyebab spesifik kanker payudara masih belum diketahui, tetapi terdapat banyak faktor yang diperkirakan mempunyai pengaruh terhadap terjadinya kanker payudara diantaranya: 1.

  Faktor reproduksi: Karakteristik reproduktif yang berhubungan dengan risiko terjadinya kanker payudara adalah nuliparitas, menarche pada umur muda, menopause pada umur lebih tua, dan kehamilan pertama pada umur tua. Risiko utama kanker payudara adalah bertambahnya umur. Diperkirakan, periode antara terjadinya haid pertama dengan umur saat kehamilan pertama merupakan window

  of initiation perkembangan kanker payudara. Secara anatomi dan fungsional,

  payudara akan mengalami atrofi dengan bertambahnya umur. Kurang dari 25% kanker payudara terjadi pada masa sebelum menopause sehingga diperkirakan awal terjadinya tumor terjadi jauh sebelum terjadinya perubahan klinis.

  2. Penggunaan hormon: Hormon eksogen berhubungan dengan terjadinya kanker payudara. Berbagai penelitian menyatakan bahwa terdapat peningkatan kanker payudara yang bermakna pada para pengguna terapi estrogen replacement. Suatu metaanalisis menyatakan bahwa walaupun tidak terdapat risiko kanker payudara pada pengguna kontrasepsi oral, wanita yang menggunakan obat ini untuk waktu yang lama mempunyai risiko tinggi untuk mengalami kanker ini sebelum menopause.

  3. Penyakit fibrokistik: Pada wanita dengan adenosis, fibroadenoma, dan fibrosis, tidak ada peningkatan risiko terjadinya kanker payudara. Pada hiperplasia dan papiloma, risiko sedikit meningkat 1,5 sampai 2 kali. Sedangkan pada hiperplasia atipik, risiko meningkat hingga 5 kali.

  4. Obesitas: Terdapat hubungan yang positif antara berat badan dan bentuk tubuh dengan kanker payudara pada wanita pasca menopause. Variasi terhadap kekerapan kanker ini di negara-negara barat dan bukan barat serta perubahan kekerapan sesudah migrasi menunjukkan bahwa terdapat pengaruh diet terhadap terjadinya keganasan ini.

  5. Konsumsi lemak: Konsumsi lemak diperkirakan sebagai suatu faktor risiko terjadinya kanker payudara. Willet dkk. melakukan studi prospektif selama 8 tahun tentang konsumsi lemak dan serat dalam hubungannya dengan risiko kanker payudara pada wanita umur 34 sampai 59 tahun.

  6. Radiasi: Paparan dengan radiasi ionisasi selama atau sesudah pubertas meningkatkan terjadinya risiko kanker payudara. Dari beberapa penelitian yang dilakukan disimpulkan bahwa risiko kanker radiasi berhubungan secara linier dengan dosis dan umur saat terjadinya paparan.

  7. Riwayat keluarga dan faktor genetik: Riwayat keluarga merupakan komponen yang penting dalam riwayat penderita yang akan dilaksanakan skrining untuk kanker payudara. Terdapat peningkatan risiko keganasan ini pada wanita yang keluarganya menderita kanker payudara. Pada studi genetik ditemukan bahwa kanker payudara berhubungan dengan gen tertentu. Apabila terdapat BRCA 1, yaitu suatu gen kerentanan terhadap kanker payudara, probabilitas untuk terjadi kanker payudara sebesar 60% pada umur 50 tahun dan sebesar 85% pada umur 70 tahun.

2.4. Kecemasan

2.4.1 Pengertian Kecemasan

  Kecemasan adalah manifestasi dari berbagai proses emosi yang bercampur baur, yang terjadi ketika orang sedang mengalami tekanan perasaan (frustasi) dan pertentangan batin (konflik) (Daradjat, 2009). Sedangkan menurut Stuart dan Sundeen (2005) kecemasan adalah respons emosional terhadap penilaian intelektual terhadap sesuatu yang berbahaya.

  Selanjutnya Mansjoer (2007) menambahkan bahwa kecemasan adalah suatu kekhawatiran yang berlebihan dan dihayati disertai berbagai gejolak somatik seperti: ketegangan motorik (gemetar, gelisah dan nyeri kepala), hiperaktifitas (sesak nafas, keringat berlebihan dan gejala gastrointestinal) yang menyebabkan gangguan dalam fungsi sosial dan pekerjaan pasien.

  Taylor (1953) dalam Tailor Manifest Anxiety Scale (TMAS) mengemukakan bahwa kecemasan merupakan suatu perasaan subyektif mengenai ketegangan mental yang menggelisahkan sebagai reaksi umum dari ketidakmampuan mengatasi suatu masalah atau tidak adanya rasa aman.

  Menurut Massion, Warshaw, & Keller (1993) kecemasan merupakan gangguan yang ditandai dengan perasaan ketakutan pada sesuatu yang akan terjadi secara berlebihan. Menurut Lang (1997) kecemasan dapat diartikan sebagai energi yang tidak dapat diukur, namun dapat dilihat secara tidak langsung melalui tindakan individu tersebut, misalnya berkeringat, sering buang air besar, kulit lembab, nafsu makan menurun, tekanan darah, nadi dan pernafasan meningkat (Trismiati, 2004).

  Sedangkan menurut Sobur (2003) (dalam Trismiati, 2004). Kecemasan adalah ketakutan yang tidak nyata, suatu perasaan terancam sebagai tanggapan terhadap sesuatu yang sebenarnya tidak mengancam. Menurut Warga (1983) kecemasan merupakan ketakutan terpusat pada sebuah object seperti emosi yang menimbulkan suatu reaksi seperti kegelisahan, ketakutan yang ditandai dengan tekanan darah, jantung yang semakin meningkat dan sebagainya. Yang mana hal ini merupakan antisipasi emosi tindakan sebagai alat penekan (Trismiati, 2004). Menurut Kaplan (1997) kecemasan adalah respon terhadap suatu ancaman yang sumbernya tidak diketahui, internal, samar-samar atau konfliktual (Idrus, 2006).

  Dari beberapa uraian di atas peneliti dapat menyimpulkan bahwa kecemasan adalah suatu perasaan subyektif mengenai ketegangan mental yang menggelisahkan sebagai reaksi umum dari ketidakmampuan mengatasi suatu masalah atau tidak adanya rasa aman. Perasaan yang tidak menentu tersebut pada umumnya tidak menyenangkan yang nantinya akan menimbulkan atau disertai perubahan fisiologis (misal gemetar, berkeringat, detak jantung meningkat) dan psikologis (misal panik, tegang, bingung, tidak bisa berkonsentrasi).

2.4.2 Gejala-gejala Kecemasan

  Menurut Idrus (2006) gejala kecemasan baik yang sifatnya akut maupun kronik (menahun) merupakan komponen utama bagi hampir semua gangguan kejiwaan. Secara klinis menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental

  Disorder IV (DSM IV) gejala kecemasan dibagi atas: a.

  Gangguan panik dengan atau tanpa agorafobia.

  b.

  Agorafobia tanpa riwayat gangguan panik.

  c.

  Fobia spesifik.

  d.

  Fobia sosial.

  e.

  Obsesi kompulsif.

  f.

  Gangguan stress pasca trauma.

  g.

  Gangguan Cemas Menyeluruh(Generalized Anxiety Disorder).

  h.

  Gangguan Cemas karena Kondisi Medis Umum (Anxiety Disorder Due To Medical Condition ). i.

  Gangguan cemas yang disebabkan oleh subtansi zat (Substance Induced Anxiety

  Disorder) (Idrus, 2006)

  Ansietas dimasukkan dalam kelompok gangguan neurotik, gangguan yang berhubungan dengan stres dan somatoform. Kelompok ini terbagi dalam: 1)

  Gangguan Ansietas Fobik yang terdiri atas: a.

  Agorafobia dengan atau tanpa gangguan panik.

  b.

  Fobia Sosial.

  c.

  Fobia Spesifik. 2)

  Gangguan ansietas yang lain (other anxiety disorder) yang terdiri atas: a.

  Gangguan Panik (panic disorder).

  b.

  Gangguan cemas menyeluruh (generalized anxiety disorder).

  c.

  Gangguan campuran ansietas dan depresi (mixed anxiety disorder).

3) Gangguan obsesi kompulsif.

  4) Gangguan reaksi menuju ke stres berat dan gangguan penyesuaian (reaction to severe stress, and adjustment disorder ).

  Diperkirakan jumlah penduduk yang menderita gangguan kecemasan akut atau kronis mencapai 5% dari jumlah penduduk dengan perbandingan antara wanita dan pria yaitu 2:1. dan diperkirakan antara 2%-4% diantara penduduk di suatu saat dalam kehidupannya pernah mengalami gangguan kecemasan (Idrus, 2006).

  Penderita yang mengalami kecemasan biasanya memiliki gejala-gejala yang khas dan terbagi dalam beberapa fase, yaitu:

  1. Fase 1 (pertama) Keadaan fisik sebagaimana pada fase reaksi peringatan, maka tubuh mempersiapkan diri untuk fight (berjuang), atau flight (lari secepat-cepatnya).

  Pada fase ini tubuh merasakan tidak enak sebagai akibat dari peningkatan sekresi hormon adrenalin dan nor adrenalin. Oleh karena itu, maka gejala adanya kecemasan dapat berupa rasa tegang di otot dan kelelahan, terutama di otot-otot dada, leher dan punggung. Dalam persiapannya untuk berjuang, menyebabkan otot akan menjadi lebih kaku dan akibatnya akan menimbulkan nyeri dan spasme di otot dada, leher dan punggung. Ketegangan dari kelompok agonis dan antagonis akan menimbulkan tremor dan gemetar yang dengan mudah dapat dilihat pada jari-jari tangan (Wilkie, 2000). Pada fase ini kecemasan merupakan mekanisme peningkatan dari sistem syaraf yang mengingatkan kita bahwa system syaraf fungsinya mulai gagal mengolah informasi yang ada secara benar (Asdie, 2000).

  2. Fase 2 (kedua) Disamping gejala klinis seperti pada fase satu, seperti gelisah, ketegangan otot, gangguan tidur dan keluhan perut, penderita juga mulai tidak bisa mengontrol emosinya dan tidak ada motivasi diri (Wilkie, 2000).

  Labilitas emosi dapat bermanifestasi mudah menangis tanpa sebab, yang beberapa saat kemudian menjadi tertawa. Mudah menangis yang berkaitan dengan stres mudah diketahui. Akan tetapi kadang-kadang dari cara tertawa yang agak keras dapat menunjukkan tanda adanya gangguan kecemasan fase dua

  (Asdie, 2000). Kehilangan motivasi diri bisa terlihat pada keadaan seperti seseorang yang menjatuhkan barang ke tanah, kemudian ia berdiam diri saja beberapa lama dengan hanya melihat barang yang jatuh tanpa berbuat sesuatu (Asdie, 2000).

  3. Fase 3 (ketiga) Keadaan kecemasan fase satu dan dua yang tidak teratasi sedangkan

stresor tetap saja berlanjut, penderita akan jatuh ke dalam kecemasan fase tiga.

  Berbeda dengan gejala-gejala yang terlihat pada fase satu dan dua yang mudah di identifikasi kaitannya dengan stres, gejala kecemasan pada fase tiga umumnya berupa perubahan dalam tingkah laku dan umumnya tidak mudah terlihat kaitannya dengan stres. Pada fase tiga ini dapat terlihat gejala seperti: intoleransi dengan rangsang sensoris, kehilangan kemampuan toleransi terhadap sesuatu yang sebelumnya telah mampu ia tolerir, gangguan reaksi terhadap sesuatu yang sepintas terlihat sebagai gangguan kepribadian (Asdie, 2000).

  Respon Fisiologis terhadap Kecemasan 1. Kardiovaskuler; peningkatan tekanan darah, palpitasi, jantung berdebar, denyut nadi meningkat, tekanan nadi menurun, syok dan lain-lain.

  2. Respirasi; napas cepat dan dangkal, rasa tertekan pada dada, rasa tercekik.

  3. Kulit: perasaan panas atau dingin pada kulit, muka pucat, berkeringat seluruh tubuh, rasa terbakar pada muka, telapak tangan berkeringat, gatal-gatal.

  4. Gastrointestinal; Anoreksia, rasa tidak nyaman pada perut, rasa terbakar di epigastrium, nausea, diare.

  5. Neuromuskuler; refleks meningkat, reaksi kejutan, mata berkedip-kedip, insomnia, tremor, kejang, wajah tegang, gerakan lambat.

  Respon Psikologis terhadap Kecemasan: 1. Perilaku: gelisah, tremor, gugup, bicara cepat dan tidak ada koordinasi, menarik diri, menghindar.

  2. Kognitif: gangguan perhatian, konsentrasi hilang, mudah lupa, salah tafsir, blocking, bingung, lapangan persepsi menurun, kesadaran diri yang berlebihan, khawatir yang berlebihan, objektivitas menurun, takut kecelakaan, takut mati dan lain-lain.

  3. Afektif: tidak sabar, tegang, neurosis, tremor, gugup yang luar biasa, sangat gelisah dan lain-lain.

  2.4.3 Penyebab Kecemasan

  Menurut Daradjat (2009), bermacam-macam pendapat tentang sebab-sebab yang menimbulkan kecemasan itu adalah akibat tidak terpenuhinya keinginan- keinginan seksual, karena merasa diri (fisik) kurang dan karena pengaruh pendidikan waktu kecil atau sering terjadi frustasi karena tidak tercapainya yang diinginkan, baik material maupun sosial.

  2.4.4 Tahapan Kecemasan

  Kecemasan ini mempunyai segi-segi yang disadari seperti rasa takut, terkejut, tidak berdaya, terancam dan sebagainya menurut Daradjat (2009), membagi tingkatan kecemasan itu adalah sebagai berikut:

  1. Rasa cemas yang timbul akibat melihat dan mengetahui adanya bahaya yang mengancam jiwanya. Cemas ini lebih dekat pada rasa takut, karena sumbernya jelas pada fikiran.

  2. Rasa cemas yang berupa penyebab dan terlihat dalam beberapa bentuk yang paling sederhana adalah cemas yang umum, dimana orang merasa cemas (takut) yang kurang jelas, tidak tertentu dan tidak ada hubungan dengan apa-apa, serta takut itu memengaruhi kesehatan diri sendiri.

3. Cemas karena merasa berdosa atau bersalah, karena melakukan hal-hal yang berlawanan dengan keyakinan akan hati nurani.

2.4.5. Gejala Kecemasan

  Gejala kecemasan menurut Daradjat (2009) membagi menjadi 2 yaitu: 1. Gejala Fisik

  Ujung-ujung jari terasa dingin, pencernaan tidak teratur, pukulan jantung cepat, keringat bercucuran, tidur tidak nyenyak, nafsu makin hilang, kepala pusing.

2. Gejala Mental

  Sangat takut, merasa akan diterpa bahaya akan kecelakaan, tidak bisa memusatkan perhatian, tidak berdaya, hilang kepercayaan pada diri, tidak tenteram, ingin lari dari kenyataan hidup dan sebagainya.

2.4.6. Klasifikasi Kecemasan

  Tingkat kecemasan mulai dari gejala umum yang non spesifik yang sering merupakan fungsi emosi sampai cemas yang patologi yang biasanya merupakan kondisi yang melampaui batas normal.

  Menurut Stuart dan Sundeen (2005) tingkatan kecemasan adalah sebagai berikut:

  1. Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan meningkatkan lahan persepsinya. Kecemasan dapat memotivasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan dan kreatif.

  2. Kecemasan sedang memungkinkan seseorang memusatkan perhatian pada hal penting dan mengesampingkan yang lain, sehingga seseorang mengalami perhatian yang selektif namun dapat melakukan sesuatu yang lebih baik.

  3. Kecemasan berat sangat mengurangi lahan persepsi seseorang. Seseorang cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang terinci dan spesifik, dan tidak dapat berfikir tentang hal yang lain. Semua perilaku ditunjukkan untuk mengurangi ketegangan. Orang tersebut memerlukan banyak pengarahan untuk dapat memusatkan pada satu area lain.

2.4.7. Teori Kecemasan

  Kecemasan merupakan suatu respon terhadap situasi yang penuh dengan tekanan. Stres dapat didefinisikan sebagai suatu persepsi ancaman terhadap suatu harapan yang mencetuskan cemas. Hasilnya adalah bekerja untuk melegakan tingkah laku (Rawlins, 1993). Stress dapat berbentuk psikologis, sosial atau fisik. Beberapa teori memberikan kontribusi terhadap kemungkinan faktor etiologi dalam pengembangan kecemasan. Teori-teori tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Teori Psikodinamik Freud (1993) mengungkapkan bahwa kecemasan merupakan hasil dari konflik psikis yang tidak disadari. Kecemasan menjadi tanda terhadap ego untuk mengambil aksi penurunan cemas. Ketika mekanisme diri berhasil, kecemasan menurun dan rasa aman datang lagi. Namun bila konflik terus berkepanjangan, maka kecemasan ada pada tingkat tinggi. Mekanisme pertahanan diri dialami sebagai simtom, seperti phobia, regresi dan tingkah laku ritualistik. Konsep psikodinamik menurut Freud ini juga menerangkan bahwa kecemasan timbul pertama dalam hidup manusia saat lahir dan merasakan lapar yang pertama kali.

  Saat itu dalam kondisi masih lemah, sehingga belum mampu memberikan respon terhadap kedinginan dan kelaparan, maka lahirlah kecemasan pertama.

  Kecemasan berikutnya muncul apabila ada suatu keinginan dari id untuk menuntut pelepasan dari ego, tetapi tidak mendapat restu dari super ego, maka terjadilah konflik dalam ego, antara keinginan yang ingin pelepasan dan sangsi dari super ego lahirlah kecemasan yang kedua. Konflik-konflik tersebut ditekan dalam alam bawah sadar, dengan potensi yang tetap tak terpengaruh oleh waktu, sering tidak realistik dan dibesar-besarkan. Tekanan ini akan muncul ke permukaan melalui tiga peristiwa, yaitu: sensor super ego menurun, desakan id meningkat dan adanya stress psikososial, maka lahirlah kecemasan-kecemasan berikutnya (Prawirohusodo, 2000).

  2. Teori Perilaku Menurut teori perilaku, kecemasan berasal dari suatu respon terhadap stimulus khusus (fakta), waktu cukup lama, seseorang mengembangkan respon kondisi untuk stimulus yang penting. Kecemasan tersebut merupakan hasil frustasi, sehingga akan mengganggu kemampuan individu untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

  3. Teori Interpersonal Menjelaskan bahwa kecemasan terjadi dari ketakutan akan penolakan antar individu, sehingga menyebabkan individu bersangkutan merasa tidak berharga.

  4. Teori Keluarga Menjelaskan bahwa kecemasan dapat terjadi dan timbul secara nyata akibat adanya konflik dalam keluarga.

  e. Teori Biologik Beberapa kasus kecemasan (5 - 42%), merupakan suatu perhatian terhadap proses fisiologis. Kecemasan ini dapat disebabkan oleh penyakit fisik atau keabnormalan, tidak oleh konflik emosional. Kecemasan ini termasuk kecemasan sekunder (Stuart and Sundeen, 2005).

2.4.8. Aspek-Aspek Kecemasan

  Carnegie (2007) menyatakan bahwa kecemasan berasal dari dua aspek, yakni aspek kognitif dan aspek kepanikan yang terjadi pada seseorang, diantaranya adalah:

  1. Aspek kognitif

  a. Kecemasan disertai dengan persepsi bahwa seseorang sedang berada dalam bahaya atau terancam atau rentan dalam hal tertentu, sehingga gejala fisik kecemasan membuat seseorang siap merespon bahaya atau ancaman yang menurutnya akan terjadi.

  b. Ancaman tersebut bersifat fisik, mental atau sosial, diantaranya adalah: 1) Ancaman fisik terjadi ketika seseorang percaya bahwa ia akan terluka secara fisik, 2) Ancaman mental terjadi ketika sesuatu membuat khawatir bahwa dia akan menjadi gila atau hilang ingatan.

  3) Ancaman sosial terjadi ketika seseorang percaya bahwa ia akan ditolak, dipermalukan, merasa malu atau dikecewakan.

  c. Persepsi ancaman berbeda-beda untuk setiap orang

  d. Sebagian orang, karena pengalaman mereka bisa terancam dengan begitu mudahnya dan akan lebih sering cemas. Orang lain mungkin akan memiliki rasa aman dan keselamatan yang lebih besar. Tumbuh di lingkungan yang kacau dan tidak stabil bisa membuat seseorang menyimpulkan bahwa dunia dan orang lain selalu berbahaya.

  e. Pemikiran tentang kecemasan berorientasi pada masa depan dan sering kali memprediksi malapetaka. Pemikiran tentang kecemasan sering dimulai dengan keragu-raguan dan berakhir dengan hal yang kacau. Pemikiran tentang kecemasan juga sering meliputi citra tentang bahaya. Pemikiran-pemikiran ini semua adalah masa depan dan semuanya memprediksi hasil yang buruh.

  2. Aspek kepanikan Panik merupakan perasaan cemas atau takut yang ekstrem. Rasa panik terdiri atas kombinasi emosi dan gejala fisik yang berbeda. Seringkali rasa panik ditandai dengan adanya perubahan sensasi fisik atau mental, dalam diri seseorang yang menderita gangguan panik, terjadi lingkaran setan dan saat gejala-gejala fisik, emosi, dan pemikiran saling berinteraksi dan meningkat dengan cepat. Pemikiran ini menimbulkan ketakutan dan kecemasan serta merangsang keluarnya adrenalin.

  Pemikiran yang katastrofik dan reaksi fisik serta emosional yang lebih intens yang terjadi bisa menimbulkan dihindarinya aktivitas atau situasi saat kepanikan telah terjadi sebelumnya.

2.4.9. Manajemen Kecemasan

  Menurut Kaplan dan Sadock (1997), bahwa manajemen kecemasan terdiri atas 2 bagian yaitu:.

  a. Manajemen Kecemasan dengan Penggunaan Obat Paps melakukan percobaan pengontrolan terhadap placebo yang mengalami gangguan kecemasan meninggalkan beberapa keraguan, bahwa anti depressan yang paling baru efektif untuk gangguan kecemasan. Karena bekerja lebih cepat dan memiliki efek samping yang lebih kecil daripada obat-obatan

  

trycyclic dan inhibitors monoamine oxidase, sebagai permulaan, penulisan resep

  obat kepada pasien-pasien kecemasan harus terus dilanjutkan. Akan tetapi kebanyakan ahli klinis percaya bahwa hasil terbaik untuk gangguan kecemasan berasal dari kombinasi obat-obatan dengan satu atau lebih tipe psikoterapi.

  b. Manajemen Kecemasan melalui Psikoterapi Salah satu metode yang efektif untuk mengatasi gangguan kecemasan adalah pemberian psikoterapi untuk kognitif dan tingkah laku. Walaupun terdapat banyak klaim yang menyatakan bahwa sulit untuk mengganti perawatan psikologis dengan percobaan penyelidikan, ilmuwan telah mengembang kapasitas untuk menerapkan rancangan penelitian yang tepat termasuk randomisasi dan penilaian buta untuk terapi tingkah laku-kognitif. Sebagaimana penjelasan yang disampaikan oleh Lawrence Welkowitz, hasilnya telah didokumentasikan bahwa terapi tingkah laku kognitif itu efektif untuk mayoritas gangguan kecemasan.

2.4.10. Respon Kecemasan

  Menurut Carnegie (2007) ada 2 respon kecemasan yaitu respon fisiologis dan respon psikologis terhadap kecemasan:

  1. Respon Fisiologi terhadap Kecemasan

  a) Kardiovaskuler Peningkatan tekanan darah, palpitasi, jantung berdebar, denyut nadi meningkat, tekanan nadi menurun, syok dan lain-lain.

  b) Respirasi Napas cepat dan dangkal, rasa tertekan pada dada, rasa tercekik. c) Kulit Perasaan panas atau dingin pada kulit, muka pucat, berkeringat seluruh tubuh, rasa terbakar pada muka, telapak tangan berkeringat, gatal-gatal.

  d) Gastro intestinal Anoreksia, rasa tidak nyaman pada perut, rasa terbakar di epigastrium, nausea, diare.

  e) Neuromuskuler Refleks meningkat, reaksi kejutan, mata berkedip-kedip, insomnia, tremor, kejang, wajah tegang, gerakan lambat.

  2. Respon Psikologis terhadap Kecemasan

  a) Perilaku Gelisah, tremor, gugup, bicara cepat dan tidak ada koordinasi, menarik diri, menghindar.

  b) Kognitif Gangguan perhatian, konsentrasi hilang, mudah lupa, salah tafsir, blocking, bingung, lapangan persepsi menurun, kesadaran diri yang berlebihan, khawatir yang berlebihan, objektifitas menurun, takut kecelakaan, takut mati dan lain-lain.

  c) Afektif Tidak sabar, tegang, neurosis, tremor, gugup yang luar biasa, sangat gelisah dan lain-lain.

  Blackburn dan Davidson (2004), membuat analisis fungsional gangguan kecemasan yang menjelaskan reaksi terhadap kecemasan. Analisis tersebut digambarkan dalam Tabel 2.1. berikut:

Tabel 2.1. Analisis Gangguan Fungsional Kecemasan dari Blackburn dan Davidson

  Simtom-simtom Psikologis Keterangan

  Suasana hati Kecemasan, muda marah, perasaan sangat tegang Motivasi Khawatir, sukar berkonsentrasi, pikiran kosong, membesar-besarkan ancaman, memandang diri sebagai sangat sensitif, tidak berdaya

  Perilaku Gelisah, gugup, kewaspadaan berlebihan Gejala biologis Gerakan otomatis meningkat: berkeringat, gemetar, pusing, berdebar-debar, mual, mulut kering

  Sumber: Blackburn dan Davidson, 2004

2.4.11 Sumber Koping

  Individu dapat mengatasi stres dan kecemasan dengan mengerahkan sumber koping di lingkungan, salah satu diantaranya adalah dengan dukungan sosial yang dapat membantu seseorang mengintegrasikan pengalaman yang menimbulkan kecemasan dan mengadopsi strategi koping yang berhasil (Stuart dan Sundeen, 2005).

  Dari studi kepustakaan yang dibuat oleh Lewis pada tahun 1970, ditemukan bahwa istilah ansietas mulai diperbincangkan pada permulaan abad ke-20. Kata dasar ansietas dalam bahasa Indo Jerman adalah ‘’angh’’ yang dalam bahasa latin berhubungan dengan kata ‘’angustus, ango, angor, anxius, ansietas, angina”.

  Kesemuanya mengandung arti ‘’sempit” atau ‘’konstriksi” (Idrus, 2006). Pada tahun 1894, Freud menciptakan istilah ‘’anxiety neurosis’’. Kata anxiety diambil dari kata

  

‘’angst” yang berarti ‘’ketakutan yang tidak–perlu’’. Pada mulanya Freud

  mengartikan ansietas itu sebagai transformasi lepasnya ketegangan seksual yang menumpuk melalui system saraf otonom dengan menggunakan saluran pernafasan.

Dokumen yang terkait

Tingkat Pengetahuan Penderita Dan Keluarga Penderita Tentang Kanker Payudara Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2013

1 52 84

Pengaruh Konsep Diri Negatif Terhadap Depresi Postpartum di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan Tahun 2013

3 78 142

Pengaruh Tingkat Pengetahuan dan Konsep Diri Perempuan Penderita Kanker terhadap Tingkat Kecemasan Menghadapi Kemoterapi di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan

0 33 205

Gambaran Konsep Diri Klien yang Menjalani Hemodialisa di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan

14 81 109

Pengetahuan Penderita Kanker Tentang Kemoterapi Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 20 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengetahuan 2.1.1. Definisi Pengetahuan - Tingkat Pengetahuan Penderita Dan Keluarga Penderita Tentang Kanker Payudara Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2013

0 0 19

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Tingkat Kecemasan Suami Dalam Menghadapi Istri yang Menjalani Sectio Caesarea di Rumah Sakit Umum Mitra Sejati Medan tahun 2014

0 0 13

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Pengetahuan - Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu dengan Status Imunisasi Anak di Sekolah Dasar Negeri 064979 Medan

0 0 17

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Pengaruh Konsep Diri Negatif Terhadap Depresi Postpartum di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan Tahun 2013

0 0 8

1. Pengertian kanker payudara - Pengaruh Tingkat Pengetahuan dan Konsep Diri Perempuan Penderita Kanker terhadap Tingkat Kecemasan Menghadapi Kemoterapi di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan

0 0 68