BUDAYA SIRI’ DAN PESSE’ DALAM BINGKAI AKUNTANSI MAKASSAR ANDI FAISAL

  BUDAYA SIRI’ DAN PESSE’ DALAM BINGKAI

AKUNTANSI MAKASSAR

ANDI FAISAL

  

Universitas Hasanuddin

a bstract

  

This paper aims to uncover the veil of cultural capitalism in the discourse and practice of accounting today, and

offers a paradigmatic change by entering values siri’ and pesse’ culture Bugis - Makassar into the discourse and

practice of accounting. Cultural values of capitalism are firmly entrenched in the current accounting practice caused

the practice - the practice of cheating. Cheating is suspected to occur because of the paradigm that puts the human

being as subject selfish. siri and pesse’ value are integrated into the discourse and practice of accounting can make

accounting have independence, honesty and integrity are more firmly entrenched in him.

  Keywords: Siri’, Pesse, Cultural, Accounting

a bstrak

  

Tulisan ini bertujuan untuk membongkar selubung budaya kapitalisme dalam diskursus dan praktek akuntansi

saat ini, dan menawarkan perubahan paradigmatic dengan memasukkan nilai-nilai siri’ dan pesse’ budaya Bugis –

Makassar ke dalam diskursus dan praktek akuntansi. Nilai budaya kapitalisme yang tertanam kuat dalam praktek

akuntansi saat ini menyebabkan terjadinya praktek-praktek kecurangan. Kecurangan tersebut ditengarai terjadi

karena adanya paradigm yang menempatkan manusia sebagai subjek yang hanya mementingkan diri sendiri.

nilai siri’ dan pesse’ yang diintegrasikan kedalam diskursus dan praktek akuntansi dapat menjadikan akuntansi

memiliki independensi, kejujuran dan integritas yang semakin tertanam kuat dalam dirinya.

  Kata Kunci: Siri’, Pesse, Budaya, Akuntansi

P enDahuluan

  Budaya dapat diklasifikasi kedalam kerangka pemikiran dan kerangka fisik. Dalam kerangka pemikiran budaya memberikan suatu mindset atau sudut pandang tertentu tentang bagaimana seharusnya manusia berprilaku dalam kehidupan sehari-harinya. Sedangkan dalam kerangka fisik budaya dicerminkan dalam suatu symbol tertentu yang membedakan antara satu budaya dengan budaya yang lain, seperti Budaya Jawa, Bali, Bugis-Makassar, dan lain-lain.

  Mindset atau sudut pandang budaya

  tertentu, secara khusus Budaya Bugis- Makassar berisi tujuan hidup, nilai-nilai, serta prinsip-prinsip yang harus dianut oleh setiap orang yang hidup dalam budaya tersebut. Kebanyakan nilai-nilai yang terkandung dalam

  Budaya Bugis-Makassar lebih bersifat intuitif ketimbang rasional. Hal tersebut disebabkan karena tujuan hidup bersama lebih pada bagaimana menyelaraskan diri dengan alam bukan bagaimana menaklukkan alam.

  Masuknya modernisasi di berbagai bidang kehidupan, turut serta membawa masuk nilai- nilai budaya masyarakat Barat. Nilai-nilai yang dulunya dipandang sacral dan dipegang kuat, digeser dan diganti dengan nilai-nilai Barat. Pandangan hidup masyarakat yang bersifat holistic dan transendental digeser oleh pandangan hidup yang pragmatis dan materialis. Konsep etika masyarakat yang dulunya didasarkan atas perenungan intutitif dan penghayatan akan nilai-nilai spritualitas digeser oleh etika yang berbasis pada rasionalisme dan utilitarianisme.

  

Kuriositas, Edisi VIII, Vol. 2, Desember 2015

  Masuknya budaya masyarakat Barat, ditunjang oleh teknologi informasi dan paradigm yang mendasari bangunan ilmu pengetahuan ilmiah. ilmu pengetahuan ilmiah mengklaim dirinya objektif dan bebas nilai serta bertujuan hanya untuk mengungkap hakekat fenomana yang ada. Namun dalam dua dekade terakhir ini, klaim tersebut terbukti hanyalah mitos yang diciptakan oleh sekelompok ilmuan untuk memposisikan dirinya sebagai penguasa tunggal klaim kebenaran.

  Paradigma yang dibawa oleh ilmu pengetahuan ilmiah, memuluskan jalan bagi kapitalisme untuk mencengkram umat manusia kedalam suatu mekanisme ekonomi yang berpusat pada hasrat tidak terbatas. Kapitalisme melepaskan aspek desire dalam diri manusia dan mengebiri aspek spiritualnya. Manusia direduksi menjadi sekedar binatang yang hidup hanya untuk memuaskan keinginannya. Akibatnya, segala bentuk nilai dan moralitas juga direduksi menjadi moralitas pragmatis. Asal bisa bertahan hidup, maka tidak perlu peduli dengan lingkungan bahkan orang lain. Itulah semangat moralitas dalam budaya kapitalisme. (Piliang, 2004)

  Nilai-nilai tersebut menggrogoti tatanan hidup masyarakat dan mencabut masyarakat dari akar historisnya. Apa yang terjadi sekrang ini merupakan suatu bentuk “akuisisi budaya” dimana budaya dan nilai masyarakat barat melebur dan menggantikan budaya dan nilai yang ada dalam masyarakat. Saat ini, masyarakat memandang apa saja yang datang dari barat sebagai sesuatu yang rasional dan membuat kemajuan. Namun sebaliknya, apa saja yang bersumber dari kearifan lokal dipandang sebagai sesuatu yang irrasional dan terbelakang. Hal tersebut merupakan tantangan terbesar bagi pengembangan akuntansi yang berbasis pada kearifan lokal. Kebanyakan mahasiswa bahkan dosen masih menganggap akuntansi sebagai sesuatu yang objektif dan bebas nilai (value free),dan tidak hanya seperti itu, mereka memandang sinis setiap upaya untuk mengkaji akuntansi dalam perspektif yang berbeda (budaya).

  Artikel ini hanyalah salah satu dari ratusan, bahkan ribuan dan jutaan artikel yang telah membahas dan membuktikan secara argumentatif bahwa positivisme yang selama ini menjadi mainstream paradigm di bidang akuntansi,ternyata hanyalah suatu ilmu yang merupakan produk dari budaya kapitalisme. Hal tersebut dibuktikan dengan argumentasi bahwa kapitalisme merupakan suatu system ekonomi yang tujuan utamanya adalah maksimum utility. Akan tetapi merubah paradigm seseorang apalagi suatu komunitas tidaklah mudah. Hal tersebut dikarenakan paradigm merupakan kaca mata yang dipakai sesorang dalam melihat dunia. Mengganti paradigm berarti mencoba mencarikan suatu kaca mata baru bagi seseorang yang belum tentu sesuai dengan dirinya (kepentingannya). Meskipun demikian, setiap tulisan yang mencoba memberikan suatu perspektif baru dalam melihat realitas akuntansi, akan sangat bermanfaat bagi perkembangan kajian akuntansi.

  Penulis meyakini bahwa perbaikan suatu bangsa haruslah diawali dari perbaikan budaya, dan perbaikan suatu budaya diawali dari perbaikan suatu mindset. Olehnya itu setiap tulisan yang mengkaji tentang nilai-nilai budaya masyarakat kita sendiri, haruslah dipandang sebagai upaya untuk menyelamatkan bangsa dan generasi kita dari krisis indentitas dan kehilangan jati dirinya. Upaya memasukkan nilai-nilai budaya kedalam kajian akuntansi merupakan suatu bentuk perlawanan dengan dua tujuan, yang pertama agar akuntansi dapat mengakomodir kepentingan ekonomi masyarakat kita sendiri, dalam artian akuntansi tidak hanya menjadi pelayan bangsa asing, namun juga menjadi pelayan bangsa sendiri. Kedua, agar setiap individu-individu yang menjadi pelaku akuntansi mempunyai moralitas yang didasarkan pada nilai-nilai transendental.

  

Andi Faisal – Budaya Siri’ dan Pesse dalam Bingkai Akuntansi Makassar

  Pada kesempatan ini, penulis mencoba membahas salah satu nilai yang menjadi prinsip hidup masyarakat Bugis Makassar, yaitu nilai siri’ dan pesse’. Nilai tersebut sengaja penulis pilih dengan alasan, prinsip siri’ dan pesse’ merupakan prinsip hidup yang bersumber dari penghayatan sepenuhnya terhadap hakekat manusia, baik sebagai makhluk individu maupun sosial dan sebagai makhluk materi maupun spiritual.

  Siri’ adalah suatu sistem nilai sosio kultural dan kepribadian yang merupakan prinsip pertahanan harga diri dan martabat manusia sebagai individu dan anggota masyarakat. Siri’ juga bisa diartikan sebagai padangan hidup yang bertujuan mempertahankan harkat dan martabat pribadi, orang lain atau kelompok. Adapun Pesse’ bisa diartikan sebagai rasa kemanusiaan yang adil dan beradab yang menyalakan semangat rela berkorban, bekerja keras dan pantang mundur/menyerah.

  Siri’ yang didalamnya termuat seperangkat nilai budaya merupakan konsep sentral dalam komunitas Bugis-Makassar yang tidak dapat dilepaskan dari konsep pesse’ dan were’. Ketiga konsep tersebut yaitu: Siri’-pesse’- were’ merupakan nilai pembentuk karkater dan watak orang Bugis-Makassar baik didalam kelompoknya maupun ketika berada diluar kelompoknya. Dari ketika konsep nilai tersebut, nilai-nilai yang lain kemudian diturunkan. Adanya konsep siri’ setiap orang Bugis- Makassar menjaga dan mempertahankan harkat dan martabatnya lewat adanya rasa saling memanusiakan yang dibangun melalui konsep Pesse’. Kemudian konsep siri’ dan pesse’ inidijadikan landasan untuk mencapai kesuksesan lewat konsep were’,yaitu prinsip yang mengatakan bahwa kesuksesan hanya bisa dicapai lewat kerja keras yang tidak mengenal lelah dan jenuh. Sebagaimana yang tercermin dalam falsafah hidup masyarakat

  Bugis Makassar.

  Resopa’ temmanginggi’ nalomo’ nalettei’ pammase’ dewata’. Artinya hanya dengan

  kerja keras dan ketekunan, maka Tuhan akan menurunkan rahmatnya. Prestasi yang diperoleh lewat Were’ akan menjaga dan mengangkat siri’ dan kemudian pada akhirnya akan semakin mempertebal rasa kemanusiaan diantara sesama. Jadi, ketiga nilai tersebut merupakan nilai yang saling menghubungkan dan saling melengkapi dalam menciptakan keharmonisan dan kestabilan kehidupan manusia.

Pembahasan Siri’ dan Pesse’ sebagai Prinsip Hidup

  Selain sebagai konsep harga diri, siri’ juga bisa diartikan sebagai prinsip keteguhan hati (Tu tinggi siri’na). yang dimaksud keteguhan hati adalah mampu menentukan sikap terhadap kebenaran dan tidak mudah terombang- ambing oleh dorongan dan ancaman diluar dirinya. Konsep keteguhan hati disini adalah lawan dari sikap pengecut. Hal ini tercermin dalam salah satu teks lontara Bugis, yaitu :

  Naia tau pellorengge dek decenna namo sewwa dek to. Naia tanranna tao pellorengge engka eppa’, maega gau bawang, mage bellena, maraja ngoa dan makurang siri’.

  Artinya: adapun orang penakut itu tidak ada kebaikannya meskipun hanya sedikit. Adapun tanda orang penakut ada empat, yaitu: banyak berbuat salah, banyak dusta, serakah luar biasa dan kurang siri’ (harga diri).

  Nilai siri’ dalam kaitan dengan interaksi sosial kelompok melahirkan prinsip sipakatau’ yang bermakna saling memanusiakan dan sipakalebbi’ yang bermakna saling menghormati, adapun nilai pesse’ melahirkan prinsip sipakainge’ yang bermakna saling mengingatkan. Ketiga nilai tersebut adalah prinsip yang menyatukan komunitas Bugis- Makassar dalam suatu kehidupan bersama di tengah-tengah masyarakat. (Cangara.2012)

  Internalisasi Nilai Siri’ dan Pesse’

  Masyarakat Bugis-Makassar, memandang nilai budaya siri’ dan pesse’ merupakan salah

  

Kuriositas, Edisi VIII, Vol. 2, Desember 2015

satu falsafah hidup yang harus dijunjung tinggi.

  • • Siri’ Ripakasiri’, yaitu Siri’ yang

  Apabila siri’ dan pesse’ tidak dimiliki seseorang, maka orang tersebut dapat berprilaku seperti binatang, sebab tidak memiliki rasa malu, harga diri, dan kepedulian sosial serta hanya ingin menang sendiri dan memperturutkan hawa nafsunya. Siri’ mengajarkan moralitas kesusilaan yang berupa anjuran, larangan, hak dan kewajiban yang mendominasi tindakan manusia untuk menjaga, mempertahankan diri dan kehormatannya. Siri’ adalah rasa malu yang terurai dalam dimensi-dimensi harkat dan martabat manusia, dan sesuatu yang “tabu” bagi masyarakat Bugis-Makassar dalam berinteraksi dengan orang lain. Kata siri’ dapat juga diartikan sebagai pernyataan sikap yang tidak serakah.

  • • Siri’ Mappakasiri’siri’, yaitu rasa malu

  Pesse’ mengajarkan rasa kesetiakawanan dan kepedulian sosial tanpa mementingkan diri sendiri dan golongan. pesse’ merupakan sifat belas kasih dan perasaan menanggung beban dan penderitaan orang lain. Dasar falsafah hidup yang menjiwai dan menjadi pegangan masyarakat bugis- makassar untuk senantiasa hidup baik, di negeri sendiri atau negeri orang lain adalah menjadi manusia yang perkasa dalam menjalani kehidupan. Setiap manusia keturunan Bugis-Makassar dituntut harus memiliki keberanian, pantang menyerah menghadapi tantangan ataupun ujian hidup.

  • • Siri’ Mate Siri’. Siri’ yang satu ini

  berarti juga belas kasih, perikemanusiaan, rasa turut prihatin, berhasrat membantu dan humanisme universal. Jadi, pesse’ adalah perasaan (pernyataan) solidaritas yang terbit dari dalam kalbu yang dapat merangsang kepada suatu tindakan. Pesse’ diarahkan keluar dari dirinya, sedangkan siri’ diarahkan kedalam dirinya. Siri’ dan pesse’ inilah yang mengarahkan tingkah laku masyarakat dalam pergaulan sehari-hari dan sebagai motor penggerak dalam memanifestasikan pola-pola kebudayaan dan sistem sosial.Konsep siri’ dan Pesse’ terdiri dari beberapa tingkatan, yaitu:

  berhubungan dengan harga diri pribadi, serta harga diri atau harkat dan martabat keluarga. Siri’ jenis ini adalah sesuatu yang tabu dan pantang untuk dilanggar karena taruhannya adalah nyawa. Dalam keyakinan orang bugis –makassar, orang yang mati terbunuh karena menegakkan siri’, matinya adalah mati syahid, atau yang mereka sebut sebagai Mate Risantangi

  atau Mate Rigollai, yang artinya,

  kematiannya adalah ibarat kematian yang terbalut santan atau gula.

  seseorang itu hilang “terusik” karena sesuatu hal. Misalnya, ketika seseorang memiliki utang dan telah berjanji untuk membayarnya maka si pihak yang berutang berusaha sekuat tenaga untuk menepati janjinya atau membayar utangnya sebagaimana waktu yang telah ditentukan (disepakati). Ketika sampai waktu yang telah ditentukan, jika si berutang ternyata tidak menepati janjinya, itu artinya dia telah mempermalukan dirinya sendiri. Prinsip siri’ Mappakasiri’siri’ juga dapat mencegah seseorang melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hukum, nilai-nilai moral, agama, adat istiadat dan perbuatan-perbuatan lainnya yang dapat merugikan manusia dan kemanusiaan itu sendiri.

Pesse’ dalam pengertian harfiahnya berarti pedih, dalam makna kulturalnya pesse’

  berhubungan dengan iman. Dalam pandangan orang Bugis- Makassar, orang yang mate siri’-nya adalah orang yang di dalam dirinya sudah tidak ada rasa malu (iman) sedikit pun. Orang seperti ini diapakan juga tidak akan pernah merasa malu, atau yang biasa disebut sebagai bangkai hidup.Betapa hina dan tercelanya orang seperti ini dalam kehidupan masyarakat.

  Akuntansi dalam Bingkai Budaya.

  Budaya berasal dari kata bahasa sangsakerta “budhayah”, yang merupakan

  

Andi Faisal – Budaya Siri’ dan Pesse dalam Bingkai Akuntansi Makassar

  bentuk jamak dari kata “budhi’ yang berarti budi atau akal. Olehnya itu, budaya merupakan seperangkat nilai-nilai yang mendasari segenap tindakan, tujuan dan visi setiap individu yang hidup dalam suatu kelompok (masyarakat) tertentu. (Triantoro.2008)

  Akuntansi sebagaimana ilmu-ilmu sosial yang lain dibentuk oleh manusia dalam suatu kelompok budaya tertentu, sehingga nilai-nilai dalam budaya tersebut turut serta mempengaruhi pembentukan karakter ilmu akuntansi. Dengan kata lain, akuntansi dibentuk oleh lingkungannya melalui interaksi social yang sangat kompleks (Sylvia. 2014).

  Kelompok budaya yang membentuk akuntansi dalam hal ini adalah budaya kapitalisme. Kapitalisme sendiri merupakan suatu system ekonomi yang dibangun diatas tiga nilai utama yaitu: materialism, individualisme dan utilitarianisme.

  Materialismmerupakan paradigma yang

  mengatakan bahwa kehidupan ini hanya terdiri dari materi. Pada dasarnya semua hal adalah materi dan setiap fenomena hanya lahir dari interaksi materi. Materialism tidak mengakui dan menerima adanya realitas diluar realitas materi yang biasa disebut dengan realitas spiritual/transendental. Mereduksi manusia sekedar materi bisa dikatakan telah menurunkan derajat manusia itu sendiri. hal ini sangat berbeda dengan konsep siri’ dalam budaya Bugis-Makassar, dimana manusia dipandang sebagai suatu makhluk yang mempunyai derajat yang sangat tinggi, sehingga melakukan sedikit kesalahan saja dapat menurunkan harkat dan martabatnya. Jika nilai siri’ ini dibawah masuk dalam praktek akuntansi, tentunya independensi auditor atau seorang akuntan dapat lebih terjaga, karena dia tidak hanya melihat dirinya hanyalah materi yang hanya membutuhkan materi. Tapi juga, dirinya adalah seorang manusia yang punya martabat dan harga diri. Jika dalam berkerja dia tidak independen maka tentu akan menghilangkan harga dirinya.

  Individualism sendiri merupakan

  paradigm yang diturunkan dari paradigm materalisme. Paradigm ini menitik beratkan kepada kepentingan individu dibanding kelompok. Hal yang paling utama adalah kepentingan individu. Teori agency yang popular digunakan dalam penelitian di bidang akuntansi,dilahirkan dari paradigm ini yang sangat dominan dalam budaya kapitalisme. Melihat manusia hanya sebagai mahkluk individu akan memicu api keserakahan menjalara di setiap urat nadi manusia itu sendiri. bandingkan dengan nilai pesse’ dalam budaya Bugis – Makassar yang melihat manusia sebagai makhluk individual dan sosial. Pesse’ dalam kultur Bugis – Makassar mengajarkan empati dan sikap altruistik. Seorang akuntan yang memiliki nilai pesse’ dalam dirinya tentu tidak akan melakukan praktek kecurangan yang merugikan pihak lain.

  Utilitirianimsesendiri bisa dikatakan

  sebagai gabungan antara materialism dan individualism. Paradigm ini menyatakan bahwa satu-satunya tujuan hidup manusia adalah memuaskan kebutuhannya. Paradigma ini mengakomidir dan mendorong keserakahan manusia yang tidak terbatas. Dalam akuntansi, paradigm ini diterjemahkan menjadi profitabilitis, yaitu, tujuan utama perusahaan adalah memaksimalkan profitabilitas. Praktik-praktik monopoli yang dilakukan oleh suatu perusahaan dan berbagai pelanggaran lainnya, bermuara dari adanya paradigma ini. Kebutuhan manusia tidak semata-mata kebutuhan material, tapi juga kebutuhan spiritual. Kebutuhan spiritual terjewantahkan dalam bentuk nilai-nilai, baik nilai-nilai yang terkandung dalam agama maupun dalam budaya. Kebutuhan material manusia mendorong untuk terus melakukan penumpukan kekayaan, sementara kebutuhan spiritual manusia senantiasa mendorong untuk saling berbagi diantara sesama manusia. Nilai siri’ dan pesse’ yang termuat didalamnya rasa belas kasih dan kemanusiaan yang tinggi akan mengakomodir kebutuhan spiritual manusia

  

Kuriositas, Edisi VIII, Vol. 2, Desember 2015

  itu sendiri. jika nilai ini diinternalisasi dalam praktek akuntansi, maka aka nada ruang bagi para buruh kasar dan karyawan non managemen mendapatkan tempat yang lebih baik dalam setiap laporan keuangan. Mereka tidak akan dipandang semata-mata sebagai beban atas kinerjanya, namun juga diperlakukan secara lebih terhormat.

  Ketiga paradigma yang menjadi nilai dalam kapitalisme tersebut berujung pada lahirnya persoalan etika yang serius di kalangan akuntansi. Asumsi-asumsi yang dibangun oleh kapitalisme tentang manusia dan realitas, bukanlah asumsi yang sepenuhnya salah. Namun, asumsi-asumsi tersebut hanya melihat manusia pada satu sisi saja dan tidak menerima sisi yang lainnya. Meskipun lembaga penyusun standar akuntansi seperti Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) telah menyusun dan menetapkan seperangkat aturan yang disebut kode etik akuntan. Namun toh, sampai saat ini berbagai kasus dan skandal dalam dunia akuntansi masih terus saja terjadi. Hal tersebut dikarenakan, etika bukanlah sesuatu yang berada diluar diri manusia. Etika merupakan seperangkat nilai yang tertanam dalam diri manusia dalam bentuk potensi. Sehingga apabila mengebiri aspek etika, dalam bentuk individualism, maka manusia hanya akan menjadi makhluk yang kosong dari nilai etika itu sendiri.

  Kode etik yang ditetapkan oleh lembaga penyusun standar akuntansi seperti IAI haruslah dibangun di atas pondasi paradigmatic yang mengakui bahwa pada dasarnya manusia tidak hanya makhluk individual tapi juga makhluk komunal. Manusia tidak hanya punya unsur hedonis tetapi juga altruistic dan manusia tidak hanya makhluk material tapi juga makhluk spiritual. Dengan kata lain, perlu ada pergeseran paradigmatic dalam ranah kajian akuntansi. Akuntansi tidak dapat dilepaskan dari etika, budaya, moralitas dan keagamaan. Definisi akuntansi yang mengatakan bahwa akuntansi adalah kegiatan mencatat, meringkas, mengklasifikasi dan menghasilkan laporan keuangan, telah menjadikan akuntan dan akuntansi hanya berurusan dengan masalah tekhnis. Etikapun menjadi terlupakan oleh akuntan ketika menjalankan profesinya. (Ludigdo 2008) dalam Sylvia (2014).

  Konsep etika tidak bisa sekedar standar kode etik profesi. Etika harus diinternalisasi oleh setiap individu yang menjadi subjek dalam dunia akuntansi. Etika yang kering dengan makna dan nilai harus diganti dengan etika yang syarat akan nilai dan makna, dan etika tersebut dapat kita cari dan temukan dalam kebudayaan kita sendiri. Nilai budaya siri’ dan pesse’ yang telah penulis jelaskan sebelumnya, dapat diintegrasikan kedalam bangunan standar kode etik profesi akuntan. Dalam sub bab selanjutnya, penulis akan menjalaskan lebih jauh bagaimana krisis etika terjadi dalam praktek akuntansi dan apakah nilai budaya siri’ dan pesse’ dapat diintegrasikan ke dalam praktek akuntansi.

Persoalan Etika dalam Praktek Akuntansi

  Etika merupakan persoalan yang sangat serius dalam praktek akuntansi. Dalam perspektif yang lebih luas, praktik etika yang baik dalam sebuah entitas, haruslah dijiwai oleh nilai-nilai (values) budaya yang tinggi. Nilai-nilai budaya yang tinggi secara otomatis akan mencerminkanpraktik etika yang mengedepankan pada prinsip- prinsip kebenaran, kejujuran, keadilan, dan pertanggungjawaban dalam sebuah entitas. Jika hal ini diabaikan, maka tidak menutup kemungkinan pihak-pihak yang terlibat dalam penyusunan laporan keuangan menyalahgunakan praktik akuntansi dengan memanfaatkan celah yang ada dalam standar akuntansi itu sendiri. Celah tersebut adalah area di antara kebijakan dan kecurangan.

  Pada praktiknya tindak kecurangan dan penyalahgunaan laporan keuangan yang terjadi dalam praktik akuntansi selain didorong oleh kecendrungan mementingkan diri sendiri, juga didorong oleh ikatan emosional atau bias

  

Andi Faisal – Budaya Siri’ dan Pesse dalam Bingkai Akuntansi Makassar

  psikologi yang lain. Praktik kecurangan dan penyalahgunaan praktik akuntansi disebabkan oleh adanya konfigurasi diantara kesempatan, tekanan dan rasionalisasi atau yang biasa disebut dengan segi tiga kecurangan (fraud trianggle). (Suliastawan, dkk. (2011).

  Pengelola perusahaan (managemen) yang menyusun laporan keuangan memiliki kesempatan memanfaatkan adanya asimetri informasi, yaitu suatu kondisi dimana pengelola perusahaan (managemen) memiliki lebih banyak informasi tentang kondisi riil perusahaan dibandingkan dengan pihak lain (pemilik perusahaan, pemerintah dan lain- lain). Adanya asimetri informasi tersebut dapat mendorong pengelola perusahaan (manajemen) untuk menyembunyikan informasi tertentu serta mensetting informasi tentang laba perusahaan yang seolah-olah nyata, padahal hanya pseudo laba. (Wijaya & Mangoting, 2014)

  Praktik kecurangan karena adanya kesempatan (celah) tersebut ditunjung oleh dua faktor lain,yaitu adanya tekanan dari pihak pemilik perusahaan (principal) serta rasionalisasi. Pemilik perusahaan senantiasa menginginkan pencapaian profit perusahaan meningkat dari tahun ke tahun, dengan alasan, semakin tinggi profit yang didapatkan, maka semakin besar pula porsi pembagian deviden yang diterimanya. Rasionalisasi memberikan pembenaran bagi pihak pengelola (managemen) untuk melakukan praktik kecurangan.

  Managemen laba (earning management) merupakan pola yang dipakai untuk melakukan tindak kecerungan. Pada dasarnya, managemen laba merupakan teknik pengaturan laba yang dibenarkan untuk digunakan sepanjang di bawah koridor standar akuntansi. Namun, dengan banyaknya kasus-kasus kecerungan yang melibatkan profesi akuntansi menyebabkan penerapan managemen laba mendapatkan sorotan. Scoot (1197) dalam

  Suliastawan, dkk. (2011) dan dalam Kawedar (2005) merangkum pola umum yang banyak dilakukan dalam praktik managemen laba, yaitu; taking a bath, income minimization, income maximization dan income smoothing.

  Pola taking a bath dilakukan dengan cara

Kesempatan Tekanan Rasionalisasi

  mengatur laba perusahaan tahun berjalan menjadi sangat tinggi atau rendah dibandingkan laba periode tahun sebelumnya atau tahun berikutnya. Pola ini biasa dipakai pada perusahaan yang sedang mengalami masalah organisasi atau sedang dalam proses pergantian pimpinan (management) perusahaan. Pada perusahaan yang baru mengalami pergantian pimpinan, jika perusahaan dalam kondisi yang tidak menguntungkan sehingga harus melaporkan kerugian, manager baru cendrung melaporkan nilai kerugian dalam jumlah yang sangat banyak agar pada periode berikutnya dapat melaporkan laba sesuai target.

  Pola Income Minimization dilakukan

  dengan menjadikan laba periode tahun berjalan lebih rendah dari laba sebenarnya. Secara praktis, pola ini realitf lebih sering dilakukan dengan motivasi pajak. Agar menghindari pajak yang tinggi, manager cendrung menurunkan laba pada tahun berjalan, baik melalui penghapusan asset tetap maupun dengan mengakui biaya-biaya periode tahun mendatang menjadi biaya pada periode tahun berjalan.

  Pola Income Maximization. Pola ini merupakan kebalikan dari pola sebelumnya.

  Pada pola ini, manager cendrung menaikkan angka laba tahun berjalan lebih tinggi dari yang seharusnya. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan agar mendapatkan kepercayaan dari public serta dari pihak pemilik perusahaan.

  Pola income Smoothing. Pola ini dilakukan

  dengan mengurangi fluktuasi laba sehingga laba dilaporkan relatif stabil. Untuk investor dan kreditur yang berencana melakukan kerja sama dengan perusahaan tertentu, kestabilan laba merupakan hal yang sangat penting dalam pengambil keputusan. Dalam dunia keuangan,

  

Kuriositas, Edisi VIII, Vol. 2, Desember 2015

  fluktuasi harga saham atau fluktuasi laba merupakan indicator resiko. Demi menjaga agar laba tidak fluktuatif, stabilitasnya harus dijaga. Stabilitas laba dapat dilakukan dengan menerapkan dua pola diatas, yaitu meminimalkan laba atau memaksimalkan laba. Income smoothing bisa dikatakan sebagai upaya untuk menetralkan keadaan dunia keuangan yang penuh dengan ketidak pastian.

  Pola-pola managemen laba yang saya jelaskan diatas, dilakukan dengan menggunakan teknik-teknik yang ada dalam akuntansi. Secara umum, tekhnik yang biasanya dijumpai dalam praktek managemen laba dapat dikelompokkan ke dalam lima tekhnik, yaitu mengubah metode akuntansi (metode pencatatan persediaan, metode penyusutan dan lain-lain), membuat estimasi akuntansi (estimasi pengakun kerugian piutang, estimasi umur ekonomis asset), merubah periode pengakuan pendapatan dan biaya, mereklasifikasi akun dan mereklasifikasi akrual direksioner dan akrual non direksioner.

  • • Motivasi Utang. Untuk kepentingan

  Praktek managemen laba yang terjadi di hampir setiap perusahaan tentu saja tidak terjadi dengan sendirinya, namun disebabkan karena ada sesuatu yang melatar belakangi tindakan tersebut. Sampai saat ini, terdapat beberapa peneliti yang melakukan penelitian empiris untuk menemukan apa yang menjadi panggung belakang (backstage) di balik praktek managemen laba yang dilakukan oleh manager. Secara umum, kita dapat melihat hal tersebut dari study yang dilakukan oleh Wattz dan

  • • Motivasi Pajak. Praktek managemen laba

  Zimmerman (1985) serta Scott (2000). Wattz dan Zimmerman dalam Sulistiawan, dkk. (2011). mengatakan tindakan managemen laba disebabkan oleh adanya tiga motivasi, yaitu :

  • • Motivasi Bonus. Dalam teori agency

  dijelaskan bahwa untuk mengurangi konfilk kepentingan yang terjadi antara pihak managemen (agen) dan pihak pemilik perusahaan (principal), pihak principal harus membuat kontrak (perjanjian bisnis) yang berisi pernyataan bahwa pihak principal akan memberikan sejumlah bonus sebagai kompensasi atas kinerja managemen (agen) dalam mengelola perusahaan dalam jumlah relative tetap dan rutin. Bonus yang lebih besar nilainya hanya akan diberikan ketika kinerja manager melakukan pencapaian atas target laba yang telah ditetapkan. Pengukuran kinerja yang berdasarkan atas perolehan laba dan skema bonus tersebut memotivasi pihak managemen (agen) untuk memberikan kinerja terbaiknya. Sehingga, memberikan celah untuk melakukan tindakan managemen laba agar dapat mempelihatkan kinerja yang seolah- olah baik untuk mendapatkan bonus yang maksimal.

  perusahaan, pihak managemen seringkali harus melakukan kontrak bisnis dengan pihak lain. Dalam hal ini kreditor dan atau supplier. Agar kreditor bersedia menginvestasikan dananya di perusahaan, pihak managemen harus memperlihatkan kinerja perusahaan yang baik. Karenya, praktik managemen laba kerap kali dilakukan agar kinerja perusahaan seolah- olah terlihat baik .

  tidak hanya dilakukan oleh perusahaan besar yang sudah go public untuk menaikkan harga sahamnya. Namun, praktek managemen laba juga kerap dilakukan oleh perusahan yang belum

  go public. Perusahaan ini cendrung

  melaporkan laba fiskal lebih rendah dari nilai yang sebenarnya, yang tentunya dengan tujuan agar terhindar dari pembayaran pajak yang tinggi. Namun, meskipun pihak managemen menurunkan laba dalam laporan keuangan fiskal, tetapi bisa ada kemungkinan pihak managemen justru menaikkan nilai laba dalam laporan komersil.

  

Andi Faisal – Budaya Siri’ dan Pesse dalam Bingkai Akuntansi Makassar

  Adapun Scott (2000)mengungkapkan bahwa praktek managemen laba terjadi karena beberapa sebab, yaitu:

  • • Bonus Purpose. Manager yang memiliki

  informasi atas laba bersih perusahaan akan bertindak secara opertunistik untuk melakukan managemen laba dengan memaksimalkan laba saat ini.

  • • Political Motivation. Managemen laba

  digunakan untuk mengurangi laba yang dilaporkan pada perusahaan public. Perusahaan cendrung mengurangi laba yang dilaporkan karena adanya tekanan public yang mengakibatkan pemerntah menetapkan peraturan laba yang lebih ketat.

  • • Taxation Motivation.Motivasi penghematan

  pajak menjadi motivasi managemen laba yang paling nyata. Berbagai metode akuntansi digunakan dengan tujuan untuk penghematan pajak pendapatan.

  • • Pergantian CEO.CEO yang mendekati

  masa pensiun akan cendrung menaikkan pendapatan untuk meningkatkan bonus mereka. Dan jika kinerja perusahaan buruk, mereka akan memaksimalkan pendapatan agar tidak diberhentikan. Dari penjelasan yang dikemukakan oleh kedua orang tersebut, kita dapat mengetahui bahwa motivasi paling utama yang membuat pihak managemen melakukan praktek managemen laba adalah motivasi bonus. Secara naluri, manusia memeng cendrung mementingkan diri sendiri. Namun, secara fitrahwi, manusia memiliki kode etik yang tertanam dalam dirinya bahwa tindakan mementingkan diri sendiri harus sesuai dengan aturan yang berlaku. Kode etik yang tertanam dalam diri manusia tersebut adalah filterisasi yang membentengi manusia dari tindakan mementingkan diri sendiri diluar koridor yang ada. Namun, filter tersebut hanya dapat berfungsi jika manusia itu sendiri bersedia menarima dan mengakui bahwa memeng ada hal semacam itu dalam dirinya. (Muthahhari.2011)

  Utilitirianisme yang menjadi nilai saat ini tidak mengakui hal tersebut. Sehingga manusia pun kehilangan filter dari dirinya sendiri. Akibatnya, meskipun berbagai aturan dan kode etik telah dibuat. Namun, masih tetap saja ditemukan celah untuk dilanggar. Hal tersebut dikarenakan, unsure desire dalam diri manusia apabila telah dilepaskan maka tidak ada yang dapat menghalanginya.

  Kasus-kasus yang terjadi dalam praktek akuntansi dapat dijumpai baik diluar negeri maupun di dalam negeri. Kasus Enron, World.com dan Xerox adalah perusahaan besar di Amerika yang seketika ambruk karena adanya skandal akuntansi. Di dalam negeri sendiriterdapat beberapa kasus yang melibatkan skandal praktek akuntansi. Diantaranya kasus Bank Lippo Tbk. Kasus ini merupakan kasus penerbitan laporan keuangan ganda yang memuat informasi berbeda dimana laporan keuangan per 30 september 2002 yang ditujukan ke publik pada tgl 28 November 2002 berbeda dengan laporan keuangan per 30 september 2002 yang disampaikan ke BEJ pada 27 Desember 2002.

  Skandal bank Century yang terungkap pada tahun 2009 yang lalu. dalam laporannya, BPK menemukan adanya rekayasa akuntansi yang dilakukan oleh pihak managemen bank century agar laporan keuangan Bank tetap menunjukkan kecukupan modal. Dari dua kasus bank Lippo dan bank century tersebut. Dapat dilihat bahwa akuntansi memiliki peranan yang sangat penting. Dengan kata lain, melalaui akuntansilah skandal tersebut terjadi. Skandal tersebut pada akhirnya tidak hanya merugikan orang yang ada dalam perusahaan tersebut. Tetapi juga merugikan masyarakat luas.

  Kasus Bank Century, Negara dirugikan sebesar 6.7 Triliun. Dana sebesar itu semestinya dapat digunakan untuk kepentingan masyarakat luas. Seperti pembangunan sekolah, rumah sakit, subsidi perumahan dan

  

Kuriositas, Edisi VIII, Vol. 2, Desember 2015

  berbagai fasilitas publik lainnya. Kedua kasus tersebut adalah dua dari berbagai kasus-kasus yang ada dalam praktek akuntansi. Penulis sengaja mengambil dua contoh tersebut dengan maksud bahwa jika untuk kepentingan pribadi dan atau kelompok tertentu, praktisi akuntansi melakukan praktek kecurangan yang merugikan seluruh rakyat Indonesia. Itu berarti, saat ini, dunia akuntansi khususnya di Indonesia sedang mengalami krisis moralitas yang sangat serius.

  Seperti padapenjelasan sebelumnya, persoalan moralitas dalam dunia akuntansi yang berujung pada maraknya praktik kecerungan tidak dapat diselesaikan hanya sekedar membuat kode etik akuntan. Diperlukan suatu langkah paradigmatik agar masalah tersebut dapat terselesaikan. Persoalannya sekarang adalah apakah dunia akuntansi bersedia merubah paradigmanya yang selama ini telah mengakar kuat dalam setiap diskursus akuntansi.

  Persoalan etika adalah masalah psikologis yang sangat ditentukan oleh sudut pandang seseorang. Jika seseorang akuntan berangkat dari sudut pandang nilai-nilai moral dan spiritual, maka orang tersebut akan senantiasa menjaga etika dan mematuhi kode etik yang berlaku dalam dunia akuntan. Namun sebaliknya, apabila seseorang berangkat dari sudut pandang material, maka orang tersebut akan senantiasa melakukan praktik-praktik pelanggaran etika.

  Perubahan paradigmatik saat ini bisa dimulai dari dunia pendidikan. Pendidikan akuntansi yang terlalu menitikberatkan pada kajian tekhnis akuntansi harus diimbangi dengan memasukkan nilai-nilai dalam setiap mata kuliah akuntansi. Nilai siri’ ripakasiri’ yang menyangkut harga diri dan martabat manusia, dapat diintergrasikan kedalam pengajaran akuntansi dengan mengajarkan bahwa seorang akuntan memiliki martabat yang tinggi. Karenanya, melakukan praktek kecurangan akan meyebabkan hilangnya harga diri dan martabat sebagai manusia. Sebagai orang Bugis-Makassar tentu sangat malu apabila kedapatan melakukan praktik kecurangan yang merugikan pihak perusahaan.

  Nilai siri’ mate siri’ yang berhubungan dengan iman dan esensi manusia. Sebagai manusia yang hidup dalam kultur Bugis- Makassar, akan sangat menghindari setiap perbuatan yang menyebabkan hilangnya malu (mate siri’). Perbuatan seperti melakukan tindak kecerungan akuntansi adalah perbuatan yang menyebabkan hilangnya malu’. Orang Bugis-Makassar yang sudah kehilangan malunya, lebih baik mati ketimbang hidup harus menaggung malu.

Integrasi Budaya Siri’ dan Pesse’ dalam Praktik Akuntansi

  Nilai Pesse’ yang menjunjung rasa perikemanusiaan, dapat dintegrasikan kedalam diskursus akuntansi dengan mengajarkan bahwa profesi akuntansi adalah profesi yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Paling tidak menyangkut seluruh karyawan yang bekerja di perusahaan tersebut. Olehnya itu, apabila seorang akuntan melakukan praktek kecerungan untuk kepentingan dirinya atau pemilik perusahaan, hal tersebut dapat merugikan pihak lain, yaitu karyawan yang bekerja pada perusahaan tersebut. Hal tersebut sangat bertentangan dengan budaya (culture) masyarakat Bugis-Makassar yang menjungjung tinggi prinsip kemanusian, tolong-menolong dan memegang teguh prinsip kesetiakawanan.

  Selain dalam ranah pendidikan akuntansi,pergeseran paradigmatik juga dapat diterapkan dalam lingkup akuntan dan pihak-pihak yang terkait dengan akuntansi. Menjaga independensi dan integritas akuntan adalah manifestasi dari nilai siri’ dan pesse’. Dengan memegang teguh nilai-nilai tersebut, maka seorang akuntan akan berprinsip lebih

  baik mati dari pada melakukan praktek-

  praktek kecurangan. Namun, tentu saja untuk menginternalisasikan kembali nilai-nilai siri’

  dan pesse’ ke dalam praktek akuntansi tidak

  akan semudah yang dibayangkan. Persoalan

  

Andi Faisal – Budaya Siri’ dan Pesse dalam Bingkai Akuntansi Makassar

  Pengembangan Nilai-Nilai Modal Sosial Lokal Untuk Pencegahan Serta Resolusi

  Penulis sendiri mengharapkan bahwa artikel ini dan setiap artikel yang menyuguhkan tulisan tentang budaya moralitas dan spiritual, dapat mengingatkan kembali bagi pembacanya bahwa dengan berbagai kompleksitas kehidupan, hal yang harus senantiasa dipegang teguh adalah kita adalah manusia yang tidak hanya punya naluri dan desire (hasrat) tapi juga memiliki ruh spritualitas dan keimanan terhadap Allah swt, Tuhan sekalian alam.

  s ImPulan

  Akuntansi tidak dapat dipungkiri adalah produk budaya kapitalisme. Hal tersebut dapat dillihat dari nilai – nilai yang ada dalam diskursus dan praktek akuntansi itu sendiri, seperti materiliasme, individualism dan utilitirianisme. Ketiga nilai tersebut adalah akar dari krisis etika yang terjadi dalam praktek akuntansi saat ini.

D aftar P ustaka

  Lembaga penyusun standar akuntansi seperti IAI menetapkan standar kode etik yang harus dipatuhi oleh setiap orang yang terlibat dalam praktek akuntansi. Hal tersebut dimaksudkan untuk meminimalisir tindak kecurangan dalam praktek akuntansi. Namun, kode etik tersebut ternyata tidak mampu menyelesaikan persoalan yang ada. Praktek kecurangan masih saja kerap terjadi.

  utama yang dihadapi adalah iklim dunia bisnis yang sangat kompetitif sehingga perusahaan dituntut untuk melakukan berbagai cara agar perusahaan tersebut dapat bertahan hidup, atau going concern.

  Nilai–nilai yang terkandung dalam siri’ dan pesse’ tersebut dapat diintegrasikan ke dalam diskursus dan praktek akuntansi melalui pendidikan akuntansi maupun pelaku akuntansi itu sendiri seperti auditor dan akuntan. Nilai siri’ dan pesse’ dapat memadamkan “api keserakahan” dalam diri seorang akuntan, sehingga dia dapat menjaga kejujuran, integritas dan independensi. Jika setiap akuntan menginternalisasi nilai siri’ dan pesse’ dalam melakukan pekerjaannya, maka praktek – praktek kecurangan yang saat ini marak terjadi akan hilang dengan sendirinya.

  Cangara, S. 2012. Identifikasi dan

Konflik Sosial Masyarakat Di Provinsi Sulawesi Selatan. Artikel Hasil Penelitian

  Nilai siri’ dan pesse’ dalam budaya Bugis–Makassar, mengandung didalamnya penghargaan yang tinggi terhadap integritas, independensi, kejujuran, harga diri, martabat, empati dan rasa persaudaraan diantara sesama manusia. Nilai siri’ dan pesse’ melihat manusia tidak hanya makhluk material tapi juga makhluk spiritual, tidak hanya makhluk individual tapi juga makhluk social dan tidak hanya memiliki kebutuhan material tapi juga memiliki kebutuhan spiritual dan nilai – nilai transcendental.

  Penerbit PT. Remaja Rosda Karya. Hamid, A., dkk. 2005. Siri’ & Pesse’ Harga

  Diri Manusia Bugis, Makassar, Mandar, Toraja.

  Makassar. Penerbit Refleksi. Kawedar, W. 2005. Sikap Etis Akuntan dan

  Pengguna Jasa Akuntan Terhadap Praktek Managemen Laba. Jurnal Akuntansi &

  Auditing. Vol 01 No 02. 198-214. Mutahari, M. 2011. Manusia dan Alam Semesta. Jakarta. Penerbit Lentera.

  Suliastawan,

  D., Dkk. 2011. Creative

  Accounting-Mengungkap Managemen

  Persoalan kecurangan dalam praktek akuntansi tidak dapat diatasi hanya dengan menerbitkan kode etik profesi. Akan tetapi, perlu ada perubahan dalam tatanan paradigm. Yaitu, mengganti nilai budaya kapitalisme yang tertanam dalam diskursus dan praktek akuntansi dengan nilai-nilai yang bersifat manusiawi, mengandung nilai moralitas dan spiritual.

  Program Study Megister Sosiologi (FISIP). Univesitas Hasanuddin Makassar. Etzioni, A. 1992. Dimensi Moral Ekonomi – Menuju Ilmu Ekonomi Baru. Bandung.

  

Kuriositas, Edisi VIII, Vol. 2, Desember 2015

Laba dan Skandal Akuntansi. Jakarta.

  Penerbit Salemba Empat. Sylvia. 2014. Membawakan Cinta untuk

  Akuntansi. Jurnal Akuntansi Multi Paradigma (Jamal). Vol 5 no 1. 139-148.

  Triantoro, A. 2008. Praktek Akuntansi dalam

  Budaya Kapitalisme. Jurnal Fokus Ekonomi. Vol 3 no 1. 60-76.

  Wahid, S. 2007. Manusia Makassar. Makassar, Penerbit Refleksi. Wijaya, R.E., & Mangoting Y. 2014. Boso

  Walikan Malangan dalam Perspektife Earning Management: Suatu Kreatifitas Bahasa Akuntansi. Akuntansi Malangan.

  Vol 1 no 1. 47-56. Piliang, Y.A. 2004. Posrealitas. Jogjakarta.

  Penerbit Jalasutra.