HILAH AL-SYARI’AH SEBAGAI UPAYA DALAM MENGUJUDKAN MAQASHID SYAR’IAH

  

HILAH AL-SYARI’AH SEBAGAI UPAYA DALAM

MENGUJUDKAN MAQASHID SYAR’IAH

  Oleh: Elimartati*

  Abstrac: Hilal refers to special actions which are taken as the efforts in changing Islamic laws.

  This is done by prioritizing physical deeds of the available law by means of particular methods to arrive at desired goals. This can only be performed by those who have specific skills and cannot be detected physically. Hilal can be regarded as one of alternate solutions to make things easier as long as no intention to legalize the forbidden ones and to forbid the legal ones, no violence toward the principles of Islamic law and merely the good sake of society.

  Kata kunci

  : hilah, Hanafi, solusi, hukum, maqashid syariah

  PENDAHULUAN

  llah telah mewajibkan sebaha- gian perbuatan bagi hamba- Nya, dan mengharamkan sebaha- gian yang lain melalui Al-qur’an dan menjelaskannya dalam Hadis Rasulullah saw. Perintah dan larang- an itu secara mutlak ada tanpa pengecualian dan tanpa menjelas- kan sebab sebabnya, seperti Allah mewajibkan shalat, puasa dan mengharamkan zina, memakan riba, membunuh dan lain lain. Dan ada sebagaian perbuatan yang diwajib- kan dan diharamkan yang dijelas- kanNya sebab sebabnya seperti Allah mewajibkan zakat, kafarat dan lain lain.

  Bila diteliti semua suruhan dan larangan Allah SWT dalam Al- qur’an, begitu juga suruhan dan la- rangan Rasulullah SAW dalam Ha- dis yang dirumuskan oleh para muj- tahid sebagai fikih, akan terlihat bahwa semuanya mempunyai tu- juan tertentu dan tidak ada yang sia- sia. Semua bentuk suruhan dan larangan Allah SWT mempunyai hikmah yang mendalam untuk mengujudkan maqashid syariah dan merupakan rahmat bagi seisi alam yang dapat dinikmati oleh manusia sebagaimana ditegaskan di antaranya dalam Alqur’an surat al Anbiya’( 21: 107 )

  

       

  Untuk melaksanakan suruhan dan menghentikan larangan, seba- hagian umat mencari-cari celah un- tuk menggugurkan kewajiban sya- ra’ atau mencari sebab untuk mem- bolehkan sesuatu yang diharamkan atas dirinya, sehingga secara lahi- riah kewajiban itu tidak lagi men- jadi sesuatu yang wajib, atau sesuatu yang haram menjadi halal dengan

  A

  • Penulis adalah LektorKepala dalam Mata Kuliah Fiqh pada STAIN Batusangkar

  Juris Volume 9 No 1 (Juni 2010)

  memakai hilah hukum. Dalam hal yang mengantarkan kepada tujuan- ini timbul pertanyaan apakah hilah nya. Seseorang tidak dapat sampai itu dilarang oleh syara’ atau ada kepada tujuannya kecuali melalui yang dibolehkan, apakah hilah da- kecerdikan dan kecerdasan (keah- pat digunakan dalam upaya meng- lian khusus). ujudkan maqashid syari’ah, hal ini

  2. Al-Syatibi mendefinisikan hi- akan dibahas dalam tulisan ini. lah dengan

   ﻊﺋﺎﺳ ﲑﻏ وا ﺮﻫﺎﻈﻟا ﰱ عوﺮﺸﻣ ﻊﺋ ﺎﺳ ﻪﺟﻮﺑ ﻞﻴﺤﺘﻟا PENGERTIAN HILAH ﻻ ﺚﻴﲝ,ﺮﺧا ﻢﻜﺣ ﱃا ﻪﺒﻠﻗ وا ﻢﻜﺣ طﺎﻘﺳا ﻰﻠﻋ

  Kata hilah adalah kata ben-

   ﻞﻌﻔﺘﻓ ,ﺔﻄﺳاﻮﻟا ﻚﻠﺗ ﻊﻣ ﻻا ﺐﻠﻘﻨﻳ ﻻوا ﻂﻘﺴﻳ

  tukan dari kata tahulu yang menun- jukan arti “ragam dan keadaan”. Ketika huruf awal kata tersebut ber- baris kasra maka ia menunjukan arti kedaan dan ketika berbaris fat-hah ia

  3. Imam Malik, salah satu pen- menunjukan “moment”. A’in fi’ilnya dapatnya mengemukakan pe- adalah huruf waw karena ia ter- ngertian hilah sebagai berikut : ambil dari kata hala–yahulu. Hu-ruf waw tersebut pada hilah beru-bah

   ﻪﻠﻳﻮﲢو عﺮﺷ ﻢﻜﺣ ل ﺎﻄﺑﻻ زاﻮﳉا ﺮﻫﺎﻇ ﻞﻤﻋ ﱘﺪﻘﺗ

  menjadi ya karena huruf pertama-

   ﺪﻋاﻮﻗ مﺮﺧ ﻪﻴﻓ ﻞﻤﻌﻟا لﺎﻤﻓ ﺮﺧا ﻢﻜﺣ ﱃا ﺮﻫﺎﻈﻟا ﰱ

  nya berbaris kasrah. Bentuk jamak

   ﻊﻗاﻮﻟا ﰱ ﺔﻌﻳﺮﺸﻟا

  dari kata hilah adalah hiyal yang secara bahasa berarti kecerdikan, Upaya mendahulukan amalan tipu daya, muslihat, dan siasat yang zahir meskipun diperkenankan un- dicari untuk melepaskan diri dari tuk membatalkan hukum syar’i dan suatu beban atau tanggung-jawab. mengubahnya menjadi hukum yang

  Sedangkan pengertian hilah secara lain. Dengan demikian dalam ke- definitif diungkapkan oleh beberapa nyataanya amalan tersebut cen- ulama di antaranya : derung untuk menciptakan kaedah-

  1. Ali Hasaballah mengemuka- kaedah hukum Islam (yang baru) kan pengertian hilah secara

  4. Ibnu Qayyib al- Jauziyah istilah dengan mengemukakan definisi hilah sebagai berikut:

   ﺐﻠﻏ ﰒ لﺎﺣ ﱃا لﺎﺣ ﻦﻣ ﻪﻠﻋﺎﻓ ﻪﺑ لﻮﺤﺘﻳ فﺮﺼﺗ ىﺬﻟا ﻞﻤﻌﻟاو ف ﺮﺼﺘﻟا ﻦﻣ صﻮﺼﳐ عﻮﻧ ﻰﻫ ﺔﻠﻴﳊ ﺎﻓ ءﺎﻛﺬﻟا ﻦﻣ ﺊﻴﺜﺑ ﻻا ﻩﺪﺼﻘﻣ سﺎﻨﻟا كرﺪﻳﻻ ﺚﻴﲝ ﻪﺿ ﺎﻬﻴﻠﻋ ﺐﻠﻋ ﰒ لﺎﺣ ﱃا لﺎﺣ ﻦﻣ ﻪﻠﻋ ﺎﻓ ﻪﺑ لﻮﺤﺘﻳ ﻪﻨﻄﻔﻟاو ﻞﺻﻮﺘﻳ ﱃا ﺔﻴﻔﻨﳊا قﺮﻄﻟا كﻮﻠﺳ ﰱ ﺎﳍﺎﻤﻌﺘﺳاو فﺮﻌﻟﺎﺑ عﻮﻨﺑ ﻻا ﻪﻟ

  Tindakan yang menyebabkan pelakunya mengalami perubahan

  ﺔﻨﻄﻔﻟاو ءﺎﻛﺬﻟا ﻦﻣ

  dari suatu keadaan kepada keadaan yang lain. Kemudian pengunaan Sebuah tindakan khusus yang kata tersebut mengalami penyem- menyebabkan pelakunya mengalami

  Elimartati, Hilah Al-Syariah Sebagai Upaya Dalam Mewujudkan Maqashid Syariah

  pada keadaan yang lain. Kemudian pengunaan kata terebut berkem- bang menjadi istilah yang lebih khusus dan berakibat mengalami penyempitan makna yakni kiat atau cara terselubung yang mengantar- kan seseorang untuk mencapai tujuan dan maksudnya. Cara ini tidak ditemukan kecuali dengan kecakapan dan keahlian khusus.

  Jika dilihat dari pengertian ini tidak ditunjukan atau tidak dijelas- kan apakah tujuan perbuatan itu membawa kepada perbuatan haram atau tidak, sehingga jika diberikan sebuah pemahamam berdasarkan pengertian etimoligi maka terma- suk dalam kategori hilah.

  Definisi yang dikemukakan oleh Ibnu Qaqyyim ini senada de- ngan definisi yang dikemukakan oleh Ali Hasaballah di atas.

  Dari definisi hilah yang diung- kapkan oleh para ushuliyyin di atas pada perinsipnya mengadung mak- na yang sama. Kalaupun terdapat perbedaan, hanyalah perbedaan da- lam bentuk redaksi. Berdasarkan definisi di atas dapat dipahami bah- wa pelaku hilah dalam upayanya berusaha merubah subtansi hukum syar’i. Perubahan itu dilakukan da- lam upaya mendahulukan amalan zahir, meskipun diperkenankan oleh syara’ terjadinya perpindahan hu- kum yang membatalkan hukum syar’i. Upaya seperti ini mentrans- formasikan hukum melalui cara atau mrtode yang halus untuk mencapai tujuan tertentu yang hanya dapat diketahui melalui keahlian khusus dan sulit terdeteksi dari luar atau secara zahir.

  Pengertian hilah yang dike- mukakan di atas dapat diambil pe-

  1. Persoalan hilah terkait dengan tindakan yang mengakibatkan gugurnya kewajiban yang di- syariatkan terhadap mukallaf dengan melakukan suatu tin- dakan yang pada dasarnya di- bolehkan, namun tindakan itu terlarang karena ada maksud tertentu.

  2. Tujuannya adalah agar bisa mengubah substansi hukum syar’i melalui kecerdasan dan kecerdikan yang dimliki atau dengan kata lain melalui cara yang terselubung yang sulit terdeteksi dari luar

  3. Tindakan tersebut dilakukan agar seseorang terbebas dari tuntutan syara’.

  Untuk lebih memahami hilah dapat diiliustrasikan dalam contoh berikut, misalnya seseorang meng- hibahkan hartanya disaat mendeka- ti akhir perhitungan hau zakat, yakni beberpa hari menjelang haul hartanya sudah mencapai satu nisab wajib zakat. Pada dasarnya tindakan seseorang menghibahkan sebahagi- an hartanya adalah terpuji dan dianjurkan oleh syara’, karena ber- tujuan untuk membantu sesama manusia dan termasuk perbuatan baik. Akan tetapi manakala meng- hibahkan harta menjelang masa haul datang yang pada saat itu si pemilik harta diwajibkan mengeluarkan za- kat, ini merupakan suatu pelarian dari kewajiban membayar zakat, dengan adanya penghibahan harta maka nisab zakat mejadi tidak tercapai dan akibatnya orang itu tidak kena wajib zakat. Dalam hal ini menurut al-Syatibi terdapat per- tentangan antara hukum hibah yang

  Juris Volume 9 No 1 (Juni 2010)

  wajib, dan dalam pertentangan ini hukum wajib harus didahulukan. Oleh sebab itu perbuatan meng- hibahkan harta disaat telah men- capai satu nisab dan mendekati hari haulnya merupakan suatu tindakan pelarian dari kewajiban syara’.

  Pembahagian Hilah

  Hilah dalam artinya yang asli adalah usaha yang diperlukan sese- orang untuk memindahkan satu si- tuasi kepada situasi yang lain. Ke- mudian istilah ini dipakai secara umum untuk cara-cara yang samar yang digunakan oleh seseorang mencapai suatu tujuan tertentu. Ka- rena samarnya tidak mudah diketa- hui selain oleh orang yang waspada saja, sebagaimana halnya metode/ cara untuk mencapai tujuan itu ber- aneka ragam, maka tujuan yang hendak dicapaipun bermacam ma- cam. Metode atau cara yang dipakai ada yang dibenarkan ada pula yang dilarang, oleh karenanya hilah itu banyak jenisnya dan berbeda beda status hukumnya lantaran perbeda- an tujuan yang hendak dicapai. Berikut ini dikemukakan beberapa pembahagian hilah menurut ulama di antaranya:

  1. Ali Hasaballah membagi hilah sebagai berikut: a. Sebab sebab syar’iyah yang di- ciptakan untuk maksud terten- tu bila dijalankan menurut ga- ris syariat. Misalnya menga- dakan perikatan jual beli seba- gai sarana untuk memindah- kan hak milik dan memanfaat- kan barang yang diperjual be- likan, mengadakan ikatan per- kawinan dengan maksud un- kelamin dan mengadakan per- janjian perjanjian yang lain.

  b. Tindakan tindakan yang pada dasarnya disyariatkan bila di- maksudkan untuk tujuannya untuk diciptakan atau diguna- kan untuk mencapai tujuan yang akan diciptakan yang termasuk hal yang dibolehkan oleh syariat, misalnya mem- buang sesuatu yang meng- ganggu, memberantas kezalim- an dan lainnya tidakan se- macam ini adalah mubah dan bahkan perbuatan dipuji.

  c. Transaksi transaksi yang pada dasarnya sesuai dengan sya- riat akan tetapi dilakukan un- tuk mencapai sesuatu yang di- haramkan. Transaksi semacam ini pada hakikatnya terdapat perbedaan-pendapat para ula- ma terhadap hukumnya. Mi- salnya kasusAli orang yang menghibahkan sebahagian da- ri hartanya menjelang haul za- kat dengan maksud untuk menghindari kewajiban zakat

  d. Akad yang pada dasarnya di- haramkan bila dilakukan un- tuk mencapai tujuan yang di- haramkan. Misalnya upaya untuk mentalak isteri dengan menuduhnya murtad atau upaya menghalangi isteri me- nerima harta pusaka suaminya dengan cara memalsukan pe- ngakuan suaminya bahwa ia telah ditalak tiga sewaktu suaminya dalam keadaan sadar. Akad atau hilah sema- cam ini tidak diperselisihkan ulama tentang keharamannya.

  Elimartati, Hilah Al-Syariah Sebagai Upaya Dalam Mewujudkan Maqashid Syariah

  e. Hilah dengan melakukan per- buatan haram untuk menca-pai maksud yang hak seperti me- minta kesaksian dua orang saksi palsu tujuannya agar orang yang mengingkari hu- tangnya mau membayar. Con- toh lain, Ahmad mempunyai hak tagihan hutang kepada Bakar, dan Bakar mempunyai barang titipan kepada Ahmad. Namun Bakar mengingkari hutangnya kepada Ahmad Ber- dasarkan hilah Ahmad dapat mengingkari titipan bakar de- ngan maksud agar dia meng- akui hutangnya pada Ahmad. Hilah seperti ini menurut se- bahagian ulama dibolehkan, dan pelakunya tetap berdosa, dengan mengkiaskannya ke- pada masalah zhafar yaitu se- seorang yang mempunyai hak yang tidak dipenuhi haknya.

  2. Al- Syatibi mengelompokkan hilah kepada tiga sebagai berikut: a. Hilah yang tidak diperselisih- kan tentang keharamannya.

  Seperti hilah yang dilakukan oleh orang munafik dan orang ria.

  b. Hilah yang tidak diperselisih- kan tentang kebolehannya.

  Dalam bentuk ini contohnya seseorang yang mengucapkan kalimat kafir karena dipaksa. Hilah dalam kondosi ini tu- juan utamanya adalah untuk memelihara darah bukan un- tuk meyakini ucapan tersebut. Hilah seperti ini dibolehkan untuk kemaslahatan duniawi dan tidak mengakibatkan ke- mafsadatan baik dunia atau akhirat. Berbeda dengan ben- tuk hilah pertama karena hilah dalam bentuk ini mengakibat- kan kemafsadatan ukhrawi secara mutlak. Kemaslahatan dan kemafsadatan ukhrawi lebih diprioritaskan untuk memperhatikannya dari pada kemaslahatan dan kemafsadat- an ukhrawi. Disam-ping itu syariat Islam mela-rang hanya memperhatikan kemaslahatan dunia dengan mengabaikan kemaslahatan akhirt. Di sinilah munculnya celaan terhadap orang-orang munafik dan pengikutnya.

  c. Hilah dalam bentuk ketiga ini menjadi lapangan ikhtilaf di- kalangan ulama karena tidak adanya dalil yang qath’I dan wadh’i yang menjelaskan ke- bolehan atau larangannya. Ti- dak adanya penjlasan bahwa tujuan yang disepakati itulah yang dimaksud oleh syar’i dan tidak ada pula indikasi atau keterangan bahwa hal itu ber- tentangan dengan kemaslaha- tan yang dibuat oleh syar’i se- suai dengan maslahat yang difardhukan. Sehingga hilah yang poin ini diperselisihkan. Di satu sisi ada pendapat yang mengatakan bahwa hilah se- perti ini tidak menyalahi ke- maslahatan, seperti diboleh- kan. Di sisi lain ada yang mengatakan bahwa berten- tangan dengan kemaslahatan sehing-ga hilah ini dilarang. Contoh yang dikemukakan sama dengan yang dikemuka- kan sebelumnya yaitu tentang

  Juris Volume 9 No 1 (Juni 2010)

  harta di akhir haul agar tidak terkena kewajiban zakat.

  3. Wahbah al-Zuhaily membagi hilah kepada dua macam: a. Hilah Syari’iyyah yang dibo- lehkan yaitu:

   ﻻ ﺖﻌﺿ و ﺔﻋ و ﺮﺸﻣ ﺔﻘﻳ ﺮﻃ ﺐﻠﻗ ﻞﻋ ﻞﻴﺤﺘﻟا ﻲﺣ ﺎﻤﻌﺘﺳاو ﲔﻌﻣ ﺮﻣ ﻞﺻﻮﺘﻟا ﺪﺼﻘﻳ ي ﺮﺧ ا ﺔﻟ ﺎﺣ ﰲ ﻪﻟ ﺐﺒﺴﺑ ﺮﺴﻴﺘﻟا لا وا ﺖﻤﻠﻈﻣ ﻊﻓدوا ﻖﺣ تﺎﺒﺛا ﱃا ﺔﻴﻋ ﺮﺷ ﺔﺤﻠﺼﻣ م ﺪﻬﻳﻻ ﻞﻴﳊا ﻦﻣ عﻮﻨﻟا اﺰﻬﻓ ﺔﺟﺎﳊا “perubahan (hilah) yang terjadi pada substansi hukum syar’i yang di le- takkan untuk suatu persoalan ter- tentu dan digunakan dalam kondisi yang lain dengan tujuan untuk me- netapkan kebenaran atau menolak kezaliman atau untuk mendapatkan kemudahan karena kebutuhan hilah seperti ini tidak merusak atau meng- hancurkan kemaslahatan syar’i.

  Menurut Wahbah al-Zuhaili hilah seperti ini dibolehkan berda- sarkan syar’i karena hilah ini bu- kanlah bertujuan membatalkan hu- kum syar’i atau melepaskan diri da- ri kewajiban yang ditanggung oleh seseorang, tapi adalah sebagai solu- si atau cara untuk keluar dari ke- sempitan.

  Contohnya penduduk Bukha- ra menjadikan ijarah yang panjang sebagai suatu adat atau kebiasaan. Ijarah menurut Abu Hanifah (W.150

  H) tidak dibolehkan terhadap pepo- honan, maka mereka terpaksa mela- kukan hilah dengan Bai’al Wafa’. Bai’al Wafa’ merupakan hilah syar- ’iyah yang dilakukan dengan sebab kebutuhan manusia untuk melepas- kan diri dari kaidah yang melarang ijarah yang panjang terhadap pepo- honan.

  Demikian juga halnya dengan seorang laki-laki yang bersumpah untuk menjima’ istrinya pada siang hari bulan Ramadhan. Maka Abu Hanifah berfatwa agar ia melaku- kan perjalanan (menjadi musafir) sehingga dapat berbuka dan menji- ma’ pada siang hari di bulan Ra- madhan tersebut.

  b. Hilah syar’iyah yang dilarang yaitu :

   ﺔﺘﺑﺎﺜﻟا مﺎﻜﺣﻻا ﺐﻠﻗ ﻰﻠﻋ ﻞﻴﲢ ﺎﻬﻨﻣ ﺪﺼﻘﻳ ﱵﻟا ﻲﻫ ﺎﻈﻟا ﺢﻴﺤﺻ ﻞﻌﻔﺑ ىﺮﺧا مﺎﻜﺣا ﱃا ﺎﻋ ﺮﺷ ﻮﻐﻟ ﺮﻫ ﺔﻌﻔﺸﻟ ا ط ﻖﺳﻻ ﺔﻋ ﻮﺿ ﻮﻟا ﺔﻠﻴﳊا ﻞﺜﻣ ﻦﻃ ﺎﺒﻟا ﰲ ﺮﺴﻟا ﺪﺣ طﺎﻘﺳ ﻻو ﺔﻴﺻ ﻮﻟﺎﺑ ﺔﺛرﻮﻟا ﺾﻌﺑ ﺺﻴﺼﲣو ﺔﻗ “hilah yang bertujuan untuk meru- bah substansi hukum syar’i pada bentuk hukum lain yang sah menu- rut zahirnya, namun secara batin sia- sia. Seperti hilah yang objeknya menggugurkan hak syufah dan menghusukan sebagian ahli waris untuk menerima wasiat dan untuk menggugurka had pencurian.

  Berdasarkan bentuk hilah yang dikemukakan Wahbah Zuhaili ter- sebut maka dipahami bahwa hilah hukum yang diperbolehkan adalah perubahan terhadap substansi me- tode yang ditetapkan oleh syari’at Islam, yang diletakkan untuk per- kara tertentu dan digunakan dalam keadaan lain untuk mencapai suatu kebenaran, menolak kezaliman atau memperoleh kemudahan. Hilah hu- kum seperti ini tidak merusak aspek kemaslahatan syari’at Islam, berjalan sesuai dengan kerangka syari’at, oleh sebab itu hilah hukum se- macam ini dibolehkan.

  Elimartati, Hilah Al-Syariah Sebagai Upaya Dalam Mewujudkan Maqashid Syariah

  Sedangkan hilah hukum yang menyimpang adalah perubahan ter- hadap substansi hukum yang telah ditetapkan oleh syari’at menjadi hukum lain melalui suatu praktek yang benar secara lahir namun salah secara batin. Kebenaran bentuk hilah hukum semacam ini masih diper- debatkan dikalangan sejumlah ulama.

  4. Ibnu Qayyim al Jauziyah juga membagi Hilah kepada dua macam

  Berdasarkan kepada rumusan definisi yang diungkapkan Ibnu Qayyib, maka hilah itu dapat dike- lompokkan kepada dua bahagian yaitu hilah yang dilarang (diharam- kan) dan hilah yang dibolehkan. Hilah yang dilarang (diharamkan) adalah: a. Hilah yang mengandung tu- juan yang diharamkan dan ca- ra yang digunakan juga yang haram. contohnya kasus orang yang meminum khamar sebe- lum masuknya waktu shalat, sehingga shalatnya hilang.

  b. Hilah itu dibolehkan tetapi tu- juan yang hendak dicapai di- haramkan. Artinya hilah dila- kukan dengan melaksanakan perbuatan yang dibolehkan te- tapi bertujuan untuk memba- talkan hukum syara’yang lain, seperti kasus meghibahkan harta untuk menghindarkan kewajiban zakat.

  c. Cara yang ditempuh bukan cara yang haram artinya se- suai dengan syara’, akan tetapi perbuatan tersebut digunakan untuk sesuatu yang haram.

  Contonya dalam kasus nikah tahlil yang direkayasa. Hilah yang bertujuan mene- gakkan kebenaran, mendapatkan suatu hak dan menolak kebatilan (kezaliman). Hilah dalam bentuk ini dibagi menjadi tiga baha-gian: a. Cara yang ditempuh pada esensinya adalah diharamkan, namun tujuannya untuk sua- tu kebenaran atau untuk mem- pertahankan hak seperti sese- orang menceraikan isterinya dengan talak tiga, kemudian ia membantah talak itu.

  b. Cara (jalan) dan tujuannya pa- da dasarnya disyariatkan dan tujuannyapun disyariatkan dan dalam akadnya memenu-hi rukun dan syarat, tetapi secara tersembunyi terdapat unsur penipuan, seperti paroan, mu- saqah dan lain lain.

  c. Hilah untuk mencapai kebena- ran dan menolak kezaliman, dengan cara yang dibolehkan Seperti berjanji mengontrak rumah satu tahun tetapi diba- yar perbulan. Dari klasifikasi hilah yang di- kemukakan oleh para ulama di atas menurut analisis penulis, berbe- daannya pengklasifikasian tersebut disebabkan karena berbedanya su- dut pandang ulama tersebut. Ali Hasaballah membagi hilah berda- sarkan pengertiannya yang umum. Sementara al-Syatibi mengelompok- kan hilah didasarkan kepada dise- pakati atau tidaknya kebolehan dan keharaman hilah itu. Adapun Wah- bah al-Zuhaili membagi hilah ber- dasarkan kepada tujuan dilakukan-

  Juris Volume 9 No 1 (Juni 2010)

  nya hilah. Sedangkan Ibnu Qayyib membagi hilah berdasarkan yang dibolehkan dan yang tidak di boleh- kan.

  Bila diamati pembahagian hi- lah yang dikemukakan oleh para ulama di atas, dapat dipadukan ke- pada tiga kelompok yakni: a. Hilah yang dibolehkan. Ben- tuk hilah yang dibolehkan ini tujuannnya bukanlah untuk membatalkan hukum syara’, atau menghancurkan sendi- sendi maqashid syariah me- lainkan bertujuan untuk men- capai kebenaran, menolak ke- zaliman dan mendapatkan ke- mudahan.

  b. Hilah yang dilarang. Dasar pe- larangan hilah ini karena ber- tujuan untuk membatalkan hukum syar’i dengan praktek terselubung, yang secara lahir diperkenankan oleh syara’ na- mun terlarang secara batin

  c. Hilah yang masih diperseli- sihkan hukumnya (antara bo- leh dan tidak) oleh para ulama sehingga menjadi lapangan ikhtilaf karena tidak adanya dalil qatth’i dan waddha’i yang menjelaskan larangan dan ke- bolehan.

  Terkait dengan persoalan hi- lah ini, Imam Hanafi adalah ulama yang banyak mengunakan hilah. Hilah yang digunakannya bukanlah yang mengugurkan hukum syar’i atau bertentangan dengan maqa- shid syari’ah. Abu Zahra memberi komentar bahwa hilah yang digu- nakan Hanafi bertujuan untuk ke- luar dari kesempitan (makharij min al

  Hilah Syar’i dalam Rangka Upaya Mengujudkan Maqashid Syari’ah

  Penggunaan istilah makhraj (jalan keluar) lebih tepat dan lebih utama dari penggunaan kata hilah yang kerap ditujukan kepada sesua- tu yang buruk. Ungkapan makhraj ini tidak mengandung arti "peni- puan" di dalamnya, tidak seperti makna hilah. yang mengandung makna cenderung kepada peni- puan dan kejahatan yang sering di- konotasikan melanggar syari'at da- ri Allah. Hilah menjadikan akal fiki- ran sebagai tolok ukur serta dasar dari segala perbuatan dan tindak tanduk manusia secara hukum. A- kal juga dijadikan cantolan hikmah dan ia juga sebagai landasan tinda- kan hukum. Hukum haram diada- kan karena ia mengandung kemas- lahatan yang banyak dan menolak kemudharatan, hukum mubah juga mempunyai maksud dalam mem- bawa kemaslahatan dan menolak kemudaratan.

  Bila dilihat contoh-contoh hi- lah yang dikemuakan oleh para u- lama baik yang dibolehkan maupun yang terlarang, maka terlihat bahwa hilah itu dipakai dalam kasus hu- kum yang bersifat kasuistik (khu- sus) yang menyangkut masalah orang tertentu dalam kasus yang tertentu pula. Maka hillah dapat di- katakan sebagai solusi atau makraj.

  Menurut al-Syatibi, dalam pe- nerapan tiori iktibar al- maal ada be- berapa kaedah (juga sebagai meto- de ijtihad). yang bisa diterapkan un- tuk mencapai tujuan syara’. Salah satu dari kaidah itu adalah paraktek

  al-Hiyal . Kaedah–kaidah ini bertu-

  juan untuk mencapai kemaslahatan manusia, baik yang bersifat daruri

  Elimartati, Hilah Al-Syariah Sebagai Upaya Dalam Mewujudkan Maqashid Syariah

  (pokok), haji dan maupun takmili ﺞـﳊا) ... جﺮـﺣ ﻦـﻣ ﻦﻳﺪﻟا ﰱ ﻢﻜﻴﻠﻋ ﻞﻌﺟ ﺎﻣو .... (pelengkap). Menurut Husein Ha-

  ( 78 :

  mid Hasan (Guru besar Ushul Fikih di Universitas Ummu al-Qura Me-

  اﺮﺴﻳ ﺮﺴﻌﻟا ﻊﻣ نا

  kah), teori i’tibar al-maal dalam rangka ijtihad tatbiqi perlu dikem-

   اوﺮﺴﻌﺗ ﻻو اوﺮﺴﻳ

  bangkan, khususnya pada zaman sekarang yang kondisi sosialnya Hadis Nabi Muhammad Saw. jauh berbeda dengan zaman Imam al Yang berhubungan dengan masalah Syatibi, baik di bidang ibadah mau- ibi antara lain: pun di bidang muamalah.

   ﻩاور ﺔﺤﻤﺴﻟا ﺔﻔﻴﻨﳊا ﷲ ﱃا ﻦﻳﺪﻟا ﺐﺣا ﺮﺴﻳ ﻦﻳﺪﻟا

  Hilah sebagai solusi untuk mencarikan jalan keluar dari yang ( ىرﺎﺨﺒﻟا mendatangakan kesulitan kepada

  ( ﺪﲪا ﻩاور ) ﺔﺤﻤﺴﻟا ﺔﻴﻔﻨﳊ ﺎﺑ ﺖﺜﻌﺑ

  hal yang memudahkan asalkan ti- dak menghalalkan yang haram dan Kaedah fikiyah yang sejalan tidak menzalimi. Artinya tidak me- dengan masalah ini di antaranya: langgar perinsip dari hukum Islam dan dalam rangka memelihara yang

   ﲑﺴﺘﻟا ﺐﻠﲡ ﺔﻘﺸﳌأ

  lima yaitu memelihara agama, jiwa, harta, keturunan dan kehormatan قﺎﺿ ﺮﻣﻻا ﻊﺴﺗا اذاو ﻊﺴﺗا ﺮﻣﻻا قﺎﺿ اذا dan juga dalam rangka mengujud-

  لاﺰﻳ رﺮﻀﻟا

  kan kemaslahatan sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Syatibi Bentuk bentuk hilah yang ter- dan yang dipakai oleh Imam Hana- dapat dalam al-Quran di antaranya: fi. Allah Swt. Berfirman dalam surat

  1. Allah SWT. mengajarkan ke- al-Talak (65: 2 ) pada Nabi Yusuf a.s suatu hi- ﺎﺟﺮﳐ ﻪﻟ ﻞﻌﳚ ﷲ ﻖﺘﻳ ﻦﻣو .... lah yang dipergunakan untuk menhadafi saudaranya seba-

  Pemakaian hilah yang sesuai gaimana diceritakan Allah da- dengan ketentuan syara’, tidak da- lam surat yusuf ayat 70 : lam rangka meninggalkan yang wa- jib, tujuanya adalah dalam rangka

         mencapai maqashid syari;ah. Bebe- rapa penerapan praktek hilah versi

          

  Hanafiyah menampakkan bahwa hilah bertujuan menghilangkan ke- 

   sulitan dan mengambil kemudahan dalam menyelesaikan suatu persoa-

  “Maka tatkala Telah disiapkan un-

  lan dan melapangkan suatu kesuli-

  tuk mereka bahan makanan mereka,

  tan. Kondisi ini merupakan aplikasi

  Yusuf memasukkan piala (tempat

  dari ayat ayat Allah berikut ini:

  minum) ke dalam karung saudara- nya. Kemudian berteriaklah seseo- ....ﺮــﺴﻌﻟا ﻢــﻜﺑ دﺮــﻳ ﻻو ﺮــﺴﻴﻟا ﻢــﻜﺑ ﷲ دﺮــﻳ ..... rang yang menyerukan: "Hai kafi-

  185 ( : ةﺮ ﻘﺒﻟا)

  Juris Volume 9 No 1 (Juni 2010) lah, Sesungguhnya kamu adalah o- rang-orang yang mencuri".

  2. Allah mengajarkan kepada Nabi Ayyub suatu siasat un- tuk diterapkan kepada orang yang disumpahinya tanpa me- langgar sumpah. Ia bersum- pah akan memukul istrinya 100 kali, bila sakit kulitnya sudah sembuh, disebabkan istrinya pernah lalai mengurusnya waktu sakit. Akan tetapi tim- bul dalam hatinya rasa iba dan sayang terhadap istrinya se- hingga tidak berdaya melaksa- nakan sumpahnya itu. Kemu- dian Allah mengajarkan kepa- danya cara melaksanakan sumpahnya dengan tidak sam- pai menyakiti badan istrinya serta tidak melanggar sum- pahnya. Yaitu ia diperintah memukul istrinya dengan se- ikat rerumputan yang terdiri dari satu rangkai. Sebagaima- na firman Allah dalam surat Shad ayat 44

  

                

  

  3. Pada zaman Rasulullah pernah terjadi tindak pidana perzinaan dimana beliau memerintahkan untuk menjatuhi hukuman jilid dengan sekali pukul saja yang berkas untuk memukulnya itu terdiri dari 100 ranting pepoho- nan. Peristiwanya seabagai berikut. Walidah keluarga dari Sa’idah hamil dari perzinaan. Ketika di- tanya oleh seseorang siapa yang lan yang menderita sakit payah itu.

  Setelah si fulan ditanya ia mengaku terus terang. Peristiwa itu dilapor- kan kepada Rasulullah saw. Atas laporan itu beliau memerintahkan agar mengambil seonggok kayu yang terdiri dari 100 ranting untuk dipukulkan kepada wanita itu seka- li saja. Orang orang lalu melaksana- kan hukuman tersebut (H.R Ahmad dan Ibnu Majah)

  Segala perikatan syar’iyah yang dilakukan berdasarkan hilah perinsipnya adalah dipergunakan untuk mempengaruhi dan menca- pai tujuan (maqashid) syari’ah, se- perti dalam bay’u al wafa’ diboleh- kan oleh Hanafiyah berdasarkan hi- lah untuk menjaga harta dan untuk mengujudkan kemaslahatan dan a- gar masing–masing pihak yang me- lakukan akad tidak dirugikan atau tidak memberi mudharat kepada pihak lain, hilah dalam masalah perkawinan adalah untuk menjaga keturunan, hilah dalam bidang hu- dud seperti kasus Wahidah di atas adalah dalam rangka menghilang- kan kezaliman terhadap orang yang dalam penderitaan. Hilah dilaku- kan untuk mengkompromikan be- berapa maqashid syari’ah, beberapa kaedah hukum yang ditetapkan oleh fuqaha’ Hanafiyah. Seperti bebe- rapa syarat yang ditentukan dalam agad yang terbatas, jika syarat itu harus dipenuhi oleh orang yang beakad maka akad akan memberi kesempitan dan mengakibatkan ba- talnya akad yang dilakukan. Dalam hal inilah hilah dilakukan terhadap mereka yang menginginkan adanya syarat itu sementara fikih tidak menetapkannya. Maka untuk ihtiyath (kehati-hatian) wajib dilak-

  Elimartati, Hilah Al-Syariah Sebagai Upaya Dalam Mewujudkan Maqashid Syariah

DAFTAR PUSTAKA

1 Bakr bin

  Dar al-Shadir,tt,Juz III

  Muassalah Risalah,1982

  dharuriyah al-Syar’iyah, Beirut,

  Wahbah al-Zuhayli, Nadhriyatul

  Nadhoir, Syirkah Nur asia,tt

  ِ◌ ِ◌ Jalaluddin Abdurrahman al- Suyu-thi al-Assyba’wa al-

  Dar-al-Nahdhahal-Arabiah, 1971

  hah fi al-fiqh al- Islam, Beirut,

  Husein Hamid, Nazhariah al- Masla-

  Manzhur, Lisan al-Arab, Beirut, Dar al-Shadir,tt,Juz III

  Hilal lil Opset, 1980 Ibn Manzhur, Lisan al-Arab , Beirut ,

  memberikan hartanya kepada orang lain melalui akad mudharabah akan tetapi ia tidak yakin bahwa pekerja itu adalah orang yang dapat di- percaya, orang inipun tidak punya jaminan. Maka dilakukanlah akad mudharabah, syarikat dan qirat.

  Qyyim al-Jauziyah Hayatuhu wa Atsru hu,, Riyat dh, Dar al-

  Abdullah Abu Zaid, Ibnu

  al-Ilmiah tt,Juz 2

  Al syari’ah ,Beirut, Dar al- Kitab

  Al-Syatibi ,al Muwafakat fi Ushul al-

  Mesir, Dar al- Ma’arif, 1971, hal.322

  al-Islami,

  Ali Hasaballah , Ushul al- al-Tasyri;

  Hilah sebagai solusi untuk mencarikan jalan keluar dari yang mendatangakan kesulitan kepada hal yang memudahkan asalkan ti- dak menghalalkan yang haram dan tidak menzalimi. Artinya tidak me- langgar perinsip dari hukum Islam adalah dalam rangka memelihara yang lima yaitu memelihara agama, jiwa, harta, keturunan dan kehor- matan dalam mengujudkan kemas- lahatan, atau mencapai maqashid syari’ah.

  Hilah dilihat dari syar’iyah ada yang diharamkan dan ada pula yang dibolehkan. Hilah yang dibolehkan adalah dalam rangka untuk meng- ujudkan kemaslahatan dan upaya menjaga maqashid syari’ah yang di- pakai oleh Hanafiyah untuk meng- hilangkan kesulitan dan untuk menghindarkannya dari kezaliman.

  KESIMPULAN