BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Statistik dan Statistika - Perbandingan Preferensi Peserta BPJS Terhadap Kualitas Pelayanan di Rumah Sakit Dr. Pirngadi dan Rumah Sakit Martha Friska Medan Tahun 2015

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

  2.1 Statistik dan Statistika

  Menurut Soepono (1997), statistik dapat diartikan sebagai cara maupun aturan-aturan yang berkaitan dengan pengumpulan, pengolahan atau analisis, penarikan kesimpulan, atas data-data yang berbentuk angka dengan menggunakan suatu asumsi-asumsi tertentu. Sedangkan pengetahuan yang membicarakan cara- cara ini disebut statistika.

  Menurut soleh (2005), statistika merupaka suatu cabang ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk mempelajari tata cara pengumpulan data atau sampling, Pengolahan data, penyajian data, analisis data, dan pengambilan keputusan berdasarkan data.

  Statistika kesehatan ialah data atau informasi yang berkaitan dengan masalah kesehatan. Secara garis besar, metode statistika dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu statistika deskriptif dan statistika inferensial. Statistika deskrptif bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang keadaan yang berkaitan dengan penyakit dan kesehatan masyarakat berdasarkan hasil pengamatan yang nyata. Sedangkan statistika inferensial bertujuan untuk menarik kesimpulan ciri-ciri populasi yang dinyatakan dengan parameter populasi melalui perhitungan- perhitungan statistik sampel (Budiarto, 2001).

  2.2 Statistik Multivariat

  Analisis multivariat merupakan perluasan dari analisis univariat dan bivariat yang berhubungan dengan metode-metode statistik yang secara bersama- sama melakukan analisis terhadap lebih dari dua variabel pada setiap objek. Teknik analisis multivariat dapat menganalisis pengaruh beberapa variabel terhadap variabel-variabel lainnya dalam waktu yang bersamaaan.

  Analisis multivariat adalah analisis multi variabel dalam satu atau lebih hubungan. Analisis ini berhubungan dengan semua teknik statistik yang secara simultan menganalisis sejumlah pengukuran pada individu atau objek (Santoso,

  Analisis multivariat digunakan apabila masalah yang terjadi tidak dapat diselesaikan dengan hanya menghubungkan dua variabel atau melihat pengaruh satu variabel terhadap variabel lainnya. Masalah tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa variabel dan antar variabel yang saling berhubungan, oleh sebab itu teknik analisis multivariat dibutuhkan untuk melakukan analisis data yang sangat komplek. Hal ini tidak membuat metode statistik sederhana seperti analisis univariat dan bivariat tidak diperlukan lagi. Setiap metode mempunyai karakteristik dan kompleksitas yang berbeda, dan pada akhirnya tergatung pada tujuan analisis serta kompleksitas masalah yang dihadapi.

  Menurut supranto (2010), analisis statistik multivariat bisa dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, yaitu :

1. Analisis dependensi/ ketergantungan (dependence methods) 2.

  Analisis interdependensi/ saling ketergantungan (interdependence methods) Analisis dependensi bertujuan untuk menjelaskan atau meramalkan nilai variabel tak bebas berdasarkan lebih dari satu variabel bebas yang mempengaruhinya. (X

  1 , X 2 , ..., X k , dan Y) kalau hanya melibatkan satu variabel bebas, analisis disebut bivariat (X dan Y). Analisis interdependensi bertujuan untuk memberikan arti (meaning) kepada suatu set variabel (kelompok variabel) atau mengelompokkan suatu set variabel menjadi kelompok yang lebih sedikit jumlahnya dan masing-masing kelompok membentuk variabel baru yang disebut faktor (mereduksi jumlah variabel).

2.3.1. Pengertian dan Konsep Dasar Analisis Konjoin

  Analisis konjoin merupakan suatu metode untuk mengetahui penilaian konsumen terhadap suatu produk atau jasa berdasarkan atribut yang ada pada produk atau jasa tersebut. Hasil penilaian konsumen bermanfaat dalam menentukan produk atau jasa yang paling disukai konsumen.

  Kata conjoint menurut pra praktisi riset diambil dari kata Considered

  Jointly yang dalam kenyataannya kata sifat conjoint diturunkan dari kata benda to conjoint yang berarti joined together atau bekerja sama (Kuthfeld, 2000).

  Menurut Hair et al (2010),

  “conjoint analysis is a multivariate technique developed specifically to understand how respondents develop preferences for any types of object (product, services, or ideas)”. Analisis konjoin adalah suatu teknik

  multivariat yang secara khusus digunakan untuk memahami bagaimana responden mengembangkan preferensinya terhadap semua jenis objek (produk, pelayanan atau ide).

  Pada dasarnya teknik analisis ini dinilai melalui utilitas konsumen tentang suatu produk atau jasa atau ide yang dikombinasikan dari beberapa karakteristik atribut. Hal ini digunakan untuk menentukan atau memahami bagaimana responden membentuk keputusan pada sebuah produk atau pelayanan (Arniva, 2014). Dalam penskalaannya, analisis konjoin mempercayakan pada evaluasi subjektif pada responden yang stimulusnya merupakan kombinasi dari tingkat atribut yang ditentukan oleh peneliti.

  Analisis konjoin termasuk kedalam kelompok metode dependen tergantung. Variabel bebas merupakan faktor, dan variabel tergantung merupakan preferensi dari konsumen dalam memberikan penilaian terhadap faktor-faktor suatu produk, jasa, atau ide yang dinilainya (sarwono, 2009).

  Menurut Supranto (2010), tujuan dari analisis konjoin antara lain : 1. Untuk menentukan kepentingan relatif dari atribut di dalam proses pemilihan yang dilakukan oleh konsumen.

  2. Untuk mengestimasi pangsa pasar produk atau jasa yang berbeda dalam tingkatan level atribut.

  3. Untuk menentukan komposisi produk atau jasa yang paling disukai oleh konsumen.

  4. Untuk membuat segmen pasar berdasarkan pada kemiripan preferensi untuk tiap tingkatan level atribut.

  Menurut Santoso (2014), analisis konjoin berbeda dengan analisis multivariat lainnya yang membutuhkan uji asumsi. Analisis konjoin tidak membutuhkan uji asumsi seperti normalitas, homoskedastisitas, dan lainnya. Model dari analisis ini yaitu :

  Y = X +X +...+X

  1

  1 2 n Metrik/Non Metrik Non Metrik Keterangan :

  1 dan seterusnya) adalah faktor, yang berupa

   Variabel Independen (X data non-metrik. Termasuk disini adalah bagian dari faktor (level).

  1 ) adalah pendapat keseluruhan (overall

   Variabel Dependen (Y

  preference ) dari seorang responden terhadap sekian faktor dan level

  pada sebuah produk atau jasa. Variabel dependen ini juga mencakup tingkat kepentingan faktor dari seorang responden terhadap atribut- atribut produk atau jasa. Menurut Supranto (2010), secara matematis model dasar analisis konjoin adalah sebagai berikut :

  m ki

  µ(x) = a ij x ij

   i j

   1 

  1

  dimana : µ(x) = seluruh utility dari suatu alternatif (overall utility of an alternative ). a ij = sumbangan the part-worth atau utility yang terkait dengan level j. (j, j = 1, 2, ..., k i ) dari atribut ke i (i, i = 1, 2, ..., m) k i = banyaknya level atribut i. m = banyaknya atribut x ij = 1, kalau level ke j dari atribut ke i terjadi

  = 0, kalau tidak.

2.3.2. Metode Perancangan dan Pengukuran dalam Analisis konjoin

  Menurut Hair et al (2010), Metode perancangan dan pengukuran pada analisis konjoin , yaitu :

  1. Tarditional Conjoint Analysis Tarditional Conjoint Analysis merupakan metode yang menduga

  pada single profile atau pada pairwise full profile dapat dilakukan secara manual atau secara komputerisasi. Perancangannya meliputi penentuan atribut, penentuan taraf, dan menentukan format kuesioner yang tepat.

  Nilai utility pada Tarditional Conjoint Analysis dapat diduga dengan menggunakan OLS (Ordinary Least Square) pada data metrik (rating data) atau menggunakan monotone regression pada data non-metrik (rangking data). Jika jumlah atribut yang digunakan kurang dari 6, maka penggunaan metode ini akan lebih efektif.

2. Adaptive/Hybrid Conjoint Analysis (ACA)

  Adaptive/Hybrid Conjoint Analysis (ACA) mrupakan metode yang

  digunakan untuk merancang full-profile. Istilah adaptive mengacu bahwa wawancara dilakukan secara komputerisasi dan berisi tahap-tahap yang akan menentukan tingkat keinginan dari suatu taraf dan tingkat kepentingan dari tiap atribut. Responden dihadapkan pada suatu pertanyaan berupa kuesioner kemudian diminta untuk menjawab pertanyaan didalamnya. Tipe pertanyaan yang dihadapkan dapat berupa rangking, atau rating. Tipe pertanyaan berupa tingkat kepentingan atribut atau tipe pertanyaan pasangan.

  Dugaan nilai kegunaan didapat dari tingkat preferensi responden tiap taraf dan tingat kepentingan tiap atribut. ACA pertama kali diperkenalkan untuk nilai kegunaan yang diduga dengan mengguankan OLS (Ordinary Least Square). Seiring perkembangan zaman, ACA berkembang menjadi beberapa versi yang tingkat kesulitannya lebih kompleks. untuk tiap atribut memiliki sampai dengan 15 taraf dan tidak akan memberikan keuntungan apabila digunakan pada jumlah atribut kurang dari 6, walaupun setidaknya akan bekerja seperti pada full profile. Dengan jumlah atribut yang besar, analisis data hanya mungkin dilakukan secara komputerisasi karena tidak mungkin dilakukan responden secara manual. Seperti full profile, ACA dapat mengukur utility taraf tiap individu dan hanya dapat mengukur efek utama tiap atributnya.

3. Choice Based Conjoint (CBC)

  Choice Based Conjoint (CBC) adalah suatu pengembangan baru yang

  penggunaaannya telihat sejak lima tahun belakangan. Pada metode ini responden diperlihatkan semua alternatif yang tersedia, kemudian diizinkan untuk memilih satu dari beberapa pilihan tersebut atau tidak memilih satu pun dari banyak pilihan yang tersedia. CBC dapat dilakukan pada atribut kecil maupun besar, secara manual ataupun komputerisasi. Berbeda dengan traditional conjoint dan adaptive

  

conjoint , CBC memiliki kelemahan yaitu tidak dapat mengukur utility tiap

  individu. Pada kasus Choice Based Conjoint (CBC) perlu dilakukan adptasi untuk menghasilkan suatu gugus pilihan yang terdiri dari lebih dari satu konsep produk atau jasa. Untuk mengukur nilai kegunaan digunakan regresi probit atau regresi logit.

2.3.3. Langkah-langkah Melakukan Analisis Konjoin

  Dalam melakukan analisis konjoin, langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut : Perumusan masalah

  Didalam merumuskan masalah analisis konjoin, peneliti harus mengenali/mengidentifikasi atribut dengan tingkatan/level masing-masing yang dipergunakan untuk membentuk stimulus. Level atribut menunjukan nilai yang diasumsikan oleh atribut. Atribut yang dipilih harus sangat penting dalam mempengaruhi preferensi dan pilihan konsumen (Supranto, 2010).

  Menurut Hair et al (2010), karakteristik umum yang harus diperhatikan dalam menentukan atribut dan level/taraf yaitu :

1. Atribut dan level/taraf harus dapat dikomunikasikan dengan mudah untuk melakukan evaluasi secara realistis.

  2. Atribut dan level/taraf harus dilaksanakan dan didefenisikan dengan jelas sehingga tiap atribut berbeda dengan jelas dan presentasi konsep dapat diimplementasikan secara presisi. Dengan kata lain, atribut tidak bisa bersifat fuzzy .

  Jumlah level tiap atribut harus seimbang dan range dari level pada atribut harus diatur agar berada di luar nilai-nilai yang sudah ada, tetapi tidak pada taraf yang tidak dapat dipercaya. Level juga harus didefenisikan sedemikian rupa sehingga tidak terdapat stimuli yang sangat disukai konsumen tetapi tidak dapat direalisasikan. Atribut dan levelnya harus bisa diukur dan diambil tindakan (actionable).

2. Penentuan Metode Analisis Konjoin

  Penentuan metode yang akan digunakan dalam analisis konjoin dilakukan berdasarkan jumlah atribut yang dilibatkan. Menurut Hair et al (2010), ada tiga metode tersebut dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 2.1 Perbandingan Alternatif Metode Konjoin

  Metode Konjoin Karakteristik

  Choice-Based

Traditional Adaptive/Hybrid

Conjoint

Conjoint Conjoint

  Maksimum

  6

  9

  30 Atribut Agregat atau

  Level Analisis Indiviadual Individual Individual Aditif dan

  Bentuk Model Aditif Aditif interaksi Memberikan

  Mengevaluasi Memilih

  Aktifitas stimuli Full- rating terhadap sekelompok Pemilihan profile dalam satu stimuli yang stimuli waktu mencakup sekelompok atribut

  Format Umumnya berbasis Tidak dibatasi

  Tidak dibatasi Pengumpulan komputer

  Data Sumber: Multivariate Data Analysis (Hair et al, 2010)

  Menurut Hair et al (2010), ada dua macam aturan komposisi untuk menggambarkan bagaimana responden menggabungkan parth-worth dari atribut untuk mendapatkan nilai secara keseluruhan, yaitu : 1.

  Model aditif, merupakan aturan komposisi yang paling umum dan paling mendasar serta merupakan model dasar untuk traditional dan adaptive

  

conjoint . Model ini tidak membutuhkan asumsi yang ketat mengenai sebaran data. Responden secara sederhana menjumlahkan nilai tiap atribut untuk mendapatkan nilai total dari kombinasi atribut.

  2. Model interaktif, merupakan aturan komposisi yang lebih sering digunakan untuk atribut yang kurang tangible terutama bila reaksi estetis atau emosional berperan besar. Kepentingan interaksi meningkat karena ketidakmampuan konjoin digunakan model interaktif multiplikatif.

3. Merancang stimuli

  Kombinasi antara atribut dengan level disebut dengan stimuli atau

  treatment . Jika ada m atribut dan masing-masing atribut ada n level, maka stimuli

  yang dibuat adalah n x n x ... sejumlah m buah. Apabila jumlah atribut dan level yang dilibatkan dalam penelitian banyak, maka stimuli yang terbentuk akan semakin banyak pula.

  Dalam mereduksi jumlah stimuli agar responden lebih mudah dalam mengevaluasi stimuli dibutuhkan suatu teknik yang dikenal dengan fractional

  factorial design. Dengan teknik ini akan diperoleh jumlah stimuli yang hanya

  mengukur efek utamanya saja sedangkan efek dari interaksi antara satu atribut dengan atribut lainnya diabaikan. Urutan penyajian atribut dalam stimuli tidak berpengaruh terhadap responden dalam memberikan peringkat (rangking) ataupun nilai (rating) terhadap skenario pilihan (Ryan et al, 1998).

  Menurut Supranto (2010), terdapat dua cara pembentukan stimuli dalam analisis konjoin yaitu :

  1. Pendekatan pasangan (the pairwise approach) Pendekatan pasangan juga disebut evaluasi dua faktor (two factor

  

evaluation ), responden diminta menilai dua atribut setiap kali sampai semua

  kemungkinan pasangan dua atribut telah selesai di evaluasi. Untuk setiap pasangan, responden mengevaluasi semua kombinasi dari level kedua atribut mereduksi/mengurangi jumlah perbandingan pasangan dengan menggunakan cyclical designs agar tidak mengevaluasi semua kemungkinan kombinasi.

  2. Prosedur profil penuh (full-profile procedure) Pendekatan profil penuh juga disebut dengan evaluasi banyak faktor

  (multiple factor evaluation). Responden diminta mengevaluasi sebagian atau seluruh kombinasi level atribut yang menggambarkan profil produk atau jasa secara lengkap dengan memberikan peringkat (Rangking) atau menilai (Rating). Sama halnya dengan pendekatan pairwise, pendekatan full profile jumlah stimulus profiles dapat dikurangi dengan fractional factorial designs.

  Suatu kelas spesial/ khusus fractional designs yang disebut orthogonal arrays, yang memungkinkan untuk mengestimasi semua main effects.

  Orthogonal arrays memungkinkan pengukuran semua main effects of

interrest on an uncorrelated basis . Desain ini mengasumsikan bahwa semua

  interaksi yang tidak penting, bisa diabaikan (negligible). Orthogonal arrays dibentuk dari basic full factorial design dengan mengganti suatu faktor baru untuk selected interaction effects yang dianggap bisa diabaikan.

  Pada umumnya, dua set data diperoleh. Set pertama disebut estimation

  

set , dipergunakan untuk menghitung parth-worth function bagi tingkatan

  atribut. Set lainnya disebut hold out set dipergunakan untuk memperkirakan/mengakses keandalan dan keahlian (reability dan validity).

  Menurut Santoso (2014), secara teoritis stimuli akan sangat banyak bisa dilakukan pengurangan stimuli dengan ketentuan stimuli minimal adalah : Minimun stimuli = Jumlah level

  • – Jumlah atribut + 1 4.

  Pengumpulan data Pengumpulan data yang dimaksud adalah pengumpulan pendapat responden terhadap setiap stimuli yang ada. Pendapat setiap responden ini disebut sebagai utility, yang dinyatakan dengan angka dan menjadi dasar perhitungan konjoin.

  5. Melakukan proses konjoin Dari pendapat responden atas sekian stimuli, dilakukam proses konjoin untuk memperkirakan (prediksi) bentuk produk atau jasa yang diinginkan responden.

  6. Interpretasi hasil Dalam menginterpretasi hasil analisis konjoin, dapat dilihat dari hasil part- yang diplot-kan kedalam bentuk grafik untuk mengidentifikasi pola.

  worth

  Semakin tinggi part-worth (baik positif maupun negatif), semakin besar pengaruhnya terhadap utilitas secara keseluruhan.

  Analisis konjoin dapat juga mengukur tingkat kepentingan relatif dari tiap atribut. Atribut dengan range terbesar dari part-worth adalah faktor terpenting karena memberikan kontribusi terbesar dari utilitas keseluruhan (Hair et al, 2010) 7.

  Validasi hasil konjoin Tujuan validasi adalah untuk memastikan seberapa konsisten model dapat ditambahkan holdout (stimuli tambahan). Hasil analisis konjoin yang memperkirakan pola pendapat responden atau estimasi part-worth dibandingkan dengan pendapat responden yang sebenarnya (actual) yang ada pada proses stimuli dapat menggunakan korelasi Spearman’s rho atau Kendall’s tau pada data

  rank-order dan korelasi Pearson pada data Rating. Tingginya angka korelasi

  antara hasil estimates dengan hasil actual menunjukan ketepatan prediksi atau predictive accuracy (Santoso, 2014).

2.4 Pelayanan Kesehatan

2.4.1 Pengertian Pelayanan Kesehatan

  Menurut Depkes RI (2009) pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok dan atupun masyarakat. Sesuai dengan batasan seperti di atas, mudah dipahami bahwa bentuk dan jenis pelayanan kesehatan yang ditemukan banyak macamnya.

  Menurut Notoatmodjo (2007), pelayanan kesehatan adalah sebuah sub sistem pelayanan kesehatan yang tujuan utamanya adalah pelayanan preventif (pencegahan) dan promotif (peningkatan kesehatan) dengan sasaran masyarakat. Sedangkan menurut Levey dan Loomba (1973), Pelayanan Kesehatan adalah upaya yang diselenggarakan sendiri/secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah, dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan peroorangan, keluarga, kelompok, atau masyarakat.

  Menurut Notoatmodjo (2007), tujuan pelayanan kesehatan yaitu : 1. Promotif (Memelihara dan Meningkatkan kesehatan)

  Hal ini diperlukan misalnya dalam peningkatan gizi dan perbaikan sanitasi lingkungan.

2. Preventif (Pencegahan Terhadap Orang yang Beresiko Terhadap Penyakit) a.

  Preventif Primer terdiri dari program pendidikan, seperti imunisasi, penyediaan nutrisi yang baik, dan kesegaran fisik.

  b.

  Preventif Sekunder Terdiri dari pengobatan penyakit pada tahap dini untuk membatasi kecacatan dengan cara mengindari akibat yang timbul dari perkembangan penyakit tersebut.

  c.

  Preventif Tersier Pembuatan diagnose ditunjukan untuk melaksanakan tindakan rehabilitasi, pembuatan diagnose dan pengobatan.

  d.

  Kuratif (penyembuhan penyakit) Untuk merawat dan mengobati anggota keluarga, kelompok yang menderita penyakit atau masalah kesehatan. e.

  Rehabilitasi (pemulihan) Usaha pemulihan seseorang untuk mencapai fungsi normal atau mendekati normal setelah mengalami sakit fisik atau mental, cedera atau penyalahgunaan.

2.4.3 Jenis-Jenis Pelayanan Kesehatan 1.

  Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama (Primary Health Care) Pelayanan kesehatan tingkat pertama (primary health care) merupakan pelayanan kesehatan yang bersifat pokok, yang sangat dibutuhkan oleh sebagian besar masyarakat serta mempunyai nilai strategis untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Pada umumnya pelayanan kesehatan tingkat pertama ini bersifat pelayanan rawat jalan (ambulatory/out patient services).

  Pelayanan kesehatan jenis ini diperlukan untuk masyarakat yang sakit ringan dan masyarakat yang sehat untuk meningkatkan kesehatan mereka atau promosi kesehatan. Pelayanan ini dilakukan bersama masyarakat dan dimotori oleh Dokter Umum (Tenaga Medis) dan Perawat Mantri (Tenaga Paramedis).

  Bentuk pelayanan ini misalnya puskesmas, puskesmas pembantu, puskesmas keliling, dan balkesmas.

2. Pelayanan Kesehatan Tingkat Kedua (Secondary Health Care)

  Pelayanan kesehatan tingkat kedua (Secondary Health Care) adalah pelayanan lebih lanjut yang bersifat rawat inap (in patient services) yang sudah tidak dapat ditangani oleh pelayanan kesehatan primer. Pelayanan ini dilakukan oleh dokter spesialis dan dokter subspesialis terbatas. Bentuk pelayanan ini misalnya puskesmas rawat inap, Rumah Sakit tipe C dan D.

  3. Pelayanan Kesehatan Tingkat Ketiga (Tertiary Health Care) Pelayanan kesehatan tingkat ketiga (Tertiary Health Care ) adalah pelayanan kesehatan yang bersifat lebih komplek yang tidak dapat ditangani oleh subspesialis dan dokter subspesialis luas. Bentuk pelayanan ini misalnya puskesmas, klinik, rumah Sakit tipe A dan B.

  Menurut pendapat Hodgetts dan Casio, jenis pelayanan kesehatan secara umum dapat dibedakan atas dua, yaitu :

  1. Pelayanan kedokteran Pelayanan kesehatan yang termasuk dalam kelompok pelayanan kedokteran (medical services) ditandai dengan cara pengorganisasian yang dapat bersifat sendiri (solo practice) atau secara bersama-sama dalam satu organisasi. Tujuan utamanya untuk menyembuhkan penyakit dan memulihkan kesehatan, serta sasarannya terutama untuk perseorangan dan keluarga.

  2. Pelayanan kesehatan masyarakat Pelayanan kesehatan yang termasuk dalam kelompok kesehatan masyarakat (public health service) ditandai dengan cara pengorganisasian yang umumnya secara bersama-sama dalam suatu organisasi. Tujuan utamanya untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit, serta sasarannya untuk kelompok dan masyarakat.

2.4.4 Syarat Pokok Pelayanan Kesehatan Pelayanan kesehatan yang baik memiliki berbagai persyaratan pokok.

  Syarat pokok yang dimaksud menurut Azwar (1996), adalah sebagai berikut: 1.

  Tersedia dan berkesinambungan Syarat pokok pertama pelayanan kesehatan yang baik adalah pelayanan

  Artinya semua jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat tidak sulit ditemukan serta keberadaannya dalam masyarakat selalu ada ketika dibutuhkan.

  2. Dapat diterima dan wajar Syarat pokok kedua pelayanan yang baik adalah pelayanan kesehatan yang tidak bertentangan dengan keyakinan dan kepercayaan masyarakat. Pelayanan kesehatan yang bertentangan dengan adapt istiadat, kebudayaan, keyakakinan, dan kepercayaan masyarakat, serta bersifat tidak wajar bukanlah suatu pelayanan kesehatan yang baik.

  3. Mudah dicapai Syarat pokok yang ketiga pelayanan kesehatan yang baik adalah lokasi yang mudah dijangkau oleh masyarakat. Dengan demikian maka pengaturan distribusi sarana kesehatan menjadi sangat penting, pelayanan kesehatan yang terlalu terkonsentrasi pada perkotaan saja dan tidak ditemukan di daerah pedesaaan bukanlah pelayanan kesehatan yang baik.

  4. Mudah dijangkau

  Syarat pokok keempat pelayanan kesehatan yang baik adalah dapat dilihat dari segi biaya, untuk dapat mewujudkan keadaan yang seperti ini harus diupayakan biaya pelayanan kesehatan yang sesuai dengan kemampuan ekonomi masyarakat. Pelayanan kesehatan yang mahal dan hanya bisa dijangkau oleh sebagian masyarakat bukanlah pelayanan kesehatan yang baik.

  Bermutu Syarat pokok terakhir pelayanan kesehatn yang baik adalah bermutu, yaitu menunjuk pada tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan, yang di satu pihak dapat memuaskan para pemakai jasa pelayanan. Dan dipihak lain tata cara penyelenggaraan sesuai kode etik serta standar yang telah ditetapkan.

2.4.5 Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan

  Pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah hasil dari proses pencarian pelayanan kesehatan oleh seseorang maupun kelompok. Menurut Notoatmodjo (2003), perilaku pencarian pengobatan adalah perilaku individu maupun kelompok atau penduduk untuk melakukan atau mencari pengobatan. Perilaku pencarian pengobatan di masyarakat terutama di negara sedang berkembang sangat bervariasi. Menurut Notoatmodjo (2003), respons seseorang apabila sakit adalah sebagai berikut: 1.

  Tidak bertindak atau tidak melakukan kegiatan apa-apa (no action). Dengan alasan antara lain : a.

  Bahwa kondisi yang demikian tidak akan mengganggu kegiatan atau kerja mereka sehari-hari. b.

  Bahwa tanpa bertindak apapun simptom atau gejala yang dideritanya akan lenyap dengan sendirinya. Hal ini menunjukkan bahwa kesehatan belum merupakan prioritas di dalam hidup dan kehidupannya.

  c.

  Fasilitas kesehatan yang dibutuhkan tempatnya sangat jauh, petugasnya tidak simpatik, judes dan tidak ramah.

  Takut dokter, takut disuntik jarum dan karena biaya mahal.

  2. Tindakan mengobati sendiri (self treatment), dengan alasan yang sama seperti telah diuraikan. Alasan tambahan dari tindakan ini adalah karena orang atau masyarakat tersebut sudah percaya dengan diri sendiri, dan merasa bahwa berdasarkan pengalaman yang lalu usaha pengobatan sendiri sudah dapat mendatangkan kesembuhan. Hal ini mengakibatkan pencarian obat keluar tidak diperlukan.

  3. Mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan tradisional (traditional remedy ), seperti dukun.

  4. Mencari pengobatan dengan membeli obat-obat ke warung-warung obat (chemist shop) dan sejenisnya, termasuk tukang-tukang jamu.

  5. Mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas modern yang diadakan oleh pemerintah atau lembaga-lembaga kesehatan swasta, yang dikategorikan ke dalam balai pengobatan, puskesmas, dan rumah sakit.

  6. Mencari pengobatan ke fasilitas pengobatan moderen yang diselenggarakan oleh dokter praktek (private medicine). (Notoatmodjo, 2007).

  Faktor determinan dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan dapat dibagi ke dalam tiga kategori utama, yaitu :

  1. Faktor Predisposisi (Predisposing Factor) Karakteristik ini digunakan untuk menggambarkan fakta bahwa setiap individu mempunyai kecenderungan menggunakan pelayanan kesehatan yang berbeda-beda yang disebabkan karena adanya ciri-ciri individu yang digolongkan ke dalam tiga kelompok :

  Ciri-ciri demografi, seperti : jenis kelamin, umur, dan status perkawinan.

  b.

  Struktur sosial, seperti : tingkat pendidikan, pekerjaan, hobi, ras, agama, dan sebagainya.

  c.

  Kepercayaan kesehatan (health belief), seperti keyakinan penyembuhan penyakit.

  2. Faktor Pemungkin (Enabling Factor) Faktor pemungkin terdiri dari : a. Kualitas Pelayanan

  Hasil penelitian Bank Dunia di Indonesia pada tahun 1988 menunjukkan salah satu penyebab rendahnya pemanfaatan rumah sakit oleh masyarakat adalah kualitas pelayanan yang rendah.

  b.

  Jarak Pelayanan Salah satu pertimbangan pasien dalam menentukan sikap untuk mendapatkan pelayanan kesehatan adalah jarak yang ditempuh dari tempat tinggal sampai ke tempat pelayanan kesehatan.

  c.

  Status Sosial Ekonomi

  Status ekonomi mempengaruhi seseorang dalam mendapatkan pelayanan kesehatan. Setiap orang berhak mendapatkan pelayanan kesehatan tanpa melihat status sosial ekonominya.

3. Faktor kebutuhan (Need Factor)

  Kebutuhan merupakan komponen yang paling langsung berhubungan seseorang mengambil keputusan untuk mencari pelayanan kesehatan.

  Menurut Azwar (1993), Pelayanan kesehatan yang bermutu adalah pelayanan kesehatan yang dapat memuaskan setiap pemakai jasa pelayanan kesehatan sesuai dengan tingkat kepuasan rata-rata penduduk, serta yang menyelenggarakannya sesuai standar dan kode etik profesi yang telah ditetapkan.

2.5 Kualitas Pelayanan Kesehatan

  Kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan. Kualitas memberikan suatu dorongan kepada pelanggan untuk menjalin ikatan hubungan yang kuat dengan perusahaan. Pelanggan ingin merasa senang dengan pembelian mereka, merasa bahwa mereka telah mendapatkan nilai terbaik dan mereka merasa bangga akan hubungan mereka dengan sebuah perusahaan yang bercitra mutu tinggi (Tjiptono, 2004).

  Kualitas sangat bersifat subjektif, tergantung pada persepsi, sistem nilai, latar belakang sosial, pendidikan, ekonomi, budaya, dan banyak faktor lain pada masyarakat atau pribadi yang terkait dengan jasa pelayanan perusahaan tersebut.

  Menurut Zeithaml et al dalam Umar (2003), dimensi kualitas pelayanan jasa dapat dibagi menjadi lima kelompok, yaitu :

  1. Keandalan (Reliability) Kemampuan perusahaan untuk memberikan pelayanan sesuai dengan yang dijanjikan secara akurat dan terpercaya. Kinerja harus sesuai dengan harapan pelanggan tanpa kesalahan, sikap yang simpatik, dan dengan akurasi yang tinggi.

  2. Daya Tanggap (Responsiveness) Suatu kemauan untuk membantu dan memberikan pelayanan yang cepat (responsif) dan tepat kepada pelanggan dengan penyampaian informasi yang jelas. Membiarkan konsumen menunggu tanpa adanya alasan yang jelas menyebabkan persepsi yang negatif dalam kualitas pelayanan 3. Jaminan dan Kepastian (Assurance)

  Pengetahuan, kesopansantunan, dan kemampuan petugas untuk menumbuhkan rasa percaya para pelanggan. Hal ini meliputi beberapa komponen antara lain komunikasi (communication), kredibilitas (credibility), keamanan (security), kompetensi (competence) dan sopan santun (courtesy).

  4. Empati (Emphaty) Memberikan perhatian yang tulus dan bersifat individual atau pribadi yang diberikan kepada para pelanggan dengan berupaya memahami keinginan konsumen. Dimana suatu perusahaan diharapkan memiliki pengertian dan pengetahuan tentang pelanggan, memahami kebutuhan pelanggan secara spesifik, serta memiliki waktu yang nyaman bagi konsumen

5. Bukti Fisik (Tangibles)

  Kemampuan suatu perusahaan dalam menunjukkan eksistensinya kepada pihak eksternal. Penampilan dan kemampuan sarana dan prasarana fisik pelayanan yang diberikan oleh pemberi jasa, meliputi fasilitas fisik (gedung, dipergunakan (teknologi) serta penampilan pegawainya).

2.6 Peserta BPJS

  Menurut UU No 24 Tahun 2011 Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial atau BPJS adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminanan sosial. BPJS yang dibentuk Undang-undang ini terdiri dari BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.

  Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menurut UU No. 1 Tahun 2014 adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan. Penyelenggara asuransi kesehatan di Indonesia yang dulunya dikenal dengan PT ASKES (Persero) beralih dari badan usahan milik negara menjadi badan hukum publik BPJS Kesehatan mulai 1 Januari 2014.

  Peserta BPJS menurut UU ini adalah setiap orang , termasuk orang asing yang bekerja paling singkat enam bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran.

  Kelompok perserta yang dikelola BPJS Kesehatan ada dua kelompok, yaitu : 1.

  Peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI), yang terdiri dari fakir miskin dan orang tidak mampu.

2. Peserta non-PBI, yang terdiri dari para Pegawai Negeri Sipil (PNS), Anggota

  Tentara Nasional Indonesia (TNI), anggota Kepolisian Repiblik Indonesia (Polri), karyawan perusahaan swasta, pekerja mandiri, bukan pekerja seperti veteran, penerima pensiun, dan lain-lain.

2.7 Preferensi Konsumen

  terhadap barang atau jasa yang dikonsumsi. Preferensi konsumen menunjukan kesukaan konsumen dari berbagai pilihan produk atau jasa yang ada. Menurut Nicholson, hubungadiasumsikan memiliki tiga sifat dasar, tiga sifat dasar tersebut adalah :

  1. Kelengkapan (completeness) Jika A dan B merupakan dua kondisi atau situasi, maka tiap orang selalu harus bisa menspesifikasikan apakah A lebih disukai daripada B atau B lebih disukai daripada A, atau A dan B sama-sama disukai. Dengan dasar ini tiap orang diasumsikan tidak pernah ragu dalam menentukan pilihan, sebab mereka tahu mana yang lebih baik dan mana yang lebih buruk, dan dengan demikian selalu bisa menjatuhkan pilihan di antara dua alternatif.

  2. Transitivitas (transitivity) Jika seseorang mengatakan ia lebih menyukai A daripada B, dan lebih menyukai B daripada C, maka ia harus lebih menyukai A daripada C. Dengan demikian orang tidak bisa mengartikulasikan preferensinya yang saling bertentangan.

  3. Kontinuitas (Continuity)

  Jika seseorang menyatakan lebih menyukai A daripada B, ini berarti segala kondisi di bawah A tersebut disukai daripada kondisi di bawah pilihan B.

  Diasumsikan Dengan demikian tiap orang selalu dapat membuat atau menyusun rangking semua situasi dan kondisi mulai dari yang paling disenangi hingga yang paling tidak disukai memilih barang yang paling disenanginya. Dengan kata lain dari sejumlah alternatif yang ada orang lebih cenderung memilih sesuatu yang dapat memaksimalkan kepuasannya. Konsep preferensi konsumen ini sejalan dengan konsep barang atau jasa yang lebih diminati menyuguhkan kepuasan yang lebih besar dari barang atau jasa yang kurang diminati.

  Preference mempunyai makna pilihan atau memilih. Istilah preferensi

  digunakan untuk mengganti kata preference dengan arti yang sama atau minat terhadap sesuatu. Preferensi merupakan suatu sifat atau keinginan untuk memilih.

  Menurut Doris Grober preferensi media umunya meminta pengguna media untuk mengurutkan preferensi pengguna terhadap suatu media. Preferensi konsumen didefinisikan sebagai selera subjektif individu, yang diukur dengan utilitas, dari stimuli berbagai barang atau jasa. Konsumen dipersilahkan untuk melakukan rangking ataupun rating terhadap stimuli barang atau jasa yang diberikan pada konsumen (Mayendra, 2013).

2.8 Kerangka Konsep

  Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang diuraikan sebelumnya, maka dapat dikembangkan kerangka konsep sebagai berikut : Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.1 Kerangka Konsep Indentifikasi Preferensi Pasien BPJS terhadap Kualitas Pelayanan di Rumah Sakit Dr. Pirngadi

  dan Rumah Sakit Martha Friska Medan Tahun 2015 1.

   Reliability (Keandalan) Responsiveness (Daya Tanggap)

   Emphaty (Empati) 5. Tangibles (Bukti Fisik) Overall Preference

  RSU Martha Friska

  Overall Preference

  RSUD DR. Pirngadi

Dokumen yang terkait

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Pengaruh Sikap Kerja terhadap Keluhan Muskuloskeletal pada Perajin Sulaman Tangan di Nagari Koto Gadang Sumatera Barat

0 1 10

a. Direct Speech Acts in Declarative Sentence Type as an Assertion about Women - An Analysis Of Direct And Indirect Speech Acts In “Now Is Our Time”

0 0 22

Chapter II REVIEW OF RELATED LITERATURE 2.1 An Overview of Pragmatics

0 0 11

BAB II KERANGKA TEORI 2.1 Modal Kerja 2.1.1 Pengertian Modal Kerja - Pengaruh Manajemen Modal Kerja Terhadap Profitabilitas Perusahaan (Studi Kasus Pada Perusahaan Manufaktur Sektor Industri Dasar dan Kimia Periode 2010-2012)

0 0 25

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Pengaruh Manajemen Modal Kerja Terhadap Profitabilitas Perusahaan (Studi Kasus Pada Perusahaan Manufaktur Sektor Industri Dasar dan Kimia Periode 2010-2012)

0 1 14

Pola Konsumsi Sarapan Pagi Murid Sekolah Dasar di SDN 060921 Kecamatan Medan Sunggal Tahun 2015

0 0 28

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sarapan Pagi - Pola Konsumsi Sarapan Pagi Murid Sekolah Dasar di SDN 060921 Kecamatan Medan Sunggal Tahun 2015

0 0 15

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pola Konsumsi Sarapan Pagi Murid Sekolah Dasar di SDN 060921 Kecamatan Medan Sunggal Tahun 2015

0 0 6

Pola Konsumsi Sarapan Pagi Murid Sekolah Dasar di SDN 060921 Kecamatan Medan Sunggal Tahun 2015

0 1 15

Perbandingan Preferensi Peserta BPJS Terhadap Kualitas Pelayanan di Rumah Sakit Dr. Pirngadi dan Rumah Sakit Martha Friska Medan Tahun 2015

1 2 63