Hubungan Sanitasi Lingkungan Dan Higiene Perorangan Dengan Kejadian penyakit Cacing Pita (Taenia Solium) Pada Siswa SD Negeri 173545 di Desa Tambunan Kecamatan Balige Tahun 2014

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lingkungan dan Sanitasi Lingkungan

2.1.1 Lingkungan

  Lingkungan merupakan salah satu variabel yang kerap mendapat perhatian khusus dalam menilai kondisi kesehatan masyarakat bersama dengan faktor perilaku, pelayanan kesehatan, dan genetik (Slamet, 2009). Lingkungan menentukan baik buruknya status derajat kesehatan (Profil kesehatan Indonesia, 2009).

  Bagi manusia, lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitarnya baik berupa benda hidup, benda tak hidup, benda nyata ataupun abstrak, termasuk manusia, serta suasana yang terbentuk karena terjadinya interaksi diantara elemen- elemen di alam (Slamet, 2009).

  Lingkungan di sekitar kita dapat dikelompokkan di dalam tiga kategori, sebagai berikut (Widyati, 2005) : Lingkungan biologis, yaitu : lingkungan yang terdiri dari semua organisasi 1. hidup, baik binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun mikroorganisme yang berada disekitar manusia.

  Lingkungan fisik, yaitu : lingkungan yang terdiri dari benda-benda yang tidak 2. manusia.

  Lingkungan sosial budaya, yaitu : interaksi antara manusia dengan makhluk 3. sesamanya. Lingkungan sosial budaya yang erat kaitannya dengan masalah kesehatan harus dilihat dari kehidupan masyarakat secara luas.

  Achmadi (2008) mengelompokkan komponen – komponen lingkungan yang memiliki potensi bahaya penyakit, yaitu: Golongan fisik : kebisingan, radiasi, cuaca, panas, dan lain-lain a. Golongan kimia : pestisida dalam makanan, asap rokok, limbah pabrik b. Golongan biologi : spora, jamur, cacing, bakteri, virus c. Golongan sosial : atasan , pesaing, tetangga, dan lain-lain d. Komponen-komponen tersebut berinteraksi dengan manusia melaui media/wahana, udara, air, tanah, makanan, atau vektor penyakit, seperti diagram dibawah ini membahas mengenai patogenesis Infeksi cacing pita yang ditularkan melalui peliharaan:

  • Tanah,udara, Komunitas : Sumber manusia, -Jenis Kelamin agen
  • Umur

  (komponen

  penyakit Sakit/Sehat (perilaku

  lingkungan)

  pemajanan)

  Media Transmisi

  (Iklim,

  topografi, temperatur, dan

  curah hujan,

  kelembapan tanah,

  dll (Variabel lain yang berpengaruh) Sumber. Achmadi, 1991

Gambar 2.1. Diagram Skematik Patogenesis Penyakit

  Dengan mengacu pada gambaran Diagram Skematik Patogenesis Penyakit tersebut, maka proses terjadinya penyakit dapat diuraikan ke dalam 5 simpul, yakni : Simpul 1 : Sumber Penyakit A. Sumber penyakit adalah titik mengeluarkan agent. Agent penyakit adalah komponen lingkungan yang dapat menimbulkan gangguan penyakit melalui kontak secara langsung atau melalui media perantara (komponen lingkungan). Berbagai agent penyakit yang baru maupun yang lama dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok besar, yaitu : Mikroba (misalnya virus, amuba, jamur, bakteri, parasit), Kelompok fisik (misalnya kekuatan radiasi, energi kebisingan, kekuatan cahaya), dan Kelompok bahan kimia toksik (misalnya pestisida, merkuri, cadmium, CO) Sumber penyakit dapat di kelompokkan menjadi 2 kelompok besar, yakni :

  Sumber penyakit alamiah, misalnya gunung berapi yang mengeluarkan gas-gas a. dan debu beracun. Hasil kegiatan manusia, seperti industri, rumah tangga, knalpot kenderaan b. bermotor, atau penderita penyakit menular. (Achmadi, 2008). Sumber penyakit infeksi kecacingan yang ditularkan melalui tanah dan makanan adalah telur cacing.

  Simpul 2 : Media Transmisi B. hakikatnya komponen yang lazim dikenal sebagai media transmisi penyakit, yakni udara, air, tanah/pangan, binatang/serangga, dan manusia/langsung. Media tansmisi tidak akan memiliki potensi penyakit kalau di dalamnya tidak mengandung bibit penyakit. Seperti Infeksi kecacingan yang dapat ditularkan melalui tanah dan pangan (Achmadi, 2008). Media transmisi terjadinya infeksi cacingan adalah tanah yang terkontaminasi oleh tinja yang infeksius.

  Simpul 3 : Perilaku Pemajanan (Behavioural Exposure) C. Perilaku pemajanan adalah jumlah kontak antara manusia dengan komponen lingkungan yang mengandung potensi bahaya penyakit. Jumlah kontak pada setiap orang berbeda satu sama lain karena di tentukan oleh perilakunya. Masing-masing agent yang masuk ke dalam tubuh dengan cara-cara yang khas atau route of entry yakni melalui : sistem pernafasan, sistem pencernaan, dan permukaan kulit (Achmadi, 2008). Perilaku pemajanan yang menimbulkan infeksi kecacingan adalah, pekerjaan berkebun, bercocok tanam, kebersihan perorangan misalnya kebersihan kuku dan kaki, tidak menggunakan alas kaki saat berjalan diatas tanah, tidak mencuci tangan sebelum makanan dan setelah BAB, sanitasi dasar misalnya air bersih, jamban, sampah, dan saluran pembuangan air limbah.

  Simpul 4 : Kejadian Penyakit D. Kejadian penyakit merupakan Outcome hubungan interaktif antara penduduk dengan lingkungan yang memiliki potensi bahaya gangguan kesehatan. Outcome dari infeksi kecacingan adalah sakit.

  E. Kejadian penyakit itu sendiri masih dipengaruhi variabel iklim, topografi, temperatur, dan kelembapan tanah.

2.1.1.1 Lingkungan Sekolah

  Sekolah adalah sebuah lembaga yang dirancang untuk pengajaran siswa (murid) di bawah pengawasan guru. Proses belajar mengajar memerlukan ruang dan lingkungan untuk dapat membatu siswa dan guru dalam belajar. Prestasi belajar di sekolah tidak hanya dipengaruhi oleh bagaimana anak-anak giat belajar dan dapat memahami pelajaran di sekolah, tapi juga kondisi lingkungan sekolahnya yang mendukung. Lingkungan sekolah yang nyaman dan bersih dapat mendukung tumbuh kembang anak secara optimal, anak-anak menjadi lebih sehat dan dapat berpikir secara jernih, sehingga dapat menjadi anak-anak yang cerdas dan kelak menjadi sumber daya manusia yang berkualitas.

  Lingkungan sekolah secara tidak langsung memberikan konstribusi terhadap terjadinya penularan penyakit infeksi cacingan. Sebagian besar waktu anak sekolah dasar dihabiskan dengan bermain dirumah maupun disekolah sehingga anak sekolah dasar mempunyai potensi untuk terjangkit infeksi cacingan. Lingkungan fisik sekolah yang baik sebaiknya gedung sekolah dengan keadaan lantai kering, langit-langit yang kuang bersih dan ventilasi yang baik. Adapun faktor lingkungan yang berhubungan dengan infeksi kecacingan adalah tersedianya air bersih, tempat pembuangan tinja (jamban) sekolah, ketersediaan warung atau tempat jajan, ketersediaan tempat pembuangan sampah dan limbah (Watkings dan Pollit dalam Poespoprojo dan Sadjimin, 2006).

  Dalam buku Pedoman Penanggulangan Program Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Indikator PHBS adalah suatu alat ukur untuk menilai keadaan atau permasalahan kesehatan di institusi pendidikan. Indikator institusi pendidikan adalah Sekolah Dasar Negeri maupun Swasta (SD/MI). Indikator ini meliputi:

  1. Tersedianya jamban yang bersih dan mencukupi jumlah siswa yakni 1 jamban untuk 76 orang (Kalbermatten john M, 1987).

  2. Tersedia air bersih atau keran yang mengalir disetiap kelas

  3. Tersedia air bersih dan mencukupi minimal 60 liter/orang/hari (PPM dan PL Depkes R.I, 1993)

  4. Tidak ada sampah yang berserakan dan lingkungan sekolah yang bersih

  5. Tersedianya sarana pembuangan air limbah

  6. Warung/jajanan yang bersih

  7. Ketersediaan UKS yang berfungsi dengan baik

  8. Siswa menjadi anggota dana sehat atau jasa pelayanan kesehatan masyarakat

  9. Siswa ada yang menjadi dokter kecil atau promosi kesehatan sekolah (minimal 10 orang) ( Dinkes Prop. Sulsel, 2006).

  Sejalan dengan upaya hidup sehat, di lingkungan sekolah terdapat program usaha kesehatan sekolah (UKS) sebagai tempat berlangsungnya kegiatan pendidikan cacingan. Program pemberantasan dan pencegahan infeksi kecacingan misalnya melalui penyuluhan dan promosi kesehatan secara otomatis telah dimasukkan dalam kegiatan UKS tersebut ( Depkes RI, 2004 ).

  Berdasarkan observasi yang telah dilakukan, Sekolah Dasar Negeri 173547 Tambunan Kecamatan Balige Kabupaten Toba Samosir memiliki gedung yang sudah lama dan sebagian baru dibangun, namun sebagian kontruksinya sudah ada yang kurang baik. Selain itu, kondisi lingkungan sekolah yang masih perlu diperhatikan seperti, kecukupan jamban sesuai dengan jumlah siswa, kecukupan air bersih sesuai dengan jumlah siswa, kebersihan halaman sekiolah, kebersihan warung/jajanan makanan, ketersediaan tempat sampah, dan lain sebagainya sesuai syarat kesehatan yang telah ditetapkan. Sesuai dengan penelitian Mudmainah (2003), penyediaan air bersih dan pembuangan tinja yang belum memenuhi syarat kesehatan memberi peluang besar untuk terjadinya penyakit seperti kecacingan. Pada siswa sekolah ini, masih ditemukan siswa yang setelah BAB kondisi jamban (kakus) tersebut kurang bersih disiram. Selain itu, penyediaan air bersih kurang memenuhi yakni air bersih dan mencukupi minimal 60 liter/orang/hari (PPM dan PL Depkes R.I, 1993)

2.1.1.2 Lingkungan Rumah

  Rumah merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia, disamping kebutuhan sandang dan pangan. Rumah berfungsi sebagai tempat tinggal dan digunakan untuk berlindung dari gangguan iklim, serta makhluk hidup lainnya. Selain itu, rumah juga merupakan tempat berkumpulnya anggota keluarga untuk

  Kriteria Rumah sehat menurut Depkes R.I PPM dan PL (2002), antara lain sebagai berikut :

  1. Tersedianya sarana kesehatan lingkungan (sebagai sanitasi dasar) meliputi air bersih, jamban, sampah, saluran pembuangan air limbah.

  2. Memenuhi kebutuhan fisiologi, meliputi pencahayaan, ventilasi, bebas bising, tersedian tempat bermain anak.

  3. Memenuhi kebutuhan psikologi, meliputi hubungan serasi orang tua dan anak, kepadatan hunian, luas ruang tidur 8 m

  2

  untuk dua orang, kehidupan keluarga yang normal.

  4. Memberi pencegahan dan perlindungan terhadap penularan penyakit.

  5. Perlindungan terhadap bahaya kecelakaan rumah, meliputi kontruksi rumah yang kuat, menghindari bahaya kebakaran, meminmalkan kemungkinan bahaya kecelakaan. Rumah yang sehat dan layak huni tidak harus berwujud rumah mewah dan besar namun rumah yang sederhana dapat juga menjadi rumah yang sehat dan layak dihuni. Adapun faktor lingkungan rumah seperti penyediaan air bersih, pembuangan tinja, pembuangan sampah, pembuangan air limbah yang kurang memenuhi syarat kesehatan yang telah ditetapkan sangat mudah untuk menimbulkan penyakit seperti infeksi kecacingan. (PPM dan PL Depkes R.I, 2002).

  Berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan, keadaan lingkungan rumah memperoleh sumber air bersih dari PAM dan juga sumur. Masyarakat yang menggunakan sumur sebagai sumber air bersih, ada yang belum memenuhi syarat sumur yang sehat seperti jarak sumur dari sumber pencemaran (tinja, sampah, dan lain-lain) yang seharusnya >10 meter, dinding sumur harus kedap air dengan kedalaman 3 meter dari permukaan tanah. Apabila dilihat dari pembuangan tinja, masyarakat memakai jamban leher angsa namun tidak memiliki septic tank dan langung dialirkan ke sungai, ada yang memakai jamban cemplung namun kondisi jamban memenuhi syarat kesehatan, ada yang belum memakai jamban dan melakukan defekasi di tanah, namun yang melakukan defekasi di tanah adalah anak- anak usia sekolah, ada yang jarak pembuangan tinja (jamban) <10 meter dar sumber air bersih. Hal ini disesuaikan dengan penelitian Hidayat (2007), menunjukkan adanya hubungan erat antara interaksi faktor lingkungan tempat tinggal dengan prevalensi cacing pada anak sekolah dasar. Tingginya angka prevalensi kecacingan pada anak sekolah dasar didesa dibanding dengan di kota menunjukkan adanya perbedaan higiene dan sanitasi lingkungan. Hal ini menunjukkan bahwa lingkungan pedesaan merupakan faktor predisposisi untuk anak sekolah dasar didesa (Hidayat, 2007).

2.1.2 Sanitasi Lingkungan

  Sanitasi adalah perilaku disengaja dalam pembudayaan hidup bersih dengan maksud mencegah manusia bersentuhan langsung dengan kotoran dan bahan buangan berbahaya lainnya dengan harapan usaha ini akan menjaga dan meningkatkan

  Sanitasi merupakan suatu usaha pencegahan penyakit yang menitikberatkan kegiatan pada usaha kesehatan lingkungan hidup manusia. Pada hakikatnya sanitasi lingkungan atau kesehatan lingkungan adalah suatu kondisi atau keadaan lingkungan yang optimum sehingga berpengaruh positf terhadap terwujudnya status kesehatan yang optimal pula (Widyati, 2005).

  Menurut WHO (2009), munculnya kembali penyakit menular seperti infeksi kecacingan sebagai akibat dari semakin besarnya tekanan bahaya kesehatan lingkungan yang berkaitan dengan masalah sanitasi, yakni cakupan air bersih dan jamban keluarga yang masih rendah, perumahan yang tidak sehat, pencemaran makanan oleh mikroba, telur cacing dan bahan kimia, penanganan sampah dan limbah yang belum memenuhi syarat kesehatan, pemaparan akibat kerja (penggunaan pestisida di bidang pertanian, industri kecil dan sektor informal lainnya), bencana alam, serta perilaku masyarakat yang belum mendukung ke arah pola hidup bersih dan sehat.

  Sanitasi lingkungan yang baik tergantung dari peningkatan kualitas lingkungan dengan memperbaiki sanitasi lingkungan yaitu penyediaan air bersih, penyediaan jamban, pembuangan tinja (jamban) yang baik, pengelolaan air limbah dan pengelolaan sampah. Terciptanya sanitasi lingkungan yang baik akan menurunkan atau mengurangi kejadian kecacingan pada masyarakat (Armanji, 2011).

2.1.2.1 Penyediaan Air Bersih

  Air sangat penting bagi kehidupan manusia, karena manusia akan lebih cepat manusia sendiri sebagian besar terdiri dari air. Tubuh orang dewasa sekitar 50-60% berat badan terdiri dari air, untuk anak-anak sekitar 65%, dan untuk bayi sekitar 80% terdiri dari air. Dalam perkembangan peradaban serta semakin bertambahnya jumlah penduduk di dunia ini, dengan sendirinya menambah aktivitas kehidupan, dimana mau tidak mau menambah pengotoran atau pencemaran (Notoatmodjo, 2007).

  Adapun air memiliki kegunaan yang sangat penting, yaitu sebagai berikut (Widyati 2007):

  1. Untuk keperluan rumah tangga, dimana air harus memenuhi syarat : 1) Syarat fisik, yaitu air dilihat dari fisiknya antara lain jernih, tidak berwarna, tidak berasa, dan tidak berbau 2) Syarat kimiawi, yaitu air yang tidak mengandung zat-zat berbahaya untuk kesehatan

3) Syarat bakteriologis, yaitu air yang tidak mengandung penyakit

  Selain mengetahui kegunaan air, penyakit yang dapat ditularkan melalui air juga dapat diketahui, yaitu kolera, disentri, cacingan, infeksi hepatitis, dan penyakit kulit.

  Sarana air bersih adalah bangunan beserta peralatan dan perlengkapannya yang menghasilkan, menyediakan dan membagi-bagikan air bersih untuk masyarakat. Jenis sarana air bersih ada beberapa macam yaitu sumur gali, sumur pompa tangan dangkal, sumur pompa tangan dalam, tempat penampungan air hujan, mata air, dan perpipaan.

  Air sumur merupakan sumber air yang paling banyak digunakan masyarakat 1986) :

  Lokasi 1. a. Jarak minimal 10 meter dari sumber pencemaran, misalnya jamban, tempat pembuangan air kotor, lubang resapan, tempat pembuangan sampah, kandang ternak dan tempat-tempat pembuangan kotoran lainnya.

  b. Pada tempat-tempat yang miring, misalnya pada lereng pegunungan letak sumur gali di atas sumber pencemaran c. Lokasi sumur gali harus pada daerah yang lapisan tanahnya mengandung air sepanjang musim.

  d. Lokasi sumur gali diusahakan pada daerah yang bebas banjir 2.

  Kontruksi

  a. Dinding sumur harus kedap air sedalam 3 meter dari permukaan tanah untuk mencegah rembesan dari air permukaan b. Bibir sumur harus kedap air minimal setinggi 0,7 meter dari permukaan tanah untuk mencegah rembesan air bekas pemkaian ke dalam sumur.

  c. Lantai harus kedap air dengan jarak antara tepi lantai dengan tepi luar dinding minimal 1 meter dengan kemiringan ke arah tepi lantai.

  d. Saluran pembuangan air kotor atau bekas harus kedap air sepanjang minimal 10 meter dihitung dari tepi sungai e. Dilengkapi dengan sumur atau lubang resapan air limbah bagi daerah yang

  Sumber air di alam dapat dibagi dalam 3 (tiga) bagian, antara lain : 1.

  Air di dalam tanah, yaitu mata air, air sumur 2. Air permukaan, yaitu air sungai, air danau, air rawa

3. Air dari angkasa, yaitu air hujan, air embun).

  Air yang bersih mempunyai pH = 7, dan Oxygen Terlarut (DO) jenuh pada 9 mg/l. Berdasarkan profil kesehatan provinsi tahun 2009, dapat diketahui persentase keluarga menurut jenis sarana yang digunakan secara nasional. Persentase tertinggi pada jenis sarana air bersih yang digunakan adalah sumur gali (45,41%), diikuti ledeng (27,30%), sumur pompa tangan (10,11%), penampungan air hujan (3,49%), dan air kemasan (2,29%) (DepKes RI, Profil Kes.Indonesia, 2009).

  Berikut penggolongan penyakit yang berhubungan dengan air menurut bentuk infeksi dan rute transmisi oleh Bradley (Hasyim, 2007).

  1. Water Borne Disease, Jenis penyakit yang ditularkan atau disebarkan akibat kontaminasi air oleh kotoran manusia atau air seni, yang kemudian airnya dikonsumsi oleh manusia yang tidak memiliki kekebalan terhadap penyakit tersebut antara lain : cholera, thypoid, basillary dysentry, weil’s disease.

  2. Water Washed Disease, Jenis penyakit yang ditransmisikan dengan masuknya air yang tercemar kotoran ke dalam tubuh secara langsung (fecal oral) akibat penyedian air bersih dan untuk pencucian alat atau benda yang digunakan kurang secara kuantitas maupun kualitas. Jenis penyakit pada kelompok ini adalah :

  Bacterial Ulcers (bisul), Scabies (kudis), Trachoma (terserang pada mata).

  3. Water Based Disease, Penyakit akibat organisme patogen yang sebagian siklus hidupnya dalam air atau host sementara yang hidup dalam air. Penyakit yang masuk dalam golongan ini adalah Schistosimiasis, cacing Guinea.

  4. Insect Water Related, Penyakit yang disebabkan oleh insekta yang berkembangbiak atau memperoleh makanan di sekitar air sehingga insiden – insidennya dapat dihubungkan dengan dekatnya sumber air yang cocok, misalnya penyakit malaria dan oncohocersiasis (river blindness).

  Hasil penelitian Mudmainah (2003), menunjukkan bahwa ada hubungan penyediaan air bersih dengan infeksi kecacingan dengan prevalensi kecacingan lebih banyak ditemukan pada siswa Sekolah Dasar yang penyediaan air bersihnya kurang (57%). Kurangnya penyediaan air bersih terutama sebagai penggelontor kotoran, air untuk cebok serta cuci tangan sebelum dan sesudah makan, setelah BAB (buang air besar) menimbulkan infeksi kecacingan. Kecacingan juga dapat terjadi jika mengkonsumsi air yang telah tercemar kotoran manusia atau binatang karena di dalam kotoran tersebut terdapat telur cacing (PHBS dan Penyakit berbasis lingkungan).

2.1.2.2 Pembuangan Tinja (Jamban)

  Tinja manusia adalah semua benda atau zat yang tidak dipakai oleh tubuh dan yang harus dikeluarkan dari tubuh berbentuk tinja, air seni, dan CO

  2 . Pembuangan

  tinja dalam kesehatan lingkungan dimaksudkan hanya tempat pembuangan tinja, pada umumnya disebut latrin, jamban atau kakus. Dilihat dari segi kesehatan masyarakat, diatasi, karena tinja adalah sumber penyebaran penyakit yang multikompleks. Penyebaran penyakit yang bersumber dari tinja dapat melalui berbagai macam jalan atau cara, selain itu dengan bertambahnya penduduk yang tidak sebanding dengan area permukiman, maka masalah pembuangan tinja manusia meningkat.

  Hal ini dapat dilihat seperti gambar berkut ini : Air

  Mati Tangan

  Makanan Tinja

  Minuman Pejamu

  Sayuran Lalat

  Dll Tanah

  Sakit Sumber. Notoatmodjo, 2007

Gambar 2.2. Mata rantai transmisi penyakit dari tinja

  Dari gambar 2.2. mata rantai transmisi penyakit dari tinja, nampak jelas bahwa peranan tinja dalam penyebaran penyakit sangat besar. Disamping itu, dapat dilihat lansung, tinja mengkontaminasi makanan, minuman, sayuran, juga air, tanah, serangga dan bagian tubuh kita dapat terkontaminasi oleh tinja tersebut (Notoatmodjo, 2007).

  Dalam hubungannya dengan penyakit-penyakit yang ditularkan melalui tinja, organisme penyebab dapat digolongkan dalam empat golongan, yaitu virus, bakteri, berkembangbiaknya serangga terutama nyamuk, lalat, dan kecoa yang selalu memberikan dampak yang merugikan bahkan mungkin dapat bertindak sebagai vektor penyakit kepada manusia. Berbagai macam spesies dari cacing mempunyai pejamu manusia, hal ini dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut (Haryoto (1997) :

Tabel 2.1. Jenis spesies cacing yang mempunyai pejamu manusia

  • – manusia

  a. Tidak buang air besar di sembarang tempat, seperti kebun, pekarangan, dekat sungai, dekat mata air, atau pinggir jalan

  c. Tidak membuang air kotor dan buangan air besar kedalam selokan, empang, danau, sungai, dan laut.

  b. Letak lubang kotoran lebih rendah daripada letak sumur agar air kotor dari lubang kotoran tidak merembes dan mencemari sumur.

  a. Jarak lubang kotoran ke sumur sekurang-kurangnya 10 meter

  Sumber: Faecham, et al (1983) Ada tujuh kriteria yang telah ditetapkan serta harus diperhatikan untuk membuat jamban sehat dalam rangka mencegah penularan penyakit (Chandra, 2007), yaitu :

  6 Trichuris trichiura Trichuriasis Manusia – tanah – manusia

  5 Taenia solium Taeniasis Manusia – babi – manusia

  4 Taenia Saginata Taeniasis Manusia – sapi – manusia

  3 Schistosoma Japonicum Shistosomiasis Manusia dan hewan – siput – air

  2 Ascaris lumbricoides Ascaris Manusia – tanah – manusia

  1 Ancylostoma duodenale Ancylostomiasis Manusia –tanah – manusia

  No Cacing Penyakit Transmisi

1. Tidak mencemari air

2. Tidak mencemari tanah permukaan

b. Jamban yang sudah penuh agar segera disedot untuk dikuras kotorannya, atau dikuras kemudian ditimbun di lubang galian.

3. Bebas dari serangga

  a. Jika menggunakan bak air atau penampungan air, sebaiknya dikuras setiap minggu, untuk mencegah nyamuk aedes aegypti bersarang.

  b. Lantai jamban harus diplester rapat agar tidak terdapat celah-celah yang dapat menjadi tempat bersarangnya kecoa atau serangga lainnya.

  c. Lantai jamban harus selalu kering dan bersih

4. Tidak menimbukan bau dan nyaman digunakan

a. Lantai jamban harus kedap air dan permukaan bowl licin, pembersihan harus dilakukan secara periodik.

  5. Aman digunakan oleh pemakainya

  6. Mudah dibersihkan dan tidak meimbulkan gangguan bagi pemakainya

  7. Tidak menimbulkan pandangan kurang sopan

  a. Dianjurkan agar jamban beratap sehingga pemakainya terhindar dari kehujanan dan kepanasan.

  b. Jumlah toilet/jamban sebanyak satu buah untuk 50 orang (Kalbermatten john M, 1987)

  Suatu jamban keluarga disebut sehat apabila memenuhi syarat sebagai berikut, yaitu tidak mengotori permukaan tanah di sekeliling jamban, tidak mengotori air kecoa, tidak menimbulkan bau, mudah digunakan dan dirawat, desainnya sederhana, murah, dapat diterima oleh pemakainnya (Notoatmodjo, 2007).

  Hal-hal yang perlu diperhatikan jika ingin memenui syarat-syarat jamban sehat yaitu jamban sebaiknya tertutup agar terlindung dari sinar matahari/panas dan hujan, serangga, dan terlindung dari pandangan orang, jamban terdiri dari lantai yang luas, serta tempat berpijak yang kuat, tidak menimbulkan bau, tersedia alat pembersih, seperti air, kertas pembersih. Pembuangan kotoran (jamban) untuk daerah pedesaan berbeda dengan daerah perkotaan. Daerah pedesaan harus memenuhi syarat jamban sehat seperti yang telah dibahas, dan didasarkan pada sosial budaya dan ekonomi masyarakat pedesaan.

  Hasil penelitian Mudmainah (2003) menunjukkan bahwa ada hubungan antara pembuangan kotoran dengan infeksi kecacingan. Pembuangan tinja sembarangan dapat menimbulkan infeksi kecacingan. Tinja yang dibuang sembarangan tempat memberi peluang besar untuk cacing berkembangbiak.

  Adanya telur cacing pada tinja penderita yang melakukan defekasi di tanah terbuka semakin memperbesar peluang penularan infeksi cacingan pada masyarakat di sekitarnya (Sumanto, 2010).

  Pembuangan tinja/kotoran manusia yang buruk sering sekali berhubungan dengan kurangnya penyediaan air bersih dan fasilitas kesehatan lainnya (Yusnitawati, 2005).

  Sampah adalah sesuatu bahan atau benda padat yang sudah tidak di pakai lagi oleh manusia, atau benda yang sudah tidak digunakan lagi dalam suatu kegiatan manusia dan dibuang (Slamet, 2009). Sampah erat kaitannya dengan kesehatan masyarakat, karena dari sampah tersebut akan hidup berbaga mikroorgansme penyebab penyakit (bakteri patogen) dan juga binatang serangga sebagai pemindah /penyebar penyakit (vektor), oleh sebab itu sampah harus dikelola dengan baik, bukan hanya untuk kepentingan kesehatan saja, tetapi juga untuk keindahan lingkungan.

  Yang dimaksud dengan pengelolaan sampah disini adalah meliputi pengumpulan, pengangkutan sampah dengan pemusnahan sehingga tidak menjadi gangguan gangguan kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup. Cara pengelolaan sampah sebagai berikut :

  Pengumpulan dan pengangkutan sampah a. Pengumpulan dan pengangkutan sampah adalah menjadi tanggung jawab dari masing-masing institusi yang menghasilkan sampah. Oleh sebab itu setiap institusi arus membangun atau mengadakan tempat khusus untuk mengumpulkan sampah sampah, kemudian dari masing-masing tempat pengumpulan sampah tersebut harus diangkut ke tempat penampungan sementara (TPS) sampah dan selanjutnya ke tempat pembuangan akhir (TPA). Sampah baik kuantitas maupun kualitas sangat dipengaruhi oleh berbagai kegiatan dan taraf hidup masyarakat. Beberapa faktor yang penting antara lain : jumlah penduduk, kepadatan sosial ekonomi, kemajuan teknologi (Slamet, 2009).

  b.

  1. Ditanam (landfill) : pemusnahan sampah dengan cara membuat lubang di tanah kemudian sampah dimasukkan dan ditimbun dengan tanah

  Dibakar (incenerator) : memusnakan sampah dengan cara membakar di dalam 2. tungku pembakaran Dijadikan pupuk (composting) : pengolahan sampah menjadi pupuk (kompos), 3. khususnya untuk sampah organik; misalnya daun-daunan, sisa makanan dan sampah lainnya yang mudah membusuk.

  Sampah organik dan an-organik dapat menjadi tempat berkembangbiaknya mikroorganisme, karena di dalam sampah banyak terdapat kuman atau bakteri.

  Sampah organik lama-kelamaan di tanah akan membusuk, sedangkan sampah an- organik yang wujudnya sulit didekomposisi menjadi peluang bagi mikroorganisme hidup bertahan. Jika sampah tidak dikelola dengan baik maka akan merugikan kesehatan, dan merusak keindahan lingkungan. Ketika anak sekolah dasar bermain di tanah dengan tidak memakai alas kaki, kuku kotor, tidak mencuci tangan sewaktu makan setelah bermain kontak dengan tanah memberikan kontribusi yang besar timbulnya penyakit, karena kuman atau bakteri tersebut ada yang membahayakan kesehatan manusia, yakni infeksi kecacingan yang dapat menjadi sumber penularan penyakit (Slamet, 2009).

2.1.2.4 Sarana Pembuangan Air limbah

  Air limbah atau air buangan adalah semua air / zat cair yang tidak lagi tangga, industri, maupun tempat-tempat umum lainnya dan pada umumnya mengandung bahan atau zat yang dapat membahayakan bagi kesehatan manusia serta mengganggu lingkungan hidup. Air yang digunakan untuk kegiatan manusia sehari- hari pada akhirnya akan mengalir ke sungai dan akan digunakan lagi oleh manusia. Oleh sebab itu, air limbah ini harus dikelola dengan baik apalagi air limbah yang berasal dari air bekas mandi, bekas cuci pakaian, bekas cuci perabotan dan lain- lain.

  Air ini sering disebut sullage atau gray water. (Slamet, 2009). Secara garis besar air limbah memiliki karakteristik, sebagai berikut :

  Karakteristik Fisik 1. Sebagian besar terdiri dari air dan sebagian kecil terdiri dari bahan padat dan suspensi. Air limbah rumah tangga biasanya berwarna suram, seperti larutan sabun, sedikit berbau, kadang-kadang mengandung sisa-sisa kertas berwarna, bekas cucian beras dan sayuran, tinja, dan lain-lain.

  Karakteristik Kimiawi 2. Air mengandung campuran bahan-bahan kimia an-organik yang berasal dari air bersih serta bermacam-macam zat organik berasal dari penguraian tinja, urine, sampah.

  3. Karakteristik Bakteriologis Kandungan bakteri patogen serta organisme golongan Coli terdapat dalam air limbah, namun tergantung sumbernya. Kandungan keduanya tidak berperan dalam proses pengolahan air buangan. yaitu :

  Tidak mengakibatkan kontaminasi terhadap sumber air minum a. Tidak menyebabkan pencemaran air b.

  Tidak mengakibatkan pencemaran terhadap permukaan tanah c. Tidak menjadi tempat berkembang biaknya bibit penyakit dan vekor d. Kondisi tidak terbuka karena jika terbuka saat tidak diolah terkena udara luar e. akan mengangu pernafasan, terutama anak-anak (Notoatmodjo, 2007). Sarana pembuangan air limbah baik di sekolah maupun di rumah sangat penting untuk mencegah penularan penyakit. Air limbah yang dibuang dengan cara yang tidak saniter menjadi tempat bekembangbiaknya mikroorganisme pathogen, seperti kecacingan dan akan berakibat buruk bagi kesehatan manusia, terutama anak usia sekolah. Kecacingan dapat terjadi karena anak usia sekolah bermain-main di tempat pembuangan air limbah kemudian makan dengan tangan tanpa cuci tangan dengan sabun terlebih dahulu atau bermain di tempat pembuangan air limbah tanpa alas kaki sehingga larva cacing masuk ke dalam tubuh melalui kaki (Field Book, 2009).

2.2 Higiene Perorangan

2.2.1 Pengertian Higiene Perorangan

  Higiene merupakan suatu usaha pencegahan penyakit yang menitikberatkan pada usaha kesehatan perorangan atau manusia beserta tempat manusia berada (Widyawati, 2005).

  Higiene perorangan merupakan hal yang sangat penting diperhatikan terutama pada masa-masa perkembangan dengan kesehatan pribadi yang buruk pada masa tersebut akan dapat mengganggu perkembangan kualitas sumberdaya manusia. Higiene yang belum baik merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya prevalensi kecacingan (Azwar 2006).

  Dalam kehidupan sehari-hari kebersihan merupakan hal yang sangat penting dan harus diperhatikan karena kebersihan akan mempengaruhi kesehatan dan psikis seseorang. Kebersihan itu sendiri sangat dipengaruhi oleh nilai individu dan kebiasaan. Hal-hal yang sangat berpengaruh itu di antaranya kebudayaan, sosial, keluarga, pendidikan, persepsi seseorang terhadap kesehatan, serta tingkat perkembangan.

  Personal Hygiene berasal dari bahasa Yunani yang berarti Personal yang artinya perorangan dan Hygiene berarti sehat. Personal Hygiene adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikis (Wartonah, 2004). Personal Hygiene adalah salah satu kemampuan dasar manusia dalam memenuhi kebutuhannya guna mempertahankan kehidupannya, kesehatan dan kesejahteraan sesuai dengan kondisi kesehatannya, klien dinyatakan terganggu keperawatan dirinya jika tidak dapat melakukan perawatan diri (Direja, 2011).

  Personal hygiene berasal dari bahasa Yunani yaitu personal yang artinya

  perorangan dan hygiene berarti sehat. Kebersihan perorangan adalah cara perawatan diri manusia untuk memelihara kesehatan mereka. Kebersihan perorangan sangat penting untuk diperhatikan. Pemeliharaan kebersihan perorangan diperlukan untuk

2.2.2 Jenis-jenis Higiene Perorangan

  Kebersihan perorangan meliputi :

a. Kebersihan kulit

  Kebersihan kulit merupakan cerminan kesehatan yang paling pertama memberi kesan, oleh karena itu perlu memelihara kulit sebaik-sebaiknya.

  Pemeliharaan kesehatan kulit tidak dapat terlepas dari kebersihan lingkungan , makanan yang dimakan serta kebiasaan hidup sehari – hari. Untuk selalu memelihara kebersihan kulit kebiasaan-kebiasaan yang sehat harus selalu memperhatikan seperti :

  1. Menggunakan barang-barang keperluan sehari-hari milik sendiri

  2. Mandi minimal 2x sehari

  3. Mandi memakai sabun

  4. Menjaga kebersihan pakaian

  5. Makan yang bergizi terutama sayur dan buah 6. Menjaga kebersihan lingkungan.

b. Kebersihan rambut

  Rambut yang terpelihara dengan baik akan membuat membuat terpelihara dengan subur dan indah sehingga akan menimbulkan kesan cantik dan tidak berbau apek. Dengan selalu memelihara kebersihan kebersihan rambut dan kulit kepala, maka perlu ndiperhatikan sebagai berikut :

  1. Memperhatikan kebersihan rambut dengan mencuci rambut sekurangkurangnya 2x seminggu.

  2. Mencuci ranbut memakai shampoo atau bahan pencuci rambut lainnya.

  3. Sebaiknya menggunakan alat-alat pemeliharaan rambut sendiri.

c. Kebersihan gigi

  Menggosok gigi dengan teratur dan baik akan menguatkan dan membersihkan gigi sehingga terlihat cemerlang.Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menjaga kesehatan gigi adalah :

  1. Menggosok gigi secara benar dan teratur dianjurkan setiap sehabis makan

  2. Memakai sikat gigi sendiri

  3. Menghindari makan-makanan yang merusak gigi

  4. Membiasakan makan buah-buahan yang menyehatkan gigi

  5. Memeriksa gigi secara teratur

d. Kebersihan mata

  Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam kebersihan mata adalah :

  1. Membaca di tempat yang terang

  2. Memakan makanan yang bergizi

  3. Istirahat yang cukup dan teratur

  4. Memakai peralatan sendiri dan bersih ( seperti handuk dan sapu tangan) 5. Memlihara kebersihan lingkungan.

e. Kebersihan telinga

  Hal yang perlu diperhatikan dalam kebersihan telinga adalah :

  1. Membersihkan telinga secara teratur 2. Jangan mengorek-ngorek telinga dengan benda tajam.

  3. Kebersihan tangan, kaki dan kuku Seperti halnya kulit, tangan,kaki dan kuku harus dipelihara dan ini tidak terlepas dari kebersihan lingkungan sekitar dan kebiasaan hidup sehari-hari. Selain indah dipandang mata, tangan, kaki, dan kuku yang bersih juga menghindarkan kita dari berbagai penyakit. Kuku dan tangan yang kotor dapat menyebabkan bahaya kontaminasi dan menimbulkan penyakit-penyakit tertentu.

  Untuk menghindari hal tersebut maka perlu diperhatikan sebagai berikut :

  1. Membersihkan tangan sebelum makan

  2. Memotong kuku secara teratur

  3. Membersihkan lingkungan

  4. Mencuci kaki sebelum tidur Faktor hygiene yang mempengaruhi gangguan kulit adalah :

  1. Kebersihan kulit

  2. Kebersihan tangan, kaki dan kuku

  3. Kebersihan rambut

2.2.3 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi higiene perorangan

  Menurut Depkes (2000) Faktor – faktor yang mempengaruhi personal hygiene adalah:

  1. Citra tubuh ( Body Image) Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi kebersihan diri misalnya karena adanya perubahan fisik sehingga individu tidak peduli dengan

  2. Praktik Sosial Pada anak-anak selalu dimanja dalam kebersihan diri, maka kemungkinan akan terjadi perubahan pola personal hygiene .

  3. Status Sosial Ekonomi

  Personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti sabun, pasta gigi, sikat gigi, shampo, alat mandi yang semuanya memerlukan uang untuk menyediakannya.

  4. Pengetahuan Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena pengetahuan yang baik dapat meningkatkan kesehatan. Misalnya pada pasien penderita diabetes mellitus ia harus menjaga kebersihan kakinya.

  5. Budaya Di sebagian masyarakat jika individu sakit tertentu tidak boleh dimandikan.

  6. Kebiasaan seseorang Ada kebiasaan orang yang menggunakan produk tertentu dalam perawatan diri seperti penggunaan sabun, sampo dan lain – lain.

  7. Kondisi fisik atau psikis Pada keadaan tertentu / sakit kemampuan untuk merawat diri berkurang dan perlu bantuan untuk melakukannya.

  Higiene perorangan juga sangat berhubungan dengan sanitasi lingkungan, artinya apabila melakukan higiene perorangan harus diikuti atau didukung oleh sanitasi lingkungan yang baik, kaitan keduanya dapat dilihat, misalnya pada saat kesehatan (Jalalluddin, 2008).

  Higiene perorangan berbeda dengan Karakteristik responden. Karakteristik responden meliputi umur dan jenis kelamin siswa sekolah dasar yang akan diteliti. Umur responden dimaksud disini adalah usia anak mulai dari lahir sampai ada penelitian dilakukan, dan jenis kelamin adalah tanda yang membedakan antara perempuan dan laki-laki. Sedangkan higiene adalah perorangan membahas mengenai perilaku siswa dalam menjaga kebersihan diri.

2.3 Cacing Pita (Taenia)

  Dalam Behrman (2000) dikatakan bahwa hospes parasit cacing pita adalah manusia. Macam-macam dari cacing pita adalah cacing pita sapi (Taenia saginata), cacing pita babi (Taenia solium), dan cacing pita ikan (Diphyllobothrium latum). ukurannya berkisar dari 4-10 meter. Beribu-ribu segmen pipih (proglotid) membentuk tubuh cacing dewasa. Proglotid cacing pita sapi dan babi biasanya keluar utuh dalam tinja. Sebaliknya, proglotid cacing pita ikan sering pecah dalam usus, karena sampai 1 juta telur dapat dilepaskan perhari, telur-telur tersebut dapat diamati dalam tinja. Cacing pita babi adalah patogen yang paling serius pada kelompok ini. Manusia terinfeksi dengan bentuk dewasa bila mereka mengkonsumsi daging babi mentah atau setengah masak yang mengandung kista parasit. Cacing akan melekat pada lumen usus halus. Cacing pita babi satu-satunya cacing pita yang skoleksnya dilengkapi dengan kait disamping pengisap. Manusia dapat terinfeksi dengan cara menelan makanan atau air yang terkontaminasi dengan telur-telur cacing lalu masuk ke mukosa usus dan menyebar secara hematogen ke banyak jaringan terutama otak dan otot. Telur cacing pita ikan menetas dalam air segar pada pemajanan terhadap cahaya, kemudian parasit yang baru lepas tertelan pada ikan air tawar dan ikan air tawar bermata besar sejenis ikan salmon. Konsumsi ikan mentah atau tidak dimasak menyebabkan infeksi cacing pita.

2.3.1. Cacing Pita Babi (Taenia Solium )

  Cacing pita (taenia ) dikenal dengan istilah Taeniasis dan Sistiserkosis. Taenia adalah penyakit akibat parasit berupa cacing pita yang tergolong dalam genus Taenenia yang dapat menular dari hewan ke manusia, maupun sebaliknya taeniasi pada manusia disebabkan oleh spesies taenia Solium atau dikenal dengan cacing pita babi. Sistiserkosis pada manusia adalah infeksi jaringan oleh bentuk larva taenia akibat termakan telur cacing taenia solium (cacing pita babi). Manusia terkena taeniasis apabila memakan daging mentah. Klasifikasi : Kerajaan : Animlia Filum : Platyhelminthes Kelas : Cestod Ordo : Cyclopyllidea Famili : Taeniidae Genus : Taenia Spesies : Taenia Solium

Gambar 2.1. : Cacing Pita (Taenia Solium)

  (kusumamihardja,1992)

2.3.2. Siklus Hidup

  Cacing pita taenia dewasa hidup dalam usus manusia yang merupakan induk semang definitive, telur atau proglotid gravid dalam feses dilepaskan dalam lingkungan babi terinfeksi karena termakantelur taenia telur menetas akan mengeluarkan embrio cacing (onchospere)yang kemudian menembus dinding usus dan beredar diotot-embrio cacing (onchospere) berkembang menjadi sistiserkus otot manusia terinfeksi karena memakan makan mentah atau setengah matang yang mengandung sistiserkus atau telur taenia.( Helmintologi.2007).

Gambar 2.2. : Siklus kejadian penyakit cacing pita ( Taenia Solium)

2.3.3. Sumber dan Cara Penularan cacing pita

  Sumber penularan cacing pita (Taenia Solium) pada manusia yaitu :

  1. Penderita taeniasis sendiri dimana tinjanya mengandung telur atau segmen tubuh (proglotid) cacing pita.

  2. Hewan terutama babi yang mengandung larva cacing pita (sistiserkosis).

  3. Makanan, minuman dan lingkungan yang tercemar oleh telur cacing pita.

  (Departemen RI.2010).

  Faktor- factor cara penularan dapat menyebabkan pada resiko yang lebih besar terinfeksi cacing pita termasuk :

  1. Kebersihan yang buruk jarang mencuci tangan mengakitkan resiko terkontaminasi cacing pita yang masuk dari mulut saat makan.

  2. Paparan ternak, hal ini bermasalah jika kotoran ternak hewan ternak tidak dbuang dengan benar.

  3. Berpergian kedaerah terpenci, infeksi terjadi lebih sering pada daerah dengan praktik sanitasi yang buruk.

  4. Makan daging mentah atau setengah matang, masakan kurang matang mungkin tidak membunuh telur cacing pita dan larva yang terdapat dalam daging yang terkontaminasi.

  Gejala klinik pada cacing pita sapi akan menimbulkan gatal pada anus. Gejala yang ditimbulkan cacing pita babi akan menimbulkan gangguan neurologis, kognitif atau gangguan kepribadian individu. Cacing pita Taenia dapat menimbulkan penyakit yang disebut taeniasis dan sistiserkosis. Gejala klinis terbanyak yang dikeluhkan adalah: Pengeluaran segmen tubuh cacing dalam fesesnya, Gatal-gatal pada anus, mual, pusing, penngkatan nafsu makan,sakit kepala,diare,lemah,merasa lapar, sembelit, enurunan berat badan,rasa tidak enak dilambung, letih, muntah,pegal-pegal pada otot. Sistiserkosis menimbulkan gejala dan efek yang beragam sesuai dengan lokasi parasit dalam tubuh Manusia dapat terjangkit satu sampai ratusan sistiserkus di jaringan tubuh yang berbeda-beda. Sistiserkus pada manusia paling sering ditemukan di otak (disebut neurosistiserkosis), mata, otot dan lapisan bawah kulit. (Behrman, 2000).

  Untuk mendiagnosa cacing pita adalah menganalisis sampel tinja, untuk infeksi cacing pita di usus yaitu memeriksa tinja didalam laboratorium untuk pengujian. Labaoratorium mengunakan teknik identifikasi mikroskopis untuk segmen cacing pita.

2.4. Epidemiologi

  Cacing pita sapi dan babi tersebar di seluruh dunia. Meskipun beberapa penyebaran dari orang ke orang telah didokumentasi di Amerika Serikat, penyebaran ini tidak lazim. Risiko kecacingan jauh lebih tinggi di Amerika Tengah, Afrika, India, Indonesia, dan Cina. Cacing pita ikan lebih sering dijumpai di Eropa dan Asia yang Amerika Selatan dan Afrika. Kasusnya banyak ditemukan di daerah pedesaan, khususnya pada orang yang suka makan daging mentah atau setengah masak

  (Behrman, 2000).. Cacing pita menghisap darah dan luka-luka gigitan dilepaskan dapat menyebabkan anemia yang lebih berat (Behrman, 2000).

2.5. Upaya Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan Infeksi Kecacingan

  Adapun yang menjadi upaya pencegahan, pengendalian dan pemberantasan Infeksi kecacingan adalah sebagai berikut ;

1. Memutuskan daur hidup dengan cara

  a. Defekasi jamban, menjaga kebersihan, cukup air bersih di jamban, untuk mandi dan cuci tangan secara teratur, penyuluhan kepada masyarakat mengenai sanitasi lingkungan yang baik dan cara menghindari infeksi cacing, dan memberikan pengobatan massal dengan obat antihelmintik yang efektif, terutama pada golongan rawan (Utama, 2009)

  b. Kebersihan perorangan terutama tidak kontak dengan tinja, tidak BAB di tanah, menggunakan sarung tangan apabila hendak berkebun, mengkonsumsi makanan dan minuman yang dimasak, pendidikan kesehatan, dan sanitasi lingkungan (Ideham, 2007) c. Mengendalikan ketentuan-ketentuan sanitasi jamban dan pembuangan tinja, menggunakan pelindung alas kaki, mencuci sayuran yang kemungkinan terkontaminasi larva, menghindari sayuran lalapan seperti salad, tidak yang buruk (Zaman, 2008)

d. Obat untuk infeksi cacing pita adalah Niklosamid atau Prziquante.

  Pencegahankecacingan harus memasak daging sapi, babi dan ikan. Perhatian terhadap kebersihan seseorang, menghindari buah-buahan dan sayuran segar.semua anggota keluarga harus diperiksa mengenai adanya telur dan tanda-tanda penyakit. Penyuluhan kepada masyarakat penting sekali dan dititikberatkan pada perubahan kebiasaan dan mengembangkan sanitasi lingkungan yang baik dimana pada pengobatan massal sulit dilaksanakan mekipun ada obat yang ampuh karena harus di lakukan 3

  −4 kali setahun dan harga obat tidak terjangkau. Dengan demikian keadaan endemi dapat dikurangi sampai angka kesakitan (morbiditas) yang tinggi diturunkan (Utama, 2009).

2.6. Kerangka Konsep Variabel Independen Variable Dependen

  Karakteristik Responden

  • Umur -

  Jenis Kelamin Sanitasi lingkungan Rumah:

  • penyedian air bersih
  • pembuangan tinja
  • kondisi tempat pelihara ternak babi

  Hygiene Perorangan :

  Kejadian penyakit Cacing pita

  • Kebiasaan cuci tangan
  • Mengkonsumsi makanan
  • Pemakaian alas kaki

  Pemeriksaan Tinja (Faeces) di Laboratorium

  Sanitasi lingkungan Sekolah

2.7 Hipotesa Penelitian 1. Ho : Tidak ada hubungan umur terhadap kejadian cacing pita.

  Ha : Ada hubungan umur terhadap kejadian cacing pita.

  2. Ho : Tidak ada hubungan jenis kelamin terhadap kejadian cacing pita Ha : Ada hubungan jenis kelamin terhadap kejadian cacing pita.

  3. Ho : Tidak ada hubungan penyediaan air bersih terhadap kejadian cacing pita. Ha : Ada hubungan penyedian air bersih terhadap kejadian cacing pita.

  4. Ho : Tidak ada hubungan pembuangan tinja terhadap kejadian cacing pita. Ha : Ada hubungan pembuangan tinja terhadap kejadian cacing pita.

  5. Ho : Tidak ada hubungan kondisi tempat pemeliharaan ternak babi terhadap kejadian cacing pita.

  Ha : Ada hubungan kondisi tempat pemeliharaan ternak babi terhadap kejadian cacing pita.

  6. Ho : Tidak ada hubungan kebersihan kuku terhadap kejadian cacing pita. Ha : Ada hubungan kebersihan kuku terhdap kejadian cacing pita.

  7. Ho : Tidak ada hubungan kebiasaan cuci tangan terhadap kejadian cacing pita. Ha : Ada hubungan kebiasaan cuci tangan terhadap kejadian cacing pita.

  8. Ho : Tidak ada hubungan mengkonsumsi makanan terhadap kejadian cacing Ha : Ada hubungan mengkonsumsi makanan terhadap kejadian cacing pita.

  9. Ho : Tidak ada hubungan memakai alas kaki terhadap penyakit cacing pita. Ha : Ada hubungan memakai alas kaki terhadap penyakit cacing pita.

Dokumen yang terkait

Perimbangan Kepentingan Pemerintah Pusat Dengan Daerah Dalam Divestasi Saham Di Perusahaan Pertambangan Mineral Dan Batubara Menurut Uu No 25 Tahun 2007

0 0 10

Respon Produksi Lateks Dalam Berbagai Waktu Aplikasi Pada Beberapa Klon Tanaman Karet Terhadap Pemberian Berbagai Sumber Hormon Etilen

0 1 42

Respon Produksi Lateks Dalam Berbagai Waktu Aplikasi Pada Beberapa Klon Tanaman Karet Terhadap Pemberian Berbagai Sumber Hormon Etilen

0 0 12

PENDAHULUAN Latar Belakang - Respon Produksi Lateks Dalam Berbagai Waktu Aplikasi Pada Beberapa Klon Tanaman Karet Terhadap Pemberian Berbagai Sumber Hormon Etilen

0 0 7

Respon Produksi Lateks Dalam Berbagai Waktu Aplikasi Pada Beberapa Klon Tanaman Karet Terhadap Pemberian Berbagai Sumber Hormon Etilen

0 0 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tingkat Pendidikan 2.1.1 Pengertian Tingkat Pendidikan - Pengaruh Tingkat Pendidikan Dan Motivasi Terhadap Kinerja Pegawai Pada Pdam Tirtanadi Cabang Sei Agul Medan

0 1 17

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengaruh Tingkat Pendidikan Dan Motivasi Terhadap Kinerja Pegawai Pada Pdam Tirtanadi Cabang Sei Agul Medan

0 0 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Persepsi - Persepsi Ayah dan Ibu Tentang Pendidikan Seks Bagi Remaja Putra Dan Putri Di Kelurahan Sitataring Kecamatan Batang Ayumi Julu Kota Padangsidimpuan Tahun 2015

0 0 27

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Persepsi Ayah dan Ibu Tentang Pendidikan Seks Bagi Remaja Putra Dan Putri Di Kelurahan Sitataring Kecamatan Batang Ayumi Julu Kota Padangsidimpuan Tahun 2015

0 0 10

Hubungan Sanitasi Lingkungan Dan Higiene Perorangan Dengan Kejadian penyakit Cacing Pita (Taenia Solium) Pada Siswa SD Negeri 173545 di Desa Tambunan Kecamatan Balige Tahun 2014

0 0 48