BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2. Pengetahuan (knowledge) - Pengetahuan Perawat tentang Perawatan Luka dengan Metode Moist Wound Healing di RSUP H. Adam Malik Medan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2. Pengetahuan (knowledge)

  Pengetahuan merupakan hasil dari tahu manusia dan ini terjadi setelah melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indra manusia yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2012).

  Ranah kognitif berorientasi pada kemampuan berfikir, mencakup memampuan intelektual yang paling sederhana yaitu mengingat, sampai dengan kemampuan untuk memecahkan suatu masalah (problem solving). Pada ranah ini induvidu dituntut untuk menghubungkan dan menggabungkan gagasan. Semakin tinggi tahapan dari ranah kognitif ini menunjukan semakin sulitnya tingkat berfikir atau tuntutan seseorang. Penguasaan tingkatan ranah di bawahnya, merupakan prasyarat untuk menguasai tingkatan ranah di atasnya yang lebih tinggi (Nurhidayah, 2010).

1.1. Tingkatan Pengetahuan dalam Domain Kognitif

  Notoatmodjo (2012) mengatakan bahwa tingkatan pengetahuan terbagi menjadi 6 tingkatan, yaitu tahu, memahami, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi.

  Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari

  sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dan seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.

  Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara

  benar tentang objek yang diketahui, dan dapat mengintegrasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.

  Aplikasi merupakan kemampuan untuk menggunakan materi yang telah

  dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebanarnya). Aplikasi disini dapat diartikan sebagai apliksi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip an sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.

  Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu

  objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokan dan sebagainya.

  Sintesis menunjukan pada suatu kemampuan untuk meletakan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

  Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya, dapat menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan, dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.

  Evalausi itu berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi

  atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada. Misalnya, dapat membandingkan antara anak yang cukup gizi dengan anak yang kekuarangan gizi, dan sebagainya.

  Menurut Nursalam (2008), pengukuran pengetahuan ada dua kategori yaitu: menggunakan pertanyaan subjektif misalnya jenis pertanyaan essay dan pertanyaan objektif misalnya pertanyaan pilihan ganda (multiple choise), pertanyaan betul salah dan pertanyaan menjodohkan.

  Rumus Pengukuran Pengetahuan : P = f/N x 100% Dimana: P : adalah persentase f : frekuensi item soal benar N : jumlah soal

  Pengkategorian pengetahuan yang umum digunakan yaitu: 1.

  Kategori baik dengan nilai 76-100 % 2. Kriteria cukup dengan nilai 56-75 % 3. Kriteria kurang dengan nilai < 55 %

1.2 Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan

  Budiman (2013) mengatakan bahwa tingkat pengetahuan seseorang dipengaruhi banyak faktor yaitu pendidikan, informasi, sosial ekonomi, lingkungan, pengalaman dan usia.

  Pendidikan sangat mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang.

  Semakin tinggi pendidikan seseorang diharapkan semakin luas pula pengetahuannya. Namun, perlu ditekankan bahwa seorang yang berpendidikan rendah tidak berarti mutlak berpengetahuan rendah pula. Peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh di pendidikan formal, akan tetapi juga dapat diperoleh pada pendidikan nonformal.

  Informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan,

  menyimpan, memanipulasi, mengumumkan, menganalisis, dan menyebarkan informasi dengan tujuan tertentu untuk memengaruhi pengetahuan masyarakat tentang inovasi baru. Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, dan lain-lain mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan opini dan kepercayaan orang.

  Sosial dan ekonomi juga sangat mempengaruhi tingkat pengetahuan

  seseorang. Status ekonomi seseorang juga akan menentukan tersedianya suatu fasilitas yang diperlukan untuk kegiatan tertentu sehingga status sosial ekonomi ini akan memengaruhi pengetahuan seseorang.

  Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar individu, baik

  lingkungan fisik, biologis, maupun sosial. Lingkungan berpengaruh terhadap proses masuknya pengetahuan ke dalam individu yang berada dalam lingkungan tersebut.

  Pengalaman sebagai sumber pengetahuan adalah suatu cara untuk

  memperoleh kebenaran pengetahuan dengan cara mengulang kembali pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan masalah yang dihadapi masa lalu. Pengalaman belajar dalam bekerja yang dikembangkan memberikan pengetahuan dan keterampilan profesional, serta pengalaman belajar selama bekerja akan dapat mengembangkan kemampuan mengambil keputusan yang merupakan manifestasi dari keterpaduan menalar secara ilmiah dan etik yang bertolak dari masalah nyata dalam.

  Usia memengaruhi daya tangkap dan pola pikir seseorang. Semakin

  bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin membaik.

2. Perawatan Luka dengan Metode Moist Wound Healing

  Bryant (2007) menyatakan konsep perawatan luka metode lembab pertama kali dipublikasikan oleh Professor George D Winter pada 1962 dalam jurnal Nature (193:293) Formation of the scab and the rate of epithelisation of

  superficial wounds in the skin of the young domestic pig. Ia melakukan studi

  dengan menciptakan beberapa luka kecil dengan ketebalan parsial di punggung babi. Sebagian luka yang telah diciptakan kemudian dibiarkan mengering dan membentuk keropeng, sementara luka yang lain ditutupi dengan film polimer. Hasilnya luka yang telah ditutupi oleh balutan film polimer (occlusive dressing) mengalami re-epitelisasi dua kali lebih cepat dibandingkan dengan luka yang dibiarkan terbuka terkena udara.

  ”Moist Wound Healing” adalah metode untuk mempertahankan

  kelembaban luka dengan menggunakan balutan tertutup penahan kelembaban, sehingga penyembuhan luka dan pertumbuhan jaringan dapat terjadi secara alami.

  Winter (1962, dalam Bryant, 2007) mendalilkan bahwa sel-sel epitel pada luka kering pasti menjadi keropeng, memakan tenaga dan waktu, sedangkan pada luka lembab mereka bermigrasi secara bebas di seluruh permukaan luka vaskular lembab. Teori Winter tersebut telah didukung oleh penelitian lain sebagai tambahan penelitian lain yang memberikan bukti bahwa lingkungan yang lembab dapat mempercepat respon inflamasi, yang menjadikan proliferasi sel lebih cepat dan penyembuhan luka pada luka dermal yang lebih dalam. Prinsip penyembuhan luka lembab meniru fungsi dari epidermis. Tubuh kita sebagian besar terdiri dari air, dan lingkungan alam sel lembab. Oleh karena itu, sel kering adalah sel mati (Bryant, 2007).

  Schultz et al. (2005) menyatakan moist wound healing merupakan suatu metode yang mempertahankan lingkungan luka tetap lembab untuk memfasilitasi proses penyembuhan luka. Lingkungan luka yang lembab dapat diciptakan dengan

  semi-occlusive dressing, full occlusive dan impermeable dressing. Dengan

  perawatan luka tertutup (occlusive dressing) maka keadaan yang lembab dapat tercapai dan hal tersebut telah diterima secara universal sebagai standar baku untuk berbagai tipe luka.

  Substansi biokimia pada cairan luka kronik berbeda dengan luka akut. Produksi cairan pada luka kronik menekan penyembuhan luka dan dapat menyebabkan maserasi pada pinggir luka. Cairan pada luka kronik ini juga menghancurkan matrik protein ekstra selular dan faktor-faktor pertumbuhan, menimbulkan inflamasi yang lama, menekan proliferasi sel, dan membunuh matrik jaringan. Dengan demikian, untuk mengefektifkan perawatan pada dasar luka, harus mengutamakan penanganan cairan yang keluar dari permukaan luka untuk mencegah aktifitas dari biokimiawi yang bersifat merugikan (Schultz et al., 2005).

  Moist wound healing bertujuan untuk mempertahankan isolasi lingkungan

  luka yang tetap lembab dengan menggunakan balutan penahan-kelembaban

  

occlusive dan semi occlusive. Balutan tersebut dapat mempercepat penyembuhan

  45% lebih cepat, mengurangi komplikasi infeksi dan pertumbuhan jaringan parut residual sehingga perawatan luka dapat dioptimalkan (Schultz et al., 2005).

  Bertambahnya produksi eksudat adalah bagian dari fase inflamasi yang normal pada proses penyembuhan luka. Peningkatan permeabilitas kapiler pembuluh darah, menyebabkan cairan yang kaya akan protein masuk ke rongga interstitial. Hal ini meningkatkan produksi dari cairan yang memfasilitasi pembersihan luka dari permukaan luka dan mempertahankan kelembaban lingkungan lokal yang maksimal untuk memaksimalkan penyembuhan.

  Keseimbangan kelembaban pada permukaan balutan luka adalah faktor kunci dalam mengoptimalkan perbaikan jaringan, mengeliminasi eksudat dari luka yang berlebihan pada luka kronik yang merupakan bagian penting untuk permukaan luka.

  Keuntungan dari permukaan luka yang lembab diantaranya mengurangi pembentukan jaringan parut, meningkatkan produksi faktor pertumbuhan, mengaktivasi protease permukaan luka untuk mengangkat jaringan yang mati, menambah pertahanan imunitas permukaan luka, meningkatkan kecepatan

  angiogenesis dan proliferasi fibroblast, meningkatkan proliferasi dan migrasi dari

  sel-sel epitel disekitar lapisan air tipis, mengurangi rasa nyeri saat mengganti balutan, dan efektifiktas biaya. Biaya pembelian balutan occlusive lebih mahal dari balutan kasa konvensional, tetapi dengan mengurangi frekuensi penggantian balutan dan meningkatkan kecepatan penyembuhan dapat menghemat biaya yang dibutuhkan (Schulitz et al., 2005).

  Perbandingan permukaan luka yang lembab dengan luka yang terbuka cukup signifikan. Kelembaban meningkatkan epitelisasi 30-50%, memfasilitasi pertumbuhan sel-sel epitel pada permukaan kulit dengan ratarata re-epitelisasi kelembaban 2-5 kali lebih cepat. Kelembaban meningkatkan sintesa kolagen sebanyak 50%, sehingga memperkecil terbentuknya jaringan parut. Mengurangi kehilangan cairan dari atas permukaan luka dan mengurangi produksi eksudat akibat proses inflamasi pada permukaan luka (Schulitz et al., 2005).

  Penerapan metode moist wound healing sangat penting dan berkaitan dengan penerapan seluruh rencana perawatan luka. Persiapan dasar luka sangat mendukung metode moist wound healing dan terjadinya proses penyembuhan luka dengan baik.

  Persiapan dasar luka atau Wound Bed Preparation (WBP)

  diungkapkan oleh Falanga et al. (2004) di Europaean Wound Management

  Association (EWMA), sebuah diskusi ilmiah untuk menentukan persiapan dasar

  luka mengenalkan penggunaan manajemen TIME sebagai penatalaksanaan komprehensif pada luka kronik. Kerangka TIME membantu untuk menetapkan persiapan dasar luka dengan mengurangi edema, eksudat, dan mengurangi bakteri buruk dan memperbaiki penyebab gagalnya penyembuhan luka tersebut.

  Falanga (2004) persiapan dasar luka ini bukan merupakan sebuah konsep yang statis dan linear, tetapi dinamis. Dalam pelaksanaannya kerangka TIME juga disesuaikan dengan kondisi luka, berbeda luka memerlukan perhatian pada elemen-elemen yang berbeda. Manajemen ini dapat memfasilitasi proses pertumbuhan jaringan dari tepi luka secara normal, dan juga menangani faktor intrinsik dan ekstrinsik yang mempengaruhi kegagalan penyembuhan luka. TIME terdiri dari empat komponen untuk luka persiapan dasar luka yang menangani berbagai kelainan patofisiologi mendasari luka kronis. T untuk Tissue

  

management (manajemen jaringan), I untuk Inflammation and infection control

  (kontrol inflamasi dan infeksi), M untuk Moist balance (kelembaban yang seimbang) dan E untuk Ephitelial or edge advancement (kemampuan epitel atau tepi luka).

1) Tissue management (manajemen jaringan).

  Tujuan dari manajemen jaringan yaitu untuk mengangkat jaringan mati, membersihkan luka dari benda asing, dan persiapan dasar luka yang kuning/ hitam menjadi merah. Tindakan utama manajemen jaringan adalah dengan melakukan debridement, dimulai dari mengkaji dasar luka sehingga dapat dipilih jenis debridement yang akan dilakukan.

  Debridement adalah kegiatan mengangkat atau menghilangkan jaringan

  mati (devaskularisasi), jaringan terinfeksi dan benda asing dari dasar luka sehingga dapat ditemukan dasar luka dengan vaskularisasi baik. Untuk mendapatkan dasar luka yang baik (tidak ada lagi jaringan mati dan benda asing) diperlukan tindakan debridement secara berkelanjutan. Kaji luka, lingkungan dan faktor sistemik pasien sebelum melakukan debridement, tentukan pencapaian hasil dan pilih jenis tindakan debridement yang cocok untuk pasien tersebut (Falanga, 2004)

  Maryunani (2013) menyatakan bahwa debridement terdiri dari beberapa jenis yaitu debridement mekanik, debridement bedah, debridement enzimatik, dan debridement autolitik. Debridement mekanik merupakan teknik yang menggunakan kasa, pinset, irigasi dan kompres untuk mengangkat jaringan mati. Debridement bedah hanya dilakukan oleh tenaga kesehatan yang berpengalaman dengan menggunakan pisau bisturi, gunting, dan lacer.

  Debridement enzimatik adalah metode yang menggunakan agen topikal terapi yang menganduk enzimatik seperti papaian, kolegenase dan lainnya.

  Debridement autolitik merupakan prosedur alami tubuh dalam melakukan debridement, yang selektif atau hanya membuang jaringan nekrosis dan membutuhkan lingkungan luka yang lembab.

2) Inflammation and infection control (kontrol inflamasi dan infeksi).

  Tujuan dari kontrol inflamasi dan infeksi yaitu untuk mengontrol inflamasi, mengurangi jumlah perkembangbiakan kuman, dan mencegah infeksi dan mengatasi infeksi. Semua luka kronis adalah luka yang terkontaminasi tapi tidak selalu ada infeksi (Smith, 1983 dalam Arisanty, 2012).

  Infeksi adalah pertumbuhan organisme pada luka yang berlebihan ditandai dengan terjadi reaksi jaringan lokal maupun sistemik. Sebelum terjadi infeksi ada proses perkembangbiakan kuman mulai dari kontaminasi kolonisasi lalu infeksi (Schultz et al, 2003 dalam Arisanty, 2012). Luka dikatakan dikatakan infeksi jika ada tanda inflamasi/ infeksi, eksudat purulen/ nanah bertambah banyak dan sangat berbau, luka meluas/ breakdown, serta melalui pemeriksaan penunjang diagnostik seperti leukosit dan makrofag meningkat, kultur eksudat :

  6 bakteri > 10 / gr jaringan (Arisanty, 2012).

  3) Moisture balance (kelembaban yang seimbang)

  Tujuan dari kelembaban yang seimbang yaitu untuk mempertahankan kelembaban yang seimbang, melindungi luka dari trauma saat mengganti balutan, dan melindungi kulit sekitar luka. Kelembaban pada kulit menjadi kebutuhan dasar, ketika kulit mengalami kerusakan, secara otomatis juga masih membutuhkan suasana lembab lebih besar dari sebelumnya. Cairan yang berlebih pada luka kronik dapat menyebabkan terganggunya kegiatan sel mediator seperti Growth Factor pada jaringan. Banyaknya cairan luka (eksudat) pada luka kronik dapat menimbulkan maserasi dan perlukaan baru pada daerah sekitar luka, sehingga konsep kelembaban yang dikembangkan adalah keseimbangan kelembaban luka (Falanga, 2004).

  Penggunaan balutan yang tertutup rapat akan mengoptimalkan keseimbangan kelembaban luka. Kelembaban yang terjaga dengan optimal akan mengefektifkan proses penyembuhan luka (Arisanty, 2012).

  4) Epithelization advancement (kemajuan epitel atau tepi luka)

  Tujuannya ialah untuk mendukung proses epitelisasi, dan mempercepat penutupan luka.Proses penutupan luka dimulai dari tepi luka disebut dengan proses epitelisasi. Proses penutupan luka terjadi pada fase poliferasi penyembuhan luka. Epitel (tepi luka) sangat penting untuk diperhatikan sehingga proses epitelisasi dapat berlangsung secara efektif. Tanda-tanda dari epitel yang baik diantaranya: halus, tipis, menyatu dengan dasar luka bersih dan lunak. Jika T-I-M teratasi maka E sebagai Epitelisasi akan berjalan dengan baik (Arisanty, 2012).

  Perawatan luka adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk merawat luka agar dapat mencegah terjadinya trauma (injuri) pada kulit membran mukosa atau jaringan lain, fraktur, luka operasi yang dapat merusak permukaan kulit. Serangkaian kegiatan itu meliputi pembersihan luka, memasang balutan, mengganti balutan, pengisian (packing) luka, memfiksasi balutan, tindakan pemberian rasa nyaman yang meliputi membersihkan kulit dan daerah drainase, irigasi, pembuangan drainase, pemasangan perban (Bryant, 2007).

  Maryunani (2013) menyatakan perawatan luka bertujuan untuk mengangkat jaringan nekrotik demi meningkatkan penyembuhan luka, mencegah dan membatasi atau mengontrol infeksi, menyerap eksudat, mempertahankan lingkungan luka yang lembab, melindungi luka dari trauma selanjutnya dan melindungi luka sekitar dari infeksi dan trauma.

2.1. Manajemen Perawatan Luka dengan Metode Moist Wound Healing

  Wocare clinic (2007 dalam Buku panduan pelatihan perawatan luka, 2012)

  menyatakan manajemen perawatan luka terdiri dari 3 tahapan yang disingkat menjadi 3M, yaitu mencuci luka, membuang jaringan nekrotik, dan memilih balutan yang tepat.

a. Mencuci luka

  Pencucian luka merupakan hal pokok untuk meningkatkan, memperbaiki, mempercepat penyembuhan luka dan menghindari kemungkinan terjadinya infeksi. Tujuannya ialah untuk membuang jaringan nekrosis, membuang cairan luka yang berlebih dan membuang sisa balutan yang digunakan. Pencucian luka dilakukan setiap penggantian balutan luka (Maryunani, 2013).

  Gitarja (2008) mengatakan bahwa cairan terbaik dan teraman untuk mencuci luka adalah cairan fisiologis yang non-toksik pada proses penyembuhan luka yaitu cairan normal salin/ NaCl 0,9% atau dapat juga digunakan air steril/ air atang suam-suam kuku. Cairan pembersih lainnya atau banyak dikenal dengan cairan antiseptik yang banyak beredar di ruang-ruang perawatan seperti povidone iodine, alkohol 70 %, H2O2 (Hidrogen Peroksida), cairan hipoklorit, rivanol dan lainnya sering menimbulkan bahaya alergi dan perlukaan di kulit sehat dan kulit yang terluka. Tujuan utama dari penggunaan antiseptik yang tepat guna adalah untuk mencegah terjadinya kontaminasi bakteri pada luka. Namun perlu diperhatikan bahwa kebanyakan antiseptik dapat merusak jaringan fibroblast yang sangat dibutuhkan pada proses penyembuhan luka.

  Ada beberapa teknik pencucian luka, diantaranya dengan swabbing (menyeka), scrubbing (menggosok), showering (irigasi), whirpool, dan bathing (mengguyur). Mencuci dengan teknik swabbing (menyeka), dan scrubbing (menggosok) tidak terlalu dianjurkan karena dapat menyebabkan trauma dan perdarahan sehingga dapat meningkatkan inflamasi pada jaringan granulasi dan epithelium, juga membuat bakteri terdistribusi malah bukan mengangkat bakteri.Teknik showering (irigasi), whirpool, dan bathing (mengguyur) adalah teknik yang paling sering digunakan dan banyak riset yang mendukung teknik ini. Keuntungan teknik ini adalah dengan teknik tekanan yang cukup dapat mengangkat bakteri yang terkolonisasi, mengurangi terjadinya trauma, dan mencegah terjadinya infeksi silang (Gitarja, 2008).

  Setelah luka bersih dicuci, dilanjutkan dengan mengkaji kondisi luka. Pengkajian luka ditunjukkan pada pengumpulan data khusus karakteristik status luka dan sekitar luka (Ekaputra, 2013). Pengkajian luka kronis sama dengan pengkajian luka akut, namun disini penekanan pada kenapa atau apa yang menyebabkan luka tidak kunjung sembuh lebih diperhatikan (Arisanty, 2012).

  Menurut Keast et al, (2004 dalam Ekaputra 2013) menyatakan MEASURE sebagai istilah atau framework dalam mengkaji luka yaitu dalam table berikut :

Tabel 2.1 Framework MEASURE menurut Keast et al (2004 dalam Ekaputra, 2013) Istilah Parameter Isi Parameter

  M Measure Panjang, lebar dan kedalaman luka E Exudate Kualitas dan kuantitas eksudat A Appearance Dasar luka, tipe jaringan dan jumlah S Suffering Tipe nyeri dan skala/ derajat luka U Undermining Ada atau tidak kerusakan sekitar luka R Re-evaluate Memonitor semua parameter secara teratur E Edge Kondisi tepi luka dan sekitar kulit

b. Membuang jaringan nekrotik

  Nekrotik adalah perubahan morphologi yang diindikasikan oleh adanya sel mati yang disebabkan oleh degradasi enzim secara progresif, dan ini merupakan respon yang normal dari tubuh terhadap jaringan rusak. Jaringan nekrotik dapat menghalangi proses penyembuhan luka dengan menyediakan tempat untuk pertumbuhan bakteri. Untuk menolong penyembuhan luka, tindakan debridement sangat dibutuhkan (Gitarja, 2008).

  Debridement merupakan tindakan membuang jaringan nekrotik/ slough

  pada luka. Tindakan tersebut merupakan bagian dari manajemen persiapan dasar luka dalam perawatan luka dengan metode moist wound healing (Maryunani, 2013).

c. Memilih balutan luka

  Memilih balutan merupakan hal yang harus dilakukan untuk memperbaiki kerusakan jaringan integument. Berhasil tidaknya perawatan luka, tergantung kepada kemampuan perawat dalam memilih balutan yang tepat, efektif dan efisien (Gitarja, 2008).

  Balutan luka terbagi menjadi dua yaitu balutan primer dan balutan sekunder. Balutan primer merupakan balutan yang melindungi langsung menempel pada dasar luka. Balutan primer dapat berupa topikal terapi seperti salep luka maupun gel seperti lembaran penutup luka. Balutan sekunder merupakan balutan luka yang digunakan untuk menutup balutan primer ketika balutan primer tidak melindungi secara sempurna luka dari kontaminasi (Bryant, 2007).

  Bux dan Malhi (1996 dalam Bryant, 2007) mengatakan kebanyakan balutan luka yang beredar saat ini adalah balutan semiocclusive daripada

  occllusive . Occllusive dressing merupakan balutan yang tertutup rapat, baik

  air, maupun udara (seperti penguapan, oksigen dan karbondioksida) tidak dapat melewati balutan tersebut, sedangkan semiocclusive balutan yang tertutup rapat namun masih memungkinkan masuknya udara dalam level rendah.

  

Semiocclusive maupun Occlusive dressing adalah balutan dengan prinsip

  tertutup rapat merupakan prinsip balutan yang mendukung dilakukannya perawatan luka dengan metode lembab atau moist wound healing. Jenis balutan ini akan mempertahankan lingkungan dalam keadaan optimal, dimana saat penggantian balutan akan tampak adanya peluruhan jaringan nekrosis dan slough, sehingga tampak dasar luka menjadi bersih (Maryunani, 2013).

  Tujuan pemilihan balutan luka dengan prinsip occlusive atau tertutup rapat yaitu untuk melindungi dan menggantikan fungsi kulit yang rusak atau hilang, mempertahankan kelembaban yang seimbang untuk mempercepat proses penyembuhan luka agar menciptakan suasana lembab yang seimbang dan mengoptimalkan proses debris, mencegah trauma, resiko infeksi ataupun kontaminasi dari lingkungan luar, mempercepat proses penyembuhan luka dan mengefektifkan biaya, waktu, dan tenaga karena tidak perlu diganti setiap hari (Arisanty, 2012).

  Perkembangan ilmu tersebut dapat dilihat dari banyaknya inovasi terbaru dalam perkembangan produk bahan pembalut luka modern. Bahan pembalut luka modern adalah produk pembalut hasil teknologi tinggi yang mampu mengontrol kelembapan disekitar luka dan disesuaikan dengan jenis luka dan eksudat yang menyertainya (Sinaga, 2012). Bryant (2007) menyatakan ada beberapa jenis balutan luka yang mampu mempertahankan kelembaban antara lain:

  

Alginat banyak terkandung dalam rumput laut cokelat dan kualitasnya

  bervariasi. Polisakarida ini digunakan untuk bahan regenerasi pembuluh darah, kulit, tulang rawan, ikatan sendi dan sebagainya. Apabila pembalut luka dari alginat kontak dengan luka, maka akan terjadi infeksi dengan eksudat, menghasilkan suatu jel natrium alginat. Jel ini bersifat hidrofilik, dapat ditembus oleh oksigen tapi tidak oleh bakteri dan dapat mempercepat pertumbuhan jaringan baru. Selain itu bahan yang berasal dari alginat memiliki daya absorpsi tinggi, dapat menutup luka, menjaga keseimbangan lembab disekitar luka, mudah digunakan, bersifat elastis. antibakteri, dan nontoksik. Alginat adalah balutan primer dan membutuhkan balutan sekunder seperti film semi-permiabel, foam sebagai penutup. Hal ini disebabkan karena balutan ini menyerap eksudat, memberi kelembaban, dan melindungi kulit di sekitarnya agar tidak mudah rusak. Untuk memperoleh hasil yang optimal balutan ini harus diganti sekali sehari. Balutan ini dindikasi untuk luka superfisial dengan eksudat sedang sampai banyak dan untuk luka dalam dengan eksudat sedang sampai banyak sedangkan kontraindikasinya adalah tidak dinjurkan untuk membalut luka pada luka bakar derajat III.

  

Hidrogel tersedia dalam bentuk lembaran (seperti serat kasa, atau jel)

  yang tidak berperekat yang mengandung polimer hidrofil berikatan silang yang dapat menyerap air dalam volume yang cukup besar tanpa merusak struktur bahan. Jel akan memberi rasa sejuk dan dingin pada luka, yang akan meningkatkan rasa nyaman pasien. Jel diletakkan langsung diatas permukaan luka, dan biasanya dibalut dengan balutan sekunder (foam atau kasa) untuk mempertahankan kelembaban sesuai level yang dibutuhkan untuk mendukung penyembuhan luka. Indikasi balutan ini adalah digunakan pada jenis luka dengan cairan yang sedikit sedangkan kontraindikasinya adalah luka yang banyak mengeluarkan cairan

  

Foam Silikon Lunak jenis ini menggunakan bahan silikon yang

  direkatkan, pada permukaan yang kontak dengan luka. Silikon membantu mencegah balutan foam melekat pada permukaan luka atau sekitar kulit pada pinggir luka. Hasilnya menghindarkan luka dari trauma akibat balutan saat mengganti balutan, dan membantu proses penyembuhan. Balutan luka silikon lunak ini dirancang untuk luka dengan drainase dan luas.

  Hidrokoloid bersifat ”water-loving” dirancang elastis dan merekat yang

  mengandung jell seperti pektin atau gelatin dan bahan-bahan absorben atau penyerap lainnya. Balutan hidrokoloid bersifat semipermiabel, semipoliuretan padat mengandung partikel hidroaktif yang akan mengembang atau membentuk jel karena menyerap cairan luka. Bila dikenakan pada luka, drainase dari luka berinteraksi dengan komponen-komponen dari balutan untuk membentuk seperti jel yang menciptakan lingkungan yang lembab yang dapat merangsang pertumbuhan jaringan sel untuk penyembuhan luka. Balutan hidrokoloid ada dalam bermacam bentuk, ukuran, dan ketebalan. Balutan hidrokoloid digunakan pada luka dengan jumlah drainase sedikit atau sedang. Balutan jenis ini biasanya diganti satu kali selama 5-7 hari, tergantung pada metode aplikasinya, lokasi luka, derajat paparan kerutan- kerutan dan potongan-potongan, dan inkontinensia. Balutan ini diindikasi kan pada luka pada kaki, luka bernanah, sedangkan kontraindikasi balutan ini adalah tidak digunakan pada luka yang terinfeksi.

  

Hidrofiber merupakan balutan yang sangat lunak dan bukan tenunan atau

  balutan pita yang terbuat dari serat sodium carboxymethylcellusole, beberapa bahan penyerap sama dengan yang digunakan pada balutan hidrokoloid.

  Komponen-komponen balutan akan berinteraksi dengan drainase dari luka untuk membentuk jel yang lunak yang sangat mudah dieliminasi dari permukaan luka. Hidrofiber digunakan pada luka dengan drainase yang sedang atau banyak, dan luka yang dalam dan membutuhkan balutan sekunder. Hidrofiber dapat juga digunakan pada luka yang kering sepanjang kelembaban balutan tetap dipertahankan (dengan menambahkan larutan normal salin). Balutan hidrofiber dapat dipakai selama 7 hari, tergantung pada jumlah drainase pada luka.

Dokumen yang terkait

II. PENGETAHUAN RESPONDEN TENTANG SADARI - Pengaruh Penyuluhan Kesehatan Tentang Sadari Terhadap Pengetahuan Dan Sikap Remaja Putri Dalam Upaya Deteksi Dini Kanker Payudara Di Smk Negeri 3 Tebing Tinggi Tahun 2015

0 0 34

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyuluhan Kesehatan 2.1.1 Pengertian Penyuluhan Kesehatan - Pengaruh Penyuluhan Kesehatan Tentang Sadari Terhadap Pengetahuan Dan Sikap Remaja Putri Dalam Upaya Deteksi Dini Kanker Payudara Di Smk Negeri 3 Tebing Tinggi Tahun

0 1 34

Pengaruh Penyuluhan Kesehatan Tentang Sadari Terhadap Pengetahuan Dan Sikap Remaja Putri Dalam Upaya Deteksi Dini Kanker Payudara Di Smk Negeri 3 Tebing Tinggi Tahun 2015

0 3 12

BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Umum - Rancang Bangun Prototype Jaringan Sensor Memanfaatkan Jaringan Wifi Usu

0 0 34

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Pantai - Prediksi Parameter Gelombang Yang Dibangkitkan Oleh Angin Untuk Lokasi Pantai Cermin

0 0 17

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Umum - Prediksi Parameter Gelombang Yang Dibangkitkan Oleh Angin Untuk Lokasi Pantai Cermin

0 0 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Pengertian Modal - Pengaruh Modal Kerja Terhadap Profitabilitas Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia

0 1 19

BAB I PENDAHULUAN - Pengaruh Modal Kerja Terhadap Profitabilitas Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia

0 1 7

KARAKTERISTIK PENDERITA DIABETES MELLITUS TIPE 2 DENGAN KOMPLIKASI YANG DIRAWAT INAP DI RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN TAHUN 2012-2013

0 0 17

Moist Wound Healing di RSUP Haji Adam Malik Medan

1 1 30