BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengetahuan dan Perilaku - Pengetahuan Dan Perilaku Dokter Gigi Terhadap Tindakan Pencabutan Gigi Pada Penderita Diabetes Mellitus Di Kecamatan Medan Selayang Periode Januari-Februari 2014

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengetahuan dan Perilaku

  Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, dan rasa. Pengetahuan atau kognitif merupakan hal yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang. Pengetahuan dapat diperoleh dari proses belajar yang dapat membentuk keyakinan tertentu sehingga seseorang berperilaku sesuai dengan keyakinan yang diperoleh, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin besar kemampuan menyerap, menerima dan mengadopsi informasi yang didapat. Sementara Soekamto (1997) berpendapat, pengetahuan merupakan hasil dari tahu setelah melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu yang diperoleh dari pendidikan, pengalaman sendiri maupun orang lain, media massa maupun lingkungan sekitarnya. Adanya perubahan perilaku pada seseorang merupakan suatu proses yang kompleks dan memerlukan waktu relatif lama dimana tahapan yang pertama adalah pengetahuan. Sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru maka harus tahu terlebih dahulu apa arti atau manfaat

  10 perilaku tersebut bagi dirinya maupun terhadap keluarga atau orang lain.

  Menurut Gibson.dkk (2001), kemampuan seseorang dapat dipengaruhi oleh pengetahuan dan ketrampilan, sedangkan pengetahuan dapat diperoleh melalui latihan, pengalaman kerja maupun pendidikan, dan ketrampilan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya sejenis pendidikan, kurikulum, pengalaman praktik

  10 dan latihan.

  Pengetahuan terdiri atas fakta, konsep generalisasi dan teori yang memungkinkan manusia dapat memahami fenomena dan memecahkan masalah. Menurut Gibson.dkk, (2001) ada empat cara memperoleh pengetahuan yaitu :

  1. Melalui pengalaman pribadi secara langsung atau berbagai unsur sekunder yang memberi berbagai informasi yang sering kali berlawanan satu dengan yang lain

  2. Mencari dan menerima penjelasan-penjelasan dari orang tertentu yang mempunyai penguasaan atau yang dipandang berwenang

  4. Pencarian pengetahuan yang dimulai dengan melakukan observasi terhadap hal-hal khusus atau fakta yang nyata (induktif).

  11 Pengetahuan mempunyai 5 tingkatan sebagai berikut :

  1. Kesadaran (awareness), orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (obyek).

  2. Tertarik (interest), orang mulai tertarik kepada stimulus.

  3. Evaluasi (evaluation), orang sudah mulai menimbang-nimbang terhadap baik tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya.

  4. Mencoba (trial), orang telah mulai mencoba perilaku baru.

  5. Menerapkan (adoption), subyek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.

  Sementara itu, Kurt Lewin (1951) merumuskan suatu model hubungan perilaku yang mengatakan bahwa perilaku adalah fungsi karakteristik individu dan lingkungan. Karakteristik individu meliputi berbagai variabel seperti motif, nilai- nilai, sifat kepribadian, dan sikap yang saling berinteraksi satu sama lain dan kemudian berinteraksi pula dengan faktor-faktor lingkungan dalam menentukan perilaku. Faktor lingkungan memiliki kekuatan besar dalam menentukan perilaku, bahkan kadang-kadang kekuatannya lebih besar daripada karakteristik individu. Hal

  12 inilah yang menjadikan prediksi perilaku lebih kompleks.

  Untuk tidak sekedar memahami, tapi juga agar dapat memprediksi perilaku, Icek Ajzen dan Martin Fishbein mengemukakan Teori Tindakan Beralasan (Theory of

  

Reasoned Action ). Dengan mencoba melihat penyebab perilaku volisional (perilaku yang dilakukan atas kemauan sendiri), teori ini didasarkan pada asumsi-asumsi bahwa:

a) Manusia umumnya melakukan sesuatu dengan cara-cara yang masuk akal.

  b) Manusia mempertimbangkan semua informasi yang ada, dan

  c) Secara eksplisit maupun implisit, manusia memperhitungkan implikasi

  Teori Tindakan Beralasan mengatakan bahwa sikap mempengaruhi perilaku lewat suatu proses pengambilan keputusan yang teliti dan beralasan, dan dampaknya terbatas hanya pada tiga hal, yaitu:

  a) Perilaku tidak banyak ditentukan oleh sikap umum, tetapi oleh sikap yang spesifik terhadap sesuatu.

  b) Perilaku dipengaruhi tidak hanya oleh sikap, tetapi juga oleh norma-norma subjektif, yaitu suatu keyakinan mengenai apa yang orang lain inginkan agar kita perbuat.

  c) Sikap terhadap suatu perilaku bersama norma-norma subjektif membentuk suatu intensi atau niat untuk berperilaku tertentu.

  Sikap terhadap perilaku Intensi untuk

  PERILAKU berperilaku Norma-norma subjektif

  12 Gambar. 1. Teori Tindakan Beralasan

  Dari bagan di atas, tampak bahwa intensi merupakan fungsi dari dua determinan dasar, yaitu sikap individu terhadap perilaku (merupakan aspek personal) dan persepsi individu terhadap tekanan sosial untuk melakukan atau untuk tidak melakukan perilaku yang bersangkutan atau yang disebut dengan norma subjektif. Secara sederhana, teori ini mengatakan bahwa seseorang akan melakukan suatu perbuatan apabila ia memandang perbuatan tersebut positif dan ia percaya bahwa

  12 orang lain ingin agar ia melakukannya.

2.2 Pencabutan Gigi

  Menurut Pedlar dkk (2001), pencabutan gigi adalah suatu prosedur bedah yang dapat dilakukan dengan tang, elevator, atau dengan pendekatan transalveolar. Pencabutan bersifat irreversibel dan terkadang menimbulkan komplikasi. Pencabutan gigi yang ideal adalah pencabutan sebuah gigi atau akar yang utuh tanpa menimbulkan rasa sakit dengan trauma yang sekecil mungkin pada jaringan penyangganya sehingga luka bekas pencabutan akan sembuh secara normal dan tidak

  13 menimbulkan masalah prostetik pasca-bedah.

  Menurut Starshak (1980) dan Kruger (1974), indikasi dilakukannya pencabutan

  13

  gigi adalah sebagai berikut :

  a) Gigi dengan patologis pulpa, baik akut maupun kronis, yang tidak mungkin dilakukan terapi endodontik dan harus dicabut.

  b) Gigi dengan karies yang besar, baik dengan atau tanpa adanya penyakit pulpa atau periodontal, harus dicabut ketika restorasinya akan menyebabkan kesulitan keuangan bagi pasien dan keluarga.

  c) Penyakit periodontal yang terlalu parah untuk dilakukan perawatan.

  Pertimbangan ini juga meliputi keinginan pasien untuk kooperatif dalam rencana perawatan total dan untuk meningkatkan oral hygiene sehingga menghasilkan perawatan yang bermanfaat.

  d) Gigi malposisi dan overerruption.

  e) Gigi impaksi dalam denture bearing area harus dicabut sebelum dilakukan pembuatan protesa.

  f) Gigi yang mengalami trauma harus dicabut untuk mencegah kehilangan tulang yang lebih besar. g) Beberapa gigi yang terdapat pada garis fraktur rahang harus dicabut untuk meminimalisasi kemungkinan infeksi, penyembuhan yang tertunda, atau tidak menyatunya rahang.

  Menurut Starshak (1980), kontraindikasi pencabutan gigi terbagi menjadi dua, pencabutan gigi yaitu

  13

  :

  a) Infeksi dental akut yang harus dievaluasi tergantung pada kondisi pasien

b) Perawatan infeksi perikoronal akut yang berbeda dengan abses periapikal.

  Pada abses periapikal, drainase dapat dilakukan dengan pencabutan gigi, sedangkan infeksi perikoronal dapat menyebar jika gigi yang terlibat dicabut selama fase akut. Sedangkan kontraindikasi sistemiknya adalah sebagai berikut

  13

  :

  a) Penyakit medis yang tidak terkontrol, seperti hipertensi, coronary artery

  disease , kelainan jantung, anemia parah, leukemia, dan blood dyscrasias

  yang membutuhkan manajemen medis yang tepat sebelum pencabutan gigi dapat dilakukan.

  b) Penyakit kronik seperti diabetes, nefritis, dan hepatitis yang dapat menyulitkan pencabutan gigi karena dapat menghasilkan infeksi jaringan, penyembuhan yang tidak sempurna, dan penyakitnya semakin memburuk.

  c) Neuroses dan psychoses merupakan kontraindikasi yang cenderung menyulitkan perawatan dental.

  d) Kehamilan merupakan kondisi fisiologis normal dan tidak diperhatikan sebagai kontraindikasi pencabutan gigi, kecuali jika terdapat beberapa komplikasi

2.3 Diabetes Melitus

  Diabetes mellitus adalah keadaan peninggian kadar glukosa darah yang kronik dan sering disertai dengan abnormalitas metabolisme pada karbohidrat, lipid, dan

  protein yang menghasilkan defisiensi insulin yang absolut ataupun relatif yang

  2,14

  menyebabkan resistensi jaringan terhadap efek metabolik selulernya. Diabetes mellitus juga merupakan kelainan metabolik yang dikarakteristikkan dengan hiperglikemia kronik yang dihasilkan dari kerusakan sel beta pankreas (sel penghasil

  15 insulin), reaksi insulin yang tidak seimbang, atau keduanya.

  panjang, adanya disfungsi dan kegagalan organ-organ lainnya, terutama mata, ginjal,

  16 saraf, jantung, dan pembuluh darah.

2.3.1 Patofisiologi

  Pada individu yang sehat, kadar gula darah biasanya dipertahankan antara 60- 150 mg/dL per harinya. Insulin memiliki peranan penting dalam regulasi gula darah. Insulin disintesis di sel beta pankreas dan disekresikan dengan cepat ke dalam darah sebagai respon untuk meningkatkan gula darah, misalnya setelah makan. Insulin mengatur homeostasis glukosa dengan cara meningkatkan penyerapan glukosa dari darah ke dalam sel dan menyimpannya di dalam liver dalam bentuk glikogen. Insulin juga meningkatkan penyerapan asam lemak dan asam amino, sebagaimana yang

  6 selanjutnya diubah menjadi trigliserida dan cadangan protein.

  Terdapat beberapa proses patogenesis yang terkait dalam pembentukan diabetes. Hal ini berkisar dari rusaknya autoimun sel beta pankreas dengan akibat defisiensi insulin yang menyebabkan resistensi insulin. Dasar abnormalitas pada metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein pada diabetes adalah kurangnya insulin pada jaringan. Dengan kata lain, kelainan utamanya adalah karena berkurangnya insulin di dalam sirkulasi darah. Meningginya gula darah terjadi karena bertambahnya glukosa yang dikeluarkan oleh hati, sedangkan penggunaan glukosa oleh jaringan perifer menurun. Defisiensi insulin akan menyebabkan sekresi insulin yang inadekuat dan berkurangnya respon jaringan terhadap insulin dalam reaksi hormon. Pengurangan sekresi insulin dan kerusakan pada reaksi insulin biasanya terjadi pada pasien yang sama, dan biasanya tidak jelas mana yang menjadi abnormalitas, dan jika

  5,16 salah satu saja, maka penyebab utamanya adalah hiperglikemia. Kekurangan insulin atau resistensi insulin yang terlihat pada DM menyebabkan sel insulin tidak mampu menggunakan gula darah sebagai sumber energi. Trigliserida yang tersimpan kemudian dirusak menjadi asam lemak, kemudian menjadi sumber alternatif sebagai bahan bakar, dan terjadi peningkatan keton pada darah sehingga akan menyebabkan ketoasidosis. Ketika kadar gula darah meningkat (hiperglikemia), karena diuresis osmotik. Kehilangan cairan yang terus-menerus ini dapat memicu dehidrasi dan perasaan haus yang berlebihan (polidipsia). Karena sel menjadi kekurangan glukosa, pasien akan mengalami peningkatan rasa lapar (polifagia). Maka dari itu, pasien diabetes sering mengalami penurunan berat badan karena sel tidak

  6 bisa menyerap glukosa. Hal inilah yang menjadi tanda dan simptom DM.

  Pembedahan dan luka jaringan pada pasien non-diabetik menyebabkan timbulnya respon katabolik yang dikarakteristikkan dengan peningkatan laju metabolisme, peningkatan degradasi protein, dan intoleransi glukosa. Respon katabolik ini terjadi sebagai akibat dari peningkatan sirkulasi berbagai jenis hormon stress, seperti katekolamin, kortisol, glukagon, dan growth hormone, sebagaimana penurunan pada sirkulasi konsentrasi insulin. Katekolamin yang meningkat menyebabkan glukoneogenesis dan lipolisis. Peningkatan level kortisol akan menyebabkan pemecahan protein pada jaringan ekstrahepatik dan meningkatkan aliran prekursor glukoneogenik. Peningkatan glukagon memiliki efek utama pada liver dalam menaikkan glukoneogenesis, glikogenolisis, dan keton, sedangkan peningkatan growth hormone menyebabkan peningkatan lipolisis. Kombinasi

  17 hormon-hormon stress ini dapat menyebabkan efek katabolis.

  Namun, tidak ada di antara hormon tersebut yang dapat menyebabkan efek katabolik secara tunggal tanpa hormon lainnya. Oleh karena itu, defisiensi insulin memainkan peranan penting selama peningkatan kadar hormon stress pada saat

  17 peristiwa katabolik dalam pembedahan.

  5,17

  Penurunan pelepasan insulin selama proses pembedahan disebabkan oleh :

  • berpengaruh pada metabolisme glukosa, yaitu mengakibatkan hiperglikemia karena adanya pemecahan glikogen menjadi glukosa.

  Efek inhibitor langsung karena adanya agen anestesi. Anestesi dapat

  • sakit dan stress.

  Efek inhibitor stimulasi adrenomedulari insulin yang disebabkan oleh rasa

  Penurunan insulin dan kelebihan hormon stress menyebabkan kekacauan metabolis yang dikarakteristikkan dengan peningkatan glukoneogenesis, hiperglikemia, glikosuria, osmotik diuresis, kehilangan elektrolit, peningkatan

  17 degradasi protein, dan keseimbangan nitrogen negatif.

  Osmotik diuresis semakin memperburuk kehilangan elektrolit yang terjadi sebagai akibat dari proses operatif itu sendiri. Defisiensi insulin absolut pada pasien diabetes akan menggabungkan ketidakseimbangan metabolisme ini dengan katabolisme dan gangguan elektrolit. Respon katabolik terhadap pembedahan pada pasien diabetes juga berhubungan dengan tingkat keparahan operasi, jaringan luka

  17 yang luas dan komplikasi efek shock dan infeksi.

2.3.2 Klasifikasi Diabetes Melitus

  Dalam menentukan jenis diabetes mellitus pada seseorang sering kali bergantung pada kondisi yang terjadi pada saat diagnosis, dan banyak penderita

  16

  diabetes yang tidak dapat digolongkan dalam satu klasifikasi dengan mudah. Pada tahun 1999, American Diabetes Association’s Expert Committee pada Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus menyetujui revisi nomenklatur dan sistem klasifikasi berikut, yang berdasarkan pada etiologi penyakit daripada tipe spesifik perawatan

  6 yang digunakan.

2.3.2.1 Diabetes Melitus Tipe 1

  Pada diabetes jenis ini, yang prevalensinya terjadi sekitar 5-10% dari seluruh kasus diabetes dan disebut juga dengan insulin-dependent diabetes mellitus (IDDM) atau juvenile onset diabetes, biasanya merupakan hasil dari kerusakan autoimun pada

  6,16 sel beta pankreas.

  Immune mediated diabetes biasanya terjadi pada masa kanak-kanak dan remaja,

  tetapi dapat juga terjadi di semua usia. Hal ini terjadi karena defisiensi insulin dan pasien memiliki insiden komplikasi yang parah. Penyebabnya adalah dikarenakan insulin. Jadi, pasien DM tipe 1 cenderung mengalami ketoasidosis, komplikasi dan metabolisme akut yang mengancam kehidupan, dan sepenuhnya tergantung pada insulin eksogen untuk bertahan hidup. Ketoasidosis dapat menurunkan pH dalam darah dengan cepat, yang mengarah pada koma dan kematian. Tanda dan simptom pada pasien ini relatif tiba-tiba dan biasanya timbul pada usia muda, misalnya 15

  6,14 tahun, walaupun diabetes tipe ini dapat terjadi pada semua usia.

  Hiperglikemia merupakan tanda utama yang muncul pada diabetes mellitus karena hal ini adalah komplikasi metabolik kronis. Komplikasi metabolik kronis umumnya terjadi lebih parah pada pasien DM tipe 1. Hal ini termasuk pada kerentanan terhadap infeksi dan penyembuhan yang melambat, neuropati, retinopati, dan nefropati (penyakit mikrovaskular); dipercepat oleh aterosklerosis yang kemudian dihubungkan dengan myocardial infark, stroke, aneurisme aterosklerosis (penyakit makrovaskular), dan amputasi. Pembentukan lesi sekunder pada pasien

  14 diabetes berhubungan dengan derajat keparahan dan durasi hiperglikemia.

  Pasien DM tipe 1 juga cenderung mengalami kelainan autoimun lainnya, seperti Grave’s disease, Hashimoto’s thyroiditis, dan Addison’s disease. Beberapa kasus DM tipe 1 memiliki penyebab yang belum diketahui dan kemungkinan berkaitan dengan

  6

  infeksi viral atau karena faktor lingkungan yang sulit didefinisikan. Maka dari itu, dokter gigi harus mempertimbangkan dengan hati-hati akan adanya potensi pembentukan penyakit endokrin mediasi autoimun yang dikarakteristikkan dengan

  14 hipofungsi ketika menilai manajemen klinis pada seorang penderita DM tipe 1.

2.3.2.2 Diabetes Melitus Tipe 2

  Diabetes mellitus tipe 2 atau yang sering disebut dengan non-insulin-

  

dependent-diabetes mellitus (NIDDM) terjadi hampir pada 90-95% kasus diabetes,

  meliputi individu yang resisten terhadap insulin dan biasanya mengalami defisiensi

  6,14,16

  insulin relatif. Yang dimaksud dengan defisiensi insulin relatif adalah kadar efektif sehingga menunjukkan adanya gejala defisiensi insulin. DM tipe ini juga sering disebut dengan diabetes dewasa karena lebih sering terjadi pada umur di atas 40 tahun dan diturunkan melalui gen dominan dan biasanya dikaitkan dengan

  1

  kegemukan. Level insulin yang mempengaruhi pasien bisa normal, meningkat, atau menurun, tetapi tidak ada defisiensi insulin yang mendalam. Bagaimanapun juga, selama bertahun-tahun, mayoritas penderita DM tipe 2 menunjukkan penurunan level

  14 insulin secara terus-menerus.

  Etiologi dan patogenesis DM tipe 2 kemungkinan lebih bermacam-macam dengan multipel lesi biokemis atau molekuler. Kerusakannya termasuk pada sekresi insulin yang terganggu, kerusakan pada reseptor insulin, dan kerusakan pada

  14 penyerapan glukosa pada hati yang berkontribusi terhadap intoleransi insulin.

  Meskipun penyebab DM tipe 2 ini tidak diketahui secara spesifik, kerusakan autoimun pada sel beta pankreas tidak ditemukan. Ketoasidosis tidak ditemukan, namun hiperosmolar asidosis non-ketosis dapat terjadi sebagai hasil dari hiperglikemia dalam jangka waktu panjang. Insulin eksogen tidak dibutuhkan pada perawatan pasien NIDDM untuk bertahan hidup, melainkan digunakan untuk

  6,14 meningkatkan kontrol hiperglikemia.

  Hiperglikemia pada pasien NIDDM ditemukan karena adanya kegagalan sel beta pankreas untuk mengetahui peningkatan permintaan insulin (sekresi insulin terganggu karena kerusakan reseptor insulin). Resiko pembentukan DM tipe 2 meningkat berdasarkan faktor usia, obesitas, dan kekurangan aktivitas fisik. Obesitas dan kadar kolesterol yang tinggi dapat memperburuk aterosklerosis. DM tipe 2 juga ditemukan lebih banyak pada individu yang mengalami hipertensi atau dislipidemia. Sering pula ditemukan faktor predisposisi genetik dimana faktor ini lebih banyak

  6,14 ditemukan pada populasi Afrika-Amerika, Spanyol, dan Amerika-India.

2.3.2.3 Diabetes Melitus Gestasional

  Jenis diabetes ini ditandai dengan adanya derajat intoleran glukosa dengan mengkomplikasi sekitar 4% dari seluruh kehamilan. Pada kebanyakan kasus, regulasi glukosa akan kembali normal setelah melahirkan. Bagaimanapun juga, wanita yang menderita GDM memiliki resiko untuk mengalami DM tipe 2 setelah masa

  6,15 kelahiran.

2.3.3 Tanda dan Gejala Diabetes Melitus

  Adapun tanda-tanda dan gejala pada diabetes mellitus adalah sebagai

  2,4,18,19

  berikut : 1.

  Poliuria, yaitu urinasi yang berlebihan.

  2. Polidipsia, yaitu perasaan haus yang berlebihan.

  3. Polifagia, yaitu peningkatan selera makan.

  4. Glikosuria, yaitu terdapat kandungan glukosa di dalam urin.

  5. Retinopati diabetik, yaitu suatu mikroangiopati progresif yang ditandai oleh kerusakan dan sumbatan-sumbatan pembuluh halus yang meliputi arteriol

  prekapiler retina, kapiler-kapiler, dan vena-vena.

  6. Neuropati diabetik, yaitu kerusakan saraf sebagai komplikasi serius akibat diabetes. Tergantung dari tingkat kerusakan, neuropati diabetik dapat menimbulkan nyeri, mati rasa dan gangguan pada saluran pencernaan, kemih, pembuluh darah dan jantung.

  7. Nefropati diabetik, yaitu komplikasi Diabetes mellitus pada ginjal yang dapat berakhir sebagai gagal ginjal.

  8. Peningkatan resiko penyakit arteri koroner.

  9. Infeksi kandung kemih, terutama infeksi yang disebabkan oleh fungi.

  10. Gatal-gatal, kulit kering, dan lambatnya penyembuhan luka.

  11. Lemah, lelah, dan simptom seperti flu.

  12. Rasa gatal atau terbakar pada tangan atau kaki (terutama pada DM tipe 2).

  13. Pandangan mengabur.

  14. Tanda-tanda diabetes lainnya yang timbul di rongga mulut.

  Kedua jenis utama DM (tipe 1 dan tipe 2) menyebabkan hiperglikemia atau

  4

  kadar gula darah tinggi jika tidak dilakukan perawatan. Pada Februari 2010, ADA (American Diabetes Association) secara resmi merekomendasikan penggunaan uji hemoglobin glikosilasi (HbA1c) untuk mendiagnosis dan memantau DM.

  Hemoglobin terglikosilasi (HbA1c) merupakan gugus heterogen yang terbentuk dari reaksi kimia antara glukosa dan hemoglobin. Kecepatan pembentukan HbA1c proporsional dengan konsentrasi glukosa darah. Pemeriksaan ini sangat diperlukan dalam upaya manajemen DM yang optimal untuk memperkecil risiko komplikasi diabetes. Laporan tahunan ADA mengusulkan bahwa penemuan tingkat HbA1c yang lebih dari 6,5% menghasilkan terdiagnosanya diabetes. Standard baru ini didasarkan pada sebagian besar bukti ilmiah oleh Diabetes Control and Complication Trial (DCCT). Uji diagnostik diabetes lainnya mencakup tingkat gula darah puasa yang lebih dari 126 mg/dL, tingkat gula darah 2 jam yang lebih dari 200 mg/dL selama uji toleransi glukosa oral (OGTT), dan tingkat glukosa acak lebih dari 200 mg/dL pada

  15,20 pasien simptomatik untuk krisis hiperglikemia atau hipoglikemia.

  Pemeriksaan HbA1c telah digunakan sebagai penaksiran jangka panjang, menyediakan pengukuran untuk regulasi glukosa rata-rata selama 6 sampai 12 minggu sebelumnya. Tujuan pada pasien diabetes adalah untuk menjaga level HbA1c kurang dari 7% dimana glukosa dianggap terkontrol dengan baik. Uji lain, seperti uji toleransi glukosa, biasanya digunakan untuk mengidentifikasi pasien dengan diabetes

  

15

gestasional dan gangguan absorpsi glukosa.

  Pasien diabetes harus menjalani pemantauan reguler dengan menguji tingkat gula darah puasa dan tingkat HbA1c. Uji serum fruktosamin digunakan untuk mengukur kontrol glikemik pasien diabetes selama 2 sampai 3 minggu sebelum pemeriksaan. Telah dilaporkan pada suatu studi adanya korelasi positif antara derajat perdarahan gingiva dan tingkat fruktosamin yang tinggi. Pemeriksaan serum fruktosamin sering kali terlihat pada wanita hamil dan khususnya wanita hamil yang kebutuhan insulin dan glukosanya untuk waktu tertentu dipengaruhi oleh penyakit

  15 akut maupun sistemik.

  akan adanya diabetes. Jika pengukuran gula darah puasa antara 110 sampai 126 mg/dL, maka pemeriksaan toleransi glukosa oral harus dilakukan untuk menentukan derajat intoleransi glukosa. Gula darah puasa lebih dari 126 mg/dL, tingkat glukosa acak lebih dari 200 mg/dL, dan di samping gejala DM lainnya (polidipsia, poliuria, polifagia, kehilangan berat badan, dan rasa lemah) merupakan indikator yang pasti untuk mendiagnosis DM. Penemuan gula darah positif harus dikonfirmasi dengan

  15 mengulang pemeriksaan pada hari-hari berikutnya.

2.3.5 Komplikasi Oral yang Ditimbulkan Oleh Diabetes Melitus

  Komplikasi oral yang terjadi pada diabetes mellitus yang tidak terkontrol sangatlah merusak. Hal ini mencakup gingivitis dan penyakit periodontal, xerostomia dan disfungsi kelenjar saliva, kerentanan pada bakteri yang meningkat, infeksi viral dan fungal (kandidiasis), karies, abses periapikal, kehilangan gigi, terganggunya kemampuan untuk menggunakan protesa (berhubungan dengan disfungsi kelenjar

  21 saliva), gangguan pengecapan, lichen planus, dan sindrom mulut terbakar.

2.3.5.1 Gingivitis dan Penyakit Periodontal

  Kerentanan terhadap penyakit periodontal merupakan komplikasi oral yang paling sering ditemukan pada pasien diabetes mellitus. Pasien dengan kontrol diabetes mellitus yang rendah memiliki risiko tertinggi dalam pembentukan penyakit periodontal. Hal ini dimulai dari gingivitis dan kemudian, dengan kontrol glikemik yang rendah, berkembang ke penyakit periodontal lanjutan. Anak-anak dengan diabetes dan orang dewasa dengan kontrol metabolik yang dibawah optimal

  21 menunjukkan kecendrungan ke arah skor gingivitis yang lebih tinggi. Pada sebuah studi menyatakan bahwa prevalensi penyakit periodontal berkisar 9,8% dari 263 pasien dengan diabetes tipe 1, dibandingkan dengan 1,7% pada pasien tanpa diabetes. Beberapa studi telah mendemonstrasikan bahwa pasien dengan diabetes tipe 1 dan kronis, kontrol metabolik pada penyakit harus diperpanjang dan penyakit periodontal lebih parah daripada pasien yang dengan teliti mengontrol kehilangan perlekatan gingiva lebih besar. Jadi, oral hygiene yang baik sangatlah

  

21

penting pada pasien dengan diabetes tipe 1.

  Terdapat studi yang lebih banyak pada pasien dengan diabetes tipe 2 yang dihubungkan dengan penyakit periodontal. Studi ini menunjukkan bahwa pasien dengan diabetes tipe 2 dapat mengalami penyakit periodontal tiga kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan pasien tanpa diabetes. Suatu studi pada India Pima, dimana 40% orang-orangnya menderita diabetes tipe 2, orang-orang yang usianya dibawah 40 tahun mengalami peningkatan kehilangan perlekatan gingiva lebih besar dibandingkan dengan orang-orang tanpa diabetes, sebagaimana juga terjadi kehilangan tulang alveolar yang berhubungan dengan peningkatan intoleransi glukosa atau kontrol metabolik yang rendah. Pada studi ini pula diketahui bahwa kerusakan jaringan periodontal meningkat berdasarkan usia dan derajat keparahan diabetesnya. Kehilangan gigi juga memiliki persentase 15 kali lebih tinggi pada penderita diabetes

  21 dibandingkan dengan pasien yang tidak memiliki diabetes.

2.3.5.2 Disfungsi Kelenjar Saliva dan Xerostomia

  Terdapat beberapa laporan bahwa mulut kering (xerostomia) dan hipofungsi kelenjar saliva ditemukan pada pasien diabetes, yang disebabkan oleh poliuria atau karena masalah endokrin atau metabolik. Ketika lingkungan normal dalam mulut berubah karena adanya penurunan aliran saliva atau perubahan dalam komposisi saliva, dalam mulut yang sehat dapat menjadi rentan terhadap karies dental. Kekeringan, atropi, dan mukosa oral yang pecah-pecah merupakan komplikasi terhadap produksi saliva yang tidak cukup. Disertai dengan mukositis, ulser dan deskuamasi, sebagaimana inflamasi dan depapilasi lidah merupakan masalah yang biasa dijumpai. Kesulitan dalam lubrikasi makanan, mengunyah, merasa, dan menelan juga merupakan komplikasi dalam disfungsi saliva dan kemungkinan

  21 berkontribusi dengan gangguan asupan nutrisi.

  Peningkatan jumlah karies dental telah diketahui terjadi pada pasien muda yang menderita diabetes dan kemungkinan berhubungan dengan disfungsi saliva. Namun, kehilangan gigi dimana hal ini lebih sering ditemui pada pasien diabetes dengan

  21 kontrol glikemik yang rendah.

  2.3.5.3 Kandidiasis

  Kandidiasis oral merupakan infeksi fungal yang biasanya berhubungan dengan hiperglikemia dan merupakan komplikasi pada diabetes yang terkontrol rendah maupun tidak terkontrol. Lesi oral berhubungan dengan kandidiasis, termasuk median rhomboid glossitis (atropi papilla tengah), glositis atropik, denture stomatitis, pseudomembraneous candidiasis (thrush), dan angular cheilitis. Candida albicans adalah komponen flora oral normal yang jarang berkolonisasi dan menginfeksi mukosa oral tanpa faktor pendukung. Hal ini mencakup kondisi yang berkompromis dengan imun, misalnya AIDS, kanker, atau diabetes, maupun penggunaan gigitiruan yang digubungkan dengan oral hygiene yang buruk dan penggunaan antibiotik spektrum luas dalam jangka waktu panjang. Disfungsi saliva, kompromis fungsi imun, dan hiperglikemia yang memberikan potensi substrat untuk pertumbuhan fungi

  21 merupakan faktor utama terjadinya kandidiasis oral pada pasien dengan diabetes.

  2.3.5.4 Sindroma Mulut Terbakar (Burning Mouth Syndrome)

  Pasien dengan Burning Mouth Syndrome (BMS) biasanya tidak menunjukkan tanda-tanda klinis atau lesi yang terdeteksi, walaupun terdapat simptom rasa sakit dan terbakar yang intens. Etiologi BMS bervariasi dan biasanya sulit untuk diuraikan secara klinis. Simptom rasa sakit dan terbakar muncul sebagai hasil dari satu faktor atau bisa saja dari beberapa faktor yang berkombinasi. Pada diabetes tak terkontrol, faktor etiologinya adalah disfungsi kelenjar saliva, kandidiasis, dan abnormalitas neurologi, seperti depresi. Saraf otonom dan sensorik-motorik neuropati merupakan bagian dari sindrom diabetes dan prevalensi neuropati pada diabetes mellitus sekitar 50%, 25 tahun setelah onset pertama diabetes, dengan 30% terjadi pada orang dewasa

  21 yang mengalami diabetes.

  Neuropati dapat menyebabkan simptom parestesi dan kesemutan, mati rasa, saraf pada daerah oral. Diabetes berhubungan dengan BMS, namun, neuropati dari diabetes berhubungan dengan rasa sakit dan terbakar pada bagian tubuh lainnya,

  21 seperti kaki.

  Pada kasus tertentu menemukan bahwa BMS sering ditemukan pada kasus diabetes tipe 2 yang tidak terdiagnosis, dimana kebanyakan kasus juga diselesaikan setelah diagnosis medis dan perawatan lebih lanjut saat melakukan kontrol glikemik. Kemajuan kontrol glikemik memegang peranan penting dalam menurunkan kejadian komplikasi, seperti xerostomia dan kandidiasis, dan faktor-faktor ini kemungkinan berkontribusi lebih signifikan terhadap resolusi simptom yang berhubungan dengan

21 BMS pada pasien diabetes.

  2.3.5.5 Lichen Planus

  Lichen planus sering dijumpai dan merupakan penyakit mukokutan dengan penyebab yang tidak diketahui. Hal ini secara umum dianggap sebagai proses imun yang dimediasi yang melibatkan reaksi hipersensitifitas pada level mikroskopik. Hal ini dikarakteristikkan dengan infiltrasi limfosit T yang terletak pada jaringan epitel. Sel imun lainnya, misalnya makrofag, sel dendrit, dan sel Langerhans, juga terlihat mengalami peningkatan jumlah pada lesi lichen planus. Terlihat ada hubungan antara lichen planus dan hipertensi ataupun diabetes. Namun, suatu studi pada 40 pasien dengan lichen planus ditemukan bahwa 11 pasien (28%) memiliki diabetes, dibandingkan dengan kelompok kontrol yang menyatakan bahwa diabetes mungkin

  21 berhubungan dengan immunopatogenesis lichen planus.

  2.3.5.6 Infeksi Oral Akut

  Infeksi oral akut biasanya terjadi pada diabetes dengan kontrol rendah dan berdasarkan pada tingkat keparahannya. Kontrol glikemik pada manajemen diabetes

  21 merupakan kunci utama untuk menurunkan dampak oral infeksi akut.

2.4 Tindakan Pencabutan Gigi Pada Penderita Diabetes Melitus dilakukan untuk memastikan keberhasilan hasil dari prosedur pencabutan gigi.

  Pemeriksaan riwayat medis ditegakkan melalui sejumlah pertanyaan yang menyinggung keberadaan kondisi patologis yang mungkin merugikan dan

  22 mempengaruhi prosedur pencabutan gigi dan membahayakan kehidupan pasien.

  Penaksiran risiko operatif pada pasien dengan diabetes mellitus umumnya mirip dengan pasien lain, yakni di antaranya penting untuk mendiagnosis, mengevaluasi, dan merawat sistemiknya sebelum pencabutan gigi dilakukan. Sebagai tambahan, penaksiran ini harus fokus pada komplikasi jangka panjang yang disebabkan diabetes, seperti mikrovaskular, makrovaskular, dan neuropati, yang kemungkinan memiliki risiko. Perhatian khusus juga harus diberikan pada pasien yang belum terdiagnosa. Maka dari itu, dokter gigi harus sangat berhati-hati apabila akan melakukan tindakan pencabutan gigi pada pasien yang memiliki diabetes mellitus, dan hal-hal berikut ini

  22,23 diikuti dengan baik.

2.4.1 Tes Skrining Pemeriksaan kadar glukosa terakhir adalah hal yang sangat penting.

  Pemeriksaan ini dapat dilakukan di praktik dokter gigi sebelum pencabutan gigi dilakukan dengan menggunakan glukometer, yaitu suatu alat yang dioperasikan dengan tenaga baterai. Setetes darah kapiler dari ujung jari diletakkan pada strip uji setelah ditusukkan dengan alat tusuk pada alat tersebut dan dalam satu menit hasilnya

  22 yang berbentuk numerik akan muncul pada layar. Untuk menghindari risiko terjadinya reaksi hipoglikemia (syok insulin), maka waktu pencabutan gigi yang paling baik adalah dilakukan pada pagi hari, tepatnya satu sampai satu setengah jam setelah sarapan dan setelah pasien meminum obat diabetes untuk menghindari reaksi puncak bagi pasien yang melakukan injeksi pasien terakhir sebelum makan malam karena kadar gula darah sudah menjadi rendah dan prosedur penyembuhan dapat terganggu karena adanya aktifitas makan. Pasien juga harus diinformasikan untuk datang ke praktik dokter gigi dalam keadaan sudah beristirahat dengan cukup dan tidak stress.

  2.4.2 Waktu Pencabutan Gigi

  

4,22

  Prosedur pencabutan gigi harus dihindari jika pasien

  4

  :

  • Belum makan dan meminum obat antidiabetes
  • Dalam keadaan tidak sehat, misalnya pasien terkena flu, demam, atau terlalu letih.
  • Belum mengadakan kunjungan pada dokter yang menangani diabetesnya sebelum proses pencabutan gigi dilakukan sehingga tidak diketahui kadar gula darah terakhirnya.
  • Memiliki kadar gula darah < 70 mg/dL atau > 150 mg/dL
  • Mengalami kegawatdaruratan diabetes.

  2.4.3 Diet

  Diet pada pasien diabetes tidak boleh diubah baik sebelum maupun sesudah tindakan pencabutan gigi dilakukan. Sebelum pencabutan, dan khususnya setelahnya, pasien sering kali menolak untuk makan atau tidak bisa makan karena adanya rasa sakit setelah pencabutan dan perdarahan yang apabila keadaan ini berlanjut maka akan menyebabkan hipoglikemia.

  22

  2.4.4 Diabetes dan Infeksi

  Diabetes yang terkontrol dengan baik tidak memerlukan profilaksis antibiotik untuk pencabutan gigi. Pasien dengan diabetes tidak terkontrol akan mengalami penyembuhan lebih lambat dan cenderung mengalami infeksi sehingga memerlukan pemberian profilaksis antibiotik. Responnya terhadap infeksi tersebut diduga sebagai akibat defisiensi leukosit polimorfonuklear dan menurunnya atau terganggunya fagositosis, diapedesis, dan kemotaksis karena hiperglikemia. Sebaliknya, infeksi orofasial menyebabkan kendala dalam pengaturan dan pengontrolan diabetes, badan yang penyebabnya tidak diketahui yang terjadi bersamaan dengan kegagalan penyembuhan infeksi dengan terapi yang biasa dilakukan, bisa dicurigai menderita

  1,22 diabetes.

  2.4.5 Pemberian Anestesi Lokal

  Anestesi lokal harus diberikan dengan hati-hati karena konsentrasi vasokonstriktornya harus minimal. Adrenalin, yang merupakan salah satu anestesi dengan vasokonstriktor yang paling sering digunakan, dapat menyebabkan glukoneogenesis dan berinteraksi dengan insulin. Efek vasokonstriktor tersebut yang dapat menyebabkan terjadinya glukoneogenesis, dimana proses ini menghancurkan glikogen kembali menjadi glukosa lagi dalam aliran darah sehingga hal ini akan membahayakan penderita diabetes mellitus. Noradrenalin memiliki efek glukoneogenesis yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan adrenalin sehingga lebih dianjurkan untuk digunakan pada pasien diabetes. Umumnya, karena jumlah zat vasokonstriktor sangat kecil dalam satu ampul (konsentrasi terbesar adalah

  22 1:100.000) sehingga risiko yang ditimbulkan lebih sedikit.

  2.4.6 Pemberian Obat

  Analgesik dosis rendah dan sedatif yang mengandung acetaminophen (Tylenol) merupakan obat-obat yang biasa diberikan. Kortikosteroid harus dihindari karena adanya reaksi glikogenolitik, begitu pula dengan salisilat (aspirin) karena berpotensi menimbulkan reaksi hipoglikemia pada tablet antidiabetik. Pemberian obat anti- kecemasan atau antidepresan dianjurkan pada pagi maupun siang sebelum proses

  22 pencabutan gigi.

  2.4.7 Penyembuhan Luka

  Mikroangiopati yang terjadi pada penderita diabetes mellitus dapat menyebabkan pembuluh darah menjadi inefektif. Hal inilah yang menyebabkan penyembuhan luka pada penderita diabetes mellitus menjadi lambat. Prosedur halus agar memberikan hasil penyembuhan luka yang optimal. Linggir tulang harus dihaluskan agar menghindari iritasi gingiva. Penjahitan luka (suturing) juga dapat

  22 membantu agar luka lebih cepat sembuh.

  2.4.8 Kadar Gula Darah Saat Pencabutan Gigi Dilakukan

  Kadar gula darah yang sebaiknya dimiliki pasien diabetes mellitus saat pencabutan gigi akan dilakukan yaitu tidak kurang dari 70 mg/dL dan tidak lebih dari

  4,22 150 mg/dL.

2.5 Keadaan Darurat Pada Diabetes Melitus

  Terdapat dua keadaan darurat utama yang akan dihadapi dokter gigi pada pasien diabetes, yaitu syok insulin (hipoglikemia) dan ketoasidosis (hiperglikemia). Kedua kondisi ini lebih sering timbul pada diabetes tipe 1 daripada tipe 2 karena diabetes tipe 1 lebih sulit dikontrol dan perawatannya memerlukan insulin (insulin

  

dependent ). Hipoglikemia adalah kasus yang paling penting, dimana muncul pada

  saat kadar gula darah lebih rendah daripada 55mg/100mL. Hipoglikemia muncul dengan cepat dan dikarakteristikkan dengan adanya rasa lapar, rasa lelah, berkeringat, kebingungan, vertigo, gemetar, wajah memucat, perasaan gelisah, sakit kepala, parestesia bibir dan lidah, diplopia dan pandangan mengabur, dan kelainan neurologi. Pada kasus yang lebih parah, dapat terjadi pengeluaran keringat yang berlebihan,

  1,22 hipertensi otot, dan akhirnya kehilangan kesadaran, koma, bahkan kematian.

  Karena hipoglikemia dapat terbentuk dengan cepat, keadaan ini lebih sering terlihat pada praktik dokter gigi daripada hiperglikemia. Hipoglikemia muncul karena asupan karbohidrat yang inadekuat dalam hubungannya dengan insulin atau karena pemberian obat hipoglikemik. Kemungkinan penyebab yang paling sering yang terjadi pada pencabutan gigi adalah ketika pasien menerima dosis normal insulinnya pada pagi hari, namun karena rasa cemas dan takut, serta dan pasien tidak makan

  1,3 dengan cukup sebelum pencabutan sehingga asupan karbohidratnya kurang.

  Sementara itu, hiperglikemia atau ketoasidosis biasanya terbentuk secara lelah, sakit kepala, mual, muntah, xerostomia, dehidrasi, dypsnea, dan akhirnya

  22

  letargi yang menyebabkan koma. Kehilangan atau kekurangan insulin, ditambah dengan faktor yang meningkatkan kebutuhan insulin, seperti infeksi, trauma, bedah, kehamilan, dan gangguan emosional yang parah, biasanya merupakan penyebab

  3 utamanya.

  KERANGKA TEORI Pencabutan Gigi pada

Pasien Diabetes Mellitus

  Pengetahuan dan Pencabutan Diabetes Tindakan Keadaan darurat Perilaku Gigi Mellitus pada DM

  Tes Skrining Patofisiologi Syok insulin

  DM Tipe 1 Waktu

  Klasifikasi Ketoasidosis DM Tipe 2

  Pencabutan GDM Tanda dan Diet

  Gejala Diabetes dan

  Diagnosis Infeksi Pemberian

  Komplikasi anestesi lokal Oral

  Pemberian Gingivitis dan Penyakit obat

  Periodontal Penyembuhan luka

  Disfungsi kelenjar saliva dan xerostomia KGD saat

  Kandidiasis pembedahan

  Burning Mouth

  (BMS)

  Syndrome

  Lichen Planus Infeksi Oral Akut

KERANGKA KONSEP

  Pengalaman Pribadi Penjelasan orang lain

  Penalaran deduktif Penalaran induktif

  Karakteristik individu Pengetahuan

  Perilaku Dokter Gigi

  Diabetes Mellitus Patofisiologi

  DM Klasifikasi

  DM Tanda dan

  Gejala DM Diagnosis

  DM Komplikasi

  Oral DM Keadaan

  Darurat DM Pencabutan Gigi yang

  Optimal

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Air - Pengaruh Penambahan Larutan Zat Kapur Terhadap Kenaikan pH Pada Air Pengolahan PDAM Tirtanadi IPA Sunggal

0 0 16

3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kedelai

0 3 11

BAB II PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK KORBAN TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA A. Bentuk-Bentuk Kekerasan terhadap Anak - Tinjauan Yuridi Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Anak Yang Menyebabkan Kematian (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri

0 0 28

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tinjauan Yuridi Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Anak Yang Menyebabkan Kematian (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No.791/Pid.B/2011/PN.SIM)

0 0 26

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Teori Pengeringan - Rancang Bangun Kompresor Dan Pipa Kapiler Untuk Mesin Pengering Pakaian Sistem Pompa Kalor Dengan Daya 1PK

0 1 30

Rancang Bangun Kompresor Dan Pipa Kapiler Untuk Mesin Pengering Pakaian Sistem Pompa Kalor Dengan Daya 1PK

0 1 21

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 1. Pengertian Rasio Keuangan - Pengaruh Inventory TurnoverRatio Dan Debtors’ TurnoverRatio Terhadap Gross ProfitMargin: Studi Empiris Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia

0 0 26

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pengaruh Inventory TurnoverRatio Dan Debtors’ TurnoverRatio Terhadap Gross ProfitMargin: Studi Empiris Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia

0 0 9

Pengaruh Inventory TurnoverRatio Dan Debtors’ TurnoverRatio Terhadap Gross ProfitMargin: Studi Empiris Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia

0 0 12

Pengetahuan Dan Perilaku Dokter Gigi Terhadap Tindakan Pencabutan Gigi Pada Penderita Diabetes Mellitus Di Kecamatan Medan Selayang Periode Januari-Februari 2014

0 0 19