Relevansi Kontemporer dan Implementasi Z

UNIVERSITAS INDONESIA

RELEVANSI KONTEMPORER DAN IMPLEMENTASI
ZAKAT DI INDONESIA

MAKALAH

Muhammad Raditio Jati Utomo
(1606887895)
Zico Leonard Djagardo Simanjuntak (1606880440)

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM SARJANA
DEPOK
NOVEMBER 2017

UNIVERSITAS INDONESIA

RELEVANSI KONTEMPORER DAN IMPLEMENTASI
ZAKAT DI INDONESIA


MAKALAH

Diajukan sebagai salah satu komponen nilai
Mata Kuliah Hukum Ekonomi Islam Semester Gasal 2017/2018
Program Sarjana Reguler

Muhammad Raditio Jati Utomo
(1606887895)
Zico Leonard Djagardo Simanjuntak (1606880440)

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM SARJANA
DEPOK
NOVEMBER 2017

ABSTRAK

Nama (NPM)
Program Studi
Judul


Muhammad Raditio Jati Utomo (1606887895)
Zico Leonard Djagardo Simanjuntak (1606880440)
: Ilmu Hukum
Relevansi Kontemporer dan Implementasi Zakat di
:
Indonesia
:

Zakat merupakan salah satu elemen pokok dalam tegaknya agama Islam. Hal
tersebut tercermin dari kedudukan Zakat dalam Rukun Islam. Selain itu, Zakat
bersanding sejumlah 28 kali dengan perintah salat di dalam Al-Qur’an. Dengan
demikian, Zakat merupakan elemen yang turut pula melekat dalam keseharian
masyarakat Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam.
Hal tersebut meningkatkan urgensi pengaturan Zakat oleh negara demi menjamin
kepastian hokum bagi warganya. Zakat yang secara praktik mengatur pengeluaran
pihak-pihak tertentu yang nilai hartanya sudah memenuhi kategori wajib Zakat
tentu akan pula bersinggungan dengan pengaturan perpajakan yang sama-sama
mengatur pihak-pihak tertentu dengan nila harta tertentu sebagai wajib pajak. Jalan
tengah dari irisan pajak dan Zakat ditengahi dengan menjadikan Zakat sebagai nilai

pengurang harta, sehingga warga negara penganut Islam tetap mampu menjalankan
kewajiban agama tanpa melalaikan kewajiban terhadap negara. Hal tersebut kiranya
cukup adil mengingat tujuan dari pajak dan Zakat yang sama, yakni demi
pengentasan kemiskinan serta alat redistribusi kemakmuran demi meminimalisasi
ketimpangan kemakmuran. Dalam implementasinya, kiranya dalil-dalil fikih
kontemporer lebih membantu menyelesaikan permasalahan antara Zakat, Pajak,
dan Negara.

Kata kunci: zakat, hukum Islam, hukum ekonomi Islam, ilmu hukum, pajak,
kebijakan perpajakan, Islam, fikih, fikih klasik, fikih kontemporer.

ABSTRACT

Name
(Student ID)
Program
Title

:
:

:

Muhammad Raditio Jati Utomo (1606887895)
Zico Leonard Djagardo Simanjuntak (1606880440)
Law
The Contemporary Relevance of Zakat and
Implementation of Zakat in Indonesia

Zakat is one of the main elements in upholding Islam. This is reflected in the
position of Zakat in the Pillars of Islam. In addition, Zakat matched 28 times with
the command of prayer in the Qur'an. Thus, Zakat is an element that also inherent
in the daily life of the people of Indonesia as a country with a majority of the
population of Islam. This increases the urgency of Zakat arrangements by the state
to ensure legal certainty for its citizens. Zakat which practically regulate the
expenditure of certain parties whose value of the property already fulfills the
obligatory category of Zakat would also also intersect with the arrangement of
taxation that equally governs certain parties with certain taxes as taxpayers. The
middle path of the tax slice and Zakat is mediated by making Zakat as the value of
the deductions of property, so that the citizens of the Muslims are still able to carry
out religious duties without neglecting the obligation to the state. It would be fair

to remember the purpose of the same tax and Zakat, that is, for the sake of poverty
alleviation and the means of redistribution of prosperity in order to minimize the
imbalance of prosperity. In its implementation, presumably the arguments of
contemporary jurisprudence are more helpful to solve the problem between Zakat,
Tax, and State.

Keywords: zakat, Islamic law, Islamic economic law, law, tax, taxation policy,
Islam, Islamic jurisprudence, Islamic classical jurisprudence, Islamic contemporary
jurisprudence.

DAFTAR ISI

Halaman
Halaman Judul....................................................................................................... i
Abstrak .................................................................................................................. ii
Daftar Isi................................................................................................................ iv
BAB I ZAKAT DALAM SYARIAT.................................................................. 1
A. Definisi dan Kedudukan Zakat ................................................................ 1
B. Peran Zakat dan Penerima Manfaat Zakat ............................................... 2
C. Dasar Hukum Zakat ................................................................................. 3

BAB II ZAKAT DAN RELEVANSI KONTEMPORER ................................ 5
A. Ikhtisar Zakat Kontemporer ..................................................................... 5
B. Komparasi Objek Zakat Klasik dan Kontemporer ................................... 6
BAB III ZAKAT, PAJAK, DAN NEGARA ..................................................... 7
A. Kebermulaan Zakat .................................................................................. 7
B. Persamaan dan Perbedaan Zakat dengan Pajak ....................................... 7
C. Regulasi Perpajakan Berkaitan dengan Zakat .......................................... 8
D. Integrasi Zakat dan Pajak ......................................................................... 8
BAB IV REGULASI ZAKAT DI INDONESIA ............................................... 11
A. Dasar Hukum Pengaturan Zakat dalam Hukum Positif ........................... 11
B. Pengarahan Pengaturan Zakat dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia ... 11
C. Ketentuan Umum mengenai Zakat dalam Hukum Positif ....................... 12
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 14

Halaman 1

BAB I
ZAKAT DALAM SYARIAT

A. Definisi dan Kedudukan Zakat

Secara kebahasaan, Zakat berarti “yang menyucikan”.1 Sedangkan secara
istilah, Zakat merupakan suatu bentuk pengorbanan untuk menyucikan harta
dari sifat-sifat keduniawiannya atau dari perolehan yang kurang sempurna yang
mana harus disalurkan kepada umat.2 Hal yang terakhir disebut sebagaimana
tersebut dalam Surat At-Taubah Ayat 103,

َ‫ُخ ْذَ ِم ْنَ أ َْم َواِِِ ْمَ صَ َد قَةَ تُطَهِ ُر ُ ْمَ َوتُ َزكِ ي ِه ْمَ َِِا َوصَ ِلَ عَ لَيْ ِه ْمََ إِن‬
َ‫كَ َس َك نَ َُِ ْمََ َواَُّ ََِ يعَ عَ لِيم‬
َ َ‫صَ ََ ت‬
(Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.)3
Quraish Shihab dalam tafsirnya terhadap ayat tersebut menyebutkan
bahwa,
Wahai Rasulullah, ambillah sedekah dari harta orang-orang yang bertobat
itu, yang dapat membersihkan mereka dari dosa dan kekikiran dan dapat
mengangkat derajat mereka di sisi Allah. Doakanlah mereka dengan
kebaikan dan hidayah, karena sesungguhnya doamu dapat menenangkan
jiwa dan menenteramkan kalbu mereka. Allah Maha Mendengar doa dan

Maha Mengetahui orang-orang yang ikhlas dalam bertobat.4

Sehingga, dapat dimaknai bahwa zakat yang bersifat membersihkan dari sifat
keduniawian berarti zakat membersihkan manusia dari sifat kikir. Sedangkan,
perolehan yang kurang sempurna terhadap harta memiliki relasi terhadap
pembersihan dosa sebagaimana dalam tafsir Quraish Shihab. Perolehan harta

1

Benda-Beckmann. (2007). Social Security Between Past and Future: Ambonese Networks of Care and
Supports. Hlm. 167
2 Ibid.
3 https://tafsirq.com/9-at-taubah/ayat-103
4
Ibid.

UNIVERSITAS INDONESIA

Halaman 2


yang kurang sempurna yang berimplikasi pada dosa dapat digambarkan dengan
terang melalui transaksi-transaksi keuangan modern yang cenderung lekat
dengan riba sehingga harta yang diperoleh secara sempurna bercampur dengan
harta yang diperoleh secara kurang sempurna. Zakat memiliki pula sifat untuk
membersihkan harta dari kemungkinan percampuran dengan harta yang
diperoleh secara kurang sempurna tersebut.
Zakat sendiri mempunyai kedudukan yang utama dalam Islam,
sebagaimana Zakat tercantum sebagai kesatuan kolektif dari rukun Islam pada
urutan ke-3.5 Keutamaan Zakat tersebut semakin diteguhkan dengan
keberadaannya yang 28 kali bersanding dengan perintah salat dalam Qur’an.6
Medani dan Gianci menyebut Zakat sebagai “not a charitable contribution”.7
Hal tersebut bukan karena Zakat tidak memiliki fungi sosial, namun lebih
kepada sifat Zakat yang bukan termasuk kontribusi sukarela. Zakat bersifat
obligatoir atau bersifat kontribusi wajib. Murata dan Chittick (1994)
menempatkan Zakat setara dengan Wudu dan Salat, "Just as ablutions purify
the body and salat purifies the soul (in Islam), so zakat purifies possessions and
makes them pleasing to God.“ Dengan terjemahan bebas bahwa “Sebagaimana
Wudu membersihkan badan dan Salat yang membersihkan jiwa, begitu pula
Zakat memurnikan harta.”8
B. Peran Zakat dan Penerima Manfaat Zakat

Zakat, sekurang-kurangnya, memiliki empat peran utama dalam
masyarakat Islam: (a) sebagai ungkapan kepedulian terhadap kesejahteraan
sesama muslim,9 (b) sebagai sarana untuk merawat harmoni antara komunitas
muslim sejahtera dengan komunitas muslim prasejahtera,10 (c) sebagai alat
redistribusi yang lebih merata demi menghindari ketimpangan kemakmuran,11

Wael. (2013). The Impossible State: Islam, Politics, and Modernity’s Moral Predicament. Hlm. 123.
Baqi. (1944). al-Mu’jam al-Mufahras li Alfâzhil Qur`ân al-Karîm. Hlm 421
7 Ahmed dan Gianci. Zakat, Encyclopedia of Taxation and Tax Policy. Hlm. 479-481
8 Murata dan Chittick. (1994). The Vision of Islam. Hlm. 16.
9 Weiss. (1986). Islamic Reassertion in Pakistan: The Application of Islamic Laws in A Modern State. Hlm.
80.
10 Scott. (1985). Weapons of The Weak: Everyday Forms of Peasant Resistance. Hlm. 171.
11
Rana. (2009). Social Welfare and Religion in The Middle East: A Lebanese Perspective. Hlm. 60.
5

6

UNIVERSITAS INDONESIA


Halaman 3

dan (d) sebagai symbol solidaritas Islam.12 Serangkai peran tersebut tercermin
melalui ketentuan pihak-pihak yang berhak menerima manfaat zakat
(“asnaf”):13
a)

Al-Fuqara, setiap orang yang tidak berpenghasilan dan tidak
memiliki daya untuk berpengasilan untuk hidup secara layak;

b)

Al-Masakin, setiap orang yang memiliki penghasilan namun
penghasilannya tersebut tidak mampu menghidupi secara layak;

c)

Al-Amiliyn ‘Aliha, pengelola Zakat;

d)

Al-Muallafatu Qulubuhum, setiap orang yang baru memeluk Islam
setaip non-muslim yang tertarik dan berpotensi memeluk Islam;

e)

Fir-Riqab, budak;

f)

Al-Gharimin, orang yang terlilit utang dalam upaya pemenuhan
hajat hidup secara layak;

g)

Jihad Fii Sabilillah, setiap orang yang berjuang di jalan Allah,
dalam arti luas, yang tidak berpenghidupan layak; dan

h)

Ibnu Al-Sabil, musafir dalam perjalanan yang memiliki beban
syariat namun memerlukan bantuan keuangan dalam pemenuhan
beban syariatnya tersebut.

Dengan demikian, telah terang bahwa pemenuhan kewajiban Zakat
merupakan tidak hanya suatu bentuk pemenuhan kewajiban syariat, namun
pula merupakan suatu pemenuhan terhadap tanggung jawab sosial
kemanusiaan.

C. Dasar Hukum Zakat
Dalam Qur’an dan Hadits, ketentuan mengenai Zakat dapat disimak
dalam beberapa dalil:
a)

Qur’an






12
13

Al-A’raf [7]: 106
Maryam [19]: 31
Maryam [19]: 55

Ibid.
Salih. (2004). Islamism and Its Enemies in The Horn of Africa. Hlm. 148-149

UNIVERSITAS INDONESIA

Halaman 4





Al-Anbiya [21]: 73



An-Naml [27]: 3





Ar-Rum [30]: 39



Fussilat [41]: 7



b)

Al-Mu’minun [23]: 4

Luqman [31]: 4

At-Taubah [9]: 103

Hadits






HR. Bukhari: 24
HR. Muslim: 5
HR. Abu Daud: 91

UNIVERSITAS INDONESIA

Halaman 5

BAB II
ZAKAT DAN RELEVANSI KONTEMPORER

A. Ikhtisar Zakat Kontemporer
Pandangan umum mengenai Zakat dari kacamata kekinian dipaparkan
oleh Qaradawi (1999) yang pada pokoknya menyatakan bahwa para ulama
masih memiliki perbedaan pendapat dalam hal harta yang menjadi objek wajib
Zakat:
The kinds of wealth that are zakatable are subject to differences among
scholars. Such differences have serious implications for Muslims at large
when it comes to their application of the Islamic obligation of zakat. For
example, some scholars consider the wealth of children and insane
individuals zakatable, others don't. Some scholars consider all
agricultural products zakatable, others restrict zakat to specific kinds
only. Some consider debts zakatable, others don't. Similar differences
exist for business assets and women's jewelry. Some require certain
minimum (nisab) for zakatability, some don't. etc. The same kind of
differences also exist about the disbursement of zakat14
Pendapat tersebut diterjemahkan secara bebas sebagai “Macam kekayaan yang
patut menjadi objek wajib Zakat masih belum satu pandangan di antara para
ulama. Hal yang demikian menimbulkan masalah serius dalam hal penerapan
kewajiban Zakat. Sebagai umpama, sebagian ulama berpandangan bahwa harta
yang dimiliki oleh anak-anak dan orang dengan gangguan jiwa termasuk objek
wajib zakat, sebagian ulama yang lain tidak. Sebagian ulama berpandangan
bahwa setiap produk pertanian dan perkebunan menjadi objek wajib Zakat,
sebagian ulama yang lain berpandangan hanya produk pertanian dan
perkebunan yang tertentu saja yang menjadi objek wajib Zakat. Sebagian
ulama berpandangan bahwa utang termasuk objek wajib Zakat, sebagian ulama
yang lain tidak. Perbedaan yang demikian berlaku pula dalam asset usaha dan
perhiasan perempuan. Sebagian ulama berpandangan setiap objek wajib Zakat
memerlukan batas Nishab, sebagian ulama lain berpandangan hanya objek

14

Qaradawi. (1999). Fiqh Az-Zakat. Hlm. xxi-xxii

UNIVERSITAS INDONESIA

Halaman 6

wajib Zakat tertentu saja yang membutuhkan batas Nishab. Perbedaanperbedaan semacam tersebut berlaku pula dalam hal penyaluran Zakat.”
Sehingga, demi kepastian Hukum, patut kiranya menyadur pendapat
Qohf (1999) yang menyatakan bahwa Pemerintah (pengelola zakat) dapat
mengadakan perubahan dalam struktur harta yang menjadi objek wajib Zakat
dengan berpegang teguh pada ketentuan-ketentuan umum yang ada dan
pemahaman terhadap alam hidup modern.15

B. Komparasi Objek Zakat Klasik dan Kontemporer
Berdasarkan ikhtisar Zakat kontemporer tersebut sebelumnya, Qaradawi
(1999) menyusun pula objek wajib Zakat yang beradaptasi dengan alam hidup
modern serta komparasinya dengan objek wajib Zakat klasik:
Komparasi Objek Wajib Zakat
Klasik
No. Jenis

15

Kontemporer
No. Jenis

1

Binatang Ternak

1

Binatang Ternak

2

Emas

2

Emas

3

Perak

3

Perak

4

Barang Dagangan

4

Uang

5

Harta Galian

5

Kekayaan Dagang

6

Hasil Pertanian

6

Hasil Pertanian

7

Tanah Pertanian

8

Produksi Hewani

9

Barang Tambang

10

Hasil Laut

11

Investasi Bangunan

12

Pencarian

13

Jasa dan Profesi

14

Saham dan Obligasi

Qohf (transl). (1999). Fiqh Az-Zakat. Hlm. 37.

UNIVERSITAS INDONESIA

Halaman 7

BAB III
ZAKAT, PAJAK, DAN NEGARA

A. Kebermulaan Zakat
Secara mendasar, Pajak sendiri berumur lebih muda daripada Zakat.
Zakat sudah dikenal jauh sebelum sistem perpajakan masuk ke Indonesia,
yakni pada masa kerajaan Islam berkuasa di Nusantara. Pada masa tersebut
telah berdiri Baitul Maal yang menjadi pusat pengelolaan keuangan kerajaan,
namun sistem ini secara perlahan mulai digantikan seiring dengan kedatangan
kaum imperialis Eropa yang mengadopsi sistem perpajakan dari negara
mereka.
Sistem perpajakan merupakan konsekuensi logis dari Du Contract Social
atau Perjanjian Sosial hasil pemikiran J. J. Rousseau. Artinya, kondisi ini
membuktikan bahwa walaupun sifatnya lokal, Zakat dapat diandalkan sebagai
penopang keuangan negara. Dengan demikian, tidak heran jika eksistensi Zakat
tidak bisa dihilangkan ketika membahas perekonomian negara.

B. Persamaan dan Perbedaan Zakat dengan Pajak
Pada prinsipnya, baik pajak maupun zakat memiliki persamaan yaitu
untuk menyelesaikan masalah ekonomi dan keduanya telah diatur agar dapat
dikelola menurut cara yang dianggap tepat untuk mencapai tujuan tersebut,
yaitu dengan menyetorkan pembayarannya ke lembaga resmi yang sudah
disahkan pemerintah. Selain itu, tidak semua orang dikenakan kewajiban dua
pungutan ini, semuanya dikembalikan kepada batas minimum untuk dapat
dikenakan kewajiban menjadi wajib pajak dan/atau wajib zakat. Dalam Sistem
Perpajakan, batas ini dikenal dengan istilah Penghasilan Tidak Kena Pajak
(PTKP). Dalam Sistem Zakat, batas tersebut disebut Nishab.
Perbedaan yang paling pokok antara Pajak dan Zakat adalah sumber
perintah pelaksanaannya, Zakat bersumber dari Allah SWT. sementara Pajak
bersumber dari undang-undang dan regulasi lain yang merupakan buatan para
penyelenggara negara. Sehingga, hal ini berdampak pada niat saat membayar.
Tanpa bermaksud mengukur kadar keikhlasan, para Muzakki cenderung lebih

UNIVERSITAS INDONESIA

Halaman 8

ikhlas melakukannya daripada pada Wajib Pajak walaupun kedua pungutan ini
sama-sama tidak memberikan imbalan langsung kepada pembayarnya.

C. Regulasi Perpajakan Berkaitan dengan Zakat
Ketentuan mengenai perpajakan yang memiliki relasi dengan Zakat dapat
disimak dalam beberapa peraturan perundang-undangan:
a)

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan;

b)

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahaan
Keempat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan;

c)

Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2009 tentang Bantuan atau
Sumbangan Termasuk Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang
Sifatnya Wajib yang Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan;

d)

Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 33 Tahun 2011 tentang
Badan/Lembaga yang Dibentuk atau Disahkan oleh Pemerintah
yang Ditetapkan sebagai Penerima Zakat atau Sumbangan
Keagamaan yang Bersifat Wajib yang Dapat Dikurangkan dari
Penghasilan Bruto; dan

e)

Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 15 Tahun 2012 tentang
Perubahan Peraturan Dirjen Pajak Nomor 33 Tahun 2011 tentang
Badan/Lembaga yang Dibentuk atau Disahkan Oleh Pemerintah
yang Ditetapkan Sebagai Penerima Zakat Atau Sumbangan
Keagamaan Yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan Dari
Penghasilan Bruto.

D. Integrasi Pajak dan Zakat
Di Indonesia, praktik perpajakan yang berlaku telah menempatkan Zakat
sebagai unsur yang tidak dipisahkan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan
para wajib pajak. Zakat, bersama dengan sumbangan keagamaan lainnya yang
bersifat wajib, menjadi pengurang penghasilan neto wajib pajak, perlakuan ini
berdampak berkurangnya nilai beban Pajak yang harus dibayar.

UNIVERSITAS INDONESIA

Halaman 9

Namun, penerapan mekanisme ini kurang berdampak signifikan kecuali
jika Zakat diperhitungkan langsung sebagai pengurang beban/utang Pajak. Ini
menunjukkan bahwa posisi Zakat dan Pajak adalah tidak sepenuhnya saling
menggantikan.
Menurut Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999, dikenal dua jenis
Zakat yaitu Zakat Maal dan Zakat fitrah. Pertanyaan yang mengemuka
kemudian adalah, apakah atas kedua jenis Zakat yang sudah dibayarkan ini
boleh dibebankan dalam perhitungan Pajak? Pasal 11 Ayat (2) huruf b. undangundang tersebut disebutkan bahwa termasuk dalam harta yang dikenai zakat
contohnya adalah perdagangan dan perusahaan. Hal yang demikian merupakan
ruang lingkup yang sejalan dengan penjelasannya mengenai definisi Zakat
Maal. Namun, kondisi ini belum memungkinkan Zakat Fitrah untuk dapat
dijadikan sebagai unsur pengurang.
Adapun syarat Zakat agar dapat dibiayakan (diperhitungkan sebagai
pengurang) menurut Pasal 9 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 adalah
dibayarkan kepada Badan Amil Zakat (BAZ) atau Lembaga Amil Zakat (LAZ)
yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah. Pemerintah secara resmi
memiliki Baznas. Argumentasi ini menjadikan zakat fitrah tidak dapat
memenuhi kriteria tersebut, lain hal dengan Zakat Maal yang oleh perusahaan
atau orang pribadi sering diserahkan ke BAZ atau LAZ. Sementara Zakat Fitrah
diserahkan hanya atas nama individu dan kepada lembaga amil zakat yang
sifatnya lokal atau langsung ke Mustahiq (orang yang berhak menerima zakat).
Kompleksitas penyelenggaraan kegiatan negara kian membutuhkan dana
yang tinggi maka kembali lagi bahwa keberadaan Pajak sebagai penopang
utama tidak bisa dihilangkan. Namun demikian ini bukan berarti Zakat tidak
memberi peran, hingga Agustus 2011 Baznas sudah menerima 1,3 Triliun
Rupiah, suatu pencapaian yang bisa digunakan untuk membantu kelancaran
kegiatan ekonomi bangsa sebagai penunjang dari aspek kehidupan sosial.
Dengan demikian dari tinjauan singkat ini dapat disimpulkan bahwa
negara Indonesia sudah mengakomodasi kerancuan sistem Pajak dan Zakat
dengan menempatkan Zakat sebagai unsur pengurang penghasilan neto yang
akan diproses lebih lanjut untuk menjadi dasar pengenaan pajak. Sistem ini

UNIVERSITAS INDONESIA

Halaman 10

dianggap belum sepenuhnya membuat Pajak dan Zakat saling menggantikan
karena dampak pengurangan ini tidak signifikan dan lagi hanya Zakat yang
diserahkan ke LAZ atau BAZ yang didirikan atau disahkan oleh pemerintah
yang boleh dibiayakan. Hanya jika pemenuhan kewajiban Zakat sudah optimal
dan peranannya bagi ekonomi negara makin besar maka ada kemungkinan
posisinya makin sejajar dengan Pajak sehingga dapat seutuhnya saling
menggantikan.

UNIVERSITAS INDONESIA

Halaman 11

BAB IV
REGULASI ZAKAT DI INDONESIA

A. Dasar Hukum Pengaturan Zakat dalam Hukum Positif
Zakat sebagai bagian yang melekat dalam kehidupan umat Islam di
Indonesia diatur oleh negara dalam serangkai peraturan:
a)

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan
Zakat;

b)

Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan
Zakat;

c)

Peraturan Menteri Agama Nomor 52 Tahun 2014 tentang Syarat
dan Tata Cara Perhitungan Zakat Mal dan Zakat Fitrah Serta
Pendayagunaan Zakat Untuk Usaha Produktif;

d)

Peraturan Menteri Agama Nomor 69 Tahun 2015 tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Agama Nomor 52 Tahun 2014
tentang Syarat dan Tata Cara Perhitungan Zakat Mal dan Zakat
Fitrah serta Pendayagunaan Zakat Untuk Usaha Produktif;

e)

Peraturan Menteri Agama Nomor 5 Tahun 2016 tentang Tata Cara
Pengenaan Sanksi Administratif Dalam Pengelolaan Zakat;

f)

Surat Keputusan Dewan Pertimbangan BAZNAS Nomor 001/DPBAZNAS/XII/2010

tentang

Pedoman

Pengumpulan

Dan

Pentasyarufan Zakat, Infaq, dan Shadaqah Pada Badan Amil Zakat
Nasional; dan
g)

Keputusan

Ketua

BAZNAS

Nomor

KEP.016/BP/BAZNAS/XII/2015 tentang Nilai Nishab Zakat
Pendapatan atau Profesi Tahun 2016.

B. Pengarahan Pengaturan Zakat dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia
Majelis Ulama Indonesia sebagai otoritas keagamaan Islam juga turut
menerbitkan pandangan hokum dalam rangka sebagai panduan terhadap
penyusunan norma hokum positif terkait Zakat maupun guna mengatur hal-hal

UNIVERSITAS INDONESIA

Halaman 12

yang belum terang diatur dalam norma hukum positif maupun Qur’an dan
Hadits:
a)

Fatwa 8/2011 – Amil Zakat

b)

Fatwa 13/2011 – Zakat atas Harta Haram

c)

Fatwa 14/2011 – Penyaluran dalam Bentuk Harta Kelolaan

d)

Fatwa 15/2011 – Penarikan, Pemeliharaan, Penyaluran, Zakat

e)

SK Komisi Fatwa MUI 15/1982 – Penggunaan Produktif dan
untuk Maslahat Umum

f)

Surat Fatwa MUI 120/MU/II/1996 – Zakat untuk Beasiswa

g)

Fatwa 3/2003 – Zakat Penghasilan

h)

Fatwa 4/2003 – Dana Zakat untuk Investasi

C. Ketentuan Umum mengenai Zakat dalam Hukum Positif
Norma hukum positif mendefinisikan beberapa istilah dalam Zakat demi
kepastian Hukum mengenai Zakat dalam tata hukum nasional:
a)

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat


Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang
muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada yang



berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam;



berkewajiban menunaikan zakat;



Muzaki adalah seorang muslim atau badan usaha yang

Mustahik orang orang yang berhak menerima zakat;
Asas-asas Pengelolaan Zakat meliputi syariat Islam,
Amanah, Kemanfaatan, Keadilan, Kepastian Hukum,



Terintegrasi, dan Akuntabilitas; serta
Tujuan Pengelolaan Zakat meliputi (a) meningkatkan
efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat,
dan (b) meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan
kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan.

b)

Peraturan Menteri Agama Nomor 52 Tahun 2014 tentang Syarat
dan Tata Cara Penghitungan Zakat Mal dan Zakat Fitrah serta
Pendayagunaan Zakat untuk Usaha Produktif

UNIVERSITAS INDONESIA

Halaman 13



Zakat adalah Harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang
muslim atau badan usaha yang dimiliki oleh orang Islam
untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai



dengan syariat Islam;



melalui amil zakat resmi untuk diserahkan kepada Mustahik;



diri muslim yang hidup pada bulan Ramadhan;



zakat;



Qomariyah pemilikan harta yang wajib dikeluarkan zakat;

Zakat Mal adalah Harta yang dikeluarkan oleh Muzaki

Zakat Fitrah adalah Zakat jiwa yang diwajibkan atas setiap

Nisab adalah Batasan minimal harta yang wajib dikenanakan

Haul adalah Batas waktu 1 tahun hijriyah/12 bulan

Objek Wajib Zakat Mal terdiri atas Emas, Perak, Logam
Mulia lainnya, Uang, Surat Berharga lainnya, Perniagaan,
Pertanian,

Perkebunan,

Kehutanan,

Peternakan

dan

Perikanan, Pertambangan, Perindustrian, Pendapatan dan


Jasa, serta Rikaz;



halal sifat dan perolehannya, cukup nisab, dan haul;

Syarat Objek Wajib Zakat Mal ialah kepemilikan penuh,

Objek Wajib Zakat Fitrah ialah seorang Islam yang hidup
pada bulan Ramadhan serta memiliki kelebihan kebutuhan



pada malam hari dan ketika hari Raya Idul Fitri;



atau uang sejumlah tertentu makanan pokok; serta

Zakat Fitrah ditunaikan dengan sejumlah makanan pokok

Tata Cara Penghitungan Zakat Mal dan Pemberian Zakat
Fitrah.

UNIVERSITAS INDONESIA

Halaman 14

DAFTAR PUSTAKA

al-Qaradawi, Y. (1999). Fiqh Az-Zakat. London: Dar al Taqwa.
al-Qaradawi, Y. (1999). Fiqh Az-Zakat. (M. Qohf, Penerj.) London: Dar al Taqwa.
Benda-Beckmann, F. v. (2007). Social Security Between Past and Future:
Ambonese Networks of Care and Support. Münster: LIT Verlag.
Islamic Reassertion in Pakistan: The Application of Islamic Laws in A Modern
State. (1986). New York: Syracuse University Press.
Murata, S., & Chittick, W. C. (1994). The vision of Islam. London: IB Tauris.
Rana, J. (2009). Social Welfare and Religion in The Middle East: A Lebanese
Perspective. Bristol: The Policy Press.
Salih, M. A. (2004). Islamism and Its Enemies in The Horn of Africa. (A. D.
Waal, Penyunt.) Bloomington: Indiana University Press.
Scott, J. C. (1985). Weapons of The Weak: Everyday Forms of Peasant
Resistance. Yale: Yale University Press.
Wael, H. (2013). The Impossible State: Islam, Politics, and Modernity's Moral
Predicament. New York: Columbia University Press.

UNIVERSITAS INDONESIA