Globalisasi Pajak dan Soverenitas Negara

Globalisasi, Pajak dan Soverenitas Negara
Maria R.U.D. Tambunan1
1. Pendahuluan
Isu globalisasi dan tergerusnya soverenitas suatu negara merupakan dua paradoks yang
kerap beriringan2. Bentuk penggerusan soverenitas suatu negara dapat terjadi melalui beberapa
bentuk seperti tekanan dari sistem pasar yang semakin terintegrasi dan memaksa adanya
penyesuaian ketentuan perpajakan, termasuk penurunan tarif pajak tertentu. Adanya tekanan dari
integrasi pasar untuk melakukan penyesuaian terhadap sistem perpajakan suatu negara sangat
potensial mengakibatkan perubahan atas beban yang ditanggung oleh tenaga kerja atau bahkan
mempengaruhi tingkat konsumsi penduduk lokal demi memperlancar aliran barang dan jasa yang
bersifat global. Ironinya, penggerusan ini seringkali dimotori oleh lembaga powerful seperti
General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan World Trade Organization (WTO).
Tulisan ini akan membahas mengenai pembatasan soverenitas negara akibat ketentuan
perpajakan, ketentuan perpajakan yang pada akhirnya digunakan menjadi best practice untuk
mengatur ketentuan kegiatan ekonomi internasional, peningkatan kegiatan ekonomi dan
globalisasi dan upaya yang dilakukan oleh negara-negara OECD untuk mengatasi permasalahan
terkait globalisasi.
2. Sovernitas Negara dalam Konteks Perpajakan
Dalam konteks perpajakan, soverenitas suatu negara diwujudkan dengan kemampuan
suatu negara untuk mengatur dan memformulasikan kebijakan dan ketentuan perpajakannya
sesuai dengan prinsip dan dasar negara tanpa pengaruh dari pihak asing, dengan kata lain

indepensi dalam mendesain sistem perpajakan di negaranya. Namun, pada dasarnya hampir tidak
ada negara yang murni independen atau terisolasi dengan negara lainnya. Untuk konteks
perpajakan, terdapat 4 hal penting yang mempengaruhi sovernitas suatu negara yang disebakan
oleh penghasilan dari modal yang disebut sebagai market-induced 3 (McLure, 2001), yaitu:
a. pemajakan dan lokasi aktivitas ekonomi; banyak negara mengenakan pajak yang rendah
atas penghasilan dari modal, selain itu masing-masing negara juga berupaya menawarkan
1

Pengurus Harian Tax Centre, Peneliti Pusat Kajian Ilmu Administrasi, kekhususan Ilmu Administrasi Pajak, Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik FISIP UI
2
Be erapa artikel il iah ya g telah dipu likasi da teri deks “ opus e ge ai isu Glo alizatio da National
“overeig ity dapat dite uka di artikel Hayes Kirste dari Lu d U iversity (
), Integration, Tax Competition
and Harmonization: Should ASEAN be Concerned? dan artikel yang ditulis oleh Suzuki Masaaki dari University of
Tokyo (2013) Corporate Effective Tax Rates in Asian Countries
3
Marked induced voluntary limitation on sovereignty, mengacu pada konsep capital mobility, di kawasan dimana
modal dapat bergerak dengan bebas, pasar dapat memaksa suatu negara untuk membuat batasan-batasan atas
ketentua pe ajaka . Na u , keadaa i i e deru g tidak e i ulka efek e aksa elai ka

e jadi
respo sukarela dari suatu egara sehi gga dise ut se agai voluntary .

insentif pajak untuk menarik investasi terutama di negara transisi dan negara
berkembang. Untuk keperluan beban pajak, tarif pajak yang paling tepat adalah marginal
effective tax rate (METR). Secara sederhana dapat saja dikatakan bahwa terjadi tax
competition karena penurunan tarif mengakibatkan market-induce (limitation on effective
tax rates). Dalam kasus ekstrim terjadi penurunan race to the bottom yang
mengakibatkan penurunan tarif pajak atas penghasilan dari modal.
b. pemajakan dan lokasi financial investment; pengenaan pajak withholding yang tinggi atas
financial investment dapat menjadikan suatu lokasi tidak menarik sebagai destinasi
berinvestasi
c. pemajakan dan shifting dasar pengenaan pajak; meskipun suatu negara berusaha
mempertahankan struktur pengenaan pajaknya termasuk tarif statutory, namun pada
dasarnya untuk menarik investasi, suatu negara tetap menawarkan berbagai insentif yang
pada akhirnya akan mengurangi beban pajak nyata. Ketika suatu negara berusaha
konsisten dengan ketentuan pajaknya, bukan tidak memungkinkan berbagai perusahaan
terutama yang memiliki skala multinasional untuk melakukan manipulasi dalam
menghindari beban pajak misalnya melalui transfer pricing atau thin capitalization.
d. pemilihan struktur perpajakan; ketika suatu negara berhadapan dengan keadaan marketinduced atas tarif pajak efektif maupun tarif statutory, pilihan kebijakan pajak

merupakan faktor penting apakah akan menitikberatkan pada sistem tarif progresif yang
berlaku umum (global taxation) atau bersifat schedular .
Namun, perlu disebutkan bahwa untuk pajak atas penjualan maupun cukai yang menganut
prinsip destinasi (destination principle), permasalahan market-induce merupakan masalah minor.
Kembali ke permasalahan soverenitas negara dalam melakukan pemajakan, kekuatan pasar
dimana terjadi dinamika aliran modal mengakibatkan negara harus turut serta dalam suatu
negosiasi dalam hal hak pemajakan untuk memperoleh suatu kesepakatan yang diharapkan
mampu membawa keuntungan kepada masing-masing negara yang melakukan negosiasi melalui
perjanjian internasional.
Pada kenyataannya, dalam konteks perpajakan, soverenitas suatu negara mempengaruhi
soverenitas negara lainnya atau negara dalam suatu kawasan. Suatu negara yang menerapkan
tarif pajak rendah akan mempengaruhi negara di sekitarnya untuk turut serta menerapkan tarif
pajak yang bersaing, seperti yang terjadi di Irlandia dan negara anggota Uni Eropa. Selain itu,
adanya reformasi perpajakan termasuk pergeseran tarif statutory yang menurun juga menjadi
pressure bagi negara lain. Eksistensi tax heaven countries juga mengakibatkan negara lain
semakin memiliki pilihan yang terbatas dalam mendesai kebijakan pajaknya (James, 2000).

3. Ketentuan Perpajakan
Sejak beberapa dekade terakhir, negara-negara di dunia berupaya untuk membangun
sistem perpajakan yang mengakomodasi kepentingan pergerakan ekonomi internasional.

Lembaga yang berperan dalam praktik ini adalah GATT, OECD sebagai motor dari perjanjian
pajak bilateral, European Union serta ketentuan hukum pajak yang telah menjadi kelaziman
internasional dalam memajaki penghasilan berdasarkan status sumber dan residensinya. Perlu
digarisbawahi lagi, sebelum menuju ke pembahasan utama terkait pajak atas penghasilan, pada
dasarnya isu mengenai pajak tidak langsung bukanlah menjadi isu penting lagi, khususnya di
kawasan Uni Eropa, hanya isu minor mengenai pemajakan atas electronic commerce.
Isu sentral mengenai soverenitas negara terjadi atas pemajakan atas penghasilan
sehingga memaksa masing-masing negara untuk melakukan negosiasi. Ketentuan umum yang
biasanya terkandung dalam perjanjian perpajakan dan ketentuan domestik suatu negara meliputi:
a. Rekonsiliasi hak pemajakan atas residen dan sumber; pada dasarnya sejumlah besar negara
di dunia mengenakan pemajakan world wide terhadap residennya. Hal ini menimbulkan
adanya pemajakan berganda atas penghasilan yang sama baik karena sumbernya maupun
karena status residennya. Untuk mencegah terjadinya pemajakan berganda, residen disuatu
negara yang menganut prinsip world wide mengizinkan adanya kredit pajak atas
penghasilan yang diperoleh dari negara sumbernya. Selain itu, beberapa negara
menyelesaikan hal ini dengan adanya tax treaty untuk mendapatkan manfaat yang serupa
termasuk adanya pertukaran informasi (exchange of information). Selain itu, untuk masalah
pemajakan, perlu juga dalam suatu perjanjian didefinisikan geografis dengan jelas
mengenai sumber penghasilan (source of income), dalam artian untuk kepentingan negara
yang menganut world wide income dan kredit pajak luar negeri karena pada dasarnya

besarnya kredit pajak luar negeri biasa terbatas pada jumlah yang memungkinkan sesuai
dengan perhitungan kredit pajak di dalam negeri.
b. Residen, baik source mauun resident based system, masing-masing negara pada dasarnya
mencantumkan ketentuan mengenai residen dan bagaimana negara berhak mengenakan
pajak.
c. Bentuk usaha tetap, termasuk fix place of business, sebagai fungsi menjalankan kegiatan
usaha suatu entitias bisnis
d. Laba usaha
e. Royalty
f. Bunga dan dividen
g. Mutual Agreement Procedure (MAP)
h. Exchange of Information (EoI) atau pertukaran informasi antara treaty partner

i. Deferral, ketentuan mengenai kewajiban perpajakan induk perusahaan berlokasi di negara
yang menerapkan world wide income, menerima dividen dari perusahaan subsidiary dari
luar negeri
j. Tax heaven dan CFC
4. Ketentuan Perpajakan atas Beberapa Transaksi Global
Globalisasi juga didorong oleh kegiatan perdagangan melalui media elektronik dimana
ketentuan perpajakan menjadi sulit untuk diterapkan, demikian juga mengenai hak pemajakan

suatu negara. Fenomena yang terjadi dalam perdagangan elektronik seperti (i) terjadi
perdagangan internasional dengan volume yang cukup besar berupa intangiable product dan jasa
(ii) perdagangan internasional juga terjadi antar entitas yang memiliki hubungan (iii) kehadiran
dalam bentuk fisik bukanlah hal yang penting untuk melaksanakan kegiatan bisnis, khususnya
atas perdagangan produk intangiable, konten digital atau service yang dapat dikemas dalam
bentuk digital (iv) di berbagai negara, layanan jasa seringkali dilakukan melalu komunikasi via
telepon yang disediakan oleh orang pribadi atau entitas privat yang dapat beroperasi lintas
jurisdiksi (v) servis melalui komunikasi sering terjadi instan tanpa suatu perencanaan khusus (vi)
modal bersifat mobile (vi) penentuan resident menjadi semakin ambigu (vii) adanya negara tax
heaven atau negara dengan tarif pajak rendah semakin menjadi ancaman bagi negara yang bukan
tax heaven.
Implikasi dari globalisasi dan perdagangan elektronik atas ketentuan pajak tidak
langsung tidak terlalu signifikan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti (a) GATT
mengatur berbagai ketentuan pengenai penyediaan jasa (b) Sebagian besar negara, secara khusus
untuk kasawan Uni Eropa telah menerapkan destination principle atas pengenaan pajak tidak
langsung. Namun, tidak dipungkiri bahwa kegiatan pengadministrasian pajak atas perdagangan
ini membutuhkan effort, namun oleh OECD hal tersebut masih dianggap sebagai suatu
permasalahan minor.
Berbeda dengan permasalahan pajak tidak langsung atas transaksi elektronik,
permasalahan pajak penghasilan menjadi perhatian utama. Isu yang muncul bahkan mencakup

hal fundamental seperti ketentuan mengenai source based taxation atas keuntungan dari usaha
(business profit), apakah website dapat dianggap sebagai bentuk usaha tetap (permanent
establishment). Selain itu, muncul juga isu mengenai klasifikasi jenis penghasilan, ketentuan
mengenai jurisdiksi pemajakan, pendefinisian bentuk usaha tetap, ketentuan mengenai resident
dan hal lain yang pada akhirnya memerlukan kompromi internasional.

5. OECD dan Globalisasi
OECD berupaya untuk memberikan alternatif solusi mengenai pemajakan atas transaksi
internasional melalui OECD Technical Advisory Groups (TAGs) yang terdiri dari perwakilan
dari sekretariat OECD, negara anggota OECD, pelaku usaha untuk melakukan review aspek
perpajakan atas transaksi elektronik. Adapun hasil kesepatan yang diperoleh terdiri dari (i)
comsumption tax dikenakan di daerah dimana barang dikonsumsi (ii) implikasi yang disebabkan
oleh kemajuan teknologi kembali menjadi ranah kesepakatan bersama antar negara yang terlibat
dalam transaksi (iii) atas keuntungan usaha (business profit) yang diperoleh dari perdagangan
elektronik secara khusus melalui website ditetapkan sebagai bentuk usaha tetap (permanent
establishment) berdasarkan pertimbangan place of effective management (iv) klasifikasi
penghasilan mengenai business profit dan royalty tidak harus sama seperti yang tertera dalam
OECD Model.
Untuk transaksi elektronik, OECD TAGs memberikan penekanan bahwa aspek
perpajakan tidak serta merta mengikuti ketentuan OECD Model. Diberikan ruang untuk adanya

suatu ketentuan khusus jika hal tersebut dibutuhkan atau interprestasi yang berbeda jika
dianggap lebih relevan. Dengan kata lain, soverenitas negara atas pemajakan sebisanya
dipertahankan mengenai hal-hal yang menjadi bahan perjanjian/kesepakatan. Terkait hal ini,
lembaga internasional International Monetary Fund (IMF) berupaya menawarkan alternatif
solusi dengan mendirikan organisasi World Tax Organization, organisasi sejenis WTO yang
nantinya bertugas untuk memberikan rambu-rambu mengenai pemajakan atas perdagangan
elektronik. Namun, oleh sebagian besar negara dunia, hal tersebut dianggap terlalu dini dan sarat
muatan politik
6. Penutup
Globalisasi dan volume perdangan internasional melalui media elekronik akan semakin
besar. Globalisasi ini pula yang berdampak pada soverenitas suatu negara ketika kesepakatan
internasional harus ditempuh untuk tujuan ekonomi. Hal ini tentu akan memberikan dampak
pada hak pemajakan, baik income tax maupun consumption tax. Dari sisi consumption tax,
perdagangan internasional melalui media elektronik masik tergolong isu minor, namun tidak
demikan halnya dengan income tax. Adanya lembaga yang secara khusus mengatur hal ini
seperti GATT maupun World Tax Organization pada akhirnya dianggap akan menggerus
soverenitas negara. Saat ini, upaya yang memungkinkan adalah masing-masing negara yang
terlibat kembali berunding dan membuat suatu kesepakatan atas hak pemajakannya.
7. Referensi
McLure (2001) Globalization, Tax Rules and National Sovereignty, Hoover Institute of Stanford

University.

James S. (2000) Can We Harmonize Our View on European Tax Harmonization? International
Fiscal Documentation Bulletin.