Manajemen Produksi dan Operasi Study Tou

Manajemen Produksi dan Operasi
Study Tour PT Dirgantara Indonesia
Pesawat merupakan sarana transportasi yang memiliki arti penting bagi
pembangunan ekonomi dan pertahanan, mengingat bahwa Indonesia adalah
sebuah Negara kepulauan dengan kondisi geografis yang sulit untuk diakses tanpa
sarana transportasi yang memadai. Dari kondisi tersebut muncul pemikiran bahwa
sebagai sebuah negara kepulauan Indonesia berada dalam posisi untuk memiliki
industri maritim dan penerbangan. Hal ini yang mendorong lahirnya industri
pesawat terbang di Indonesia.
Gatotkaca adalah tokoh yang sangat legendaris dalam dunia pewayangan.
Konon Gatotkaca adalah tokoh yang asli diciptakan oleh dunia pewayangan
Indonesia yang dalam cerita Mahabrata sebenarnya tidak ada. Kepopuleran tokoh
Gatotkaca sudah cukup menggambarkan bahwa sudah sejak lama orang Indonesia
ingin memiliki kemampuan untuk terbang. Maka tidak heran jika kemudian
industri penerbangan di Indonesia sudah tumbuh jauh sebelum masa
kemerdekaan.
Pada masa kolonial Belanda, penguasa waktu itu tidak memiliki program
perancangan pesawat terbang. Mereka hanya melakukan serangkaian kegiatan
yang berkaitan dengan pembuatan lisensi serta evaluasi teknis dan keselamatan
untuk semua pesawat terbang yang beroperasi di wilayah Indonesia.
Pada tahun 1914, di Surabaya didirikan lembaga penguji penerbangan yang

bertugas dalam pengkajian kinerja pesawat untuk pengoperasian di daerah tropis.
Lalu pada tahun 1930 dibentuk seksi produksi pesawat terbang yang
menghasilkan pesawat Canadian Avro-AL, sebuah pesawat yang bodinya terbuat
dari kayu lokal. Untuk selanjutnya fasilitas produksi seksi ini dipindahkan ke
Lapangan Udara Andir (sekarang Bandara Husein Sastranegara). Pada periode
tersebut penerbangan cukup banyak diminati dengan adanya beberapa pesawat

yang dibuat oleh perorangan.
Pada tahun 1937, atas permintaan seorang pengusaha lokal, beberapa pemuda
Indonesia yang dipimpin oleh Tossin membuat pesawat terbang di sebuah bengkel
yang terletak di Jl. Pasirkaliki, Bandung. Mereka menamai pesawat buatanya
dengan nama PK. KKH. Pesawat ini pernah mengejutkan dunia penerbangan
karena telah menunjukkan kemampuannya untuk terbang ke Belanda dan daratan
Chine vice versa. Sebelumnya, sekitar tahun 1922, Indonesia bahkan telah terlibat
dalam modifikasi pesawat di sebuah rumah pribadi di Jl. Cikapundung, Bandung.
Pada tahun 1938, atas permintaan LW. Walraven dan MV. Patist, pesawat PK.
KKH didesain ulang menjadi pesawat yang lebih kecil dan diproduksi di sebuah
bengkel yang berlokasi di Jl. Kebon Kawung, Bandung.
Setelah Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada tahun 1945,
kesempatan bagi Indonesia untuk mewujudkan impian memproduksi pesawat

buatan sendiri segera terbuka luas. Sejak saat itu orang Indonesia mulai sangat
menyadari bahwa sebagai sebuah negara kepulauan Indonesia selalu akan
membutuhkan sarana transportasi udara untuk kelancaran roda pembangunan,
pemerintahan, ekonomi dan pertahanan nasional.
Pada tahun 1946, Biro Perencanaan & Konstruksi didirikan oleh TRI-Udara
Angkatan Udara Indonesua (sekarang TNI-AU). Lalu dengan disponsori oleh
Wiweko Supono, Nurtanio Pringgoadisurjo, dan Sumarsono, sebuah lokakarya
khusus didirikan di Magetan, dekat Madiun, Jawa Timur. Dari bahan sederhana
berupa sejumlah Zogling, mereka membuat pesawat ringan NWG-1 (pesawat
layang). Pembuatan pesawat ini juga melibatkan Tossin yang dibantu oleh Ahmad
dan kawan-kawan. Enam unit pesawat jenis itu telah dibuat dan digunakan untuk
mengembangkan kepentingan penerbangan Indonesia dan pada saat yang sama
memperkenalkan dunia penerbangan untuk calon pilot yang dipersiapkan untuk
mengikuti pelatihan penerbangan di India.
Kemudian pada 1948 mereka berhasil membuat mesin pesawat pertama, yang

merupakan modifikasi dari mesin Harley Davidson, WEL-X. Mesin ini dirancang
oleh Wiweko Supono dan pesawat buatan mereka selanjutnya dikenal dengan
nama RI-X. Pada era ini ditandai dengan munculnya sejumlah klub
Aeromodelling. Tapi mereka terpaksa menghentikan kegiatan ini dikarenakan

timbulnya pemberontakan komunis di Madiun dan agresi Belanda.
Pada periode ini kegiatan penerbangan di Indonesia lebih ditekankan sebagai
bagian dari revolusi fisik untuk pertahanan negara. Pada masa ini juga lahir
pesawat-pesawat yang dimodifikasi untuk misi tempur. Agustinus Adisutjipto
adalah tokoh yang sangat berperan dalam periode ini. Beliau telah merancang dan
menguji sendiri pesawat terbang hasil rancangannya pada medan pertempuran
udara yang sesungguhnya. Beliau memodifikasi pesawat Cureng ke dalam versi
serangan darat.
Setelah masa Agresi Belanda berakhir, kegiatan yang disebutkan di atas
kemudian dilanjutkan kembali di lapangan udara Andir (Bandar Udara Husein
Sastranegara), Bandung. Pada tahun 1953 kegiatan tersebut dilembagakan
menjadi Seksi Percobaan yang memiliki 15 orang anggota. Seksi Percobaan
berada di bawah pengawasan Komando Depot Perawatan Teknik Udara, dipimpin
oleh Mayor Udara Nurtanio Pringgoadisurjo.
Berdasarkan desain Nurtanio, pada tanggal 1 Agustus 1954 seksi ini berhasil
menerbangan prototipe pesawat 'Si Kumbang'. Sebuah pesawat terbang yang
keseluruhan konstruksinya sudah dibuat dari bahan logam dengan kapasitas satu
orang. Pesawat ini diproduksi sebanyak tiga unit.
Pada 24 April 1957, berdasarkan keputusan Kepala Staf Angkatan Udara
Indonesia Nomor 68, Seksi Percobaan itu ditambahkan ke dalam sebuah

organisasi yang lebih besar yang disebut Sub Depot Penyelidikan, Percobaan &
Pembuatan.
Pada tahun 1958, prototipe pesawat latih "Belalang 89" berhasil diterbangkan.

Pesawat ini diproduksi sebanyak 5 unit dan dimanfaatkan melatih calon pilot pada
Akademi Angkatan Udara dan Pusat Penerbangan Angkatan Darat. Pada tahun
yang sama, pesawat olah raga "Kunang 25" diterbangkan. Tujuan dari pembuatan
pesawat ini adalah untuk memotivasi generasi muda di Indonesia agar tertarik
dalam bidang pembuatan pesawat.
Untuk meningkatkan pengetahuan dalam bidang industri penerbangan,
selama periode 1960 hingga 1964, Nurtanio dan tiga orang Indonesia lainnya
dikirim ke Far Eastern Air Transport Incorporated (FEATI) Filipina, salah satu
universitas penerbangan pertama di Asia. Setelah menyelesaikan studinya, mereka
kembali ke Bandung dan bekerja untuk LAPIP (Lembaga Persiapan Industri
Penerbangan).
Sejalan

dengan

prestasi


yang

telah

diperoleh

dan

dalam

rangka

mengembangkan hasil yang sudah dibuat, berdasarkan Keputusan Kepala Staf
Angkatan Udara Indonesia No 488 bulan Agustus 1960, didirikanlah Lembaga
Persiapan Industri Penerbangan (LAPIP). Lembaga ini diresmikan pada tanggal
16 Desember 1961 dan bertugas untuk mempersiapkan pendirian industri
penerbangan dengan kemampuan untuk mendukung kegiatan penerbangan
nasional di Indonesia.
Berkaitan dengan hal tersebut, pada tahun 1961 LAPIP menandatangani

perjanjian kerjasama dengan CEKOP, industri pesawat terbang Polandia, untuk
membangun industri pesawat terbang di Indonesia. Kontrak ini meliputi
pembangunan fasilitas manufaktur pesawat terbang, pelatihan SDM. Selanjutnya
LAPIP berhasil memproduksi pesawat di bawah lisensi yang bernama PZL-104
Wilga yang kemudian dikenal sebagai Gelatik. Pesawat Gelatik diproduksi hingga
44 unit ini digunakan untuk mendukung kegiatan pertanian, transportasi ringan
dan aero-club.
Melalui Keputusan Presiden, KOPELAPIP (Komando pelaksana Industri

Pesawat Terbang) atau Eksekutif Komando Persiapan Industri Penerbangan dan
PN. Industri Pesawat Terbang Berdikari didirikan pada tahun 1965. Tapi sayang
sekali, pada bulan Maret 1966 Nurtanio meninggal dunia saat pengujian pesawat
terbang. Untuk menghargai kontribusinya yang berharga terhadap pengembangan
penerbangan di tanah air, KOPELAPIP dan PN. Industri Pesawat Terbang
Berdikari

kemudian

Penerbangan


digabungkan

Nurtanio).

Dalam

menjadi

LIPNUR

pengembangan

(Lembaga

selanjutnya

Industri
LIPNUR

menghasilkan pesawat latih dasar yang disebut LT-200. Dan lembaga ini

difungsikan untuk purna jual-jasa, pemeliharaan, serta perbaikan & overhaul
pesawat terbang.
Pada tahun 1962, berdasarkan Keputusan Presiden, didirikanlah Teknik
Penerbangan ITB yang merupakan bagian dari Departemen Mesin. Oetarjo Diran
dan Liem Keng Kie adalah perintis dari bagian penerbangan ini. Kedua tokoh ini
termasuk dalam Overseas Student Scholarship Program. Pada wal 1958, melalui
program ini, sejumlah mahasiswa Indonesia dikirim ke luar negeri (Eropa dan
Amerika Serikat). Sementara itu beberapa usaha lain dalam merintis pendirian
industri pesawat terbang juga telah dilakukan oleh seorang pemuda Indonesia, BJ
Habibie, dari tahun 1964 hingga 1970-an.
Lima faktor utama yang memimpin ke arah pendirian IPTN adalah:
1. Ada beberapa orang Indonesia yang telah lama bermimpi untuk membangun
pesawat terbang dan mendirikan sebuah industri pesawat terbang di
Indonesia.
2. Beberapa orang Indonesia yang memiliki penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi untuk membangun pesawat dan industri pesawat terbang.
3. Beberapa orang Indonesia yang di samping menguasai ilmu pengetahuan dan
teknologi

yang


dibutuhkan

mereka

juga

berdedikasi

tinggi

untuk

memanfaatkan keahlian mereka untuk pendirian industri pesawat terbang.
4. Beberapa orang Indonesia yang ahli di bidang pemasaran dan penjualan
pesawat baik untuk lingkup nasional dan internasional

5. Kemauan politik dari Pemerintah

Integrasi menyelaraskan faktor tersebut di atas telah melahirkan industri

pesawat terbang IPTN dengan fasilitas yang memadai. Itu semua diawali oleh
seorang Bacharuddin Jusuf Habibie (BJ Habibie) yang lahir di Pare-pare,
Sulawesi Selatan, pada tanggal 25 Juni 1936. Beliau lulusan Aachen Technical
High Learning, Aircraft Construction Department, dan kemudian bekerja di MBB
(Masserschmitt Bolkow Blohm), industri pesawat terbang di Jerman sejak tahun
1965.
Ketika BJ Habibie akan mendapatkan gelar doktornya pada tahun 1964,
beliau memiliki keinginan yang kuat untuk kembali ke tanah air dan berpartisipasi
dalam program pembangunan bidang industri penerbangan di Indonesia. Tapi
pengelola KOPELAPIP menyarankan agar beliau melanjutkan studinya sambil
menunggu kemungkinan membangun industri pesawat terbang. Selanjutnya pada
tahun 1966 saat Adam Malik menjabat sebagai Menteri Luar Negeri Indonesia dan
berkunjung ke Jerman, beliau meminta Habibie untuk menyumbangkan
pikirannya pada realisasi industri penerbangan di Indonesia.
Menyadari bahwa upaya mendirikan sebuah industri pesawat terbang tidak
akan mungkin dilakukan olehnya sendiri, Habibie memutuskan untuk mulai
merintis untuk mempersiapkan tenaga terampil yang tinggi pada waktu yang
ditentukan bisa setiap saat digunakan oleh industri pesawat terbang masa depan di
Indonesia. Habibie segera membentuk tim sukarela. Dan pada awal 1970 tim ini
dikirim ke Jerman untuk mulai bekerja dan belajar ilmu pengetahuan dan

teknologi di bidang penerbangan di HFB / MBB, di mana Habibie bekerja, untuk
melaksanakan perencanaan awal mereka.

Pada periode yang sama, kegiatan serupa juga dipelopori oleh Pertamina
dalam kapasitasnya sebagai agen pembangunan Indonesia. Dengan kapasitasnya
Pertamina

berhasil

mendirikan

Krakatau

Steel

Industri.

Ibnu

Sutowo

menyumbangkan pemikirannya bahwa proses transfer teknologi dari negara maju

harus dilakukan dengan konsep yang jelas dan berorientasi nasional.
Pada awal Desember 1973, Ibnu Sutowo bertemu dengan Habibie di
Dusseldorf, Jerman, di mana ia memberikan penjelasan kepada Habibie tentang
rencana pendirian industri pesawat terbang di Indonesia. Hasil dari pertemuan
tersebut adalah penunjukan Habibie sebagai Penasihat Utama Pertamina, dan ia
diminta untuk segera kembali ke Indonesia.
Pada awal Januari 1974, langkah yang menentukan pendirian industri pesawat
terbang telah diambil. Realisasi pertama adalah pembentukan divisi baru yang
khusus dalam teknologi canggih dan teknologi penerbangan. Dua bulan setelah
pertemuan Dusseldorf, pada 26 Januari 1974, Habibie dipanggil oleh Presiden
Soeharto. Pada pertemuan tersebut Habibie diangkat sebagai Penasehat Presiden
di bidang teknologi. Ini adalah hari pertama bagi Habibie untuk memulai misi
resminya.
Pertemuan-pertemuan ini mengakibatkan kelahiran ATTP (Advanced
Technology & Teknologi Penerbangan Pertamina) Divisi yang menjadi tonggak
untuk pembentukan BPPT dan bagian dari IPTN. Pada bulan September 1974,
ATTP menandatangani perjanjian dasar kerjasama lisensi dengan MBB Jerman
dan CASA Spanyol untuk produksi helikopter BO-105 dan pesawat sayap tetap
NC-212.
Ketika upaya pendirian telah menunjukkan bentuknya, ada masalah yang
dihadapi oleh Pertamina yang berpengaruh terhadap keberadaan ATTP, proyek
dan program industri pesawat terbang. Namun menyadari bahwa Divisi ATTP dan
proyeknya adalah sebuah kendaraan untuk mempersiapkan Indonesia untuk 'lepas
landas' pada Pelita VI, Pemerintah memutuskan untuk melanjutkan pendirian
industri pesawat terbang dengan segala konsekuensinya.
Berdasarkan hal ini, berdasarkan Peraturan Pemerintah No.12 tanggal 5 April

1976, penyusunan industri pesawat terbang dibuat. Melalui peraturan ini semua
penyediaan aset, fasilitas dan potensi adalah akumulasi dari aset Divisi ATTP
milik Pertamina yang telah disiapkan untuk pendirian industri pesawat terbang
dengan aset LIPNUR, Angkatan Udara Indonesia, sebagai modal dasar bagi
industri pesawat terbang. Modal dasar ini diharapkan untuk mendukung
pertumbuhan industri pesawat terbang yang mampu menjawab semua tantangan.
Pada tanggal 26 April 1976, berdasarkan Akte Notaris No 15 di Jakarta, PT.
Industri Pesawat Terbang Nurtanio secara resmi didirikan dengan Dr BJ. Habibie
sebagai Direktur Utama. Ketika sarana fisik industri ini selesai, pada Agustus
1976 Presiden Soeharto meresmikan industri pesawat terbang ini. Pada tanggal 11
Oktober 1985, PT. Industri Pesawat Terbang Nurtanio berganti nama menjadi PT.
Industri Pesawat Terbang Nusantara atau IPTN.
Pada tahap ini cakrawala baru pertumbuhan industri pesawat terbang modern
dan lengkap di Indonesia baru saja dimulai. Dan dalam periode ini juga semua
aspek infrastruktur, fasilitas, sumber daya manusia, hukum dan peraturan, yang
berkaitan dan mendukung keberadaan industri pesawat terbang tersebut menjadi
terorganisir. Pada periode 1960-an dan 1970-an hal ini belum dilaksanakan. Selain
itu, industri mengembangkan teknologi yang progresif dan konsep transformasi
industri yang nyata untuk memberikan hasil optimal dalam upaya menguasai
teknologi penerbangan dalam waktu yang relatif singkat, 20 tahun.
IPTN memiliki pandangan bahwa transfer teknologi harus dilaksanakan
secara terpadu dan lengkap dan mencakup perangkat keras, perangkat lunak serta
perangkat otak dimana manusia adalah inti. Manusia yang memiliki kemampuan
dan kemauan keras dalam bidang ilmu pengetahuan, teori dan keahlian serta
mengimplementasikannya dalam kerja keras. Nurtanio telah menerapkan filosofi
transfer teknologi yang disebut "Begin at the End and End at the Beginning". Ini
adalah filosofi untuk menyerap teknologi maju secara progresif dan bertahap
dalam suatu proses integral dan didasarkan pada kebutuhan obyektif Indonesia.

Melalui filosofi ini kemudian dikuasai secara menyeluruh, bukan hanya secara
material tetapi juga kemampuan dan keahlian. Filosofi ini juga beradaptasi dengan
setiap perkembangan dan kemajuan yang dicapai oleh negara-negara lain.
Filosofi ini mengajarkan bahwa di dalam bangunan pesawat tidak selalu
dimulai dari komponen, tetapi langsung mempelajari akhir suatu proses (pesawat
yang sudah dibangun), kemudian kebalikannya melalui tahapan manufaktur
komponen. Tahapan alih teknologi dibagi menjadi:
* Tahap pemanfaatan teknologi yang ada / Lisensi Program
* Tahap Integrasi Teknologi
* Tahap Pengembangan Teknologi
* Tahap Penelitian Dasar
Sasaran dari fase pertama adalah penguasaan kemampuan manufaktur, dan
pada saat yang sama menentukan jenis pesawat yang memenuhi kebutuhan dalam
negeri, hasil penjualan digunakan untuk mendukung kemampuan bisnis
perusahaan. Ini dikenal sebagai metode produksi yang progresif. Tahap kedua
bertujuan untuk menguasai desain serta kemampuan manufaktur. Tahap ketiga
adalah bertujuan untuk meningkatkan kemampuan desain. Dan fase keempat
adalah bertujuan untuk menguasai ilmu-ilmu dasar dalam rangka mendukung
pengembangan produk baru yang lebih baik.
Selama 24 tahun terakhir berdirinya, IPTN telah mampu dan berhasil
melakukan transfer teknologi penerbangan canggih dan terbaru, kebanyakan dari
belahan bumi Barat, untuk Indonesia. IPTN telah berpengalaman dalam desain,
pengembangan, dan manufaktur pesawat kecil untuk komuter regional menengah.
Dalam menghadapi sistem pasar global yang baru, Nurtanio merumuskan
kembali dirinya untuk 'Nurtanio 2000' yang menekankan pada penerapan baru,
berorientasi bisnis, strategi untuk memenuhi situasi saat ini dengan struktur baru.

Program restrukturisasi meliputi reorientasi bisnis, Perampingan dan menyusun
sumber daya manusia dengan beban kerja yang tersedia, dan berdasarkan
kapitalisasi pasar yang lebih terfokus dan misi bisnis terkonsentrasi.
PT. Nurtanio kini menjual kemampuan di bidang teknik, dengan menawarkan
jasa desain untuk menguji aktivitas, manufaktur, pesawat terbang dan komponen
non-pesawat, dan layanan purna jual.
Seiring dengan perkembangan berikutnya, nama IPTN telah diubah menjadi
PT. Dirgantara Indonesia yang diresmikan pada tanggal 24 Agustus 2000 di
Bandung oleh Alm. KH. Abdurrahman Wahid yang pada waktu itu menjabat
sebagai Presiden Republik Indonesia.
-Analisa Keputusan Manajemen Operasional PT. Dirgantara Indonesia
Cikal bakal PT Dirgantara Indonesia sebenarnya telah mulai muncul sejak
masa awal kemerdekaan Indonesia. Saat itu upaya perintisan dilakukan dengan
peralatan dan material yang cukup sederhana. Tercatat dalam sejarah, pesawat
pertama yang diterbangkan tahun 1948 di lapangan udara Maospati dengan nama
RI-X WEL-1 hasil rancangan Wiweko Soepono. Disusul tahun 1954, Nurtanio
Pringgoadisuryo pun berhasil merancang sebuah pesawat dengan nama NU-200.
Tidak hanya itu, badan yang diprakarsai Nurtanio bernama Depot Penyelidikan,
Percobaan dan Pembuatan Pesawat Terbang (DPPP) yang didirikan Agustus 1961
telah mampu membuat pesawat terbang eksperimental seperti Belalang (pesawat
latih), Si Kunang (pesawat olah raga), Kolintang dan Gelatik.

Pada tahun 1962 nama DPPP diubah menjadi Lembaga Persiapan Industri
Penerbangan (Lapip) sesuai dengan misi dan sasaran yang ingin dicapainya.
Selanjutnya pada tahun 1966 diubah lagi menjadi Lembaga Industri Penerbangan
Nurtanio (Lipnur) sebagai penghormatan jasa-jasa Nurtanio yang meninggal saat
uji terbang.

Fase pendahuluan perkembangan industri penerbangan nasional kemudian
memasuki tonggak pertama ketika aset Lipnur (TNI AU) dengan ATTP
(Pertamina) dilebur menjadi Industri Pesawat Terbang Nurtanio, 23 Agustus 1976.
Industri ini menjadi salah satu kekuatan dirgantara nasional sebab dari situlah
sejarah industri pesawat terbang modern selanjutnya dibangun untuk menghadapi
tantangan jaman serta dipacu percepatannya.
Pada periode ini juga, segala aspek baik infrastruktur, fasilitas, sumber daya
manusia, hukum dan peraturan, beserta semua yang berkaitan dan mendukung
keberadaan industri pesawat terbang diatur secara menyeluruh. Tanggal 11
Oktober 1985, PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio diubah menjadi PT Industri
Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) setelah melakukan pembangunan berbagai
fasilitas serta sarana dan prasarana yang diperlukan. Industri ini kemudian
mengembangkan teknologi canggih dan konsep transformasi teknologi yang
memberikan hasil yang optimal sebagai upaya untuk menguasai teknologi
penerbangan dalam waktu yang relatif singkat yaitu 20 tahun.
Berpegang pada filsosofi transformasi teknologi “Begin at the End and End at
the Beginning” IPTN telah berhasil mentransfer teknologi penerbangan yang
rumit dan terbaru. IPTN secara khusus telah menguasai desain pesawat terbang,
rekayasa pengembangan serta manufaktur pesawat komuter kecil dan sedang.
IPTN bekerja sama dengan pihak pabrikan melaksanakan pembuatan berbagai
jenis pesawat terbang, seperti C212 Aviocar, C235, NBO105, NBK117, BN109,
SA330 Puma, NAS332 Super Puma dan Nbell412. Hal ini kemudian berlanjut
pada keberhasilan membuat pesawat N250 dan N2130.
Perjalanan sejarah IPTN kemudian memasuki masa-masa sulit manakala
krisis moneter yang menimpa Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 ternyata
meluas ke arah krisis multi dimensi yang meliputi bidang-bidang ekonomi, sosial,
budaya, hukum, akhlak dan hankam. Dampaknya pada kehidupan masyarakat

Indonesia sangat besar, tidak terkecuali bagi kelangsungan IPTN. Dampak krisis
tersebut memaksa pemerintah menyurutkan dukungan secara politis dan
mengurangi suntikan dana yang sebelumnya merupakan sendi tempat IPTN
bergantung. Hal inilah yang tidak diantisipasi oleh IPTN, diperparah lagi dengan
kondisi internal IPTN yang secara finansial dan menejerial kurang mandiri.
Di tengah mulai memburuknya kondisi IPTN, Presiden RI, KH. Abdurrahman
Wahid pada tanggal 24 Agustus 2000 meresmikan perubahan nama menjadi PT
Dirgantara Indonesia. Perubahan nama tersebut dimaksudkan untuk memberi
nafas dan paradigma baru bagi perusahaan. Meski persoalan yang timbul pun
semakin rumit dan kompleks, hal ini disebabkan volume bisnis jauh lebih kecil
dari sumber daya yang tersedia, pengaruh SP-FKK sangat besar dalam
pengelolaan perusahaann, budaya organisasi tidak sehat, Direksi tidak berfungsi
sebagaimana mestinya, ketidakadaan modal kerja, beban gaji melebihi
kemampuan serta beban hutang yang masih besar (SLA & RDI). Upaya
penyelamatan PT DI akhirnya dilakukan didasarkan atas beberapa fakta bahwa PT
DI adalah aset nasional, industri strategis yang mendukung kepentingan nasional
dan memiliki kemampuan kedirgantaraan.
-Produk
PT. Dirgantara Indonesia memfokuskan bisnisnya dari 18 menjadi 5 satuan usaha
yaitu :
1.

Aircraft

Memproduksi beragam pesawat terbang untuk memenuhi berbagai misi sipil,
militer, dan juga misi khusus. Adapun produk yang dihasilkannya yaitu NC-212,
CN-235, NBO-105, Super Puma NAS-332, dan NBELL-412.
2.

Aerostructure

Bergerak dalam bidang manufacturing pesawat terbang.
3.

Aircraft Services

Dengan keahlian dan pengalaman bertahun-tahun, Unit Usaha Aircraft Service
menyediakan servis pemeliharaan pesawat dan helikopter berbagai jenis,
meliputi :


Penyediaan suku cadang



pembaharuan dan modifikasi srtuktur pesawat terbang



Pembaharuan interior



Maintenance dan Overhaul

4.

Engineering Services

Dilengkapi dengan peralatan perancangan dan analisis yang canggih, fasilitas uji
teknologi yang tinggi, serta tenaga ahli yang berlisensi dan pengalaman standar
internasional, satuan usaha ini siap memenuhi kebutuhan produk dan jasa bidang
engineering.
5.

Defence

Bisnis utama usaha ini meliputi produk-produk militer, perawatan, perbaikan,
pengujian, dan kalibrasi baik secara mekanik maupun elektrik dengan tingkat
akurasi yang tinggi, integrasi alat-alat perang, produksi beragam sistem senjata,
antara lain FFAR 2,75” rocket, SUT Torpedo, dll.
Kini, PT. Dirgantara Indonesia telah berhasil sebagai industri manufaktur dan
memiliki diversifikasi produknya, tidak hanya bidang pesawat terbang, tetapi juga
dalam bidang lain, seperti teknologi informasi, telekomunikasi, otomotif, maritim,
militer, otomasi dan kontrol, minyak dan gas, turbin industri, teknologi simulasi,
dan engineering services.
- Pemasaran Produk
Salah satu cara yang dilakukan oleh PT Dargantara Indonesia adalah dengan
memamerkan produk mereka pada pameran-pameran industry pesawat terbang
yang salah satunya adalah pameran Indo Defence 2012 berlangsung 7-10
November 2012 dan diikuti perusahaan-perusahaan industri militer dari sekitar 50

negara, serta sejumlah BUMN termasuk PTDI.
Pada pameran tersebut diwarnai dengan peningkatan kerjasama PTDI-Airbus
Military itu ditandatangani Direktur Utama PTDI Budi Santoso dan Ignacio
Alonso, Wakil Presiden Senior Airbus Military bidang Komersil, Strategi dan
Hubungan Industri kawasan Asia, di Jakarta. PTDI dan Airbus Military akan
bekerja bersama untuk memproduksi dan memasarkan NC212 upgrade ke seluruh
dunia dengan menawarkan pesawat terbang sipil dan militer kelas kecil yang
modern dan sangat kompetitif.
Dari titik pandang Airbus Military, menurut Ignacio Alonso, peningkatan
status kerjasamanya dengan PTDI bukti berikutnya tentang kepercayaan pihaknya
pada masa depan NC212 yang kompetitif ini dan menjanjikan di banyak negara di
dunia. Pesawat tersebut selanjutnya akan ditawarkan kepada pelanggan sipil serta
militer.
-Perekrutan Sumber Daya Manusia
Sistem pendukung keputusan calon penerimaan karyawan baruini dibangun
untuk dapat membantu pihak pekerjaan PT Dirgantara Indonesia mengolah data
karyawan baru dan menghasilkan keputusan dengan cepat. Sehingga apabila data
yang dibutuhkan secara cepat, maka waktu yang dibutuhkan untuk melakukan
proses pencarian data pun akan semakin cepat.
Dalam proses pembangunan sistem pendukung keputusan calon penerimaan
karyawan baru ini menggunakan metode peneitian dengan jenis penelitian studi
kasus pada perusahaan, dimana teknik pengumpulan data yang digunakan antara
lain yaitu dengan teknik yang pertama adalah observasi, untuk mengamati secara
langsung proses kerja yang dilaksanakan di lingkungan kerja, teknik yang kedua
adalah wawancara yaitu melakukan dialog secara langsung dengan pihak yang
berwenang di PT Dirganatara Indonesia. Teknik yang terakhir yaitu dengan studi
literatur yang dilakukan dengan mencari data atau teori yang berhubungan dengan

permasalahan yang sedang dihadapi baik melalui buku-buku ataupun media
internet yang banyak menyediakan informasi yang berguna untuk melengkapi
kebutuhan informasi yang diperlukan.
Untuk teknik atau metode pengembangan ini menggunakan metode analitycal
hierarky proses, sedangkan metode aliran data yang dipakai adalah menggunakan
metode terstruktur yaitu DFD(Data Flow Diagram) dalam menggambarkan model
fungsional dan ERD (Entity Relationship Diagram) untuk menggambarkan model
data.