Prosedur penerimaan dana tebusan dan rep

BAB I
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang Masalah
Dalam APBN 2017 salah satu pilar utama Pemerintah dalam memastikan

komitmennya untuk menjaga keberlanjutan reformasi struktural atas kebijakan
APBN yaitu dengan melakukan optimalisasi pendapatan negara. Dalam APBN
2017 ditetapkan jumlah pendapatan negara sebesar Rp. 1.750,3 triliun. Jumlah ini
terdiri dari penerimaan perpajakan sebesar Rp. 1.489,9 triliun atau sebesar 85%
dari total pendapatan negara, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp.
250 triliun atau sebesar 14,3% dari total pendapatan negara, dan penerimaan hibah
sebesar Rp1,4 triliun. Hal ini disusun dengan mempertimbangkan potensi
perpajakan yang bisa diterima pemerintah pada 2017, termasuk realisasi program
Amnesti Pajak dan penerimaan dari sumber-sumber pajak baru.
Pada tanggal 1 Juli 2016 lalu Presiden Joko Widodo telah mengesahkan
Undang-Undang tentang Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty, yang telah
disahkan dalam Rapat Paripurna DPR-RI, sebagai Undang-Undang (UU) Nomor
11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. Dalam Undang-Undang itu
ditegaskan, bahwa Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty adalah penghapusan

pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan
sanksi pidana dibidang perpajakan, dengan cara mengungkap harta dan membayar
uang tebusan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Menurut Peraturan
Pemerintah ini, setiap Wajib Pajak berhak mendapatkan Pengampunan Pajak,
yang diberikan melalui pengungkapan harta yang dimilikinya dalam Surat
Pernyataan. Terkecuali bagi Wajib Pajak yang sedang dalam penyidikan dan
berkas penyidikannya telah dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan, dalam proses
peradilan atau menjalani hukuman pidana, atas Tindak Pidana di Bidang
Perpajakan.
Tarif Uang Tebusan atas Harta yang berada di wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia atau Harta yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan diinvestasikan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik

1

2

Indonesia dalam jangka waktu paling singkat 3 (tiga) tahun terhitung sejak
dialihkan adalah sebesar :

1.

Dua persen (2%) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan
pertama sampai dengan akhir bulan ketiga terhitung sejak Undang-Undang ini

mulai berlaku (periode I : 01 Juli 2016 s.d 30 September 2016).
2.
Tiga persen (3%) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan
keempat terhitung sejak UndangUndang ini mulai berlaku (periode II : 01
Oktober s.d 31 Desember 2016).
3.

Lima persen (5%), untuk periode III penyampaian Surat Pernyataan
terhitung sejak tanggal 01 Januari 2017 s.d 31 Maret 2017.
Adapun tarif uang tebusan atas harta yang berada di luar wilayah Negara

Kesatuan Republik Indonesia dan tidak dialihkan ke dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia adalah sebesar:
1.


Empat persen (4%) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada
bulan pertama sampai dengan akhir bulan ketiga terhitung sejak UndangUndang ini mulai berlaku;

2.

Enam persen (6%) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada
bulan keempat terhitung sejak UndangUndang ini mulai berlaku sampai
dengan tanggal 31 Desember 2016.

3.

Sepuluh persen (10%) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan
terhitung sejak tanggal 1 Januari 2017 sampai dengan tanggal 31 Maret 2017.
Tarif Uang Tebusan bagi Wajib Pajak yang peredaran usahanya sampai

dengan Rp. 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) pada Tahun
Pajak Terakhir, menurut UU Nomor 11 Tahun 2016 ini, adalah sebesar:
1.

Nol koma lima persen (0,5%) bagi Wajib Pajak yang mengungkapkan nilai

harta sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dalam
Surat Pernyataan.

2.

Dua persen (2%) bagi Wajib Pajak yang mengungkapkan nilai harta lebih dari
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dalam Surat Pernyataan, untuk

3

periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan pertama sejak UndangUndang ini mulai berlaku sampai dengan tanggal 31 Maret 2017.
1.2

Fenomena Permasalahan
Berdasarkan latar belakang, maka fenomena permasalahan dalam kegiatan

Kuliah Kerja Lapang dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana prosedur penerimaaan uang tebusan dan repatriasi pengampunan
pajak (tax amnesty) pada Bank BCA ?
2.


Dokumen-dokumen apa yang digunakan dalam penerimaan uang tebusan dan
repatriasi pengampunan pajak (tax amnesty) pada Bank BCA ?

1.3
1.

Tujuan KKL
Untuk mengetahui prosedur penerimaaan uang tebusan dan repatriasi
pengampunan pajak (tax amnesty) pada Bank BCA ?

2.

Untuk mengetahui dokumen-dokumen apa yang digunakan dalam penerimaan
uang tebusan dan repatriasi pengampunan pajak (tax amnesty) pada Bank
BCA ?

4

BAB II

LANDASAN TEORI
2.1

Pengertian Pajak
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Perubahan keempat atas

Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan pada Pasal 1 Ayat 1 berbunyi, “Pajak adalah kontribusi wajib pajak
kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa
berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung
dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Soemitro d a l a m M a r d i a s m o (2016:3), “Pajak adalah iuran rakyat
kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan
tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan
dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”.
Djajadiningrat dalam Resmi (2014:1), “Pajak adalah suatu kewajiban
untuk menyerahkan sebagian dari kekayaan ke kas negara yang disebabkan
suatu keadaan, kejadian, dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu,
tetapi bukan sebagai hukuman, tetapi menurut peraturan-peraturan yang
ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan. Untuk itu, tidak ada jasa balik dari

negara secara langsung, misalnya untuk memelihara kesejahteraan secara umum”.
Definisi pajak yang dikemukakan oleh Feldmann, “Pajak adalah prestasi
yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang kepada penguasa (menurut normanorma yang ditetapkannya secara umum), tanpa adanya kontraprestasi, dan
semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum.
2.1.1 Fungsi Pajak
Terdapat dua fungsi pajak yaitu :
1.

Fungsi Budgetair (Sumber Keuangan Negara)
Pajak mempunyai fungsi budgetair, artinya pajak merupakan salah satu
sumber penerimaan pemerintah untuk membiayai pengeluaran baik rutin
maupun pembangunan. Sebagai sumber keuangan negara, pemerintah
berupaya memasukan uang sebanyak-banyaknya untuk kas negara. Upaya

5

tersebut

ditempuh


dengan

cara

extensifikasi

maupun

intensifikasi

pemungutan pajak melalui penyempurnaan peraturan berbagai jenis pajak,
seperti Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
dll.
2.

Fungsi Regularend (pengatur)
Pajak mempunyai fungsi pengatur, artinya pajak sebagai alat untuk mengatur
atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi
serta mencapai tujuan-tujuan tertentu diluar bidang keuangan.


2.1.2 Kedudukan Hukum Pajak
Brotodiharjo (2014:4) menyatakan bahwa hukum pajak termasuk hukum
publik. Hukum publik merupakan bagian dari tata tertib hukum yang mengatur
hubungan antara penguasa dengan warganya. Hukum publik memuat cara-cara
untuk mengatur pemerintahan. Menurutnya yang termasuk hukum publik antara
lain hukum tata negara , hukum pidana, hukum administratif, sedangkan hukum
pajak merupakan bagian dari hukum administratif. Meski demikian tidak berarti
bahwa hukum pajak berdiri sendiri terlepas dari hukum pajak lainnya seperti
hukum perdata dan hukum pidana).
Brotodiharjo (2014:4) juga menyatakan bahwa hukum pajak berkaitan erat
dengan hukum perdata. Hukum perdata merupakan bagian dari keseluruhan
hukum yang mengatur hubungan antara orang-orang pribadi. Kebanyakan hukum
pajak mencari dasar kemungkinan pemungutannya atas kejadian-kejadian,
keadaan-keadaan, dan perbuatan-perbuatan hukum yang tercakup dalam
lingkungan perdata, seperti pendapatan, kekayaan, perjanjian penyerahan,
pemindahan hak warisan, dan seterusnya. Adanya kaitan antara hukum pajak dan
hukum perdata ditunjukan dengan banyaknya istilah-istilah hukum perdata yang
digunakan dalam perundang-undangan perpajakan. Sebaliknya, hukum pajak juga
mempunyai pengaruh besar terhadap hukum perdata. Sebagai contoh, dalam

hukum pajak terdapat ketentuan bahwa lex specialis (peraturan yang istimewa)
harus diberi tempat yang lebih utama dari lex generalis (peraturan yang umum).

6

Ketentuan ini diberlakukan pula dalam undang-undang atau peraturan yang lain,
bahwasanya dalam setiap penafsirannya maka pertama-tama yang dianut adalah
lex specialis.
Hukum pajak juga berkaitan dengan hukum pidana. Hukum pidana yang
seperti tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
merupakan suatu keseluruhan sistematis yang juga berlaku untuk peristiwaperistiwa pidana yang diuraikan diluar KUHP. Hak untuk menyimpang dari
peraturan-peraturan yang tercantum dalam KUHP di Indonesia telah diperoleh
pembuat ordonasi semenjak 16 Mei 1927 dan kesempatan ini banyak digunakan
karena kenyataan bahwa peraturan admiistratif pun sangat memerlukan sanksisanksi yang menjamin untuk ditaati oleh khalayak umum.
2.1.3 Pembagian Hukum Pajak
Hukum pajak dibagi menjadi dua yaitu pajak materiil dan hukum pajak
formil.
1.

Hukum Pajak Materiil

Hukum pajak materiil merupakan norma-norma yang menjelaskan keadaan,
perbuatan dan peristiwa hukum yang harus dikenakan pajak, siapa yang harus
dikenakan pajak dan berapa besarnya pajak. Dengan kata lain, hukum pajak
materiil mengatur tentang timbulnya, besarnya, dan hapusnya utang pajak
beserta hubungan hukum antara pemerintah serta Wajib Pajak. Termasuk
dalam hukum pajak materiil adalah peraturan yang memuat kenaikan, denda,
sanksi atau hukuman, cara-cara pembebasan dan pengembalian pajak, serta
ketentuan yang memberi hak tagihan utama kepada fiskus. Peraturan tersebut
ada yang bersifat sederhana dan ada yang bersifat berbelit-belit seperti pajak
penghasilan.

2.

Hukum Pajak Formil
Hukum pajak formil merupakan peraturan-peraturan mengenai berbagai cara
untuk mewujudkan hukum materiil menjadi suatu kenyataan. Bagian hukum
ini memuat cara-cara penyelenggaraan mengenai penetapan suatu utang

7

pajak, kontrol oleh pemerintah terhadap penyelenggaraannya, kewajiban para
Wajib Pajak (sebelum dan sesudah menerima surat ketetapan pajak),
kewajiban pihak ketiga, dan prosedur dalam dalam pemungutannya. Hukum
pajak formil dimaksudkan untuk melindungi fiskus dan Wajib Pajak serta
memberi jaminan bahwa hukum materiilnya dapat diselenggarakan setepat
mungkin. Hubungan hukum antara fiskus dan Wajib Pajak tidaklah selalu
sama karena kompetensi aparatur fiskus yang terkadang ditambah atau
dikurangi. Sebagai contoh, mula-mula tidak terdapat peraturan yang
melindungi Wajib Pajak, melainkan yang bersifat melawannya. Akan tetapi,
lama-kelamaan ada perbaikan dalam hal terdapatnya hak-hak Wajib Pajak
yang umumnya melindungi tindakan sewenang-wenang pihak fiskus.
2.1.4 Jenis Pajak
Resmi (2014:7) jenis pajak dikelompokkan menjadi tiga, yaitu :
1.

Menurut Golongan
Pajak dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
a.

Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul atau ditanggung sendiri
oleh wajib pajak dan tidak dapat dilimpahkan atau dibebankan kepada
orang lain. Pajak harus menjadi beban wajib pajak yang bersangkutan.

b.

Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan
atau dilimpahkan kepada orang lain atau pihak ketiga. Pajak tidak
langsung terjadi jika suatu kegiatan, peristiwa, atau perbuatan yang
menyebabkan terutangnya pajak, misalnya terjadi penyerahan barang
atau jasa.

2.

Menurut Sifat
Pajak dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
a.

Pajak subjektif, yaitu pajak yang pengenaannya memerhatikan keadaan
pribadi wajib pajak atau pengenaan pajak yang memerhatikan keadaan
subjeknya.

b.

Pajak objektif, yaitu pajak yang pengenaannya memerhatikan objeknya
baik

berupa

benda,

keadaan,

perbuatan,

atau

peristiwa

yang

8

mengakibatkan

timbulnya

kewajiban

membayar

pajak,

tanpa

memerhatikan keadaan pribadi subjek pajak (wajib pajak) maupun
tempat tinggal.
3.

Menurut Lembaga Pemungut
Pajak dikelompokkan menjadi dua, yaitu :
a.

Pajak Negara (pajak pusat), yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah
pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara pada
umumnya.

b.

Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah baik
tingkat

I

(pajak

provinsi)

maupun

daerah

tingkat

II

(pajak

kabupaten/kota) dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah
masing-masing.
2.1.5 Tata Cara Pemungutan Pajak
Mardiasmo (2016:8) tata cara pemungutan pajak dapat dilakukan
berdasarkan 3 stelsel :
1.

Stelsel Nyata (riel stelsel).
Pengenaan

pajak

didasarkan

pada

objek (penghasilan yang nyata),

sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yakni
setelah penghasilan yang sesungguhnya diketahui. Resmi (2014:9) kelebihan
stelsel nyata adalah penghitungan pajak didasarkan pada penghasilan yang
sesungguhnya sehingga lebih akurat dan realistis. Sedangkan kekurangan
stelsel nyata adalah pajak baru dapat diketahui pada akhir periode, sehingga:
a.

Wajib Pajak akan dibebani jumlah pembayaran pajak yang tinggi
pada akhir tahun sementara pada waktu tersebut belum tentu tersedia
jumlah kas yang memadai; dan

b.

Semua Wajib Pajak akan membayar pajak pada akhir tahun sehingga
jumlah uang beredar secara makro akan terpengaruh.

2.

Stelsel Anggapan (fictieve stelsel).
Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh
undang-undang. Misalnya penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan

9

tahun sebelumnya, sehingga pada awal tahun pajak sudah dapat ditetapkan
besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan. Kebaikan
stelsel ini adalah pajak dapat dibayar selama tahun berjalan, tanpa harus
menunggu pada akhir tahun. Sedangkan kelemahannya adalah pajak yang
dibayar tidak berdasarkan pada keadaan yang sesungguhnya.
3.

Stelsel Campuran.
Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan.
Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan,
kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan
yang sebenarnya. Bila besarnya pajak menurut kenyataan lebih besar dari
pada pajak menurut anggapan, maka Wajib Pajak harus menambah.
Sebaliknya, jika lebih kecil kelebihannya dapat diminta kembali.
Dalam penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan telah direvisi
oleh Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, yang berbunyi sebagai berikut
bahwa ciri dan corak tersendiri dari Sistem Pemungutan Pajak tersebut
adalah :
a.

Bahwa pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian
kewajiban perpajakan yang diperlukan untuk pembiayaan Negara dan
pembangunan nasional.

b.

Tanggung jawab atas kewajiban pelaksanaan pajak, sebagai pencerminan
kewajiban dibidang perpajakan berada pada anggota masyarakat Wajib
Pajak sendiri, pemerintah, dalam hal ini aparat perpajakan sesuai dengan
fungsinya

berkewajiban

melakukan

pembinaan,

penelitian,

dan

pengawasan terhadap pelaksanaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak
berdasarkan ketentuan yang digariskan dalam peraturan perundangundangan perpajakan.
c.

Anggota masyarakat Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk dapat
melaksanakan

kegotongroyongan

nasional

melalui

menghitung,

memperhitungkan, dan membayar sendiri pajak yang terutang (self
assessment), sehingga melalui sistem ini pelaksanaan administrasi

10

perpajakan

diharapkan

dapat

dilaksanakan

dengan

lebih

rapi,

terkendalikan, sederhana dan mudah untuk dipahami oleh anggota
masyarakat Wajib Pajak.
2.1.6

Wajib Pajak
Pajak merupakan peranan penting untuk pembiayaan pembangunan,

dimana Wajib Pajak merupakan bagian dari penerimaan pajak tersebut. Dengan
kata lain tidak akan ada pajak apabila tidak ada Wajib Pajak.
Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Perubahan
Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum
Perpajakan, “Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar
pajak, pemotong pajak dan pemungut pajak yang mempunyai hak dan kewajiban
perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan”.
Berdasarkan Undang–Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang PPh (Pajak
Penghasilan) yang merupakan perubahan keempat atas UU Nomor 7 Tahun 1983,
maka wajib pajak orang pribadi dapat dibagi menjadi delapan yaitu:
1.

Wajib pajak orang pribadi yang semata-mata menerima penghasilan dari
pekerjaan. Contoh: Pegawai Swasta, PNS.

2.

Wajib pajak orang pribadi yang semata-mata menerima penghasilan dari
usaha. Contoh: Pengusaha toko emas, Pengusaha Industri mie kering.

3.

Wajib pajak orang pribadi yang semata-mata menerima penghasilan dari
pekerjaan bebas. Contoh: Dokter, Notaris, Akuntan, Konsultan.

4.

Wajib pajak orang pribadi yang semata-mata menerima penghasilan lain yang
tidak bersifat final. Contoh: sehubungan dengan pemodalan seperti bunga
pinjaman, royalti.

5.

Wajib pajak orang pribadi yang semata-mata menerima penghasilan lain yang
bersifat final. Contoh: seperti Bunga deposito, hadiah undian.

6.

Wajib pajak orang pribadi yang semata-mata menerima penghasilan yang
bukan objek pajak. Contoh: Seperti bantuan, sumbangan.

7.

Wajib pajak orang pribadi yang semata-mata menerima penghasilan dari luar
negeri. Contoh: Seperti bunga, royalti PPh Pasal 24.

11

8.

Wajib pajak orang pribadi yang semata-mata menerima penghasilan dari
berbagai sumber. Contoh: Pegawai Swasta tetapi juga mempunyai usaha
rumah makan, PNS tetapi membuka praktek dokter.
Sebagaimana telah diketahui banyak Wajib Pajak terdaftar yang tidak

memenuhi kewajiban perpajakannya. Oleh karena itu ada beberapa istilah seperti
Wajib Pajak Efektif dan Wajib Pajak Non Efektif.
Adapun pengertian Wajib Pajak Efektif adalah Wajib Pajak yang
memenuhi kewajiban perpajakannya, berupa memenuhi kewajiban menyampaikan
Surat Pemberitahuan (SPT) Masa 12 dan/atau Tahunan sebagaimana mestinya.
Sedangkan Wajib Pajak Non Efektif adalah Wajib Pajak yang tidak memenuhi
kewajiban perpajakannya.
2.1.7

Kewajiban Wajib Pajak
Mardiasmo (2016:59), kewajiban Wajib Pajak adalah sebagai berikut:

1.

Mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP.

2.

Melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
(PKP).

3.

Menghitung dan membayar sendiri pajak dengan benar.

4.

Mengisi dengan benar SPT (SPT diambil sendiri), dan memasukkan ke
Kantor Pelayanan Pajak dalam batas waktu yang telah ditentukan.

5.

Menyelenggarakan pembukuan dan pencatatan.

6.

Jika diperiksa wajib:
a.

Memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen
yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan
penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak
atau objek yang terutang pajak.

b.

Memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang
dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan.

c.
7.

Memberikan keterangan yang diperlukan.

Apabila dalam waktu mengungkapkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen
serta keterangan yang diminta, wajib pajak terikat oleh suatu kewajiban untuk

12

merahasiakan, maka kewajiban untuk merahasiakan itu ditiadakan oleh
pemerintah untuk melakukan keperluan pemeriksaan.
2.1.8

Hak-Hak Wajib Pajak
Mardiasmo (2016:60), hak-hak Wajib Pajak sebagai berikut:

1.

Mengajukan surat keberatan dan surat banding.

2.

Menerima tanda bukti pemasukan SPT.

3.

Melakukan pembetulan SPT yang telah dimasukkan.

4.

Mengajukan permohonan penundaan penyampaian SPT.

5.

Mengajukan permohonan penundaan atau pengangsuran pembayaran pajak.

6.

Mengajukan permohonan perhitungan pajak yang dikenakan dalam surat
ketetapan pajak.

7.

Meminta pengembalian kelebihan pembayaran pajak.

8.

Mengajukan permohonan penghapusan dan pengurangan sanksi, serta
pembetulan surat ketetapan pajak yang salah.

9.

Memberi kuasa kepada orang untuk melaksanakan kewajiban pajaknya.

10. Meminta bukti pemotongan atau pemungutan pajak.
11. Mengajukan keberatan dan banding
2.1.9

Tarif Pajak
Mardiasmo (2011:9) ada 4 macam tarif pajak, yaitu :

1.

Tarif sebanding/proporsional
Tarif berupa persentase yang tetap, terhadap berapapun jumlah yang dikenai
pajak sehingga besarnya pajak yang terutang proporsional terhadap besarnya
nilai yang dikenai pajak.
Contoh: Untuk penyerahan Barang Kena Pajak di dalam daerah pabean
akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10%.

2.

Tarif tetap
Tarif berupa jumlah yang tetap (sama) terhadap berapapun jumlah yang
dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang tetap.

13

Contoh: Besarnya tarif Bea Materai untuk cek dan bilyet giro dengan nilai
nominal berapapun adalah Rp 3.000,00.
3.

Tarif progresif
Persentase tarif yang digunakan semakin besar bila jumlah yang dikenai
pajak semakin besar. Contoh: Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan
untuk Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri.
Tabel 2.1
Tarif pajak untuk Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri
Lapisan penghasilan kena pajak

Tarif pajak

Sampai dengan Rp. 50.000.000

5%

Diatas Rp. 50.000.000 sd Rp. 250.000.000

15%

Diatas Rp. 250.000.000 sd Rp. 500.000.000

25%

Diatas Rp. 500.000.000

30%

Sumber : Resmi, 2014

Menurut kenaikan persentase tarifnya, tarif progresif dibagi :

4.

a.

Tarif progresif progresif

: kenaikan persentase semakin besar

b.

Tarif progresif tetap

: Kenaikan persentase tetap

c.

Tarif progresif degresif

: Kenaikan persentase semakin kecil

Tarif Degresif
Persentase tarif yang digunakan semakin kecil bila jumlah yang dikenai pajak
semakin besar.

2.2

Pengampunan Pajak
Pengampunan

Pajak

adalah

penghapusan

pajak

yang seharusnya

terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang
perpajakan, dengan cara mengungkap Harta dan membayar Uang Tebusan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang pengampunan pajak. Sementara yang
dimaksud dengan Harta adalah akumulasi tambahan kemampuan ekonomis
berupa seluruh kekayaan, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak

14

maupun tidak bergerak, baik yang digunakan untuk usaha maupun bukan untuk
usaha, yang berada di dalam dan/atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Sementara itu, pengertian Uang Tebusan adalah sejumlah uang yang
dibayarkan ke kas negara untuk mendapatkan pengampunan pajak.
2.2.1

Azas Dan Tujuan
Dalam pelaksanaanya, pengampunan pajak didasarkan pada empat azas,

yaitu azas kepastian hukum, azas keadilan, azas kemanfaatan, dan azas
kepentingan nasional.
1.

Azas kepastian hukum adalah pelaksanaan Pengampunan Pajak harus dapat
mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum.

2.

Azas keadilan adalah pelaksanaan Pengampunan Pajak menjungjung tinggi
keseimbangan hak dan kewajiban dari setiap pihak yang terlibat.

3.

Azas kemanfaatan adalah seluruh pengaturan kebijakan Pengampunan Pajak
bermanfaat bagi kepentingan negara, bangsa, dan masyarakat, khususnya
dalam memajukan kesejahteraan umum.

4.

Azas kepentingan nasional adalah pelaksanaan pengampunan pajak
mengutamakan

kepentingan

bangsa,

negara

dan

masyarakat

diatas

kepentingan lainnya.
2.2.2
1.

Subjek Dan Objek Pengampunan Pajak

Subjek Pengampunan Pajak
Suharno (2016:7) setiap Wajib Pajak berhak mendapatkan Pengampunan
Pajak, akan tetapi dalam hal ini hanya Wajib Pajak yang mempunyai
kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
baik bagi yang sudah memiliki NPWP maupun yang belum ber-NPWP. Oleh
karena itu, untuk Wajib Pajak yang semata-mata hanya diwajibkan melakukan
pemotongan atau pemungutan pajak seperti bendaharawan pemerintah tidak
berhak mendapatkan amnesti pajak. Kemudian bagi WP yang belum memiliki
NPWP, caranya harus mendaftarkan diri terlebih dahulu untuk memperoleh

15

NPWP. Secara lebih detail subjek Pengampunan Pajak menurut Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2016, meliputi:
a.

Wajib Pajak yang mempunyai kewajiban menyampaikan Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan berhak mendapatkan

b.

Pengampunan Pajak.
Orang pribadi sepert petani, nelayan, pensiunan, tenaga kerja Indonesia
atau subjek pajak warisan yang belum terbagi, yang jumlah
penghasilannya pada Tahun Pajak Terakhir dibawah Penghasilan Tidak
Kena Pajak (PTKP)dapat tidak menggunakan haknya untuk mengikuti
Pengampunan Pajak.

c.

Warga Negara Indonesia yang tidak bertempat tinggal di Indonesia lebih
dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua
belas) bulan dan tidak mempunyai penghasilan dari Indonesia merupakan
Subjek Pajak Luar Negeri dan dapat tidak menggunakan haknya untuk
mengikuti Pengampunan Pajak.

Namun demikian, menurut UU Pengampunan Pajak terdapat tiga jenis
Wajib Pajak yang tidak berhak mendapatkan amnesti pajak, yaitu :
a.

Wajib Pajak yang sedang dilakukan penyidikan dan berkas
penyidikannya telah dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan;

b.

Wajib Pajak yang sedang dalam proses peradilan; atau

c.

Wajib Pajak yang sedang menjalani hukuman pidana, atas Tindak
Pidana dibidang perpajakan.

2.

Objek Pengampunan Pajak
Nilai harta yang diungkapkan dalam Surat Pernyataan untuk Pengampunan
Pajak meliputi :
a.

Nilai harta yang telah dilaporkan dalam SPT PPh terakhir; dan

b.

Nilai Harta tambahan yang belum atau belum seluruhnya dilaporkan
dalam SPT PPh terakhir.

Meski demikian, hanya nilai harta tambahan yang belum atau belum
seluruhnya dilaporkan dalam SPT PPh terakhir yang menjadi Objek
Pengampunan Pajak yang wajib dibayarkan uang tebusannya. Kemudian

16

melalui Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-11/PJ/2016, diatur lebih lanjut
harta yang termasuk dalam pengertian harta tambahan yang terdiri dari:
a.

Harta warisan; dan/atau

b.

Harta hibahan yang diterima keluarga sedarah dalam garis keturunan
lurus satu derajat yang belum atau belum seluruhnya dilaporkan dalam
SPT Tahunan Pajak Penghasilan.

Akan tetapi, harta warisan tersebut bukan merupakan Objek Pengampunan
Pajak apabila :
a.

Warisan diterima oleh ahli waris yang tidak memiliki penghasilan atau
memiliki penghasilan dibawah PTKP;

b.

Harta warisan sudah dilaporkan dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan
pewaris.

Demikian pula, untuk hibah juga bukan merupakan Objek Pengampunan
Pajak apabila :
a.

Hibah diterima oleh orang pribadi penerima hibah yang tidak memiliki
penghasilan atau memiliki penghasilan dibawah PTKP;

b.

Harta hibah sudah dilaporkan dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan
pemberi hibah.

Harta yang diungkapkan dalam Surat Pernyataan untuk Pengampunan pajak
meliputi harta yang dimiliki WP baik yang sudah dilaporkan dalam SPT
Tahunan Pajak Penghasilan maupun yang belum dilaporkan. Berikut daftar
rincian harta wajib pajak yang diungkapkan dalam surat pernyataan
pengampunan pajak :
Tabel 2.2
Daftar Rincian Harta
Kode Harta
011
012
013
014
018
Kode Harta
021

Kas Dan Setara Kas
uang tunai
tabungan
Giro
Deposito
setara kas lainnya
Piutang dan Persediaan
Piutang

17

022
023
029
Kode Harta
031
032
033
034
035
036
037
038
039
Kode Harta
041
042
043
049
Kode Harta
051
052
053
054
055
059
Kode Harta
061
062
063
069
Kode Harta
071
072
073
079

piutang dan afiliasi
persediaan usaha
piutang lainnya
Investasi
saham yang dibeli untuk dijual kembali
Saham
Obligasi perusahaan
Obligasi pemerintah Indonesia (ORI)
surat utang lainnya
Reksadana
instrumen derivatif (right,warran,kontrak berjangka,
opsi, dll)
penyertaan modal dalam perusahaan lain yang tidak
atas saham
meliputi penyertaan modal pada CV,
investasi
lainnya
Alat Transportasi
Sepeda
sepeda motor
Mobil
alat transportasi lainnya
Harta Bergerak Lainnya
Logam mulia (emas batangan, emas perhiasan,
platina
batangan,platina
perhiasan,
logam mulia
batu mulia
(intan, berlian,
batu mulialainnya)
barang-barang seni dan antik (barang-barang seni,
barang-barang
antik,lukisan,
dll)
kapal
pesiar, pesawat
terbang,guci
helikopter,jetski,
peralatan
khusus
Peralatan olahraga
elektronik,
furnitur
harta bergerak lainnya seperti kuda, hewan ternak,
dll
Harta Tidak Bergerak
tanah dan/atau bangunan untuk tempat tinggal
tanah dan/atau bangunan untuk usaha (toko, pabrik,
gudang
danlahan
sejenisnya)
tanah atau
untuk usaha (lahan pertanian,
perkebunan,
perikanan
darat dan sejenisnya)
harta tidak bergerak lainnya
Harta Tidak Berwujud
Paten
Royalti
merek dagang
harta tidak berwujud lainnya

Sumber : Kementrian Keuangan RI, 2016

2.2.3

Tarif dan Cara Perhitungan Uang Tebusan

18

1.

Tarif Uang Tebusan
Dalam UU Nomor 11 Tahun 2016 Pasal 4 tentang Pengampunan Pajak
mengatur tarif uang tebusan sebagai berikut:
a.

Tarif Uang Tebusan atas Harta yang berada didalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia atau harta yang berada di luar wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dialihkan ke dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia dan diinvestasikan didalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu paling singkat
3 (tiga) tahun terhitung sejak dialihkan, adalah sebesar:
1) 2% (dua persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan
pada bulan pertama sampai dengan akhir bulan ketiga terhitung
sejak Undang-Undang ini mulai berlaku;
2) 3% (tiga persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan
pada bulan keempat terhitung sejak Undang-Undang

ini

mulai

berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2016; dan
3) 5% (lima persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan
terhitung sejak tanggal 1 Januari 2017 sampai dengan tanggal 31
b.

Maret 2017.
Tarif Uang Tebusan atas Harta yang berada di luar wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak dialihkan ke dalam
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebesar:
1) 4% (empat
persen)
untuk
periode
penyampaian Surat
Pernyataan

pada

bulan

pertama

sampai dengan akhir bulan

ketiga terhitung sejak Undang- Undang ini mulai berlaku;
2) 6% (enam persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan
pada bulan keempat terhitung sejak Undang-Undang

ini

mulai

berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2016;
3) 10% (sepuluh persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan
terhitung sejak tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Maret
2017.

c. Tarif Uang Tebusan bagi Wajib Pajak yang peredaran usahanya
sampai dengan Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta
rupiah) pada Tahun Pajak Terakhir adalah sebesar:

19

1) 0,5%

(nol

koma

lima

persen)

bagi

Wajib

Pajak

yang

mengungkapkan nilai harta sampai dengan Rp 10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah) dalam Surat Pernyataan; atau
2) 2% (dua persen) bagi Wajib Pajak yang mengungkapkan nilai Harta
lebih dari Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dalam Surat
Pernyataan, untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada
bulan pertama sejak Undang-Undang ini mulai berlaku sampai
dengan tanggal 31 Maret 2017.
Tabel 2.3
Tarif Pengampunan Pajak
Sumber : Suharno, 2017

2.
No
1

2

3

Periode
Juli 2016 s.d 30
September 2016

Harta
didalam
negeri/
Harta
2%

Tarif Uang Tebusan
Harta yang
Wajib Pajak yang
diluar
Peredaran Usahanya
negeri yang
Sampai Dengan Rp
Nilai
Nilai
tidak
Harta Rp Harta Rp
4%
0,50%
2%

01 Oktober 2016
s.d 31 Desember
2016

3%

6%

01 Januari 2017
s.d 31 Maret 2017

5%

10%

C
a
r
a

Menghitung Uang Tebusan
Dasar pengenaan Uang Tebusan dihitung berdasarkan nilai Harta Bersih yang
belum atau belum seluruhnya dilaporkan dalam SPT PPh terakhir. Sedangkan
yang dimaksud dengan Nilai Harta Bersih adalah harta tambahan yang belum
pernah dilaporkan dalam SPT PPh terakhir dikurangi dengan utang yang
terkait dengan perolehan Harta tambahan tersebut. Kemudian besarnya Uang
Tebusan dihitung dengan cara mengalikan tarif yang sesuai dengan dasar
pengenaan Uang Tebusan.
2.2.4
1.

Tata Cara Pengampunan Pajak

Tata cara penyampaian Surat Pernyataan

20

Untuk memperoleh pengampunan pajak, wajib pajak harus menyampaikan
surat pernyataan kepada Menteri, yang ditandatangani oleh :
a. Wajib Pajak orang pribadi;
b. Pemimpin tertinggi berdasarkan akta pendirian Badan atau dokumen lain
yang dipersamakan, bagi wajib pajak Badan; atau
c. Penerima kuasa, dalam hal pemimpin tertinggi WP Badan berhalangan.
Yang dimaksud dengan “Pemimpin tertinggi” misalnya:
1) Dalam perseroan terbatas adalah Direktur Utama, Presiden Direktur,
atau yang dipersamakan dengan memperhatikan struktur organisasi
dalam akta pendirian atau dokumen lain yang yang dipersamakan;
2) Dalam Yayasan adalah Ketua Yayasan;
3) Dalam Koperasi adalah ketua koperasi. Kemudian yang dimaksud
dengan “berhalangan” adalah tidak dapat melaksanakan kewajiaban
dalam masa jabatannya.
Wajib pajak yang menyampaikan surat pernyataan harta untuk pengampunan
pajak harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. Memiliki NPWP;
b. Membayar uang tebusan;
c. Melunasi seluruh tunggakan pajak;
d. Melunasi pajak yang tidak atau kurang dibayar atau melunasi pajak yang
seharusnya tidak dikembalikan bagi wajib pajak yang sedang dilakukan
pemeriksaan bukti permulaan dan/atau penyidikan;
e. Menyampaikan SPT PPh terakhir bagi wajib pajak yang telah memiliki
kewajiban

menyampaikan

surat

pemberitahuan

tahunan

pajak

penghasilan;
f. Mencabut permohonan :
1) Pengembalian kelebihan pembayaran pajak;
2) Pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi perpajakan dalam
surat ketetapan pajak dan/atau surat tagihan pajak yang didalamnya
terdapat pokok pajak yang terutang;
3) Pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar;

21

4) Pengurangan atau pembatalan surat tagihan pajak yang tidak benar;
5) Keberatan;
6) Pembetulan atas surat ketetapan pajak dan surat keputusan;
7) Banding;
8) Gugatan; dan/atau
9) Peninjauan kembali, dalam hal wajib pajak sedang mengajukan
permohonan dan belum diterbitkan surat keputusan atau putusan.
Kemudian surat pernyataan yang disampaikan oleh wajib pajak harus
dilampiri dengan :
1) Bukti pembayaran uang tebusan berupa setoran pajak atau bukti
penerimaan negara. (Surat setoran pajak tersebut dinyatakan sah dalam
hal telah divalidasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara
(NTPN) yang diterbitkan melalui modul penerimaan negara);
2) Bukti pelunasan tunggakan pajak berupa surat setoran pajak atau bukti
penerimaan negara dan/atau surat setoran bukan pajak beserta daftar
rincian tunggakan pajak, bagi wajib pajak yang memiliki tunggakan
pajak;
3) Daftar rincian harta dengan menggunakan format sesuai contoh
sebagaimana yang tercantum dalam Lampiran huruf D Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.03/2016 beserta informasi
kepemilikan harta yang dilaporkan;
4) Daftar utang dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana
tercantum dalam Lampiran huruf D Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 118/PMK.03/2016 serta dokumen pendukung.
5) Bukti pelunasan pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak
seharusnya dikembalikan berupa;
a) Surat setoran pajak; atau
b) Bukti Penerimaan Negara,
Bagi wajib pajak yang sedang dilakukan pemeriksaan bukti
permulaan dan/atau penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan,
dengan disertai informasi tertulis dari Direktur Jenderal Pajak

22

melalui Kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan bukti permulaan atau
Kepala Unit Pelaksana Penyidikan;
6) Fotokopi SPT PPh terakhir atau salinan berupa cetakan SPT PPh
terakhir yang disampaikan secara elektronik, bagi wajib pajak yang
telah memiliki kewajiban menyampaikan surat pemberitahuan tahunan
pajak penghasilan. Sementara itu, bagi wajib pajak yang belum
menyampaikan SPT PPh terakhir, maka wajib pajak wajib terlebih
dahulu menyampaikan SPT PPh terakhir dan melampirkan SPT PPh
terakhir tersebut. Namun demikian, bagi wajib pajak yangbaru
memperoleh NPWP pada tahun 2016 dan 2017 tidak wajib
melampirkan fotokopi SPT PPh terakhir.
7) Surat Pernyataan Mencabut permohonan dan/atau pengajuan tersebut
dibuat dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana
tercantum dalam lampiran huruf E Peraturan Menteri Keuangan Nomor
118/PMK.03/2016.
g. Bagi wajib pajak yang bermaksud mengalihkan harta tambahan kedalam
wilayah NKRI, selain memenuhi persyaratan tersebut diatas, Wajib Pajak
harus :
1) Mengalihkan harta tambahan kedalam wilayah NKRI melalui Bank
persepsi dan menginvestasikan harta tambahan dimaksud di wilayah
NKRI paling singkat 3 (tiga) tahun.
a) Sebelum tanggal 31 Desember 2016, bagi wajib pajak yang
memilih menggunakan tarif uang tebusan pada periode terhitung
sejak Undang-Undang Pengampunan Pajak mulai berlaku sampai
dengan tanggal 31 Desember 2016; dan atau
b) Sebelum tanggal 31 Maret 2017, bagi wajib pajak yang memilih
menggunakan tarif uang tebusan terhitung sejak tanggal 1 januari
2017 sampai dengan tanggal 31 Maret 2017.
2) Melampirkan surat pernyataan mengalihkan dan menginvestasikan
harta tambahan kedalam wilayah NKRI dengan menggunakan format

23

sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf B
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.03/2016.
Jangka waktu 3 (tiga) tahun tersebut terhitung sejak wajib pajak
menempatkan harta tambahannya di cabang Bank Persepsi yang berada
diluar negeri tersebut. Kemudian cabang Bank Persepsi yang berada
diluar negeri harus mengalihkan harta tambahan dimaksud ke Bank
Persepsi didalam negeri paling lama pada hari kerjaberikutnya sejak harta
tambahan tersebut ditempatkan di cabang Bank Persepsi yang berada
diluar negeri.
h. Bagi wajib pajak yang mengungkapkan harta tambahan yang berada
dan/atauditempatkan diwilayah NKRI, selain memenuhi persyaratan
diatas, wajib pajak :
1) Tidak boleh mengalihkan harta tambahan ke luar wilayah NKRI
paling singkat 3 (tiga) tahun terhitung sejak diterbitkannya surat
keterangan; dan
2) Harus melampirkan surat pernyataan tidak mengalihkan harta
tambahan yang telah berada didalam wilayah NKRI ke luar wilayah
NKRI, dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana
tercantum dalam Lampiran huruf C Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 118/PMK.03/2016.
i. Bagi wajib pajak yang peredaran usahanya sampai dengan Rp
4.800.000.000 (Empat milyar delapan ratus juta rupiah) pada tahun pajak
terakhir, selain harus melampiri dokumen tersebut diatas, wajib pajak
dimaksud harus menyampaikan surat pernyataan mengenai besaran
peredaran usaha dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana
tercantum dalam lampiran huruf F Peraturan Menteri Keuangan Nomor
118/PMK.03/2016. Akan tetapi, apabila wajib pajak tersebut sudah
menyampaikan SPT PPh, SPT terakhir tersebut sebagai pengganti surat
pernyataan mengenai besaran peredaran usaha.
j. Dalam hal wajib pajak memiliki harta tidak langsung melalui Special
Purpose Vehicle (SPV), wajib pajak harus mengungkapkan kepemilikan

24

harta beserta utang yang berkaitan secara langsung dengan harta
dimaksud dalam daftar rincian harta dan utang sebagaimana tercantum
dalam Lampiran huruf D Peraturan Menteri Keuangan Nomor
118/PMK.03/2016.
k. Daftar Rincian harta dan daftar rincian utang tersebut harus disampaikan
dalam bentuk salinan digital (softcopy) dan formulir kertas (hardcopy).
Selanjutnya, penyampaian Surat Pernyataan harus memenuhi ketentuan
sebagai berikut :
1) Disampaikan dengan menggunakan format yang telah ditentukan;
2) Ditandatangani oleh;
a) Wajib pajak orang pribadi dan tidak dapat dikuasakan;
b) Pemimpin tertinggi berdasarkan akta pendirian badan atau
dokumen lain yang dipersamakan, bagi wajib pajak badan; atau
c) Penerima kuasa, dalam hal pemimpin tertinggi berhalangan.
3) Disampaikan secara langsung oleh wajib pajak atau penerima kuasa
wajib pajak ke :
a) KPP tempat wajib pajak terdaftar; atau
b) Tempat tertentu
Pengertian disampaikan secara langsung adalah wajib pajak datang
langsung ke KPP tempat wajib pajak terdafftar atau tempat tertentu.
Tempat tertentu tersebut meliputi :
a)

Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Hongkong;

b) Kedutaan Besar Republik Indonesia di Singapura;
c)

Kedutaan Besar Indonesia di London; dan

d) Tempat tertentu lainnya dalam hal diperlukan untuk menunjang
kelancaran pelaksanaan Undang-Undang Pengampunan Pajak,
seperti Bank BRI, Bank BNI, Bank Mandiri, dan lain-lain.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 658/KMK.03/2016,
terhitung mulai tanggal 19 Agustus 2016 s.d 31 Maret 2017 setiap
wajib pajak dapat menyampaikan surat pernyataan di Kantor Pusat

25

Direktorat Jenderal Pajak atau Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Pajak diseluruh Indonesia.
4) Dilampiri surat kuasa dalam hal :
a) Surat pernyataan ditandatangani oleh penerima kuasa;
b) Wajib pajak tidak dapat menyampaikan secara langsung surat
pernyataan.
Surat Kuasa tersebut harus sesuai dengan ketentuan sebagaimana
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
5) Disampaikan

dalam

jangka

waktu

sejak

Undang-Undang

Pengampunan Pajak berlaku sampai dengan tanggal 31 Maret 2017.
Sebelum menyampaikan surat pernyataan dan lampirannya, wajib pajak
meminta penjelasan mengenai pengisian dan pemenuhan kelengkapan
besar dokumen yang harus dilampirkan dalam surat pernyataan ke KPP
tempat wajib pajak terdaftar dan tempat tertentu. Sementara itu, setelah
surat pernyataan dan lampirannya disampaikan, pegawai pada KPP tempat
wajib pajak terdaftar atau pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang ditunjuk
oleh Direktur Jenderal Pajak di tempat tertentu memastikan mengenai:
a) Kelengkapan pengisian surat pernyataan;
b) Kelengkapan lampiran surat pernyataan;
c) Kesesuaian pengisian surat pernyataan dengan lampiran surat
pernyataan;
d) Kesesuain antara harta yang dilaporkan dengan informasi kepemilikan
harta yag dilaporkan;
e) Kesesuaian antara daftar utang yang dilaporkan dengan dokumen
pendukung;
f) Kesesuaian antara bukti pelunasan tunggakan pajak dengan daftar
rincian tunggakan pajak pada administrasi Direktorat Jenderal Pajak;
g) Kesesuaian penggunaan tarif uang tebusan;
h) Penghitungan dan pelunasan uang tebusan; dan
i) Kesesuaian antara bukti pelunasan utang pajak bagi wajib pajak yang
sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan dan/atau penyidikan

26

tindak pidana di bidang perpajakan dengan informasi tertulis yang
diterbitkan oleh Kepala Unit Pelaksana pemeriksaan bukti permulaan
atau Kepala unit pelaksana penyidikan.
2. Ketentuan lebih lanjut tentang pembayaran uang tebusan
Uang tebusan harus dibayar lunas ke kas negara melalui Bank Persepsi, dengan
mengunakan kode akun pajak 411129 dan kode jenis setoran 512, yang oleh
KPP diadministrasikan sebagai pajak pengahasilan non migas lainnya.
Pembayaran uang tebusan tersebut mengggunakan surat setoran pajak dan/atau
bukti penerimaan negara yang berfungsi sebagai bukti pembayaran uang
tebusan setelah mendapatkan validasi. Surat setoran pajak dan/atau bukti
penerimaan negara dinyatakan sah dalam hal telah divalidasi dengan nomor
transaksi penerimaan negara yang diterbitkan melalui modul penerimaan
negara. Dalam hal terjadi kesalahan penulisan kode akun pajak dan/atau kode
jenis setoran pada surat setoran pajak atau bukti penerimaan negara, Direktur
Jenderal Pajak atas permintaan wajib pajak melakukan pemindahbukuan ke
kode akun pajak dan kode jenis setoran sebagaimana disebutkan diatas.
Dalam hal terdapat kelebihan pembayaran uang tebusan yang disebabkan oleh :
a. Diterbitkannya surat pembetulan karena kesalahan hitung; atau
b. Disampaikannya surat pernyataan kedua atau ketiga. Atas kelebihan
dimaksud harus dikembalikan dan/atau diperhitungkan dengan kewajiban
perpajkan lainnya dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung
sejak diterbitkannya surat pembetulan atau disampaikannya surat pernyataan
kedua atau ketiga dimaksud, sampai dengan diterbitkannya surat keputusan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
Terhadap kelebihan pembayaran uang tebusan tersebut Direktur Jenderal pajak
meneliti secara jabatan tehadap kebenaran kelebihan pembayaran uang
tersebut. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, Direktur Jenderal
Pajak mengembalikan kelebihan pembayaran uang tebusan dalam hal :
a. Uang tebusan yang seharusnya tidak terutang telah dibayar ke kas negara;
b. Uang tebusan yang seharusnya tidak terutang telah dibayar tersebut, tidak
diperhitungkan dalam surat pernyataan berikutnya; dan

27

c. Uang tebusan yang seharusnya tidak terutang telah dibayar tersebut, tidak
diperhitungkan dalam surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan.
Penelitaian tersebut dituangkan dalam laporan hasil penelitian. Terhadap
laporan hasil penelitian yang terdapat kelebihan pembayaran uang tebusan
yang seharusnya tidak terutang, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat
ketetapan pajak lebih bayar dalam jangka waktu paling lama 2 bulan terhitung
sejak diterbitkannya surat pembetulan atau disampaikannya surat pernyataan
kedua atau ketiga dimaksud.
Pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang atas surat ketetapan pajak
lebih bayar tersebut dilakukan dalam jangka waktu paling lama 1 bulan
terhitung sejak diterbitkannya surat ketetapan pajak lebih bayar sampai dengan
diterbitkannya surat keputusan pengembalian kelebihan pembayaran pajak
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dibidang perpajakan
yang mengatur mengenai tata cara penghitungan dan pengembalian kelebihan
pembayaran pajak.
3. Ketentuan lebih lanjut terkait pelunasan tunggakan
Tunggakan Pajak yang harus dilunasi oleh Wajib Pajak merupakan Tunggakan
Pajak berdasarkan Surat Tagihan Pajak, surat ketetapan pajak, surat keputusan,
atau putusan, yang diterbitkan sebelum Wajib Pajak menyampaikan Surat
Pernyataan Terhadap Tunggakan Pajak yang harus dilunasi berlaku ketentuan
sebagai berikut:
a. Tunggakan Pajak termasuk biaya penagihan pajak yang timbul sehubungan
dengan adanya tindakan penagihan pajak kepada Wajib Pajak;
b. Dalam hal Tunggakan Pajak telah dibayar sebagian, perhitungan besarnya
Tunggakan Pajak dihitung secara proporsional antara besarnya pokok pajak
dengan sanksi administrasi berdasarkan data yang terdapat dalam sistem
administrasi Direktorat Jenderal Pajak;
c. Dalam hal data yang terdapat dalam sistem administrasi Direktorat Jendral
Pajak tidak memuat secara rinci perhitungan besarnya sanksi administrasi,
besarnya sanksi administrasi dihitung sebesar 48% dari jumlah yang masih
harus dibayar dalam surat Tagihan Pajak atau surat ketetapan pajak.

28

Cara penghitungan besarnya Tunggakan Pajak yang dilakukan secara
proporsional antara besarnya pokok pajak dan sanksi administrasi, yaitu :
Contoh 1
Dalam hal Wajib Pajak badan mempunyai utang pajak yang tercantum dalam
Surat Ketetapan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2013 dengan jumlah pokok
pajak sebesar Rp 10.000.000.000,00 dan sanksi administrasi berupa bunga
sebesar Rp 2.400.000.000,00 dan Wajib Pajak telah melakukan pembayaran
secara bertahap sebesar Rp 6.200.000.000,00, cara penghitungan besarnya
Tunggakan Pajak yang harus dilunasi oleh Wajib Pajak adalah :
Rp10.000.000.00
0

-

(Rp6.200.000.000 x 10.000.000.000)
12.400.000.000

=

Rp5.000.000.000

Contoh 2
Dalam hal Wajib Pajak berstatus pengusaha kena pajak mempunyai utang pajak
yang tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak Pajak Pertambahan Nilai barang
dan jasa Masa Pajak Desember 2014 dengan jumlah pokok pajak sebesar Rp
1.000.000.000,00 dan sanksi administrasi berupa bunga sebesar Rp
120.000.000,00 serta kenaikan sebesar Rp280.000.000,00 dan Wajib Pajak
telah melakukan pembayaran secara bertahap sebesar Rp.350.000.000,00, cara
penghitungan besarnya Tunggakan Pajak yang harus dilunasi oleh Wajib Pajak
adalah sebagai berikut:
a. Penghitungan besarnya pokok pajak
Rp10.000.000.00
0

-

100%
148%

=

Rp675.675.766

=

Rp5.000.000.000

=

Rp5.000.000.000

b. Penghitungan besarnya sanksi administrasi
Rp10.000.000.00
0

-

48%
148%

=

Rp324.324.324

c. Penghitungan besarnya Tunggakan Pajak yang telah harus dilunasi
Rp675.675.766 -

Contoh 3

(Rp500.000.000 x Rp675.675.766)
Rp1.000.000.000

=

Rp 337.837.838

29

Dalam hal berstatus Pengusaha Kena Pajak mempunyai utang pajak yang
tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak Pajak Pertambahan Nilai barang dan
jasa Masa Pajak Januari 2010 menganai rincian besarnya pokok pajak serta
sanksi admnistrasi dan Wajib Pajak telah melakukan pembayaran sacara
bertahap sebesar Rp1.000.000.000,00, cara penghitungan besarnya Tunggakan
Pajak yang harus dilunasi oelh Wajib Pajak adalah sebagai berikut:
a. Penghitungan besarnya pokok pajak
Rp2.500.000.00
0

-

100%
148%

=

Rp 1.689.189.190

b. Penghitungan besarnya sanksi administrasi
Rp2.500.000.00
0

-

48%
148%

=

Rp 810.810.811

c. Penghitunga besarnya Tunggakan Pajak yang harus dilunasi
Rp1.689.189.190 -

(Rp1.000.000.000 x Rp1.689.189.190)
Rp2.500.000.000

=

Rp 1.013.513.514

4. Ketentuan lebih lanjut terkait pajak yang tidak atau kurang dibayar atau tidak
seharusnya dikembalikan
Untuk mengetahui jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar atau tidak
seharusnya dikembalikan yang harus dilunasi oleh Wajib Pajak yang sedang
dilakukan pemeriksaan bukti permulaan dan/atau penyidikan Tindak Pidana di
Bidang Perpajakan, sebelum menyampaikan Surat Pernyataan Wajib Pajak
harus meminta informasi secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak melalui
kepala unit pelaksana pemeriksaan bukti permulaan atau penyidikan Tindak
Pidana di Bidang Perpajakan, dengan menggunakan format sesuai contoh
sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf H Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 118/PMK.03/2016.
Kepala unit pemeriksaan bukti permulaan atau penyidikan Tindak Pidana di
Bidang Perpajakan menugaskan pemeriksa bukti permulaan atau penyidik
untuk melakukan penghitungan tersebut, pemeriksa bukti permulaan atau
penyidik dapat meminta pendapat ahli. Atas permintaan informasi tersebut
berlaku ketentuan sebagai berikut :

30

a. Untuk penghitunga jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar atau tidak
seharusnya dikembalikan yang dilakukan tanpa meminta pendapat ahli,
kepala unit pelaksana pemeriksaan bukti permulaan atau penyidikan Tindak
Pidana di Bidang Perpajakan memberikan informasi tertulis menganai
jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar atau tidak seharusnya
dikembalikan paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak permintaan
informasi diterima;
b. Dalam penghitungan tersebut dilakukan dengan meminta pendapat ahli,
kepala unit pelaksana pemeriksaan bukti permulaan atau penyidikan Tindak
Pidana di Bidang Perpajaka