Terorisme Agama dan Problem Pemahaman

Terorisme Agama dan Problem Pemahaman
FAJAR KURNIANTO
Sabtu malam (1/10), Bali diguncang bom berkekuatan lumayan besar. Dugaan sementara
pihak berwajib menyatakan bahwa bom yang meledak di Jimbaran dan Kuta Square dan menelan
25 orang lebih korban tewas serta 200-an lebih korban luka-luka, dilakukan dengan cara bunuh
diri. Jumlahnya diperkirakan ada 3 orang.
Simpatipun terus mengalir dari berbagai pihak, baik dari dalam negeri maupun luar
negeri. Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid, menyebut pelaku pengeboman yang mengorbankan
orang-orang tak berdosa itu sebagai ateis (tidak percaya adanya Tuhan). Ia menolak jika pelaku
dikaitkan dengan umat Islam. Sebab, katanya, Islam tidak mengajarkan pembunuhan dengan cara
keji.
Di tempat lain, mantan Ketua PP Muhammadiyah, Ahmad Syafii Maarif, menyatakan
bahwa pengeboman tersebut merupakan perbuatan maha biadab. Hal itu tidak mungkin
dilakukan oleh orang-orang yang beragama. Sebab, lanjutnya, agama melarang tindakan tidak
berperikemanusiaan tersebut.
Sementara itu, dari luar negeri, beberapa kepala pemerintahan menyatakan hal senada.
Organisasi Konferensi Islam (OKI) mengutuk ledakan itu dan menyebut s sebagai tindakan
teroris yang berlawanan dan menodai nilai-nilai dan ajaran Islam. Di tempat lain, Sekretaris
Jendral (Sekjen) PBB, Kofi Annan, menyatakan bahwa serangan itu merupakan tindakan
pengecut.
Apa pun itu, yang pasti, peristiwa ini merupakan peristiwa yang ke sekian kalinya terjadi

dan menggambarkan betapa terorisme telah menjadi momok yang sangat fenomenal, tidak hanya
di dalam negeri ini tapi juga di segala penjuru muka bumi. Terorisme bisa dilakukan oleh siapa
pun, di manapun, dan kapanpun. Dengan berbagai macam dalih dan alasan, yang tentunya,
diyakini oleh pelakunya sebagai tindakan ‘mulia’ dan akan dibalas dengan ‘kemuliaan’ pula
nantinya.
Dari sini muncul tudingan, meskipun masih dalam tahap dugaan, bahwa pelaku
pengeboman di Bali itu, sama dengan di tempat-tempat lain, diilhami oleh motif keagamaan.
Dengan kata lain, agama telah menginspirasi seseorang untuk melakukan tindakan demikian.

Tetapi, benarkah agama sejatinya memberikan ‘peluang’ bagi para pemeluknya untuk bertindak
sedemikian kejamnya? Hal yang disangkal justru oleh tokoh-tokoh agamawan?
Islam dan tudingan
Peristiwa paling fenomenal menghebohkan dunia yang mengawali milenium baru ini
adalah tragedi mengerikan yang menewaskan ribuan orang tak berdosa dalam serangan
sekelompok orang yang kemudian diklaim sebagai para teroris ke menara gedung kembar World
Trade Center (WTC) dan Pentagon di Amerika Serikat, 11 September 2001 lalu.
Peristiwa ini selain mengawali abad baru sejarah umat manusia dalam kepiluan, juga
telah memberikan dampak yang luar biasa bagi persoalan agama, terutama Islam, pasca peristiwa
itu. Hal ini dimungkinkan oleh sebab pengakuan sebagian kelompok yang mengatasnamakan
Islam (Osama bin Laden dan para pengikutnya) yang terang-terangan mengaku bahwa mereka

terlibat dalam peristiwa itu.
Beberapa hari setelah peristiwa itu, tepatnya 20 September, di hadapan Kongres dan
masyarakat Amerika, Presiden AS, George W. Bush menyatakan dengan sangat tegas, “Para
teroris mempraktikkan suatu bentuk eksteremisme Islam yang telah ditolak oleh sarjana-sarjana
Muslim dan mayoritas ulama Muslim—suatu gerakan pinggiran yang menyelewengkan ajaran
kedamaian.” (Robert Spencer, Islam Unveiled: Disturbing Questions about The World’s FastestGrowing Faith, 2002).
Spencer mengutip beberapa kalangan agamawan Muslim terkemuka, seperti Syeikh Saleh
al-Lehaydan, ketua Mahkamah Islam di Arab Saudi, “Membunuh seseorang yang tidak
melakukan perbuatan kriminal tergolong dosa besar dan kejahatan yang buruk sekali. Apa yang
terjadi di Amerika adalah…tidak diragukan lagi perbuatan kriminal yang jelas tidak direstui
Islam dan tak seorangpun menyambutnya.”
Syeikh Salih al-Suhaymi dalam salah satu fatwanya juga menegaskan, “Kaum Muslimin
dilarang membunuh perempuan, anak-anak, orang tua, walaupun pada kenyataannya orang-orang
yang terbunuh itu diasosiasikan terlibat dalam peperangan melawan kaum Muslim.”
Pernyataan beberapa pakar Muslim itu seakan-akan menyiratkan adanya problem serius
yang sedang dihadapi oleh Islam. Selain Islam yang sudah kadung dicap sebagai pelaku utama
terorisme (ekstremisme Islam), lebih jauh lagi, Islam telah tercoreng sebagai agama yang anti
damai, dan suka dengan segala macam tindak terorisme.

Atau, setidaknya, pandangan-pandangan sebagian tokoh Muslim yang mengatasnamakan

Islam sebagai agama damai dengan kalangan yang justru terlihat sumringah dengan apa yang
menimpa WTC dan Pentagon.
Islam hingga saat ini, memang sedang menjadi bahan ‘gunjingan’ sekaligus menimbulkan
rasa penasaran bagi sebagian kalangan. Pasca 11 September, misalnya, setidaknya telah
membentuk tiga kelompok masyarakat besar yang menanggapi Islam dalam versi yang berbeda.
Pertama, mereka yang merasa sinis dengan Islam, kemudian selalu mengasosiasikan
Islam sebagai agama yang mengajarkan kekerasan kepada umatnya. Islam diidentikkan dengan
teroris. Kedua, mereka yang mencoba moderat dan mendudukkan persoalan pada tempatnya, lalu
melihat secara jernih akar-akar persoalan sesungguhnya yang sedang terjadi.
Kalangan masyarakat ini secara simultan melakukan pelbagai pengkajian dan penelitian
tentang Islam langsung ke jantung atau sumber otentik yang umat Islam pegangi (Alquran dan
hadis). Ketiga, masyarakat yang merespon secara emosional, namun tersirat sikap apologetisme.
Mereka menyatakan bahwa Islam adalah agama penebar kedamaian di manapun dan kapanpun.
Namun, mereka tidak mampu menjelaskan secara konkret ketidakterkaitan Islam dengan
terorisme tersebut.
Memahami kembali Islam
Hemat penulis, selain masalah ekstern yang dihadapi umat Islam, ada pula masalah intern
di dalam tubuh umat Islam yang mesti dipahami, yaitu soal penafsiran atau pemahaman terhadap
ajarannya. Pemahaman yang terbuka (inklusif) terhadap Islam akan makin membuka jantung
Islam sebagai ajaran yang tidak saja toleran, namun selalu mengangkat persoalan manusia dan

kemanusiaan setinggi-tingginya. Memahami Islam dengan terbuka, berarti akan membuka
terhadap proses dialogis yang lebih hangat.
Islam sesungguhnya adalah ajaran damai yang tidak memberikan restu terhadap tindak
kekerasan. Islam sama dengan agama-agama lain yang mengangkat norma kasih sayang sebagai
jantungnya. Seraya mengubur dalam-dalam segala macam kekerasan yang ditimbulkan oleh bias
pemahaman yang keliru.
Sebaliknya, Islam yang dipahami secara tertutup (eksklusif) hanya akan melahirkan
kekerasan atas nama tuhan. Islam dipandang sebagai ajaran satu-satunya yang paling benar.

Akhirnya, Islam menjadi superior. Superioritas ini lalu melahirkan satu pola pemahaman bahwa
hanya ada satu kebenaran yang mesti diikuti yaitu Islam.
Akan lebih parah lagi, jika ternyata, Islam ditafsirkan secara literal, tekstual, apa adanya,
tanpa mau melihat konteksnya. Pemahaman seperti ini tidak saja memberikan nilai negatif bagi
Islam, tapi lebih jauh akan dapat menyeret umat pada satu titik di mana Islam menjadi agama
terpinggirkan dan selalu menjadi sasaran tembak isu-isu terorisme yang berkembang. Satu
pemahaman yang mesti dihindari oleh umat Islam.
Peristiwa bom di Bali sudah semestinya semakin menyadarkan kita semua untuk kembali
mempola satu bentuk pemahaman yang benar terhadap ajaran agama masing-masing. Tepat,
seperti yang diungkap oleh beberapa kalangan, agama tidak mengajarkan tindakan terorisme
dalam bentuk apa pun. Karena, itu justru semakin berdampak buruk bagi umat manusia.

*Artikel ini dimuat di koran Duta Masyarakat, Jumat 14 Oktober 2005