Modernisasi dan Bantuan Luar Negeri Sbg

MODERNISASI DAN BANTUAN LUAR NEGERI SEBAGAI KEBIJAKAN LUAR
NEGERI AMERIKA SERIKAT: STUDI KASUS PEMERINTAHAN SUHARTO DI
INDONESIA 1966-1970

Disusun sebagai salah satu syarat untuk memenuhi tugas akhir
mata kuliah Kebijakan Luar Negeri dan Keamanan Amerika Serikat

Oleh
Hendra Saktiono
NPM 0806317211

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS INDONESIA
2012
1

BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Bila melihat jauh ke belakang sebelum rezim Orde Baru terbentuk, yakni pada tahun
1963 ketika Indonesia berhasil mendapatkan Irian Barat, banyak rakyat ketika itu berharap

pemerintahan Sukarno dapat memperhatikan kondisi ekonomi yang semakin berat. 1
Pemerintah Sukarno pada akhirnya memang berbuat sesuatu untuk sementara. Pada 28 Maret
1963, dikumandangkan sebuah kebijakasanaan ekonomi dalam pidato Presiden Sukarno yang
diberi nama ’Dekon’ (Deklarasi Ekonomi).2 Dekon direncanakan sebagai awal suatu
kebijaksanaan ekonomi yang lebih realistis di mana tidak terlalu banyak lagi peraturan yang
dipaksakan di dalam perdagangan, dan lebih ditegakkannya disiplin bagi pengeluaran
pemerintah.3 Sesudah Dekon, presiden Sukarno semakin menguasai panggung politik
Indonesia dengan melancarkan konfrontasi dengan Malaysia, dengan menciptakan musuh
bersama guna menyatukan tokoh-tokoh politik di panggung Indonesia dan berimbas buruk
dengan tidak terurusnya ekonomi. Di antaranya adalah masalah hutang luar negeri, di mana
Demokrasi Terpimpin menciptakan hutang luar negeri yang berjumlah US$ 2.358 juta.
Hampir 42 persen kepada Uni Soviet; hampir 10 persen kepada Jepang dan 7,5 persen kepada
Amerika Serikat. Pembayaran kembali hutang-hutang tersebut dijadwalkan selama tujuh
tahun mulai 1966. Selain itu, Indonesia masih harus membayar konpensasi untuk perusahaanperusahaan asing yang dinasionalisasikan. Akhirnya, sementara Indonesia harus membayar
kembali US$ 530 juta hutang luar negerinya yang jatuh tempo pada tahun 1966 serta
membiayai impor bahan pangan, tekstil, mesin dan suku cadang yang berjumlah lebih dari
US$ 600 juta, jumlah total devisa yang diperoleh pada tahun itu diperkirakan hanya US$ 714
juta.4 Suatu peristiwa penting pemberontakan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi
titik tolak mulai berangsur-angsurnya berpindah kekuasaan dari Sukarno kepada Suharto.5
1 Mohtar Mas’oed, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971 (Jakarta: LP3ES,1989), hal. 46.

2 Deklarasi Ekonomi yakni Pidato Presiden Sukarno di Istana Negara Jakarta pada tanggal 28 Maret 1963.
Pidato ini menekankan pada disiplin anggaran dan rencana perkreditan untuk program stabilisasi harga-harga.
Peningkatan produksi dicapai melalui program rehabilitasi, decontrol, desentralisasi, debirokrasi, dan derebulasi.
Prinsip dan hukum ekonomi wajib diperhatikan sedangkan peranan dalam tingkat harga akan dikembalikan
sebagai insentif ekonomi. Peranan dan partisipasi swasta dalam kegiatan ekonomi akan dirangsang, modal asing
atas dasar production sharing tidak dilarang sedangkan kredit dan bantuan luar negeri akan digunakan untuk
menambah keperluan investasi dalam negeri. Ciri sosialisme tercermin dari posisi sentral perusahaanperusahaan negara sebagai sumber terpenting dalam mengumpulkan modal guna pertumbuhan selanjutnya.
3 Sjahrir, Ekonomi Politik Kebutuhan Pokok: Sebuah Tinjauan Prospektif (Jakarta:LP3ES, 1986), hal. 89.
4 Mohtar, Op. Cit. hal. 49.
5 Untuk analisis mengenai Gerakan September Tiga Puluh (Gestapu) dapat dilihat dalam “A Preliminary
Analysis of the October 1, 1965, Coup In Indonesia) oleh Benedict Anderson dan Ruth T.Mc Vey (dengan
asistensi oleh Frederick P. Bunnell)

2

Kondisi pada masa Sukarno diperparah dengan inflasi yang sangat tinggi di mana semenjak
tahun 1961 tidak bisa diatasi dengan efektif. Lalu pada 13 Desember 1965 dengan
diumumkannya dan mulai berlakunya Penetapan Presiden No. 27 tahun 1965 tentang
pengeluaran uang rupiah baru yang berlaku sebagai alat pembayaran yang sah bagi seluruh
wilayah Republik Indonesia dan penarikan uang rupiah lama dari peredaran. Penetapan

Presiden ini semua dimaksudkan untuk mengatasi kesukaran pemerintah yang mengalami
kekurangan uang tunai. Untik itu mulai diedarkan uang rupiah baru dengan nilai
perbandingan Rp 1,00 uang baru sama dengan Rp 1.000,00 uang lama.6 Pada dasarnya,
pengualaran uang baru ini sebenarnya tidak akan mengguncangkan ekonomi secara besar,
tetapi karena penukaran uang lama dengan uang baru diberi batas waktu yang terlalu singkat,
dibebani pula oleh iuran revolusi 10%, maka efek terhadap tindakan tersebut pada
masyarakat adalah ”pengguntingan uang”. Keadaan itu diperparah dengan tindakan
pemerintah untuk menaikkan tarif-tarif kereta api, listrik pos, telegram, dan juga harga bensin
yang dinaikkan dalam waktu dua bulan dari harga Rp 4,00 (lama) menjadi Rp 1.000,00
(baru). Naiknya tetesan harga tetesan bensin itu menjadi tetesan terakhir dari meluapnya
kegelisahan masyarakat yang berpuncak pada tanggal 10 Januari 1966, dimotori oleh
mahasiswa dari Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI).7
Tindakan pemerintah tersebut dikritik oleh ekonom-ekonom dari Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia (FE UI) dalam Pekan Ceramah dan Seminar Soal-Soal Ekonomi dan
Keuangan yang berlangsung pada tanggal 10-20 Januari 1966 di FE UI. Oleh Widjojo
Nitisastro yang paling pedas misalnya, ia mengkritik tindakan pemerintah tersebut seperti
mengambil tindakan-tindakan yang drastis dalam musim yang paceklik dalam hal menaikkan
harga bensin, minyak tanah dan lain-lain beserta dengan tarif-tarif dengan drastis pada musim
paceklik. Widjiojo melanjutkan bahwa tindakan-tindakan tersebut dengan sendirinya
menimbulkan perasaaan kesal khususnya bagi para pegawai di mana tindakan pemerintah

tersebut meniadakan arti dari maksud pemerintah untuk menaikkan gaji. 8 Gaji belum
dinaikkan, harga-harga sudah meningkat beberapa kali. Mengenai kebijaksanaan penggantian
uang, Widjojo berpendapat bahwa tindakan tersebut sebenarnya untuk menghindari efek yang
spektakuler dari inflasi namun justru menimbulkan dampak yang spektakuler pula. Ia
mengibaratkan seperti membunuh lalat dengan menggunakan meriam. Intinya adalah bahwa
kebijaksanaan pemerintah tersebut sebenarnya sungguh sangat tidak bijaksana. Dalam
6 KAMI, Jalur Baru Sesudah Runtuhnya Ekonomi Terpimpin (The Leader, the Man, and the Gun),
(Jakarta:Sinar Harapan, 1984), hal. 72-73.
7 Ibid, hal. 73.
8 Ibid, hal. 147.

3

kesempatan lain pun Widjojo mengungkapkan bahwa selama periode demokrasi terpimpin,
masalah ekonomi seringkali dipinggirkan oleh masalah yang sepele, dan masalah ekonomi
seringkali diselesaikan dengan jargon-jargon dan slogan-slogan.9
Setelah Orde Lama berakhir dan digantikan Orde Baru pada tahun 1966 kondisi
berubah secara signifikan, Suharto mengambil jalan lain yakni menjadikan ekonomi sebagai
panglima. Hal inilah yang membuat Amerika Serikat menjadi senang dan tidak khawatir,
karena Suharto relatif anti-komunis. Hal ini bisa ditangkap dari Dubes A.S. yakni Marshall

Green yang bertemu dengan Suharto pada tanggal 26 Mei 1966, dikatakan Green bahwa
Suharto cukup khawatir dengan situasi konflik di Vietnam dan juga Suharto menganggap
Cina sebagai musuh dan bukan kawan seperti era di mana Presiden Sukarno memerintah. 10
Pada saat yang sama Suharto juga meminta bantuan dari Amerika, khususnya bantuan militer,
seperti misalnya adalah kapal pengangkut tank atau LST. 11 Kebijakan Amerika pada masa
Orde Baru ini merupakan titik balik dari kebijakan pada masa pemerintahan Sukarno yang
diliputi dengan rasa curiga, cemas dan cenderung hati-hati. Terbitnya para cendekiawancendekiawan yang pernah belajar di Amerika akan turut pula dibahas dalam tulisan ini yang
mengaitkannya dengan kebijakan luar negeri Amerika Serikat.

9 Simposium Universitas Indonesia, Kebangkitan Semangat ’66: Mendjeladjah Tracee Baru, (Jakarta, 1966),
hal.1.
10 Baskara T. Wardaya, Membongkar Supersemar: Dari CIA Sampai Kudeta Merangkak Melawan Bung Karno,
(Yogyakarta: Galangpress,2009), hal. 173.
11 Ibid. hal. 173-174

4

I.2 Perumusan Masalah
Masalah yang dibahas dalam tulisan ini adalah ”Bagaimana kebijakan Amerika
Serikat terhadap pemerintahan Suharto di Indonesia melalui modernisasi dan bantuan

luar negeri pada tahun 1966-1970?”.
I.3

Pendekatan : Pendekatan Sejarah Ekonomi menurut Douglas C. North
Secara garis besar, sejarah ekonomi , mempunyai perhatian mengenai kegiatan

ekonomi di masa yang lampau. Masalah-masalah yang ada hubungannya dengan sseorang
sejarawan ekonomi luasnya sama dengan minatnya terhadap pertumbuhan., kemandekan atau
merosotnya ekonomi; kemakmuran kelompok-kelompok individual dalam ekonomi senada
dengan arah perubahan ekonomi dan kegiatannya.12 Untuk masalah yang terakhir ini perlu
memusatkan kepada struktur masyarakat. Akibatnya sejarah ekonomi sering menumpahkan
perhatiannya kepada perpaduan bidang-bidang sejarah sosial dan sejarah politk. Meskipun
demikian, masalah besar dari sejarah ekonomi menitikberatkan kepada dua kategori: (1)
keseluruhan pertumbuhan ekonomi sepanjang waktu dan faktor-faktor yang menentukan
pertumbuhan itu (atau bisa pula kemandekan/kemerosotan), dan (2) distribusi pendapatan
dalam ekonomi tersebut bagi arah pertumbuhan atau kemunduran. Perhatian selanjutnya,
meliputi seluruh bidang yang menyangkut masalah kemakmuran dari pelbagai kelompok
dalam masyarakat selama terjadinya perubahan ekonomi pada masa lampau.
Perbedaan sifat sejarah ekonomi dibandingkan dengan disiplin ekonomi sendiri
adalah bahwa sejarah ekonomi terutama memperhatikan masalah-masalah masa lampau

daripada masa kini. Hal ini tentu berbeda dari penelitian sejarah pada umumnya yang tidak
hanya dengan perhatian khusus terhadap aspek ekonomi masyarakat masa lampau, melainkan
juga dengan melakukan pendekatan terhadap kerangka teori yang sistematis sebagai suatu
sumber generalisasi serta dengan penggunaan metode kuantitatif sistematis yang sepadan
dengan bukti-bukti yang terkumpul. Penggunaan jenis-jenis disiplin tersebut di atas untuk
membedakan sejarah ekonomi dari penelitian sejarah pada umumnya, mengakibatkan
perubahan dalam disiplin tersebut pada masa-masa terakhir ini. Kerangka teori yang
digunakan dalam sejarah ekonomi adalah ekonomi itu sendiri. Kerangka ekonomi ini telah
dikenal dua abad yang lalu dalam arah yang terus-menerus berubah antara perkembangan
generalisasi dan pengujian mereka terhadap bukti empiris yang memberikan model-model
dasar

tertentu pada tingkah laku ekonomi.13 Pengujian keterangan-keterangan di dalam

12 Douglas C. North,dalam Ilmu Sejarah dan Historiografi: Arah dan Perspektif Taufik Abdullah (ed) (Jakarta: Gramedia,
1985), hal. 171.
13 Ibid, hal. 175.

5


sejarah ekonomi dapat dilakukan dengan beberapa bentuk. Dalam hal ini termasuk kepada
pengujian: (1) kebenaran empiris dari latar belakang kondisi; (2) bentuk-bentuk ketetapanketetapan logika; (3) kebenaran empiris dari kegunaan yang berhubungan dengan latar
belakang kondisi menuju kesimpulan-kesimpulan. Penegasan utama di mana untuk
memberikan keterangan tergantung kepada hal-hal yang memerlukan pertimbangan dan
adanya data. Dengan demikian, suatu keterangan tentang sebab musabab ketidakpuasan
misalnya dalam kasus di Amerika mengenai kaum petani pada akhir abad kesembilan belas di
Amerika Serikat yang menyatakan bahwa sumber-sumber ketidakpuasan ini adalah jatuhnya
harga hasil pertanian yang lebih cepat dari harga-harga barang-barang lain, dapat dibantah
dengan adanya data-data empiris bahwa harga hasil pertanian jatuhnya tidak lebih cepat
dibandingkan harga-harga lainnya. Suatu hipotesa yang mempertahankan bahwa perbudakan
akan jatuh di bawah bebannya sendiri tanpa suatu perang saudara berdasarkan kemungkinankemungkinan ekonomi perbudakan sebagai suatu institusi. Hal ini dapat dibantah dengan
hipotesa lain, apabila dalam pengujian yang demikian menunjukkan bahwa perbudakan
merupakan institusi yang menguntungkan. Analisis sejarah ekonom juga dapat melakukan
pengujian bantahan terhadap berbagai dalil. Dengan demikian argumentasi misalnya jalan
kereta api tidak memberi pembebasan bagi perkembangan ekonomi Amerika Serikat pada
abad kesembilan belas dapat dibantah dengan pengujian dalil sanggahan yang berdasakan,
bahwa biaya pemindahan barang dengan transportasi yang baik tidak akan lebih tinggi
daripada biaya pemindahan barang-barang melalui jalan kereta api. Pengujian semacam ini
melibatkan penentuan fungsi penyediaan jalan kereta api dan pelayanan transportasi tidak
dengan melalui kereta api.14 Dalam kasus tulisan ini akan melihat bagaimana bantuan luar

negeri dan investasi belum bisa memberikan pembebasan ekonomi kepada Indonesia yang
baru merdeka, malah makin membelenggu ekonomi Indonesia bukan hanya pada beban
ekonomi saja namun juga politik.

BAB II
PEMBAHASAN
14 Ibid, hal 176.

6

II.1 Sebuah Permulaan
Pada masa Orde Baru inilah diangkat para teknokrat-teknokrat yang
kebanyakan adalah para ekonom lulusan Amerika seperti misalnya Widjojo Nitisastro, Ali
Wardhana dan sebagainya, mendapatkan posisi kunci dalam kabinet Suharto dengan
menerapkan suatu standar hasil didikan universitas di Amerika pada bidang ekonomi
pembangunan.15 Para ekonom inilah yang menawarkan ”resep masakan” terhadap
pemerintahan Orde Baru, sehingga oleh pemerintah Orde Baru diambil bukan hanya ”resep
masakannya” tetapi juga para ”koki”nya. Para professor ekonomi ini kemudian mengajar di
SESKOAD dan memasukkan pandangan ekonomi pembangunan dalam kurikulumnya
sehingga menjadi doktrin baru bagi tentara. 16 Karena pendidikan dari Amerika yang diterima

oleh para ekonom-ekonom ini kemudian mendekatkan mereka pada negara di mana mereka
menempuh pendidikannya. Dengan ilmu ekonomi modern yang diterima oleh mereka ini,
maka mereka menjadi modernisator dalam ekonomi Indonesia yang mengalami krisis yang
pada akhirnya masuk tahap rehabilitasi dan stabilisasi pada tahun 1966 sampai ahun 1973
(Orde Lama mewarisi inflasi 650 persen untuk Orde Baru).
Negara luar yang dipercaya untuk pembangunan ekonomi adalah Amerika Serikat
terbukti pada bulan Juni 1966, Menteri Luar Negeri Adam Malik mengirim surat kepada
Presiden Amerika Serikat, yakni Lyndon B. Johnson guna meminta bantuan kepada Amerika
Serikat. Sementara itu, Sultan Hamengku Buwono IX mengirim surat serupa kepada wakil
presiden AS Hubert Humprey. Melalui surat itu, ia mengungkapkan keinginannya untuk
memperbaiki hubungan antara Indonesia dan Amerika Serikat. Pokok operasional bantuan
Amerika Serikat adalah:
1. Bantuan darurat lebih lanjut
2. Penjadualan hutang multilateral
3. Bantuan jangka panjang utama (sebagian besar dari negara-negara Eropa, Jepang,
multilateral, namun mungkin juga beberapa negara yang memiliki hubungan bilateral
dengan Amerika Serikat
4. Kemungkinan, sejumlah kecil bantuan militer untuk pelatihan dan operasi karya17
Setelah penandatanganan perjanjian damai antara Indonesia dengan Malaysia pada 11
Agustus 1966, pemerintah Amerika Serikat menunjukkan isyarat yang serius untuk

15 Guy Pauker, “Are There Technocrats In Southeat Asia”, Asian Survey, Vol. 16, No. 12 (Dec., 1976), pp.
1197
16 John James MacDougall, “The Technocratic Model of Modernization: The Case of Indonesian New
Order’s”, Asian Survey, Vol. 16, No. 12 (Dec., 1976), pp. 1166-1183
17 Wardaya. Op. Cit. hal. 196

7

membantu Indonesia. Dalam suatu memorandum untuk Presiden Johnson, Departemen Luar
Negeri Amerika Serikat mengusulkan diberikannya bantuan untuk Indonesia dalam jumlah
besar. Memorandum itu menyebutkan beberapa perkembangan baik di Indonesia, seperti
penyelesaian konflik secara damai dengan Malaysia dan perubahan umum haluan politik luar
negerinya serta merosotnya kekuasaan Sukarno. Memorandum tersebut menggerakkan proses
yang mengakibatkan ”kebangkitan kembali” kerja sama ekonomi bilateral Amerika SerikatIndonesia, dimana pemerintah Amerika menambahkan sejumlah pinjaman dan hibah yang
mencapai jumlah kira-kira US$ 40 juta pada akhir 1966. Termasuk di dalamnya pinjaman
besar yang ditandatangani tanggal 30 September 1966 untuk pembelian beras dan benang
senilai lebih dari US$ 26 juta yang harus dibayar kembali dalam bentuk dollar dua tahun
setelah tanggal penyerahan terakhir, dalam 19 kali angsuran tahunan, dengan tingkat bunga
2,5 persen. Pinjaman besar kedua diberikan untuk membayar suku cadang dan bahan mentah
sejumlah US$ 10 juta yang akan dibayar kembali dalam 20 tahun dengan tingkat bunga 3,5
persen. Sisanya adalah pinjaman dan hibah untuk bantuan pangan darurat, beasiswa, barangbarang kepustakaan dan lain-lain. Nampaknya memang Amerika melakukannya dan tidak
sekedar berjanji dimuka, dengan bantuan para teknokrat seperti Profesor Widjojo Nitisastro,
Ali Wardhana, Emil Salim, Mohammad Sadli, dan Subroto yang diperkuat oleh mantan guru
mereka Profesor Soemitro Djojohadikusumo, seorang ahli ekonomi yang sudah mendapat
pengakuan internasional, melancarkan program-program bantuan ekonomi apalagi dengan
dikeluarkannya Undang-Undang Penanaman Modal pada tahun 1967 semakin memperkuat
sektor swasta untuk masuk berinvestasi di Indonesia. Pada bulan April 1967, tiga bulan
sesudah diberlakukannya UU Penanaman Modal Asing, Freeport Sulphur Incorporated
menandatangani sebuah kontrak besar untuk mengeksplorasi dan menambah cadangan emas
dan tembaga di Irian Jaya. Menurut UU itu, perusahaan tersebut berhak atas persyaratanpersyaratan istimewa serta tidak perlu berdomisili di Indonesia dan tidak perlu juga
menggunakan bentuk perusahaan Perseroan Terbatas (PT). Masuknya Freeport adalah berkat
keberhasilan lobi yang dilakukan Ali Boediardjo, seorang kawan lama dari Sri Sultan
Hamengku Buwono pada tahun 1950-an ketika Sultan menjabat sebagai Menteri
Pertahanan.18
II. 2 Undang-Undang Penanaman Modal Asing dan Modal Dalam Negeri

18 Muhaimin Yahya, Bisnis dan Politik: Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980 (Jakarta:LP3ES, 1986),
hal. 139.

8

Pada tanggal 10 Januari 1967, pemerintah Indonesia memberlakukan UU No.1 tahun
1967, yakni UU Penanaman Modal Asing (PMA).19 Delapan belas bulan kemudian, 3 Juli
1968, menyusul UU No. 6 tahun 1968, UU Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). PMA
diberlakukan lebih cepat daripada PMDN karena dalam pandangan pemerintah, penanaman
modal asing merupakan persoalan yang paling mendesak. Sembilan hari setelah
diberlakukannya PMA, yakni pada tanggal 19 Januari 1967, pemerintah membentuk suatu
organisasi untuk menangani penanaman modal asing, yakni Badan Petimbangan Penanaman
Modal (BPPM). Badan ini, yang dibentuk setelah diumumkannya PMDN, kemudian
digantikan oleh sebuah Tim Teknis Penanaman Modal (TTPM). 20 Ketentuan-ketentuan PMA
mengandung dua hal yang tampaknya saling bertentangan. Di satu pihak, PMA mengundang
penanaman modal asing untuk melakukan usaha di Indonesia, tapi di lain pihak UU tersebut
dengan ketat membatasi dan ”memagari” para penanam itu. Ketentuan-ketentuan terpenting
dari PMA adalah sebagai berikut. Penanam modal dibebaskan dari pajak dividen dan pajak
perusahaan bagi penanam modal asing sebanyak lebih dari 50% selama lima tahun dan izin
untuk menutup kerugian-kerugiap perusahaan modal asing dari bea impor mesin dan
pelengkapan serta bahan baku (pasal 15 PMA).21 Terdapat pula ketentuan (pasal 21 dan 22)
yang menjamin tidak adanya maksud pemerintah menasionalisasi modal asing dan
seandainya dilakukan nasionalisasi akan diberikan

ganti rugi. Sebagaimana dinyatakan

dalam pasal 18 PMA, masa operasional penanam modal asing adalah 30 tahun dan
perpanjangan misalnya tergantung kepada perundingan kembali. Penanam modal asing juga
mempunyai wewenang penuh untuk membawa serta atau memilih personil manajemennya
dan untuk menggunakan tenaga ahli asing bagi pekerjaaan-pekerjaan yang belum bisa
dilakukan oleh tenaga kerja Indonesia. Penanam modal juga diberi kebebasan untuk
mentrasnfer dalam bentuk uang yang semula, keuntungan dan dana penyusutan yang diambil
dari hasil penjualan saham yang disediakan bagi orang-orang Indonesia (Pasal 19 dan 24) dan
untuk memperketat ketentuan-ketentuan mengenai bidang-bidang kegiatan. Ketentuan pada
Pasal 9 memungkinkan penanam modal asing untuk beroperasi dalam bidang pertambangan,
asal bekerjasama dengan pemerintah atas dasar kontrak karya atau bentuk-bentuk kerjasama
lainnya seperti persetujuan bagi hasil.
Sektor-sektor yang secara eksplisit dinyatakan tertutup bagi modal asing adalah
pekerjaan umum (pelabuhan, pembangkit tenaga listrik, dan sebagainya), media massa,
pengangkutan (pelayaran, penerbangan) dan infrastruktur. Industri yang terlibat dalam
19 Ibid, hal. 58.
20 Ibid, hal. 59.
21 Ibid, hal 60.

9

produksi untuk pertahanan tertutup sama sekali bagi penanam modal asing.22 Sejalan dengan
UU Penanaman Modal Asing (PMA), yang khusus dimaksudkan untuk mempercepat
pembentukan modal, Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN)
memberikan hak-hak istimewa yang sama kepada modal dalam negeri. Pasal 9 sampai pasal
17 UU PMDN menyangkut berbagai jenis pembebasan pajak dan tax holidays bagi
perusahaan-perusahaan penanaman modal baru dan perusahaan yang dapat memenuhi syaratsyarat kelayakan proyek serta memiliki kekayaan modal yang cukup untuk melakukan
penanaman modal. Perusahaan-perusahaan yang ingin menanamkan modal dalam rangka
PMDN atau PMA diharuskan mendepositokan jaminan sebesar 25% dari modal yang ingin
ditanamkan di bank-bank negara dan bagi sektor-sektor non-prioritas – pada umumnya
sektor-sektor di luar kehutanan, pertanian dan substitusi impor – jaminan deposito yang
diharuskan adalah sebesar 50%.23 Pasal 9 misalnya, memuat suatu ketentuan yang dinamakan
”pemutihan modal”. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menarik modal, yang telah dihimpun
secara tidak sah di Indonesia atau di luar negeri, agar diinvestasikan dalam usaha.
Berdasarkan ketentuan itu, modal tersebut diizinkan untuk ditanam tanpa ada keharusan di
pihak pemiliknya untuk menjelaskan asal-usulnya atau untuk membuktikan bahwa pajaknya
telah dilunasi.
Bidang kegiatan usaha bagi modal dalam negeri melliputi hampir semua sektor
perekonomian, kecuali sektor-sektor yang strategis dan menyangkut pelayanan kepentingan
umum, yang menarik adalah bahwa PMDN mendefinisikan modal dalam negeri sebagai
modal yang pemiliknya tidak harus perusahaan nasional. Artinya bahwa dapat berupa suatu
perusahaan yang dimiliki bersama-sama dengan orang asing dan yang sekurang-kurangnya
51% sahamnya dimiliki oleh warganegara Indonesia.24 Dari sudut pandang penanam modal
asing, UU PMA dan PMDN itu mungkin banyak mengandung pembatasan; kegiatan
komersial harus dialihkan kepada perusahaan-perusahaan yang mayoritas pemilikannya
berada di tangan orang-orang Indonesia. Akan tetapi bagi Indonesia, UU PMA dan PMDN itu
terlalu bermurah hati terhadap orang-orang asing seperti yang dilontarkan oleh Prof. Sadli
salah seorang anggota tim penasehat ekonomi Suharto antara 1966-1971.
II. 3 Peraturan-Peraturan Baru di Bidang Perdagangan
Peraturan-peraturan baru yang dikeluarkan di bidang perdagangan internasional pada
dasarnya peraturan-peraturan ini dapat dibagi di dalam dua bidang, yaitu yang mengenai
ekspor yang terpenting di antaranya ialah:
22 Ibid, hal 61.
23 Ibid
24 Ibid, hal 62.

10

1. Kepada eksportir diberikan nilai transaksi resmi Rp 250,00 untuk setiap dollarnya,
ditambah dengan premi ekspor yang untuk sementara ditentukan Rp 9.750,00
untuk tarif dollarnya. Premi ekspor ini tiap kali dapat diubah oleh menteri
perdagangan.
2. Sebagai retensi devisa ekspor diberikan 5% dari nilai f.o.b. ekspor di dalam
devisa.
3. Perangsang-perangsang ekspor lainnya, seperti SPP ditiadakan
4. Ekspor bahan-bahan kuat akan dilakukan oleh pemerintah sendiri, sedangkan
ekspor barang-barang lemah dapat dijalankan oleh swasta.
5. Menteri perdagangan merupakan satu-satunya instansi

yang berwenang

menentukan harga ekspor di dalam devisa dan penentuan prosedur dan syaratsyarat ekspor lainnya.25
6.
Peraturan-peraturan di bidang impor yang terpenting ialah:
1. Nilai transaksi resmi untuk impor adalah Rp 250,00 setiap dollarnya, ditambah
dengan iuran impor yang untuk sementara ditentukan Rp 9.750,00 setiap
dollarnya.
2. Pungutan-pungutan lain untuk impor ditiadakan.
3. Impor bahan-bahan baku, suku cadang, unit-unit mesin-mesin dengan devisa
pelengkap dibebaskan dengan iuran impor.
4. Penyelesaian pelunasan bea masuk dari bahan-bahan baku seperti tenun
umpamanya dapat ditangguhkan sesudah bahan-bahan baku itu telah menjadi
barang-barang jadi.
5. Akan dibentuk Tim Rencana Impor barang yang akan menentukan penggunaan
devisa secara optimal.26
Untuk eksportir sebenarnya peraturan-peraturan tahun 1966 tidak mengalami
perubahan yang fundamental. Sebelum Peraturan Presiden No. 20 tahun 1965, seorang
eksportir menerima untuk US$ 1, nilai transaksi resmi jumlah Rp 250,00. Kemudian
ditambah dengan 20% dari Surat Pendorong Produksi (SPP), yang dapat dijualnya ke pasaran
bebas. Andaikata kurs SPP tercatat 40 maka eksportir menerima untuk tiap US$ 1, uang
rupiah sejumlah Rp 250,00 ditambah 20% dari 40 kalikan Rp 250,00 sama dengan Rp
2.250,00.27

Kebanyakan barang ekspor selama tahun 50-an dan tahun 60-an tidak

mempunyai permintaan yang signifikan dan mengalami penurunan harga di pasar dunia.
Empat dari lima barang ekspor tradsional utama yaitu karet kopi, teh dan lada, mempunyai
pasaran yang berkembang secara lambat, sedangkan pasaran bagi barang ekspor utama yang
25 KAMI, Op. Cit. hal. 65.
26Ibid.
27 Ibid, hal. 66.

11

kelima, yaitu kopra justru menunjukkan penurunan setelah Perang Dunia Kedua. 28 Sebabsebab pertumbuhan permintaan dunia yang lambat untuk barang-barang ini antara lain:
adanya perkembangan barang-barang sintetis pengganti (yang mempunyai berbagai
keunggulan teknis tertentu dibandingkan dengan barang-barang alami, seperti karet dan hasilhasil minyak nabati) dan rendahnya elastisitas pendapatan dari permintaan akan bahan
makanan dasar di negara-negara industri seperti kopi, teh, dan rempah-rempah. 29 Implikasi
dari keadaan ini adalah apabila Indonesia tetap mempertahankan komposisi ekspornya seperti
dalam tahun 1950-an dan 1960-an, maka peluang untuk peningkatan ekspor menjadi kecil,
apapun yang terjadi pada sektor penawaran dalam negeri. Satu-satunya cara bagi suatu negara
”kecil” untuk menghindari prospek yang tidak cerah dalam arena perdagangan internasional
ini adalah mengubah komposisi ekspornya, mencakup lebih banyak barang yang mempunyai
prospek lebih baik dilihat dari segi perkembangan harga maupun kuantitasnya.30

Bantuan ekonomi Amerika Serikat kepada Indonesia memang adalah sesuatu yang
wajar mengingat dalam era sebelum berdirinya Orde Baru, Amerika Serikat bahkan
memberikan bantuan berupa bantuan militer dan juga bantuan darurat ekonomi. Setelah
penandatanganan perjanjian damai antara Indonesia dengan Malaysia pada 11 Agustus 1966,
pemerintah Amerika Serikat menunjukkan isyarat yang serius untuk membantu Indonesia.
Dalam suatu memorandum untuk Presiden Johnson, Departemen Luar Negeri Amerika
Serikat mengusulkan diberikannya bantuan untuk Indonesia dalam jumlah besar.
Memorandum itu menyebutkan beberapa perkembangan baik di Indonesia, seperti
penyelesaian konflik secara damai dengan Malaysia dan perubahan umum haluan politik luar
negerinya serta merosotnya kekuasaan Sukarno.
Memorandum tersebut menggerakkan proses yang mengakibatkan ”kebangkitan
kembali” kerja sama ekonomi bilateral Amerika Serikat-Indonesia, dimana pemerintah
Amerika menambahkan sejumlah pinjaman dan hibah yang mencapai jumlah kira-kira US$
40 juta pada akhir 1966. Temasuk di dalamnya pinjaman besar yang ditandatangani tanggal
30 September 1966 untuk pembelian beras dan benang senilai lebih dari US$ 26 juta yang
harus dibayar kembali dalam bentuk dollar dua tahun setelah tanggal penyerahan terakhir,
dalam 19 kali angsuran tahunan, dengan tingkat bunga 2,5 persen. Pinjaman besar kedua
diberikan untuk membayar suku cadang dan bahan mentah sejumlah US$ 10 juta yang akan
28 Anne Booth dan Peter, Op. Cit. hal. 227.
29 Ibid.
30 Ibid.

12

dibayar kembali dalam 20 tahun dengan tingkat bunga 3,5 persen. Sisanya adalah pinjaman
dan hibah untuk bantuan pangan darurat, beasiswa, barang-barang kepustakaan dan lain-lain.
II. 4 Diplomasi Ekonomi Indonesia Kepada Amerika Serikat
Pada bulan April 1966 terdapat kesepakatan di antara para pemimpin baru Indonesia
bahwa kebijaksanaan luar negeri ekonomi Indonesia harus diarahkan untuk meraih dukungan
para kreditornya, khususnya negara-negara Barat dan Jepang. Ada banyak – orang khususnya
di kalangan perwira Angkatan Darat – yang berpendapat bahwa negara-negara Barat itu pasti
dengan segera akan memberi bantuan pada Indonesia. Pendapat ini didasarkan pada
kenyataan bahwa pemerintah Orde Baru telah menghancurkan partai komunis terbesar di luar
Rusia dan Cina tanpa meminta bantuan dari negara-negara anti-komunis lainnya. Seorang
pengamat yang menemui sejumlah perwira Angkatan Darat Indonesia yang mengunjungi
Kongres Amerika Serikat antara Maret dan September 1966, menuliskan laporan ini:
”Bagi para pengamat, pendekatan mereka sulit dimengerti karena anggapan yang tidak dinyatakan
tetapi mendasar bahwa Indonesia terlalu vital bagi kepentingan Amerika dan Barat untuk dibiarkan
larut dalam kekacauan, menyiratkan bahwa negara-negara lain pasti akan datang untuk
menyelamatkannya. Orang-orang militer tersebut mungkin juga telah menyampaikan perasaan, baik
langsung maupun tidak langsung, bahwa sementara Amerika Serikat telah menghabiskan berjuta-juta
dollar untuk membunuh orang Komunis di Vietnam, orang-orang Indonesia telah membunuh ratusan
ribu komunis di negararanya sendiri tanpa sepeser pun bantuan dari Amerika. Dalam arti tersebut,
Amerika ’berhutang’ pada Indonesia satu atau dua milyar dalam bantuan luar negeri”. 31

Namun, ada kelompok lain yang memandang prospek bantuan asing secara lebih
realistis. Mereka juga berpendapat bahwa kebijaksanaan luar negeri Indonesia harus
dialihkan ke arah memperbanyak bantuan asing. Nampaknya keadaan ini dipengaruhi oleh
kondisi saat itu, keadaan ekonomi dan keuangan dengan beban berat telah memukul bukan
saja aspek fisik namun juga mental orang-orang pada saat itu. Mental pejabat pada saat itu
adalah tidak percaya diri terhadap apa yang dimiliki negaranya, yang ada di pikiran pejabat
pada saat itu adalah bagaimana mencari pembiayaan tinggi dengan cepat dan mudah,
makanya bantuan asing menjadi sebuah solusi akhir mengatasi kondisi yang sulit dengan
beban hutang yang juga besar. Sekalipun demikian, mereka menyadari bahwa tidaklah mudah
mengerahkan kreditor asing untuk membiayai program stabilisasi dan pembangunan
Indonesia. Pertama, baru satu tahun lewat Sukarno menendang mereka keluar dari Indonesia.
31 Mohtar, Op. Cit. hal. 72.

13

Kendatipun seorang pemimpin baru telah menduduki kekuasaan sejak 11 Maret 1966,
Sukarno masih ada sebagai Presiden.32 Kedua, adanya kecenderungan menurunnya kegiatan
bantuan Amerika akibat dari kekecewaannya terhadap penyalahgunaan dana-dana bantuan.
Sikap pemerintah Amerika terhadap Indonesia sangat berhati-hati sebagai akibat dari
pengalaman pahit selama rezim sebelumnya (Sukarno). Tentu Amerika juga tidak ingin
terperosok kedua kali untuk menjadi keledai, sikap Amerika ini sangat dipengaruhi oleh
laporan-laporan yang berasal dari kegiatan mata-matanya, maka tidak heran sikap Amerika
seolah melihat dan menunggu, apalagi dengan adanya Sukarno yang masih menjabat.
Pengalaman pahit Amerika dalam Perang Dingin menghantam komunis membuktikan bahwa
Indonesia dengan Sukarno-nya turut memanas-manasi dunia pada saat itu. Pengalaman
tersebut sudahlah cukup bagi Amerika dengan kegagalan dan keberhasilannya sehingga sikap
Amerika ini tidak langsung penetrasi memberikan bantuan.
Kenyataan bahwa uang sejumlah US$ 800 juta yang ditrasnfer dari Amerika ke
Indonesia sejak 1946 sampai dengan tahun 1965, berupa hibah dan pinjaman, ”tidak
menciptakan perekonomian yang makmur di Indonesia dan tidak pula menghasilkan
hubungan politik yang bersahabat antara Washington dan Jakarta,33 membuat Indonesia
memperoleh prioritas rendah dalam penerimaan bantuan Amerika. Bahkan, Kongres Amerika
Serikat cenderung bersikap keras terhadap program bantuan oleh presidennya dan dalam
tahun-tahun belakangan telah mengurangi bantuan asing. Padahal ini adalah strategi Amerika
sendiri untuk ”membuat stabil” Indonesia secara khusus, dan negara lainnya secara umum,
atau kebanyakan target-target dari negara Amerika adalah negara Dunia Ketiga. Mengapa
demikian? Amerika paham betul bila suatu negara yang baru merdeka yang ekonominya
belum mantap benar atau underdeveloped country akan mudah disusupi oleh paham komunis.
Negara yang cenderung morat-marit ekonominya, atau tidak stabil dapat dengan mudah dekat
dengan komunis, karena lawan dari komunis adalah negara-negara mapan atau negara
kapitalis, semangat demikian mudah sekali tersulut. Buktinya adalah kampanye pembebasan
Irian Barat dan juga kampanye ”Ganyang Malaysia” maka tak heran bila Amerika bersikap
hati-hati dalam hal ini, salah langkah atau salah informasi bisa membahayakan Amerika yang
sudah punya koneksi baik dengan Suharto. Ketiga, situasi bantuan internasional pada tahun
1966 tidak terlalu menggembirakan. ”Aliran modal pemerintah ke negara-negara berkembang
mandeg” kata seorang pengamat. Akhirnya keempat, pada pertengahan 1960-an modal asing
sangat langka dan sangat sulit untuk diperoleh. Sangat sedikit negara-negara Dunia Ketiga
32 Ibid.
33 Far Eastern Economic Review (FEER), 6 Maret 1967, hal 459.

14

yang mampu mendatangkan modal asing dalam jumlah yang sangat besar, bahkan Singapura
dan Malaysia saja tidak mampu, dan yang paling tidak mampu adalah Indonesia dengan
kebijakannya yang jelas-jelas menghambat masuknya modal. Ini memang dikarenakan
kebijakan-kebijakan yang belum punya arah yang jelas, kebijakan-kebijakan tersebut masih
diarahkan kepada tujuan jangka pendek yang mau tidak mau akan ada perubahan tiap
waktunya. Hal ini berpengaruh kepada kepercayaan asing, sebagai negara yang baru
menjalankan roda perekonomian yang mengarah kepada propasar akan menghadapi kendalakendala dalam birokrasi dan regulasi. Negara-negara penanam modal membutuhkan
kepastian akan regulasi, bila tidak ada kepastian maka mereka akan mengurungkan niatnya.
Hal ini adalah fenomena yang banyak terjadi kepada negara-negara berkembang yang
melakukan industrialisasi dengan strategi subtitusi impor.
Berhubung dengan posisi kepemimpinannya di kalangan negara-negara kapitalis dan
badan-badan internasional, seperti IMF dan Bank Dunia, sudah merupakan keharusan bagi
Indonesia untuk mengambil hati Amerika. Walaupun bersikeras bahwa kebjaksanaan
pemeliharaan hubungan baik dengan negara-negara komunis maupun negara-negara kapitalis
harus diteruskan, Soedjatmoko, juru bicara kelompok kedua itu yang kemudian menjadi duta
besar RI di Amerika Serikat, menyarankan adanya perhatian khusus guna mengangkat posisi
Indonesia dalam daftar prioritas penerima bantuan Amerika terutama dengan membentuk
suatu lobby di Washington.34 Ofensif kebijaksanaan luar negeri rezim baru ini dimulai sangat
dini. Tanggal 4 April, seminggu setelah pelantikannya sebagai menteri luar negeri, Adam
Malik, mengumumkan bahwa Indonesia akan meninjau kebijaksanaan luar negerinya dengan
penekanan: 1. Perluasan kerjasama internasional dengan sebanyak mungkin bangsa dan
kegiatan kegiatan politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan; 2. Keikutsertaan dalam
organisasi-organisasi internasional, seperti PBB dan badan-badannya; dan 3. Pemecahan
masalah Malaysia secara damai. Pada hari yang sama, Wakil Perdana Menteri untuk Urusan
Ekonomi, Sultan Hamengku Buwono IX, juga mengumumkan bahwa Indonesia akan
mengusahakan penundaan dan penjadwalan kembali pembayaran hutangnya dan mencari
bantuan luar negeri yang baru tanpa ikatan-ikatan politik. 35 Pada tanggal 6 Mei, Menteri
Adam Malik berbicara di depan DPR tentang niat Indonesia untuk memperbaiki hubungan
dengan Amerika Serikat. Seminggu kemudian Indonesia mengirim misi teknik resminya yang
pertama di bawah pimpinan Umaryadi Nyowiyono ke beberapa negara Eropa untuk
mengusahakan penjadwalan kembali kembali hutang dan kredit baru.36 Pada minggu terakhir
34 Mohtar, Op. Cit. hal. 74.
35 Ibid.
36 Ibid.

15

bulan yang sama, Sultan Hamengku Buwono IX sendiri memimpin delegasi yang lain ke
Jepang untuk tujuan serupa, yang pada waktu itu pemerintah Jepang setuju mengadakan suatu
konferensi untuk para kreditor Indonesia membicarakan kembali pembayaran hutangnya. 37
Misi-misi lain dikirim untuk membicarakan penyelesaian damai masalah Malaysia.
Sementara itu, berbagai tanggapan dari kreditor asing terhadap langkah-langkah diplomasi
Indonesia belum jelas benar. Pada tanggal 4 April, untuk menanggap himbauan Sultan,
pemerintah Belanda tidak akan membuka pintu untuk Indonesia melalui badan-badan
multilateral. Pada tanggal 8 April, Amerika Serikat memberikan setuju memberikan pinjaman
50.000 ton beras seharga hampir US$ 9 juta dan pinjaman lain, untuk pembelian 75.000 bal
kapas bernilai US$ 10,5 juta, keduanya di bawah program PL-480.38
II. 5 Dari Diplomasi ke Aksi: Menyoal Bantuan Asing ke Indonesia
Bahkan sebelum datangnya tim IMF yang pertama pun, para penasehat Jenderal
Suharto telah memiliki gagasan tersendiri tentang bagaimana melunakkan tekanan inflasi dan
memperkuat neraca pembayaran, dua tujuan pokok stabilisasi ekonomi. Mereka telah
menyarankan Jenderal Suharto agar mengambil tindakan-tindakan yang serius. Pertama,
mengurangi permintaan agregat uang secara besar-besaran dengan cara mengurangi tingkat
pertumbuhan peredaran uang dan defisit anggaran pemerintah. Kedua, meningkatkan
pendapatan pemerintah melalui peningkatan pengumpulan pajak dan mengundang bantuan
asing, terutama dalam bentuk bantuan komoditi dan dukungan devisa. Namun para kreditor
itu masih tidak yakin. Mereka tidak melihat program itu cukup spesifik untuk menjamin
masuknya kelanjutan bantuan. Dengan bantuan para ahli IMF, para ekonom Indonesia pada
kwartal terakhir 1966 membuat beberapa percaturan khusus tentang stabilisasi ekonomi.
Aturan-aturan tersebut kemudian menjadi ciri-ciri khas perekonomian Orde Baru. Jika
pemindahan kekuasaan 11 Maret 1966 merupakan tonggak bersejarah politik Orde Baru,
maka peraturan ekonomi 3 Oktober 1966 merupakan tonggak sejarah ekonominya. Dua
peraturan ekonomi penting lainnya pada tanggal 10 Februari 1967 dan 28 Juli 1967 hanya
merupakan perluasannya. Peraturan-peraturan itu merupakan ”aturan permainan” khusus
pertama yang secara mendasar dalam rangka mengubah tata cara pengelolaan ekonomi
Indonesia.
Peraturan-peraturan itu mencakup tindakan-tindakan: pembaruan fiskal untuk
menyeimbangkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (melalui pemotongan belanja,
37 Ibid.
38 Ibid.

16

peningkatan pendapatan dengan meningkatkan pajak dan mengurang defisit); pembaruan
moneter (pengetatan kredit dengan peningkatan suku bunga secara tajam); bantuan dan
investasi asing; liberalisasi perdagangan luar negeri (dengan pembebasan lalu lintas devisa
dan penyatuan tingkat nilai-tukar); dan ”de-etatisasi” (pengurangan peran dan negara) dalam
kegiatan-kegiatan ekonomi.39 Pada tanggal 7 Januari 1967, pemerintah Indonesia dan
pemerintah Amerika

Serikat

menandatangani

perjanjian

Jaminan

Investasi,

yang

memungkinkan Amerika Serikat memberikan jaminan apabila warganegaranya menderita
kerugian di Indonesia karena nasionalisasi, tidak mungkinnya penukaran mata-uang atau
kerusakan karena peperangan revolusi atau pemberontakan. Sesudah itu, jaminan investasi
timbal balik yang sama juga disepakati dengan Belanda, Denmark, dan Jerman Barat.40
Bulan Februari 1968, negara ini memasuki ”The Convention on the Settlement of
Internationals Disputes between States and Nationals of Other States”. Konvensi yang
disponsori bank Dunia itu menyelesaikan perselisihan dalam investasi pemerintah dan
investor asing.41 Kebijaksanaan untuk menarik penanaman modal asing juga didukung oleh
banyak kegiatan ekonomi, di mana banyak bisnis besar internasional memainkan peranan
penting. Bulan Agustus 1966, Pacific Industrial Conference, yang disponsori Universitas
Stanford, membawa 170 orang pimpinan senior dunia usaha ke Jakarta.42

Beberapa waktu

kemudian badan tersebut mendirikan Asosiasi Bisnis Indonesia – Pasifik (PIBA), dan pada
tanggal 2-5 Agustus 1967 mengadakan pertemuan di Jakarta. PIBA juga mendirikan Dewan
Promosi Investasi di Indonesia.43 Di Jenewa, pada bulan November 1966, Business
Internasional yang bermarkas di New York menyelenggarakan konferensi tentang investasi
asing di Indonesia, di mana tim ekonomi Indonesia (Sultan Hamengkubuwono IX, Adam
Malik, Dr. M. Sadli, Dr. Emil Salim dan Dr. Selo Soemardjan) bertemu dengan para
pengusaha besar dari Eropa dan Amerika Serikat, termasuk David Rockefeller. Konferensi ini
disponsori oleh Time-Life Inc. Pertemuan Business Internasional lainnya diadakan di Jakarta
dalam bulan September 1968.44 Menggaris-bawahi bagaimana kesungguhan Suharto dalam
menanggapi terobosan pertama

dalam suatu forum internasional tentang investasi, ia

mengeluarkan suatu dekrit presiden yang memberikan kepada delegasi Indonesia wewenang
penuh untuk mewakili pemerintah. Para anggotanya termasuk para menteri ekonomi dan
menteri luar negeri ditambah sebagian besar ekonom terkemuka pemerintah yang
39 Ibid, hal. 86-87.
40 Ibid, hal 87.
41 Ibid.
42 Ibid.
43 Ibid.
44 Ibid, hal. 92.

17

bertanggung jawab atas investasi, perdagangan dan keuangan. Seluruhnya, duapuluh orang
Indonesia berangkat ke Jenewa, ditambah dua orang dutabesar lengkap dengan staf-stafnya.
Peristiwa itu merupakan satu peragaan yang sangat mengesankan.45 Sekalipun para pejabat
merasa yakin akan tujuan-tujuan mereka, sarana lewat konferensi itu harus diperlakukan
secara lebih teliti. Pertanda yang paling jelas dan paling langsung harus diberikan kepada
para pemimpin bisnis ini. Tetapi pemerintah Indonesia, dan mereka harus mempertahankan
sekurang-kurangnya penampilan yang bermartabat dan kebanggan di depan umum.
Mengenai peranan aktor-aktor eksternal, kita harus memberi perhatian khusus pada
IMF. Tampaknya IMF melakukan penekanan yang kuat terhadap pemimpin Indonesia untuk
mengikuti bimbingannya. Perbincangan tentang kebutuhan Indonesia akan kredit, baru benarbenar dimulai ketika pemerintah Belanda mensponsori pertemuan lagi di Amsterdam tanggal
23-24 Februari 1967.46 Pertemuan tersebut mendirikan IGGI (Inter Governmental Group on
Indonesia), yang sejak itu berfingsi sebagai sumber terbesar bantuan asing untuk Indonesia.
Fungsi IGGI dijalankan oleh IMF dan sejak 1969 oleh Bank Dunia. 47 Hampir 50% dari
bantuan program diberikan dalam bentuk kredit komoditi pangan, kebanyakan dari Amerika
Serikat melalui program PL-480. Jenis bantuan asing ini sangat berarti dalam menstabilkan
harga-harga melalui ”injeksi” bahan pangan impor ke pasar. 48 Selain itu, negara-negara Barat
juga memberikan hibah sebesar US$ 69 juta dalam tahun 1969/1970; US$ 45 juta dalam
tahun 1970.49 Lebih banyak lagi bantuan diberikan ketika Robert McNamara mengunjungi
Indonesia dalam bulan Juni 1968. Penentuan waktu perjalanan bisnis ke luar negerinya yang
pertama setelah ia menjadi Presiden Bank Dunia tiga bulan sebelumnya itu dianggap sebagai
sikap penting yang menunjukkan pengertian yang lebih baik terhadap masalah Indonesia.
Tanda dukungan seperti itu telah ditegaskan lagi ketika selama kunjungan McNamara
mengumumkan bahwa:
1. Bank Dunia secara resmi telah mulai beroperasi di Indonesia;
2. Bahwa kantor luar negeri Bank Dunia permanen yang pertama adalah di Indonesia.50
Sejak itu, Bank Dunia telah menugaskan para ahli pertanian, trasnportasi, industri,
kependudukan dan bidang-bidang lainnya di Indonesia. Mereka telah terlibat secara aktif
untuk memberikan saran kepada pejabat-pejabat perencana Indonesia, Badan Perencana

45 Jeffrey Winters, Power In Motion: Modal Kuasa, Modal Berpindah (Jakarta,1999), hal. 79-80.
46 Mohtar, Op. Cit. hal. 108.
47 Ibid.
48 Ibid. hal. 109
49 Ibid.
50 Ibid, hal. 110.

18

Pembangunan Nasional (BAPPENAS), dan departemen-departemen ekonomi lain, serta
dalam merancang Repelita.

BAB III
KESIMPULAN
Beralihnya paradigma kepemimpinan dari Sukarno yang menjadikan ”politik sebagai
panglima” kepada Suharto yang menjadikan ”ekonomi sebagai panglima” membuat Suharto
menggunakan pendekatan yang jauh berbeda dengan pendahulunya. Kebijakan ekonomi yang
menyentuh kepada rakyat pada mulanya bertujuan memperbaiki taraf ekonomi rakyat agar
tidak terlalu terjadi pergolakan sehingga biaya yang dikeluarkan tidak besar. Ada beberapa
hal yang mendasari kebijakan Suharto untuk memperbaiki kondisi ekonomi negara yang
sedang hancur. Pertama, bahwa harus dipahami rakyat bagi penguasa adalah yang utama,
penguasa yang gagal memenuhi kebutuhan rakyatnya adalah penguasa yang gagal. Kedua,
19

bahwa kondisi yang porak poranda warisan peninggalan Sukarno adalah kondisi yang berat
bagi rakyat maupun penguasa, perlu kebijakan yang bersifat populis untuk memperbaiki
kondisi agar rakyat juga menjadi dekat kepada penguasanya. Ketiga, Suharto sadar betul
bahwa ia tidak mungkin mengambil kebijakan-kebijakan pendahulunya yang telah gagal
membangun kesejahteraan rakyat malah sebaliknya menjatuhkan negara dalam jurang
kehancuran, maka pembangunan dan stabilisasi adalah yang utama. Opsi untuk membangun
bukanlah opsi yang mudah, di tengah kondisi negara yang sangat anti terhadap asing warisan
penguasa sebelumnya, dan Suharto pun sadar betapa sulitnya meyakinkan negara-negara
donor untuk membantu Indonesia karena bawaan rezim sebelumnya. Pasti ada syarat-syarat
yang diberikan, namun Suharto bertekad mendapat bantuan tanpa ikatan politik. Kendati pada
pertengahan 1966 ia ditekan habis-habisan oleh IMF (International Monetary Fund), ia tetap
bertahan dalam kondisi yang sulit dan membawa Indonesia ke forum-forum internasional
dengan berupaya menjaga kedaulatan bangsa agar tidak didikte oleh kepentingan
internasional melalui para delegasinya yang cakap dan kompeten.
Peran Amerika Serikat dalam upaya modernisasi melaui bantuan luar negeri pada era
Orde Baru merupakan kelanjutan dari era sebelumnya. Pada era Sukarno, betapa takutnya
Amerika Serikat dengan mendekatnya Indonesia kepada komunis, dengan tegas Amerika
menolak membantu Indonesia dalam pembelian senjata bila Indonesia dekat kepada komunis.
Sikap Amerika berikutnya tentu menunjukkan bahwa Amerika adalah menerapkan
prgamatisme dalam kebijakan luar negeri. Sikap Amerika ini banyak dipengaruhi dengan
relasi panjang dengan Indonesia. Niat Amerika membantu Indonesia tidak bisa dilepaskan
dengan kebijakan luar negeri dan kepentingan dalam negeri Amerika Serikat. AS ingin
melihat Indonesia sebagai negara netral bahkan menjadi sekutu penting Amerika dalam
memerangi komunis di Asia Tenggara. Amerika tidak ingin melihat ekonomi Indonesia tidak
stabil atau morat-marit karena itu sangat berbahaya untuk Amerika, dengan kepentingannya
yang sangat luas dengan Indonesia terutama mengenai sumberdaya alam Indonesia yang telah
lama diincar sejak zaman Hindia Belanda. Nasionalisasi perusahaan asing dengan terlibatnya
buruh-buruh berhaluan komunis membuat Amerika takut. Terpilihnya Suharto yang berhasil
menumpas partai komunis terbesar di luar Cina telah membuat Amerika bersimpati, kendati
Amerika turut melihat dan menunggu untuk merespon tetapi Amerika langsung memberikan
bantuan ekonomi dan militer untuk Indonesia. Inilah bukti kepercayaan Amerika kepada
Indonesia bahwa Indionesia telah berubah. Amerika juga turut membantu melalui lembagalembaga multilateral atau di PBB seperti Bank Dunia maupun IMF, peran Amerika dengan
lembaga-lembaga tersebut sangat kental, karena Amerika adalah penyumbang dana terbesar
20

untuk lembaga-lembaga tersebut. Hubungan yang terjalin antara Suharto dengan pemerintah
Amerika semakin mesra dengan penanaman modal perusahaan-perusahaan Amerika di
Indonesia melalui Undang-Undang Penanaman Modal Asing, dengan begitu dana investasi
perusahaan masuk ke kas negara yang turut dipergunakan pemerintah untuk modernisasi dan
pembangunan nasional.

DAFTAR PUSTAKA
ARSIP:

KAMI. 1984. Jalur Baru Sesudah Runtuhnya Ekonomi Terpimpin (The Leader, the Man and
the Gun). Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Universitas Indonesia. Kebangkitan Semangat ’66: Mendjeladjah Tracee Baru. Hasil-Hasil
Simposium 6-9 Mei 1966, Jakarta.
BUKU:

A. Winters, Jeffrey. 1999. Power in Motion: Modal Berpindah, Modal Berkuasa. Jakarta
Pustaka Sinar Harapan
21

Abdullah, Taufik. 1985. Ilmu Sejarah dan Historiografi: Arah dan Perspektif. Jakarta:
Gramedia
Booth, Anne dan McCawley, Peter. 1990. Ekonomi Orde Baru. Jakarta: LP3ES
Gouda dan Zaalberg. 2007. Indonesia Merdeka Karena Amerika: Politik Luar Negeri AS dan
Nasionalisme Indonesia 1920-1949. Jakarta: Serambi
Mas’oed, Mohtar. 1989. Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru (1966-1971). Jakarta:
LP3ES
Muhaimin, Yahya. 1990. Bisnis dan Politik: Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980.
Jakarta: LP3ES
Sjahrir. 1986. Ekonomi Politik Kebutuhan Pokok: Sebuah Tinjauan Prospektif. Jakarta:
LP3ES
T. Wardaya, Baskara. 2009. Membongkar Supersemar! Dari CIA Hingga Kudeta Merangkak
Melawan Bung Karno. Yogyakarta: Galangpress
Tambunan, Tulus. 2006. Perekonomian Indonesia Sejak Orde Lama Hingga Pascakrisis.
Jakarta: Pusaka Quantum
LAPORAN YANG TIDAK DITERBITKAN:

Anderson, Benedict. 1971. A Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup In
Indonesia. Ithaca: Modern Indonesia Project Southeast Asia Program Cornell University
JURNAL:

J. Pauker, Guy. 1976. Are There Technocrats In Indonesia?. California: Asian Survey
James MacDougall, John. 1976. The Technocratic Model of Modernization: The Case of
Indonesia's New Order. California: Asian Survey.

22