Stigma dan diskriminasi Buruk Impor

Stigma Buruk Impor
Wayan R. Susila
Kalau impor adalah manusia, hampir dapat dipastikan bahwa sejak lama dia sudah bunuh
diri. Kalau dia binatang atau tumbuhan, mungkin sejak lama sudah punah. Alasannya sangat
jelas karena impor selalu bermakna sangat buruk seperti merugikan produsen dalam negeri
apalagi petani, membuang-buang devisa, dan menghambat perkembangan industri dalam negeri.
Bahkan ada yang menilai impor dapat menghancurkan perekonomian nasional.
Bagi pemerintah yang berkuasa, melakukan impor seperti melakukan perbuatan tercela
penuh dosa, sehingga kalau bisa dihindari. Jika terpaksa dilakukan seperti impor garam akhirakhir ini, pemerintah melakukan seperti dengan penuh penyesalan. Bagi yang “beroposisi”
dengan pemerintah,

impor bisa dijadikan amunisi yang sangat ampuh untuk menyerang

pemerintah seperti dengan mengatakan pemerintah tidak bisa mengelola negara, ditunggangi
oleh segelintir orang yang bermodal, bahkan pemerintah diangap membiarkan adanya ancaman
terhadap kedaulatan negara seperti kedaulatan pangan.
Penderitaan Si Impor semakin lengkap karena para akademisi yang seyogyanya bisa
melihatnya secara lebih jernih dan adil, justru sering diam, suaranya tidak terdengar, atau mugkin
justru ikut terkooptasi oleh suara mayoritas yang garang. Akhirnya, penderitaan Si Impor
menjadi sempurna ketika konsumen atau industri pengguna yang menikmati manfaat impor tidak
mampu menyuarakan kepentingannya atau suaranya memang tidak perlu didengar.

Jika pandangan ini semakit menguat maka maknanya adalah kita meyakini secara mutlak
teori perdagangan yang paling kuno yaitu Teori Merchantilsm yang berkembang pada periode
tahun 1500-1800. Salah satu esensi teori ini adalah menumpuk surplus perdagangan sebanyakbanyaknya untuk kemakmuran rakyatnya. Dengan demikian, strategi yang paling klasik adalah
memaksimalkan ekspor dan meminimalkan impor.
Teori-teori perdagangan yang lebih modern seperti teori keunggulan komparatif dan juga
teori yang lebih baru seperti global value chain (GVC), lebih menekankan pada efisiensi dan
daya saing.

Teori-teori ini pada dasarnya menganjurkan negara untuk memproduksi dan

mengekspor produk-produk yang dia mampu produksi secara efisien dan berdaya saing. Devisa
1

yang dihasilkan digunakan untuk mengimpor barang dan jasa yang dibutuhkan yang memang
tidak dapat diproduksi secara efisien di dalam negeri sehingga akan mengakibatkan pemborosan
sumberdaya.
Bahwa impor itu dapat merugikan atau menekan produsen dalam negeri pastilah benar.
Bahwa impor dapat mengurangi lapangan kerja di dalam negeri mungkin benar. Hal yang sama
benarnya juga bahwa impor akan meguras devisa yang berpengaruh terhadap indikator ekonomi
makro seperti pengurangan cadangan devisa atau pelemahan nilai tukar.

Namun yang jarang diakui atau disebutkan adalah bahwa impor juga memiliki beberapa
manfaat. Berikut adalah beberapa manfaat impor yang cukup penting namun sering dinafikkan.
Pertama, impor bermanfaat untuk mencukupi pasokan pasar dalam negeri ketika produksi
domestik tidak cukup, baik dari sisi jumlah maupun kualitas. Kembali ke masalah garam atau
gula, apa jadinya kalau tidak ada impor. Tentu berbagai industri terkait seperti industri ikan asin
atau industri makanan dan minuman akan kesulitan. Ujung-ujungnya, konsumen dan para
pekerja di sektor tersebut akan mengalami masalah besar.
Kedua, impor mendorong tingkat persaingan pasar di dalam negeri. Suatu industri akan
berkembang dan efisien kalau ada persaingan, bukan monopoli atau kartel yang sering kita
saksikan. Adanya barang impor membuat persaingan semakin ketat sehingga produsen dalam
negeri terpacu untuk menjadi lebih efisien dan kompetitif. Sepanjang produk tersebut diimpor
secara fair misalnya tidak melakukan dumping atau menikmati subsidi dari negara asalnya, maka
persaingan itu bagus dan bermanfaat bagi produsen serta konsumen.
Ketiga, impor juga membuat industri dalam negeri semakin efisien dan kompetitif. Hal ini
terutama berlaku untuk impor barang modal atau produk antara yang menjadi input produksi.
Jika input dapat diimpor dengan harga yang lebih murah, maka produk akhirnya (final good)
akan menjadi lebih kompetitif baik di pasar domestik maupun pasar internasional.
Keempat, impor juga berperan dalam menstabilkan harga dan pasokan di pasar domestik.
Jika pasokan produksi dalam negeri tidak cukup atau harga melambung tinggi, impor dapat
menjadi penyelamat untuk menstabilkan pasokan dan harga. Hal ini sudah dilakukan pemerintah

melalui pengendalian volume impor (kuota impor) dan tarif impor.
2

Mengetahui banyaknya manfaat impor bukanlah dimaksudkan untuk mendorong peningkatan
impor. Filosofi dasar dari kebijakan perdagangan internasional tetap sama yaitu bahwa negara
harus mampu mengendalikan impornya. Namun demikian, jangan semua yang berbau impor
selalu dianggap jelek dan dosa. Untuk itu, impor perlu dilihat secara lebih jernih dengan melihat
beberapa aspek berikut.
Pertama, urgensi dari impor tersebut. Jika harga melambung tinggi atau pasokan domestik
tidak memadai, impor sebaiknya dimaknai sebagai jalan keluar, minimal untuk solusi jangka
pendek. Jika tidak, maka ada kerugian yang lebih besar. Aspek kedua adalah jenis atau
peruntukan produk impor.

Jika itu barang modal atau bahan penolong yang mampu

meningkatkan kinerja perekonomian menjadi tumbuh lebih pesat, ebih efsiien dan menambah
daya saing, maka impor sebaiknya tidak dianggap sebagai masalah.
Aspek ketiga adalah aspek “fairness” barang impor tersebut. Jika barang tersebut masuk
secara fair seperti tidak dengan dumping atau menikmati subsidi dari pemerintah, impor
sebaiknya jangan diangap sebagai masalah. Dengan memberikan perlindungan pada produsen

dalam negeri secara wajar, produk impor bisa memacu efisiensi produksi dalam negeri.
Keempat, jika barang impor tersebut masuk secara tidak fair atau atau bahkan secara fair
namun dapat menimbulkan kerugian (injuries) pada produsen dalam negeri, tentu pemerintah
tidak perlu ragu untuk menurunkan atau bahkan menghentikan impor. WTO telah menyediakan
berbagai instrumen kebijakan untuk itu, seperti dengan mengenakan tambahan bea masuk anti
dumping, countervailing, atau bahkan mengenakan tindakan safeguard (menaikkan tariff dan
atau kuota) untuk mengendalikan impor.
Harus diakui bahwa Si Impor memang buruk rupa, namun marilah kita perlakukan dia secara
lebih jernih dan fair. (883 words)
(Penulis adalah seorang trade economist, dosen di Universitas Prasetiya Mulya dan pernah bekerja di
beberapa lembaga internasional seperti Bank Dunia)

3