Makalah Kritik dan Perbandingan ( Sastra Malam Tanpa Rembulan )

  

TAKE HOME EXAM

MAKALAH KRITIK DAN PERBANDINGAN SASTRA

Dosen Pegampu: Dra. Hindun, M.Hum.

  

Malam Tanpa Rembulan

Najib al-kaylani

Oleh: Rahmat Kurniawan

  

03/155613/SA/12636

I. PENDAHULUAN

  Sebuah cerpen yang sarat rasa kemanusiaan. Kita seakan ditohok untuk menghargai buah-buah kebudayaan dan peradaban. Satu esensi yang saya temukan ketika pertama kali menelaah cerpen ini adalah kemiripan berbagai tema, alur, setting dengan multikultural suatu daerah atau kota. Sebuah pertikaian yang diawali oleh beberapa oknum dan diselesaikan dengan beberapa oknum pula. Dari segi cerita sangat menarik walau akhir cerita sudah bisa ditebak pada alinea-alinea awal tapi hal itu dapat ditutupi dengan klimaks yang sangat berapi-api, cepat, lugas dan mudah dipahami. Fenomena cerpen ini kadang membuat saya berkhayal tentang multikultural indonesia yang nota-bene sangat sarat perbedaan dari berbagai segi dan betapa mudahnya menyulut suatu kerusuhan besar. Bagi saya, dokter yang tinggal ditengah antara kedua desa saya konotasikan dengan pihak netral yang sangat susah dicari pada masa sekarang. Pihak yang perduli dengan keseimbangan budaya dan pertalian saudara antara manusia. Memang idealisme itu bisa luluh dengan kebutuhan, hal ini sudah pasti dalam kehidupan. Semoga cerpen ini membawa kesadaran dalam visi manusia yang perduli sesama tanpa harus terjerumus dalam sosialis kiri.

I.1. Latar Belakang Masalah

  Membaca sebuah karya sastra, dalam hal ini cerita fiksi, pada hakikatnya merupakan kegiatan apresiansi sastra secara langsung. Maksudnya adalah : kegiatan memahami karya sastra dengan sungguh-sungguh sehingga tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan kritis yang baik terhadap karya sastra tersebut ( Aminudin, 19953 : 35 ). Sastra, atau kesusastraan, menurut Swingewood (dalam Faruk, 1994:39), merupakan suatu rekonstruksi dunia dilihat dari sudut pandang tertentu yang kemudian dimunculkan dalam produksi fiksional. Sastra merupakan ekspresi pengarang yang bersifat estetis, imajinatif, dan integratif dengan menggunakan medium bahasa untuk menyampaikan amanat tertentu. Al-nasr atau prosa adalah karya sastra yang menggambarkan pikiran dan perasaan namun tidak terikat pada aturan bait dan rima (Syayib, 1964:328).

  I.2. Landasan Teori

  Menurut Abrams ( Semi, 1985 : 13 ) teori struktural adalah bentuk pendekatan yang objektif karena pandangan atau pendekatan ini memandang karya sastra sebagai suatu yang mandiri. Ia harus dilihat sebagai objek yang berdiri sendiri, yang memiliki dunia sendiri, oleh sebab itu kritik yang dilakukan atas suatu karya sastra merupakan kajian intrinsik semata. Teori struktural memandang teks sastra sebagai satu struktur dan antarunsurnya merupakan satu kesatuan yang utuh, terdiri dari unsur-unsur yang saling terkait, yang membangun satu kesatuan yang lengkap dan bermakna. Abrams menambahkan bahwa suatu karya sastra menurut kaum strukturalisme merupakan suatu totalitas yang dibangun secara koherensif oleh berbagai unsur pembangunnya. Di suatu pihak struktur karya sastra dapat diartikan sebagai susunan, penegasan, dan gambaran semua bahan dan bagiannya yang menjadi komponennya secara bersama-sama membentuk kebulatan yang indah ( Sumiwati, 1997 : 7 ). Sependapat dengan hal itu Teeuw mengungkapkan bahwa bagaimanapun analisis struktural merupakan tugas prioritas bagi seorang peneliti sastra sebelum dia melangkah kepada hal-hal lain.

  I.3. Metode Penelitian

  Cara kerja dari teori struktural adalah membongkar secara struktural unsure-unsur intrinsik, yaitu dengan mengungkapkan dan menguraikan unsur-unsur intrinsik di dalam cerita pendek Malam tanpa rembulan karya Najib Al-Kaylani. Karya sastra dibentuk dari sejumlah unsur. Unusr-unsur itu dalam karya sastra terjalin secara erat satu dengan yang lainnya. Unsur yang dimaksud dalam hal ini adalah unsur instrinsik yaitu : tema, tokoh, alur, dan latar. Oleh sebab itu, karya sastra disebut sebagai sebuah bangunan yang berstuktur atau bersistem. Dengan demikian, setiap perubahan yang terjadi pada sebuah unsur akan mengakibatkan hubungan antarunsur menjadi berubah pula ( Beny Hoed dalam Jean Pieget, 1995 : 1X ).

II. PEMBAHASAN

  Cerita pendek ini mengisahkan tentang perseteruan kedua belah desa yang disebabkan oleh pertikaian seorang majikan dan pesuruhnya sehingga terjadilah baku hantam yang mengakibatkan hilangnya nyawa si pesuruh. Dalam alur cerita, kedua belah pihak yang bertikai teryata berasal dari desa yang berbeda (kita sebut saja desa hulu: majikan dan desa hilir: pesuruh) dan peristiwa ini memicu dendam kesumat yang melibatkan masyarakat kedua desa itu. Ironisnya didesa hilir penuh dengan sawah milik orang desa hulu dan merupakan satu-satunya jalan pintas bila ingin berpergian ke kota. Belum habis cerita tentang pemboikotan desa satu terhadap desa lainnya, bila malam tiba penjagaan antar kampung diperketat untuk mencegah terjadinya kerusuhan.

  Klimaks cerita berawal pada salah satu malam di antara malam satu bulan arab yaitu malam tanpa kehadiran bulan. Kehadiran empat orang lelaki dari desa hilir ke sebuah poliklinik seorang Dokter yang bermaksud memohon pertolongan tapi malah menimbulkan kepanikan dalam hati si Dokter. Hal ini menyulut kepanikan sementara dan perhatian dari seorang Polisi, Abdul Wahid. Tapi sebelum kerusuhan kecil menyala, si Dokter telah memahami dan memaklumi maksud kedatangan keempat lelaki dari desa hilir tersebut dan menyanggupi permintaan mereka walau ia sempat diterpa keragu-raguan yang cukup hebat dari pihak internal dan eksternal tapi keragu-raguan itu dapat dinetralisir dengan perkataan iba dan janji yang keluar dari mulut salah seorang lelaki desa hilir tersebut. Ringkas cerita Dokter beserta para Perawat, Pelayannya, Abdul Wahid beserta keempat lelaki itu pergi ke desa sebelah untuk memenuhi keinginan mereka. Teryata di desa hilir, mereka disambut dengan kata-kata bijak karena mereka akan menolong seorang wanita yang sangat menderita setelah melahirkan. Setelah diperiksa lebih lanjut teryata sang dokter mendapati sebuah bisul besar di payudara perempuan itu, kontan hal itu menimbulkan kepanikan dan verifikasi untuk mengoperasi sang perempuan malam itu juga. Allah tidak pernah lupa dengan perbuatan baik hambanya sehingga malam itu berlalu dengan hadirnya bulan purnama walau malam itu merupakan salah satu malam di antara malam satu bulan arab yaitu malam tanpa kehadiran bulan. Terlebih si Dokter memenuhi kata hatinya untuk menyelaraskan keseimbangan kedua belah desa setelah Abdul Jabar, salah seorang dari keempat lelaki tadi menawarkan imbalan pada si Dokter.

  Malam bahagia itu ditutup dengan Shalat Shubuh Jama’ah kedua belah desa. Setelah kejadian itu ditunaikanlah diyat untuk menembus kesalahan dan musyawarah perdamaian agar kedua belah desa kembali berjalan beriringan sehati dan menjadi satu kesatuan dalam keluarga.

II.1. Tema Tema merupakan dasar cerita yang paling penting dari seluruh cerita.

  Tanpa tema, sebuah cerita rekaan tidak ada artinya sama sekali. Selain itu, tema juga merupakan tujuan cerita, atau ide pokok di dalam suatu cerita yang merupakan patokan untuk membangun suatu cerita. Dengan kata lain, tema adalah suatu unsur yang memandu seorang pengarang sebagai ide utama atau pemikiran pokok, ke mana sebuah cerita akan diarahkan. Robert Stanton menempatkan tema sebagai sebuah arti pusat dalam cerita, yang disebut juga sebagai ide pusat dan Stanton juga menyatakan bahwa tema cerita berhubungan dengan makna pengalaman hidupnya. Oleh karena itu, tema menjadi salah satu unsur dan aspek cerita rekaan yang memberikan kekuatan dan sekaligus sebagai unsur pemersatu kepada sebuah fakta dan alat-alat penceritaan, yang mengungkapkan tentang kehidupan. Tema selalu dapat dirasakan pada semua fakta dan alat penceritaan di sepanjang sebuah cerita rekaan.

  Tema tidak dapat dipisahkan dari permasalahan-permasalahan yang dikemukakan pengarang dalam karyanya sebab tema selalu berkaitan dengan masalah (kehidupan) yang dikemukakan dalam cerita rekaan tersebut. Akan tetapi tema tidak sama dengan masalah. Tema adalah suatu (hal) yang berkaitan dengan pandangan, pendapat, ataupun sikap pengarang tentang suatu masalah, sedangkan masalah adalah sesuatu hal yang haarus diselesaikan. Sebuah tema pada dasarnya merupakan abstraksi dari suatu masalah. Oleh karena itu, tema sebuah karya sastra haruslah diabstraksikan dari masalah utama yang diungkapkan pengarang dalam karyanya. Adapun cerpen “malam tanpa rembulan” karya Najib Al-Kaylani ini mengandung tema (mayor) tentang kesenjangan sosial yang terjadi pada suatu ornamen masyarakat dan menyulut rasa fanatik dari setiap individu. Sedangkan beberapa masalah (tema minor) adalah sebagai berikut.  Egoisentris (Fanatik)

  Ego suatu individu yang menjelma menjadi fanatik masyarakat satu terhadap lainnya, seperti yang diungkapkan pengarang:

  Telah terjadi perselisihan di pasar desa antara seorang juragan dari desa kami dengan salah seorang pekerjanya yang berasal dari desa sebelah. Ejekan dan tuduhan silih berganti. Pasarpun menjadi medan perperangan dan, darah sampai jatuh korban dua orang tewas yang berasal dari desa sebelah, adapula korban luka2. inilah yang , menjadi awal perselisihan yang kejam antara dua desa ini. Celakannya, inisiatif perdamaian keduannya sangat berbelit-belit, padahal masih ada hubungan persaudaraan satu keluarga di antara keduannya, bahkan tanah persawahan luas yang dimiliki desa kami terletak diwilayah desa sebelah itu. Dan jelaslah bahwa desa itu memang menuntut balas atas dua korban dari pihak mereka.balas dendam itu bagi mereka adalah sebuah kemuliaan.

   Keperdulian Sosial Ungkapan dokter terhadap pertikaian kedua belah pihak;

  Alangkah celakanya orang-orang yang berlebihan dalam dendamnya!! ia tidak boleh atas penghormatan bahkan haram untuk hidup berdampingan denagn sesamanya.

  Keperdulian si Dokter terhadap harga suatu kehidupan; “Ada seseorang perempuan yang empat hari lalu melahirkan bayinya.

  Keadaanya sangat kritis dan menyedihkan. Jika anda tidak menolongnya ia pasti akan mati” Saya memandangi keempat lelaki itu. Senapan-senapan masih tergantung di pundak mereka. Sekarang saya sudah bisa mengenali mereka setelah sedikit tenang. Saya tahu nama mereka, saya sering ketemu mereka di klinik. Seketika Abdul Wahid si penjaga pun muncul... ia juga memegang senapan dan mengarahkan pada mereka namun mereka diam saja. Saya bicara pada abdul wahid sambil menarik nafas panjang, “Turunkan senjatamu”

II.2. Penokohan

  Pembicaraan mengenai alur pada dasarnya adalah pembicaraan mengenai rangkaian peristiwa dan kejadian dalam sebuah karya sastra khususnya cerpen atau novel, sedangkan peristiwa itu terjadi karena tindakan dan perbuatan manusia yang menjadi tokoh cerita dalam konfliknya sesama tokoh atau dengan lingkungannya. Henry James secara retorik menyatakan karakter (watak) sesungguhnya merupakan penentu bagi peristiwa dan kejadian. Sebaliknya, peristiwa merupakan ilustrasi atau pencerminan karakter tokoh. Saleh Saad menyatakan bahwa tokoh dan penokohan merupakan faktor penting yang harus ada dalam cerita sebab segenap peristiwa terjadi karena aksi/tindakan para tokoh cerita itu. Dengan kata lain, peristiwa dan kejadian di dalam cerpen “malam tanpa rembulan” karya Najib Al-Kaylấnị tidak dapat dipisahkan dan dilepaskan dari tokoh yang menyebabkan terjadinya peristiwa tersebut. Pada cerpen ini terdapat satu tokoh sentral, yaitu Dokter, yang mempunyai watak sebagai berikut.  Welas asih nan budiman

  Permintaan damai kepada Abdul Jabar antara kedua belah desa tanpa pamrih untuk kemaslahatan bersama:

  “Saya hanya minta satu hal saja, Abdul Jabar!” “Mintalah..anda akan mendapatkannya. Abdul Jabar tak akan ingkar janji.” “saya minta agar kemurnian dan keselarasan kembali lagi...” “maksud anda, perdamaian. Dokter!? “ “ya, begitulah, Abdul Jabar,!?” dan jawaban atas kesinisan pak kepala desa saat si Dokter pulang ke klinik: Saya pun menimpali, “Maafkan saya, maafkan saya Pak kepala desa sesungguhnya apa yang kulakukan adalah suatu kewajiban atas nama allah, sekarang marilah kita bersama menunaikan sholat shubuh.”

   Lekas tenang saat di dera kepanikan (motivasi)

  ......senapan-senapan ada di tangan mereka, satu tembakan saja akan membisukan suara saya selamanya namun, tanpa sadar, saya berteriak memanggil penjaga, “Abdul Wahid..... Abdul Wahid.........” akan tetapi seorang dari keempat lelaki itu menuju ke hadapan saya dengan tenang, ia memegang telapak pundak saya dengan lembut seraya berkata denagn nada kejujuran yang tidak tersembunyi, “Tidak usah khawatir dokter, kami tidak sekali-kali menyakiti seseorang yang mengobati rasa sakit kami dan menyembuhkan luka.. anda tidak terlibat dalam peristiwa ini..anda adalah bagian dari kami dan kami adalah bagian dari anda”, saya berkata sementara tubuh saya mengigil, “Lalu kalian mau apa?”

  “Ada seseorang perempuan yang empat hari lalu melahirkan bayinya. Keadaanya sangat kritis dan menyedihkan. Jika anda tidak menolongnya ia pasti akan mati” Saya memandangi keempat lelaki itu. Senapan-senapan masih tergantung di pundak mereka. Sekarang saya sudah bisa mengenali mereka setelah sedikit tenang. Saya tahu nama mereka, saya sering ketemu mereka di klinik. Seketika Abdul Wahid si penjaga pun muncul... ia juga memegang senapan dan mengarahkan pada mereka namun mereka diam saja.

  Saya bicara pada abdul wahid sambil menarik nafas panjang, “Turunkan senjatamu”

   Tegas

  .....Mereka meminta saya untuk tidak pergi, alih-alih si wanita sakit biar pergi keneraka!! Namun saya berbicara dengan tenang “Aku akan tetap pergi......siapa yang mau ikut bersamaku?”

II.3. Alur

  Forster mendefininisikan cerita adalah pengisahan peristiwa demi peristiwa yang tersusun sedemikian rupa berdasarkan urutan waktu. Oleh karena itu, cerita merupakan sederetan kisah dan peristiwa yang tidak harus berhubungan dan belum tentu pula berkaitan satu sama lainnya. Secara sepintas, perbedaan antara batasan cerita dan alur agak kabur dan sedikit tersamar. Forster mmberikan batasan alur juga sebagai suatu rentetan penceritaan, tetapi penekanannya terletak pada hubungan kausalitas. Hubungan kausalitas tersebut tidak hanya dinyatakan dengan sangat eksplisit, tetapi juga mengandung suatu misteri, yaitu suatu bentuk pernyataan yang bisa dikembangkan dengan baik sekali.

  Alur sebenarnya merupakan salah satu aspek intelektual dan logika dalam cerita rekaan, yang juga memerlukan misteri, yang membuat pembacanya mungkin meraba-raba dalam dunia yang tidak nyata. Alur adalah jalan cerita dalam sebuah cerpen dengan pengertian bagaimana cara pengarang menyuguhkan cerpennya kepada pembaca, bagaimana suatu cerita dirangkaikan antara satu peristiwa dengan peristiwa yang lain dalam hubungan kausalitas. Saleh Saad mencoba merumuskan pengertian alur sebagai sambung- sinambung peristiwa berdasarkan hukum sebab-akibat. Alur tidak hanya mengemukakan apa yang terjadi, tetapi yang lebih penting menjelaskan mengapa hal itu terjadi. Hubungan sebab-akibat dalam alur selalu menuntut kemampuan daya ingat dan kecerdasan berpikir pembaca agar dapat memahami sebuah cerita rekaan. S. Tarif menyebut alur sebagai konflik yang merupakan tulang punggung sebuah novel. Konflik memang dapat dihadirkan dalam berbagai bentuk di sepanjang alur, seperti antartokoh cerita, antara tokoh dengan alam sekitarnya, dan intertokoh cerita yang biaasanya dikenal dengan konflik batin. Tanpa konflik, alur cerita tidak akan bergerak. Dalam Cerpen “malam tanpa rembulan” karya Najib Al-Kaylấnị, dalam mengisahkan ceritanya, pengarang menggunkan alur maju. Diawali dengan tahap perkenalan, yaitu pada paragraf 1. Disusul dengan suatu keadaan yang mulai bergerak, yaitu pada paragraf 2 hingga 7, yaitu mulai peristiwa pertikaian antar majikan dan buruhnya yang mengakibatkan permusuhan dan pertikaian antar desa. Kemudian, klimaks terjadi pada paragraf 5-7, yaitu ketika tokoh utama mengalami gejolak batin untuk menolong sesama saudaranya muslim atau bertaruh nyawa karena pertikaian antar kedua desa belum rampung. Penyelesaian (ending) cerpen ini menurut saya mudah ditebak (happy ending) dengan perdamaian kedua belah pihak yang bertikai dan ditutup dengan menjalankan syariat agama yang dianut kedua belah masyarakat itu.

II.4. Setting

  Dalam analisis cerita rekaan, latar atau setting juga merupakan salah satu unsur yang sangat penting bagi penentuan nilai estetik karya kesusastraan. Latar atau setting juga merupakan salah satu fakta cerita yang harus diperhatikan, dianalisis dan dinilai. Latar biasa juga disebut sebagai

  atmosphere atau setidak-tidaknya bagian atmosphere atau tone secara keseluruhan.

  Pada cerita rekaan, boleh dikatakan hampir selamanya diperlukan dan dipentingkan latar cerita yang secara singkat dapat dikatakan berfungsi untuk membuat cerita rekaan tersebut supaya terasa lebih hidup, lebih segar, atau memberikan lukisan yang lebih jelas mengenai peristiwa-peristiwa, perwatakan tokoh, dan sebgainya sehingga seolah-olah sungguh-sungguh terjadi seperti dalam kehidupan manusia sehari-hari.

  Pada dasarnya, latar adalah tempat terjadinya peristiwa dalam cerita pada suatu waktu tertentu. Dengan cara yang lebih luas, dapat dikatakan bahwa latar adalah lingkungan di sekeliling pelaku cerita, mungkin berupa sebuah kamar, lingkungan kehidupan sebuah rumah tangga, bahkan di dalamnya termasuk pula pekerjaan dan lingkungan pekerjaan para pelaku, alat-alat yang digunakan dan berhubungan dengan pekerjaan tokoh, dan sebagainya. Dalam cerpen ini terdapat beberapa hal yang berkaitan dengan setting, yaitu:

  Setting Tempat

  1. pasar

  2. Dua buah desa; hulu dan hilir

  3. Poliklinik

  4. Ladang jagung yang mengitari Poliklinik

  5. Jalan, persimpangan dan gang-gang kecil

  6. Rumah si Perempuat yang sakit

  7. Mushola

  Lingkungan Kehidupan

  1. Lingkungan masyarakat desa

  2. Lingkungan Poliklinik beserta komponennya

  3. Lingkungan keluarga

  Sistem Kehidupan

  • Sistem kehidupan feodal : ada atasan dan bawahan
  • Sistem kehidupan di hutan : terdapat pimpinan, adat istiadat yang mengikat warganya, dsb.

  Alat-alat yang digunakan atau benda-benda yang berhubungan dengan suatu lingkungan kehidupan

  Senapan, alat-alat kedokteran (pengobatan), lampu-lampu sambutan kepada sang Pahlawan (Dokter).

  Waktu terjadinya peristiwa

  Salah satu di antara malam satu bulan arab yaitu malam tanpa kehadiran bulan.

II.5. Sudut Pandang Penceritaan

  Dalam menyuguhkan ceritanya, pengarang dapat menggunakan beberapa sudut pandang dalam arti seorang pengarang bisa mengambil atau memilih suatu posisi serta kedudukan tertentu terhadap kisah yang akan ditulisnya. Ada kalanya seorang pengarang hanya mengambil posisi sebagai orang luar saja, berada di luar cerita yang dikisahkannya. Akan tetapi, kemungkinan juga pengarang akan mengambil posisi sebagai salah seorang tokoh yang melibatkan diri serta ikut bermain dan mengambil peranan dalam cerita tersebut tanpa mengurangi sifat rekaan cerita itu. Baik mengambil posisi sebagai orang luar maupun melibatkan diri sebagai pemeran atau tokoh, namun tokoh cerita itu sendiri tetap merupakan tokoh rekaan pengarang. Dalam Cerpen “malam tanpa rembulan” ini pengarang menggunakan sudut pandang pertama dalam pengisahkan ceritanya, yaitu dengan aku sebagai

  tokoh utama (first-person-central), yaitu tokoh utama mengisahkan cerita dalam kata-katanya sendiri.

II.6. Simbol / Gaya Bahasa

  Ide dan perasaan sering tampak nyata seperti fakta fisikal meskipun tidak tampak dan tidak dapat diraba. Dalam karya sastra salah satu cara untuk membuatnya seperti nyata ialah dengan menggunakan simbol sehingga ide dan perasaan itu dapat mudah diterima dalam angan-angan pembacanya. Mnurut Stanton, simbolisme dalam karya fiksi memiliki manfaat tergantung bagaimana penggunaannya.

  Pengertian simbolisme sastra mungkin membuat pembaca lebih bingung daripada penertian sarana cerita lainnya. Namun, simbolisme tidaklah aneh dan sulit dengan sendirinya. Alasan itu didasarkan bahwa hampir semua simbol dalam sastra tidak lebih merupakan fakta yang tampaknya masuk akal. Alasan lainnya adalah bahwa sebagian besar simbol sastra mengungkapkan arti untuk mana simbol konvensional tidak muncul. Oleh karena itu, masalah kita sebagai pembaca ada dua hal, yaitu untuk mengetahui pernyataan-pernyataan itu sebagai simbol atau bukan, dan mencari makna yang diungkapkan.

  Di dalam cerpen ini juga terdapat simbol, yaitu pada judul cerpen itu sendiri, “malam tanpa rembulan” . Ungkapan ini mengandung arti konotasi, yaitu sebuah kehidupan (bulan) yang kehilangan tonggak budaya dan sosialnya karena sebuah perbedaan mendasar. Hal ini diungkapkan pengarang pada awal pengenalan cerita:

  .......kehidupan di desa itu tidaklah selalu tentram seperti yang dilukiskan oleh para penyair, padahal pohon-pohon yang hijau, sawah-sawah yang indah, langit biru nan cerah, kesederhanaan, kepasrahan dan kesabaran serta keikhlasan atas segala yang diberikan Allah adalah gambaran dari suatu desa yang jauh dari keributan, percekcokan dan kekerasan.

  Pada suatu hari segala seseuatunya berubah.ketenangan menjelma menjadi keributan yang menuntut dendam. Jadilah surga kedamaian berubah neraka, ketakutan dan keraguan, seakan-akan roda kehidupan berhenti.

  Telah terjadi perselisihan di pasar desa antara seorang juragan dari desa kami dengan salah seorang pekerjanya yang berasal dari desa sebelah. Ejekan dan tuduhan silih berganti. Pasarpun menjadi medan perperangan dan, darah sampai jatuh korban dua orang tewas yang berasal dari desa sebelah, adapula korban luka-luka. inilah yang , menjadi awal perselisihan yang kejam antara dua desa ini.

III. KESIMPULAN

  Menurut saya, cerpen “malam tanpa rembulan” cukup bagus karena penulis menggunakan sudut pandang orang pertama dalam menuturkan ceritanya sehingga yang dialami tokoh utama benar-benar dapat dirasakan oleh pembaca. Atau dengan kata lain, pembaca dapat dengan mudah masuk, meresapi, dan merasakan apa yang dialami oleh tokoh utama.

  Selain itu, cerpen ini mempunyai arti penting, yakni dari segi pelajaran atau amanat yang ingin disampaikan oleh penulisnya kepada pembaca yang dapat diambil setelah membacanya. Amanat atau pesan yang saya tangkap dari cerpen ini adalah kita tidak boleh bersifat egois, mementingkan kepentingan diri sendiri, tetapi juga harus memikirkan bagaimana perasaan orang lain. Selanjutnya, keegoisan itu juga dapat merugikan orang lain, yaitu dalam cerpen ini diceritakan bahwa karena keegosian dan fanatik sangat rentan membawa individu beserta masyarakat dalam menuai pertikaian bahkan kerusuhan. Terakhir, dengan judul yang bisa diartikan berbagai macam hal, teryata kecerdasan pengarang dapat dilihat dari pemilihan judul yang berarti saat terjadinya peristiwa dan mekonotasikan tema dari esensi cerpen ini sendiri..salut.

IV. DAFTAR RUJUKAN

  Cerpen “malam tanpa rembulan” karya Najib Al-Kaylấnị (pujangga modern mesir) Bahan kuliah kritik dan perbandingan Sastra Arab oleh:Dra. Hindun, M.Hum. Prof. Dr. Rachmat Djoko Pradopo, Prinsip-prinsip kritik sastra. Gadjah Mada University press. Yogyakarta. 2003 Diskusi on-line:

  

   Malam Tanpa Rembulan 

Najib al-kaylani

  Sudah sejak lama saya berkerja sebagai dokter di sebuah desa yang jahu dari keluarga.kehidupan didesa itu tidaklah selalu tentram seperti yang dilukiskan oleh para penyair, padahal pohon2 yang hijau, sawah2 yang indah, langit biru nan cerah, kesederhanaan, kepasrahan dan kesabaran serta keikhlasan atas segala yang diberikan Allah adalah gambaran dari suatu desa yang jauh dari keributan, percekcokan dan kekerasan

  Pada suatu hari segala seseuatunya berubah.ketenangan menjelma menjadi keributan yang menuntut dendam. Jadilah surga kedamaian berubah neraka, ketakutan dan keraguan, seakan-akan roda kehidupan berhenti.

  Telah terjadi perselisihan di pasar desa antara seorang juragan dari desa kami dengan salah seorang pekerjanya yang berasal dari desa sebelah. Ejekan dan tuduhan silih berganti. Pasarpun menjadi medan perperangan dan, darah sampai jatuh korban dua orang tewas yang berasal dari desa sebelah, adapula korban luka2. inilah yang , menjadi awal perselisihan yang kejam antara dua desa ini. Celakannya, inisiatif perdamaian keduannya sangat berbelit-belit, padahal masih ada hubungan persaudaraan satu keluarga di antara keduannya, bahkan tanah persawahan luas yang dimiliki desa kami terletak diwilayah desa sebelah itu. Dan jelaslah bahwa desa itu memang menuntut balas atas dua korban dari pihak mereka.balas dendam itu bagi mereka adalah sebuah kemuliaan. Alangkah celakanya orang-orang yang berlebihan dalam dendamnya!! ia tidak boleh atas penghormatan bahkan haram untuk hidup berdampingan denagn sesamanya. Desa sebelah itupun bertekad untuk membunuh siapa saja yang menjadi utusan dari desa kami apapun derajatnya. Mereka mesti membunuh orang orang. Seperti inilah keadaannya, para petani yang punya di desa sebelah pun tak bisa kesana juga orang- yang ingin pergi ke kota karena jalan yang ada melewati jalan yang sedang dendam itu. Malam hari dimusim panas yang tenang pun lenyap oleh penembakan-penembakan peluru yang mengancam. Selain itu surat-surat ancaman pun saling berbalasan antar keduannya

  Ketika itu, saya sedang duduk di poliklinik yang menjadi tempat kerja saya, sambil memeriksa keadaan dengan perasaan was-was. saya memikirkan cara untuk menghentikan pertikaian yang mencekam ini, yang bisa saja terhanyut dengan tetesan darah. Pembakaran dan penghancuran. Kekhawatiran saya pun bertambah ketika saya sadar bahwa klinik saya ini terletak di antara dua desa itu dan diantara lingkaran kemarahan, dan bahwa klinik ini biasa menerima pasien dari sana-sini, ini memang benar-benar tempat yang berduri.

  Pada suatu sore yang tidak saya lupakan, terjadi sesuatu yang membingungkan. Malam itu adalah satu di antara malam satu bulan arab yaitu malam tanpa kehadiran bulan. Saat itu saya duduk sambil memandang bintang-bintang serta menikmati ketenangan dan udara malam.......di depan rumah, di dalam poliklinik itu. Tiba-tiba kegelapan pecah oleh empat orang laki-laki yang membawa senjata. Saya memandang mereka sehingga tak bisa bangkit dari tempat duduk. Hati saya berdebar ketakutan, keringat saya mengalir deras, saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Mereka berempat adalah penduduk desa sebelah. Saya berpikir cepat bahwa mereka mau menuntut balas karena saya adalah penduduk desa pembunuh itu, juga keluarga saya. Mereka telah berpikir untuk membunuh seseorang tetapi tidak mendapati kecuali saya. Saya mulai berpikir untuk memberi penjelasan. Namun apa gunanya penjelasan itu?! seharusnya saya tidak tinggal sendirian malam itu, apalagi poliklinik ini dikelilingi batang-batang jagung yang tinggi. Bentuknya menyerupai hutan yang hitam dan besar terbungkus malam yang gelap...apa saya harus berteriak, apa saya harus meminta tolong pada penjaga yang bersenjata, omong kosong, senapan-senapan ada di tangan mereka, satu tembakan saja akan membisukan suara saya selamanya namun, tanpa sadar, saya berteriak memanggil penjaga, “Abdul Wahid..... Abdul Wahid.........” akan tetapi seorang dari keempat lelaki itu menuju ke hadapan saya dengan tenang, ia memegang telapak pundak saya dengan lembut seraya berkata denagn nada kejujuran yang tidak tersembunyi, “Tidak usah khawatir dokter, kami tidak sekali-kali menyakiti seseorang yang mengobati rasa sakit kami dan menyembuhkan luka.. anda tidak terlibat dalam peristiwa ini..anda adalah bagian dari kami dan kami adalah bagian dari anda”, saya berkata sementara tubuh saya mengigil, “Lalu kalian mau apa?” “Ada seseorang perempuan yang empat hari lalu melahirkan bayinya. Keadaanya sangat kritis dan menyedihkan. Jika anda tidak menolongnya ia pasti akan mati” Saya memandangi keempat lelaki itu. Senapan-senapan masih tergantung di pundak mereka. Sekarang saya sudah bisa mengenali mereka setelah sedikit tenang. Saya tahu nama mereka, saya sering ketemu mereka di klinik. Seketika Abdul Wahid si penjaga pun muncul... ia juga memegang senapan dan mengarahkan pada mereka namun mereka diam saja. Saya bicara pada abdul wahid sambil menarik nafas panjang, “Turunkan senjatamu” namun ia masih seperti tadi, “Apa yang kalian inginkan?” katanya dengan kemarahan, “Sabarlah Abdul Wahid” jawab mereka, “segala sesuatunya ada dalam darah kalian!” “Sadarlah, Abdul Wahid!” Saya pun berdiri dari tempat duduk setelah menyiapkan, lalu saya letakan tangan saya pada senapannya abdul wahid seraya berkata, “Singkirkan barang ini jauh-jauh, pergi dan panggil perawat atau bangunkan jika sedang tidur!” Abdul Wahid pun berteriak kaget, “Apakah anda akan ikut bersama mereka, dokter!?” “Pergi sana, kerjakan perintah ku tadi” jawab saya tegas. Abdul Wahid pun berlalu dengan berat, tentunya masalah ini tidaklah mudah. Bagaimana saya berangkat ke desa yang terluka itu, sementara darah korban mereka belum kering?! Apakah mungkin meski satu banding seratus mereka akan membalas dendam pada saya? Saat ini saya sedang menderita perselisihan tajam dalam diri saya yang hanya Allah yang tahu, disamping itu saya telah menyetujui ajakan mereka, pergi ke desa mereka di bawah sayap kegelapan, sesungguhnya ada suatu panggilan dalam diri saya untuk pergi. Suara seorang dari mereka menghampiri saya dan kebingungan menohok diri saya, “ Jiwa kami sebagai tebusan anda, desa kami tak akan menyakiti tangan yang memberinya kebaikan” “Astagfirullah, saya selalu ada di pihak kalian, “ kata saya gagap. Tak lama kemudian seluruh pegawai telah berkumpul di klinik, baik Pelayan kemudian maupun para Perawat. Terjadilah kegaduhan yang sangat ramai. Mereka meminta saya untuk tidak pergi, alih-alih si wanita sakit biar pergi keneraka!! Namun saya berbicara dengan tenang

  “Aku akan tetap pergi......siapa yang mau ikut bersamaku?” “Saya tidak aka meninggalkan anda, “ kata si Perawat, “saya juga” kata Ridwan si Peramu Obat, Abdul Wahid pun berteriak “kakiku ada pada kaki anda..saya disini sebagai wakil pemerintah saya tidak akan meninggalkan anda.”

  Rombongan kecil itu pun dari pintu belakang klinik memecah jalan sempit di kegelapan malam. Di kanan dan kiri ada ladang jagung yang berdiri seperti gunung kecil yang hijau yang bersemi dilembah sempit. Gerak langkah kami pun bergemuruh dalam kesunyian yang seram. seperempat jam kemudian, kami telah memasuki jalan- jalan desa itu dan persimpangan-persimpangannya yang sempit. Kami pun keluar dari gang satu menuju gang yang lain. Dan sampai tempat tujuan, kami mendapati puluhan lampu yang menyala. Lampu-lampu itu dibawa oleh perempuan-perempuan berselendang hitam di pinggir-pinggir jalan. Saya mendengarkan mereka sambil berjalan menjejaki jalan sempit itu. Mereka mengulang ungkapan-ungkapan yang mengandung makna dan kebijaksanaan yang indah, “Semoga Allah menutupi aib anda....,” “Semoga Allah menjaga anda” “Bangsawan, keturunan terhormat” begitu saya memasuki rumah si perempuan yang sakit itu sebuah rumah kecil menyerupai gubuk. Ia pun berteriak meminta tolong dan berbisik, “Kasihanilah saya...kasihanilah aku...Tuhan..!” Ia terbentang di atas tikar khusus, kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri. Ia sedang mengalami penderitaan yang sangat. Bayang-bayang sakit yang menyedihkan tercermin dari wajahnya yang pucat lagi kurus sedangkan anaknya yang baru lahir terlentang disampingnya sambil menjerit-jerit.

  Setelah diperiksa, jelaslah bahwa ia menderita bisul besar didadanya, bengkak dan nanah yang tersimpan didalamnya telah membuatnya demam dan menderita kepedihan. Ini memerlukan operasi segera untuk bisa memecah dan menyusutkan bengkak itu. Ia juga harus diberi sedikit penenang dan antibiotik tapi kami belum menghilangkannya untuk sementara waktu. Si Perawat lalu berpindah kesamping saya dengan perlahan kami pun mengunakan bius permulaan jika tidak ada yang lain lagi

  Ketika itu pertolongan Allah menyertai kami, begitu saya letakan pisau bedah dan merobek bisul itu, menderaslah sejumlah besar cairan dari bengkakan itu....ditengah-tengah kesibukan itu, saya lupa segala-galanya. Saya tidak lagi merasakan ketakutan ataupun keraguan, kamipun dengan cepat menyelesaikan segala sesuatunya, saya pun merasa gembira yang tak tergambarkan, saya lihat perempuan itu merasakan nafas kelegaan. Lambat laun ia pun tidur dengan tenang, ketentraman dan keridhoan pun telah ada pada dirinya. Hal ini adalah saat-saat terindah dalam hidup. Tepuk tangan pun bergemuruh di seluruh desa malam itu. Dalam perjalanan pulang, Abdul Jabar, seorang dari keempat laki-laki tadi berbicara, “Kami tak akan melupakan kebaikan anda ini selama hidup. Meski anda meminta jiwa saya pasti akan saya berikan.” Saya menjawab, “Saya hanya minta satu hal saja, Abdul Jabar!” “Mintalah..anda akan mendapatkannya. Abdul Jabar tak akan ingkar janji.” “saya minta agar kemurnian dan keselarasan kembali lagi...” “maksud anda, perdamaian. Dokter!? “ “ya, begitulah, Abdul Jabar,!?” Abdul Jabar diam selama beberapa lama. Ia-pun lalu berbicara, “Sesama muslim itu saudara, kita harus mengadakan perundingan damai. Sesuatu yang telah disyariatkan adalah wajib ketetapannya. Dengan begitu kita bisa menutup lubang yang dibuat oleh Setan.” Saya pun memegang pundaknya dan mengoyangkan dengan cinta kasih, “ sodorkannlah tanganmu, dan berjanjilah padaku, Abdul Jabar!” Suara Muadzin pun berkumandang. Memanggil orang-orang untuk sholat shubuh. Abdul Jabar menyodorkan tangannya dan berkata, “Saya berjanji pada anda.”

  Ketika saya kembali ke klinik, saya mendapati gerombolan warga desa. Mereka membawa senjata sambil mengancam. Mereka juga meminta saya untuk mengembalikan kehormatan. Saya juga mendapati kepala desa memandang sambil mencela saya, “Kau hampir menghabiskan masa depanmu untuk pertaruhan yang keliru.” Saya pun menimpali, “Maafkan saya, maafkan saya Pak kepala desa sesungguhnya apa yang kulakukan adalah suatu kewajiban atas nama allah, sekarang marilah kita bersama menunaikan sholat shubuh.” Beberapa hari setelah itu diadakan sebuah majlis perdamaian dan ditunaikanlah diyat. Desa kami kembali tenteram. Tersebarlah sayap-sayap putih di rubu’i hadra di antara kedua desa selamanya.....