Age of Empires dan Kaitannya dengan Poli

Age of Empires dan Kaitannya dengan Politik Imperialisme Eropa di
‘Dunia Baru’
Age of Empires merupakan masa dimana kerajaan-kerajaan besar menguasai dunia seperti
Mesopotamia, Makedonia, Romawi, Mesir, Byzantines, Celts, Persia, Vikings, Turki, India, dan
Cina pada abad 16 sampai abad ke 19 (AoE II). Kerajaan-kerajaan ini pernah menjadi pusat
peradaban dunia dengan warisan budaya yang amat kaya. Pada masa ini dilakukan ekspedisi
pelayaran serta pengejaran 3G (Glory,Gold and Gospel). Internasionalisme dan kolonialisme
merupakan tema sentral dari periode ini.Bangsa Eropa melakukan eksplorasi dan ekspansi sejak
abad ke 15 dan 16.Dalam rentang waktu singkat negara-negara besar mampu menaklukkan
negara-negara berkembang dan akhirnya mendapatkan koloni baru.
Politik luar negeri serta perang yang dilakukan para Kaisar bertujuan untuk menjamin
dan melindungi daerah yang ditaklukkan sebelumnya. Teori-teori ekonomi tentang imperialisme
dikembangkan dalam pemikiran Marxis dan Liberal.Teori Marxis tentang imperialisme
bertopang pada keyakinan yang menjadi dasar semua pemikiran marxis, bahwa segenap gejala
politis merupakan refleksi dari kekuatan ekonomis. Gejala politis dari imperialisme merupakan
hasil sistem ekonomi yang di dalamnya mengandung sumbernya-yakni kapitalisme.Hal ini
merupakan

pemikiran

V.I.Lenin


(1870-1924)

“Imperialism

the

Highest

Stage

of

Capitalism”(1916). Teori ini membagi negara menjadi negara core (negara kapitalis yang
merupakan kelas borjuis) dan negara periphery (negara berkembang yang merupakan kelas
proletar). Eropa muncul sebagai negara core yang mengekspansi negara periphery pada zaman
kekaisaran.
Perang Boer tahun 1899-1902 (Inggris dan kaum Boer) , yakni orang-orang keturunan
Belanda di Afrika Selatan dan Perang Chaco antara Bolivia dan Paraguay dari tahun 1932-1935.
Hampir tidak dapat diragukan bahwa yang menjadi penyebab utama Perang Boer ialah

kepentingan Inggris dalam penambangan emas.Perang Chaco oleh sejumlah orang terutama
dianggap sebagai perang antara dua perusahaan minyak untuk menguasai ladang minyak.Perang
Austria-Prusia tahun 1866, dan Perang Perancis-Jerman tahun 1870 dimana ini merupakan
perang politik imperialistis yang dilakukan dengan tujuan untuk menetapkan pembagian
kekuasaan yang baru, pertama untuk keuntungan Prusia di dalam Jerman dan kemudian untuk
keuntungan Jerman di dalam sistem negara di Eropa. Semua imperialisme pada masa pra1

kapitalis dan masa kapitalis cenderung menggulingkan hubungan kekuasaan yang sudah
terbentuk dan menggantikannya dengan dominasi kekuasaan imperialistis.Tujuan utama ialah
kekuasaan dan bukan keuntungan ekonomis.Imperialisme sebagai usaha untuk meruntuhkan
kekuasaan yang ada, mengandung resiko perang yang tidak dapat dielakkan lagi.
Imperialisme didorong oleh beberapa faktor, perang yang berakhir dengan kemenangan
bilamana suatu negara terlibat dalam perang dengan negara lain, mungkin sekali bahwa negara
yang mengharapkan kemenangan akan menempuh politik yang berusaha memperoleh perubahan
tetap dari hubungan kekuasaan dengan musuh yang dikalahkan . Negara terebut akan menempuh
pengejaran politik tanpa menghiraukan tujuan pada saat pecahnya perang. Kegagalan dalam
perang juga mendorong munculnya imperialisme yang dipahami sebagai reaksi atas imperialisme
pihak lain. Imperialisme yang dilakukan oleh Jerman dari tahun 1935 sampai akhir perang
Dunia II merupakan dorongan atas kegagalan Perang . Status quo di Eropa tahun 1914
digambarkan oleh aliansi kekuasaan besar yang terdiri dari Austria, Perancis, Jerman,

Inggris,Italia, dan Rusia. Kemenangan Sekutu dan perjanjian-perjanjian perdamaian yang
sesudah itu menciptakan status quo baru, merupakan hasil yang diperoleh dari politik
imperialisme Perancis. Status quo ini menetapkan hegemoni Perancis , yang dilaksanakan dalam
aliansi dengan sebagian besar negara Eropa Timur dan Tengah yang baru saja diciptakan.
Tujuan imperialisme dapat berupa penguasaan atau dominasi dunia yang terorganisasi
secara politis; yaitu, imperium dunia (world empire), imperium kontinental, dan kekuatan yang
dilokalisir. Dengan kata lain, politik imperialistis dapat mempunyai batasan selain yang
ditentukan oleh kekuatan perlawanan dari daerah yang merupakan tujuan imperalisme suatu
negara , atau dapat berupa batas yang ditentukan secara geografis, seperti perbatasan geografis
suatu benua, atau dapat diatasi oleh tujuan-tujuan kekuatan imperialistik yang dilokalisir.
Imperium Dunia terlihat dalam politik ekspansionis Alexander Agung , Roma , Arab di
abad ke 7 dan 8, Napoleon I, dan Hitler. Mereka semua mempunyai dorongan yang sama kearah
ekspansi yang tidak mengenal batas-batas rasional, dan kalau tidak dihentikan oleh kekuatan
yang lebih unggul, akan terus sampai ke batas-batas dunia politik.

Imperium kontinental

merupakan imperialisme yang ditentukan secara geografis dalam politik negara-negara di Eropa
untuk memperoleh kekuasaan tertinggi. Imperialisme seperti ini dapat terlihat saat Continental
Louis XIV , Napoleon II dan Wilhelm II. Kerajaan Piedmont di bawah Cavour yang berusaha

menguasai jazirah Italia di tahun 1850-an, Perang Balkan tahun 1912 dan tahun 1913 yang ingin
menguasai Balkan, Mussolini yang mencoba merebut Laut Tengah untuk Italia- semua ini adalah
2

contoh imperialisme yang ditentukan secara geografis atas dasar politik continental (Morgenthau,
2010 : 74).
Metode imperialisme telah berubah pada zaman Age of Empires dan era dunia baru di
Eropa saat ini.Penggunaan imperialisme militer yang merupakan imperialisme paling kuno dan
paling kasar telah beralih menjadi imperialisme ekonomi dan imperialisme kebudayaan.
Dominasi terhadap pengendalian perekonomian dimana disatu pihak untuk menghapus status
quo dengan mengubah hubungan kekuasaan antar negara imperialis dengan negara lain. Contoh
modern yang terkenal dalam imperialisme ekonomi ialah “diplomasi dolar” dan “diplomasi
minyak”.Imperialisme ekonomi telah memainkan peranan penting dalam sejarah imperialisme
Inggris dan Perancis.Persaingan dan perdagangan politik Inggris dan Rusia terhadap Iran
merupakan perlombaan imperialisme ekonomi dimana keduanya berusaha mengendalikan
pemerintah Iran yang pada gilirannya menguasai lading minyak maupun jalur ke India. Profesor
P.E. Roberts menguraikan keberadaan di Iran sebelum Perang Dunia I yang waktu itu masih
dinamakan Persia :
Rusia menekan Iran dari Utara, Inggris dari Selatan , walaupun pengaruh kedua negara itu
berbeda sekali, Inggris memegang sebagian besar perdagangan luar negeri di Persia bagian

Selatan dan menegaskan pembagian umum atas seluruh garis pantai di Asia dari Aden ke Timur
sampai ke Balukistan… Inggris tidak pernah mendambakan pemilikan territorial….
Perkembangan pelayaran di sungai Volga dan pembangunan jalan kereta api transkaspia
memberikan kepada Rusia sebagian besar perdagangan di Persia bagian Utara. Akan tetapi
senjata perdagangan Rusia adalah monopoli dan larangan. Rusia menetapkan larangan atas
pembuatan jalan kereta api di wilayah Persia dan sering menentang tindakan yang dapat
memperbaharui negara (Cambridge, 1910 : 491).

Selain imperialisme ekonomi, imperialisme Eropa di Dunia baru ialah imperialisme
kebudayaan. Imperialisme kebudayaan merupakan soft power yang tujuannya bukan untuk
penaklukkan wilayah atau mengendalikan kehidupan ekonomi, akan tetapi penaklukan dan
pengendalian pemikiran manusia sebagai alat untuk hubungan kekuasaan antara dua negara.
Dalam zaman modern, organisasi agama yang beraliansi atau yang berhubungan erat dengan
pemerintah, memainkan peran penting dalam politik imperialistis yang bersifat kebudayaan.
Politik Rusia di bawah pemerintahan Tsar memakai hubungan ganda Tsar sebagai kepala
pemerintahan dan sebagai kepala Gereja Ortodoks dengan tujuan memperluas kekuasaan Rusia
sampai ke pengikut Ortodoks di negara asing.
The demise of imperialism in the twentieth century marked a fundamental change in world
politics. It reflected , and contributed to, the decreasing importance of Europe as the arbiter of


3

world affairs. The belief that national-self determination should be a guiding principle in
international politics marked a transformation of attitudes and values. During the age of
imperialism political status accrued to imperial powers. After 1945, imperialism became a term
of opprobrium. Colonialism and the United Nations Charter were increasingly recognized as
incompatible , though independence was often slow and sometimes marked by prolonged and
armed dtruggle. The cold war often complicated and hindered the transition to independence.
Various factors influenced the process of decolonization : the attitude of the colonial power; the
ideology and strategy of the anti-imperialist forces; and the role of external powers. Political,
economic, and military factors played various roles in shaping the transfer of power. Different
imperial powers and newly emerging independent states had different experiences of withdrawal
from empire (Baylis, 2008 :58 ).

Pengaruh Era Kekaisaran membawa pemikiran baru sejak munculnya Revolusi Industri
di Eropa dimana pekerja manusia diganti dengan teknologi industri.Pengakuan Hak Asasi
Manusia secara universal di Dunia menolak adanya imperialisme hard power atas suatu
Negara.Eropa dalam dunia baru saat ini bukan lagi terpisah-pisah dalam suatu kekaisaran
melainkan bersatu dalam region Uni Eropa. Uni Eropa menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia,
Demokrasi dan Supremasi Hukum sebagai nilai-nilai pokok bagi Uni Eropa. Hal itu tercantum

pada pasal 1 dan 2 dalam Council of European Union Democracy Support in the EU’s External
Relations – Towards Increased Coherence and Effectiveness :
1.The European Union, as a global actor and the world’s largest donor, is founded on the
principles of liberty, democracy, respect for human rights, fundamental freedoms and the rule of
law. One of the objectives of EU external action is to develop and consolidate democracy and the
rule of law, and respect for human rights and fundamental freedoms. The EU is committed to
improving the coherence and effectiveness of its support to democracy. The Council therefore
decides to adopt an EU Agenda for action on Democracy Support in EU external relations.
2. The EU and its Member States act in support of democracy drawing on strong parliamentary
traditions, based on the role of national Parliaments and regional and local assemblies in
Member States and that of the European Parliament. The Council recognises that democracy
cannot be imposed from the outside. The EU remains committed to the principles of ownership of
development strategies and programmes by partner countries. Locally driven processes can be
supported by an appropriate mix of financial and political instruments tailored to the specific
situation of each country. EU democracy support should therefore aim at assisting efforts and
strengthening the capacity of Governments, Parliaments and other state institutions, political
actors, civil society organisations and other actors. EU efforts aim at contributing to sustainable
development, respect for human rights, democratic governance, security, poverty reduction and
gender equality(General Secretariat European Union , 2009 ).


Politik Imperialisme tidak lagi berujung pada hard power yang merupakan imperialisme
khas zaman kekaisaran. Semboyan 3G (Glory , Gold, and Gospel) tidak lagi melalui ekspansi
maupun pelayaran besar-besaran yang dilakukan para kaisar-kaisar Eropa zaman kekaisaran.
Imperialisme ekonomi dan budaya memegang peranan penting dalam dunia baru Eropa saat
ini.Modernisasi dalam berbagai bidang merubah kriteria kekuasaan menjadi soft power dengan
tujuan humanitarianisme melalui ideologi. Paham persatuan ditanamkan dalam Uni Eropa
4

sebagai organisasi regional yang kemudian menjunjung tinggi nilai-nilai Demokrasi,Hak Asasi
Manusia , dan supremasi hukum . Nilai-nilai yang terkandung dalam Ideologi Uni Eropa telah
tersebar ke seluruh dunia dan dipakai oleh Negara-negara jajahan Uni Eropa.
But the development of global markets and attempts by particular powers to dominate a global
world started happening much earlier. The phase that is the subject of this article is the age of
European empires, from the sixteenth to the twentieth centuries.(Catherine, 2008 :773 ).

Globalisasi sebagai fenomena abad modern telah mengubah pola imperialisme dengan
lebih memfokuskan pada kerjasama antar Negaramaju dan berkembang. Pertumbuhan kuantitas
konsumsi dalam pasar global menyebabkan Eropa melakukan imperialisme ekonomi yang
merupakan soft power imperialism. Zaman kekaisaran merupakan pembelajaran sejarah bagi
Eropa di dunia masa kini, dengan melihat perubahan-perubahan sosial masyarakat serta hak-hak

kedaulatan negara , imperialisme zaman kekaisaran tidak mungkin bisa dilakukan lagi.Tema
sentral imperialisme telah berubah dari zaman kekaisaran seiring perubahan pengetahuan dan
revolusi industri.Walaupun negara tetap membutuhkan sumber daya alam untuk dieksplorasi,
liberalisme merupakan jawabannya.Kerjasama antar negara dalam region serta global menjadi
pilihan terbaik dibandingkan pengalaman sejarah masa kekaisaran yang sangat kuat dengan
imperialisme militer.Penanaman paham ideologi serta nilai-nilai barat di Eropa merupakan
imperialisme baru yang merupakan hasil pembelajaran dari Age of empires yang pernah ada.

DAFTAR PUSTAKA

5

Age of Empire II (1999) Games.History.Directed by Ensemble StudiosUSA: Microsoft
Corporations.
MORGENTHAU, HANS. J .(2010) “Politik Antar Bangsa”. 1th ed. edisi revisi oleh Kenneth
W. Thompson, Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia
BAYLIS, JOHN et.al, (eds.) The Globalization of World Politics: An introduction to
international relations. 4threvised ed. Oxford: Oxford University Press, p.58
Cambridge Modern History (New York : The Macmillan Company,1910),Jilid XII , pp. 491
General Secretariat European Union , (2009) “Council Conclusions on Democracy Support in

the EU’s External Relations – Towards Increased Coherence and Effectiveness” adopted in
Brussels, Available from : http://register.consilium.europa.eu/pdf/en/09/st16/st16081.en09.pdf.
[accesed : 13/10/2011]
HALL, CATHERINE (2008) History of Education. Making Colonial Subjects. Education In the
Age of Empire, 37 (6) ,p.773
MARTHIN, BILLY (2010) The Journal of Speculative Philosophy. A New Chapter in the
Politics of Irony: Cynthia Willett’s Irony in the Age of Empire, 24 (1) , p.82

6