Masalah perencanaan wilayah selatan ta
masalah perencanaan wilayah
Peran Penataan Ruang dalam Mewujudkan Kota Berkelanjutan di Indonesia
Kawasan perkotaan di Indonesia dewasa ini cenderung mengalami permasalahan
yang tipikal, yaitu tingginya tingkat pertumbuhan penduduk terutama akibat arus urbanisasi
sehingga menyebabkan pengelolaan ruang kota makin berat. Selain itu daya dukung
lingkungan dan sosial yang ada juga menurun, sehingga tidak dapat mengimbangi
kebutuhan akibat tekanan kependudukan. Permasalahan lainnya berkaitan dengan
tingginya tingkat konversi atau alih guna lahan, terutama lahan-lahan yang seharusnya
dilindungi agar tetap hijau menjadi daerah terbangun, yang menimbulkan dampak terhadap
rendahnya kualitas lingkungan perkotaan. Lemahnya penegakan hukum dan penyadaran
masyarakat terhadap aspek penataan ruang juga merupakan masalah seperti misalnya
munculnya permukiman kumuh di bantaran sungai dan timbulnya kemacetan akibat
tingginya hambatan samping di ruas-ruas jalan tertentu.
Data yang ada menunjukkan bahwa jumlah penduduk perkotaan di Indonesia
menunjukkan perkembangan yang cukup pesat. Pada 1980 jumlah penduduk perkotaan
baru mencapai 32,8 juta jiwa atau 22,3 persen dari total penduduk nasional. Pada tahun
1990 angka tersebut meningkat menjadi 55,4 juta jiwa atau 30,9 persen, dan menjadi 90 juta
jiwa atau 44 persen pada tahun 2002. Angka tersebut diperkirakan akan mencapai 150 juta
atau 60 persen dari total penduduk nasional pada tahun 2015.
Jumlah penduduk perkotaan yang terus meningkat dari waktu ke waktu tersebut
akan memberikan implikasi pada tingginya tekanan terhadap pemanfaatan ruang kota,
sehingga penataan ruang kawasan perkotaan perlu mendapat perhatian yang khusus,
terutama yang terkait dengan penyediaan kawasan hunian, fasilitas umum dan sosial serta
ruang-ruang terbuka publik (open spaces) di perkotaan.
Perencanaan tata ruang wilayah perkotaan berperan sangat penting dalam
pembentukan ruang-ruang public terutama RTH di perkotaan. Perencanaan tata ruang
perkotaan seyogyanya dimulai dengan mengidentifikasi kawasan-kawasan yang secara
alami harus diselamatkan (kawasan lindung) untuk menjamin kelestarian lingkungan, dan
kawasan-kawasan yang secara alami rentan terhadap bencana alam (prone to natural
hazards) seperti gempa, longsor, banjir maupun bencana alam lainnya. Kawasan-kawasan
inilah yang harus kita kembangkan sebagai ruang terbuka (open spaces), baik hijau maupun
non-hijau.
Secara hirarkis, struktur pelayanan kota harus dapat mengakomodasi ruang terbuka
publik dalam perencanaan tata ruang perkotaan pada setiap tingkatannya. Dari mulai
lingkungan yang terkecil (RT/RW), kelurahan, kecamatan hingga tingkat metropolitan, unsur
RTH yang relevan harus dapat disediakan.
Issue yang kita hadapi berkaitan dengan ruang terbuka publik atau ruang terbuka
hijau secara umum terkait dengan beberapa permasalahan perkotaan, seperti menurunnya
kualitas lingkungan hidup, yang dapat membawa dampak perubahan perilaku sosial
masyarakat yang cenderung kontra-produktif dan destruktif, serta timbulnya bencana banjir
dan longsor.
Dari aspek kondisi lingkungan hidup, rendahnya kualitas air tanah, tingginya polusi
udara dan kebisingan di perkotaan, merupakan hal-hal yang secara langsung maupun tidak
langsung terkait dengan keberadaan RTH secara ekologis. Kondisi tersebut secara
ekonomis juga dapat menurunkan tingkat produktivitas, dan menurunkan tingkat kesehatan
serta tingkat harapan hidup masyarakat, bahkan menyebabkan kelainan genetik dan
menurunkan tingkat kecerdasan anak-anak pada generasi mendatang akibat exposure
terhadap polusi udara yang berlebihan. Selain itu dari aspek perilaku sosial, tingginya tingkat
kriminalitas dan konflik horizontal di antara kelompok masyarakat perkotaan secara tidak
langsung juga disebabkan oleh kurangnya ruang-ruang kota yang dapat menyalurkan
kebutuhan interaksi sosial dan pelepas ketegangan (stress releaser) yang dialami oleh
masyarakat perkotaan. Di samping itu tingginya frekuensi bencana banjir dan tanah longsor
di perkotaan dewasa ini juga diakibatkan karena terganggunya sistem tata air karena
terbatasnya daerah resapan air dan tingginya volume air permukaan (run-off).
Sementara itu secara teknis, issue yang menyangkut penyelenggaraan RTH di
perkotaan antara lain menyangkut kurangnya optimalisasi penyediaan RTH baik secara
kuantitatif maupun kualitatif, lemahnya kelembagaan dan SDM, kurangnya keterlibatan
stakeholder dalam penyelenggaraan RTH, serta terbatasnya ruang/ lahan di perkotaan yang
dapat digunakan sebagai RTH.
Kurangnya optimalisasi ketersediaan RTH terkait dengan kenyataan kurang
memadainya proporsi wilayah yang dialokasikan untuk ruang terbuka, maupun rendahnya
rasio jumlah ruang terbuka per kapita yang tersedia. Hal ini menyebabkan rendahnya tingkat
kenyamanan kota, menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat dan secara tidak
langsung menyebabkan hilangnya nilai-nilai budaya lokal (artefak alami dan nilai sejarah).
Salah satu upaya yang dapat diterapkan dalam rangka untuk mengurangi beban
perkotaan adalah dengan mengembangkan daerah perdesaan agar arus urbanisasi ke
perkotaan dapat diturunkan seperti misalnya dengan mengembangkan kawasan agropolitan.
Dengan pengembangan kawasan agropolitan, di desa dikembangkan sarana produksi untuk
mengolah bahan baku yang dihasilkan di desa tersebut, sehingga di desa tersebut akan
terjadi nilai tambah yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat
perdesaan. Selain melalui pengembangan sarana produksi, juga dikembangkan sarana dan
sarana pendukung lainnya, sehingga kawasan perdesaan tersebut akan menjadi kawasan
perkotaan yang bernuansa pertanian.
Selain itu untuk mendukung kota yang sudah berkembang menjadi sangat besar
(metropolitan) yang notabene mempunyai berbagai permasalahan yang sangat kompleks
perlu dikembangkan kota-kota satelit disekitarnya dengan mengemban fungsi-fungsi tertentu
dan juga dilengkapi dengan prasarana dan sarana yang memadai sehingga mampu menarik
sebagian penduduk yang semula berorientasi ke kota inti sehingga beban kota inti menjadi
berkurang.
Globaliisasi Dan Tata Ruang Wiilayah Dan Kota:Darii Era Boom Ekonomii Ke
Otonomii Daerah Dan Desentraliisasii Fiiskal
Di masa silam, tata ruang serta perkembangan wilayah dan kota lebih
dipandang sebagai fenomena internal saja, namun kini
dengan
semakin
terintegrasinya perekonomian secara global, harus diakui bahwa tata ruang
bukanlah suatu fenomena internal semata, tetapi dinamikanya sangat dipengaruhi
faktor-faktor global.
Mungkin tidak terbayang sekitar 30 tahun yang lalu, bahwa gejala globalisasi
ekonomi akan melanda dunia dengan sangat hebat, memasuki abad 21. Globalisasi,
yang pada dasarnya ditandai dengan bebasnya aliran, modal, manusia, barang,
serta informasi, pada gilirannya telah membawa implikasi semakin terintegrasinya
sistem sosioekonomi dan politik secara global. Seperti dikemukakan Castells (1996)
bahwa space of places telah berubah menjadi space of flows. Tentu saja, hal ini,
berdampak luar biasa pada negara sedang berkembang, seperti Indonesia,
sehingga masalah pembangunan yang dihadapi negara sedang semakin rumit.
Globalisasi tidak mengenal batas-batas yurisdiksi negara ataupun propinsi
(sub-nation). Contohnya dapat disaksikan pada hubungan berbagai wilayah (negara)
yang berbatasan secara langsung, misalnya Hongkong (sebelum manjadi bagian
dari Cina) dengan beberapa Propinsi di Cina Selatan, seperti Ghuang Zhu; Mexico
dengan Amerika Serikat, khususnya disekitar negara bagian Texas dan California;
dan Segitiga Pertumbuhan (Growth Triangle) Sijori (Singapura-Johor-Riau).
Globalisasi telah mengakibatkan restrukturisasi kota dan wilayah di dunia
(Knock, 1994; Sassen, 1994). Kota dan wilayah terintegrasi dalam suatu jejaring
(networks), satu dengan lainnya terkait erat. Namun kota dan wilayah yang terimbas
serta terintegrasi ke dalam jejaring itu bersifat selektif, artinya tidak semua kota atau
wilayah mempunyai kesempatan sama dapat masuk kedalam jejaring tersebut.
Hanya kota dan wilayah yang memiliki keunggulan (competitiveness) yang dapat
masuk. Sementara itu, persaingan antarkota dan wilayah untuk menarik investasi,
terjadi dalam jejaring tersebut. Artinya, fungsi srta peran kota dan wilayah bisa naikturun sesuai kinerjanya. Proses ini, pada gilirannya, berdampak pada restrukturisasi
tata ruang kota dan wilayah.
Berdasarkan uraian tersebut, maka dalam tulisan ini akan dikemukakan
sejauh mana globalisasi telah mempengaruhi tata ruang di Indonesia, khususnya
pada periode dua dasawarsa terakhir. Lebih spesifik lagi, dibahas tentang implikasi
globalisasi pada p erkembangan serta tata ruang wilayah dan kota pada masa boom
ekonomi (1980 sampai pertengahan 1990an), krisis ekonomi (1998- 2000) dan
pasca krisis (era otonomi daerah dan desentralisasi fiskal).
Menutup abad ke-20 globalisasi industri telah membawa dampak yang luar
biasa pada perkembangan sosial ekonomi maupun fisik kota dan wilayah di
Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Hal ini tercermin antara lain dengan semakin
meningkatnya permintaan lahan untuk kawasan industri dan permukimanpermukiman
baru,
sebagai
konsekuensi
kian
meningkatnya
penanaman
modal,khususnya modal asing, dalam sektor-sektor industri, jasa, dan properti. Hal
ini sangat mudah dimengerti karena industri manufaktur maupun properti
keberadaannya sangat mengelompok di kota-kota besar dan wilayah sekitarnya,
karena fasilitas-fasilitasnya berada di sana. Akibatnya kota-kota besar di Jawa,
seperti
Jabotabek,
Gerbangkertasusila
dan
Bandung
Raya,
mengalami
perkembanganyang luar biasa. Mudah pula dimengerti kalau secara fisik
perkembangan yang terjadi adalah pada bagian tepi (outskirts) kotakota besar
tersebut, karena faktor ‘kemudahan’ dalam memperoleh lahan yang lebih murah.
Kawasan pusat kota secara besar-besaran juga mengalami pergeseran
fungsi, dari pusat industri manufaktur menjadi pusat kegiatan bisnis, keuangan dan
jasa. Industri manufaktur bergeser ke arah tepi kota. Permukiman di pusat kota
beralih fungsi menjadi kawasan bisnis, supermall, perkantoran dan sebagainya,
sedangkanpermukiman begeser ke arah pinggir kota. Namun demikian perlu dicatat
bahwa perkembangan kegiatan industri di tepi kota-kota besar merupakan industri
yang bersifat footloose, yakni jenis industri yang keterkaitannya dengan bahan baku
lokal serta perekonomian lokal sangat lemah, misalnya industri-industri barang
elektronik, garmen, sepatu dan sebagainya, dimana bahan bakunya dipasok dari
luar negeri. Keterkaitan dengan ekonomi lokal hanya sebatas penyediaan tenaga
kerja murah.
Tidak mengherankan pula kalau arus migrasi menuju kotakota besar semakin
meningkat, terutama buruh wanita yang bekerja di industri-industri tersebut, yang
pada gilirannya menyebabkan pertambahan pesat penduduk di kota-kota tersebut,
terutama di bagian tepinya (Firman, 2003). Untuk kasus Jabotabek, hal tersebut
ditunjukkan dengan sangat tingginya laju pertambahan penduduk di kabupaten dan
kota sekitar Jakarta, seperti Tangerang, Bekasi, dan Depok. Sementara itu
pertambahan penduduk di Kota Jakarta sendiri relatif sangat kecil, bahkan Sensus
Penduduk 2000 memperlihatkan bahwa laju pertambahan penduduk wilayah Jakarta
Pusat selama kurun 1990-2000 menunjukkan angka yang negatif (BPS, 2000).
Fenomena tata ruang lainnya yang dapat diobservasi saat itu bahkan hingga
kini adalah konversi lahan pertanian subur di pinggiran kota menjadi kawasan
industri dan permukiman baru. Hal ini terjadi pada skala besar-besaran dan tidak
terkontrol, sementara rencana tata ruang wilayah hanya sebagai macan kertas.
Konversi ini bahkan terjadi di kawasan yang berfungsi lindung, seperti Bopunjur
(Bogor-Puncak-Cianjur)
dan
Bandung
Utara.
Rencana
tata
ruang
dalam
kenyataannya sangat dikendalikan oleh para developer, yang hanya beorientasi
pada bisnis lahan ketimbang pengembangan tata ruang wilayah. Pada saat itu
pemerintah kota dan kabupaten maupun badan Pertanahan nasional (BPN) seolaholah tidak berdaya menghadapi tekanan dari developer. Suatu contoh adalah
rencana pengembangan permukiman
yang
kontroversial di Jonggol, yang
direncanakan untuk menjadi pusat pemerintahan nasional. Namun demikian, pada
akhirnya rencana kontroversial ini dibatalkan pemerintah.
Wujud tata ruang perkembangan wilayah dan kota di Jawa ditandai dengan
semakin intensifnya hubungan kota-desa. Perbedaan kota dan desa secara fisik
semakin tidak jelas. Demikian juga kegiatan sosio-ekonomi masyarakat perdesaan
tidak selalu indentik dengan agraris (pertanian), tapi sudah merupakan suatu
campuran dengan kegiatan bukan pertanian. Kehidupan masyarakat perdesaan juga
diwarnai dengan semakin berkembangnya kegiatan off-farm employment. Hal ini
dikarenakan semakin terbukanya kesempatan-kesempatan kerja di luar pertanian,
sementara sempitnya lahan pertanian yang mereka miliki tidak memungkinkan
dijadikan sebagai gantungan kehidupan sepenuhnya.
Dapat pula diamati bahwa perkembangan sosioekonomi serta fisik kawasankawasan tepi kota telah membentuk kecenderungan perkembangan sabuk (belt)
wilayah perkotaan yang menghubungkan kota-kota besar, seperti misalnya sabuk
Jakarta-Bandung; Semarang-Solo-Yogyakarta; Semarang-Surabaya dan lainnya.
Perkembangan ini berjalan seolah tanpa kendali, karena memang rencana tata
ruang hampir-hampir tidak berdaya mengendalikannya.
Di wilayah luar Jawa yang menonjol adalah perkembangan wilayah Pulau
Batam yang melaju pesat. Tidak mengherankan hal ini terjadi, karena Batam
merupakan bagian dari Segitiga Pertumbuhan Sijori (Singapura-Johor-Riau).
Kelangkaan lahan di Singapura, menyebabkan investor menanamkan investasinya
di Batam. Proses ini ditunjang kerja sama Singapura, Malaysia dan Indonesia. Pada
gilirannya, hal ini menyebabkan Batam berkembang menjadi suatu konsentrasi
kegiatan industri di luar Pulau Jawa. Sementara itu, Batam juga mengalami laju
pertumbuhan penduduk pesat, yakni 15,6% per tahun dalam kurun waktu tahun
1990-2000 (Badan Pusat Statistik, 2000), karena derasnya laju pendatang yang
tertarik kesempatan kerja di sana, terutama dari Pulau Jawa. Hal ini merupakan
salah satu penyebab munculnya berbagai masalah perkotaan di Batam, seperti
rumah liar (ruli), kriminalitas dan lainnya.
Wilayah di luar Jawa yang menonjol perkembangnnya adalah Kalimantan
Timur, yang tumbuh karena potensi minyak, gas bumi serta kayu (timber). Proporsi
jumlah penduduk perkotaan, sering disebut tingkat urbanisasi, propinsi ini mencapai
57,6% pada tahun 2000 (BPS, 2000), suatu tingkat yang tinggi dibanding propinsi
lain, kecuali DKI Jakarta. Sementara itu, laju kenaikan penduduknya mencapai
2,74% per tahun pada kurun waktu tahun 1990-2000, suatu angka yang tinggi bila
dibanding laju kenaikan penduduk Indonesia keseluruhan sebesar 1,35% per tahun.
Hal ini mencerminkan berkembangnya kegiatan ekonomi pada sektor minyak dan
gas bumi, serta sumberdaya mineral, yang pada dasarnya digerakkan investasi dari
luar negeri. Ini pun mencerminkan bagaimana aliran investasi, sebagai bagian dari
globalisasi, mempengaruhi perkembangan di Propinsi tersebut, dan tata ruang
nasional. Perkembangan ini pada gilirannya telah mendorong pertumbuhan kota
Balikpapan dan Samarinda.
Propinsi lain yang berkembang pesat karena dampak global, antara lain, Bali
dan Sumatera Utara. Bali yang merupakan salah satu pusat tourisme dunia, telah
mencapai tingkat urbanisasi hampir 50% pada tahun 2000, yang berarti dalam
sekitar setengah penduduk Bali bermukim di kawasan yang dikategorikan sebagai
urban. Sementara itu, laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Badung yang
merupakan lokasi perhotelan dan kegiatan pariwisata lainnya mencapai 2,77% per
tahun selama kurun waktu tahun 1990- 2000. Perkembangan kegiatan ekonomi di
Bali sangat bergantung pada sektor pariwisata. Jelas bahwa setiap goncangan yang
berdampak pada pariwisata, seperti misalnya terorisme atau wabah penyakit,
berdampak pada perkembangan ekonomi di Bali. Contohnya, peristiwa Bom Bali 12
Oktober 2002 berdampak buruk pada perekonomian Bali. Sementara itu, Propinsi
Sumatera
Utaraperkembangan
ekonominya
ditunjang
potensi
perkebunan,
khususnya kelapa sawit.
Propinsi yang berada di perbatasan juga memiliki potensi memanfaatkan
dampak positif globalisai, seperti misalnya Propinsi Kalimantan Barat, yang
berbatasan dengan Malaysia, serta Propinsi Sulawesi Utara yang berbatas dengan
Filipina. Namun demikian hingga saat ini tampaknya dampak-dampak tersebut
belum bekerja penuh. Beberapa Propinsi lain yang berbatasan dengan Malaysia dan
Thailand pernah direncanakan dikembangkan melalui kerjasama BIMP-EAGA
(Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia dan Philippines-East ASEAN Growth
Area), pada pertengahan tahun 1990-an, namun kemudian tidak terealisasi dengan
baik karena berbagai kendala, terutama sejak krisis ekonomi melanda Asia.
Peran Penataan Ruang dalam Mewujudkan Kota Berkelanjutan di Indonesia
Kawasan perkotaan di Indonesia dewasa ini cenderung mengalami permasalahan
yang tipikal, yaitu tingginya tingkat pertumbuhan penduduk terutama akibat arus urbanisasi
sehingga menyebabkan pengelolaan ruang kota makin berat. Selain itu daya dukung
lingkungan dan sosial yang ada juga menurun, sehingga tidak dapat mengimbangi
kebutuhan akibat tekanan kependudukan. Permasalahan lainnya berkaitan dengan
tingginya tingkat konversi atau alih guna lahan, terutama lahan-lahan yang seharusnya
dilindungi agar tetap hijau menjadi daerah terbangun, yang menimbulkan dampak terhadap
rendahnya kualitas lingkungan perkotaan. Lemahnya penegakan hukum dan penyadaran
masyarakat terhadap aspek penataan ruang juga merupakan masalah seperti misalnya
munculnya permukiman kumuh di bantaran sungai dan timbulnya kemacetan akibat
tingginya hambatan samping di ruas-ruas jalan tertentu.
Data yang ada menunjukkan bahwa jumlah penduduk perkotaan di Indonesia
menunjukkan perkembangan yang cukup pesat. Pada 1980 jumlah penduduk perkotaan
baru mencapai 32,8 juta jiwa atau 22,3 persen dari total penduduk nasional. Pada tahun
1990 angka tersebut meningkat menjadi 55,4 juta jiwa atau 30,9 persen, dan menjadi 90 juta
jiwa atau 44 persen pada tahun 2002. Angka tersebut diperkirakan akan mencapai 150 juta
atau 60 persen dari total penduduk nasional pada tahun 2015.
Jumlah penduduk perkotaan yang terus meningkat dari waktu ke waktu tersebut
akan memberikan implikasi pada tingginya tekanan terhadap pemanfaatan ruang kota,
sehingga penataan ruang kawasan perkotaan perlu mendapat perhatian yang khusus,
terutama yang terkait dengan penyediaan kawasan hunian, fasilitas umum dan sosial serta
ruang-ruang terbuka publik (open spaces) di perkotaan.
Perencanaan tata ruang wilayah perkotaan berperan sangat penting dalam
pembentukan ruang-ruang public terutama RTH di perkotaan. Perencanaan tata ruang
perkotaan seyogyanya dimulai dengan mengidentifikasi kawasan-kawasan yang secara
alami harus diselamatkan (kawasan lindung) untuk menjamin kelestarian lingkungan, dan
kawasan-kawasan yang secara alami rentan terhadap bencana alam (prone to natural
hazards) seperti gempa, longsor, banjir maupun bencana alam lainnya. Kawasan-kawasan
inilah yang harus kita kembangkan sebagai ruang terbuka (open spaces), baik hijau maupun
non-hijau.
Secara hirarkis, struktur pelayanan kota harus dapat mengakomodasi ruang terbuka
publik dalam perencanaan tata ruang perkotaan pada setiap tingkatannya. Dari mulai
lingkungan yang terkecil (RT/RW), kelurahan, kecamatan hingga tingkat metropolitan, unsur
RTH yang relevan harus dapat disediakan.
Issue yang kita hadapi berkaitan dengan ruang terbuka publik atau ruang terbuka
hijau secara umum terkait dengan beberapa permasalahan perkotaan, seperti menurunnya
kualitas lingkungan hidup, yang dapat membawa dampak perubahan perilaku sosial
masyarakat yang cenderung kontra-produktif dan destruktif, serta timbulnya bencana banjir
dan longsor.
Dari aspek kondisi lingkungan hidup, rendahnya kualitas air tanah, tingginya polusi
udara dan kebisingan di perkotaan, merupakan hal-hal yang secara langsung maupun tidak
langsung terkait dengan keberadaan RTH secara ekologis. Kondisi tersebut secara
ekonomis juga dapat menurunkan tingkat produktivitas, dan menurunkan tingkat kesehatan
serta tingkat harapan hidup masyarakat, bahkan menyebabkan kelainan genetik dan
menurunkan tingkat kecerdasan anak-anak pada generasi mendatang akibat exposure
terhadap polusi udara yang berlebihan. Selain itu dari aspek perilaku sosial, tingginya tingkat
kriminalitas dan konflik horizontal di antara kelompok masyarakat perkotaan secara tidak
langsung juga disebabkan oleh kurangnya ruang-ruang kota yang dapat menyalurkan
kebutuhan interaksi sosial dan pelepas ketegangan (stress releaser) yang dialami oleh
masyarakat perkotaan. Di samping itu tingginya frekuensi bencana banjir dan tanah longsor
di perkotaan dewasa ini juga diakibatkan karena terganggunya sistem tata air karena
terbatasnya daerah resapan air dan tingginya volume air permukaan (run-off).
Sementara itu secara teknis, issue yang menyangkut penyelenggaraan RTH di
perkotaan antara lain menyangkut kurangnya optimalisasi penyediaan RTH baik secara
kuantitatif maupun kualitatif, lemahnya kelembagaan dan SDM, kurangnya keterlibatan
stakeholder dalam penyelenggaraan RTH, serta terbatasnya ruang/ lahan di perkotaan yang
dapat digunakan sebagai RTH.
Kurangnya optimalisasi ketersediaan RTH terkait dengan kenyataan kurang
memadainya proporsi wilayah yang dialokasikan untuk ruang terbuka, maupun rendahnya
rasio jumlah ruang terbuka per kapita yang tersedia. Hal ini menyebabkan rendahnya tingkat
kenyamanan kota, menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat dan secara tidak
langsung menyebabkan hilangnya nilai-nilai budaya lokal (artefak alami dan nilai sejarah).
Salah satu upaya yang dapat diterapkan dalam rangka untuk mengurangi beban
perkotaan adalah dengan mengembangkan daerah perdesaan agar arus urbanisasi ke
perkotaan dapat diturunkan seperti misalnya dengan mengembangkan kawasan agropolitan.
Dengan pengembangan kawasan agropolitan, di desa dikembangkan sarana produksi untuk
mengolah bahan baku yang dihasilkan di desa tersebut, sehingga di desa tersebut akan
terjadi nilai tambah yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat
perdesaan. Selain melalui pengembangan sarana produksi, juga dikembangkan sarana dan
sarana pendukung lainnya, sehingga kawasan perdesaan tersebut akan menjadi kawasan
perkotaan yang bernuansa pertanian.
Selain itu untuk mendukung kota yang sudah berkembang menjadi sangat besar
(metropolitan) yang notabene mempunyai berbagai permasalahan yang sangat kompleks
perlu dikembangkan kota-kota satelit disekitarnya dengan mengemban fungsi-fungsi tertentu
dan juga dilengkapi dengan prasarana dan sarana yang memadai sehingga mampu menarik
sebagian penduduk yang semula berorientasi ke kota inti sehingga beban kota inti menjadi
berkurang.
Globaliisasi Dan Tata Ruang Wiilayah Dan Kota:Darii Era Boom Ekonomii Ke
Otonomii Daerah Dan Desentraliisasii Fiiskal
Di masa silam, tata ruang serta perkembangan wilayah dan kota lebih
dipandang sebagai fenomena internal saja, namun kini
dengan
semakin
terintegrasinya perekonomian secara global, harus diakui bahwa tata ruang
bukanlah suatu fenomena internal semata, tetapi dinamikanya sangat dipengaruhi
faktor-faktor global.
Mungkin tidak terbayang sekitar 30 tahun yang lalu, bahwa gejala globalisasi
ekonomi akan melanda dunia dengan sangat hebat, memasuki abad 21. Globalisasi,
yang pada dasarnya ditandai dengan bebasnya aliran, modal, manusia, barang,
serta informasi, pada gilirannya telah membawa implikasi semakin terintegrasinya
sistem sosioekonomi dan politik secara global. Seperti dikemukakan Castells (1996)
bahwa space of places telah berubah menjadi space of flows. Tentu saja, hal ini,
berdampak luar biasa pada negara sedang berkembang, seperti Indonesia,
sehingga masalah pembangunan yang dihadapi negara sedang semakin rumit.
Globalisasi tidak mengenal batas-batas yurisdiksi negara ataupun propinsi
(sub-nation). Contohnya dapat disaksikan pada hubungan berbagai wilayah (negara)
yang berbatasan secara langsung, misalnya Hongkong (sebelum manjadi bagian
dari Cina) dengan beberapa Propinsi di Cina Selatan, seperti Ghuang Zhu; Mexico
dengan Amerika Serikat, khususnya disekitar negara bagian Texas dan California;
dan Segitiga Pertumbuhan (Growth Triangle) Sijori (Singapura-Johor-Riau).
Globalisasi telah mengakibatkan restrukturisasi kota dan wilayah di dunia
(Knock, 1994; Sassen, 1994). Kota dan wilayah terintegrasi dalam suatu jejaring
(networks), satu dengan lainnya terkait erat. Namun kota dan wilayah yang terimbas
serta terintegrasi ke dalam jejaring itu bersifat selektif, artinya tidak semua kota atau
wilayah mempunyai kesempatan sama dapat masuk kedalam jejaring tersebut.
Hanya kota dan wilayah yang memiliki keunggulan (competitiveness) yang dapat
masuk. Sementara itu, persaingan antarkota dan wilayah untuk menarik investasi,
terjadi dalam jejaring tersebut. Artinya, fungsi srta peran kota dan wilayah bisa naikturun sesuai kinerjanya. Proses ini, pada gilirannya, berdampak pada restrukturisasi
tata ruang kota dan wilayah.
Berdasarkan uraian tersebut, maka dalam tulisan ini akan dikemukakan
sejauh mana globalisasi telah mempengaruhi tata ruang di Indonesia, khususnya
pada periode dua dasawarsa terakhir. Lebih spesifik lagi, dibahas tentang implikasi
globalisasi pada p erkembangan serta tata ruang wilayah dan kota pada masa boom
ekonomi (1980 sampai pertengahan 1990an), krisis ekonomi (1998- 2000) dan
pasca krisis (era otonomi daerah dan desentralisasi fiskal).
Menutup abad ke-20 globalisasi industri telah membawa dampak yang luar
biasa pada perkembangan sosial ekonomi maupun fisik kota dan wilayah di
Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Hal ini tercermin antara lain dengan semakin
meningkatnya permintaan lahan untuk kawasan industri dan permukimanpermukiman
baru,
sebagai
konsekuensi
kian
meningkatnya
penanaman
modal,khususnya modal asing, dalam sektor-sektor industri, jasa, dan properti. Hal
ini sangat mudah dimengerti karena industri manufaktur maupun properti
keberadaannya sangat mengelompok di kota-kota besar dan wilayah sekitarnya,
karena fasilitas-fasilitasnya berada di sana. Akibatnya kota-kota besar di Jawa,
seperti
Jabotabek,
Gerbangkertasusila
dan
Bandung
Raya,
mengalami
perkembanganyang luar biasa. Mudah pula dimengerti kalau secara fisik
perkembangan yang terjadi adalah pada bagian tepi (outskirts) kotakota besar
tersebut, karena faktor ‘kemudahan’ dalam memperoleh lahan yang lebih murah.
Kawasan pusat kota secara besar-besaran juga mengalami pergeseran
fungsi, dari pusat industri manufaktur menjadi pusat kegiatan bisnis, keuangan dan
jasa. Industri manufaktur bergeser ke arah tepi kota. Permukiman di pusat kota
beralih fungsi menjadi kawasan bisnis, supermall, perkantoran dan sebagainya,
sedangkanpermukiman begeser ke arah pinggir kota. Namun demikian perlu dicatat
bahwa perkembangan kegiatan industri di tepi kota-kota besar merupakan industri
yang bersifat footloose, yakni jenis industri yang keterkaitannya dengan bahan baku
lokal serta perekonomian lokal sangat lemah, misalnya industri-industri barang
elektronik, garmen, sepatu dan sebagainya, dimana bahan bakunya dipasok dari
luar negeri. Keterkaitan dengan ekonomi lokal hanya sebatas penyediaan tenaga
kerja murah.
Tidak mengherankan pula kalau arus migrasi menuju kotakota besar semakin
meningkat, terutama buruh wanita yang bekerja di industri-industri tersebut, yang
pada gilirannya menyebabkan pertambahan pesat penduduk di kota-kota tersebut,
terutama di bagian tepinya (Firman, 2003). Untuk kasus Jabotabek, hal tersebut
ditunjukkan dengan sangat tingginya laju pertambahan penduduk di kabupaten dan
kota sekitar Jakarta, seperti Tangerang, Bekasi, dan Depok. Sementara itu
pertambahan penduduk di Kota Jakarta sendiri relatif sangat kecil, bahkan Sensus
Penduduk 2000 memperlihatkan bahwa laju pertambahan penduduk wilayah Jakarta
Pusat selama kurun 1990-2000 menunjukkan angka yang negatif (BPS, 2000).
Fenomena tata ruang lainnya yang dapat diobservasi saat itu bahkan hingga
kini adalah konversi lahan pertanian subur di pinggiran kota menjadi kawasan
industri dan permukiman baru. Hal ini terjadi pada skala besar-besaran dan tidak
terkontrol, sementara rencana tata ruang wilayah hanya sebagai macan kertas.
Konversi ini bahkan terjadi di kawasan yang berfungsi lindung, seperti Bopunjur
(Bogor-Puncak-Cianjur)
dan
Bandung
Utara.
Rencana
tata
ruang
dalam
kenyataannya sangat dikendalikan oleh para developer, yang hanya beorientasi
pada bisnis lahan ketimbang pengembangan tata ruang wilayah. Pada saat itu
pemerintah kota dan kabupaten maupun badan Pertanahan nasional (BPN) seolaholah tidak berdaya menghadapi tekanan dari developer. Suatu contoh adalah
rencana pengembangan permukiman
yang
kontroversial di Jonggol, yang
direncanakan untuk menjadi pusat pemerintahan nasional. Namun demikian, pada
akhirnya rencana kontroversial ini dibatalkan pemerintah.
Wujud tata ruang perkembangan wilayah dan kota di Jawa ditandai dengan
semakin intensifnya hubungan kota-desa. Perbedaan kota dan desa secara fisik
semakin tidak jelas. Demikian juga kegiatan sosio-ekonomi masyarakat perdesaan
tidak selalu indentik dengan agraris (pertanian), tapi sudah merupakan suatu
campuran dengan kegiatan bukan pertanian. Kehidupan masyarakat perdesaan juga
diwarnai dengan semakin berkembangnya kegiatan off-farm employment. Hal ini
dikarenakan semakin terbukanya kesempatan-kesempatan kerja di luar pertanian,
sementara sempitnya lahan pertanian yang mereka miliki tidak memungkinkan
dijadikan sebagai gantungan kehidupan sepenuhnya.
Dapat pula diamati bahwa perkembangan sosioekonomi serta fisik kawasankawasan tepi kota telah membentuk kecenderungan perkembangan sabuk (belt)
wilayah perkotaan yang menghubungkan kota-kota besar, seperti misalnya sabuk
Jakarta-Bandung; Semarang-Solo-Yogyakarta; Semarang-Surabaya dan lainnya.
Perkembangan ini berjalan seolah tanpa kendali, karena memang rencana tata
ruang hampir-hampir tidak berdaya mengendalikannya.
Di wilayah luar Jawa yang menonjol adalah perkembangan wilayah Pulau
Batam yang melaju pesat. Tidak mengherankan hal ini terjadi, karena Batam
merupakan bagian dari Segitiga Pertumbuhan Sijori (Singapura-Johor-Riau).
Kelangkaan lahan di Singapura, menyebabkan investor menanamkan investasinya
di Batam. Proses ini ditunjang kerja sama Singapura, Malaysia dan Indonesia. Pada
gilirannya, hal ini menyebabkan Batam berkembang menjadi suatu konsentrasi
kegiatan industri di luar Pulau Jawa. Sementara itu, Batam juga mengalami laju
pertumbuhan penduduk pesat, yakni 15,6% per tahun dalam kurun waktu tahun
1990-2000 (Badan Pusat Statistik, 2000), karena derasnya laju pendatang yang
tertarik kesempatan kerja di sana, terutama dari Pulau Jawa. Hal ini merupakan
salah satu penyebab munculnya berbagai masalah perkotaan di Batam, seperti
rumah liar (ruli), kriminalitas dan lainnya.
Wilayah di luar Jawa yang menonjol perkembangnnya adalah Kalimantan
Timur, yang tumbuh karena potensi minyak, gas bumi serta kayu (timber). Proporsi
jumlah penduduk perkotaan, sering disebut tingkat urbanisasi, propinsi ini mencapai
57,6% pada tahun 2000 (BPS, 2000), suatu tingkat yang tinggi dibanding propinsi
lain, kecuali DKI Jakarta. Sementara itu, laju kenaikan penduduknya mencapai
2,74% per tahun pada kurun waktu tahun 1990-2000, suatu angka yang tinggi bila
dibanding laju kenaikan penduduk Indonesia keseluruhan sebesar 1,35% per tahun.
Hal ini mencerminkan berkembangnya kegiatan ekonomi pada sektor minyak dan
gas bumi, serta sumberdaya mineral, yang pada dasarnya digerakkan investasi dari
luar negeri. Ini pun mencerminkan bagaimana aliran investasi, sebagai bagian dari
globalisasi, mempengaruhi perkembangan di Propinsi tersebut, dan tata ruang
nasional. Perkembangan ini pada gilirannya telah mendorong pertumbuhan kota
Balikpapan dan Samarinda.
Propinsi lain yang berkembang pesat karena dampak global, antara lain, Bali
dan Sumatera Utara. Bali yang merupakan salah satu pusat tourisme dunia, telah
mencapai tingkat urbanisasi hampir 50% pada tahun 2000, yang berarti dalam
sekitar setengah penduduk Bali bermukim di kawasan yang dikategorikan sebagai
urban. Sementara itu, laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Badung yang
merupakan lokasi perhotelan dan kegiatan pariwisata lainnya mencapai 2,77% per
tahun selama kurun waktu tahun 1990- 2000. Perkembangan kegiatan ekonomi di
Bali sangat bergantung pada sektor pariwisata. Jelas bahwa setiap goncangan yang
berdampak pada pariwisata, seperti misalnya terorisme atau wabah penyakit,
berdampak pada perkembangan ekonomi di Bali. Contohnya, peristiwa Bom Bali 12
Oktober 2002 berdampak buruk pada perekonomian Bali. Sementara itu, Propinsi
Sumatera
Utaraperkembangan
ekonominya
ditunjang
potensi
perkebunan,
khususnya kelapa sawit.
Propinsi yang berada di perbatasan juga memiliki potensi memanfaatkan
dampak positif globalisai, seperti misalnya Propinsi Kalimantan Barat, yang
berbatasan dengan Malaysia, serta Propinsi Sulawesi Utara yang berbatas dengan
Filipina. Namun demikian hingga saat ini tampaknya dampak-dampak tersebut
belum bekerja penuh. Beberapa Propinsi lain yang berbatasan dengan Malaysia dan
Thailand pernah direncanakan dikembangkan melalui kerjasama BIMP-EAGA
(Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia dan Philippines-East ASEAN Growth
Area), pada pertengahan tahun 1990-an, namun kemudian tidak terealisasi dengan
baik karena berbagai kendala, terutama sejak krisis ekonomi melanda Asia.