SPIRITUALITAS GEREJA PERSAHABATAN GEREJA PERSAHABATAN
SPIRITUALITAS
GEREJA
PERSAHABATAN1
Memikirkan
Ulang
Konsep
bergereja
dalam
Konteks
Dunia
yang
Serba
Terhubung
Linna
Gunawan2
Kejutan
yang
Tidak
Mengejutkan
Satu
dua
tahun
terakhir
saya
dibanjiri
oleh
permintaan
dari
berbagai
gereja
membawakan
materi
tentang
kaum
muda.
Umumnya
gereja-‐gereja
tersebut
meminta
saya
untuk
memberikan
“ilmu”
bagaimana
menghadapi
kaum
muda
saat
ini
dan
bagaimana
membuat
mereka
“betah”
berada
di
gereja.
Mulai
dari
permintaan
tentang
karakteristik
kaum
muda
sampai
model
ibadah
yang
paling
‘jitu’
bagi
kaum
muda
masa
kini.
Rupanya
gereja-‐gereja
tersebut
mulai
kewalahan
menghadapi
munculnya
generasi
yang
“asing”3
di
tengah
mereka,
sebagian
lagi
mereka
merasa
kuatir
akan
masa
depan
gereja
yang
mulai
kosong
kaum
mudanya.
Saat
The
Barna
Group
melakukan
survei
tentang
kaum
muda
dan
gereja
dalam
konteks
Amerika,
banyak
Gereja
Amerika
terkejut
dan
mulai
melakukan
berbagai
strategi
untuk
menjangkau
kaum
muda.
Barna
menyebut
angka
59%
kaum
muda
(usia
18
–
29
tahun)
Amerika
drop
out
dari
Gereja
(Kinnaman
and
Hawkins,
You
Lost
Me
2011,
23-‐25).
Penelitian
yang
berlangsung
sejak
tahun
2007
–
2011
ini
memberikan
gambaran
tajam
tentang
keterpisahan
kaum
muda
dengan
gereja.
Sebenarnya
hasil
penelitian
Barna
ini
bukanlah
hasil
yang
mengejutkan.
Semuanya
sudah
diprediksi
oleh
para
tokoh
gereja
Amerika
tentang
gereja
akan
kehilangan
warga
mudanya
di
masa
depan.
Namun
selama
ini
prediksi
semacam
ini
tidak
terlalu
dipedulikan
oleh
gereja.
Setelah
Barna
mempublikasikan
hasil
temuannya
ke
arena
publik,4
gereja
seolah
baru
melihat
kenyataannya
dari
bangku-‐bangku
gereja
mereka
yang
tidak
banyak
terisi
oleh
kaum
muda.
Kembali
pada
konteks
Indonesia,
apakah
hasil
reset
Barna
merupakan
gejala
yang
sama
terjadi
pada
gereja
di
Indonesia?
Kita
tidak
tahu
jawabannya
karena
belum
pernah
ada
penelitian
kaum
muda
dan
gereja
pada
konteks
Indonesia.
Namun
kenyataan
bahwa
‘bangku’
gereja
mulai
ditinggalkan
oleh
kaum
muda
bukan
pula
hal
yang
tiba-‐tiba
terjadi
di
Indonesia.
Misalnya
saja,
sejak
tahun
1990-‐an
jumlah
kehadiran
kaum
muda
GKI
tidak
sebanyak
jumlah
anak-‐anak
yang
hadir
dalam
aktivitas
gereja.5
Entah
mengapa
dan
kemana
kaum
muda
GKI,
tidak
ada
yang
bisa
memberikan
jawabnya.
Kenyataan
ini
mengajak
kita
untuk
berefleksi
tentang
gereja
pada
konteks
masa
kini.
Refleksi
yang
bukan
mencari
penyebab
dan
bagaimana
mengatasi
penurunan
jumlah
kehadiran
kaum
muda
gereja,
tetapi
berefleksi
tentang
spiritualitas
gereja
pada
konteks
masa
kini.
Drop
out
kaum
muda
dari
gereja
merupakan
akibat
dari
hubungan
yang
terputus
antara
kehidupan
gereja
dengan
dunia
masa
kini;
antara
iman
Kristen
dengan
kenyataan
hidup
sehari-‐hari;
antara
spiritualitas
Kristen
dengan
pergumulan
hidup
umat
Kristen
sekarang
ini.6
Gereja
Persahabatan:
mewujudkan
Trinitas
dalam
kehidupan
bergereja
masa
kini.
Saat
saya
mengajarkan
materi
Allah
Tritunggal
dalam
kelas
katekisasi
remaja,
seorang
peserta
menanyakan
mengapa
kita
harus
mempelajari
doktrin
Allah
Tritunggal
yang
rumit
ini.
Lebih
lanjut
dia
bertanya
tentang
arti
pentingnya
mempelajari
doktrin
ini
bagi
hidupnya
saat
ini.
Tentu
saja
pertanyaan
ini
menjadi
suatu
tanda
keterpisahan
antara
dogma
gereja
dengan
kehidupan
nyata.
Kadangkala
dogma
harus
diimani
umat
sebagai
suatu
kebenaran
tanpa
perlu
umat
memahami
pentingnya
bagi
hidup
beriman
mereka
sehari-‐hari.
Allan
G.
Harkness
menyebut
doktrin
Trinitas
sebagai
doktrin
yang
kuat
berbicara
tentang
komunitas.
Allah
Tritunggal
menunjukkan
Allah
mewujud
dalam
persekutuan
yang
setara,
terhubung
dan
inklusif.
Ke-‐Tritunggal-‐an
Allah
mewujud
pula
dalam
hubungan
manusia
dengan
Allah
serta
sesamanya.
Hubungan
Allah
–
manusia
–
sesama
ini
membentuk
komunitas
yang
didasari
oleh
kasih
yang
terbuka.
Ketika
sebuah
komunitas
menghargai
dan
menerima
sesamanya,
maka
komunitas
ini
sedang
menunjukkan
sifat
relasional
Allah
dalam
Trinitas.
Harkness
menambahkan,
sifat
relational
Allah
ini
dalam
hubungannya
dengan
komunitas
manusia
terlihat
dalam
sebutan-‐sebutan
khas
Kristen,
antara
lain
“umat
Allah,”
“komunitas
Mesianik,”
“Tubuh
Kristus,”
dan
“persekutuan
Roh
Kudus”
(Harkness
2012,
125-‐126)7
Senada
dengan
Harkness,
Joas
Adiprasetya
menjelaskan
Trinitas
sebagai
Allah
dalam
persekutuan
yang
menghargai
kesetaraan,
perbedaan
dan
kesatuan.
Allah
dalam
persekutuan
memiliki
karakter
persahabatan
ilahi.
Karena
itu
Adiprasetya
menawarkan
persahabatan
sebagai
konsep
menggereja
masa
kini.
Selain
Trinitas,
Adiprasetya
juga
menyebutkan
persahabatan
Kristus
melalui
kesediaan-‐Nya
menjadi
sahabat
bagi
manusia.
Ketika
gereja
mengakui
dirinya
segambar
dan
serupa
dengan
Allah
maka
gereja
pun
menjadi
gereja
yang
memiliki
karakter
persahabatan
ilahi
(Adiprasetya
2009).
Penggunakan
kata
“persahabatan”
menjadi
menarik
ketika
kita
coba
melihatnya
pada
konteks
dunia
saat
ini.
Kemajuan
teknologi
yang
pesat,
bukan
hanya
menyebabkan
cepatnya
arus
informasi,
tetapi
juga
munculnya
beragam
media
sosial
yang
menghubungkan
manusia
dengan
sesamanya.
Media
sosial
memberi
kesempatan
bagi
kita
untuk
berjumpa
di
dunia
maya
dengan
sesama
yang
tinggal
dekat
maupun
jauh
dari
tempat
tinggal
kita.
Dalam
hitungan
detik,
kita
dapat
menghubungi
teman
dari
belahan
bumi
lain,
begitu
pula
kita
bisa
mendapatkan
informasi
maupun
kisah
dari
negara
lain
(Friedman
2007).8
Karena
itu
dunia
kita
sekarang
disebut
sebagai
dunia
yang
terhubung.
Manusia
tidak
dapat
hidup
tanpa
terhubung
dengan
sesamanya.
Dalam
konteks
dunia
seperti
ini,
menurut
Jesse
Rice
dalam
bukunya
yang
berjudul
The
Church
of
Facebook,
manusia
menjadikan
koneksi
(hubungan)
sebagai
sumber
kebahagiaannya
(Rice
2009,
28).
Manusia
takut
terisolasi,
terasing
dari
dunianya.
Dalam
koneksi,
tambah
Rice,
manusia
menemukan
kenyamanan
dan
keamanan
bagi
dirinya.
Masalahnya
adalah
apakah
koneksi
yang
dimilikinya
bersama
orang
lain
atau
komunitasnya
adalah
koneksi
yang
berkualitas
(Rice
2009,
44-‐45).
Henry
Nouwen
mendefinisikan
hubungan
yang
berkualitas
lewat
penderitaan
manusia
yang
disebutnya
sebagai
“homeless”
yaitu
mereka
yang
tidak
memiliki
tempat
di
mana
mereka
dapat
merasakan
dicintai,
aman,
dipedulikan
dan
dilindungi
(Rice
2009,
46).9
Jadi
ketika
kita
mendapatkan
koneksi
yang
menciptakan
perasaan
memiliki
di
antara
kita,
perasaan
yang
membuat
kita
merasa
aman,
dilindungi,
dicintai
dan
dipedulikan,
di
situlah
koneksi
menjadi
berkualitas.
Rice
menyebutkan
koneksi
seperti
itu
adalah
koneksi
yang
membuat
orang
merasa
at
home.
Hanya
satu
kata,
menurut
Rice,
yang
dibutuhkan
manusia
dalam
konteks
masa
kini,
yaitu
home
(Rice
2009,
48).
Apabila
kita
melihat
kembali
komunitas
cinta
kasih
yang
menjadi
nilai
utama
dari
doktrin
Tritinitas,
maka
kita
mengerti
dengan
jelas
betapa
pentingnya
gereja
sebagai
komunitas
yang
menciptakan
home.
Dengan
jelas
Bass
mendefinisikan
gereja
sebagai
home,10
“Gereja
merupakan
komunitas
yang
berproses,
sebuah
tempat
dimana
manusia
belajar
seni
hidup
melalui
doa,
discernment,
kearifan,
dan
cerita
kehidupan
Kristen
seiring
dengan
karunia
Allah.
Komunitas
ini
merupakan
implementasi
iman
yang
penuh
kasih.
Sebuah
kehidupan
yang
tidak
ditentukan
oleh
doktrin
yang
ketat
dan
kepastian
moral
namun
yang
hidup
melalui
persahabatan
sejati
dan
implementasi
iman
setiap
hari”
(Bass,
The
Practicing
Congregation
2004).
Spiritualitas
Gereja
Persahabatan:
Nilai
dan
Bentuk.
Edward
C.
Zaragosa
dalam
No
Longer
Servants,
but
Friends
mengajak
kita
untuk
menjadi
sahabat
bagi
diri
sendiri,
sahabat
bagi
Allah,
dan
sahabat
bagi
sesame
(Zaragoza
1999,
69).
Ajakan
Zaragosa
menginspirasi
saya
untuk
menggali
lebih
dalam
nilai-‐nilai
persahabatan
yang
menjadi
spiritualitas
gereja
persahabatan
(Gunawan
2014).
§ Terbuka.
Gereja
saat
ini
dihadiri
beragam
orang
dari
suku,
ras,
tempat
tinggal,
latar
belakang
keluarga,
pendidikan,
ekonomi,
prinsip
hidup,
dll.
Gereja
harus
berani
terbuka
menerima
siapa
saja
yang
datang.
Setiap
orang
mendapat
pelayanan
yang
setara
tanpa
dibedakan.
Siapapun
diterima
masuk
dalam
komunitas
Gereja
sekalipun
mereka
berbeda
termasuk
mereka
yang
cacat
secara
fisik
dan
mental,
serta
berbeda
orientasi
seksualnya.
Gereja
persahabatan
yang
terbuka
juga
berarti
siap
terbuka
terhadap
masukan
dari
siapa
saja.
Gereja
juga
berani
terbuka
terhadap
perubahan
dunia,
termasuk
terbuka
untuk
berubah
sesuai
dengan
konteks
di
mana
Gereja
berada.
Tanpa
keberanian
untuk
terbuka
terhadap
perubahan,
Gereja
akhirnya
hanya
menjadi
“museum”
yang
dikagumi
karena
masa
lampaunya
saja.
§ Menerima.
Gereja
Persahabatan
membutuhkan
penerimaan
dari
seluruh
anggotanya.
Dengan
keterbukaan
terhadap
semua
orang
masuk
dalam
komunitas
Gereja,
maka
Gereja
menerima
orang
apa
adanya.
Penghargaan
terhadap
talenta,
bakat
atau
karunia
setiap
anggotanya
menjadi
salah
satu
ciri
kasih
yang
menerima,
dan
hal
ini
perlu
dikembangkan
oleh
Gereja.
Pengampunan
kepada
mereka
yang
melakukan
dosa
dan
kesalahan
pun
mendapat
tempat
utama
dalam
persekutuan
Gereja
Persahabatan
sebab
persahabatan
Kristus
adalah
menerima
semua
orang
yang
berdosa.
§ Otentik.
Dalam
komunitas
gereja,
orang
dapat
bebas
menjadi
dirinya
secara
otentik.
Otentisitas
memperlihatkan
kejujuran
hidup,
menjadi
diri
sendiri
bahkan
penghargaan
terhadap
Allah
yang
telah
menciptakan
manusia
sebagaimana
adanya.
Otentisitas
juga
menunjukkan
bahwa
kasih,
yang
menjadi
dasar
persahabatan,
melenyapkan
ketakutan
untuk
menjadi
diri
sendiri,
bahkan
menerima
orang
lain
(1
Yoh.
4:
18).
Gereja
persahabatan
membuat
setiap
anggotanya
mendapatkan
kebahagiaan
karena
kejujurannya
dan
kebebasan
menerima
dirinya
sendiri
serta
orang
lain.
Keotentikan
ini
membuat
orang
berani
untuk
memiliki
iman
yang
berantakan
(messy
spirituality).11
Kita
mengakui
iman
kita
tidak
selalu
baik,
tetapi
kadang
iman
kita
sedang
menukik
turun
sehingga
kita
membutuhkan
tangan
Tuhan
dan
tangan
sesama
untuk
menolong
kita
yang
rapuh.
§
Percaya.
Zaragosa
menyebutkan
bahwa
persahabatan
membangun
kepercayaan
(Zaragoza
1999,
90-‐92).
Membangun
Gereja
Persahabatan
membutuhkan
rasa
percaya
dari
seluruh
anggotanya.
Pertama,
percaya
kepada
Tuhan
yang
menciptakan
dan
memelihara
hidupnya.
Tanpa
rasa
percaya
kepada
Tuhan,
Gereja
selalu
dipenuhi
dengan
kekuatiran
menghadapi
masa
depan,
dan
ketakutan
untuk
melakukan
perubahan
dunia
serta
membawa
Injil
Kristus
keluar
dari
gedung
gereja.
Kedua,
percaya
kepada
diri
sendiri
bahwa
mereka
memiliki
kemampuan,
serta
layak
masuk
dalam
pekerjaan
ladang
pelayanan
Tuhan.
Ketiga,
percaya
kepada
sesama
anggota
bahwa
mereka
pun
layak
menjadi
rekan
sekerja.
Dalam
membangun
kepercayaan
bersama
anggota
gereja,
proses
regenerasi
menjadi
salah
satu
program
yang
perlu
serius
dikerjakan
dalam
kehidupan
Gereja
Persahabatan.
Regenerasi
secara
tidak
langsung
memperlihatkan
pemberian
kepercayaan
kepada
orang
lain.
Sementara
itu
pemulihan
luka-‐luka
masa
lalu,
maupun
luka-‐luka/trauma
pelayanan
ketika
berinteraksi
dengan
orang
lain
dan
Tuhan,
menjadi
program
penting
pula
dalam
rangka
membangun
kultur
kepercayaan
bagi
Gereja
Persahabatan.
Diana
Butler
Bass
mengenai
perubahan
orang
Amerika
dalam
kehidupan
berimannya.
Pada
tahun
1999
sebanyak
72%
orang
Amerika
menyebut
dirinya
sebagai
“spiritual
but
not
religious.”
Mereka
mendefinisikan
“spiritualitas”
sebagai
pengalaman
hubungan
dengan
Allah
dan
sesama.
Praktek
dari
iman.
Sedangkan
religius
dikategorikan
sebagai
lembaga
agama.
Oleh
karena
itu
orang
Amerika
pada
waktu
itu
tidak
tertarik
dengan
lembaga
agama
manapun
walaupun
mereka
tetap
percaya
kepada
Tuhan
(Bass,
Christianity
After
Religion
2012,
92)
.
Namun
pada
tahun
2009
terjadi
perubahan,
orang
Amerika
menganut
“spiritual
and
religious.”
Religius
tidak
lagi
dipahami
secara
sempit,
hanya
“religion,”
tetapi
keterbukaan
untuk
mempraktekkan
iman
walaupun
dilakukan
dengan
ritual
(Bass,
Christianity
After
Religion
2012,
93).
Seringkali
ketika
kita
berbicara
tentang
praktek
spiritualitas,
kita
terjebak
pada
bentuk.
Beberapa
kali
dalam
pembinaan
ibadah
kaum
muda,
saya
selalu
diminta
untuk
memberikan
bentuk
ibadah
yang
cocok
untuk
kaum
muda.
Oleh
karena
itu
barangkali
saat
ini
kita
pun
terjebak
pada
pertanyaan
bagaimana
bentuk
gereja
persahabatan,
bagaimana
prakteknya,
bagaimana
model
ibadahnya,
dll.
Bass
mengatakan
dalam
konteks
gereja
masa
kini,
kita
jangan
terjebak
pada
bentuk
program
ketika
berbicara
tentang
praktek
spiritualitas.
Anggaplah
praktek
spiritualitas
sebagai
sebuah
karya
seni
yang
harus
kita
rancang
sesuai
dengan
diri
kita
dan
dapat
dinikmati
oleh
banyak
orang.
Oleh
karena
itu
Bass
mengajak
kita
untuk
memahami
praktek
spiritualitas
melalui
tiga
hal:
the
art
of
intention,
the
art
of
imitation,
the
Reign
of
God
and
the
art
of
anticipation.
The
art
intention
berbicara
tentang
praktek
spiritual
yang
beragam
bentuknya
dan
kita
memilih
secara
bebas
bentuk
yang
kita
ingin
praktekkan
(Bass,
Christianity
After
Religion
2012,
145-‐152).
Gary
Thomas
dengan
Sacred
Pathway,
misalnya,
mengusulkan
sembilan
bentuk
ibadah
selain
bentuk
tradisional
berdoa
dan
membaca
Alkitab.
Selain
itu
dalam
the
art
intention
terbuka
terhadap
pencampuran
berbagai
praktek
spiritualitas
dari
berbagai
tradisi
dari
agama
dan
kepercayaan
lain.
Misalnya,
doa
labirin
yang
menggabungkan
mythology
Yunani
dengan
doa
Kristen;
meditasi
Kristiani
yang
menggabungkan
meditasi
Kristen
dengan
Buddhist.
The
art
of
imitation,
menurut
Bass,
adalah
tujuan
dari
praktek
spiritualitas
yang
kita
lakukan.
Kita
perlu
tahu
alasan
mengapa
kita
melakukan
praktek
atau
ritual
ini.
Kelalaian
gereja
pada
masa
lalu
adalah
praktek
spiritualitas
menjadi
suatu
‘keharusan’
yang
dipaksakan
tanpa
kita
mengerti
tujuan
dari
praktek
tersebut.
Praktek
spiritualitas
semestinya
pertama-‐tama
bertujuan
untuk
mencontoh
(imitasi)
Yesus.
Setelah
itu,
menurut
Bass,
kita
lebih
luas
mencontoh
para
rasul,
tokoh-‐tokoh
Alkitab,
tokoh-‐tokoh
agama,
orang
terdekat
dengan
kita
dan
orang
lain
yang
dapat
kita
jadikan
contoh.
Kita
menangkap
nilai
hidup
dari
praktek
yang
dilakukan
oleh
tokoh-‐tokoh
tersebut
(Bass,
Christianity
After
Religion
2012,
153-‐157).
Dalam
the
Reign
of
God
and
the
art
of
anticipation
Bass
mengingatkan
kita
tentang
hasil
dari
praktek
spiritualitas
yang
kita
lakukan
jangan
hanya
untuk
diri
kita
sendiri.
Orang
yang
melakukan
praktek
spiritualitas
yang
tertuju
kepada
Tuhan
sebenarnya
dia
akan
melakukan
apa
yang
diajarkan
Tuhan
bagi
dunia
ini.
Karena
itu
praktek
spiritualitas
membuat
kita
melakukan
tindakan
keadilan,
perdamaian,
memelihara
keharmonisan
dan
keutuhan
ciptaan
(Bass,
Christianity
After
Religion
2012,
157-‐160).
Penutup:
Model
Gereja
Persahabatan
Semasa
studi
beberapa
tahun
yang
lalu,
saya
membantu
sebuah
gereja
kecil
beranggotakan
70-‐an
orang
Indonesia
yang
berasal
dari
berbagai
daerah
di
Indonesia.
Satu
hal
yang
membuat
saya
kagum
saat
pertama
kali
datang
ke
gereja
tersebut
adalah
saya
menyaksikan
persekutuan
yang
hangat
dan
bersahabat.
Seorang
opa
duduk
dan
bercakap
santai
dengan
beberapa
remaja
dan
pemuda.
Beberapa
ibu
paruh
baya
sedang
ngobrol
asyik
dengan
pasangan
kekasih.
Beberapa
orang
remaja
sedang
bermain
dengan
sekelompok
anak-‐anak
usia
4
–
9
tahun.
Begitu
pula
dua
orang
homeless
ikut
makan
dan
duduk
satu
meja
dengan
beberapa
orang
lanjut
usia.
Semua
itu
terjadi
dalam
satu
ruangan
besar
dan
terjadi
setiap
minggu.
Saya
memimpikan
gereja
persahabatan
adalah
komunitas
yang
cair,
hangat
dan
menjadi
tempat
pemulihan.
Dalam
perkembangan
gereja
belakangan
ini
muncul
model
intergenerational
ministry
sebagai
kritik
(lawan)
dari
model
age-‐segregated
ministry
yang
membagi
pelayanan
secara
kategorial.
Gereja
di
Indonesia
umumnya
masih
memakai
model
age-‐segregated
ministry.
Salah
satu
kritik
terhadap
model
pelayanan
kategorial
adalah
pemisahan
umat
berdasarkan
usia
berdampak
sistemik
terhadap
proses
regenerasi.
Hilangnya
kaum
muda
dalam
gereja
merupakan
akibat
dari
model
pelayanan
kategorial
sebab
selama
ini
telah
meminggirkan
umat
golongan
usia
muda
dari
kehidupan
gereja.
Harkness
dalam
pendekatan
intergenerational
ministry-‐nya
menyebutkan
bahwa
model
ini
memberikan
nilai
yang
tinggi
terhadap
komunitas
yang
mutualistik
dan
setara
diantara
anggota
gereja.
Pada
model
ini
terjadi
komunitas
yang
saling
berbagi
pengetahun
dan
pengalaman
iman
antar
tiap
generasi
sehingga
pertumbuhan
iman
komunitas
terjadi
secara
holistik.
Pada
model
ini,
sikap
saling
menerima,
terbuka
untuk
memberi
diri,
saling
(Zaragoza
1999)percaya
terjadi
pada
seluruh
lapisan
usia
(Harkness
2012,
131-‐
132).
Pertanyaannya,
apakah
model
intergenerational
ministry
(atau
church)
dapat
dikembangkan
pada
gereja-‐gereja
di
Indonesia
dengan
konteks
budaya
Timur
yang
ketat
dengan
hirarki
dan
senioritas?
Apakah
model
gereja
persahabatan
mungkin
terjadi
pada
gereja-‐gereja
di
Indonesia
yang
telah
lama
hidup
dalam
tradisi
‘dari
dulu
sudah
begitu?’
Tulisan
ini
menyisahkan
pertanyaan
yang
perlu
dijawab
dalam
studi
lebih
lanjut
mengenai
gereja
persahabatan
sebagai
model
gereja
dalam
konteks
masa
kini.
Bibliography
Adiprasetya,
Joas.
GKI
Pondok
Indah.
September
8,
2009.
www.gkipi.org/bergereja-‐antara-‐pelayanan-‐dan-‐persahabatan/
(accessed
January
30,
2014).
Bass,
Diana
Butler.
The
Practicing
Congregation.
Virginia:
The
Alban
Institute,
2004.
Bass,
Diana
Butler.
Christianity
After
Religion.
New
York:
HarperCollins
Publishers,
2012.
Friedman,
Thomas
L.
The
World
is
Flat.
New
York:
Picador
USA,
2007.
Gunawan,
Linna.
"Gereja
Persahabatan:
Belajar
dari
Persahabatan
Generasi
Y."
In
Buku
Peneguhan
Pnt.
Yesie
Irawan
Lie,
by
GKI
Kayu
Putih,
edited
by
Linna
Gunawan.
Jakarta:
GKI
Kayu
Putih,
2014.
Harkness,
Allan
G.
"Intergenerationality:
Biblical
and
Theological
Foundation."
Christian
Education
Journal
9
(2012):
121-‐129.
Kinnaman,
David.
UnChristian.
Grand
Rapid:
Baker
Books,
2007.
Kinnaman,
David,
and
Aly
Hawkins.
You
Lost
Me.
Translated
by
Denny
Pranolo.
Bandung,
West
Java:
PT.
Visi
Anugerah
Bersama,
2011.
Rice,
Jesse.
The
Church
of
Facebook.
Colorado:
David
C.
Cook,
2009.
Smith,
Christian,
and
Melinda
Denton.
Soul
Searching:
The
Religious
and
Spiritual
Lives
of
American
Teenagers.
New
York:
Oxford
University
Press,
2005.
Thomas,
Gary.
Sacred
Pathway.
Translated
by
Arie
Saptaji.
Yogyakarta:
Yayasan
Gloria,
2011.
Vernon,
Mark.
USA
Today.
July
26,
2010.
www.usatoday30.usatoday.com/news/opinion/forum/2010-‐07-‐27-‐
column27_ST_N.htm
(accessed
January
30,
2013).
Yaconelli,
Michael.
Messy
Spirituality.
Translated
by
Devi
Sutarsi.
Surabaya:
Omid
Publishing
House,
2013.
Zaragoza,
Edward.
No
Longer
Servants
but
Friends.
Nashvile:
Abingdon
Press,
1999.
1
Tulisan
ini
merupakan
makalah
kuliah
umum
saya
di
(Vernon
2010)STT
Jakarta
pada
tanggal
24
September
2014
dalam
rangka
HUT
STT
Jakarta
ke-‐80
tahun
dengan
tema”
Ziarah
Beragam
Rasa.”
Saya
terinspirasi
memakai
istilah
“gereja
persahabatan”
dari
rekan
Joas
Adiprasetya
lewat
tulisannya
yang
berjudul
“Bergereja:
Antara
Pelayanan
dan
Persahabatan,”
serta
model
gereja
yang
diusulkan
oleh
Diana
Butler
Bass
yaitu
Intentional
Congregation
dalam
bukunya
The
Practicing
Congregation.
2
Pendeta
Jemaat
GKI
Kayu
Putih,
Jakarta
dan
pengajar
paruh
waktu
STT
Jakarta
untuk
matakuliah
Homiletik
dan
Pembelajaran
Jemaat.
3
Orang
dewasa
suka
menyebut
kaum
muda
sebagai
generasi
yang
tidak
mau
diatur,
semaunya
sendiri,
tidak
mau
ikut
aturan,
dll.
Karena
itu
kaum
muda
terasa
asing
di
mana
orang
dewasa.
4
Ada
penelitian
lebih
dulu
tentang
religiositas
remaja
Amerika
yang
dilakukan
oleh
tim
NSYR
(National
Study
of
Youth
and
Religion)
dan
hasilnya
diterbitkan
dalam
buku
yang
berjudul
(Kinnaman,
UnChristian
2007)
(Thomas
2011)
(Yaconelli
2013):
The
Religious
and
Spiritual
Lives
of
American
Teenagers
karya
Christian
Smith
dan
Melinda
Denton.
Selain
itu
banyak
buku
bermunculan
seputar
youth
ministry
(pelayanan
kaum
muda)
yang
memberikan
berbagai
kemungkinan
untuk
melibatkan
kaum
muda
dalam
kehidupan
gereja
sebab
mereka
bukan
hanya
menjadi
generasi
masa
depan
gereja,
tetapi
generasi
“now.”
5
Pada
tanggal
30
November
2014
Komisi
Pengkajian
Teologi
(KPT)
GKI
SW
Jabar
mengadakan
seminar
“Ibadah
dan
Dunia
Kaum
Muda.”
Dalam
semina
tersebut
pengurus
KPT
menampilkan
data
kehadiran
kaum
muda
dalam
aktivitas
gereja.
Dari
kira-‐kira
enam
jemaat
GKI
SW
Jabar,
hanya
GKI
Maulana
Yusuf,
Bandung,
yang
mengalami
peningkatan
jumlah
kehadiran
kaum
muda
dalam
kegiatan
Gereja.
Itu
pun
pengunjung
kaum
muda
kebanyakan
berasal
dari
luar
GKI
Maulana
Yusuf.
6
David
Kinnaman
dalam
dua
bukunya,
hasil
riset
The
Barna
Group,
yaitu
UnChristian
dan
You
Lost
Me
menyimpulkan
bahwa
kekristenan
dianggap
tidak
lagi
menjawab
pergumulan
orang
Kristen
dan
dunia
pada
masa
kini.
Kekristenan
maupun
gereja
dianggap
terlalu
kuno
dan
kaku
dalam
ajaran
dan
spiritualitas,
padahal
dunia
sudah
berubah
dengan
cepat.
Dalam
You
Lost
Me,
kaum
muda
menyebut
gereja
sebagai
penyebab
dari
kebingungan
mereka
dalam
menjawab
pergumulan
hidup
mereka.
Demikian
pula,
dalam
UnChristian,
kekristenan
dianggap
menghasilkan
orang
Kristen
yang
palsu,
yang
mementingkan
pencitraan
dibandingkan
melakukan
ajaran
Kristus
secara
nyata.
Penelitian
Barna
mencatat
pandangan
negative
kaum
muda
terhadap
kekristenan:
91%
menyatakan
kekristenan
sebagai
antihomoseksual,
87%
mengatakan
orang
Kristen
melakukan
penghakiman
terhadap
orang
lain,
85%
menyebutkan
pengunjung
gereja
sebagai
orang-‐orang
munafik,
dan
72%
menyebut
kekristenan
tidak
menyentuh
kehidupan
nyata.
Hanya
41%
yang
mengatakan
kekristenan
sebagai
sesuatu
yang
masuk
akal;
dan
hanya
30%
menyatakan
kekristenan
sebagai
sesuatu
yang
relevan
bagi
konteks
masa
kini.
8
Oleh
karena
Thomas
L.
Friedman
menggambarkan
dunia
yang
serba
cepat
dan
terhubung,
yang
memungkinkan
orang
untuk
‘berpindah’
dari
satu
tempat
ke
tempat
lain,
mendapat
informasi
dari
berbagai
belahan
dunia
dalam
hitungan
detik,
dengan
sebutan
“The
World
is
Flat”
sesuai
dengan
judul
bukunya.
9
Tulisan
menarik
dari
USA
Today
“Is
True
Friendship
dying
away,”
Mark
Vernon
mengemukan
sejumlah
survei
yang
menyebutkan
bahwa
munculnya
jejaring
sosial
dan
teknologi
menyebabkan
manusia
kehilangan
persahabatan
yang
sejati
–
persahabatan
yang
ada
saat
ini
sangat
dangkal.
Orang
memang
punya
banyak
teman
di
berbagai
tempat
–
kalau
lihat
pertemanan
kita
di
facebook
memang
bisa
ribuan,
tapi
persabahatan
tidak
mendalam.
Karena
itu
Vernon
mengatakan
saat
ini
orang
mengalami
kesepian
di
tengah
keramaian/kerumunan
–
lonely
in
the
crowd.
10
Mengapa
kehadiran
gereja
sebagai
home
menjadi
kebutuhan
pada
masa
sekarang?
Bass
menyebut
spiritualitas
yang
muncul
ke
permukaan
saat
ini
adalah
nomadic
spirituality.
Orang
beragama
atau
keanggotaannya
dalam
gereja
tidak
menetap.
Di
sepanjang
hidupnya,
dia
bisa
berganti
dan
berpindah
gereja
atau
agama.
Dalam
hal
bergereja,
Bass
menambahkan,
kalau
dulu
keanggotaan
gereja
menjadi
hal
yang
mutlak;
sekarang
ini
umat
pergi
ke
gereja
yang
membuatnya
nyaman,
kemudian
mereka
bisa
dengan
mudah
berpindah
ke
gereja
lain
yang
dinilai
lebih
nyaman
daripada
gereja
sebelumnya.
Dalam
satu
atau
dua
tahun
bisa
saja
mereka
berpindah
dari
satu
gereja
ke
gereja
lain.
Bass
menyebut
orang
Kristen
sekarang
seperti
turis
yang
sedang
menikmati
wisata
‘rohani’
yang
disebut
Gereja
11
Mike
Yaconnelli
dalam
Messy
Spirituality
mengisahkan
kerapuhan
manusia
saat
beriman.
Menjadi
otentik
amat
penting
dalam
hidup
beriman
sebab
hidup
iman
kadang
bergerak
naik
dan
turun.
Saat
kita
menjadi
otektik
dalam
spiritualitas,
mengakui
kerapuhan
kita,
maka
kita
tahu
bagaimana
Tuhan
berkarya
secara
ajaib
dalam
hidup
ini.
Kita
pun
dapat
menghargai
diri
sendiri
dan
orang
lain.
GEREJA
PERSAHABATAN1
Memikirkan
Ulang
Konsep
bergereja
dalam
Konteks
Dunia
yang
Serba
Terhubung
Linna
Gunawan2
Kejutan
yang
Tidak
Mengejutkan
Satu
dua
tahun
terakhir
saya
dibanjiri
oleh
permintaan
dari
berbagai
gereja
membawakan
materi
tentang
kaum
muda.
Umumnya
gereja-‐gereja
tersebut
meminta
saya
untuk
memberikan
“ilmu”
bagaimana
menghadapi
kaum
muda
saat
ini
dan
bagaimana
membuat
mereka
“betah”
berada
di
gereja.
Mulai
dari
permintaan
tentang
karakteristik
kaum
muda
sampai
model
ibadah
yang
paling
‘jitu’
bagi
kaum
muda
masa
kini.
Rupanya
gereja-‐gereja
tersebut
mulai
kewalahan
menghadapi
munculnya
generasi
yang
“asing”3
di
tengah
mereka,
sebagian
lagi
mereka
merasa
kuatir
akan
masa
depan
gereja
yang
mulai
kosong
kaum
mudanya.
Saat
The
Barna
Group
melakukan
survei
tentang
kaum
muda
dan
gereja
dalam
konteks
Amerika,
banyak
Gereja
Amerika
terkejut
dan
mulai
melakukan
berbagai
strategi
untuk
menjangkau
kaum
muda.
Barna
menyebut
angka
59%
kaum
muda
(usia
18
–
29
tahun)
Amerika
drop
out
dari
Gereja
(Kinnaman
and
Hawkins,
You
Lost
Me
2011,
23-‐25).
Penelitian
yang
berlangsung
sejak
tahun
2007
–
2011
ini
memberikan
gambaran
tajam
tentang
keterpisahan
kaum
muda
dengan
gereja.
Sebenarnya
hasil
penelitian
Barna
ini
bukanlah
hasil
yang
mengejutkan.
Semuanya
sudah
diprediksi
oleh
para
tokoh
gereja
Amerika
tentang
gereja
akan
kehilangan
warga
mudanya
di
masa
depan.
Namun
selama
ini
prediksi
semacam
ini
tidak
terlalu
dipedulikan
oleh
gereja.
Setelah
Barna
mempublikasikan
hasil
temuannya
ke
arena
publik,4
gereja
seolah
baru
melihat
kenyataannya
dari
bangku-‐bangku
gereja
mereka
yang
tidak
banyak
terisi
oleh
kaum
muda.
Kembali
pada
konteks
Indonesia,
apakah
hasil
reset
Barna
merupakan
gejala
yang
sama
terjadi
pada
gereja
di
Indonesia?
Kita
tidak
tahu
jawabannya
karena
belum
pernah
ada
penelitian
kaum
muda
dan
gereja
pada
konteks
Indonesia.
Namun
kenyataan
bahwa
‘bangku’
gereja
mulai
ditinggalkan
oleh
kaum
muda
bukan
pula
hal
yang
tiba-‐tiba
terjadi
di
Indonesia.
Misalnya
saja,
sejak
tahun
1990-‐an
jumlah
kehadiran
kaum
muda
GKI
tidak
sebanyak
jumlah
anak-‐anak
yang
hadir
dalam
aktivitas
gereja.5
Entah
mengapa
dan
kemana
kaum
muda
GKI,
tidak
ada
yang
bisa
memberikan
jawabnya.
Kenyataan
ini
mengajak
kita
untuk
berefleksi
tentang
gereja
pada
konteks
masa
kini.
Refleksi
yang
bukan
mencari
penyebab
dan
bagaimana
mengatasi
penurunan
jumlah
kehadiran
kaum
muda
gereja,
tetapi
berefleksi
tentang
spiritualitas
gereja
pada
konteks
masa
kini.
Drop
out
kaum
muda
dari
gereja
merupakan
akibat
dari
hubungan
yang
terputus
antara
kehidupan
gereja
dengan
dunia
masa
kini;
antara
iman
Kristen
dengan
kenyataan
hidup
sehari-‐hari;
antara
spiritualitas
Kristen
dengan
pergumulan
hidup
umat
Kristen
sekarang
ini.6
Gereja
Persahabatan:
mewujudkan
Trinitas
dalam
kehidupan
bergereja
masa
kini.
Saat
saya
mengajarkan
materi
Allah
Tritunggal
dalam
kelas
katekisasi
remaja,
seorang
peserta
menanyakan
mengapa
kita
harus
mempelajari
doktrin
Allah
Tritunggal
yang
rumit
ini.
Lebih
lanjut
dia
bertanya
tentang
arti
pentingnya
mempelajari
doktrin
ini
bagi
hidupnya
saat
ini.
Tentu
saja
pertanyaan
ini
menjadi
suatu
tanda
keterpisahan
antara
dogma
gereja
dengan
kehidupan
nyata.
Kadangkala
dogma
harus
diimani
umat
sebagai
suatu
kebenaran
tanpa
perlu
umat
memahami
pentingnya
bagi
hidup
beriman
mereka
sehari-‐hari.
Allan
G.
Harkness
menyebut
doktrin
Trinitas
sebagai
doktrin
yang
kuat
berbicara
tentang
komunitas.
Allah
Tritunggal
menunjukkan
Allah
mewujud
dalam
persekutuan
yang
setara,
terhubung
dan
inklusif.
Ke-‐Tritunggal-‐an
Allah
mewujud
pula
dalam
hubungan
manusia
dengan
Allah
serta
sesamanya.
Hubungan
Allah
–
manusia
–
sesama
ini
membentuk
komunitas
yang
didasari
oleh
kasih
yang
terbuka.
Ketika
sebuah
komunitas
menghargai
dan
menerima
sesamanya,
maka
komunitas
ini
sedang
menunjukkan
sifat
relasional
Allah
dalam
Trinitas.
Harkness
menambahkan,
sifat
relational
Allah
ini
dalam
hubungannya
dengan
komunitas
manusia
terlihat
dalam
sebutan-‐sebutan
khas
Kristen,
antara
lain
“umat
Allah,”
“komunitas
Mesianik,”
“Tubuh
Kristus,”
dan
“persekutuan
Roh
Kudus”
(Harkness
2012,
125-‐126)7
Senada
dengan
Harkness,
Joas
Adiprasetya
menjelaskan
Trinitas
sebagai
Allah
dalam
persekutuan
yang
menghargai
kesetaraan,
perbedaan
dan
kesatuan.
Allah
dalam
persekutuan
memiliki
karakter
persahabatan
ilahi.
Karena
itu
Adiprasetya
menawarkan
persahabatan
sebagai
konsep
menggereja
masa
kini.
Selain
Trinitas,
Adiprasetya
juga
menyebutkan
persahabatan
Kristus
melalui
kesediaan-‐Nya
menjadi
sahabat
bagi
manusia.
Ketika
gereja
mengakui
dirinya
segambar
dan
serupa
dengan
Allah
maka
gereja
pun
menjadi
gereja
yang
memiliki
karakter
persahabatan
ilahi
(Adiprasetya
2009).
Penggunakan
kata
“persahabatan”
menjadi
menarik
ketika
kita
coba
melihatnya
pada
konteks
dunia
saat
ini.
Kemajuan
teknologi
yang
pesat,
bukan
hanya
menyebabkan
cepatnya
arus
informasi,
tetapi
juga
munculnya
beragam
media
sosial
yang
menghubungkan
manusia
dengan
sesamanya.
Media
sosial
memberi
kesempatan
bagi
kita
untuk
berjumpa
di
dunia
maya
dengan
sesama
yang
tinggal
dekat
maupun
jauh
dari
tempat
tinggal
kita.
Dalam
hitungan
detik,
kita
dapat
menghubungi
teman
dari
belahan
bumi
lain,
begitu
pula
kita
bisa
mendapatkan
informasi
maupun
kisah
dari
negara
lain
(Friedman
2007).8
Karena
itu
dunia
kita
sekarang
disebut
sebagai
dunia
yang
terhubung.
Manusia
tidak
dapat
hidup
tanpa
terhubung
dengan
sesamanya.
Dalam
konteks
dunia
seperti
ini,
menurut
Jesse
Rice
dalam
bukunya
yang
berjudul
The
Church
of
Facebook,
manusia
menjadikan
koneksi
(hubungan)
sebagai
sumber
kebahagiaannya
(Rice
2009,
28).
Manusia
takut
terisolasi,
terasing
dari
dunianya.
Dalam
koneksi,
tambah
Rice,
manusia
menemukan
kenyamanan
dan
keamanan
bagi
dirinya.
Masalahnya
adalah
apakah
koneksi
yang
dimilikinya
bersama
orang
lain
atau
komunitasnya
adalah
koneksi
yang
berkualitas
(Rice
2009,
44-‐45).
Henry
Nouwen
mendefinisikan
hubungan
yang
berkualitas
lewat
penderitaan
manusia
yang
disebutnya
sebagai
“homeless”
yaitu
mereka
yang
tidak
memiliki
tempat
di
mana
mereka
dapat
merasakan
dicintai,
aman,
dipedulikan
dan
dilindungi
(Rice
2009,
46).9
Jadi
ketika
kita
mendapatkan
koneksi
yang
menciptakan
perasaan
memiliki
di
antara
kita,
perasaan
yang
membuat
kita
merasa
aman,
dilindungi,
dicintai
dan
dipedulikan,
di
situlah
koneksi
menjadi
berkualitas.
Rice
menyebutkan
koneksi
seperti
itu
adalah
koneksi
yang
membuat
orang
merasa
at
home.
Hanya
satu
kata,
menurut
Rice,
yang
dibutuhkan
manusia
dalam
konteks
masa
kini,
yaitu
home
(Rice
2009,
48).
Apabila
kita
melihat
kembali
komunitas
cinta
kasih
yang
menjadi
nilai
utama
dari
doktrin
Tritinitas,
maka
kita
mengerti
dengan
jelas
betapa
pentingnya
gereja
sebagai
komunitas
yang
menciptakan
home.
Dengan
jelas
Bass
mendefinisikan
gereja
sebagai
home,10
“Gereja
merupakan
komunitas
yang
berproses,
sebuah
tempat
dimana
manusia
belajar
seni
hidup
melalui
doa,
discernment,
kearifan,
dan
cerita
kehidupan
Kristen
seiring
dengan
karunia
Allah.
Komunitas
ini
merupakan
implementasi
iman
yang
penuh
kasih.
Sebuah
kehidupan
yang
tidak
ditentukan
oleh
doktrin
yang
ketat
dan
kepastian
moral
namun
yang
hidup
melalui
persahabatan
sejati
dan
implementasi
iman
setiap
hari”
(Bass,
The
Practicing
Congregation
2004).
Spiritualitas
Gereja
Persahabatan:
Nilai
dan
Bentuk.
Edward
C.
Zaragosa
dalam
No
Longer
Servants,
but
Friends
mengajak
kita
untuk
menjadi
sahabat
bagi
diri
sendiri,
sahabat
bagi
Allah,
dan
sahabat
bagi
sesame
(Zaragoza
1999,
69).
Ajakan
Zaragosa
menginspirasi
saya
untuk
menggali
lebih
dalam
nilai-‐nilai
persahabatan
yang
menjadi
spiritualitas
gereja
persahabatan
(Gunawan
2014).
§ Terbuka.
Gereja
saat
ini
dihadiri
beragam
orang
dari
suku,
ras,
tempat
tinggal,
latar
belakang
keluarga,
pendidikan,
ekonomi,
prinsip
hidup,
dll.
Gereja
harus
berani
terbuka
menerima
siapa
saja
yang
datang.
Setiap
orang
mendapat
pelayanan
yang
setara
tanpa
dibedakan.
Siapapun
diterima
masuk
dalam
komunitas
Gereja
sekalipun
mereka
berbeda
termasuk
mereka
yang
cacat
secara
fisik
dan
mental,
serta
berbeda
orientasi
seksualnya.
Gereja
persahabatan
yang
terbuka
juga
berarti
siap
terbuka
terhadap
masukan
dari
siapa
saja.
Gereja
juga
berani
terbuka
terhadap
perubahan
dunia,
termasuk
terbuka
untuk
berubah
sesuai
dengan
konteks
di
mana
Gereja
berada.
Tanpa
keberanian
untuk
terbuka
terhadap
perubahan,
Gereja
akhirnya
hanya
menjadi
“museum”
yang
dikagumi
karena
masa
lampaunya
saja.
§ Menerima.
Gereja
Persahabatan
membutuhkan
penerimaan
dari
seluruh
anggotanya.
Dengan
keterbukaan
terhadap
semua
orang
masuk
dalam
komunitas
Gereja,
maka
Gereja
menerima
orang
apa
adanya.
Penghargaan
terhadap
talenta,
bakat
atau
karunia
setiap
anggotanya
menjadi
salah
satu
ciri
kasih
yang
menerima,
dan
hal
ini
perlu
dikembangkan
oleh
Gereja.
Pengampunan
kepada
mereka
yang
melakukan
dosa
dan
kesalahan
pun
mendapat
tempat
utama
dalam
persekutuan
Gereja
Persahabatan
sebab
persahabatan
Kristus
adalah
menerima
semua
orang
yang
berdosa.
§ Otentik.
Dalam
komunitas
gereja,
orang
dapat
bebas
menjadi
dirinya
secara
otentik.
Otentisitas
memperlihatkan
kejujuran
hidup,
menjadi
diri
sendiri
bahkan
penghargaan
terhadap
Allah
yang
telah
menciptakan
manusia
sebagaimana
adanya.
Otentisitas
juga
menunjukkan
bahwa
kasih,
yang
menjadi
dasar
persahabatan,
melenyapkan
ketakutan
untuk
menjadi
diri
sendiri,
bahkan
menerima
orang
lain
(1
Yoh.
4:
18).
Gereja
persahabatan
membuat
setiap
anggotanya
mendapatkan
kebahagiaan
karena
kejujurannya
dan
kebebasan
menerima
dirinya
sendiri
serta
orang
lain.
Keotentikan
ini
membuat
orang
berani
untuk
memiliki
iman
yang
berantakan
(messy
spirituality).11
Kita
mengakui
iman
kita
tidak
selalu
baik,
tetapi
kadang
iman
kita
sedang
menukik
turun
sehingga
kita
membutuhkan
tangan
Tuhan
dan
tangan
sesama
untuk
menolong
kita
yang
rapuh.
§
Percaya.
Zaragosa
menyebutkan
bahwa
persahabatan
membangun
kepercayaan
(Zaragoza
1999,
90-‐92).
Membangun
Gereja
Persahabatan
membutuhkan
rasa
percaya
dari
seluruh
anggotanya.
Pertama,
percaya
kepada
Tuhan
yang
menciptakan
dan
memelihara
hidupnya.
Tanpa
rasa
percaya
kepada
Tuhan,
Gereja
selalu
dipenuhi
dengan
kekuatiran
menghadapi
masa
depan,
dan
ketakutan
untuk
melakukan
perubahan
dunia
serta
membawa
Injil
Kristus
keluar
dari
gedung
gereja.
Kedua,
percaya
kepada
diri
sendiri
bahwa
mereka
memiliki
kemampuan,
serta
layak
masuk
dalam
pekerjaan
ladang
pelayanan
Tuhan.
Ketiga,
percaya
kepada
sesama
anggota
bahwa
mereka
pun
layak
menjadi
rekan
sekerja.
Dalam
membangun
kepercayaan
bersama
anggota
gereja,
proses
regenerasi
menjadi
salah
satu
program
yang
perlu
serius
dikerjakan
dalam
kehidupan
Gereja
Persahabatan.
Regenerasi
secara
tidak
langsung
memperlihatkan
pemberian
kepercayaan
kepada
orang
lain.
Sementara
itu
pemulihan
luka-‐luka
masa
lalu,
maupun
luka-‐luka/trauma
pelayanan
ketika
berinteraksi
dengan
orang
lain
dan
Tuhan,
menjadi
program
penting
pula
dalam
rangka
membangun
kultur
kepercayaan
bagi
Gereja
Persahabatan.
Diana
Butler
Bass
mengenai
perubahan
orang
Amerika
dalam
kehidupan
berimannya.
Pada
tahun
1999
sebanyak
72%
orang
Amerika
menyebut
dirinya
sebagai
“spiritual
but
not
religious.”
Mereka
mendefinisikan
“spiritualitas”
sebagai
pengalaman
hubungan
dengan
Allah
dan
sesama.
Praktek
dari
iman.
Sedangkan
religius
dikategorikan
sebagai
lembaga
agama.
Oleh
karena
itu
orang
Amerika
pada
waktu
itu
tidak
tertarik
dengan
lembaga
agama
manapun
walaupun
mereka
tetap
percaya
kepada
Tuhan
(Bass,
Christianity
After
Religion
2012,
92)
.
Namun
pada
tahun
2009
terjadi
perubahan,
orang
Amerika
menganut
“spiritual
and
religious.”
Religius
tidak
lagi
dipahami
secara
sempit,
hanya
“religion,”
tetapi
keterbukaan
untuk
mempraktekkan
iman
walaupun
dilakukan
dengan
ritual
(Bass,
Christianity
After
Religion
2012,
93).
Seringkali
ketika
kita
berbicara
tentang
praktek
spiritualitas,
kita
terjebak
pada
bentuk.
Beberapa
kali
dalam
pembinaan
ibadah
kaum
muda,
saya
selalu
diminta
untuk
memberikan
bentuk
ibadah
yang
cocok
untuk
kaum
muda.
Oleh
karena
itu
barangkali
saat
ini
kita
pun
terjebak
pada
pertanyaan
bagaimana
bentuk
gereja
persahabatan,
bagaimana
prakteknya,
bagaimana
model
ibadahnya,
dll.
Bass
mengatakan
dalam
konteks
gereja
masa
kini,
kita
jangan
terjebak
pada
bentuk
program
ketika
berbicara
tentang
praktek
spiritualitas.
Anggaplah
praktek
spiritualitas
sebagai
sebuah
karya
seni
yang
harus
kita
rancang
sesuai
dengan
diri
kita
dan
dapat
dinikmati
oleh
banyak
orang.
Oleh
karena
itu
Bass
mengajak
kita
untuk
memahami
praktek
spiritualitas
melalui
tiga
hal:
the
art
of
intention,
the
art
of
imitation,
the
Reign
of
God
and
the
art
of
anticipation.
The
art
intention
berbicara
tentang
praktek
spiritual
yang
beragam
bentuknya
dan
kita
memilih
secara
bebas
bentuk
yang
kita
ingin
praktekkan
(Bass,
Christianity
After
Religion
2012,
145-‐152).
Gary
Thomas
dengan
Sacred
Pathway,
misalnya,
mengusulkan
sembilan
bentuk
ibadah
selain
bentuk
tradisional
berdoa
dan
membaca
Alkitab.
Selain
itu
dalam
the
art
intention
terbuka
terhadap
pencampuran
berbagai
praktek
spiritualitas
dari
berbagai
tradisi
dari
agama
dan
kepercayaan
lain.
Misalnya,
doa
labirin
yang
menggabungkan
mythology
Yunani
dengan
doa
Kristen;
meditasi
Kristiani
yang
menggabungkan
meditasi
Kristen
dengan
Buddhist.
The
art
of
imitation,
menurut
Bass,
adalah
tujuan
dari
praktek
spiritualitas
yang
kita
lakukan.
Kita
perlu
tahu
alasan
mengapa
kita
melakukan
praktek
atau
ritual
ini.
Kelalaian
gereja
pada
masa
lalu
adalah
praktek
spiritualitas
menjadi
suatu
‘keharusan’
yang
dipaksakan
tanpa
kita
mengerti
tujuan
dari
praktek
tersebut.
Praktek
spiritualitas
semestinya
pertama-‐tama
bertujuan
untuk
mencontoh
(imitasi)
Yesus.
Setelah
itu,
menurut
Bass,
kita
lebih
luas
mencontoh
para
rasul,
tokoh-‐tokoh
Alkitab,
tokoh-‐tokoh
agama,
orang
terdekat
dengan
kita
dan
orang
lain
yang
dapat
kita
jadikan
contoh.
Kita
menangkap
nilai
hidup
dari
praktek
yang
dilakukan
oleh
tokoh-‐tokoh
tersebut
(Bass,
Christianity
After
Religion
2012,
153-‐157).
Dalam
the
Reign
of
God
and
the
art
of
anticipation
Bass
mengingatkan
kita
tentang
hasil
dari
praktek
spiritualitas
yang
kita
lakukan
jangan
hanya
untuk
diri
kita
sendiri.
Orang
yang
melakukan
praktek
spiritualitas
yang
tertuju
kepada
Tuhan
sebenarnya
dia
akan
melakukan
apa
yang
diajarkan
Tuhan
bagi
dunia
ini.
Karena
itu
praktek
spiritualitas
membuat
kita
melakukan
tindakan
keadilan,
perdamaian,
memelihara
keharmonisan
dan
keutuhan
ciptaan
(Bass,
Christianity
After
Religion
2012,
157-‐160).
Penutup:
Model
Gereja
Persahabatan
Semasa
studi
beberapa
tahun
yang
lalu,
saya
membantu
sebuah
gereja
kecil
beranggotakan
70-‐an
orang
Indonesia
yang
berasal
dari
berbagai
daerah
di
Indonesia.
Satu
hal
yang
membuat
saya
kagum
saat
pertama
kali
datang
ke
gereja
tersebut
adalah
saya
menyaksikan
persekutuan
yang
hangat
dan
bersahabat.
Seorang
opa
duduk
dan
bercakap
santai
dengan
beberapa
remaja
dan
pemuda.
Beberapa
ibu
paruh
baya
sedang
ngobrol
asyik
dengan
pasangan
kekasih.
Beberapa
orang
remaja
sedang
bermain
dengan
sekelompok
anak-‐anak
usia
4
–
9
tahun.
Begitu
pula
dua
orang
homeless
ikut
makan
dan
duduk
satu
meja
dengan
beberapa
orang
lanjut
usia.
Semua
itu
terjadi
dalam
satu
ruangan
besar
dan
terjadi
setiap
minggu.
Saya
memimpikan
gereja
persahabatan
adalah
komunitas
yang
cair,
hangat
dan
menjadi
tempat
pemulihan.
Dalam
perkembangan
gereja
belakangan
ini
muncul
model
intergenerational
ministry
sebagai
kritik
(lawan)
dari
model
age-‐segregated
ministry
yang
membagi
pelayanan
secara
kategorial.
Gereja
di
Indonesia
umumnya
masih
memakai
model
age-‐segregated
ministry.
Salah
satu
kritik
terhadap
model
pelayanan
kategorial
adalah
pemisahan
umat
berdasarkan
usia
berdampak
sistemik
terhadap
proses
regenerasi.
Hilangnya
kaum
muda
dalam
gereja
merupakan
akibat
dari
model
pelayanan
kategorial
sebab
selama
ini
telah
meminggirkan
umat
golongan
usia
muda
dari
kehidupan
gereja.
Harkness
dalam
pendekatan
intergenerational
ministry-‐nya
menyebutkan
bahwa
model
ini
memberikan
nilai
yang
tinggi
terhadap
komunitas
yang
mutualistik
dan
setara
diantara
anggota
gereja.
Pada
model
ini
terjadi
komunitas
yang
saling
berbagi
pengetahun
dan
pengalaman
iman
antar
tiap
generasi
sehingga
pertumbuhan
iman
komunitas
terjadi
secara
holistik.
Pada
model
ini,
sikap
saling
menerima,
terbuka
untuk
memberi
diri,
saling
(Zaragoza
1999)percaya
terjadi
pada
seluruh
lapisan
usia
(Harkness
2012,
131-‐
132).
Pertanyaannya,
apakah
model
intergenerational
ministry
(atau
church)
dapat
dikembangkan
pada
gereja-‐gereja
di
Indonesia
dengan
konteks
budaya
Timur
yang
ketat
dengan
hirarki
dan
senioritas?
Apakah
model
gereja
persahabatan
mungkin
terjadi
pada
gereja-‐gereja
di
Indonesia
yang
telah
lama
hidup
dalam
tradisi
‘dari
dulu
sudah
begitu?’
Tulisan
ini
menyisahkan
pertanyaan
yang
perlu
dijawab
dalam
studi
lebih
lanjut
mengenai
gereja
persahabatan
sebagai
model
gereja
dalam
konteks
masa
kini.
Bibliography
Adiprasetya,
Joas.
GKI
Pondok
Indah.
September
8,
2009.
www.gkipi.org/bergereja-‐antara-‐pelayanan-‐dan-‐persahabatan/
(accessed
January
30,
2014).
Bass,
Diana
Butler.
The
Practicing
Congregation.
Virginia:
The
Alban
Institute,
2004.
Bass,
Diana
Butler.
Christianity
After
Religion.
New
York:
HarperCollins
Publishers,
2012.
Friedman,
Thomas
L.
The
World
is
Flat.
New
York:
Picador
USA,
2007.
Gunawan,
Linna.
"Gereja
Persahabatan:
Belajar
dari
Persahabatan
Generasi
Y."
In
Buku
Peneguhan
Pnt.
Yesie
Irawan
Lie,
by
GKI
Kayu
Putih,
edited
by
Linna
Gunawan.
Jakarta:
GKI
Kayu
Putih,
2014.
Harkness,
Allan
G.
"Intergenerationality:
Biblical
and
Theological
Foundation."
Christian
Education
Journal
9
(2012):
121-‐129.
Kinnaman,
David.
UnChristian.
Grand
Rapid:
Baker
Books,
2007.
Kinnaman,
David,
and
Aly
Hawkins.
You
Lost
Me.
Translated
by
Denny
Pranolo.
Bandung,
West
Java:
PT.
Visi
Anugerah
Bersama,
2011.
Rice,
Jesse.
The
Church
of
Facebook.
Colorado:
David
C.
Cook,
2009.
Smith,
Christian,
and
Melinda
Denton.
Soul
Searching:
The
Religious
and
Spiritual
Lives
of
American
Teenagers.
New
York:
Oxford
University
Press,
2005.
Thomas,
Gary.
Sacred
Pathway.
Translated
by
Arie
Saptaji.
Yogyakarta:
Yayasan
Gloria,
2011.
Vernon,
Mark.
USA
Today.
July
26,
2010.
www.usatoday30.usatoday.com/news/opinion/forum/2010-‐07-‐27-‐
column27_ST_N.htm
(accessed
January
30,
2013).
Yaconelli,
Michael.
Messy
Spirituality.
Translated
by
Devi
Sutarsi.
Surabaya:
Omid
Publishing
House,
2013.
Zaragoza,
Edward.
No
Longer
Servants
but
Friends.
Nashvile:
Abingdon
Press,
1999.
1
Tulisan
ini
merupakan
makalah
kuliah
umum
saya
di
(Vernon
2010)STT
Jakarta
pada
tanggal
24
September
2014
dalam
rangka
HUT
STT
Jakarta
ke-‐80
tahun
dengan
tema”
Ziarah
Beragam
Rasa.”
Saya
terinspirasi
memakai
istilah
“gereja
persahabatan”
dari
rekan
Joas
Adiprasetya
lewat
tulisannya
yang
berjudul
“Bergereja:
Antara
Pelayanan
dan
Persahabatan,”
serta
model
gereja
yang
diusulkan
oleh
Diana
Butler
Bass
yaitu
Intentional
Congregation
dalam
bukunya
The
Practicing
Congregation.
2
Pendeta
Jemaat
GKI
Kayu
Putih,
Jakarta
dan
pengajar
paruh
waktu
STT
Jakarta
untuk
matakuliah
Homiletik
dan
Pembelajaran
Jemaat.
3
Orang
dewasa
suka
menyebut
kaum
muda
sebagai
generasi
yang
tidak
mau
diatur,
semaunya
sendiri,
tidak
mau
ikut
aturan,
dll.
Karena
itu
kaum
muda
terasa
asing
di
mana
orang
dewasa.
4
Ada
penelitian
lebih
dulu
tentang
religiositas
remaja
Amerika
yang
dilakukan
oleh
tim
NSYR
(National
Study
of
Youth
and
Religion)
dan
hasilnya
diterbitkan
dalam
buku
yang
berjudul
(Kinnaman,
UnChristian
2007)
(Thomas
2011)
(Yaconelli
2013):
The
Religious
and
Spiritual
Lives
of
American
Teenagers
karya
Christian
Smith
dan
Melinda
Denton.
Selain
itu
banyak
buku
bermunculan
seputar
youth
ministry
(pelayanan
kaum
muda)
yang
memberikan
berbagai
kemungkinan
untuk
melibatkan
kaum
muda
dalam
kehidupan
gereja
sebab
mereka
bukan
hanya
menjadi
generasi
masa
depan
gereja,
tetapi
generasi
“now.”
5
Pada
tanggal
30
November
2014
Komisi
Pengkajian
Teologi
(KPT)
GKI
SW
Jabar
mengadakan
seminar
“Ibadah
dan
Dunia
Kaum
Muda.”
Dalam
semina
tersebut
pengurus
KPT
menampilkan
data
kehadiran
kaum
muda
dalam
aktivitas
gereja.
Dari
kira-‐kira
enam
jemaat
GKI
SW
Jabar,
hanya
GKI
Maulana
Yusuf,
Bandung,
yang
mengalami
peningkatan
jumlah
kehadiran
kaum
muda
dalam
kegiatan
Gereja.
Itu
pun
pengunjung
kaum
muda
kebanyakan
berasal
dari
luar
GKI
Maulana
Yusuf.
6
David
Kinnaman
dalam
dua
bukunya,
hasil
riset
The
Barna
Group,
yaitu
UnChristian
dan
You
Lost
Me
menyimpulkan
bahwa
kekristenan
dianggap
tidak
lagi
menjawab
pergumulan
orang
Kristen
dan
dunia
pada
masa
kini.
Kekristenan
maupun
gereja
dianggap
terlalu
kuno
dan
kaku
dalam
ajaran
dan
spiritualitas,
padahal
dunia
sudah
berubah
dengan
cepat.
Dalam
You
Lost
Me,
kaum
muda
menyebut
gereja
sebagai
penyebab
dari
kebingungan
mereka
dalam
menjawab
pergumulan
hidup
mereka.
Demikian
pula,
dalam
UnChristian,
kekristenan
dianggap
menghasilkan
orang
Kristen
yang
palsu,
yang
mementingkan
pencitraan
dibandingkan
melakukan
ajaran
Kristus
secara
nyata.
Penelitian
Barna
mencatat
pandangan
negative
kaum
muda
terhadap
kekristenan:
91%
menyatakan
kekristenan
sebagai
antihomoseksual,
87%
mengatakan
orang
Kristen
melakukan
penghakiman
terhadap
orang
lain,
85%
menyebutkan
pengunjung
gereja
sebagai
orang-‐orang
munafik,
dan
72%
menyebut
kekristenan
tidak
menyentuh
kehidupan
nyata.
Hanya
41%
yang
mengatakan
kekristenan
sebagai
sesuatu
yang
masuk
akal;
dan
hanya
30%
menyatakan
kekristenan
sebagai
sesuatu
yang
relevan
bagi
konteks
masa
kini.
8
Oleh
karena
Thomas
L.
Friedman
menggambarkan
dunia
yang
serba
cepat
dan
terhubung,
yang
memungkinkan
orang
untuk
‘berpindah’
dari
satu
tempat
ke
tempat
lain,
mendapat
informasi
dari
berbagai
belahan
dunia
dalam
hitungan
detik,
dengan
sebutan
“The
World
is
Flat”
sesuai
dengan
judul
bukunya.
9
Tulisan
menarik
dari
USA
Today
“Is
True
Friendship
dying
away,”
Mark
Vernon
mengemukan
sejumlah
survei
yang
menyebutkan
bahwa
munculnya
jejaring
sosial
dan
teknologi
menyebabkan
manusia
kehilangan
persahabatan
yang
sejati
–
persahabatan
yang
ada
saat
ini
sangat
dangkal.
Orang
memang
punya
banyak
teman
di
berbagai
tempat
–
kalau
lihat
pertemanan
kita
di
memang
bisa
ribuan,
tapi
persabahatan
tidak
mendalam.
Karena
itu
Vernon
mengatakan
saat
ini
orang
mengalami
kesepian
di
tengah
keramaian/kerumunan
–
lonely
in
the
crowd.
10
Mengapa
kehadiran
gereja
sebagai
home
menjadi
kebutuhan
pada
masa
sekarang?
Bass
menyebut
spiritualitas
yang
muncul
ke
permukaan
saat
ini
adalah
nomadic
spirituality.
Orang
beragama
atau
keanggotaannya
dalam
gereja
tidak
menetap.
Di
sepanjang
hidupnya,
dia
bisa
berganti
dan
berpindah
gereja
atau
agama.
Dalam
hal
bergereja,
Bass
menambahkan,
kalau
dulu
keanggotaan
gereja
menjadi
hal
yang
mutlak;
sekarang
ini
umat
pergi
ke
gereja
yang
membuatnya
nyaman,
kemudian
mereka
bisa
dengan
mudah
berpindah
ke
gereja
lain
yang
dinilai
lebih
nyaman
daripada
gereja
sebelumnya.
Dalam
satu
atau
dua
tahun
bisa
saja
mereka
berpindah
dari
satu
gereja
ke
gereja
lain.
Bass
menyebut
orang
Kristen
sekarang
seperti
turis
yang
sedang
menikmati
wisata
‘rohani’
yang
disebut
Gereja
11
Mike
Yaconnelli
dalam
Messy
Spirituality
mengisahkan
kerapuhan
manusia
saat
beriman.
Menjadi
otentik
amat
penting
dalam
hidup
beriman
sebab
hidup
iman
kadang
bergerak
naik
dan
turun.
Saat
kita
menjadi
otektik
dalam
spiritualitas,
mengakui
kerapuhan
kita,
maka
kita
tahu
bagaimana
Tuhan
berkarya
secara
ajaib
dalam
hidup
ini.
Kita
pun
dapat
menghargai
diri
sendiri
dan
orang
lain.