Jurnal Adidi Komodifikasi Agama dan Glob

Komodifikasi Agama dan Globalisasi
(Tinjauan terhadap Perspektif Privatisasi Agama)
Adidi*

Abstract
This paper discusses the existence of religion in globalization era. Religious
values, which are private, sacral, and transcendent, interact with the
globalization circle, which seems to be contradictory with religion.
Globalization is utilitarian as its nature and it results in vanish of local
values or cultures. However, none can avoid, neither can religious people. For
the believer, religion is often believed to be the source of value thorough and
covers and even inspired the birth of the values that evolved in human life. In
other words, religion has many roles in the public sphere. However, in line with
the changes, religions then undergoes privatization inevitably have resulted in
the degradation of the role of religion in the public sphere characterized by
reduced performance religion. One cause is globalization and the privatization
of religion ideologies born in the modern society. When religion becomes
something very private that Cassanova ideas about religion deprivatization
eligible to re-echoed.

Keywords: Privatisasi agama, Masyarakat konsumsi, Komodifikasi,

A. Pendahuluan
Berbicara tentang Privatisasi Agama yang merujuk pada masyarakat
global, maka penulis tertarik dengan Pernyataannya Luhmann, dimana
pertanyaan tentang globalisasi telah masuk melewati definisinya tentang
society.1 Masyarakat adalah pertama dari semua, semacam sistem sosial.
Sistem sosial dalam gilirannya terdiri dari tindakan, tetapi berdasar pada
komunikasi penuh arti. Mereka menggunakan komunikasi untuk
mengangkat dan untuk saling menghubungkan kejadian yang menambah
sistem.2
1Abdullah, Irwan. 2007. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan.Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 90-110.
2
Masyarakat adalah mencakup sistem sosial yang termasuk juga semua
komunikasi. Masyarakat adalah sebuah sistem dari komunikasi sosial dalam pengertian
yang sangat luas dari kata tersebut. Kata hanya akan bisa menjangkau batas sebuah
masyarakat jika komunikasi berhenti berpikir.

Adidi, Global Society dan Komodifikasi Agama| 1

Lebih lanjut jika berbicara masyarakat, harus cukup terdapat derajat

komunikasi yang tidak lancar antara kelompok aktor dengan pembuatan
peluang untuk komunikasi yang jarang dan terbatas. Dalam kenyataan,
Luhmann memberikan pemikiran bahwa manusia telah memiliki
masyarakat dunia pada dasarnya karena cara sosial yang fundamental
(komunikasi, penciptaan nilai, pertukaran ekonomi) saat ini bertambah
dengan terus-menerus sekeliling bumi sepenuhnya. Luhmann lebih
abstrak pada titik awal untuk menghindari dari ekonomi dan politik yang
tereduksi. Keuntungannya adalah bahwa Luhmann dapat menghilangkan
ekonomi kapitalis dan sistem negara-bangsa dari beban analitis untuk
membawa struktur dari sistem global.3
Bagi Luhmann, modernisasi dan globalisasi sangat berkaitan erat.
Dalam kasus ini, masyarakat modern adalah sebuah konsekuensi dari
perubahan di masyarakat barat dalam tipe diferensiasi inti
kemasyarakatan yang mendominasi. Luhmann melihat modernitas
sebagai dikarakteristikkan (bukan yang utama) oleh peningkatan secara
kuantitatif dalam hal diferensiasi, tetapi lebih penting oleh sebuah
perubahan kualitatif dalam kriteria mengacu kepada yang dibentuk
bagian-bagian utama dari komunikasi sosial. Untuk menyusun
karakteristik diferensiasi mesyarakat modern adalah dengan melihat suatu
perubahan atau pergeseran dari sebuah kekuasaan diferensiasi

bertingkat-tingkat kepada sebuah kekuasaan diferensiasi fungsional.
Apa yang dimaksud dengan masyarakat terdiferensiasi berstratifikasi
dan fungsional? Asumsi kuncinya adalah pikiran atau gagasan bahwa
stratifikasi dapat menjadi sebuah bentuk dari diferensiasi subsistem dan
tidak hanya distribusi yang tidak merata dari status, kesejahteraan,
kekuasaan dan bentuk lain yang berpengaruh. Bagi Luhmann,
berangsur-angsurnya dan indegenisasi pergeseran pada modernitas di
masyarakat Barat telah menjadi sentral struktural segi atau keistimewaan
reordering pada prioritas berstratifikasi tersebut.
Bagi Luhmann, pembangunan modernitas Barat pasti melibatkan
lebih banyak dari sekedar faktor struktural tunggal. Basis posisinya adalah
bukan sebuah perubahan tersebut dalam tipe dominan diferensiasi yang
terdapat pada modernitas, tetapi lebih dari itu pergeseran ini memegang
kunci dalam memahami banyaknya perubahan.
3
Peter F Beyer. 1997. Privatization and the Public Influence of Religion in Global
Society dalam Mike Featherstone (ed.), Global Culture: Nationalism, Globalization and
Modernity, London: SAGE Publications, 229-373.

Adidi, Global Society dan Komodifikasi Agama| 2


Apa yang ia tawarkan adalah bahwa globalisasi adalah terkoneksi
dengan pertambahan dominasi dalam struktur sosial modern dari
pengetahuan sebagai sebuah jalan merespon pada harapan yang
mengecewakan. Luhmann memahami harapan sebagai hal mendasar
pada struktur sosial. Dalam kenyataannya, struktur sosial terdiri dari
harapan-harapan. Oleh karena sebagai struktur mengacu pada konteks
yang stabil secara relatif yang mana komunikasi dapat terjadi, komunikasi
menjadi tidak mungkin tanpa harapan-harapan yang terstruktur. Oleh
karena itu, harus terdapat cara-cara untuk mempertemukan dengan
kekecewaan harapan-harapan. Luhmann melihat dua pendekatan,
norma-norma dan pengetahuan (kognisi).
Klaim Luhmann lebih jauh adalah bahwa dominasi secara historis dari
harapan-harapan terstruktur secara normatif merupakan instrumental
dalam penambahan masyarakat kompleks yang lebih tinggi dari
pramodern dan awal-awal era modern. Argumentasinya adalah bahwa
sebuah penekanan normatif membolehkan kontras yang lebih besar
antara struktur sosial dan kejadian-kejadian alamiah.
Bagi Luhmann, pergeseran Barat dari berstratifikasi pada diferensiasi
fungsional adalah pada saat sama sebuah pergantian dalam dominasi dari

mode normatif pada mode kognitif tentang merespon harapan-harapan
kekecewaan. Hanya jika pada tipe-tipe diferensiasi, perubahan ini tidak
berarti sebuah pergantian sederhana, tetapi lebih jauh adalah sebuah
reordering; norma-norma modern khusus adalah struktur tersebut dan
dengan mendorong pengetahuan, bukan seperti yang dijelaskan dalam
batasan pengetahuan. Dalam istilah Weber, rasionalitas normatif
menggeser dari tujuan kepada cara. Ini menunjukkan lebih instrumental.
Luhmann berspekulasi bahwa kompleksitas yang lebih besar dari
subsistem fungsional modern adalah hanya mungkin pada basis sebuah
keunggulan mode kognitif. Mengaitkan observasi empiriknya bahwa jenis
komunikasi yang dimiliki globalisasi merupakan sebagian besar orientasi
kognitif yang akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa masyarakat dunia
adalah sebuah konsekuensi langsung dari modernisasi yang belakangan
dipahami sebagai pergantian pada diferensiasi fungsional dari subsistem
dominan masyarakat. Luhmann kemudian melihat globalisasi seperti
konsekuensi yang hampir bersifat insidental dari modernisasi struktural

Adidi, Global Society dan Komodifikasi Agama| 3

di masyarakat Barat. 4Bagi Luhmann, sebuah masyarakat lebih kompleks

adalah yang lebih problematik pada semua dirinya sendiri menjadi
tematisasi. Maka tidak mengherankan jika pandangan Luhmann tentang
masyarakat global modern sebagai didominasi diferensiasi fungsional
yang memainkan suatu peran kunci dalam kesimpulannya.
Dengan pergeseran pada sebuah keunggulan diferensiasi fungsional,
Luhmann mempertimbangkan bahwa solusi kuno untuk tematisasi
masyarakat menjadi problematik yang tinggi. Ia memberikan dua alasan,
pertama, penataran adaptif yang dihasilkan dari spesialisasi fungsional
berarti bahwa masing-masing subsistem menciptakan suatu kelimpahan
dari kemungkinan bagi tindakan sosial. Kedua, tidak seperti dalam
diferensiasi berstratifikasi, hubungan dari subsistem kemasyarakatan
dalam diferensiasi fungsional adalah tidak hirarkis secara struktural
membuatnya lebih sulit untuk memperlakukan siapapun dari padanya
sebagai diri sendiri, bagian yang jelas merepresentasikan kesemuanya.
Sesuai dengan itu, teori Luhmann mengharapkan tematisasi diri
tersebut untuk dipikirkan secara jelas. Secara umum, ia melihat tiga
macam upaya dalam memandang hal ini. Tematisasi pertama sistem
global dalam istilah pada apakah yang disebut “not”. Dalam kategori ini,
Luhmann hendak menempatkan utopian dan impian antisistemik dari
macam-macam jenis. Satu yang memahami saat ini membingungkan

dengan perhitungan yang satu atau lebih memastikan masa depan
terhadap yang dihadapi.
Tematisasi kedua mencoba merevitalisasi dan memperbarui solusi
yang telah menjadi karakteristik pre-modern yang diberikan secara politis
dan masyarakat regional. Disini ia menempatkan konsepsi bahwa melihat
masyarakat seperti sesuatu sistem terstruktur yang normatif dari cara
sama diorientasikan orang-orang.
Tematisasi ketiga menggunakan sebuah subsistem fungsional yang
spesifik sebagi bagian yang merepresentasikan keseluruhan. Disini,
Luhmann hendak mengambil gagasan-gagasan yang melihat masyarakat
global sebagai sistem kapitalis. Dengan cara demikian, ia
mengistimewakan ekonomi seperti halnya Robertson dan Meyer yang

4
Luhmann menggambarkan sebuah konsistensi perbedaan antara apakah
masyarakat sebagai sebuah sistem sosial dan representasi tematik ataukah kesan
masyarakat tersebut. Oleh karena itu, Luhmann juga bicara di antara kesan dominan dan
kesan yang terlibat atau bersaing.

Adidi, Global Society dan Komodifikasi Agama| 4


memprioritaskan sistem yang bersifat politik. Potongan gaya sistem
global sebagai suatu aspek teknologi juga akan juga ditemukan di sini.
Ditinjau dalam perspektif sosiologis, agama bukan hanya dipandang
sebagai sesuatu yang bersifat doktrinal-ideologis yang bersifat abstrak,
tetapi ia muncul dalam bentuk-bentuk material, yakni dalam kehidupan
sehari-hari. Dalam konteks inilah, agama dipandang sebagai bagian dari
kebudayaan. Identitas-identitas keagamaan bahkan biasanya lebih mudah
ketika dimaterialisasi melalui cara berpikir, cara bertindak dan
berperilaku. Dengan kata lain, agama dalam konteks ini adalah praktik
keagamaan bukan melulu doktrin keagamaan.
Dalam perspektif ini, agama adalah tentang cara bagaimana seseorang
menjalankan agamanya. Dimana konteks ini, semua agama termasuk
Islam di dalamnya adalah sesuatu yang bersifat kongkrit. Sebagaimana
yang dikemukakan Louis Althusser bahwa ideologi dapat dimaterialisasi
kedalam bentuk-bentuk tertentu yang kongkrit.5 Islam misalnya, dapat
dimaterialisasi kedalam berbagai bentuk kultural seperti jilbab, sarung,
kegiatan pengajian dan seterusnya yang merupakan salah satu bentuk
materi dari ideologi Islam itu sendiri. Dengan demikian, cara beragama
seseorang menjadi sesuatu yang bersifat kultural.

Di sisi lain, privatisasi yang dialami oleh agama telah menyebabkan
agama kehilangan peran di tingkat publik. Agama menjadi sesuatu yang
sangat private. Ia telah kehilangan kekuatannya dalam mempengaruhi
kehidupan-kehidupan publik. Semua fenomena ini, menurut Peter F.
Beyer terjadi karena munculnya paham pluralisme dalam masyarakat
modern.6Walhasil, cara beragama masyarakat modern hanya terbatas
pada hal-hal yang bersifat ibadah individual dimana agama berperan
hanya sebagai pemenuh kebutuhan spiritual belaka, tidak lagi kebutuhan
sosial. Itu pun bersifat individual, bukan publik.
Dengan kata lain, modernisasi dan globalisasi telah melakukan reduksi
pada makna agama yang pernah dipahami sebelumnya. Ia bukan lagi
sistem nilai dan norma yang melingkupi aspek-aspek kehidupan manusia,
melainkan salah satu alternatif norma yang bersifat optional. Salah satu

5

Dan Laughey. 2007. Key Themes in Media Theory. New York: McGraw-Hill, 60.
F Beyer. 1997. ―Privatization and the Public Influence of Religion in
Global Society dalam Mike Featherstone (ed.), Global Culture: Nationalism, Globalization
and Modernity, London: SAGE Publications, 373.

6Peter

Adidi, Global Society dan Komodifikasi Agama| 5

implikasi yang kemudian muncul, sebagaimana diuraikan Beyer, adalah
penyempitan makna agama terbatas pada hal-hal yang bersifat ritual.
Tulisan ini merupakan upaya pembacaan atas karya Peter F. Beyer
mengenai privatisasi agama yang bertajuk ―Privatization and the Public
Influence of Religion in Global Society dalam dikompilasikan oleh Mike
Featherstone dalam Global Culture: Nationalism, Globalization and Modernity.
Berawal dari pembacaan Beyer inilah, konsep-konsep lain yang disajikan
dalam tulisan ini pun diupayakan dapat membantu menjelaskan realitas
dari privatisasi agama yang dimaksudkan oleh Beyer.
B. Privatisasi Agama: Sebuah Konsekuensi Era Globalisasi
Sejak tahun 1960-an, banyak sosiolog beranggapan bahwa agama di
dunia Barat kontemporer semakin mengalami privatisasi. Talcott
Parsons, Peter Berger, Thomas Luckmann dan Robert Bellah, misalnya
mengutarakan bahwa agama hari ini lebih banyak menekankan pada
urusan individu dan telah kehilangan relevansinya dengan urusan publik.
Inilah yang mereka maksudkan dengan istilah privatisasi. Padahal agama

memiliki pengaruh besar dalam kehidupan publik dalam sebuah
masyarakat, bahkan pada masyarakat modern sekalipun. Agama dapat
menjadi sumber inspirasi sebagaimana ia juga membawa serangkaian
norma-norma religius.
Peter F. Beyer kemudian membidik masalah privatisasi agama dengan
menggunakan analisis Luhmann yang menyangkut profesional dan
aturan sosial komplementer dan antara fungsi dan performance agama.
Beyer sampai pada kesimpulan bahwa salah satu faktor penyebab
privatisasi adalah adanya paham pluralistik agama diantara individu dalam
kehidupan masyarakat modern. Dengan kata lain, paham pluralisme
keagamaan telah menghantarkan manusia pada individualisme, termasuk
dalam hal kehidupan beragama sehingga menggusur peran publik agama
sebagaimana yang banyak digagas oleh sosiolog agama sebelumnya, salah
satunya adalah Thomas F. O‘dea.
Persoalan pengaruh agama dalam kehidupan publik kemudian
memunculkan tiga argumentasi yang saling berhubungan. Pertama, tingkat
keagamaan yang tinggi dari seseorang tidak akan cukup untuk
mempengaruhi kehidupannya sehari-hari. Terkadang, para pemuka
agama mengamalkan agama mereka, padahal hal ini merupakan prasyarat
bagi sebuah agama, bahkan tidak hanya bagi agama yang bersifat publik.

Adidi, Global Society dan Komodifikasi Agama| 6

Kedua, globalisasi dalam kehidupan masyarakat telah menawarkan
pilihan secara signifikan kepada masyarakat bahwa agama dapat
mempengaruhi persoalan-persoalan publik. Ketiga, bagaimana pun agama
akan mengalami kesulitan dalam mempengaruhi masyarakat global secara
keseluruhan; namun pengaruh-pengaruh ini akan lebih mudah beroperasi
jika para pemuka agama menerapkan modal keagamaan yang tradisional
untuk tujuan sub-societal, mobilisasi politik dalam merespon globalisasi
masyarakat.
Dengan kata lain, secara keseluruhan agama mengalami kesulitan
untuk dapat menjadi inspirasi bagi kehidupan masyarakat global
sebagaimana pada masa-masa sebelumnya, hal ini disebabkan oleh
semakin banyaknya pilihan dalam kehidupan global lebih beragam dan
memenuhi kebutuhan bagi masyarakat modern. Singkatnya, globalisasi
telah menjadikan agama sebagai salah satu alternatif, bukan sistem nilai
yang mendasari perilaku dalam kehidupan.
Hal ini sejalan dengan pandangan Irwan Abdullah bahwa globalisasi
yang ditandai dengan perbedaan-perbedaan dalam kehidupan telah
mendorong pembentukan definisi baru tentang berbagai hal dan
memunculkan praktik kehidupan yang beragam. Berbagai dimensi
kehidupan mengalami redefinisi dan diferensiasi terjadi secara meluas
yang menunjukkan sifat relatif suatu praktik sosial.7
Sebagai konsekuensinya, globalisasi mengimplikasikan perubahan
banyak hal, termasuk cara orang beragama. Irwan Abdullah menekankan
bahwa perubahan ini bukan disebabkan agama itu mengalami
kontekstualisasi sehingga menjadi bagian yang menyatu dengan
masyarakat, tetapi juga disebabkan budaya yang mengkontekstualisasikan
agama itu merupakan budaya global, dengan tata nilai yang berbeda.
Teori sosial Luhmann sejalan dengan pemikiran Parsons, Berger, dan
Luhmann yang melihat diferensiasi institusional dan identitas individu
yang pluralistik sebagai karakter mendasar dari masyarakat modern.
Maksud Luhmann adalah bahwa dalam setting sosio-kultural semacam
ini, agama tidak hanya mengalami kemunduran dalam aspek kehidupan
sosial, tetapi juga menyebabkan tekanan dalam mengembangkan
subsistem khusus secara institusional.
7Abdullah, Irwan. 2007. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan.Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 107.

Adidi, Global Society dan Komodifikasi Agama| 7

Maka, dalam pandangan Luhmannian, privatisasi merupakan
konsekuensi terstruktur pada masyarakat modern. Pada dasarnya,
persoalan ini tidak hanya merujuk pada agama dibanding politik atau
ekonomi. Khususnya di Barat, yang merupakan masyarakat modern di
negara-negara maju, seseorang secara sukarela memilih pandangan dan
praktik keagamaannya sebagaimana mereka memilih gagasan dan
tindakan politik mereka. Hal ini dapat terlihat dari keanggotaan mereka di
gereja atau komunitas-komunitas lainnya. Seseorang dapat memilih atau
tidak, seperti halnya ia memilih untuk beribadah atau tidak. Dengan kata
lain, beragama dan tidak beragama, taat dan tidak taat menjadi pilihan. Ia
tidak lagi menjadi sesuatu yang bersifat doktrinal, sebagaimana dikenal
sebelumnya.
Dalam skema pemikiran Luhman, kaitan tindakan publik kaum
profesional dipandang sama pentingnya dengan privatisasi peran
komplementer dalam pengambilan keputusan. Yang paling banyak
diperbincangkan para ahli dalam masyarakat modern mencerminkan
situasi sosio-struktural dimana kalangan profesional menjadi representasi
utama dari subsistem sebuah masyarakat.
Bentuk peranan kalangan profesional yang sama seperti standar
kompetensi dan kode-kode etik profesional, mengilustrasikan kapasitas
ini. Aturan normatif kompetensi profesional dan etika professional
menekankan pada fungsi, prioritas sistemik dalam tindakan profesional.
Keduanya memiliki andil dalam melakukan diferensiasi identitas
personal, termasuk identitas kelompok, dari apa yang dilakukan oleh
sistem institusional; dan menekan independensi relatif kedua sistem
sosial dan individu yang terlibat di dalamnya.
Dalam pandangan Luhmann, privatisasi agama kemudian dapat
diterjemahkan kedalam kombinasi pengambilan keputusan yang
diprivatisasi dalam hal agama sekaligus penolakan relatif atas pengaruh
publik dalam representasi publik pada sistem, profesional atau pemuka
agama.
Sebagaimana telah dicatat sebelumnya, menurut Luhmann ciri
struktural utama dari masyarakat modern adalah diferensiasi pada fungsifungsi dasar. Ruang institusional menyebar diantara tindakan-tindakan
sosial khusus atas rasionalitas fungsional otonomi secara relatif.
Subsistemsubsistem ini termasuk politik, ekonomi, ilmu pengetahuan,
agama, hukum, pendidikan, seni, kesehatan dan keluarga. Otonomi yang
diperlihatkan masing-masing cukup riil, namun ia benar-benar

Adidi, Global Society dan Komodifikasi Agama| 8

dikondisikan oleh fakta bahwa banyak sistem lain juga beroperasi dalam
milieu sosial yang sama.
Salah satu konsekuensi teoritis penting ialah adanya perbedaan
diantara bagaimana sebuah subsistem berhubungan dengan masyarakat
secara keseluruhan dan bagaimana relasinya dengan subsistem lain.
Secara resmi, Luhmann menganalisis dalam term fungsi dan performance.
Dalam konteks kekinian, fungsi ini sering merujuk pada aspek
ketaatan atau peribadatan, penyucian jiwa, pencarian pencerahan, atau
pengorbanan, atau keselamatan. Fungsi ini merupakan fungsi murni,
sebagai sesuatu yang sakral mengenai yang transenden dan aspek yang
diklaim oleh institusi keagamaan, suatu dasar otonomi mereka dalam
masyarakat modern.
Sementara itu, performance (penampilan) agama secara kontras muncul
ketika agama diaplikasikan pada masalah-masalah yang berasal dari
sistem sosial namun mengalami kegagalan. Misalnya kemiskinan,
penindasan politik, atau keterasingan dalam keluarga. Melalui konsep
performance, agama membangun pentingnya hal-hal yang profan dalam
kehidupan manusia; tetapi juga, perhatian non-agama mengenai
keberagamaan murni, mengekspresikan fakta bahwa masyarakat juga
menaruh perhatian pada kondisi otonomi perilaku keberagamaan.
C. Globalisasi dan Kelahiran Masyarakat Konsumsi
Globalisasi sesungguhnya telah melahirkan sejenis ideologi yang
menjadi dasar dari pembentukan, pelestarian dan perubahan masyarakat
yang bertumpu pada proses identifikasi diri dan pembentukan perbedaan
diantara orang-orang. Sebab, perbedaan menjadi tanda yang paling
penting dalam kehidupan masyarakat modern.
Inilah yang dimaksudkan oleh Heller yang dikutip oleh Andy Bennet
bahwa sesungguhnya modernitas membuat kehidupan kita sehari-hari
menjauh dari bentuk eksistensinya, karena pemikiran dan tindakan
instrumental mendominasi kehidupan kita.8 Dengan kata lain, kehidupan
kita dikendalikan dan didominasi oleh sebuah sistem sehingga mengalami
alienasi dari kehidupan yang sesungguhnya.
Sebagaimana diamati Lyotard bahwa dalam masyarakat dan
kebudayaan modern dan postmodern, persoalan legitimasi pengetahuan
dirumuskan secara yang berbeda. Dengan menggunakan kerangka yang
8

Bennet, Andy. 2005. Culture and Everyday Life. London: SAGE Publications, 20.

Adidi, Global Society dan Komodifikasi Agama| 9

dirumuskan Featherstone, Abdullah kemudian melakukan identifikasi
pergeseran agama yang diakibatkan oleh arus globalisasi, yakni
dominannya nilai simbolisme barang, proses estetisasi kehidupan, dan
melemahnya sistem referensi tradisional.9
Mungkin kekuatan yang paling berpengaruh dalam masyarakat global
adalah Kapitalisme, dimana Kapitalisme tidak hanya mampu menata
tatanan global tetapi mengubah tatanan masyarakat yang bertumpu pada
perbedaan-perbedaan, yang mengarah pada pembentukan status dengan
simbol-simbol modernitas. Kekuatan kapitalisme ini telah mendudukkan
pasar sebagai kekuatan penting yang dijalankan dengan proses integrasi
dan ekspansi pasar yang berdasar pada prinsip-prinsip ekonomi.
Implikasi yang kemudian muncul adalah segala aktivitas dalam aspek
kehidupan diperhitungkan sebagai transaksi ekonomi dimana setiap
orang terfokus pada nilai tukar (exchange value) suatu benda ketimbang
nilai guna (use value). Inilah yang disebut oleh Baudrillard sebagai
masyarakat konsumsi yang secara praktis dapat dipahami sebagai sebuah
masyarakat yang berorientasi pasar dan menganggap segala sesuatu,
termasuk kebudayaan dan agama, sebagai sebuah komoditas yang dapat
diperjualbelikan di pasar.
Pada pembahasannya mengenai masyarakat konsumsi, Baudrillard
mengawalinya dengan kritik atas apa yang terjadi di masyarakat, yakni
kelimpahruahan objek. Semua aktivitas manusia pada tingkat ini tidak lagi
didasarkan pada hakikat kemanusiaan atau alam, tetapi lebih melihat
semuanya sebagai objek. Inilah yang dimaksud dengan liturgi tentang
objek dimana semua manusia melakukan ritual yang sama. Mereka
melakukan standarisasi dirinya dalam kehidupan sosial lewat objek-objek
yang berafilisasi dengan dirinya. Tidak hanya itu, lingkungan yang
menaungi mereka pun tidak lebih dari objek yang didominasi oleh
hukum nilai tukar (exchange value).
Di mana-mana dapat ditemukan objek yang semuanya diukur dengan
nilai tukar dan tentu saja masing-masing objek dapat ditukar dengan
uang, sebuah alat tukar yang merajai dunia. Dengan kata lain, mereka
yang menguasai alat tukar akan mendominasi dunia ini. Kelimpahruahan
yang ada sesungguhnya merupakan konsekuensi logis dari logika objek
yang telah menguasai manusia. Kelimpahruahan ini terwujud dalam pasar
Abdullah, Irwan. 2007. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan.Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 108
9

Adidi, Global Society dan Komodifikasi Agama| 10

modern seperti mall dan pusat perbelanjaan dimana manusia tidak lagi
menyadari bahwa ia sedang melakukan aktivitas konsumsi. Mereka
terbius oleh iklan yang mengasosiasikan diri sebagai bagian dari
kebutuhan manusia, padahal tidak demikian. Mereka terhipnotis dengan
kenyamanan dan kemudahan berbelanja sehingga mereka tidak
menyadari bahwa sesungguhnya mereka tengah melakukan sebuah ritual
konsumsi. Yang dimaksud dengan ritual konsumsi oleh Baudrillard
adalah sebuah kondisi dimana manusia bergerak untuk memenuhi hasrat
yang sesungguhnya diciptakan sedemikian rupa oleh sebuah kekuatan
yang hegemonik dan dominan yang sulit ditolak.
Masuklah kedalam mall. Di sana kita akan menemukan segala macam
benda yang berhasrat untuk memenuhi kebutuhan kita. Semua
bendabenda ini terpajang dalam etalase yang didesain dan diatur
sedemikian rupa agar memenuhi kebutuhan psikologis, estetis dan
ekonomis kita. Ketika kita mulai bergerak untuk memenuhi panggilan
etalase ini, sesungguhnya kita sedang menjalani sebuah ritual konsumsi.
Sekaitan dengan ini, agama memang muncul di tengah-tengah
masyarakat, tetapi bukan memerankan performance-nya yang sejati, yakni
sebagai pengendali hal-hal profan dalam kehidupan manusia, tetapi masih
berbentuk privat dan individual sehingga agama muncul sebagai sesuatu
yang bersifat optional yang ditawarkan sebagai sebuah produk pasar. Hal
ini disebabkan kontekstualisasi yang terjadi pada agama adalah
berhubungan dengan budaya global yang mengalami deteritorialisasi
kebudayaan sehingga idetifikasi terhadap agam dituntut menjadi spesifik
dan bersifat privat.
Dengan kata lain, aktivitas beragama dalam masyarakat konsumsi
adalah bagaimana mengkonsumsi agama. Dengan logika ini, agama
diperlakukan sebagaimana halnya ilmu, ekonomi, atau sistem kesehatan,
agama harus menyediakan layanan yang tidak hanya mendukung dan
meningkatkan keyakinan agama, tetapi juga dapat menentukan dirinya
sendiri untuk memberikan implikasi yang lebih jauh.
Dalam konteks ini, David G. Bromley melihat salah satu fenomena
yang mungkin muncul, yakni fenomena quasi-religious corporations, yakni
korporasi yang menjanjikan reintegrasi antara pekerjaan, politik, keluarga,
komunitas dan agama melalui pembentukan bisnis yang saling

Adidi, Global Society dan Komodifikasi Agama| 11

berhubungan dengan jaringan sosial dan diperkuat secara simbolik
dengan nasionalisme dan tujuan transenden.10
Dalam masyarakat yang berorientasi pasar atau masyarakat konsumsi,
cara pandang terhadap dunia, termasuk juga agama, mengalami
pergeseran yang signifikan. Agama dalam konteks ini bukan merupakan
sumber nilai dalam pembentukan gaya hidup, tetapi lebih sebagai
instrumen bagi gaya hidup itu sendiri. Irwan Abdullah mengambil
contoh ritual ibadah haji yang dianggapnya sebagai sesuatu yang tidak lagi
merupakan perjalanan spiritual yang sakral semata, tetapi telah menjadi
produk yang dikonsumsi dalam rangka identifikasi diri. Agama kemudian
tidak lebih berperan sebagai sebuah label yang melakukan identifikasi
terhadap seseorang atau sekelompok orang.
Dengan demikian, agama telah diperlakukan seperti halnya
barangbarang yang telah diambil-alih oleh pasar untuk dikelola
sedemikian rupa. Kecenderungan ini menunjukkan proses komodifikasi
kehidupan sehari-hari yang dalam istilah Baudrillard melibatkan tanda
sehingga yang dikonsumsi bukanlah objek melainkan sistem objek.
Karakter lain dari kehidupan masyarakat modernisasi dan global
adalah juga ditandai dengan proses estetisasi kehidupan, yakni
menguatnya kecenderungan hidup sebagai proses seni sehingga
mengimplikasikan aktivitas konsumsi atas sebuah produk bukan lagi
berorientasi pada fungsi, tetapi simbol yang berkaitan dengan identitas
dan status.
Fenomena ini mengakibatkan pergeseran pola kehidupan dari etis ke
estetika. Sejalan dengan komodifikasi, agama kemudian menjadi sesuatu
yang dikonsumsi, namun bukan agama sebagai realitas objektif tetapi
sebagai simbol. Dengan demikian, yang dikonsumsi dalam hal ini bukan
esensi agama itu sendiri tetapi citra agama sebagai suatu sistem simbol
sebagaimana ia bekerja sebagai label.
Oleh karena itu, modernisasi telah melakukan sinkretisme agama
dengan masyarakat global yang lebih identik dengan estetika dan layak
jual. Sebagaimana Miller yang dikutip oleh Whiteley mengilustrasikan
Bromley, David G. 1995. ―Quasi-Religious Corporations: A new integration
of religion and capitalism? dalam bukunya Richard H. Roberts (ed.). Religion and the
Transformations of Capitalism: Comparative Approaches. London and New York: Routledge,
135.
10

Adidi, Global Society dan Komodifikasi Agama| 12

bahwa sinkretisme modern telah melahirkan pohon natal dalam tradisi
Kristen di Jerman, kaus kaki yang diisi hadiah dalam tradisi Kristen di
Belanda, munculnya Santa Klaus dalam tradisi Kristen di Amerika Serikat
dan Kartu Natal dalam tradisi Kristen di Inggris.11
D. Privatisasi Agama ke Komodifikasi Agama
Komodifikasi menjelaskan cara kapitalis dalam menjaga tujuan
mereka dalam mengakumulasi kapital atau merealisasi nilai melalui
transformasi nilai guna kepada nilai tukar. Dalam karyanya Capital, Marx
memulai pembahasannya dengan membicarakan mengenai bentukbentuk komoditas. Ekonomi politik telah banyak memberikan
pertimbangan pada institusi dan stuktur bisnis yang memproduksi dan
mendistribusi komoditas dan menguasai badan-badan yang meregulasi
proses-proses tersebut.
Adam Smith dan para pemikir ekonomi politik klasik lainnya
membedakan antara produk-produk yang nilai-nilainya berasal dari
kepuasan dan keinginan manusia tertentu, misalnya nilai guna dan nilainilai ini didasarkan pada apa yang dapat dipertukarkan sebuuh produk.
Komoditas merupakan bentuk tertentu yang dihasilkan ketika produksi
mereka diorganisasi secara mendasar melalui proses pertukaran.
”Komodifikasi adalah proses pengubahan nilai guna menjadi nilai tukar”
Dengan begitu, komodifikasi adalah proses yang dilakukan oleh
kalangan kapitalis dengan cara mengubah objek, kualitas dan tanda-tanda
menjadi komoditas dimana komoditas merupakan item tersebut dapat
diperjualbelikan di pasar. Studi kebudayaan telah lama terlibat dalam
menepis pemikiran kritis komodifikasi kebudayaan dengan industri
kebudayaan yang mengubah masyarakat dan makna menjadi komoditas
yang memenuhi kepentingan mereka. Kemudian, dalam proses yang
disebut oleh Marx sebagai commodity fetishism, sifat benda yang dijual
dipasar adalah kabur dan tidak jelas. Kritik komodifikasi seringkali diikuti
dengan membedakan kedangkalan dan manipulasi komoditas
kebudayaan dengan kebudayaan otentik masyarakat atau dengan kualitas
high culture yang beradab.

Whiteley, Sheila. 2008. Christmas, Ideology and Popular Culture. Edinburgh:
Edinburgh University Press, 50.
11

Adidi, Global Society dan Komodifikasi Agama| 13

Komodifikasi agama merupakan konstruksi historis dan kultural yang
kompleks, sekalipun demikian ciri komersial mereka begitu nyata.
Mereka direproduksi dalam konteks kebudayaan tertentu dan kemudian
mempersyaratkan kerangka kultural untuk mempertegas signifikansi
simbolik dan sosio-ekonomi mereka. Komodifikasi merupakan sebuah
proses yang benar-benar diciptakan dan disertakan dalam saluran
ekonomi pasar lokal-global dan ledakan agama postmodern.
Komodifikasi memang tidak bertujuan memproduksi bentuk dan
gerakan agama baru yang berlawanan dengan keyakinan dan praktik
agama sebelumnya12, namun komodifikasi akan mendudukkan agama
sebagai barang yang melaluinya fungsi spiritual agama menjadi komoditas
yang layak dikonsumsi dalam masyarakat.
Secara praktis, yang dimaksudkan dengan komodifikasi agama adalah
transformasi nilai guna agama sebagai pedoman hidup dan sumber
nilainilai normatif yang berlandaskan pada keyakinan ketuhanan menjadi
nilai tukar, dengan menggunakan fungsi-fungsi ini disesuaikan dengan
kebutuhan manusia atas agama. Proses komodifikasi agama ini akan
berjalan mulus dalam kondisi agama yang telah terprivatisasi dimana
setiap orang memiliki otoritas untuk menentukan sendiri pola beragama
yang akan dijalankannya.
Secara teoritis, komodifikasi agama membuat kita mendefinisikan
ulang agama sebagai komoditas pasar untuk dipertukarkan. Hal ini lebih
jauh diperluas dengan koneksi transnasional organisasi keagamaan dan
jaringan pasar. Dalam perspektif Habermas, peningkatan komodifikasi
hidup, termasuk kebudayaan dan agama oleh korporasi raksasa
mengubah manusia dari masyarakat rasional menjadi masyarakat tidakrasional. Agama benar-benar melihat hal ini sebagai sebagai indikasi
bahwa kehidupan kita sehari-hari telah dijajah oleh system imperatives.13
Salah satu kritik lain yang juga penting atas komodifikasi adalah
perspektif Adorno tentang industri budaya. Bernstein mengurai beberapa
karakter budaya menurut Adorno. Pertama, Adorno melihat patologi
budaya yang menyembunyikan nalar instrumental di baliknya. Ia

12 Kitiarsa, Pattana (ed.), 2008, Religious Commodification in Asia: Marketing Gods,
London: Routledge, 1.
13 Barker, Chris. 2002. Making Sense of Cultural Studies: Central Problems and Critical
Debates, London: SAGE Publications, 164-165.

Adidi, Global Society dan Komodifikasi Agama| 14

menuntut unifikasi dan integrasi yang pada akhirnya berlabuh pada
intervensi yang memaksa universalitas dan objektivitas.
Kedua, budaya sudah masuk dalam logika industri. Budaya sudah
merangkai skema alur produksi, reproduksi, dan sensitif pada kehidupan
konsumsi masyarakat. Dan, logika itu masih dibawah bayang-bayang
kebebasan integral ala kapitalisme lanjut. Ketiga, produksi budaya adalah
sebuah komponen integrasi dari ekonomi kapitalis sebagai satu kesatuan.
Cultural production is an integrated component of the capitalist economy as a whole.
Produksi budaya tak bisa dilepaskan dalam cengkeraman ekonomi
kapitalis.
Keempat, budaya konsumerisme merupakan degradasi budaya.
Berbagai budaya berbagi kesalahan dalam membentuk masyarakat. Yang
berasal dari ketidakadilan telah dimanfaatkan untuk melancarkan upaya
yang saling ekspansif.14
Cara hidup atau kebudayaan manusia ditentukan oleh kekuatan
ekonomi, namun tentu saja dengan sesuatu yang lebih halus. Sebuah
kebudayaan diorganisasikan dalam hubungannya dengan serangkaian
kepentingan masyarakat dan kepentingan dominan merupakan artikulasi
kekuasaan. Kekuasaan, pada gilirannya seringkali dimanifestasi sebagai
kekuatan fisik belaka, namun dengan dimediasi melalui sistem stratifikasi
yang ada dalam masyarakat (dalam hubungannya dengan kelas, gender,
ras, usia dan sebagainya) yang secara umum, taken for granted bagi
kebanyakan manusia.15
Dalam hal ini, karena agama telah mengalami privatisasi, maka agama
dapat dengan mudah menjadi produk yang dapat diperjualbelikan atau
dikomodifikasi. Konsekuensinya, seperti yang diungkapkan Adorno
sebagai standarisasi dan konformisme benar-benar terjadi. Salah satu
buktinya adalah bahwa dalam kasus layanan Esia Hidayah, Islam
mengalami standarisasi dalam varian layanan yang disajikannya sebagai
sebuah produk. Praktikpraktik ritual keagamaan seperti dzikir, ceramah
keagamaan, sedekah, lantunan ayat-ayat Alquran dibuat sebagai standar
bagi seseorang yang ingin dianggap sebagai orang yang shaleh, karena
selalu terhubung dengan hidayah Allah.

14 Adorno, Theodor W. and Horkheimer, Max. 1979, The Culture Industry,
London: Routledge.
15 Jenks, Chris. 1993. Culture: Key Ideas. London: Routledge, 72.

Adidi, Global Society dan Komodifikasi Agama| 15

Sementara itu, dimensi konformistik dari fenomena ini dapat dilihat
dari penyesuaian layanan yang selalu diperbaharui sesuai dengan
kehendak pasar dan pola konsumsi masyarakat. Semua ini bahkan
diperkuat dengan rekomendasi Majelis Ulama Indonesia yang notabene
merupakan lembaga yang memiliki otoritas fatwa keagamaan untuk
menggunakan produk ini.
Namun demikian, karena pasar selalu menempatkan konsumen
sebagai raja, maka konsumen selalu diberikan pilihan hal ini memperkuat
gagasan privatisasi dalam menentukan sikap beragamanya. Semua ini
seolah-oleh memberikan kebebasan dalam mengkonsumsi sesuatu,
padahal konsumen masih berada dalam lingkaran yang dibuat oleh
kalangan produsen yang notabene merupakan pihak kapitalis, realitas
inilah yang mungkin dapat mewakili konsep otoriter dalam gagasan
industri budaya Adorno.
Untuk memuluskan ketiga hal ini, industri kebudayaan menjalankan
produksi dan konstruksi makna melalui iklan sebagai mekanisme akhir
dalam upaya mentransfer makna kedalam kehidupan sehari-hari.
Sebagaimana halnya seni, agama dipasarkan sebagai sebuah setelah
ditetapkan beberapa standar, disesuaikan dengan kehendak pasar yang
sesungguhnya merupakan kehendak kapital.
E. Penutup
Tulisan ini lebih tidak bermaksud memperkuat apalagi mendukung
gagasan Beyer tentang fenomena privatisasi agama namun lebih
merupakan deskripsi dari fenomena yang terjadi dan harus segera
diantisipasi. Agama, sebagai sistem norma, nilai dan ideologi harus
kembali mampu memerankan dirinya dalam dimensi fungsi dan
performance-nya sehingga agama dapat terbebas dari upaya komodifikasi
yang sedikit banyak akan mengakibatkan degradasi peran agama dalam
kehidupan manusia.
Dengan kata lain, tampaknya gagasan Cassanova tentang public religion
patut diperhitungkan dalam hal ini. Cassanova mengingatkan bahwa
meskipun agama memiliki karakter yang omnipresent (serba hadir) dalam
kehidupan manusia, penting dicatat bahwa kehadiran agama itu
senantiasa disertai dengan dua muka yang di satu sisi secara inherent
agama memiliki identitas yang bersifat exclusive, particularist, dan
primordial. Namun pada saat yang bersamaan agama juga kaya akan
identitas yang bersifat inclusive, universalist dan transcending. Jadi, untuk

Adidi, Global Society dan Komodifikasi Agama| 16

memahami penjelasan ini dapat dilakukan dengan memahami posisi
agama dan meletakkkannya dalam situasi yang lebih riil—agama secara
empirik dihubungkan dengan berbagai persoalan social-kemasyarakatan.
Dalam konteks inilah, agama hadir sebagai agama publik, agama yang
sejalan dengan kepentingan publik dan persoalan sosial kemasyarakatan.
Dalam pandangan Cassanova, agama dapat mewujud dalam
aturanaturan sosial-kemasyarakatan, paling tidak Agama mampu
menginternal dalam berbagai macam aturan dan kebijakan yang
ditetapkan oleh sebuah pemerintahan atau negara. Inilah yang
diistilahkan oleh Cassanova sebagai agama publik. Semua ini menggiring
pada sebuah konsep deprivatisasi agama dalam arti mengembalikan
hakikat agama yang menjalankan dimensi function dan performace
sebagaimana yang tertuang dalam pemikiran Beyer.
Dan sebenarnya Globalisasi meniscayakan model tunggal
dalam dunia dan masyarakat. Segala sesuatu, termasuk agama, menjadi
instrumen bagi masyarakat untuk berinteraksi dan berkomunikasi.
Partikularitas yang dimiliki agama bertransformasi menjadi hal yang
bersifat universal dalam bahasa dan simbol-simbol yang disepakati
secara konsensus oleh masyarakat dunia. Sebagai instrumen
komunikasi, agama merelativisasikan diri agar memiliki kelenturan yang
berfungsi secara fungsional bagi instrumen-instruen interaktif. Ia
bergerak dari eksklusivitas keagamaan yang tertutup menjadi
idiom-idiom publik terbuka yang bisa diakses oleh siapapun yang tidak
terbatas bagi kelompok agama tertentu.
Selain partikularitas agama yang mengalami universalisasi,
instrumeninstrumen global yang bersifat universal juga mengalami
partikularisasi dalam idiom-idiom keagamaan. Komoditas dan ekonomi
misalnya yang sebelumnya bersifat universal bertransformasi menjadi
simbol dan bahasabahasa agama yang fungsional dalam
interaksi-interaksi sakral. Agama berorientasi ekonomis dalam arti
memberi dukungan secara ekonomis bagi masyarakat dalam
membangun hubungan-hubungan transaksional dan berbagi komoditi.
Agama dalam globalisasi eksistensinya bertransformasi dari
hal-hal yang bersifat privat, unik, dan sakral menjadi bersifat publik,
general, dan faktual. Transendensi sebagai ciri utama agama
dikomodifikasi sebagai semangat global yang secara terus-menerus dan
berkelanjutan mengatasi problem sosial yang diidentifikasi dalam
persoalan ekonomi dan politik.

Adidi, Global Society dan Komodifikasi Agama| 17

Daftar Pustaka
Abdullah, Irwan. 2007. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan.Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Adorno, Theodor W. and Horkheimer, Max. 1979, The Culture Industry,
London: Routledge
Baudrillard, Jean P. 1998 Consumer Society. London: SAGE Publications
Beyer, Peter F. 1997. Privatization and the Public Influence of Religion
in Global Society dalam Mike Featherstone (ed.), Global Culture:
Nationalism, Globalization and
Modernity,
London:
SAGE
Publications
Babe, Robert E. 2009. Cultural Studies and Political Economy: Toward New
Integration. New York: Lexington Books
Bennet, Andy. 2005. Culture and Everyday Life. London: SAGE
Publications
Barker, Chris. 2002. Making Sense of Cultural Studies: Central Problems and
Critical Debates, London: SAGE Publications
Bromley, David G. 1995. ―Quasi-Religious Corporations: A new
integration of religion and capitalism? dalam Richard H. Roberts
(ed.). Religion and the Transformations of Capitalism: Comparative
Approaches. London and New York: Routledge
Jenks, Chris. 1993. Culture: Key Ideas. London: Routledge
Kitiarsa, Pattana (ed.), 2008, Religious Commodification in Asia: Marketing
Gods, London: Routledge
Laughey, Dan. 2007. Key Themes in Media Theory. New York: McGraw-Hill
Whiteley, Sheila. 2008. Christmas, Ideology and Popular Culture. Edinburgh:
Edinburgh University Press
*Adidi adalah Mahasiswa Studi Agama-Agama Fakultas Ushuluddin dan
Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Adidi, Global Society dan Komodifikasi Agama| 18