Konsesi Perkebunan dan Hak Tanah Komunal

Konsesi Perkebunan dan Hak Tanah Komunal
Orang Melayu di Sumatera Timur: Suatu Analisis yang Diperluas
Pengantar
Pengalaman-pengalaman pertama dan luar biasa yang dialami para Sultan dan para pemimpin
adat di pesisir Timur Sumatera, pekebun asing dan penduduk setempat dengan
diperkenalkannya onderneming tembakau pada babakan ketiga abad ke 19, dipenuhi dengan
berbagai eksperimentasi di atas claim kekuasaan, kekaburan kewenangan kuasa atas tanah,
perlawanan sosial dari penduduk di bawah naungan para pemimpin kampung
(Datuk/Penghulu) dan motif kepentingan kolonial untuk menjejakkan pengaruhnya di
kawasan ini. Penemuan tembakau sebagai komoditi yang menguntungkan di dataran-dataran
rendah pesisir Sumatera Timur memicu adrenalin para pemegang tampuk kekuasaan politik
terutama dua pihak penting pertama dalam penandatanganan kontrak awal konsesi
perkebunan tembakau (Pihak kesultanan dan pekebun asing). Mendadak sontak, wilayah
yang dulunya hampir tidak pernah mendapat perhatian pemerintah kolonial di Batavia,
berubah menjadi satu sorotan yang paling penting di antara wilayah-wilayah lain di kawasan
buiten gewesten (luar Jawa dan Madura).
Diperkenalkannya konsesi standard1 model Barat sebagai sebuah bentuk sewa jangka panjang
atas tanah- dan hutan belantara memicu perhatian yang lebih dalam untuk melihat, menilai
dan menyimpulkan tempat dari satu hak yang dianggap paling tinggi dalam penguasaan
tanah, yakni hak atas tanah komunal (beschikkingrecht). Pertanyaan pokoknya adalah apakah
konsesi-konsesi tersebut memberi naungan (memproteksi) hak-hak sedia kala yang dimiliki

oleh penduduk setempat atau dengan cara apa para penyusun konsesi itu mengartikulasikan
atau mengkonseptualisasikan hak-hak tanah komunal itu dalam bingkai kapitalisasi
perkebunan di wilayah ini. Dengan memakai bahan model kontrak konsesi yang
diseragamkan sejak tahun 1877, elaborasi di bawah ini mencoba melihatnya dalam kerangka
yang lebih luas dari hanya sekedar mendiskusikan kerangka normatif yang membingkai
elemen-elemen penting isi konsesi terkait hak-hak komunal atas tanah yang disebutkan di
atas.
Model Akte Konsesi 1877: Tafsir Politik atas Woeste Grond dan Konsekuensinya
Tahun 1877, empat belas tahun setelah “riuh-rendah” dan juga kesewenang-wenangan
kooptasi tanah di wilayah ini, sebuah aturan baru dibuat melalui penyeragaman sebuah model
akte konsesi untuk Sumatera Timur. Sebuah Besluit pemerintah Hindia Belanda bernomor 4,
tertanggal 27 Januari 1877 dikeluarkan sebagai rujukan bagi model yang hendak
diberlakukan tersebut. Dalam pasal 1 Besluit tersebut dinyatakan bahwa: “persetujuan yang
dituntut menurut aturan-aturan kontrak yang berlaku bagi Kerajaan Siak Sri Indrapura dari
pihak pemerintah atas kontrak di kerajaan tersebut, tidak diberikan kecuali kontrak tersebut
disesuaikan dengan model terlampir pada keputusan ini. Di Keresidenan Pantai Timur

1

Residen Pesisir Sumatera Timur dalam usulannya kepada Pemerintah Hindia Belanda mengatakan bahwa

kesepakatan yang dibuat atas dasar ini oleh raja dan pengusaha menjadi satu-satunya sumber hukum yang dapat
menentukan hubungan hukum para pelaku kontrak, karena baik KUH Perdata Belanda maupun peraturan umum
lainnya tidak berlaku. Dengan memperhatikan kepentingan besar yang dimiliki oleh kedua belah pihak dalam
kontrak seutuhnya, sangat wajar bila pemerintah meminta penyusunan model selengkap mungkin sehingga
mereka bisa memanfaatkannya. Lihatlah Labberton, Op.cit. Hal.43.

Sumatra kewenangan diserahkan untuk memberikan persetujuan pada kontrak perkebunan
yang dibuat atas dasar ini dan atas nama pemerintah seperti yang dimaksud di atas’.2
Surat tersebut tidak hanya menyebutkan kebutuhan akan adanya keseragaman untuk semua
konsesi yang dikeluarkan sebagai dasar dibuatnya model akte (1877) namun juga bertujuan
untuk mencegah keterlambatan yang merugikan dalam awal pembukaan lahan, yang menurut
dugaan Residen, permohonan ini bertumpu pada alasan bahwa di Siak Sendiri (yang sangat
mengecewakan bagi Sultan) belum ada satupun perkebunan yang dibuka.3
Dalam catatan sejarah, model akte konsesi 1877 bukanlah yang pertama dikeluarkan oleh
Pemerintah Hindia Belanda. Beberapa tahun sebelum Nienhuijs mendapatkan konsesi di
tahun 1863, tercatat dan dianggap sebagai konsesi perkebunan pertama di Hindia Belanda
yang diberikan kepada pengusaha asing di daerah swapraja adalah kontrak konsesi
perkebunan yang diperoleh J.W.Neys dari Raja dan para orang besar Limboto (Residensi
Menado) melalui Besluit No.17, tertanggal 19 Mei 1860 untuk jangka waktu 15 tahun bagi
penanaman cokelat. Syarat-syarat yang ada dalam konsesi yang diterima Neys merujuk

kepada aturan-aturan yang tertera dalam koninglijk Besluit 1856 No.64. Sejumlah syarat
utama yang kelak bisa dibandingkan dengan akte konsesi 1877 dan seterusnya menunjukkan
ada kemiripan diantara akta-akta tersebut.4
Mahadi5 yang banyak mengurai soal-soal krusial dalam semua model akte yang pernah
dikeluarkan di Pantai Timur Sumatera (mulai model 1877, 1878, 1884 dan 1892), tidak
sempat mengurai perdebatan dalam tubuh pemerintah Hindia Belanda tentang apa yang
mereka risaukan sehubungan dengan dikeluarkannya model akte konsesi pertama di tahun
1877. Padahal ini menjadi sangat relevan untuk melihat bagaimana cara pandang dan
dukungan mereka terhadap para pekebun dalam rangka eksploitasi tanah di wilayah ini.
Dari 10 pasal yang tertera dalam akte konsesi 1877, sekurangnya ada tiga (3) pasal krusial
dimata pemerintah Hindia Belanda yang menimbulkan perdebatan antara Residen dan
Pemerintah Hindia Belanda di Batavia, terkait hak tanah komunal dan pemiliknya. Pertama,
Pasal 1. “Overeenkomst gesloten tusschen Z.H. den Sultan en de Rijksgrooten van Siak Sri
Indrapoera eenerzijds en den heer ...... ter andere zijde. De Sultan en de Rijksgrooten van
Siak Indrapoera staan aan den contractan ter andere zijde , voor eene landbouw
onderneming een stuk woeste grond af van ..... bouws, , gelegen te .......... en grenzende
aan .......... , de bouw gerekend op vijfhonderd vierkante rijnlandsche roeden. (Perjanjian
dibuat antara Sultan dan Orang-Orang Besar Siak Sri Indrapoera pada satu sisi dan Tuan......
pada sisi lainnya. Sultan dan Orang-Orang Besarnya afstaan.
Menurut Penjelasan dari pasal tersebut, penyebutan Sultan dan Orang-Orang Besarnya

tersebut karena adanya pengakuan dari Sultan (Siak) dan Orang besarnya bahwa tanah-tanah
tersebut dibawah kepemilikan mereka (dat Sultan en de rijksgrooten de gronden eigener
2

Lihat lebih jauh Besluit No.4. yang dikeluarkan di Batavia, 27 Januari 1877.Surat tersebut ditandatangani oleh
Sekretaris I Pemerintah.
3
Ibid.
4
Labberton, K.van Hinloopen. De Indische Landbouwconcessie. Amsterdam, De Bussy, 1903. Hal 24. Beberapa
persyaratannya adalah: a.kontrak dilakukan setelah ada persetujuan dari pemerintahan setempat; b. Sejauh
mungkin dikelola/diurus sendiri; c. Tidak boleh dialihkan tanpa persetujuan pemerintah; d. Keberadaan
penduduk yang berdiam di konsesi tersebut tidak dibenarkan; e. Para buruh yang dipekerjakan diperoleh dengan
sukarela..
5
Mahadi menuliskan Bab VI dengan judul “Tanah untuk Rakyat” dalam bukunya yang sudah dikutip beberapa
kali di halaman sebelumnya, untuk mengurai kaitan antara konsesi perkebunan dan hak-hak tanah rakyat.
Sekurangnya ada 100 halaman yang dituliskannya dalam buku tersebut. Selanjutnya lihat Mahadi, oip.cit. Hal.
80 s/d 181.


autoriteit uitgeven) dan pernyataan bahwa Sultan-Sultan di Deli, Langkat dan Serdang
dianggap berada pada level yang lebih rendah yang tak berhak mencampuri urusan-urusan
berkaitan penguasaan atas tanah. Pernyataan ini sebenarnya bertolak belakang dari apa yang
dikatakan oleh Hymans van Anrooy bahwa hak milik atas tanah tidak berada pada tangan
para Sultan, tapi ada pada penduduk yang mengusahakan tanah tersebut.6 Ini juga sejalan
dengan apa yang dikatakan Koreman: “sebesar apapun perbedaan adat orang Melayu dan
Batak terkait dengan tanah komunal (atas tanah-tanah liar), kepala kampunglah (apakah
kampung kecil atau besar), dengan pemahaman mereka yang sangat kuat tentang bidang
tanah, sebagai pemilik kekuasaan atas tanah-tanah tersebut untuk digunakan atau tidak
digunakan.7
Terlihat bahwa sejak awal sekali saja, sudah ada anggapan yang mendua atas posisi para
Sultan atas kewenangan-kewenangan mereka atas tanah-tanah yang dikategorikan sebagai
tanah liar (woeste grond). Keadaan ini boleh jadi dipicu oleh cara pandang pemerintah Hindia
Belanda selepas ditandatanganinya traktat London di tahun 1824 dan takluknya raja Siak
pada tahun 1858, bahwasanya kesultanan Siak dan seluruh taklukannya sejatinya telah
menjadi bagian dari wilayah Hindia Belanda. Kondisi lainnya berada pada wilayah keraguan
atas asal-usul Sultan yang memerintah saat itu yang dipandang bukan penduduk setempat
melainkan berasal dari Johor (Malaysia) atas bantuan orang-orang Minangkabau yang
berdiam di sana.8
Kedua, Pasal 5. “Voor den afgestanen grond zal door den contractan ter andere zijd eene

jaarliksche pacht worden voldaan van een gulden per bouw. De pacht of huur wordt
gerekend terstond na de goedkeuring van het contract te zijn ingegaan, met dien verstaande,
dat in het eerste jaar de pacht moet worden voldaan voor het aantal bouws, dat in ontginning
is gebracht, en in elk geval minstens een vijfde gedeelte der geheele pachtsom, in het tweede
jaar tweede vijfden, in het derde jaar drie vijfden, in het vierde jaar vier vijfden en in het
vijfde en in de volgen de jaren de geheele pachtschtat.” (terjemahan bebasnya: Bagi tanah
yang dilepaskan, suatu uang sewa tahunan harus dibayarkan oleh pengontrak, sebesar satu
gulden per bahu9. Uang sewa atau uang borongan ini segera setelah persetujuan terhadap
kontrak dibuat, dibayarkan dengan pengertian bahwa pada tahun pertama uang sewa harus
dibayar untuk sejumlah bahu yang akan dibuka, dan pada setiap kasus setidaknya seperlima
bagian dari uang sewa, pada tahun kedua sebesar dua perlima, pada tahun ketiga sebesar tiga
perlima, pada tahun keempat sebesar empat perlima dan pada tahun kelima dan tahun-tahun
berikutnya yakni seluruhnya).
Perdebatan terjadi antara Residen dan Dewan Hindia Belanda di Batavia. Residen Pantai
Timur Sumatera menganggap pasal ini masih membebani bagi pengusaha. Namun Dewan
tidak bisa membenarkan hal ini. Menurut Dewan, satu gulden per bahu setiap tahun
6

Van Anrooy, Hymans, Tijdschrift van het Bataviasche Genootschap: 1885, Hal.272.
Koreman, P.J in het verslag van Indische Genootschap, 8 Januari 1901: Hal.7. Cukup menarik juga dalam

penjelasan pasal 1 model akte ini dikatakan bahwa penyebutan nama Sultan beserta orang besarnya adalah
sebagai upaya untuk membangkitkan/meningkatkan (opwekken) marwah/sensitifitas (gevoeligheid) dari Sultan
dan orang-orang besarnya itu (para bangsawan).
8
Van Anrooy, Loc.cit.
9
Bahu dulu merupakan ukuran tertentu karena orang menganggap sebagai luas suatu lahan yang bisa dikerjakan
oleh seorang manusia. Di Besuki luas ini diperhitungkan sama dengan 1400 roed, di Pasuruan setara dengan
1225 roed. Bukan hanya di berbagai daerah ada perbedaan sehubungan dengan ini; di Vorstenlanden bahu
kadang-kadang dihitung menurut jenis benih yang diperlukan untuk mendapatkan produksi rata-rata, kadangkadang menurut proyek irigasi. Karena itu pemerintah menetapkan luas standard lahan itu. Tetapi ketentuan ini
tidak mengikat bagi Siak dan oleh karena itu orang mengulanginya dalam model kontrak. Lihat Labberton,
Op.cit.Hal.48.
7

merupakan uang sewa yang sangat murah, yang bagi pengusaha tidak akan menimbulkan
keberatan, apalagi dengan cara pembayarannya, yang menurut ayat keduanya , pada tahun
pertama hanya dibayarkan seperlima bagian dari uang sewa dan baru pada tahun kelima
seluruh uang sewa dilunasi. Selain itu Dewan menganggap dipertahankannya pasal 5, sangat
diperlukan atas kompensasi pelepasan lahan yang sangat luas kepada beberapa orang.10
Kecendrungan Residen Sumatera Timur yang lebih berpihak kepada para pengusaha

perkebunan mungkin lebih disebabkan karena menilai akan semakin besarnya pendapatan
sultan-sultan di wilayah ini. Pelzer menunjukkan, dalam ketajaman pikirannya, Sultan
mengaitkan penarikan modal asing dan penghasilan yang lebih besar bagi dirinya dengan
kenaikan hasil dalam ekspor. Sultan mengutip bea dari semua impor dan ekspor – atau cukup
menugaskan seorang Cina untuk mengumpulkannya. Tetapi pengumpulan bea-bea ini diambil
alih oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 1 Januari 1876, Sultan Deli sesudah itu
menerima ganti rugi untuk penghasilannya.11 Maka, bisa dibayangkan pundi-pundi kesultanan
akan semakin besar dengan mendapatkan tambahan dari hasil sewa 1 gulden per bau
tersebut.12
Pendapatan Kesultanan tersebut sebenarnya berjalan sejajar dengan yang diterima oleh
Pemerintah Hindia Belanda dan para pekebun asing. Data penghasilan dari eksploitasi tanah
untuk perkebunan tembakau yang disebutkan di bawah ini menunjukkan tingkat signifikansi
yang luar biasa terutama setelah intervensi normatif dan politis yang dilakukan oleh
Pemerintah Hindia Belanda. Data yang diambil dari Henri Dentz 13 ini juga bisa
menggambarkan tingkat percepatan ekspansi pembersihan woeste grond melalui angka-angka
pendapatan kolonial saat itu:
Tahun
1864
1865
1866

1867
1868
1869
1870
1871
10

Pakken14
50
189
159
210
890
1381
2868
3922

Nilai
ƒ 4000
ƒ 40.000

,, 30.000
,, 20.000
,, 200.000
,, 250.000
,, 450.000
,, 750.000

Tahun
1883
1884
1885
1886
1887
1888
1889
1890

Pakken
93.532
125.496

124.911
139.512
144.157
182.284
184.322
236.323

Nilai15
ƒ19.150.000
ƒ 27.550.000
,, 26.976.000
,, 32.600.000
,, 26.650.000
,, 35.500.000
,, 40.600.000
,, 26.000.000

Surat Dewan Hindian Belanda tertanggal 5 Januari 1876 No.154
Pelzer, K. Op.cit. Hal. 92-93
12
Dalam catatan Koreman yang diungkap kembali oleh Labberteon, terlihat ada perbedaan pembagian “hasil
tanah dari satu wilayah ke wilayah lain di Pantai Timur Sumatera. Di Siak (dengan perkecualian Tanah Putih,
Bangka dan Kubu) Sultan mengaku sebagai pemilik seluruh tanah. Para kepala adat tidak menerima apapun
dari “hasil tanah”. Di Tanah Putih, Bangka dan Kubu Sultan menentukan bersama para kepala adat (datuk). Para
kepala ini menerima andil dalam “hasil tanah”. Di Serdang (bagian Melayu) Sultan menganggap dirinya sebagai
pemilik dan menikmati sendiri “hasil tanah”. Di Serdang daerah Batak, Sultan berbagi dengan para kepala adat
Batak. Di Deli (103) Sultan memiliki sebidang tanah di mana dia menikmati sendiri semua “hasil tanah”nya. Di
daerah taklukkan Deli (Hamparan Perak, Sukapiring, Percut, Sunggal dan Sungai Tuwan) Sultan harus berbagi
dengan para kepala adat. Di daerah Batak Dusun, Deli, Sultan berbagi “hasil tanah” dengan para datuk di daerah
itu dan para kepala kampung Batak (masing-masing 1/3). Di Langkat Sultan menikmati semua “hasil tanah” dari
bidang tanahnya. Di taklukkan Langkat (Bohorok, Saleseh dan Stabat) Sultan berbagi “hasil tanah” dengan para
kepala. Di Batak Dusun daerah Langkat, seperti di Deli, pembagian berlangsung menjadi tiga
13
Dentz, Henri. Beschowingen en Gegevens op Handel en Financieel Gebied over het Jaar 1901 (oogstjaar
1900).
14
1 pak setara dengan 80 Kg.
15
Nilai dalam Gulden Belanda (ƒ)
11

1872
1873
1874
1875
1876
1877
1878
1879
1880
1881
1882

6409
9238
12.895
15.355
29.034
36.157
48.545
57.596
64.965
82.356
102.047

,, 1.000.000
,, 2.500.000
,, 2.850.000
,, 3.900.000
,, 6.500.000
,, 6.800.000
,, 9.200.000
,, 10.350.000
,, 11.250.000
,, 14.750.000
,, 21.500.000

1891
1892
1893
1894
1895
1896
1897
1898
1899
1900

225.629
144.689
169.526
193.334
204.719
191.185
201.736
235.653
264.100
223.730

,, 31.400.000
,, 26.700.000
,, 37.600.000
,, 35.000.000
,, 28.350.000
,, 32.400.000
,, 37.130.000
,, 33.000.000
,, 33.300.000
,, 38.000.000

Ketiga, Pasal 6. “Wanneer binnen de grenzen der in aƒrtikel 1 dezer overeenkomst bedoelde
gronden, kampongs of bij de bevolking nog in gebruik zijnde gronde worden aangetroffen,
mag der contractant ter andere zijde niet over deze gronden beschikken. De Sultan en zijne
rijksgrooten verbinden zich, om als dan eene gelijke uitgestrektheid woeste gronden aan de
concessie toe te voegen ter vervanging, mits zoodanig gronden geheel ter beoordeeling van
de Sultan en rijksgrooten aanwezig en beschikbaar zijn. Wanneer binnen de grenzen der
concessie vruchtboomen worden aangetroffen, behoorende aan vroegere bewoners, verbindt
de contractant ter andere zijde zich de waarde dier de vruchtboomen naar billijkheid aan de
rechthebbenden te vergoeden. In geval van verschil beslissen de Sultan en zijne rijksgrooten,
des verkiezende in overleg met het hoofd van Geweestlijk of Plaatselijk Bestuur”.
(terjemahan bebasnya: (ayat 1) Jika dalam batas-batas tanah yang di maksud dalam pasal 1
kesepakatan ini, dijumpai kampung atau tanah-tanah lain yang digunakan oleh penduduk,
pengontrak tidak bisa menguasai tanah tersebut. (ayat 2) Sultan dan para orang-orang
besarnya wajib menyediakan sebidang tanah liar dengan luas yang sama sebagai pengganti
konsesi , asalkan tanah-tanah itu cocok dan tersedia seluruhnya menurut penilaian Sultan dan
orang-orang besarnya. (ayat 3) Jika dalam batas-batas konsesi dijumpai pohon buah-buahan
milik penghuni sebelumnya, pengusaha wajib untuk mengganti nilai pohon ini menurut
prinsip keadilan kepada pemegang haknya. (ayat ) Dalam kasus perselisihan, Sultan dan
Orang besarnya memutuskan melalui kesepakatan dengan kepala pemerintahan wilayah atau
daerah).
Ayat pertama pasal ini dimuat untuk melindungi penduduk terhadap kesewenang-wenangan
raja dan para bangsawannya, yang karena ambisi keuntungan merampas hak penduduk dan
para kepala rendahan. Sebelum tahun 1872 di Deli hal ini kurang diperhatikan dan orang
menganggapnya dalam laporan resmi16 berasal dari keinginan untuk merdeka oleh para
kepala adat di Sunggal dan Hamparan Perak. Toh pengingkaran ini tidak aneh terjadi dan
bantuan yang ditemukan oleh para kepala adat itu pada penduduk terletak pada harapan
bahwa karena itu mereka akan terbebas dari beban yang ditimpakan di pundak mereka oleh
Sultan Deli. Tetapi mereka segera terbentur pada kesulitan mengenai siapa yang dimaksud
dengan “penduduk”. Orang hanya mengetahui anak negeri yang dahulu memiliki hak atas
tanah, dengan demikian semua diserahkan kepada adat.17
Ayat kedua berusaha mempertegas hak-hak penduduk yang telah dijamin oleh ayat pertama,
karena pengusaha kini tidak mau bertindak atas biaya sendiri; mereka menganggap lebih baik
menyesuaikan dengan apa yang tertera dalam ayat 1, karena itu keputusan/kewajiban mencari
16
17

Laporan Kolonial 1874.
Labberton, Op.cit. Hal. 51.

tanah pengganti tergantung pada Sultan dan orang-orang besarnya. Orang menduga bahwa
pergantian di Siak tidak menimbulkan keberatan. Demikian juga halnya di Deli, di mana
sebidang lahan luas disediakan sebagai pengganti dari tanah penduduk yang dipakai.18
Mahadi sama sekali tidak menyinggung pasal 6 yang berbicara soal larangan pemakaian
tanah kampung pemukiman dan tanah-tanah lainnya (tanah ladang) berikut pembayaran ganti
rugi atas tiap-tiap pohon buah-buahan yang terletak di dalam konsesi. Namun, beliau secara
komparatif mencoba meletakkan dan menafsirkan posisi hukum kepemilikan satu jenis tanah
yang sebenarnya menjadi pokok persoalan dari semua konsesi yang ada yakni apa yang
disebutkan sebagai tersedia atau tidaknya woeste grond19 yang cocok sebagai pengganti bagi
penduduk yang tinggal di dalam areal konsesi.
Mahadi berkata: “kalau woeste grond diartikan sebagai tanah hutan, yaitu tanah yang tiada
seseorang tertentu mengakui sebagai haknya, maka kita dapat bertitik tolak dengan sebuah
dalil bahwa bahwa Sultan/Raja juga tidak merupakan pemilik tanah tersebut (susunan aslinya
sebenarnya adalah: Sultan/Raja tidak mengakui tanah adalah miliknya)”. 20 Walaupun di
awalnya Mahadi sedikit ragu dalam menunjukkan pihak yang paling tepat dianggap sebagai
pemilik atas woeste grond tersebut, namun dari elaborasi data yang dia deskripsikan
kemudian beliau sampai pada kesimpulan, dengan meminjam perkataan seorang sarjana
Belanda, Lekkerkerker, de regeling van de beschikking over gebruiksrechten op grond
toekomst aan gemeenshappen (pengaturan dan kekuasaan terhadap tanah terletak ditangan
persekutuan hukum).21 Hak Raja tidak ada. Kalaupun Raja itu menganggap dirinya (zich
beschouwen) sebagai pemilik tanah, maka anggapan itu harus kita tinjau dalam rangka
sejarah naiknya seseorang itu sampai menduduki kursi tahta kerajaan, yaitu melalui
peperangan/pertempuran/perkelahian.
Penafsiran yang dipakai oleh Pemerintah Hindia Belanda tentang woeste grond secara jelas
menunjukkan cara pandang “Barat” atas tanah. Dengan woeste grond diartikan sebagai tanahtanah yang tidak dibudidayakan atau tidak digarap oleh penduduk pribumi dan juga bukan
milik bersama atau tidak termasuk ke dalam kekuasaan pimpinan/kepala kampung (gronden,
niet door de inlanders ontgonnen, noch als gemeene weide of uit eenigen anderen hoofde tot
de dorpen behoorende).22 Adakah tanah-tanah yang tidak digunakan dalam cara pandang
pribumi dan oleh karena itu tidak ada yang memilikinya atau memegang kekuasaan atasnya?
Pelzer menunjukkan bahwa di mata orang Melayu dan Batak tidak ada tanah yang sama
sekali tak terpakai, karena semua tanah berguna sebagai tanah perburuan dan juga dipakai
untuk tempat penimbunan hasil-hasil hutan seperti bahan bangunan, kayu api, damar, bahan
pangan, bahan-bahan mentah untuk pembuatan alat-alat, dan banyak lagi produk-produk
lainnya. Dan di atas semua itu, semua tanah adalah potensial bagi perladangan huma.
Pendeknya, semua tanah dalam cara apapun mendukung kehidupan seluruh penghuninya.23
Woeste grond inilah sebenarnya yang menjadi objek tanah dalam konsesi. Tanah hutan, tanah
liar, tanah tak terpakai, tanah kosong, tanah tak dibudidayakan atau apapun namanya adalah
18

Labberton, Ibid.
Mahadi menerjemahkannya dengan Tanah Hutan. Pelzer menerjemahkannya dengan
tanah tak terpakai (waste land). Lihat Mahadi, Op.cit. Hal.86. Pelzer, K. Ibid. Hal. 76/91.
20
Mahadi, Ibid. Hal.87
21
Lekkerkerker, J.G.W. Concessie en Erfpachten ten behoeve van
Landbouwondernemingen in de Buitengewesten van Nederlands Indie. Groningen-Den
Haag, JB.Wolters, 1928. Hal.112
22
Lekkerkerker, J.G.W. Op.cit. Hal. 71.
23
Pelzer, K. Op.cit. Hal.96.
19

jenis tanah yang dikonsesikan oleh Sultan-Sultan di Sumatera Timur kepada pengusaha
onderneming yang boleh jadi adalah tanah-tanah yang berada dalam wilayah kampung dan
susunan-susunan organisasi komunal di bawahnya. Inilah tanah yang disebutkan oleh
Kleintjes sebagai het recht, hetwelk tot inhoud heeft de bevoegheid van een inlandsche
gemeenschap – hetzij een territoriale als een dorp of dorpenbond, hetzij een genealogische
als een stam om aan zichzelf en haar leden het recht toe te kennen binnen een zekeren
gebiedskring den woestgebleven grond naar goedvinden in gebruik te nemen en aan anderen
it recht toe te kennen, alleen met haar toestemming tegen betaling van retributie of een
huldegift.24 (Tanah yang kewenangannya ada pada komunitas pribumi, yang bersfat teritorial
sebagai sebuah kampung atau kesatuan kampung, yang bersifat genealogis sebagai sebuah
suku yang memberikan hak kepada anggota komunitas kampung untuk menggunakan tanah
yang kosong dan juga buat orang luar dengan persetujuan dan pembayaran retribusi atau
pemberian yang bersifat penghormatan).
Uraian Kleintjes di atas bersesuaian dengan deskripsi Bool untuk persoalan yang sama. Bool
mengatakan: “vroeger dan had iedere kampong zijn eigene gronden, in cultuur gabrachte en
woest, waarvan de grenzen nauwkeurig bekend waren. Die kampongs met hunne gronden
vormden een zelfstandig deel van het rijk. De Datoes confereerden met de kamponghoofden.
De Kampongbewoners hadden een collectief bezit op de gronden.” ( Dahulu, setiap kampung
memiliki tanahnya masaing-masing, baik tanah-tanah yang diusahakan maupun tanah-tanah
liar (hutan), yang batas-batasnya diketahui dengan cermat. Kampung-kampung tersebut
beserta tanah-tanahnya membentuk sebuah wilayah otonom dari kerajaan. Para Datuk
bermusyawarah dengan kepala-kepala kampung. Penduduk kampung memiliki hak milik
kolektif atas tanah).25
Perhitungan yang dibuat oleh Veth, dan kemudian diikuti oleh Perret menunjukkan bahwa
pada tahun 1875, dari luas keseluruhan 1.100.000 hektar kesultanan Langkat, Deli dan
Serdang (yang semula adalah berbentuk woeste gronden), 77.000 hektar, atau 7%
diantaranya, dijadikan konsesi perkebunan Barat (terutama tembakau). Dan kelak di tahun
1939 (lebih setengah abad sejak kedatangan Nienhuijs), untuk luas tanah yang sama, 520.000
hektar diantaranya dipakai oleh perkebunan Barat, atau 47% (255.000 hektar merupakan
perkebunan tembakau dan 265.000 hektar tanaman yang tahan lama, seperti karet, kelapa
sawit dan teh). Diantara 580.000 hektar yang tersisa, 283.000 merupakan hutan lindung.
Dengan demikian, tinggal 300.000 hektar (27%) yang tersedia bagi penduduk setempat.26
Model akte 1877 yang memberikan kekuasaan kepada Sultan Siak dan Orang-Orang
besarnya untuk menyerahkan sebidang tanah hutan kepada pekebun asing menandai awal
terpenjaranya hak tanah komunal orang Melayu di Pesisisir Timur Sumatra secara lebih
formal. Senyatanya sejak konsesi-konsesi awal yang berusia 10 sampai 14 tahun, tanah-tanah
itu sudah disewakan melalui kontrak-kontrak konsesi yang berbeda dari satu wilayah ke
wilayah lain dan dari satu pengusaha ke pengusaha lain. Model akte 1877 menandai campur
tangan pemerintah Hindia Belanda yang lebih jauh untuk “menata” dan sekaligus intervensi
atas kontrak-kontrak perdata yang selama ini dibuat antara sultan dan para pengusaha
onderneming.
Catatan-catatan dalam pandecten van adatrecht seperti tertulis: “di kampung-kampung
Melayu, didekat muara sungai, untuk menandakan sudah ada yang punya, sebatang pohon
24

Kleintjes. Staatsinstellingen van Nederlandsch- Indie. Amsterdam, 1924:Hal.294.
Bool, H.J. De Landbouwconcessie in de Residentie Sumatra oostkust van Sumatra. Tanpa tahun, Hal.53.
26
Veth, P.J. Het Landschap Deli. TNAG II, 1877: Hal. 152-170. Perret, D. Op.cit. Hal.199.
25

dalam hutan diberi tanda bulan-bulan dan panca (bintang) empat ditambah dengan
menyebarkan keping-keping kayu pada kaki pohon”,27 mulai tergerus dan menandai satu
zaman pergolakan baru atas hilang atau memudarnya hak-hak tanah komunal orang Melayu.
Woeste grond menjadi suatu “mainan” diantara tiga pemain utama, yakni para Sultan,
pengusaha onderneming dan pemerintah Hindia Belanda. Posisi masyarakat atau penduduk
pribumi terpinggirkan dan hanya menjadi objek yang seolah-olah dilindungi dalam model
akte yang dilahirkan.
Pendirian Mahadi yang berbunyi bahwa “hak-hak adat orang Melayu atas tanah baik sebelum
maupun setelah konsesi memang ada. Apabila sebelum konsesi ruang lingkup dan isi hak-hak
itu bersifat samar-samar, maka di dalam akta-akta konsesi hak-hak itu mendapat kodifikasi,
memperoleh rumusan, mendapat pengukuhan dan pengakuan”,28 mestilah dipertanyakan
secara lebih kritis. Hak yang mana yang masih mereka kuasai selepas penyeragaman model
akte konsesi 1877? Apakah hak atas woeste grond masih dimiliki? Apakah hak-hak
komunalisme itu semakin diperkukuh atau diperkuat selepas diberlakukannya model akte
tersebut? Pendirian kami adalah bahwa kewenangan-kewenangan yang semula jadi telah
dimiliki oleh kampung dan komunitasnya memudar (secara konstitusional) dengan intervensi
Pemerintah Hindia Belanda melalui regulasi-regulasi erfpacht atas woeste gronden yang
menyimpang untuk wilayah luar Jawa dan Madura, khususnya lagi wilayah Pantai Timur
Sumatera.
Jadi seandainya kemudian menurut Mahadi, jika Raja memandang semua tanah adalah
kepunyaannya, namun di dalam kenyataan, rakyat bebas membuka hutan, boleh berladang
secara berpindah-pindah, dimungkinkan membuka dan memelihara kebun seluas
kesanggupan, boleh kerja sendiri dengan bantuan anggota keluarga, boleh dengan memakai
tenaga upahan, dibenarkan mengambil kayu di hutan untuk bermacam-macam keperluan,
diizinkan mengambil hasil hutan tidak saja untuk keperluan sehari-hari tetapi untuk
diperniagakan dan seterusnya29, mestilah itu berada pada satu periode yang mendahului
sebelum akte-akte konsesi dibakukan dalam model yang kami sebutkan di atas, atau
sekurang-kurangnya jika pasal 930 model akte ini diperturutkan, adalah sebuah keganjilan
bagi penduduk, karena boleh tidaknya mereka membuka dan menikmati hasil hutan
digantungkan kepada izin dari pemegang konsesi, yang nota bene adalah penduduk dari luar
kampung.
Terkait pernyataan Mahadi soal bahwa akhirnya ada semacam pengukuhan dan pengakuan
atas tanah-tanah penduduk dalam akte-akte konsesi, oleh Buffart diberi makna lain yang
membuat kita kembali mempertanyakan apakah pengakomodasian itu benar-benar didasarkan
27

Pandecten van Adatrecht. IX, Hal.752. Walaupun , Pelzer mengungkapkan juga bahwa pada tahun 1877, di
Kerajaan Langkat ada peraturan bahwa hutan belukar tidak bisa dianggap sebagai tanah yang tak terpakai
(woeste grond). Lihat Pelzer, K. Op.cit. Hal.96.
28
Mahadi, Op.cit. Hal.191.
29
Mahadi, Ibid.
30
Pasal 9 berbunyi, kepada penduduk setiap saat diberikan kebebasan di bagian tanah yang diserahkan kepada
pengusaha tapi belum dibuka untuk mengumpulkan rotan dan produk hutan lainnya. Dalam mengambil produk
ini penduduk juga tunduk pada kewajiban yang sama seperti yang dibebankan oleh adat bagi mereka Hymans
van Aanrooy menuliskan dalam konteks ini:”Hak raja adalah membeli lilin yang dikumpulkan dengan 4/5 atau
kadang-kadang ¾ dari nilai yang sebenarnya; memberikan ijin bagi penebangan kayu di hutan yang tidak
dikelola (54); menerima barang larangan atau larangan raja (barang-barang yang hanya menjadi hak milik
monopoli raja dan tidak boleh diberikan, sementara raja memberikan persalinan atau seperangkat pakaian baru).
Di Siak yang menjadi larangan raja adalah sebuah gading dari setiap gajah jantan yang dibunuh, cula badak,
batu besuar dan sebagainya.” Lihatlah van Aanroy, Hymans, TBG, 1885. Hal.277.

pada pemahaman yang benar tentang hak-hak asli penduduk tersebut. Beliau secara kritis
mempertanyakan apakah sebenarnya bukan sesuatu yang terbalik meletakkan (atau mungkin
lebih tepat melekatkan) hak-hak penduduk atas tanah dalam akte-akte konsesi hanya sebagai
asesoris saja yang kesemuanya disandarkan atas perjanjian atau permufakatan antara
pemerintahan swapraja (kesultanan Deli) dan para konsesionaris (pemegang hak konsesi).
Padahal, menurut beliau, hak penduduk atas tanahlah yang sebenarnya harus menjadi pilar
penting dalam penyusunan hak-hak apa saja yang dimiliki oleh pihak-pihak di dalam
perjanjian konsesi tersebut.
Dengan sedikit sinis ia mengatakan: “Orang lupa bahwa konsesi hanyalah sebuah perjanjian
antara dua pihak, pemerintahan swapraja dan pemegang konsesi. Penduduk dalam hal ini
bukan pihak-pihak (dalam perjanjian). Dan juga konsesi bukanlah pula, seperti hukum
Eropah menyebutnya, sebuah perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga, yakni para
penduduk. Konsesi hanya mempengaruhi hak-hak dan kewajiban-kewajiban kedua belah
pihak yang ada dalam kontrak. Penduduk memang disebutkan di dalam kontrak tersebut , tapi
hanya bila menyentuh hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari pihak-pihak yang ada dalam
kontrak atas hak-hak penduduk (jadi, semacam asesoris saja). Hak-hak penduduk oleh karena
itu hanya dituliskan secara insidentil dalam aturan-aturan konsesi dan oleh karena itu
mungkin bisa dihilangkan juga dari akte konsesi tersebut.”31
Catatan-catatan di atas kembali meneguhkan kesimpulan Bremen bahwa pengangkatan
Sultan merupakan instrumen penting bagi lahirnya sistem perkebunan. Pengakuan secara
tegas kekuasaan penguasa lokal menunjukkan telah ditemukan dasar yang sah untuk
membatasi dan akhirnya membatalkan hak-hak rakyat, padahal sebelumnya para penguasa
itu tak memiliki hak demikian.32
Model Akte Konsesi 1878: Lahirnya identitas Baru Pemegang Hak
Campur tangan pemerintah Hindia Belanda kelihatannya semakin mengkristal dan itu
ditunjukkan bagaimana mereka mencampuri satu perjanjian yang awalnya berbentuk sewamenyewa tanah dan oleh karena itu bersifat persoonlijk menjadi seolah-olah zakenlijk.33
Asumsi kita diletakkan pada bagaimana pemerintah Hindia Belanda melihat bahwa tanah
pengganti atas tanah-tanah penduduk di areal konsesi harus diberi batas maksimum dan
bukan dibiarkan bebas seluas-luasnya. Satu pertimbangan yang ditemukan dari surat Residen
Sumatera Timur tertanggal 14 Januari 1878 yang ditujukan kepada Gubernur Jenderal Hindia
Belanda membukakan hal itu. Residen menulis: “Penetapan empat bau per penduduk untuk
itu cukup memadai. Karena itu saya memandang perlu bahwa ayat 1 pasal 6 dari konsep
kontrak diubah sebagai berikut: Ketika dalam batas-batas tanah yang dimaksud dalam pasal 1
perjanjian ini ditemukan penduduk, tanah-tanah yang digunakan oleh orang ini bagi
penanaman sendiri akan dilengkapi dengan tanah yang cocok untuk ditukarkan sampai luas
seluruhnya 4 bau bagi setiap penduduk yang akan tetap menguasainya”.34
Secara lengkap terjemahan pasal 6 dari model akte 1878 berbunyi: “ (ayat 1) Seandainya di
atas tanah yang dimaksudkan dalam pasal 1 perjanjian ini terdapat opgezetenen, maka
terhadap orang ini diberikan hak untuk menguasai tanah yang mereka kerjakan ditambah
31

Buffart, op.cit. hal. 6.
Bremen, Jan. Menjinakkan Sang Kuli: Politik Kolonial pada Awal Abad ke 20. Jakarta: PT.Pustaka Utama
Grafiti dan KITLV. 1992: Hal.30.
33
Tentang karakter konsesi yang bersifat mendua ini akan diurai nanti dalam halaman-halaman berikutnya.
34
Surat Residen Sumatera Timur kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda 14 Januari 1878.
32

tanah yang baik (cocok) sebagai pengganti seluas empat bau. (ayat 2) Dengan opgezetenen
dimaksudkan adalah mereka yang memiliki rumah sendiri di atas tanah yang diserahkan
(dikonsesikan) itu. (ayat 3) Apabila di dalam batas-batas konsesi terdapat pohon buahbuahan, kepunyaan penduduk yang terdahulu, pihak perkebunan berkewajiban untuk
membayar harga secara adil kepada yang berhak. Jika terjadi sengketa atas hal itu, Sultan
beserta orang-orang besarnya akan memutuskan setelah berunding dengan Kepala wilayah
atau daerah.
Setidaknya ada 3 perubahan penting pasal 6 model akte 1878 dibandingkan dengan yang
dikeluarkan pada tahun 1877. Pertama, perubahan penggantian atas hak tanah milik pribumi
bukan lagi ditumpukan pada adanya kampung atau tanah-tanah lain yang digunakan
penduduk pribumi dalam areal konsesi, melainkan pada orangnya (adanya penduduk).
Perubahan ini satu dan lain hal untuk mengurangi tuntutan penduduk pribumi atas tanahtanah yang mereka tinggalkan akibat pola pertanian huma yang berpindah. Asumsi kami
adalah bahwa dengan menumpukan pada bukti adanya penduduk, jauh lebih mengurangi
resiko daripada tanah. Dalam Surat Residen Sumatera Timur ditemukan kekhawatiran yang
akan muncul dari tuntutan penduduk atas tanah-tanah yang hanya ditanami beberapa tahun
yang lalu, kemudian ditinggal dan seterusnya, apalagi dalam masa itu jumlah penduduk
sangat sedikit, sebaliknya luas lahan relatif luas.35
Kedua, adanya kemungkinan penyempitan/pengurangan jumlah atau luas tanah yang wajib
diganti terhadap tanah yang dimiliki opgezetenen di atas wilayah konsesi, dari menyiapkan
sebidang tanah liar menjadi mengganti seluas empat bau untuk tiap opgezetenen. Tentang
siapa yang mesti mencarikan tanah empat bau tersebut tidak begitu jelas bunyi pasal enam
tersebut, namun dalam sejumlah tulisan, hal itu dibebankan kepada pihak pemerintah dan
atau onderneming, sementara jika dilihat pasal 6 model akte 1877, jelas-jelas Sultan dan para
orang besarnya yang harus menyediakan tanah pengganti tersebut.36
Namun yang jelas, dalam prakteknya keengganan dari pihak onderneming untuk melakukan
survey dan pencaharian tanah yang cocok/baik seluas 4 bau tersebut itu secara simultan
menawarkan satu bentuk kerjasama untuk menyerahkan tanah tembakau yang habis dipanen
kepada semua keluarga di wilayah konsesi untuk dimanfaatkan selama satu panen musim
hujan (kelak inilah yang kemudian dinamakan tanah Jaluran). Menurut Pelzer, hal ini
ternyata lebih merupakan tindakan licik daripada bijaksana. 37 Padahal tanah empat bau yang
akan dialokasikan itu sama sekali tidak mencukupi untuk satu orang petani yang pola
pertaniannya bersifat swidden (petani berpindah) seperti apa yang dikatakan Stoler: ”under
the prevailing swidden system this was grossly inadequate for a household’s substistence
needs”.38
Residen Sumatera Timur saat itu kelihatannya membiarkan praktek ini berlangsung. Dalam
laporannya ke Gubernur Hindia Belanda dikatakan bahwa banyak pengusaha besar sekarang
35

Surat Residen Sumatera Timur, Ibid.
Lihat saja misalnya Pelzer, K. , yang menuliskan dengan tamsilan, sebenarnya pemerintahdi Borneo pada saat
yang sama memberikan 21 bau bagi tiap-tiap keluarga. Dan di halaman lain ia menuliskan “ pengusaha
onderneming dapat mengelakkan penyerahan tanah (empat bau) yang sungguh-sungguh kepada petan.”
Lihatlah Pelzer, K. Op.cit. Hal.97-98.
37
Pelzer, K. Ibid. Hal.97.
38
Stoler, Ann, Op.cit. Hal.23. Pandangan yang salah datang dari Agsutono dkk yang sebaliknya
mengatakanbahwa diberlakukannya akta konsesi semakin mengubah cara bertani orang Melayu yang menetap
menjadi berpindah-pindah sesuai dengan panen embakau. Lihat Agustono, Budi dkk. Badan Perjuangan Rakyat
Penunggu vs PTPN II. Akatiga dan Wahana Informasi Masyarakat. 1997: Hal.38.
36

ini mengijinkan penduduk setelah selesai panen tembakau untuk menanam padi di sawah
yang sebelumnya ditanami dengan tembakau tanpa meminta ganti rugi dari mereka.
Penduduk biasanya sangat puas karena mereka terutama tidak perlu membersihkan lahan itu
terlebih dahulu. Malah beberapa pengusaha sebaliknya kini mulai juga memanfaatkan
fasilitas ini bagi kepentingannya sendiri dan memberikan izin untuk menanam padi di tanahtanah yang masih kosong setelah panen usai, selanjutnya dibarengi syarat bahwa sebagian
panen diserahkan kepada para pengusaha perkebunan tersebut dengan harga yang mereka
tentukan.39
Ketiga, diperkenalkan terminologi opgezetenen,40 sebagai tambahan status lain dari kategori
bevolking. Mahadi dengan menarik dan baik sekali mengkritisi secara kultural definisi yang
diturunkan oleh model akte 1878 atas terminologi opgezetenen (sebagai mereka yang
mempunyai rumah sendiri di atas tanah yang diserahkan). Dengan membuat sebuah contoh,
Mahadi menunjukkan betapa pemerintah kolonial Hindia Belanda tidak mempunyai cultural
sensitivity terhadap kebiasaan-kebiasaan Melayu. Pada adat Melayu, seorang yang baru
kawin, tidak segera pindah membawa isterinya dari rumah mertuanya, pada hal ia sudah
mempunyai mata pencaharian sendiri, sudah mempunyai keluarga, sudah menjadi
tanggungan. Tambahan pula, sesuai juga dengan adat Melayu, mungkin dua, tiga keluarga
bersama-sama tinggal dalam satu rumah, terutama kalau rumah itu adalah pusaka mendiang
orang tua. Rumah tidak segera dijual untuk dibagi-bagi hasilnya, sebab rumah itu dipandang
sebagai tali pengikat diantara para ahli waris, menjadi kenang-kenangan kepada yang telah
meninggal. Di atas contoh tersebut, Mahadi mengatakan dengan rumusan yang dipakai dalam
pasal 6 model akte 1878 tersebut, terluputlah mereka-mereka (yang masih menumpang)
untuk mendapatkan tanah, karena dianggap bukan pemilik rumah.41
Terkait dengan pasal 9 yang tidak mengalami perubahan dari model akte 1877 (het zal aan de
bevolking ten allen tijde vrij staan in het nog niet ontgonnen gedeelte der aan den contracten
ter andere zijde afgestane gronden rotting en andere boschprodukten te verzamelen/ kepada
penduduk setiap saat diberikan kebebasan di bagian tanah yang diserahkan kepada pemegang
kontrak (pengusaha) namun belum dibuka, untuk mengumpulkan rotan dan hasil-hasil/produk
hutan lainnya) perlu diberi penjelasan yang lebih jauh tentang arti kebebasan yang dibuka
dalam pasal ini.
Dengan penafsiran yang berbeda, sebenarnya arti kebebasan dalam pasal 9 ini bisa dilihat
sebagai sebuah pembatasan. Dengan digantungnya hak untuk menikmati hasil hutan atas
syarat jika tanah konsesi masih belum digarap senyatanya penduduk pribumi anggota dari
persekutuan hukum yang ada dibatasi hak-hak sedia kala yang dimilikinya untuk dan atas
nama anggota persekutuan hukum tersebut. Jika yang dikatakan Koreman 42 bahwa tiap
anggota persekutuan hukum berhak untuk mengolah hutan dengan terlebih dahulu
39

Surat Residen Sumatera Timur, Loc.cit.
Bandingkan dengan Sinar, T Luckman yang menyebutkan terminologi opgezetenen ini baru ditasbihkan pada
model akte 1884. Sinar, T. Luckman. Bangun dan Runtuhnya..dst Op.cit. Hal.318. Etimologi, kata opgezetenen
berasal dari kata kerja opzetten (zette op; opgezet) – sebuah kata kerja yang bisa dipisahkan (scheidbaar
werkwoorden) - yang salah satu artinya adalah “mendirikan” atau “memasang”. Dengan mengimbuhkan
akhiran enen dimaksudkan kepada subjek atau orang-orang yang telah mendirikan atau memasang sesuatu.
Dalam konteks ini dianalogikan telah berada atau telah ada dan mengusahakan tanah sebelum konsesi diikat
antara Sultan dan para pengusaha onderneming. Lihatlah, Moeman Susi dan Hein Steinhauer. Kamus Belanda
Indonesia. Jakarta, KITLV dan PT Gramedia Pustaka Utama, 2005: Hal. 756.
41
Mahadi, Op.cit. Hal.99.
42
Koreman, Pandecten I, 12, De Gouvernementskoffiecultuur ter Sumatra Westkust, Het Maleische
Belangstellingstelsel en de Adat, 1900.
40

memberitahukan niatnya kepada kepala kampung itu memang ada, maka setelah konsesi
terjadi, hak ini menjadi dibatasi.43
Apa yang di atur dalam pasal 9 model akte 1877 dan 1878 ini adalah perpanjangan tangan
dari kebijakan atas woeste grond yang telah disebutkan dalam alinea-alinea terdahulu, dimana
posisi pemerintah Hindia Belanda telah semakin kuat dan mencengkram penguasaan atas
sumber-sumber agraria milik komunal penduduk pribumi. Dalam cara pandang seperti ini
jugalah sinyalemen yang mengatakan bahwa Raja-Raja ikut serta untuk memberi
perlindungan atas hak-hak tanah penduduk menjadi lemah, bersamaan ditundukkannya
mereka melalui kontrak politik dan korte verklaring. Kesultanan menjadi parasit seperti apa
yang pernah dituliskan Stoler untuk menggambarkan karakter Sultan-Sultan di Sumatera
Timur.44
Satu surat rahasia dari Departemen Kehakiman Hindia Belanda yang ditujukan kepada
Gubernur Jendral Hindia Belanda, tertanggal 20 Agustus 1878, degan nomor surat 4666
menunjukkan cara pandang mereka terhadap Sultan dan apa yang seharusnya dilakukan
terhadap woeste grond, tak perduli bahwa letak tanah tersebut berada di wilayah kekuasaan
daerah swapraja (daerah pemerintahan tak langsung). Surat itu berbunyi: “Pelepasan tanah
liar (woeste grond) seperti yang tertulis dalam pasal 1 model akte 1877/1878 itu merupakan
peralihan suatu hak seperti halnya hak erfpacht yang dilepaskan di tanah-tanah pemerintah
dan melalui ketentuan hukum perdata (BW). Hal ini bisa berlaku bagi kesepakatan tanpa
batas asalkan seluruhnya. Semua campur tangan lebih lanjut dari pihak Sultan tidak
diperkenankan. Campur tangan lebih lanjut dari Sultan akan membuka peluang kesewenangwenangan dan tuntutan keuangan kepada pengusaha Eropa. Kini pemerintahan semakin
banyak telah beralih kepada kita, campur tangan lebih lanjut dalam peralihan hak (oleh
Sultan) tidak akan dilakukan kecuali demi kepentingan kita.”45
Pada sisi lainnya, kecurigaan atau mungkin juga kecemburuan mereka terhadap pemasukan
Sultan dari uang sewa serta konflik antara Raja dan para Kepala Kampung mendorong
pemerintahan Hindia Belanda sangat berhati-hati terhadap campur tangan Kesultanan dalam
kontrak konsesi ini. Residen Sumatera Timur dalam suratnya bernomor 585, yang dibuat di
Bengkalis pada tanggal 24 Maret 1878, yang ditujukan kepada Gubernur Hindia Belanda
memberikan satu contoh temuan lapangan yang bersifat general atas fakta di Bila (kawasan
Labuhan Batu sekarang) ada 7 akta kontrak perkebunan yang telah dikeluarkan, yang
sebelumnya tidak disetujui oleh Residen sebelumnya karena adanya keraguan tentang mereka
yang memiliki hak atas tanah tersebut, dan alasan lainnya terkait uang sewa yang diperoleh
Raja dan protes para kepala kampung yang merasa memiliki hak atas tanah dan oleh karena
itu tidak sependapat dengan Raja dan orang-orang besanya (para bangsawan).46
Model Akte Konsesi 1884: Siasat Penyediaan Tanah Jaluran dan Intensifikasi Lahan
43

Pernyataan ini agak berbeda atau mungkin bertolak belakang dengan apa yang dikatakan Kalo bahwa dalam
akte konsesi tahun 1877 dan 1878 tersebut diatas, telah terdapat perlindungan hukum dan pengakuan adanya
hak-hak ulayat atas tanah suku Melayu dan Batak Karo. Lihat, Kalo, Syafruddin. Masyarakat dan Perkebunan:
Studi Mengenai Sengketa Pertanahan Antara Masyarakat versus PTPN II dan PTPN III di Sumatera Utara.
Medan, Disertasi Doktor, Program Pasca Sarjana Sumatera Utara, 2003: Hal.80.
44
Stoler menulis: “This parasitic sovereignty and long history of contact and cooperation with foreign traders
made the Malay Sultans eager and accomodating allies when it came time to establish European rule. Stoler,
Ann, Op.cit. Hal.22.
45
Surat Departemen Kehakiman No.4666, tertanggal 20 Agustus 1878 yang dikirimkan kepada Gubernur
Jenderal Hindia Belanda
46
Surat Residen Sumatera Timur No.585, tertanggal 24 Maret 1878.

Protes dan keluhan dari para pekebun di Deli atas akte 1878, terutama terkait soal pengalihan
perusahaan di atas ketidakmampuan membayar sewa-sewa tanah yang diusahakan menjadi
pemicu awal dimulainya usaha untuk membuat perubahan atas model kontrak yang sudah
ada.47 Melalui keputusan Pemerintah Hindia Belanda No. 19, tertanggal 26 April 1884
dicapai kesepakatan untuk mengatur ulang (menambah dan merubah) model akte yang lama.
Untuk pasal 1 sampai dengan 5, tidak ada perbedaan dengan model akte 1877 dan 1878.
Pasal 6 (terutama ayat 2-nya) dari akte ini mestilah diperiksa lebih seksama sehubungan
dengan adanya penambahan atas redaksi dari pasal yang sama pada akte 1878. Secara
lengkap pasal 6 berbunyi: “ (ayat 2) Onder opgezetenen moeten hier verstaan worden alle
hoofden van huis gezinnen, ‘t zij tijdens, ‘t zij na de uitgifte, op de in art 1 bedoelde gronden
gevestigd, en die volgens de inheemsche instellingen te rekenen zijn tot de rechthebbenden op
grond. (terjemahan bebasnya: Dengan opgezetenen dimaksudkan adalah semua kepala
keluarga, yang telah tinggal pada saat penyerahan konsesi atau setelahnya, yang berdasarkan
hukum adat termasuk sebagai orang-orang yang berhak atas tanah).
Setidaknya ada dua hal yang berubah dari pasal yang sama di model akte konsesi 1878, yang
perlu mendapat penjelasan terkait penguasaaan atas beschikkingsrecht. Yang pertama adanya
perubahan rumusan opgezetenen dari mereka-mereka yang memiliki rumah sendiri di lahan
konsesi menjadi semua kepala keluarga baik yang telah ada ataupun datang setelah konsesi
dibuat, dan yang kedua adalah kalimat penutupnya: “asal dianggap sebagai orang yang
berhak menurut inheemsche instellingen” (yang arti arfiahnya adalah lembaga/pranata
penduduk asli).
Tentang yang pertama, ada proses yang mendahului yang dikemukakan Bool. Beliau
menunjukkan pada tahun 1881, Deli Maatschappij mengajukan usul kepada Residen untuk
membuat daftar siapa-siapa saya yang termasuk sebagai opgezetenen pada saat penyerahan
tanah konsesi. Hal ini terkait dengan penambahan penduduk yang mengajukan permohonan
untuk mendapatkan tanah-tanah penganti. Akhirnya Pemerintah menyadari bahwa dalam
sebuah rumah orang Melayu terbuka lebar kemungkinan adanya kaum kerabat lain yang
tinggal bersama-sama pemilik rumah dan oleh karenanya juga mengajukan permohonan
untuk mendapatkan tanah pengganti. Atas perkembangan kependudukan tersebut, pada
tanggal 5 Oktober 1883, Residen Kroesen mengajukan usul untuk menambah kategori
opgezetenen juga dengan orang-orang yang berdiam setelah penyerahan konsesi.48 Kelihatan
hal ini untuk menampung tuntutan semakin banyaknya orang yang mengajukan permohonan
untuk mendapatkan tanah empat bau sebagai pengganti.
Jika dilihat sepintas rumusan itu akan semakin membebani planters untuk mencari tanahtanah pengganti yang dimaksud, namun kalau kemudian narasi pasal itu dibaca dengan
mengikutkan kalimat berikutnya, nyatalah bawa ini adalah usaha untuk menghambat orang di
luar kelompok penduduk setempat untuk mendapatkan tanah secara langsung. Izin dan
pengakuan oleh inheemsche instellingen menjadi syarat mutlak untuk ini. Ketentuan ini
nampaknya sejalan dengan salah satu beschikkingsrecht yang ditemukan Van Vollenhoven,
yakni bila orang luar hendak mengusahakan suatu tanah komunal suku, maka mesti ada izin
dari para pemimpin suku atau kelompok tersebut. Dengan cara ini, Residen Kroesen
berpandangan maka orang-orang Batak yang pindak ke kawasan konsesi setelah penyerahan,
atau kawin dengan salah seorang perempuan dari opgezetenen tidak akan mendapatkan tanah
47
48

Lekkerkerker, Op.cit. Hal. 65.
Bool.H.J. Op.cit. Hal. 51.

pengganti tersebut. Namun jika dalam perkawinan tersebut, ada dilahirkan anak, maka anak
tersebut kelak berhak mendapatkan hak atas tanah pengganti tersebut, sepanjang dia tetap
tinggal di areal konsesi tersebut49
Contoh ini setidaknya menunjukkan pula bagaimana pemerintah Hindia Belanda berhasil
memasukkan anasir-anasir hukum adat ke dalam sebuah konsep peraturan yang sama sekali
belum dikenal dalam masyarakat pribumi, yakni kontrak konsesi yang berbau hukum perdata
Barat. Cara ini dianggap akan lebih menghindarkan pemerintah Hindia Belanda dan para
planters untuk berhadapan langsung dengan para pendatang suku Batak dan lebih mendorong
institusi adat Melayu menyelesaikan persoalan ini. Setidaknya peristiwa tahun 1872 pada
Batak Oorlog telah memberikan pelajaran yang banyak bagi Pemerintah Hindia Belanda
untuk berhati-hati mengelola isu seputar hak tanah penduduk dan kaitannya dengan konsesi.
Kelihatannya Pemerintah Hindia Belanda menggunakan semua cara untuk mengoptimalkan
pengusahaan atas woeste grond. Dimana dipandang akan menguntungkan mereka, misalnya
dalam kasus tafsir atas woeste grond dan staatdomein mestilah dipandang sebagai kerangka
normatif yang di-insert ke dalam kehidupan pri