Globalisasi dan Pilihan Sikap Beragama

Globalisasi dan Pilihan Sikap Beragama:
Sebuah Tantangan untuk Pemuda

Globalisasi dan Pilihan Sikap Beragama:
Sebuah Tantangan untuk Pemuda
Erham Budi Wiranto, MA.*

Pendahuluan
Menjadi penebar damai atau pengumbar teror adalah pilihan, dan keduanya
sama-sama dimudahkan oleh globalisasi. Bukan sebuah kebetulan jika Marshal
McLuhan meralat istilah “global village” yang dibuatnya dengan global theatre.
Alih-alih menciptakan kebersamaan global, globalisasi justru menciptakan
aneka adegan tak karuan di panggung sejarah modern. Globalisasi melahirkan
kelompok pemenang, kelompok terkalahkan, dan kelompok resisten. ketiganya
beradu gaya di atas panggung teater global.
Sebagaimana idealisme para punggawanya, globalisasi digadang-gadang
mampu membawa dunia ke arah lebih baik. Para ekonom evolusionis
mencitakan globalisasi sebagai jalan mengubah masyarakat sederhana menjadi
masyarakat kompleks (modern) dengan ciri humanis dan berkemajuan.1 Untuk
mempercepatnya, dicanangkanlah modernisasi (termasuk developmentalisme)
sebagai gerakan yang menyeruak ke sudut bumi manapun, di bidang apapun.

Modernisasi adalah gelombang tak terbendung. Namun ternyata,
merangseknya modernitas bukan tanpa masalah sama sekali.
Sebagaimana telah dinasihatkan kalangan strukturalis-fungsionalis semacam
Robert Merton dan Talcott Parson, masyarakat adalah sebuah sistem yang
antar bagiannya saling berkaitan; dimana perubahan di salah satu bagian akan
mempengaruhi bagian lainnya. Maka modernitas yang berhasil menyulap
transportasi, komunikasi, serta peredaran modal dan barang sedemikian
berbedanya, tentu mempengaruhi aspek budaya dan tata nilai, termasuk
agama. Tidak dipungkiri, agama terkesan ‘kecolongan start’, atau setidaknya
kurang terlibat dalam pertumbuhan modernitas, sehingga tidak sedikit kaum
agamawan yang menjadi gamang bagaimana harus bersikap terhadap
modernitas, dan pada saat yang bersamaan terhadap globalisasi.

1

Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi (Yogyakarta: insist, 2010)
Erham Budi Wiranto

|1


Globalisasi dan Pilihan Sikap Beragama:
Sebuah Tantangan untuk Pemuda

Sikap kontra, posisi konfliktual, atau setidaknya resistensi antara agama
dengan globalisasi tampaknya meruncing dalam beberapa tahun terakhir.
Sasaran kemarahan kalangan yang resisten biasanya tertuju pada: 1) negaranegara maju yang dianggap sebagai pemenang dalam globalisasi, 2) Lembaga
moneter global seperti World Bank dan IMF, 3) forum-forum kesepakatan
global dan regional seperti WTO, NAFTA, APEC, G-8, G-20, WEF, 4)
Transnational Bank (TNB), dan 5). Transnational Corporation (TNC) yang
dianggap praktisi utama kapitalisme.
Ketika posisi konflik diambil oleh agama, maka aspek doktriner akan dilibatkan
sebagai amunisi gerakan. Penafsiran terhadap teks dipertegas guna
mentasbihkan siapa lawan dan siapa pahlawan. Sekedar contoh, bagi sebagian
Muslim adalah penting untuk menunjukkan kepada publik, siapakah yang
dimaksud ‘thaghut’ (pemerintahan zalim) dan siapa pula ‘dajjal’ (sang
pembohong besar, konspirator nomor wahid). Dengan cara itu, akan dapat
dipetakan siapa saja “Pelawan Islam” dan kemudian disusun strategi
bagaimana menjadi “Pahlawan (mendaku sebagai pembela) Islam”.
Sikap agama terhadap globalisasi pun tidak sesederhana sikap agama terhadap
sains yang oleh Ian Barbour dapat dipetakan dalam relasi konflik, independen,

dialog, dan integrasi (Barbour: 1991). Hampir tidak mungkin agama mengambil
posisi konflik sempurna, misal bersikap anti-globalisasi; sebab gerakan
seradikal apapun pada faktanya juga memanfaatkan buah-buah globalisasi
terutama aspek teknologi-informasinya.

Sikap agama terhadap globalisasi justru mirip patronase, dalam arti bahwa
pihak yang kontra (konflik) sekalipun, masih mungkin mengendarai globalisasi
yang kemudian justru digunakan untuk menyerang aktor-aktor utama
globalisasi. Hal tersebut sejatinya terjadi lantaran penolakan total terhadap
globalisasi sangat tidak mudah, bahkan tidak mungkin. Ketika globalisasi
benar-benar tak terelakkan oleh penduduk planet ini, maka ‘menjalani’
globalisasi sepertinya tinggal satu-satunya pilihan, jika tidak mau diposisikan
sebagai fosil hidup peradaban.
Dua Model Sikap Agama Terhadap Globalisasi
Adalah David Lehmann yang memetakan dua kecenderungan pola sikap agama
terhadap globalisasi. Pola pertama disebut global pattern dan yang kedua

Erham Budi Wiranto

|2


Globalisasi dan Pilihan Sikap Beragama:
Sebuah Tantangan untuk Pemuda

disebut cosmopolitan pattern.2 Pola pertama merujuk pada budaya dan
gerakan keagamaan yang menjalin persamaan dan rasa saling memiliki secara
lintas negara namun tetap memberlakukan batasan yang ketat antara pengikut
dengan lingkungan sosialnya. Dengan kata lain, mereka adalah kelompok yang
monolitik dan eksklusif secara doktrin, namun heterogen secara etnis karena
mewadahi pengikut dari ras manapun dan bangsa manapun. Global pattern
sangat mengutamakan keutuhan doktrin, kekuatan ortodoksi, fanatisme
golongan, dan apapun yang menjaga kemurnian ideologi gerakan. Sementara
aspek luaran seperti ras atau etnis anggota, bahasa, peralatan teknologi dan
informasi, media, dan sebagainya dibiarkan lentur mengikuti perkembangan
modernitas global.
Adapun pola yang kedua merujuk pada kemampuan membawa suatu tradisi
keagamaan ke dalam kelompok baru dengan seting sosial yang baru pula
bahkan kemampuan untuk terlepas (disembed) dari asalnya. Dengan lain kata,
pola cosmopolitan mampu mengejawantahkan agama dalam bentuk baru yang
lebih kontekstual dengan tempat baru dimana ia berada. Pola ini tampak

mensyaratkan kemampuan heterodoksi, akulturasi, dan bentuk-bentuk
akomodasi lain. Sementara cara-cara konservatif, fundamentalis, dan purifikasi
agak dikesampingkan.
Agama dengan Global Pattern: ISIS dan Hizbut Tahrir sebagai Contoh
“Menginternasional namun tetap fundamentalis”. Frasa tersebut tampaknya
tepat untuk sekedar mendeskripsikan secara sederhana apa yang dimaksud
global pattern. Letak ke-global-an kategori ini adalah pada kemampuan mereka
mengembangkan jaringan lintas negara sehingga mereka memiliki banyak
pengikut dan simpatisan dari berbagai bangsa, dengan latar belakang ras dan
budaya berbeda. Akan tetapi mereka tetap mempertahankan keaslian ortodoksi
doktriner secara konsisten dimanapun mereka berada. Ada beberapa contoh
dari pola ini: termasuk di dalamnya adalah gerakan radikalisme global seperti
ISIS dan gerakan politik pan-islamisme transnasional seperti Hizbut Tahrir.

2

David Lehmann, “Religion and Globalization”. In Paul Fletcher, Hiroko Kawanami & David
Smith, Religions in the Modern World. Tradition & Transformation. (2004) London & New York:
Routledge


Erham Budi Wiranto

|3

Globalisasi dan Pilihan Sikap Beragama:
Sebuah Tantangan untuk Pemuda

a. ISIS
ISIS (Negara Islam Irak dan Syam) atau the Islamic State of Iraq and Syria / alDawlah al-Islāmīyah fī al ʻIrāq wa al-Shām, merupakan kelompok garis keras
yang berorientasi mendirikan negara Islam di Irak, Suriah dan wilayah Syam
lainnya. Mereka bertujuan membangun kekhalifahan dengan semangat Islam
yang dianggap lebih authentic sebagai upaya mengembalikan kekuatan Islam
setelah tumbangnya kekhalifahan terakhir Turki Utsmaniyah (Ottoman
Empire).
ISIS termasuk global pattern lantaran keberhasilannya menarik anggota dan
simpatisan dari berbagai negara dan karena kemampuannya menjaga
eksklusifitas doktrin mereka. Dari aspek keberhasilannya menarik simpatisan,
ISIS terbukti memiliki anggota lintas negara. CNN melaporkan bahwa per
Februari 2015 sudah lebih dari 20.000 orang asing bergabung untuk membela
ISIS dan di antara mereka terdapat sekitar 3400 orang yang berasal dari

negara-negara Barat, termasuk 180 orang dari Amerika Serikat.3 Belakangan,
jumlahnya sekitar 30.000 orang dan berasal lebih dari 100 negara di dunia. Di
Indonesia sendiri, diperkirakan lebih dari 800 orang bergabung dengan ISIS.4
Sulit membayangkan keberhasilan ISIS menggalang dukungan tanpa adanya
media modern. Sejak awal kemunculannya, mereka sudah rajin memproduksi
CD, DVD, poster, pamphlet dan aneka produk propaganda lain terutama setelah
didirikannya Institut Produksi Media alFurqan pada 2006. Dengan dibentuknya
Global Islamic Media Front (GIMF) pada tahun 2013 ISIS juga semakin gencar
mendistribusikan propaganda mereka secara lebih mengglobal. Dan
belakangan, yang menghenyakkan, mereka membentuk Al Hayat Media Center
dengan tujuan merekrut target dari masyarakat Barat melalui materi-materi
yang disampaikan dalam Bahsan Inggris, Jerman, Rusia dan Perancis. Ditambah
lagi munculnya Ajnad Media Foundation yang khusus menyuburkan
propaganda melalui lantunan lagu-lagu nasyid jihad.
ISIS juga piawai menggunakan sosial media. Pasalnya rekruitmen anggota ISIS
sangat ditopang oleh aksi mereka di dunia cyber, terutama dengan
memanfaatkan facebook, twitter, youtube dan email. Semua media tersebut

3


http://edition.cnn.com/2015/02/25/world/isis-western-recruits/
Said Aqil Siradj pada Bulan September 2015 pernah mengatakan: "Ada 800 lebih orang
Indonesia yang bergabung dengan ISIS. 30 orang di antaranya sudah tewas,
"http://news.liputan6.com/read/2321653/said-aqil-800-orang-indonesia-gabung-isis
4

Erham Budi Wiranto

|4

Globalisasi dan Pilihan Sikap Beragama:
Sebuah Tantangan untuk Pemuda

selama ini lebih identik sebagai media penyebaran pop-culture – sebuah
gelombang budaya bersama globalisasi, namun media-media itu pula yang
akhirnya menyebarkan propaganda ISIS. Meskipun ada rekruitmen yang
dimotori langsung oleh aktivis ISIS, misalnya seperti di Indonesia, ada Salim bin
Mubarok At-Tamimi yang disinyalir sebagai tokoh dibalik rekruitmen ISIS;
namun tetap saja sosial media menjadi alat penting bagi ISIS untuk mengglobal.
Dengan kata lain, ISIS bukan kelompok anti-globalisasi, namun kelompok yang

mengendarai globalisasi dan bekerja untuk kepentingan sekelompok orang.
b. Hizbut Tahrir
Hizbut Tahrir mengklaim diri sebagai gerakan Islam yang bertujuan
mengembalikan kaum muslimin untuk taat kepada hukum Islam, memperbaiki
sistem perundangan dan hukum negara yang dinilai tidak Islami (kufur) agar
sesuai dengan tuntunan syariat Islam, serta membebaskan dari sistem hidup
dan pengaruh negara Barat. Hizbut Tahrir juga bertujuan untuk membangun
kembali pemerintahan Islam warisan Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin
yakni Khilafah Islamiyah di dunia, sehingga hukum Islam dapat diberlakukan
kembali.5
Hizbut Tahrir dapat digolongkan sebagai global pattern karena jaringannya
yang lintas negara dan kemampuannya untuk menjaga distingsi ideologi
mereka. Lebih dari satu dasawarsa lalu, Heritage Foundation (USA) mencatat
bahwa Hizbut Tahrir ada di 40 negara, dengan pengikut setia berjumlah 5000
hingga 10.000 anggota dan simpatisan berjumlah puluhan ribu orang. Pada
tahun 2007 ketika Konferensi Hizbut Tahrir digelar di Indonesia, diperkirakan
dibanjiri sekitar 80.000 hingga 100.000 peserta dari berbagai penjuru dunia.
Jumlah mereka saat ini diperkirakan terus meningkat. Mereka menerima
anggota dari kalangan umat Islam, baik pria maupun wanita, tanpa
memperhatikan lagi apakah mereka keturunan Arab atau bukan dan dari suku

apapun.
Secara ideologis, Hizbut Tahrir adalah sebuah partai bersendikan penafsiran
terhadap doktrin Islam. Partai ini menyerukan dakwah Islam serta mengambil
dan menetapkan seluruh aturan-aturannya tanpa memandang lagi ras-ras
kebangsaan, warna kulit, maupun mazhab-mazhab mereka sepanjang
berkomitmen untuk mengadopsi ide-ide Hizbut Tahrir. Dengan kata lain,
Hizbut Tahrir siap menjadi gerakan global dan menunggangi globalisasi
meskipun dalam banyak propagandanya tampak anti-globalisasi.
5

Hizbut Tahrir Indonesia Tentang Kami" (http://hizbuttahrir.or.id/tentangkami/)
Erham Budi Wiranto

|5

Globalisasi dan Pilihan Sikap Beragama:
Sebuah Tantangan untuk Pemuda

Dalam konteks Indonesia, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) cukup rajin mencecar
berbagai kebijakan pemerintah. Tudingan yang kerap muncul bercorak

merendahkan demokrasi, anti kapitalisme, liberalism, pluralism bahkan
nasionalisme karena semua itu dianggap ashabiyah (fanatisme,
primordialisme). Propaganda yang digencarkan melalui media Buletin Jum’at
Al-Islam, majalah Al-Wa’ie, tabligh, official website dan sebagainya jelas
menampakkan posisi HTI sebagai gerakan global yang anti Barat dan Sistem
Kafir, termasuk demokrasi tadi. Seolah mereka tidak sadar bahwa kebebasan
berekspresi yang mereka nikmati, termasuk kebebasan mengedarkan gagasan
propagandis, tidak akan mungkin terjadi tanpa adanya sistem demokrasi di
negeri ini.
Betapapun, Hizbut Tahrir terkesan memiliki pesona. Salah satu daya tarik dari
Hizbut Tahrir adalah pendekatannya yang lebih lunak. Mereka bukan gerakan
radikal berkekerasan, namun radikal dalam pemikiran. Lantas apakah gerakan
pemikiran yang radikal ini tidak menyimpan bom waktu? Mengacu pada Teori
Conveyor Belt, potensi bahaya dari pemikiran radikal tetap merupakan
ancaman serius.6 Radikalisme pada tingkatan ekstrim biasanya akan beralih
kepada kekerasan (violence), atau setidaknya - meminjam istilah Sidney Jones vigilantisme.7 Vigilantisme diartikan sebagai sikap main hakim sendiri. hal ini
sangat mungkin terjadi ketika seseorang atau sekelompok orang sudah cukup
frustasi dan tidak percaya lagi dengan hukum yang tengah berlaku.
Menuju Cosmopolitan Pattern
Eksklusifitas gerakan-gerakan trans-nasional berpola global pattern, secara
umum dipandang kurang menjanjikan jaminan rasa aman bagi kelompokkelompok lain yang secara ideologis (dan termasuk agama) berbeda. Meskipun
kelompok-kelompok tersebut berhasil menerima keragaman ras namun
tampaknya mereka belum mampu mewadahi keragaman budaya dan pola pikir.
Setidaknya terlihat dari kekukuhan mereka terhadap doktrin ideologi gerakan.
Kemampuan menerima keragaman budaya dan cara pandang, atau yang santer
disebut sebagai multikulturalisme, mensyaratkan sikap yang lebih terbuka
Teori “religious conveyor belt” dimulai dengan keluhan atau krisis personal kepada religiusitas,
kemudian kepada penerimaan keyakinan radikal dan kemudian kepada terorisme, yang dalam
setiap tahapan tersebut terdapat tanda-tanda yang bisa diidentifikasi oleh penegak hukum.
Kesimpulannya, teori tersebut memandang bahwa kalau seseorang memiliki ideologi radikal secara
otomatis dan mekanik mereka akan menjadi teroris.
7
Sidney Jones, Sisi Gelap Demokrasi, Kekerasan Masyarakat Madani di Indonesia, (Jakarta: Pusat
Studi Agama dan Demokrasi Yayasan Paramadina, 2015).

6

Erham Budi Wiranto

|6

Globalisasi dan Pilihan Sikap Beragama:
Sebuah Tantangan untuk Pemuda

terhadap berbagai keragaman, bukan hanya keragaman yang tampak secara
fisik, namun juga keragaman perspektif dan gagasan. Keragaman yang Tuhan
ciptakan di dunia ini, ketika bertemu dalam zaman globalisasi, idealnya
menyatu sebagai a bowl of salad dimana keragamaan tetap tampak dan mampu
berpadu secara cantik; bukan bercampur lebur seperti bubur, sehingga tiap
identitas menjadi hancur. Untuk itu, perlu serangkaian sikap akomodatif agar
agama mampu mengada di era global sebagai ruh zaman secara positif.
a. Mainstreaming Tolerance
Semua jenis penerimaan selalu dimulai dari kemampuan bertoleransi. Maka
mengarus-utamakan (mainstreaming) toleransi adalah prasyarat menuju sikap
beragama yang kosmopolit. Sikap toleran diartikan sebagai sikap menenggang
(menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan,
kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dsb) yg berbeda atau bertentangan dengan
pendirian sendiri.
Toleransi sulit dimiliki oleh siapapun yang bersikap “playing god”, merasa bertindak
sebagai (wakil) tuhan dan berhak memonopoli kebenaran (truth claim). Sepanjang
klaim kebenaran dimanfaatkan untuk memperkuat keimanan agama sendiri, mungkin
tidak terlalu bermasalah, sepertinya sebagian besar agama atau kelompok keagamaan
melakukan ini, namun akan menjadi masalah serius ketika truth-claim dijadikan
landasan sikap kepada orang lain yang berbeda.
Sebaliknya, toleransi akan mudah dimiliki jika dengan rendah hati manusia menyadari
keterbatasannya sebagai penafsir. Bahwa manusia hari ini bukan nabi, namun para
penafsir risalah kenabian dan pengenyam ajaran para bijak bestari zaman sebelumnya.
Termasuk ketika memandang kitab suci, manusia mestinya menyadari bahwa kitab
adalah sumber yang memungkinkan munculnya multitafsir (dan itulah yang telah
terjadi berabad-abad), maka cukup absurd manakala manusia bersikap fanatik pada
satu corak penafsiran dan mengeliminasi bahkan melawan penafsiran lain.
Untuk itu, toleransi perlu diarusutamakan, sebab menghargai pandangan dan budaya
lain, sejatinya adalah bentuk pengakuan keterbatasan diri sendiri dan bentuk
penghormatan terhadap pencapaian penafsiran orang lain tentang makna kehidupan.

b. Agama Cinta
John D. Caputo pernah mempopulerkan istilah “Agama Cinta”. Satu istilah yang
lahir dari refleksi retoris: “apa yang sebenarnya aku cintai ketika aku mencintai
Tuhan?”. Tentu jawabannya terserah kita. Namun Caputo menegaskan bahwa
orang yang beragama berarti dia orang yang memiliki cinta. Oleh karena itu,
Erham Budi Wiranto

|7

Globalisasi dan Pilihan Sikap Beragama:
Sebuah Tantangan untuk Pemuda

menurutnya, antonim orang relijius bukanlah orang sekuler, namun ‘orang
tanpa cinta’ dan atau ‘orang egois’.8

Dapatkah dikatakan sebagai ‘orang dengan cinta’ apabila seseorang
menyingkirkan orang lain hanya karena tidak sepaham secara ideologis? (kasus
ISIS misalnya). Tentu saja tidak. Orang semacam itu hanya makhluk egois yang
membela kepentingan sendiri dengan mengorbankan orang lain. Maka dari itu,
setiap insan beragama sebenarnya perlu berpikir reflektif tentang arti
keimanannya. Agama harusnya mendatangkan maslahat (kebaikan) bagi
manusia, sebab, itulah ‘tujuan dari hukum Tuhan’ (maqashid al-shariah).
Bahkan semua agama tampaknya seragam bahwa orang yang terbaik adalah
yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya (khairu al-naas ‘anfauhum li alnaas). Oleh karenanya, menjadi orang beragama semestinya sadar bahwa
ketika ia mencintai Tuhan berarti sekaligus ia mencintai kemanusiaan. Maka
ironis ketika ada orang beragama yang menampilkan diri sebagai terror dan
ancaman bagi kemanusiaan. Beragama di era global, mensyaratkan
kemampuan memaknai agama yang seperti ini. Agama harus dilihat sebagai
cinta.
c. Humanitarianisme
Satu konsep lain yang perlu dimiliki untuk bekal beragama di era global adalah
humanitarianisme. Sepintas dari istilahnya, terkesan dekat dengan humanisme,
tapi ini jauh berbeda. Humanisme lebih bersifat antroposentris dimana
kebenaran ditentukan dan ditakar oleh takaran manusia saja; lantas Tuhan
(dan firmannya) tidak diindahkan. Namun humanitarianisme, menurut
Siswanto Masruri, dapat dilandasi oleh semangat keagamaan dan pengabdian
kepada ketuhanan.9 Karena titik tekan humanitarianisme adalah pelayanan
sosial bagi kemanusiaan. Bahkan secara sederhana Meriam-Webster
mengartikan humanitarian sebagai a person who works to make other people's
lives better, orang yang bekerja demi kehidupan yang lebih baik bagi orang lain.
Orang itu bisa saja beragama maupun tidak beragama, namun orientasi
kemanusiaannya sama.
Jika orang tidak beragama saja mampu menjadi humanitarian, maka
semestinya orang beragama justru lebih leading dalam hal ini. Sebab seperti

8

John D. Caputo, Agama Cinta, Agama Masa Depan (Bandung: Mizan, 2003), hlm 1-4.
Siswanto Masruri, Humanitarianisme Soedjatmoko : Visi Kemanusiaan Kontemporer, Yogyakarta :
Pilar Media, 2005.
9

Erham Budi Wiranto

|8

Globalisasi dan Pilihan Sikap Beragama:
Sebuah Tantangan untuk Pemuda

diungkap di awal tadi, beragama berarti mengenggam cinta pada kemanusiaan
sebagai bukti cintanya pada Tuhan.
d. Global Ethic
Jika setiap insan beragama sudah sepaham bahwa beragama berarti mencintai
kemanusiaan, maka sebetulnya semua orang beragama dapat membangun etik
(tata aturan) dan etika (budi pekerti) yang disepakati bersama. Yaitu semacam
nilai-nilai fundamental dan universal yang disepakati setiap umat beragama.
Gagasan semacam ini telah digerakkan cukup lama, setidaknya sejak paruh
kedua abad 20. Sekedar menyebut satu tokoh, kita bisa menyebut Hans Kung
yang terkenal dengan ungkapannya “tidak ada perdamaian dunia tanpa
perdamaian antaragama”.10 Oleh karena itu, Hans Kung mencanangkan Global
Ethic sebagai upaya agar seluruh umat beragama bergerak sinergis dalam satu
visi yaitu nilai-nilai kemaslahatan bagi kemanusiaan global.
Kembali kepada cosmopolitan pattern, empat konsep di atas memang
mendukung untuk mengembangkan corak beragama di era global secara
kosmopolit. Kekhawatiran sebagian orang, cosmopolitan pattern akan
berakibat luntur dan lenyapnya identitas agama, karena tuntutan untuk
bersikap toleran, menerima multikulturalisme, berorientasi kemanusiaan, dan
meniscayakan satu etik global bersama. Namun sebenarnya tidak perlu sampai
melenyapkan identitas, simbol, ritual, tradisi, institusi dan aneka dimensi
keagaman lainnya. Keragaman agama tetap terwadahi dalam a bowl of salad;
sedang yang perlu disatukan adalah visi dan orientasinya bagi kemaslahatan
universal.
Pemuda dan Pilihan Peran
Jika pemuda (putra dan putri) bangsa ini pada tahun 1928 berhasil
membangun kesepakatan yang menyatukan nusantara, maka pemuda di era ini
sebenarnya memiliki tuntutan lebih tinggi, yaitu membangun kesepakatan etis
yang mengglobal. Hal ini tidak lain karena dunia ini telah menjadi mungil;
segala mudah dan cepat dijangkau sehingga masalah yang ada di tempat ini
berpotensi menjadi masalah global hanya dalam hitungan detik, tentu akibat
dari teknologi-informasi yang demikian pesat.
Terkait tuntutan global tersebut, dan karena mayoritas warga Indonesia
beragama, maka pemuda dihadapkan pada pilihan global pattern atau
10

Hans Kung dan Karl-Josef Kuschel, Etik Global (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. xvii
Erham Budi Wiranto

|9

Globalisasi dan Pilihan Sikap Beragama:
Sebuah Tantangan untuk Pemuda

cosmopolitan pattern. Mau mengglobal tapi eksklusif dalam beragama atau
mengglobal dan beragama dengan orientasi kemaslahatan universal? Itulah dua
pilihannya, keduanya sangat mudah dilakukan dengan piranti-piranti
globalisasi.
Setelah melihat panggung sandiwara global (global theatre) tentu kita bisa
dengan bijak menilai, lalu memilih mau berada di sisi mana. Kejernihan nurani
dan daya pikir kritis perlu dipertajam untuk memantapkan pilihan itu. Pemuda
harus banyak membaca secara kritis, berani menganalisa dan berpikir bebas,
tidak mudah menelan doktrin mentah-mentah, menyadari darah muda yang
bergejolak sehingga tidak gegabah dan terburu dalam mengambil keputusan,
tajam mendengar, pandai membandingkan aneka tawaran, bijak mengakses
media, dan tidak lupa bahwa hakikat beragama adalah untuk manusia (bukan
untuk Tuhan, tanpa disembah oleh manusiapun Tuhan sudah Digdaya Maha
Kuasa dan tidak melemah sedikitpun).
Meskipun tulisan ini mengajak pemuda mengambil peran global, namun
sebagai starting point - dan ini yang justru sangat penting - terlebih dahulu
perlu fokus yang serius menyikapi permasalahan nasional. Konflik beragama
tak berkesudahan, merebaknya terorisme atas nama agama (bahkan sebagian
aktornya adalah pemuda) dan sederet permasalahan nasional lainnya perlu
dicermati oleh pemuda, karena semua itu telah menggerogoti nasionalisme.
Berorientasi global harus dimulai dari bertindak lokal (glokal). Pemuda perlu
mengambil peran terhadap permasalahan di aras lokal/nasional, dan mau fokus
pada isu yang terdekat dengan dirinya. Dengan begitu sebetulnya ia telah mulai
berperan global. Jika tidak melakukan apapun, maka ia absent dari perannya
bagi kemanusiaan di era global.
Penutup
Globalisasi, dimana sekat teritorial antar negara terhapuskan secara de facto
(bukan de jure), maka karakter, kemandirian, dan kedaulatan suatu negara
terkesan berada dibawah cakar-cakar kepentingan global. Pada saat yang sama,
entah apakah bertujuan memanfaatkan momentum, gerakan-gerakan yang
kurang pro pada nasionalisme demikian gencar menyebar. Setidaknya gerakan
berpola global pattern terlihat menunjukkan kecenderungan itu. Lantas masih
berhargakah nasionalisme bangsa ini? Apakah betul nasionalisme harus
dikorbankan demi kepentingan global? Lalu apa arti penting perjuangan para
pahlawan dan founding fathers (and mothers) memerdekan bangsa ini jika kini
pada akhirnya kita gadaikan begitu saja?
Erham Budi Wiranto

| 10

Globalisasi dan Pilihan Sikap Beragama:
Sebuah Tantangan untuk Pemuda

Pertanyaan ini pelik dan pantas menjadi refleksi akhir dari tulisan ini. Jika
pendahulu kita rela bertaruh nyawa demi nasionalisme bernama Indonesia,
dan jika kemerdekaan negara ini diakui sebagai rahmat Tuhan Yang Masa Esa,
maka sesungguhnya menjaga kedaulatan negara (nasionalisme) adalah bentuk
rasa syukur kita. Mengentaskan negara dari jurang keterpurukan tidak harus
dilakukan dengan membongkar paksa negara ini. “Jika padi di lumbung
dimakan tikus, jangan kau bakar lumbungnya bung! tapi tangkap tikusnya! –
hormatilah jasa moyang kita yang sudah berpayah-payah membangun lumbung
itu”

-----------------------------------------------------------------------------------------------------*Makalah ini disampaikan dalam Konferensi Pemuda Nusantara untuk Perdamaian
Indonesia pada 26-28 Oktober 2015 di Kompleks Balaikota Surakarta.
**Penulis adalah Peneliti Center for the Study of Islam and Social Transformation
(CISForm), Deputi Direktur Tolerance Institute, dan Tenaga Ahli Sekretariat Daerah DIY
untuk Pengembangan “Jogja City of Tolerance”. Ia juga mengajar mata kuliah “Agama dan
Globalisasi” di Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta. Penulis dapat dihubungi melalui [email protected]

Erham Budi Wiranto

| 11