Perlawanan Rakyat Maluku Melawan VOC

1 . Perlawanan Rakyat Maluku Melawan VOC
 Kapan Terjadinya
1 . Pada tahun 1635 muncul perlawanan rakyat Maluku terhadap VOC di bawah pimpinan
Kakiali, Kapten Hitu.
2 . Pada tahun 1646 muncul perlawanan rakyat Maluku terhadap VOC di bawah pimpinan
Telukabesi
3 . Pada tahun 1650 muncul perlawanan di Ambon yang dipimpin oleh Saidi.
4 . Pada akhir abad ke-18, muncul lagi perlawanan rakyat Maluku di bawah pimpinan
Sultan Jamaluddin
5 . Tahun 1780 pasukan Patra Alam menyerang dan mengepung tempat kediaman Sultan
Nuku, namun Sultan Nuku berhasil meloloskan diri dan menyingkir ke Halmahera
6 . Menjelang akhir abad ke-18 (1797) muncullah perlawanan besar rakyat Maluku di
bawah pimpinan Sultan Nuku dari Tidore
7 . Perlawanan Pattimura (1817). Perlawanan Pattimura terjadi di Saparua, yaitu sebuah
kota kecil di dekat pulau Ambon.

 Latar Belakang ( sebab terjadinya perlawanan )
Sebab-sebab terjadinya perlawanan terhadap Belanda adalah :
1.
Rakyat Maluku menolak kehadiran Belanda karena pengalaman mereka yang
menderita dibawah VOC

2.
Pemerintah Belanda menindas rakyat Maluku dengan diberlakukannya kembali
penyerahan wajib dan kerja wajib
3.
Dikuasainya benteng Duursteide oleh pasukan Belanda
4.
. Penduduk wajib kerja paksa untuk kepentingan Belanda misalnya di perkebunanperkebunan dan membuat garam.
5.
Penyerahan wajib berupa ikan asin, dendeng dan kopi.
6.
Banyak guru dan pegawai pemerintah diberhentikan dan sekolah hanya dibuka di
kota-kota besar saja.
7.
Jumlah pendeta dikurangi sehingga kegaitan menjalankan ibadah menjadi terhalang.
8.
Secara khusus yang menyebabkan kemarahan rakyat adalah penolakan Residen
Van den Berg terhadap tuntutan rakyat untuk membayar harga perahu yang dipisah sesuai
dengan harga sebenarnya.Tahun 1817 rakyat Saparua mengadakan pertemuan dan
menyepakati untuk memilih Thomas Matulessy (Kapitan Pattimura) untuk memimpin
perlawanan. Keesokan harinya mereka berhasil merebut benteng Duurstede di Saparua

sehingga residen Van den Berg tewas. Selain Pattimura tokoh lainnya adalah Paulus
Tiahahu dan puterinya Christina Martha Tiahahu. Anthoni Reoak, Phillip Lattumahina,
Said Perintah dan lain-lain. Perlawanan juga berkobar di pulau-pulau lain yaitu Hitu,
Nusalaut dan Haruku penduduk berusaha merebut benteng Zeeeland.
9.
Belanda memperkuat posisinya di Maluku
10.
Belanda mendirikan benteng
11.
Belanda melakukan monopoli perdagangan rempah – rempah .

 Tokoh – Tokoh Perlawanan
1 Kakiali
2 TelukaBesi
3 Saidi
4 Sultan Jamaludin
5 Sultan Nuku
6 Patra Alam
7 . Kapten Pattimura


 Kronologi Terjadinya Perlawanan
-tahun 1635 dipimpin Kakiali dan Kapten Hitu mengobarkan perlawanan kedudukan
Belanda terancam.Gubernur Jendral van Diemen dari Batavia datang dua kali pada tahun
1637 dan 1638 . Perlawanan rakyat Maluku berhasil dipatahkan dengan terbunuhnya
Kakiali oleh seorang pengkhianat pada tahun 1643.
-Perlawanan kembali pecah yang dilakukan orang-orang Hitu dibawah pimpinan
Telukabesi.Tahun1646 perlawanan berhasil diredakan. Akibatnya banyak orang Hitu yang
diasingkan ke Batavia.
-)1650, perlawanan terjadi lagi diwilayah Ambon sampai Ternate. Perlawanan dipimpin oleh
Saidi. Belanda mulai terdesak dan minta bantuan ke Batavia.Bantuan dibawah pimpinan
Vlaming van Oosthoorn datang pada bulan Juli 1655.Karena bantuan pasukan Batavia
persenjataan lebih lengkap dan canggih, pasukan rakyat terdesak, Saidi berhasil ditangkap
dan dibunuh. Perlawanan rakyat Maluku berhasil dipatahkan. -Perlawanan kembali terjadi
dibawah pimpinan Raja Tidore , Sultan Jamaluddin. Namun pada tahun 1779 Sultan
Jamaluddin berhasil ditangkap Belanda dan dibuang ke Srilangka.
-)Belanda berhasil masuk lebih lebih jauh dikehidupan politik kerajaan. Hal itu dibuktikan
dengan adanya perebutan kekuasaan di kerajaan Tidore.Pengganti Sultan Jamaluddin
yang seharusnya Pangeran Nuku digantikan Patra Alam, seorang kaki tangan
Belanda.Rakyat Tidore ternyata menghendaki Pangeran Nuku yang menjadi Sultan.
Perlawanan selanjutnya terjadi seperti perang saudara antar rakyat Tidore.

-)Tahun 1780 pasukan Patra Alam menyerang dan mengepung tempat kediaman Sultan
Nuku, namun Sultan Nuku berhasil meloloskan diri dan menyingkir ke Halmahera.Di
Halmahera, Sultan Nuku mendirikan markas besar untuk melawan VOC dan Patra Alam.
Perlawanan selama 17 tahun menunjukkan hasil. Sultan Nuku berhasil mengadu domba
Belanda dan Inggris yang berkuasa di Maluku Utara. Perlawanan Sultan Nuku tidak
sebatas di Maluku Utara, tetapi sampai di Papua. Sultan Nuku bersama Panglima Zaibal
Abidin berhasil merebut Tidore dari tangan Belanda.Tahun 1805 Sultan Nuku meninggal
dunia, Belanda dapat menguasai lagi wilayah Tidore. Perlawanan Pattimura (1817).
Perlawanan Pattimura terjadi di Saparua, yaitu sebuah kota kecil di dekat pulau Ambon.

 Akhir Perlawanan Rakyat Maluku
Akibat penderitaan yang panjang rakyat menetang Belanda dibawah pimpinan Thomas
Matulesi atau Pattimura. Tanggal 15 Mei 1817 rakyat Maluku mulai bergerak dengan

membakar perahu-perahu milik Belanda di pelabuhan Porto. Selanjutnya rakyat menyerang
penjara Duurstede. Residen Van den Berg tewas tertembak dan benteng berhasil dikuasai
oleh rakyat Maluku.
Pada bulan Oktober 1817 pasukan Belanda dikerahkan secara besar-besaran, Belanda
berhasil menangkap Pattimura dan kawan-kawan dan pada tanggal 16 Nopember 1817
Pattimura dijatuhi hukuman mati ditiang gantungan, dan berakhir perlawanan rakyat

Maluku.
Perlawanan Rakyat Maluku
Kepulauan Maluku merupakan produsen utama rempah-rempah dunia. Banyak
pedagang Barat yang berusaha masuk dan menguasai kawasan ini. Perlawanan
rakyat pun terjadi di berbagai daerah.
a) Perlawanan Rakyat Ternate Tidore
Kakiali memimpin rakyat Ternate menghadang VOC pada tahun 1635. Perlawanan
rakyat Ternate terhadap VOC kembali terjadi pada tahun 1646 yang dipimpin
Telukabesi. Rakyat Ternate kembali berusaha menyerang VOC pada tahun 1650
dipimpin Saidi, tetapi mengalami kegagalan. Sultan Nuku dari Tidore juga
memimpin perlawanan dan berhasil mengusir Belanda dari Tidore.
b) Perlawanan Pattimura
Perlawanan rakyat Maluku di Saparua meletus pada bulan Mei 1817 dipimpin oleh
Thomas Mattulessy atau Kapitan Pattimura. Benteng kompeni Duurstede di Saparua
diserbu dan direbut rakyat Maluku. Tokoh pejuang yang memimpin perlawanan
rakyat antara lain Anthony Rebok, Martha Christina Tiahahu, Latumahina, Said
Perintah, dan Thomas Pattiwael. VOC kewalahan menghadapi perlawanan Pattimura
sehingga pada tahun 1817 mendatangkan pasukan kompeni dari Ambon yang
dipimpin Kapten Lisnet. Kapitan Pattimura tertangkap dan dihukum mati pada
tanggal 16 Desember 1817.


Perlawanan Pattimura Terhadap Kolonial
Belanda (VOC)
Jejak Puisi
Sejarah Indonesia
Kedatangan bangsa Belanda di Kepulauan Maluku dan pendirian persekutuan dagang VOC
hingga pemberlakuan sistem monopoli perdagangan banyak menimbulkan penderitaan,
kegelisahan, dan permusuhan untuk rakyat Maluku. Penindasan VOC terhadap rakyat Maluku
terasa semakin berat, apalagi ketika sistem monopoli diawasi dengan pelayaran Hongi dan
diberlakukannya hak esktirpasi*.
Pada bulan Mei 1817, meletus perlawanan rakyat Maluku di Saparua yang dipimpin oleh
Thomas Mattulessy atau Kapitan Pattimura. Benteng kompeni Duurstede di Saparua diserbu dan
direbut rakyat Maluku hingga banyak pasukan dan penghuni di benteng terbunuh.

Perlawanan rakyat Maluku berikutnya meluas hingga ke Ambon dan ke pulau-pulau sekitarnya,
yang berlangsung hingga beberapa bulan lamanya dan dikuasai oleh rakyat yang dipimpin oleh
Kapitan Pattimura, Anthony Rybok, Paulus-Paulus Tiahahu, Martha Christina Tiahahu,
Latumahina, Said Perintah, dan Thomas Pattiwael.
Pasukan Belanda mengalami kewalahan dalam menghadapi perlawanan rakyat Pattimura hingga
pada bulan Juli 1817 dan bulan September 1817, Belanda mendatangkan pasukan Kompeni dari

Ambon yang dipimpin oleh Kapten Lisnet.
Pada bulan Oktober 1817, pasukan Belanda mulai menyerang rakyat Maluku secara besarbesaran hingga dapat memadamkan perlawanan rakyat dan menangkap Kapitan Pattimura (tahun
1817) yang kemudian dihukum mati pada tanggal 16 Desember 1817.
Sebelum menghadapi eksekusi hukuman gantung, Pattimura masih sempat memberi semangat
perlawanan terhadap rakyat Maluku, yaitu "Pattimura tua boleh mati, tetapi akan muncul
Pattimura-Pattimura muda."
* Salah satu contoh bentuk pelaksanaan hak ekstirpasi adalah penanaman pohon cengkih yang
hanya boleh dilakukan di Pulau Ambon dan sekitarnya, serta penanaman pohon pala yang
hanya boleh dilakukan di Pulau Banda.
a. Perlawanan Rakyat Maluku Melawan VOC

Pada tahun 1605 Belanda mulai memasuki wilayah Maluku dan berhasil merebut benteng
Portugis di Ambon. Praktik monopoli dengan sistem pelayaran hongi menimbulkan kesengsaran
rakyat. Pada tahun 1635 muncul perlawanan rakyat Maluku terhadap VOC di bawah pimpinan
Kakiali, Kapten Hitu.
Perlawanan segera meluas ke berbagai daerah. Oleh karena kedudukan VOC terancam, maka
Gubernur Jederal Van Diemen dari Batavia dua kali datang ke Maluku (1637 dan 1638) untuk
menegakkan kekuasaan Kompeni. Untuk mematahkan perlawanan rakyat Maluku, Kompeni
menjanjikan akan memberikan hadiah besar kepada siapa saja yang dapat membunuh Kakiali.


Akhirnya seorang pengkhianat berhasil membunuh Kakiali. Dengan gugurnya Kakiali, untuk
sementara Belanda berhasil mematahkan perlawanan rakyat Maluku, sebab setelah itu muncul
lagi perlawanan sengit dari orang-orang Hitu di bawah pimpinan Telukabesi. Perlawanan ini baru
dapat dipadamkan pada tahun 1646. Pada tahun 1650 muncul perlawanan di Ambon yang
dipimpin oleh Saidi. Perlawanan meluas ke daerah lain, seperti Seram, Maluku, dan Saparua.
Pihak Belanda agak terdesak, kemudian minta bantuan ke Batavia. Pada bulan Juli 1655 bala
bantuan datang di bawah pimpinan Vlaming van Oasthoom dan terjadilah pertempuran sengit di
Howamohel.
Pasukan rakyat terdesak, Saidi tertangkap dan dihukum mati, maka patahlah perlawanan rakyat
Maluku. Sampai akhir abad ke-17 tidak ada lagi perlawanan menentang VOC. Pada akhir abad
ke-18, muncul lagi perlawanan rakyat Maluku di bawah pimpinan Sultan Jamaluddin, namun
segera dapat ditangkap dan diasingkan ke Sailan (Sri Langka). Menjelang akhir abad ke-18
(1797) muncullah perlawanan besar rakyat Maluku di bawah pimpinan Sultan Nuku dari Tidore.
Sultan Nuku berhasil merebut kembali Tidore dari tangan VOC. Akan tetapi setelah Sultan Nuku
meninggal (1805), VOC dapat menguasai kembali wilayah Tidore.
b. Mataram Menghadapi VOC

Sultan Agung (1613-1645) adalah raja terbesar Mataram yang bercita-cita: (1) mempersatukan
seluruh Jawa di bawah Mataram, dan (2) mengusir Kompeni (VOC) dari Pulau Jawa. Untuk
merealisir cita-citanya, ia bermaksud membendung usaha-usaha Kompeni menjalankan penetrasi

politik dan monopoli perdagangan.
Pada tanggal 18 Agustus 1618, kantor dagang VOC di Jepara diserbu oleh Mataram. Serbuan ini
merupakan reaksi pertama yang dilakukan oleh Mataram terhadap VOC. Pihak VOC kemudian
melakukan balasan dengan menghantam pertahanan Mataram yang ada di Jepara. Sejak itu,
sering terjadi perlawanan antara keduanya, bahkan Sultan Agung berketetapan untuk mengusir
Kompeni dari Batavia.
Serangan besar-besaran terhadap Batavia, dilancarkan dua kali. Serangan pertama, pada bulan
Agustus 1628 dan dilakukan dalam dua gelombang. Gelombang I di bawah pimpinan Baurekso
dan Dipati Ukur, sedangkan gelombang II di bawah pimpinan Suro Agul-Agul, Manduroredjo,
dan Uposonto. Batavia dikepung dari darat dan laut selama tiga bulan, tetapi tidak menyerah.
Bahkan sebaliknya, tentara Mataram akhirnya terpukul mundur.
Serangan kedua dilancarkan pada bulan September 1629 di bawah pimpinan Dipati Purbaya dan
Tumenggung Singaranu. Akan tetapi serangan yang kedua ini pun juga mengalami kegagalan.
Kegagalan serangan-serangan tersebut disebabkan:
1) Kalah persenjataan.
2) Kekurangan persediaan makanan, karena lumbung-lumbung persediaan makanan yang
dipersiapkan di Tegal, Cirebon, dan Kerawang telah dimusnahkan oleh Kompeni.
3) Jarak Mataram – Batavia terlalu jauh.

4) Datanglah musim penghujan, sehingga taktik Sultan Agung untuk membendung sungai

Ciliwung gagal.
5) Terjangkitnya wabah penyakit yang menyerang prajurit Mataram.
c. Perlawanan Trunojoyo (1674-1680)

Trunojoyo, seorang keturunan bangsawan dari Madura tidak senang terhadap Amangkurat I,
karena pemerintahannya yang sewenang-wenang dan menjalin hubungan dengan Kompeni.
Perlawanan Trunojoyo di mulai pada tahun 1674, dengan menyerang Gresik. Dengan berpusat di
Demung (dekat Panarukan), Trunojoyo melakukan penyerangan dan dalam waktu singkat telah
berhasil menguasai beberapa daerah di Jawa Timur dan Jawa Tengah bahkan sampai pusat
Mataram di Plered (Yogyakarta). Dalam perlawanan ini, Trunojoyo dibantu oleh Raden Kajoran,
Macan Wulung, Karaeng Bontomarannu, dan Karaeng Galesung.
Pada tanggal 2 Juli 1677, pasukan Trunojoyo telah berhasil menduduki Plered, ibukota Mataram.
Amangkurat I yang sering sakit bersama putra mahkota, Adipati Anom melarikan diri untuk
minta bantuan kepada Kompeni di Batavia. Dalam perjalanan, Amangkurat I meninggal di Tegal
Arum (selatan Tegal), sehingga dikenal dengan sebutan Sultan Tegal Arum. Adipati Anom
kemudian menaiki takhta dengan gelar Amangkurat II. Untuk menghadapi Trunojoyo,
Amangkurat II minta bantuan Kompeni, akan tetapi tidak ke Batavia namun ke Jepara. Pimpinan
Kompeni (VOC) Speelman menerima dengan baik Amangkurat II dan bersedia membantu
dengan suatu perjanjian (1678) yang isinya:
1) VOC mengakui Amangkurat II sebagai raja Mataram.

2) VOC mendapatkan monopoli dagang di Mataram.
3) Seluruh biaya perang harus diganti oleh Amangkurat II
4) Sebelum hutangnya lunas, pantai utara Jawa digadaikan kepada VOC.
5) Mataram harus menyerahkan daerah Kerawang, Priangan, Semarang dan sekitarnya kepada
VOC.
Setelah perjanjian ini ditandatangani penyerangan di mulai. Pada waktu itu Trunojoyo telah
berhasil mendirikan istana di Kediri dengan gelar Prabu Maduretno. Tentara VOC di bawah
pimpinan Anthonie Hurdt, yang dibantu oleh tentara Aru Palaka dari Makasar, Kapten Jonker
dari Ambon beserta tentara
Mataram menyerang Kediri. Dengan mati-matian tentara Trunojoyo menghadapi pasukan
gabungan Mataram-VOC, tetapi akhirnya terpukul mundur.
Pasukan Trunojoyo terus terdesak, masuk pegunungan dan menjalankan perang gerilya. Demi
keselamatan sebagian pengikutnya, pada tanggal 25 Desember 1679 menyerah dan akhirnya

gugur ditikam keris oleh Amangkurat II pada tanggal 2 Januari 1680. Dengan gugurnya
Trunojoyo, terbukalah jalan bagi VOC untuk meluaskan wilayah dan kekuasaannya di Mataram.
d. Perlawanan Untung Suropati (1868-1706)

Untung, menurut cerita adalah seorang putra bangsawan dari Bali, yang dibawa pegawai VOC ke
Batavia. Semula Untung dijadikan tentara VOC di Batavia. Dalam peristiwa Cikalong (1684),
merasa harga dirinya direndahkan, maka Untung berbalik melawan VOC.
Dengan peristiwa Cikalong tersebut, Untung tidak kembali ke Batavia, namun melanjutkan
perlawanan menuju Cirebon. Di Cirebon terjadi perkelahian dengan Suropati dan Untung
menang sehingga namanya digabungkan menjadi Untung Suropati. Dari Cirebon Untung terus
melanjutkan perjalanan menuju Kartasura, dan disambut baik oleh Amangkurat II yang telah
merasakan beratnya
perjanjian yang dibuat dengan VOC. Pada tahun 1686, datanglah utusan VOC di Kartasura di
bawah pimpinan Kapten Tack dengan maksud: (1) merundingkan soal hutang Amangkurat II,
dan (2) menangkap Untung. Amangkurat II menghindari pertemuan ini dan terjadilah
pertempuran.
Kapten Tack bersama anak buahnya berhasil dihancurkan oleh Untung, dan Untung kemudian
melanjutkan perjalanan ke Jawa Timur hingga sampai di Pasuruan. Di Pasuruan inilah Untung
Suropati berhasil mendirikan istana dan mengangkat dirinya menjadi adipati dengan gelar
Adipati Ario Wironegoro, dengan wilayah seluruh Jawa Timur, antara lain Blambangan,
Pasuruhan, Probolinggo, Malang, Kediri dan Bangil. Di Bangil, dibangun perbentengan guna
menghadapi VOC.
Pada tahun 1703, Amangkurat II wafat, putra mahkota Sunan Mas naik takhta. Raja baru ini
benci terhadap Belanda dan condong terhadap perlawanan Untung. Pangeran Puger (adik
Amangkurat II) yang ingin menjadi raja, pergi ke Semarang dan minta bantuan kepada VOC agar
diakui sebagai raja Mataram.
Pada tahun 1704, Pangeran Puger dinobatkan menjadi raja dengan gelar Paku Buwono I. Pada
tahun 1705 Paku Buwono I dan VOC menyerang Mataram. Sunan Mas melarikan diri dan
bergabung dengan pasukan Untung di Jawa Timur.
Oleh pihak Kompeni di Batavia, dipersiapkan pasukan secara besar-besaran untuk menyerang
Pasuruan. Di bawah pimpinan Herman de Wilde, pasukan Kompeni berhasil mendesak
perlawanan Untung. Dalam perlawanan di Bangil, Untung Suropati terluka dan akhirnya pada
tanggal 2 Oktober 1706 gugur.
Jejak perjuangannya diteruskan oleh putra-putra Untung, namun akhirnya berhasil dipatahkan
oleh Kompeni. Bahkan Sunan Mas sendiri akhirnya menyerah, kemudian dibawa ke Batavia, dan
diasingkan ke Sailan (1708).

e. Makasar Menghadapi VOC

Pada abad ke-17 di Sulawesi Selatan telah muncul beberapa kerajaan kecil seperti Gowa, Tello,
Sopeng, dan Bone. Di antara kerajaan tersebut yang muncul menjadi kerajaan yang paling kuat
ialah Gowa, yang lebih dikenal dengan nama Makasar. Adapun faktor-faktor yang mendorong
perkembangan Makasar, antara
lain :
1) Letak Makasar yang sangat strategis dalam lalu lintas perdagangan Malaka-Batavia-Maluku.
2) Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis tahun 1511.
3) Timbulnya Banjarmasin sebagai daerah penghasil lada, yang hasilnya dikirim ke Makasar.
Usaha penetrasi kekuasaan terhadap Makasar oleh VOC dalam rangka melaksanakan
monopolinya menyebabkan hubungan Makasar – VOC yang semula baik menjadi retak bahkan
akhirnya menjadi perlawanan. Hal ini dikarenakan Makasar selalu menerobos monopoli VOC
dan selalu membantu rakyat Maluku melawan Kompeni. Pertempuran besar meletus pada tahun
1666, ketika Makasar di bawah pemerintahan Sultan Hasanuddin (1654-1670). Dalam hal ini
VOC berkoalisi dengan Kapten Jonker dari Ambon, Aru Palaka dari Bone, dan di pihak VOC
sendiri dipimpin oleh Speelman. Makasar dikepung dari darat dan laut, yang akhirnya pertahanan
Makasar berhasil dipatahkan oleh VOC. Para pemimpin yang tidak mau menyerah, seperti
Karaeng Galesung dan Karaeng Bontomarannu melarikan diri ke Jawa (membantu perlawanan
Trunojoyo). Sultan Hasanuddin dipaksa menandatangani Perjanjian Bongaya pada tanggal 18
November 1667, yang isinya :
1) Wilayah Makasar terbatas pada Goa, wilayah Bone dikembalikan kepada Aru Palaka.
2) Kapal Makasar dilarang berlayar tanpa izin VOC.
3) Makasar tertutup untuk semua bangsa, kecuali VOC dengan hak monopolinya.
4) Semua benteng harus dihancurkan, kecuali satu benteng Ujung Pandang yang kemudian
diganti dengan nama Benteng Roterrdam.
5) Makasar harus mengganti kerugian perang sebesar 250.000 ringgit.
Sultan Hasanuddin walaupun telah menandatangani perjanjian tersebut, karena dirasa sangat
berat dan sangat menindas; maka perlawanan muncul kembali (1667-1669). Makasar berhasil
dihancurkan dan dinyatakan menjadi milik VOC.
f. Perlawanan Banten Melawan VOC

Pada waktu orang-orang Belanda datang pertama kali di Banten (1596), Banten berada di bawah
pemerintahan Maulana Muhammad. Pada saat itu Banten telah berkembang menjadi kota bandar

yang ramai. Wilayah Banten meliputi seluruh Banten, Priangan, dan Cirebon. Maksud
kedatangan Belanda yang semula berdagang, maka disambut dengan baik. Akan tetapi setelah
Kompeni malakukan monopoli dan penetrasi politik, hubungan Banten – VOC menjadi buruk,
bahkan sering terjadi pertentangan; lebih-lebih setelah VOC berhasil menduduki kota Jayakarta
pada tahun 1619.
Pertentangan Banten – VOC menjadi perlawanan besar, setelah Banten di bawah pemerintahan
Sultan Ageng Tirtoyoso ( 1651 – 1682). Dalam hal ini VOC melakukan politik “devide et
impera”. Pada tahun 1671 Sultan Ageng Tirtoyoso mengangkat putra mahkota (dikenal dengan
sebutan Sultan Haji karena pernah naik haji) sebagai pembantu yang mengurusi urusan dalam
negeri, sedangkan urusan luar negeri dipercayakan kepada Pangeran Purboyo ( adik Sultan Haji).
Atas hasutan VOC, Sultan Haji mencurigai ayahnya dan menyatakan bahwa ayahnya ingin
mengangkat Pangeran Purboyo sebagai raja Banten. Pada tahun 1680, Sultan Haji berusaha
merebut kekuasaan, sehingga terjadilah perang terbuka antara Sultan Haji yang dibantu VOC
melawan Sultan Ageng Tirtoyoso (ayahnya) yang dibantu Pangeran Purboyo. Sultan Ageng
Tirtoyoso dan Pangeran Purboyo terdesak ke luar kota, dan akhirnya Sultan Ageng Tirtoyoso
berhasil di tawan oleh VOC; sedangkan Pangeran Purboyo mengundurkan diri ke daerah
Priangan. Pada tahun 1682 Sultan Haji dipaksa oleh VOC untuk menandatangani suatu
perjanjian yang isinya :
1) VOC mendapat hak monopoli dagang di Banten dan daerah pengaruhnya.
2) Banten dilarang berdagang di Maluku.
3) Banten melepaskan haknya atas Cirebon.
4) Sungai Cisadane menjadi batas wilayah Banten dengan VOC.
Sejak adanya perjanjian ini, maka penguasa Banten sebenarnya ialah VOC.
Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel)
Sistem ini mulai dilaksanakan pada zaman Johanes Van Den Bosch, Gurbenur
jendral Hindia Belanda (1830-1835). Tujuan tanam paksa untuk mendapatkan
keuntungan yang sebesar-besarnya guna menutup kas negara yang kosong dan
untuk membayar utang-utang belanda
Tanaman Tanam paksa antara lain : Kopi, Teh, Tebu, dan kapas
Adapun sebab-sebab diadakannya tanam paksa sebagai berikut.
1.Keadaan keuangan negara sedang mengalami kekosongan
2.Utang VOC yang ditanggung pemerintah hindia belanda, merupakan yang berat
3.Pemasukan keuangan ke kas negara melalui cara-cara lama seperti pemungutan
pajak dan penanaman kopi, kurang memberikan hasil.
4.Perang menghadapi perlawanan Rakyat Indonesia seperti menghadapi
Diponegoro dan Perang Aceh yang menelan banyak biaya sehingga menguras
keuangan negara.

5.Sebagai usaha memperoleh pemasukan keuangan negara. Dalam waktu singkat
dan banyak hasilnya.
Ketentuan tanam paksa dimuat dalam dalam lembaran negara No. 22 tahun 1834
yang isinya adalah sebagai berikut.
1.Setiap penduduk diwajibkan menyerahkan seperlima bagian dari tanahnua untuk
ditanami tanaman perdagangan
2.Tanah tersebut bebas pajak
3.Bagi pendudukan yang tidak mempunyai tanah dapat menggantinya dengan
bekerja di perkebunan pemerinrah selama 66 hari.
4.Waktu untuk mengerjakan tanaman tidak boleh melebihi waktu tanam padi atau
kurang lebih tiga bulan.
5.Jika terdapat kelebihan hasil, maka akan dikembalikan kepada penduduk.
6.Jika terjadi kerusakan atau kegagalan panen hal itu bukan karena kesalahan
petani, pemerintah akan menanggungnya.
7.Pelaksanaan tanam paksa diserahkan sepenuhnya kepada kepala desa.
Ketentuan-ketentuan itu unyinya memang bagus dan cukup adil. Tetapi dalam
pelaksanaannya, banyak terjadi pelanggaran dan merugikan rakyat indonesia
a.Tanah desa yaf dipergunakan untuk tanam paksa adalah tanah-tanah yang subur,
sedangkan tanah yang tandus digunakan untuk memenuhi kebutuhan rakyat.
b.Tanah desa yang digunakan dalam praktiknya melebihi 1/5 bagian seperti yang
telah ditetapkan.
c.Waktu yang dipergunakan untuk mengerjakan tanam paksa letaknya banyak yang
jauh dari tempat tinggalnya, sehingga mereka petani terpaksa harus membawa
perbekalan dan hal itu sangat mengganggu ekonomi keluarga petani itu sendiri.
d.Panen yang gagal sekalipun bukan kesalahan petani, dalam praktiknya menjadi
tanggungan petani.

yuk sama sama kita intip apa sih isi dari perjanjian kapitulasi tuntang itu ?? cekidot…….
ISI PERJANJIAN KAPITULASI TUNTANG
1. pemerintah belanda menyerahkan indonesia kepada inggris di kalkuta (india)
2. semua tentara belanda menjadi tawanan perang inggris
3. orang belanda dapat dipekerjakan dalam pemerintahan inggris
4. hutang belanda tidak menjadi tanggungan inggris

Perlawanan Pattimura (1817)
Sebab Terjadinya Perlawanan

:

1) Kembalinya pemerintah kolonial Belanda di Maluku dari tangan Inggris.
2) Pemerintah kolonial Belanda memberlakukan kembali penyerahan wajib dan kerja wajib
yang sudah dihapusoleh Inggris.
3) Pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan uang kertas sebagai pengganti uang logam
yang sudah berlaku di Maluku,menambah kegelisahan rakyat.
4) Belanda mulai menggerakkan tenaga dari Kepulauan Maluku untuk menjadi tentara
Belanda.
Tokoh-Tokoh Perlawanan
:
Kapiten Pattimura (Thomas Mattulessi),Rhebok,Thomas Pattiwel,Raja Tiow,Lukas
Latumahina,dan Johanes Mattulessi.
Waktu/Tempat Terjadinya
:
Tahun 1817 di Maluku
Jalannya Perlawanan
:
Serangan dimulai pada tanggal 5 Mei 1817 dengan menyerbu Pos Belanda di
Porto.Residen Van Den Berg dapat ditawan namun dilepaskan lagi oleh rakyat
Maluku.Rakyat Maluku berhasil menduduki benteng Duurstede.Belanda terus-menerus
menembaki daerah pertahanan Pattimura dengan meriam,sehingga benteng Duurstede
dikosongkan.Benteng diduduki Belanda dan Belanda meminta bantuan kepada tentara
yang berada di Ambon untuk mengadakan serangan besar-besaran.
Akhir Perlawanan
:
Pattimura dan pemimpin pasukan tertangkap.Pattimura dihukum gantung di
depan benteng Victoria Ambon.Sebelum digantung,Pattimura berkata ”PattimuraPattimura tuaboleh dihancurkan,tetapi sekali waktu kelak Pattimura-Pattimura muda
akan bangkit.”Tertangkapnya para pemimpin menyebabkan Maluku melemah dan dapat
dikuasai Belanda.

Sejarah Indonesia Sebelum Merdeka
Sebelum merdeka, negara Indonesia merasakan pahitnya penjajahan oleh beberapa negara asing.
Dimulai dari portugis yang pertama kali tiba di Malaka pada tahun 1509. Portugis berhasil
menguasai Malaka pada 10 Agustus 1511 yang dipimpin oleh Alfonso de Albuquerque. Setelah
menguasai Malaka, portugis mulai bergerak dari Madura sampai ke Ternate. Bangsa Indonesia
melakukan berbagai perlawanan terhadap Portugis. Salah satu perlawan yang terkenal adalah
perlawan Fatahillah yang berasal dari Demak di Sunda Kelapa (sekarang Jakarta). Fatahillah
berhasil memukul mundur bangsa Portugis dan mengambil kembali Sunda Kelapa. Setelah itu
nama Sunda Kelapa diubah oleh Fatahillah menjadi Jayakarta.
Masa penjajahan Portugis berakhir pada tahun 1602 setelah Belanda masuk ke Indonesia.
Belanda masuk ke Indonesia melalui Banten di bawah pimpinan Cornelius de Houtman. Belanda
ingin menguasai pasar rempah-rempah di Indonesia dengan mendirikan Verenigde Oostindische
Compagnie (VOC) di Banten pada tahun 1602. Karena pasar di Banten mendapat saingan dari
pedagang tionghoa dan inggris maka kantor VOC pindah ke Sulawesi Selatan. Di Sulawesi
Selatan, VOC mendapat perlawanan dari Sultan Hasanuddin. Berbagai perjanjian dibuat. Salah
satunya adalah perjanjian Bongaya. Akan tetapi, Sultan Hasanuddin tidak mematuhi perjanjian
tersebut dan melawan Belanda. Setelah berpindah-pindah tempat, akhirnya VOC sampai d

Yogyakarta. Di Yogyakarta, VOC menandatangani perjanjian Giyanti yang isinya adalah Belanda
mengakui mangkubumi sebagai Sultan Hamengkubuwono 1. Perjanjian Giyanti juga memecah
kerajaan Mataram menjadi Kasunan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Lalu, akhirnya VOC
dibubarkan pada tanggal 1 Januari 1800 setelah Belanda kalah dari Perancis.
Setelah VOC dibubarkan, penjajahan Belanda tidak berhenti. Belanda menunjuk Daendels
sebagai gubernur jenderal hindia belanda. Pada masa Deandels, masyarakat Indonesia dipaksa
untuk membuat jalan raya dari Anyer sampai Panarukan. Namun masa pemerintahan Daendels
tidak berlangsung lama dan digantikan oleh Johannes van den Bosch. Van den Bosch
menerapkan sistem tanam paksa (cultuur stelsel). Dalam sistem tanam paksa, setiap desa harus
menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanami komoditi ekspor khususnya kopi, tebu, nila.
Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan
(20%) dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial.
Setelah 350 tahun Belanda menguasai Indonesia, pemerintahan Belanda di Indonesia digantikan
oleh bangsa Jepang. Belanda menyerah tanpa syarat kepada jepang melalui perjanjian Kalijati
pada tanggal 8 maret 1942. Masa pendudukan Jepang dimulai pada tahun 1942 dan berakhir
pada 17 agustus 1945. Di Indonesia, Jepang membentuk beberapa organisasi. Organisasi yang
dibuat Jepang antara lain adalah PETA (Pembela Tanah Air), Heiho (pasukan Indonesia buatan
Jepang), PUTERA, Jawa Hokokai (pengganti Putera).
Perlawanan terhadap penjajahan Jepang banyak dilakukan di beberapa daerah di Indonesia. Di
daerah Cot Plieng aceh perlawanan terhadap Jepang dipimpin oleh Tengku Abdul Jalil (seorang
guru ngaji di daerah tersebut). Usaha Jepang untuk membujuk sang ulama tidak berhasil,
sehingga Jepang melakukan serangan mendadak di pagi buta sewaktu rakyat sedang
melaksanakan shalat Subuh. Dengan persenjataan sederhana/seadanya rakyat berusaha menahan
serangan dan berhasil memukul mundur pasukan Jepang untuk kembali ke Lhokseumawe.
Begitu juga dengan serangan kedua, berhasil digagalkan oleh rakyat. Baru pada serangan terakhir
(ketiga) Jepang berhasil membakar masjid sementara pemimpin pemberontakan (Teuku Abdul
Jalil) berhasil meloloskan diri dari kepungan musuh, namun akhirnya tertembak saat sedang
shalat. Perlawanan lain yang terkenal lainnya adalah perlawanan PETA di daerah Blitar, Jawa
Timur. Perlawanan ini dipimpin oleh Syodanco Supriyadi, Syodanco Muradi, dan Dr. Ismail.
Perlawanan ini disebabkan karena persoalan pengumpulan padi, Romusha maupun Heiho yang
dilakukan secara paksa dan di luar batas perikemanusiaan. Sebagai putera rakyat para pejuang
tidak tega melihat penderitaan rakyat. Di samping itu sikap para pelatih militer Jepang yang
angkuh dan merendahkan prajurit-prajurit Indonesia. Perlawanan PETA di Blitar merupakan
perlawanan yang terbesar di Jawa. Tetapi dengan tipu muslihat Jepang melalui Kolonel Katagiri
(Komandan pasukan Jepang), pasukan PETA berhasil ditipu dengan pura-pura diajak berunding.
Empat perwira PETA dihukum mati dan tiga lainnya disiksa sampai mati. Sedangkan Syodanco
Supriyadi berhasil meloloskan diri.
Pemerintahan Jepang di Indonesia berakhir setelah Jepang kalah dari tentara sekutu di Perang
Dunia II. Dua kota di Jepang yaitu Hiroshima dan Nagasaki dijatuhi bom oleh tentara sekutu.
Setelah mendengar adanya kekalahan Jepang, dibentuklah BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau Dokuritsu Junbi Cosakai yang diketuai oleh Radjiman
Widyodiningrat. Nama BPUPKI diganti menjadi PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia) atau Dokuritsu Junbi Inkai untuk lebih menegaskan keinginan dan tujuan bangsa
Indonesia untuk merdeka. Soekarno, Hatta selaku pimpinan PPKI dan Radjiman Wedyodiningrat
sebagai mantan ketua BPUPKI diterbangkan ke Dalat, Vietnam untuk bertemu Marsekal
Terauchi. Mereka dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang di ambang kekalahan dan akan

memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Namun pada tanggal 10 Agustus 1945, Sutan
Syahrir telah mendengar berita lewat radio bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Para
pejuang bawah tanah bersiap-siap memproklamasikan kemerdekaan RI, dan menolak bentuk
kemerdekaan yang diberikan sebagai hadiah Jepang. Saat Soekarno, Hatta dan Radjiman kembali
ke tanah air dari Dalat, Sutan Syahrir mendesak agar Soekarno segera memproklamasikan
kemerdekaan karena menganggap hasil pertemuan di Dalat sebagai tipu muslihat Jepang, karena
Jepang setiap saat sudah harus menyerah kepada Sekutu dan demi menghindari perpecahan
dalam kubu nasionalis, antara yang anti dan pro Jepang. Hatta menceritakan kepada Syahrir
tentang hasil pertemuan di Dalat. Soekarno belum yakin bahwa Jepang memang telah menyerah,
dan proklamasi kemerdekaan RI saat itu dapat menimbulkan pertumpahan darah yang besar, dan
dapat berakibat sangat fatal jika para pejuang Indonesia belum siap. Soekarno mengingatkan
Hatta bahwa Syahrir tidak berhak memproklamasikan kemerdekaan karena itu adalah hak Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sementara itu Syahrir menganggap PPKI adalah
badan buatan Jepang dan proklamasi kemerdekaan oleh PPKI hanya merupakan ‘hadiah’ dari
Jepang. Setelah mendengar Jepang menyerah pada tanggal 14 Agustus 1945, golongan muda
mendesak golongan tua untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun
golongan tua tidak ingin terburu-buru. Mereka tidak menginginkan terjadinya pertumpahan
darah pada saat proklamasi. Soekarno dan Hatta bersama Soebardjo kemudian ke rumah
Laksamana Muda Maeda, di Jalan Medan Merdeka Utara. Maeda menyambut kedatangan
mereka dengan ucapan selamat atas keberhasilan mereka di Dalat. Sambil menjawab ia belum
menerima konfirmasi serta masih menunggu instruksi dari Tokyo. Sepulang dari Maeda,
Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan pertemuan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI) pada pukul 10 pagi 16 Agustus keesokan harinya di kantor Jalan Pejambon No 2 guna
membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan persiapan Proklamasi Kemerdekaan.
Sehari kemudian, gejolak tekanan yang menghendaki pengambilalihan kekuasaan oleh Indonesia
makin memuncak dilancarkan para pemuda dari beberapa golongan. Rapat PPKI pada 16
Agustus pukul 10 pagi tidak dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta tidak muncul. Peserta rapat
tidak tahu telah terjadiperistiwa Rengasdengklok. Perisiwa Rengasdengklok adalah peristiwa
penculikan terhadap Soekarno dan Hatta oleh golongan muda untuk mempercepat pelaksanaan
proklamasi. Setelah kembali ke Jakarta dari Rengasdenglok, Soekarno dan Hatta menyusun teks
proklamasi di rumah Laksamana Maeda yang dibantu oleh Achmad Soebardjo dan disaksikan
oleh Soekarni, B.M. Diah, Sudiro (Mbah) dan Sayuti Melik. Setelah konsep selesai, Sayuti Melik
menyalin dan mengetik naskah tersebut. Pada awalnya pembacaan proklamasi akan dilakukan di
Lapangan Ikada, namun berhubung alasan keamanan dipindahkan ke kediaman Soekarno, Jalan
Pegangsaan Timur 56.