ilmu dan teknologi ilmu dan teknologi

ILMU DAN TEKNOLOGI
Oleh:
I Gde Wawan S

A. Pendahuluan
Ilmu sebagai hasil aktivitas manusia yang mengkaji berbagai hal, baik dari diri
manusia itu

sendiri maupun

realitas di

luar dirinya, sepanjang sejarah

perkembangannya sampai saat ini selalu mengalami ketegangan dengan berbagai
aspek lain dari kehidupan manusia. Pada dataran praktis operasional, selalu
diperbincangkan kembali hubungan timbal balik antara ilmu dan teknologi. Ilmu
dapat dipandang sebagai produk, sebagai proses, dan sebagai paradigma etika.
Teknologi adalah ilmu terapan yang telah dikembangkan lebih lanjut, dan
meliputi baik perangkat keras (hardware) maupun perangkat lunak (sofware). Ilmu
dan teknologi, serta pengembangan dan penerapannya, memerlukan pengarahan dan

penilaian. Dipandang dari perangkat nilai-nilai yang dijunjungnya, ilmu menurut
Merton ialah suatu masyarakat yang berpegang pada empat norma, yakni
universalisme, komunilasisme, disinterestedness, dan skeptisme yang terorganisasi.
B. Ilmu dan Nilai-Nilai
Dilihat sebagai proses, ilmu adalah suatu kegiatan sosial, sehingga sejarah
perkembangannya tak bisa dipisahkan dari sejarah perkembangan masyarakat dunia.
Pilihan kita akan pokok-pokok penelitian untuk mengembangkan ilmu sangat
dipengaruhi oleh kepentingan dan oleh sistem nilai kita. Sistem nilai kita
mempengaruhi kesepakatan kita mengenai apa yang kita anggap merupakan
pengetahuan keilmuan.
C. Hakekat Realitas
Dalam gambaran konvensional tentang ilmu, khususnya dalam uraian mengenai
ilmu sebagai proses, sampai pada hakekat alam sebagaimana adanya. Sepotong batu
adalah sesuatu yang nyata, bukan khayalan. Batu, kata Hanbury Brown, adalah
bongkahan zat padat yang lembam dan tegar, yang jika dilemparkan ke jendela kaca

1

akan memecahkan kaca tersebut. Apakah ini berarti bahwa kita telah memahami
sepenuhnya hakekat sepotong batu?

Abtraksi-abtraksi ini sifatnya terbatas dan kita pilih. Terbatas, karena teori kita
dan peranti-peranti pengamatan kita terbatas pada kemampuannya, dan terpilih
karena bagaimana pun kita tak bisa membebaskan kegiatan kita (termasuk keilmuankeilmuan yang membuahkan ilmu) dari nilai-nilai kita. Lebih-lebih lagi kalau kita
sadari bahwa apa yang kita amati, dan karenanya juga hasil pengamatan kita itu,
sedikit banyak juga selalu dipengaruhi oleh pengamatan kita.
D. Pengetahuan
Konsekuensi penerimaan definisi “ilmu” kita ialah, bahwa semua buah pikiran
dan pemahaman kita tentang dunia, yang kita peroleh tanpa melewati daur hipotetikodedukto-verifikatif, adalah bukan ilmu. Itu semua kita namakan “pengetahuan”. Salah
satu ciri teori keilmuan ialah bahwa ia berdaya-ramal. Namun, kendati sama-sama
bergerak dibidang ramal-meramal, “ramalan bintang Anda” adalah bukan ilmu. Itu
lebih disebut pengetahuan, tetapi bukan ilmu. Sebaliknya, ramalan cuaca merupakan
bagian ilmu, yakni Ilmu Metereologi.
Yang penting bukan hanya penyahihannya, melainkan juga cara pelintasan
bagian-bagian lain dari daur hipotetiko-dedukto-verifikatif. Pengimbasan, yang perlu
untuk menurunkan andaian-andaian dasar, harus berpijak di dunia fakta, entah lewat
pengelaman bawah sadar, atau pengamatan yang dilakukan secara sengaja, atau
berkat inspirasi yang tiba-tiba membersit dari khazanah data dan hasil perenungan
yang ada dalam pikiran kita. Ilmu itu, meskipun amat berguna adalah terbatas. Ilmu
tak mampu memberikan pemahaman yang lengkap-menyeluruh tentang hakekat alam
dan pengalaman. Bahkan segi-segi pengalaman yang dapat dijelaskan oleh ilmu justru

bukan aspek yang paling relevan dan bermakna.
Dalam proses penjabaran (deduksi), yang bisa berlangsung semata-mata di
dunia penalaran terjadi abstraksi. Dalam proses abstraksi yang berkelanjutan, semakin
jauh jarak teori dan realitas agar proses itu bisa mengendalikan peristiwa-peristiwa
dengan lambang-lambang yang diciptakan secara keilmuan.

2

E. Komplementaris Antara Ilmu dan Pengetahuan
Melalui abstraksi yang berbeda namun ditarik dari realitas yang sama, dapat
diperoleh konsep-konsep yang amat berlainan dan bahkan saling bertentangan,
tentang hal atau benda yang kita amati. Ilmu dan pengetahuan juga komplementer.
Pengetahuan yang lebih lengkap tentang hakekat sesuatu realitas bisa dicapai lewat
perpaduan antara ilmu dan pengetahuan.
Jaringan struktur-struktur logika yang amat luas, yang dilalui proses
pembangunan teori lewat model dan lambang-lambang yang merupakan abstraksi dan
sekaligus penyederhanaan realitas yang hendak dijelaskan oleh teori tersebut,
membuat ilmu menjadi terbatas dan sempit tempat cakupannya. Perkembanganperkembangan baru dalam penelahaan metode keilmuan menunjukkan tumbuhnya
kesadaran akan kaitan antara ilmu dan matra-matra (dimensions) yang lebih luas dari
pengetahuan manusia dan moral harus memberi arah bagi pengembangan ilmu.

F. Teknologi
Walaupun sangat penting, kini ilmu dasar hanya merupakan bagian yang kecil
saja dari keseluruhan kegiatan keilmuan. Di samping ilmu dasar kita kenal ilmu
terapan. Tujuan keilmuan dalam ilmu terapan bukannya demi kemajuan ilmu itu
sendiri, melainkan untuk memecahkan masalah-masalah praktis dan mengatasi
kesulitan-kesulitan yang dihadapi manusia. Jadi berbeda dari ilmu dasar, yang
tujuannya adalah untuk mengetahui lebih banyak dan memahami lebih mendalam
tentang alam dan segenap isinya.
Hasil-hasil kegiatan ilmu terapan itu masih harus ditransformasikan menjadi
bahan atau peranti atau prosedur atau teknik pelaksanaan sesuatu proses pengolahan
atau produksi. Transformasi ini biasanya disebut kegiatan pengembangan. Tindak
lanjut dan hasil kegiatan pengembangan adalah teknologi. Jadi, teknologi bisa
dipandang sebagai penerapan ilmu. Kemana arah dan terhadap apa atau siapa
penerapan itu dikenakan, amat tergantung pada kepentingan si penguasa teknologi itu
dan nilai-nilai moral etikanya.

3

Jika teknologi itu diabdikan bagi kesejahteraan umat manusia dan terciptanya
masyarakat yang adil, partisifatif dan lestari, teknologi itu amat tinggi nilai dan

manfaatnya. Dalam artian ini, ilmu yang melahirkan teknologi jelas sangat
dibutuhkan manusia untuk mengatasi berbagai masalah, seperti masalah pangan,
energi, kesehatan, dan sebagainya. Seperti dikatakan oleh Francis Bacon, ilmu adalah
kekuasaan. Dan kalau ilmu adalah kekuasaan, maka teknologi merupakan alat
kekuasaan itu. Kekuasaan ilmu dan teknologi itu adalah atas manusia, atas
kebudayaan dan atas alam.
G. Kekuasaan Atas Manusia
Kekuasan ilmu dan teknologi atas manusia ini terutama dirasakan oleh rakyat
yang ditindas oleh sistem-sistem teknologi, baik yang dikendalikan oleh kelompok
asing (perusahaan transnasional, misalnya) maupun oleh kelompok elit bangsanya
sendiri. Penggunaan ilmu dan teknologi dewasa ini dan di masa lampau oleh
masyarakat yang industri dan teknologinya maju demi kepentingan militer dan
ekonominya mendatangkan penderitaan besar kepada rakyat kecil di negara-negara
Dunia Ketiga. Karena itu diperlukan suatu program politik untuk meningkatkan
kemampuan negara-negara yang sedang berkembang dalam ilmu dan teknologi, demi
pemerataan ilmu dan teknologi yang adalah kekuasaan itu.
H. Kekuasaan Atas Kebudayaan
Meskipun ilmu dan teknologi amat didambakan lantaran besarnya manfaat yang
bias diperoleh manusia dari padanya, namun rakyat di negara-negara Dunia Ketiga
sering merasakan dampak ilmu dan teknologi yang merusak atau melunturkan nilainilai kebudayaan yang dijunjung tinggi. Kebudayaan modern yang didominasi oleh

ilmu dan teknologi menciptakan krisis identitas yang gawat. Orang cenderung
merasakan alienasi budaya di masyarakatnya sendiri.
Untuk bisa keluar dari dilema ini, rupanya diperlukan visi spiritual dan kultural
yang bisa “tut wuri handayani” kemajuan ilmu dan teknologi. Visi ini diharapkan bisa
berinteraksi dengan visi keilmuan, dan hasil saling tidak ini mengoreksi

4

kecenderungan-kecenderungan negatif ilmu dan teknologi, sehingga ilmu dan
teknologi muncul dalam bentuk-bentuk yang bermanfaat dan manusiawi.
I. Kekuasaan Atas Alam
Di zaman dahulu, manusia senantiasa menghadapi kekuasaan alam yang
mendominasi kehidupannya. Kemudian dengan akal budi dan usahanya, manusia
mengembangkan ilmu dan teknologi, sehingga hubungan kekuasaan itu kini terbalik.
Pengembangan ilmu demi ilmu itu sendiri tanpa mempedulikan akibat-akibat
sosialnya tak lagi bisa diterima, atau sekurang-kurangnya dipertanyakan apakah bisa
dibenarkan. Pertanyaan mulai dilontarkan, apakah tak sebaiknya ada pengendalian
terhadap kegiatan pengembangan ilmu dan teknologi, dan apakah tak sepantasnya
dilakukan intervensi terhadap bentuk-bentuk dan praktek-praktek penelitian dan
pengembangan yang nampaknya akan menimbulkan akibat destruktif pada

masyarakat.
J. Pengembangan Ilmu dan Teknologi: Pengarahan dan Evaluasinya
Kegiatan pengembangan dan pemanfaatan ilmu dan teknologi adalah sebagai
berikut:
1. Penelitian dasar.
2. Penelitian terapan.
3. Pengembangan teknologi.
4. Penerapan teknologi.
Biasanya keempat langkah tersebut di atas kemudian disusul dengan evaluasi ethispolitis-religius untuk menentukan, apakah hasil ilmu dan teknologi tersebut benarbenar bisa diterima oleh masyarakat luas, apakah pengaruhnya dalam tata kehidupan
masyarakat tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang dijunjung tinggi warga
masyarakat itu.
Dengan semakin menonjolnya arti ilmu dan teknologi sebagai kekuasaan (F.
Bacon), evaluasi susulan itu kian dirasakan tidak memadai, sebab sering terlambat
dan akibat penerapan ilmu dan teknologi itu pada kehidupan manusia telah terlanjur
parah. Pengarahan dan penilaian atas ilmu dan teknologi itu akan lebih mudah

5

dilaksanakan jika kita semua dan warga masyarakat ilmuwan terutama, berpegang
pada pandangan penyaling-tindak kritis (critical interactionist view).

Jika dalam proses pengintegrasian hasil-hasil kegiatan keilmuan itu nilai
teknologis ilmu dievaluasi secara kritis berdasarkan norma universal Bacon, yakni
“menanggulangi masalah kesengsaraan dan memenuhi kebutuhan manusia”, mau tak
mau kita harus meninjau maksud pemanfaatan ilmu dan sistem sosial tempat hasil
kegiatan keilmuan tersebut diterapkan. Interaksi yang kritis di sini berarti
mengembangkan dialog dengan:
1. Fakta: dengan cermat senantiasa diperiksa, apakah kegiatan keilmuwan itu
memenuhi patokan-patokan metodologi ilmiah.
2. Nilai-nilai: dengan perenungan yang mendalam senantiasa ditilik,a pakah
kegiatan keilmuan itu sesuai dengan nilai-nilai luhur yang bersifat
emansifatif-liberatif, dengan kata lain membebaskan dari berbagai belenggu
takhayul, penindasan, dan sebagainya.
3. Manusia: terutama manusia yang secara lebih langsung ikut terlibat, atau
terpengaruh oleh akibat kegiatan keilmuan itu, ini mengisyaratkan
pentingnya partisipasi yang demokratis dalam menentukan kebijakan
keilmuan.
Pandangan ini menerima adanya hubungan saling-tidak yang sifatnya non dualistik
antara ilmuwan dan alam atau lingkungan hidupnya, dan antara ethos masyarakat
ilmuwan dan nilai-nilai kemanusiaan yang diterima masyarakat luas.
K. Penutup

Dari uraian yang tersebut terlihat bahwa ilmu dan teknologi sesungguhnya
merupakan realitas yang kompleks. Masing-masing merupakan jalinan yang rumit
dan berpijak pada dua aspek realitas yang berbeda, yakni aspek abstrak-ideasional
dan aspek konkrit operasional. Mengabaikan salah satu aspek hanya akan
menghasilkan telaah yang timpang.

6

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. (1984). “Filsafat Ilmu, Buku IA, Materi Dasar Pendidikan Program Akta
Mengajar V”. Universitas Terbuka, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan,
Jakarta.
Tim Dosen Filsafat Ilmu. (1996). “Filsafat Ilmu”. Liberty Yogyakarta. Yogyakarta.

7