Dinamika Sosial dan Perkembangan Kejahat

BAB I
PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang
Ketika berbicara tentang kejahatan, maka dalam kehidupan sehari-hari
kejahatan merupakan bagian dari permasalahan yang tidak bisa dipisahkan dari
kehidupan manusia. Kejahatan atau kriminalitas merupakan fenomena sosial
yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, yaitu segala perbuatan yang
melanggar hukum. Hal tersebut telah dikemukakan oleh Frank Tannebaum
dalam preface buku “New Horizon in Criminology” karya Barnes dan Teeters:
“crime is enternal as society”. Manusia sesuai dengan kodratnya lahir dan
hidup dalam kelompok-kelompok tipe dan corak organisasi kemanusiaan, dan
di dalam organisasi kemanusiaan tersebut sifat-sifat manusia tidak selalu
sejalan dengan apa yang dikehendaki oleh tuntutan masyarakat, termasuk dalam
hal ini perilaku manusia yang menyimpang yang dinamakan dengan kejahatan.
Dari hal ini nampak bahwa kejahatan sama sekali tidak dikehendaki oleh
masyarakat, tetapi justru kejahatan itu selalu ada dan dilakukan oleh anggota
masyarakat itu sendiri.
Dengan demikian kejahatan itu tumbuh dan berkembang dalam

masyarakat karena kejahatan sebagai salah satu bentuk tingkah laku mengalami
perkembangan yang sejajar dengan perkembangan masyarakat itu sendiri.
Dalam mendefinisikan kejahatan perlu adanya suatu ilmu yang mempelajari
tentang gejala-gejala kejahatan, dan sejauh mana perbuatan itu bisa
digolongkan dalam kejahatan.
Romli Atmasasmita, mengemukakan bahwa:
“Perbedaan luas sempitnya batasan yang diberikan tergantung dari sudut
mana kejahatan tersebut dipandang. Lazimnya ada sementara anggapan
dikalangan para ahli bahwa pandangan kejahatan dari segi yuridis
menghendaki batasan dalam arti sempit, yakni kejahatan sebagai mana
1

diatur dalam ketentuan undang-undang. Sedangkan dalam arti luas
adalah menghendaki tidak hanya batasan dalam pengertian undangundang, melainkan meliputi pengetian kejahatan dalam arti sosiologi dan
psikologi”
Mengenai kedua pandangan tersebut, dalam kriminologi disebut dengan
“Legal Definition Of Crime” dan “Nonlegal Definition of Crime” dapat
didefinisikan, pandangan pertama memandang kejahatan dalam arti sempit,
maksudnya hal-hal apa yang dilarang dalam undang-undang adalah kejahatan.
Sedangkan pandangan yang terakhir memandang kejahatan dalam arti luas,

artinya suatu perbuatan merupakan kejahatan tidak hanya merupakan hal-hal
yang dilarang undang-undang, tetapi setiap perbuatan yang bertentangan
dengan norma-norma lain yang ada di masyarakat.
Seperti yang telah disampaikan di atas bahwa kejahatan merupakan gejala
sosial yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat. Dalam kehidupan
masyarakat sudah merupakan suatu kenyataan bahwa dimana ada perbuatan
disitu pula ada akibatnya, ada aksi maka ada reaksi. Maka dari itu makalah ini
mencoba memaparkan penjelasan secara umum mengenai “Reaksi Masyarakat
Terhadap Kejahatan” dan sub pokok bahasan yang tertuang dalam pokok
pembahasan
B.

Pokok Pembahasan
Makalah ini secara umum membahas mengenai reaksi masyarakat
terhadap kejahatan dengan didasari pada beberapa hal, antara lain:
1. Teori struktur sosial tentang kejahatan
2. Hubungan kejahatan dan masyarakat
3. Penjelasan reaksi masyarakat terhadap kejahatan
4. Dinamika sosial dan perkembangan kejahatan di Indonesia
BAB II

PEMBAHASAN

2

A.

Teori Struktur Sosial tentang Kejahatan
Di dalam khasanah Kriminologi terdapat sejumlah teori yang dapat
dikelompokkan ke dalam kelompok teori yang menjelaskan peranan dari faktor
struktur sosial dalam mendukung timbulnya kejahatan, antara lain:
1. Teori Differential Association
Teori Differential Association dari Sutherland, pada

pokoknya,

mengetengahkan suatu penjelasan sistematik mengenai penerimaan polapola kejahatan. Kejahatan dimengerti sebagai suatu perbuatan yang dapat
dipelajari melalui interaksi pelaku dengan orang-orang lain dalam
kelompok-kelompok pribadi yang intim. Proses belajar itu menyangkut
teknik-teknik untuk melakukan kejahatan, motif-motif, dorongan-dorongan,
sikap-sikap dan pembenaran-pembenaran argumentasi yang mendukung

dilakukannya kejahatan.
2. Teori Kontrol Sosial
Teori Kontrol Sosial menyatakan bahwa ada suatu kekuatan pemaksa di
dalam masyarakat bagi setiap warganya untuk menghindari niat melanggar
hukum. Dalam kaitan ini ada beberapa konsep dasar dari Kontrol Sosial
yang bersifat positif, yakni Attachment, Commitment, Involvement, dan
Beliefs, yang diyakini merupakan mekanisme penghalang bagi seseorang
yang berniat melakukan pelanggaran hukum.
3. Teori Label
Munculnya teori Labeling menandai mulai digunakannya metode baru untuk
mengukur atau menjelaskan adanya kejahatan yaitu melalui penelusuran
kemungkinan dampak negatif dari adanya reaksi sosial yang berlebihan
terhadap kejahatan dan pelaku kejahatan. Konsep teori labeling menekankan
pada dua hal, pertama, menjelaskan permasalahan mengapa dan bagaimana
orang-orang tertentu diberi label, dan kedua, pengaruh dari label tersebut
sebagai suatu konsekuensi dari perbuatan yang telah dilakukan oleh pelaku
kejahatan.
4. Teori Anomie
Teori Anomie dari Merton menjelaskan aspek ketiadaan norma dalam
masyarakat karena adanya jurang perbedaan yang lebar antara aspirasi dalam

3

bidang ekonomi yang melembaga dalam masyarakat dengan kesempatankesempatan yang diberikan oleh struktur sosial kepada warga masyarakatnya
untuk mencapai aspirasi tersebut.
5. Teori Frustasi
Pada dasarnya teori ini menjelaskan aspek subkebudayaan yang terdapat
dalam kebudayaan induk (dominan) masyarakat tertentu, yang karena
muatan nilai dan normanya yang bertentangan dengan kebudayaan induk
(dominan) tersebut, dapat menimbulkan suatu pola perilaku kriminal.
B.

Hubungan Kejahatan dan Masyarakat
Mempelajari kejahatan haruslah menyadari bahwa pengetahuan kita
tentang batasan dan kondisi kejahatan didalam masyarakat mempunyai sifat
relatif. Relativisme kejahatan tersebut dapat dilihat dari berbagai aspek, yakni
adanya ketertinggalan hukum karena perubahan nilai sosial dan perkembangan
perilaku masyarakat, adanya perbedaan pendekatan tentang kejahatan --di mana
di satu sisi memakai pendekatan legal dan di sisi lain memakai pendekatan
moral-- serta adanya relativisme dilihat dari sisi kuantitas kejahatan.
Adanya kejahatan di dalam masyarakat antara lain menimbulkan gejala

fear of crime dari anggota masyarakat. Fear of Crime sendiri diartikan sebagai
kondisi ketakutan dari anggota masyarakat yang potensial menjadi korban
kejahatan atau merasa dirinya rentan dalam hal dikenai ancaman kejahatan atau
kejahatan. Jadi sebenarnya fear of crime itu sangat perceptual (tergantung
bagaimana individu yang bersangkutan mengukur kerentanan dirinya untuk
menjadi korban kejahatan).
Analisis resiko menjadi penting dalam memahami hubungan antara
pelaku dan korban dalam terjadinya suatu kejahatan. Dalam penilaian risiko
dapat digambarkan hubungan antara korban dan gaya hidupnya yang akhirnya
membawa pelaku kejahatan kepada korban. Namun masalahnya adalah tidak
semua pihak yang terviktimisasi menyadari bahwa mereka sebenarnya
merupakan korban dari suatu kejahatan.

4

Untuk lebih terperinci dan jelas mengenai kejahatan kaitannya dengan
masyarakat kita dapat mengacu pada Teori Tempat Kejahatan dan Teori
Aktivitas Rutin,
Hasil pengamatan Shaw, McKay dan Stark menunjukkan bahwa
kejahatan tidak akan muncul pada setiap masalah sosial yang ada namun

kejahatan akan muncul andai kata masalah sosial tertentu mempunyai kekuatan
yang mendorong aspek-aspek kriminogen.
Teori Stark tentang tempat kejahatan memberi beberapa penjelasan
tentang

mengapa

kejahatan

terus

berkembang

sejalan

dengan

perubahan/perkembangan di dalam populasi. Para ahli yang mengkaji tradisi
disorganisasi sosial sudah sejak lama memusatkan perhatian pada tiga aspek
korelatif kejahatan ekologis, yaitu kemiskinan, heterogenitas kesukuan, dan

mobilitas permukiman. Tetapi aspek korelatif tersebut, saat ini, sudah diperluas
lagi untuk menguji dampak dari faktor tambahan seperti keluarga, singleparent, urbanisasi, dan kepadatan structural.
Stark memberlakukan lima variabel yang diyakini dapat mempengaruhi
tingkat kejahatan di dalam masyarakat, yakni kepadatan, kemiskinan,
pemakaian fasilitas secara bersama, pondokan sementara, dan kerusakan yang
tidak terpelihara. Variabel tersebut dihubungkan dengan empat variabel lainnya,
yakni moral sisnisme di antara warga, kesempatan melakukan kejahatan dan
kejahatan yang meningkat, motivasi untuk melakukan kejahatan yang
meningkat, dan hilangnya mekanisme kontrol sosial.
Teori Aktivitas Rutin menjelaskan bahwa pola viktimisasi sangat terkait
dengan ekologi sosial. Studi yang dilakukan menunjukkan secara jelas
hubungan antara pelaku kejahatan, korban, dan sistem penjagaan.
C.

Reaksi Masyarakat Terhadap Kejahatan
Kejahatan merupakan suatu perbuatan yang merugikan masyarakat
sehingga terhadapnya diberikan reaksi yang negatif. Studi mengenai reaksi
masyarakat terhadap kejahatan bertujuan untuk mempelajari pandangan serta
tanggapan masyarakat terhadap perbuatan-perbuatan atau gejala yang timbul di
5


masyarakat yang dipandang sebagai perbuatan yang merugikan atau
membahayakan masyarakat luas, akan tetapi undang-undang belum bisa
mengaturnya. Berdasarkan studi ini bisa dihasilkan apa yang disebut sebagai
kriminalisasi, dekriminalisasi atau depenalisasi.
Studi mengenai reaksi masyarakkat terhadap kejahatan ini bagi
masyarakat kita sangat penting bagi pembentukan hukum baru dikarenakan
KUHP kita merupakan peninggalan pemerintah kolonial. Masyarakat kita yang
terdiri dari berbagai suku dengan nilai sosialnya yang berbeda-beda, serta
pengaruh industrialisasi dan perdangangan pada dasawarsa terakhir ini telah
memunculkan fenomena kejahatan yang baru. Dengan perkembangan
kriminologi setelah tahun 1960-an, yaitu sebagai pengaruh berkembangnya
perspektif labeling dan kriminologi kritis, studi mengenai reaksi masyarakat ini
terutama diarahkan untuk mempelajari proses bekerjanya (dan pembuatan)
hukum, khususnya bekerjanya apparat penegak hukum.
Reaksi sendiri memiliki pengertian yaitu upaya menghindarkan diri dari
kenyataan, berusahan untuk memberantasnya melalui tindakan balasan
terhadap berbagai penyimpangan atau kejahatan yang terjadi. Adapun macammacam reaksi masyarakat terhadap kejahatan, antara lain:
1. Reaksi Represif
Secara singkat pengertian reaksi atau tindak represif adalah tindakan

yang

dilakukan

oleh

masyarakat

(formal)

yang

ditujukan

untuk

menyelesaikan kasus atau peristiwa kejahatan yang telah terjadi, guna
memulihkan situasi dengan pertimbangan rasa keadilan dan kebenaran yang
dijunjung tinggi. Umumnya masyarakat melakukan tindakan represif
terhadap kejahatan cenderung diikuti oleh luapan emosi, yang disebut

pembalasan dengan kekerasan. Ada beberapa kasus reaksi terhadap
kejahatan melalui tindakan dilakukan para masyarakat tanpa berpikir
panjang dengan memutuskan hukuman dengan lingkungan mereka sendiri
karena akal yang sudah tidak terkontrol lagi.

6

Untuk menanggapi reaksi masyarakat tersebut perlu adanya kerja sama
yang baik antara aparat penegak hukum dengan masyarakat disamping
melibatkan para ahli kriminoligi. Salah satu contoh kasusnya adalah ketika
seorang maling kedapatan sedang melakukan pencurian maka masyarakat
langsung menangkap dan menghakiminya sampai babak belur.
2. Reaksi Preventif
Reaksi atau tindak preventif adalah tindak pencegahan agar kejahatan
tidak terjadi. Artinya segala tindak-tindak pengamanan dari ancaman
kejahatan adalah prioritas dari reaksi preventif ini. Menyadari pengalamanpengalaman waktu lalu bahwa kejahatan adalah suatu perbuatan yang sangat
merugikan masyarakat maka anggota masyarakat berupaya untuk mencegah
agar perbuatan tersebut tidak dapat terjadi.
3. Reaksi Formal
Reaksi formal terhadap kejahatan adalah reaksi yang diberikan kepada
pelaku kejahatan atas perbuatannya, yakni melanggar hukum pidana, oleh
pihak-pihak yang diberi wewenang atau kekuatan hukum untuk melakukan
reaksi tersebut. Sebagai suatu sistem pengendali kejahatan maka secara rinci,
tujuan sistem peradilan pidana, dengan demikian antara lain:
a. Mencegah agar masyarakat tidak menjadi korban kejahatan,
b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas
bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana, serta
c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak
mengulangi kejahatannya.
Reaksi Formal ini juga dapat disebut sebagai reaksi masayarakat yang
resmi atau yang didasari kekuatan hukum (pidana). Menurut R. Soesilo,
kejahatan dapat dibedakan menjadi dua pengertian yaitu kejahatan secara
yuridis dan kejahatan secara sosiologis. Ditinjau dari sudut yuridis suatu
perbuatan atau tingkah laku yang bertentangan dengan UU. Untuk
memastikan perbuatan tersebut bertentangan dengan UU ada azas yang
berlaku yang dikenal dengan “nullum delictum nulla poena siane proviea”

7

artinya, tiada suatu perbuatan boleh dijatuhi hukuman selain berdasarkan
ketentuan perundang-undangan yang sudah ada sebelumnya.
4. Reaksi Informal
Reaksi ini merupakan salah satu upaya melakukan kontrol dari
masyarakat. Reaksi informal dilakukan bukan oleh aparat penegak hukum
tetapi oleh warga masyarakat biasa, jadi tidak tergantung pada lembagalembaga pemerintah. Masyarakat biasa di samping telah mendelegasikan
haknya kepada aparat penegak hukum berhak saja bereaksi terhadap
kejahatan dan penjahat sebatas mereka tidak melanggar peraturan yang ada.
Reaksi informal ini hampir sama dengan reaksi preventif. Perbedaan secara
umum adalah reaksi informal ini menekankan pada pengawasan dari diri
masing-masing.
Dalam kasanah kriminologi, reaksi informal dari masyarakat itu lebih
dikenal sebagai tindak kontrol sosial informal. Studi-studi memperlakukan
beberapa aspek dari kontrol sosial informal pada tingkat komunitas
ketetanggaan yang digunakan untuk membangun tipologi dari definisi
operasional dari kontrol sosial informal. Definisi operasional ditemui dalam
dua dimensi yaitu; bentuk dan tempat.
Reaksi masyarakat terhadap kejahatan juga memiliki 2 aspek yaitu aspek
positif dan negatif. Aspek reaksi masyarakat tersebut ditinjau secara sosiologis
yang nantinya akan mempengaruhi reaksi masyarakat itu sendiri terhadap
kejahatan yang terjadi, berikut penjelasannya:
1. Aspek Positif
a. Reaksi tersebut dengan melakukan pendekatan kemasyarakatan sesuai
dengan latar belakang terjadinya suatu tindakan kejahatan.
b. Reaksi dengan melakukan kerja sama dengan aparat penegak hukum.
c. Tujuan penghukuman, yaitu pembinaan dan penyadaran atas pelaku
kejahatan.
d. Mempertimbangkan sebab-sebab dilakukannya suatu tindakan kejahatan.
2. Aspek Negatif
a. Reaksi dilakukan karena luapan emosional
8

b. Reaksi dilakukan karena ketentuan lokal yang berlaku dalam masyarakat
c. Tujuan penghukuman cenderung bersifat pembalasan/dendam
d. Relatif lebih sedikit pertimbangan latar belakang kenapa kejahatan itu
dilakukan
Terdapat beberapa perspektif yang menjadi landasan masyarakat dalam
memberikan reaksi terhadap kejahatan itu sendiri. Adapun landasan persepektif
tersebut antara lain:
1. Landasan Perspektif Hukum
Banyak anggapan ketidakadilan bagi masyarakat akan kekerasan dan
kekejaman hukum terhadap pelaku kejahatan, sejauh tujuan hukuman itu
bukanlah untuk menyiksa atau menakuti masyarakat melainkan untuk
mempertahankan

dan

meningkatkan

kebahagiaan

dan

ketenteraman

masyarakat. Oleh karena itu perspektif hukum merupakan landasan bagi
masyarakat dalam usaha menanggulangi dan memerangi kejahatan.
2. Landasan Perspektif Sosiologis
Tindakan penghukuman yang diberikan masyarakat kepada pelaku
kejahatan atas dasar ketentuan mores atau adat istiadat maupun nilai dan
norma yang berlaku di dalam kelompok masyarakat. Jadi baik buruknya
perilaku

seseorang sangat ditentukan

oleh pergaulannya

di dalam

masyarakat.
Berpijak dari kenyataan, penghukuman masyarakat terhadap pelaku
kejahatan haruslah dengan mempertimbangkan latar belakang dilakukannya
tindakan kejahatan. Salah satu sebab mengapa orang menjadi penjahat
karena pengawasan masyarakat yang terlalu ketat atau otoriter dalam
kepemimpinannya, bagi masyarakat yang menganut sistem demokrasi
dirasakan sebagai pengekangan, akhirnya melakukan kompensasi yang
kontradiktif. Oleh karena itu penghukuman perlu mempertimbangkan nilainilai kemasyarakatan yang tujuannya untuk perlindungan terhadap
masyarakat demi masa depannya dari pada melampiaskan dendam kepada
pelaku kejahatan.
9

Landasan ini bukan hanya ditujukan pada penegak hukum dan
pengamat kejahatan tetapi juga kepada masyarakat disaat berhadapan dengan
pelaku kejahatan. Selanjutnya bagi masyarakat untuk mengadakan reaksi
terhadap pelaku kejahatan adalah dengan mempertimbangkan sikap dan
perilaku sosial supaya dapat menciptakan kondisi yang serasi untuk
memungkinkan adanya tingkah laku sosial yang baik dan positif. Pelaku
kejahatan yang yang telah dapat dikuasai masyarakat untuk dapat menjalani
kehidupan yang wajar, harus dilibatkan kedalam kegiatan misalnya, yang
menyangkut hak dan kerja sama dalam kepemimpinan tertentu.
Menurut Emile Durkheim, penghukuman penjahat bukan untuk
mematikan atau membunuh masa depannya tetapi justru berusaha untuk
menghidupkan kembali semangat jiwanya agar dapat kembali seperti warga
masyarakat yang wajar. Jadi secara perspektif sosiologis, suatu tindakan
yang dilakukan secara

manusiawi akan lebih adil dalam upaya

mengembalikan keseimbangan moral dan sosial yang terganggu, baik bagi
pelaku kejahatan maupun bagi masyarakat pada umumnya.
3. Landasan Perspektif Psikologis
Menurut Kinberg dalam Stephen Hurwitz (1986) psikologi kriminal
dapat dibedakan atas tiga bagian, antara lain:
a. Secara objektif, menitik beratkan kepada sifat bekerjanya (fungsi
penjahat, tingkat kecerdasannya dan sifat keperibadiannya)
b. Secara subjektif, tertuju kepada pengalaman si penjahat selama persiapan
psikologis suatu kejahatan. Reaksi psikisnya terhadap rangsangan hingga
ia berbuat, reaksi sesudah perbuatan pidana dan sikap moral terhadap
kejahatan
c. Secara sosial, untuk mempelajari dampak dari faktor-faktor sosial
psikologis

kriminal

terhadap

individu

selama

kanak-kanak

dan

perkembangan selanjutnya.
Menurut Hurwitz (1986) perbuatan kejahatan yang dilakukan oleh
seseorang karena adanya pertentang pikiran yang tidak didasari. Oleh karena

10

itu dorongan untuk berbuat jahat bisa ditekan dan diarahkan kepada konpensasi
yang bermanfaat bagi dirinya sendiri maupun buat masyarakat umum. Dengan
demikian masyarakat mempunyai kemampuan untuk mengatasi setiap perilaku
kejahatan yang timbul dengan menggunakan landasan psikologis.

D.

Dinamika Sosial dan Perkembangan Kejahatan di Indonesia
Indonesia merupakan salah satu negara dengan keberagaman kultur yang
sangat banyak dan berbeda-beda di setiap daerah. Hal tersebut menyebabakan
perbedaan nilai dan norma yang dianut dalam setiap daerah. Perbedaan tersebut
menjadi landasan paling dasar dalam perkembangan dan dinamika masyarakat
itu sendiri. Tingkatan dan perbedaan dalam strukstur sosial yang ada pada
masyarakat Indonesia juga mampu memberikan andil dalam dinamika sosial
masyarakat. Dalam segi struktur sosial, secara umum masyarakat Indonesia
terbagi menjadi 2 yaitu struktur sosial tradisional dan struktur sosial modern.
Struktur sosial tradisional melembaga dalam kehidupan masyarakat
pedesaan, yang diliputi perasaan dan ikatan batin yang berdasarkan statusnya
yaitu berdasarkan genealogis yang berkembang ke arah kesatuan-kesatuan
sosio-politik yang bersifat teritorial dan kekerabatan yang hidup dalam
persekutuan hukum adat yang menyebar di seluruh nusantara Indonesia.
Golongan ini mengalami

kehidupan kelompok yang harmonis dan wajar,

kelompok ini sebagai suatu organisasi kepemimpinannya, mempunyai hak
milik (keduniawian, sakral). Sedangkan struktur masyarakat modern merupakan
jaringan hubungan antara manusia dalam hal untuk pencapaian statusnya
bersifat objektif dan rasional, oleh karena itu disini berkembang lembagalembaga sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan yang tata pelaksanaannya
menggunakan prinsip-prinsip ilmu penegtahuan modern. Struktur masyarakat
modern ini adalah pola kehidupan dalam masyarakat perkotaan dimana

11

pertumbuhan kota di Indonesia mulai dari zaman penjajahan sampai
berkembang di abad sekarang ini.
Dinamika dalam kedua struktur sosial tersebut menyebabkan adanya
pergeseran nilai sosial budaya artinya terdapat suatu perubahan atau pergeseran
struktural sosial dan sistem sosial pada suatu masyarakat tertentu. Terdapat
beberapa proses pergeseran nilai sosial budaya yang terjadi dalam struktur
masyarakat Indonesia seperti pergerseran identitas yang berupa perubahan
kesadaran dari bagian suku menjadi bagian dari negara. Selanjutnya adalah
pergeseran sistem ekonomi yang berawal dari sistem tradisional menjadi
modern. Pergeseran pranata sosial juga menjadi proses pergeseran nilai sosial
budaya yang dipengaruhi oleh semakin meningkatnya mobilitas sosial.
Pergeseran orientasi nilai budaya tradisional menjadi modern dan norma hukum
adat menjadi hukum nasional walaupun kurang berjalan lancar.
Seiring dengan berkembangnya kondisi sosial masyarakat Indonesia
berkembang juga pola kriminalitas di Indonesia. Pola dan perkembangan
kriminalitas di Indonesia dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu bahwa
gangguan bersifat tradisional pada masyarakat desa seperti pencurian dan
pembunuhan. Sedangkan pola perkembangan kejahatan yang lain adalah bentuk
gangguan yang timbul bersamaan dengan modernisasi pada umumnya dan
masalah perkotaan khususnya yang sering disebut dengan kriminalitas kota.
Bentuk gangguan tersebut biasanya disebabkan oleh proses urbanisasi seperti
keberadaan tuna karya, tuna wisma, dan slum area; Mobilitas kota seperti
kemacetan, peningkatan jumlah kendaraan sehingga adanya tindak pencurian
kendaraan bermotor; Globalisasi seperti narkoba, trafficking, dan tindakan
terror; dan Musiman seperti kebakaran dan banjir.
Oleh karena itu kecenderungan perkembangan kejahatan pada masa
mendatang di Indonesia dipengaruhi oleh norma dan nilai-nilai yang berlaku
dalam masyarakat, penerimaan pertumbuhan teknologi, hubungan dan kontak
sosial yang terjadi antar budaya baik regional, nasional maupun internasional

12

serta tingkat sosialisai yang terjadi dalam bentuk norma dan nilai-nilai yang
relevan bagi tata sosial kehidupan sosial masyarakat.

13

BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan studi literatur mengenai pokok pembahasan pada makalah ini yaitu
reaksi masyarakat terhadap kejahatan maka dapat disimpulkan bahwa kejahatan
merupakan bagian dari dinamika masyarakat itu sendiri. Penyimpangan nilai yang
berlaku di masyarakat dapat menjadi potensi terjadinya perilaku kejahatan yang
mampu merugikan pelaku kejahatan itu sendiri maupun masyarakat. Masyarakat itu
sendiri memiliki peran penting dalam mengendalikan tindak kejahatan yaitu melalui
reaksi. Reaksi masyarakat terhadap kejahatan sendiri menjadi sebuah kontrol dan
menjelaskan seberapa pentingnya sanksi sosial terhadap pelaku kejahatan.
Reaksi masyarakat terhadap kejahatan itu sendiri di dasarkan pada beberapa
landasan yang mempengaruhi persepektif masyarakat itu sendiri. Nilai dan norma
maupun ada istiadat yang dianut oleh suatu masyarakat mampu mempengaruhi reaksi
masyarakat terhadap suatu tindak kejahatan. Maka dari itu perspektif dan reaksi suatu
masyarakat mengenai suatu kejahatan bersifat relatif dan dinamis. Reaksi masyarakat
secara umum juga mampu membentuk suatu nilai baru atau hukum baru yang berlaku
di masyarakat. Selain nilai dan norma yang dianut oleh masyarakat, perkembangan
kondisi masyarakat serta dinamika sosial yang terjadi mampu memberikan pengaruh
yang nantinya menggeser dan merubah perspektif serta reaksi masyarakat terhadap
kejahatan yang terjadi.

14

DAFTAR PUSTAKA
Hurwitz, Stpehen. 1986. Kriminologi. Jakarta: Rineka Cipta
Romli Atmasasmita. 2001. Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia & Penegakan
Hukum. Bandung: Mandar Maju
Kartini Kartono. 2001. Patologi Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Sumber lain:
http://fisip.ilearn.unand.ac.id/pluginfile.php/1045/mod_resource/content/1/S0SIOLO
GI%20KRIMINALITAS.pdf diakses pada 08/02/2017 11:31

15