MAKALAH HUKUM INTERNASIONAL ROMBEL 5.doc

KASUS SENGKETA PULAU SIPADAN DAN LINGITAN ANTARA INDONESIA DAN
MALAYSIA

Disusun Oleh :
1. Durotun Nafiah

8111416085

2. Ikhda Zikra

UNIVERSITAS NEGRI SEMARANG
FAKULTAS ILMU HUKUM
2017

1

8111416096

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan Semesta Alam
karena atas izin dan kehendakNya jualah makalah sederhana ini dapat kami

rampungkan tepat pada waktunya.
Penulisan dan pembuatan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas
mata kuliah Hukum Internasional adapun yang kami bahas dalam makalah
sederhana ini mengenai Kasus Sengketa Pulau Sipadan dan Lingitan Antara
Indonesia dan malaysia.
Dalam penulisan makalah ini kami menemui berbagai hambatan yang
dikarenakan terbatasnya Ilmu Pengetahuan kami mengenai hal yang berkenan
dengan penulisan makalah ini.
Oleh karena itu sudah sepatutnya kami berterima kasih kepada dosen yang
telah memberikan tugas mata kuliah hukum dan ham yakni yaitu bapak
Ridwan Arif yang telah memberikan limpahan ilmu berguna kepada kami.
Kami menyadari akan kemampuan kami yang masih amatir

dalam

makalah ini kami sudah berusaha semaksimal mungkin tapi kami yakin
makalah ini masih banyak kekurangan disana-sini.
Oleh karena itu kami mengharapkan saran dan juga kritik membangun
agar lebih maju di masa yang akan datang.
Harap kami, makalah ini dapat menjadi track record dan menjadi

referensi bagi kami dalam mengarungi masa depan kami juga berharap agar
makalah ini dapat berguna bagi orang lain yang membacanya.

Semarang,15 Oktober 2017

Tim Penyusun
2

DAFTAR ISI
COVER...................................................................................................................
1
KATA PENGANTAR...............................................................................................2
DAFTAR
ISI...........................................................................................................3
TAFTAR TABEL atau GAMBAR, PUTUSAN.............................................................4
BAB

1

PENDAHULUAN...........................................................................................5

1.1

Latar
Belakang................................................................................................6

1.2

Rumusan
Masalah...........................................................................................6

1.3

Tujuan
Penulisan.............................................................................................6

BAB

2

PEMBAHASAN............................................................................................7

A.Penyelesaian

Kasus

Sipadan

dan

Ligitan

sesuai

Prosedur

Hukum

Internasional.......7,8,9,10
B.

Penyebab


Indonesia

Kalah

dalam

Sengketa

Hukum

Internasional............................11,12
C.Sikap yang diambil Indonesia untuk

kedepannya

dalam kasus yang

serupa...............13,14
BAB


3

PENUTUP...................................................................................................15
KESIMPULAN......................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................15

3

DAFTAR TABEL atau GAMBAR

GAMBAR 1 : peta pulau sipandan dan linggitan
DAFTAR PUTUSAN KASUS
Pada tahun 1998 masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ,
kemudian pada hari Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan
tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia
dengan

Malaysia.


Hasilnya,

dalam

voting
4

di

lembaga

itu,

Malaysia

dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada
Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara
satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia.
Kemenangan


Malaysia,

oleh

karena

berdasarkan

pertimbangan effectivity(tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan
teritorial dan batas-batas maritim), pemerintah Inggris (penjajah Malaysia)
telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan
ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan
telur

penyu

sejak

tahun


1930,

dan

operasi mercusuar sejak

1960-an.

Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi
pertimbangan,

serta

penolakan

berdasarkan

chain

of


title

(rangkaian

kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan batas di
perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di selat Makassar.

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Laut merupakan salah satu sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan

oleh manusia melalui negara untuk memenuhi dan mewujudkan kesejahteraan
rakyat. Pada zaman dahulu laut dapat dimanfaatkan oleh setiap Negara yang
ingin memanfaatkannya, namun dengan adanya rezim hukum laut menurut
UNCLOS 1982 yang berisi berbagai peraturan dan pembatasan bagi setiap
Negara untuk memanfaatkan sumber daya alam berupa laut

Terjadinya perebutan Pulau Sipadan dan Ligitan antara Indonesia dan
Malaysia dikarenakan Malaysia menganggap Sipadan dan Ligitan itu adalah
milik Malaysia asal muasalnya adalah Pulau Sipadan dan Ligitan tersebut
dibagi lewat perjanjian konvensi pada tahun 1891 yaitu antara negara Belanda
dan Inggris.
Namun disini Inggris lah yang pada akhirnya melakukan eksploitasi
terhadap Sipadan dan Ligitan dengan membangun aktivitas penangkaran
5

penyu dan ekspoitasi sumber daya alam serta membangun resort pada tahun
1988. Seiring dengan dimerdekakannya Malaysia. Apa yang di miliki oleh
Inggris

dianggap oleh Malaysia

sebagai milik

Malaysia karena

Inggris

memberikan daerah penjajahanya kepada pemerintahan Malaysia.
Malaysia berasumsi bahwa apa yang telah Inggris berikan adalah miliknya,
dan Malaysia pun melanjutkan penangkaran penyu, sumber daya alam, dan
membangun resort pada tahun 1988. Namun hal ini ternyata menimbulkan
kontroversi antara pihak Malaysia dan Indonesia. Indonesia mengklaim bahwa
Pulau Sipadan dan Ligitan merupakan daerah kedaulatan Indonesia, bukan
milik

Malaysia.

Secara

ekonomis,

Malaysia

yang

telah

melakukan

pembangunan di kedua pulau tersebut menganggap bahwa hak untuk memiliki
Pulau Sipadan dan Ligitan adalah hak Malaysia Permasalahan ini pun tidak bisa
diselesaikan oleh kedua belah pihak sehingga sengketa kedua pulau ini dibawa
ke Mahkamah Internasional.
Di mahkamah internasional, kedua pihak baik Indonesia maupun Malaysia
melakukan

berbagai

usaha

persuasive

dan

meyakinkan

mahkamah

internasional bahwa mereka berhak untuk memiliki kedua pulau tersebut,
Mahkamah Internasional memutuskan bahwa Malaysia yang berhak atas
kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan tersebut kasus yang akan dibahas
tentang perebutan pulau dengan negara tetangga yaitu Malaysia yang masih
berada satu kawasan dengan Indonesia.
Konflik Sipadan dan Ligitan adalah persengketaan Indonesia dan Malaysia
atas pemilikan terhadap kedua pulau yang berada di Selat Makassar yaitu
pulau Sipadan (luas: 50.000 meter²) dengan koordinat: 4°6′52,86″LU 118°37′
43,52″BT dan pulau Ligitan (luas: 18.000 meter²) dengan koordinat: 4°9′LU
118°53′BT. Sikap Indonesia semula ingin membawa masalah ini melalui Dewan
Tinggi ASEAN namun akhirnya sepakat untuk menyelesaikan sengketa ini
melalui jalur hukum Mahkamah Internasional untuk itulah diperlukan satu
sistem perpolitikan yang mengatur hubungan antar negara-negara yang
letaknya berdekatan diatas permukaan bumi ini.
Sistem politik tersebut dinamakan geopolitik yang mutlak dimiliki dan
diterapkan oleh setiap negara di sekitarnya tak terkecuali Indonesia pun harus
memiliki

sistem

geopolitik

yang

cocok
6

diterapkan

dengan

kondisi

kepulauannya yang unik dan letak Geografi. 73 negara Indonesia diatas
permukaan planet bumi Geopolitik Indonesia tiada lain adalah wawasan
nusantara. Wawasan nusantara tidak mengandung unsur-unsur kekerasan,
cara pandang bangsa Indonesia tentang diri dan lingkungannya berdasarkan
ide nasionalnya yang dilandasi pancasila dan UUD 1945 yang merupakan
aspirasi bangsa Indonesia yang merdeka, berdaulat, dan bermartabat serta
menjiwai tata hidup dan tindak kebijaksanaanya dalam mencapai tujuan
nasional.
Dalam hal ini sebagai warga negara Indonesia yang baik yang menerapkan
geopolitik wajib ikut untuk melestarikan dan menjaga keutuhan wilayah negara
dan tidak dapat dipungkiri di Indonesia bergulir konflik perebutan Pulau
Sipadan dan Ligitan dengan Negara tetangga yaitu Malaysia. Sebenarnya
antara Indonesia dengan Malaysia tidak hanya terjadi konflik perebutan Pulau
atau wilayah negara saja tetapi pernah juga terjadi konflik perebutan
kebudayaan,makanan khas,lagu-lagu daerah dan yang terus bergulir dalam
konflik perebutan pulau ini salah satunya Pulau Sipadan dan Ligitan.
1.2

Rumusan Masalah

Berdasarkan
1. Apakah penyelesaian kasus Sipadan dan Ligitan itu sudah sesuai dengan
prosedur Hukum Internasional ?
2. Apa penyebab Indonesia kalah dalam sengketa tersebut?
3. Bagaimana sikap yang seharusnya diambil Indonesia untuk kedepannya
dalam kasus yang serupa?
1.3

Metode Penulisian
Metode dan teknik penulisan yang digunakan dalam penulisan karya tulis ini

adalah metode studi pustaka. Studi pustaka dilakukan untuk mendapatkan
data dan informasi yang bersifat teoritis yang kemudian data tersebut akan
dijadikan dasar atau pedoman untuk melihat adanya ketidaksesuaian antara
teori dengan kenyataan sebagai penyebab dari permasalahan yang dibahas
dalam karya tulis ini. Sumber – sumber yang dijadikan sebagai rujukan untuk
studi pustaka diperoleh dari berbagai sumber bacaan.
BAB 2
PEMBAHASAN
7

A.Penyelesaian Kasus Sipadan dan Ligitan sesuai Prosedur Hukum
Internasional
Awalnya indonesia hanya ingin menyelesaikan konflik ini melalui ASEAN, dan
selalu menolak untuk memmbawa masalah ini ke International Court of Justice
(ICJ) pun melunak dan berubah dari pendirian awal. Pada saat itu Indonesia
dipimpin oleh Presiden Soeharto mengadakan pertemuan dengan Perdana
Menteri

Malaysia

Mahathir

pada

tahun

1996,

dan

mereka

membuat

kesepakatan “Final and Binding” yang menyetujui untuk membawa kasus ini ke
ICJ dan Indonesia meratifikasi perjanjian tersebut tanggal 29 Desember 1997
dengan Keppres Nomor 49 Tahun 1997. Lalu Malaysia turut meratifikasi pada
19 November 1997.1

Indonesia juga tentu saja memiliki beberapa

pertimnbangan dari kasus ini. Salah satunya adalah ASEAN Way dimana sangat
memprioritaskan penyelesaian konflik secara damai. Selain itu di lihat melalui
factor ekonomi investasi Malaysia di Indonesia pun cukup besar karena pada
tahun 1997-2004 mencapai 67 Triliun. Jika pada saat itu hubungan Indonesia
dan Malaysia memburuk maka akan merugikan pihak Indonesia sendiri.
Ditambah dengan banyaknya Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang pendidikannya
kurang sekitar 500ribu orang.2
Namun pada akhirnya 17 Desember 2002 Putusan Mahkamah
Internasional (ICJ) memberi hak kedaulatan terhadap wilayah Pulau Sipadan
dan Pulau Ligitan terhadap Malaysia. Ada beberapa kemungkinan alasan
mengapa Malaysia yang memenangkan kasus perebutan wilayah dengan
Indonesia, yaitu :
1. Kecerobohan Indonesia dalam hal tidak memperhatikan pembangunan
wilayah-wilayahnya.
2. Kurangnya koordinasi antara lembaga-lembaga atau departemendepartemen terkait

pengelolaan kedua pulau ini. Mahkamah Internasional

membuat keputusan dengan mengutamakan Level Analisa States : continuous
presence,effective occupation, dan ecology preservation
Dengan keputusan yang telah mutlak diberikan oleh ICJ, maka pulau
Sipadan dan Ligitan maka Malaysia mempunyai hak wilayah serta bertambah
1Adolf Huala, 2006 , Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika Jakarta.
2
Ibid
2

8

luas daerah teritotialnya dan tentunya Malaysia berhak mengelola segala
sesuatu sumber daya alam yang ada di pulau Sipadan maupun Pulau ligitan
dan segala sesuatu yang terkandung di dalam lautnya.3
Dalam menganalisa kasus sengketa pulau Sipadan dan pulau Ligitan, saya
menggunakan teori geopolitik yang dipaparkan oleh Peter Wallensteen di
dalam

bukunya

yang

berjudul

“Understanding

Conflict

Resolution”

ia

mengatakan “Geopolitics as we have defined it, is concerned with territories of
particular interest. In its original form, dealing with major powers, particular
regions would gain eminence in global strategies”Kasus antara Indonesia dan
Malaysia langsung menyerahkan konflik diantara mereka berdua ke Mahkamah
Internasional.

4

Hal ini menggunakan resolusi penyelesaian konflik dengan cara Arbitrase.
Menurut Black's Law Dictionary "Arbitration an arrangement for taking an
abiding by the judgement of selected persons in some disputed matter, instead
of carrying it to establish tribunals of justice, and is intended to avoid the
formalities, the delay, the expense and vexation of ordinary litigation."
Melalui berbagai pertemuan dalam beberapa tahun, kedua belah pihak
berkesimpulan sengketa ini sulit untuk diselesaikan secara bilateral Karena itu
kedua belah pihak setuju untuk mengajukan penyelesaian ini ke Mahkamah
Internasional dengan menandatangai ”Perjanjian Khusus untuk diajukan ke
Mahkamah Internasional dalam Sengketa antara Indonesia dan Malaysia
menyangkut kedaulatan atas Pulau Ligitan dan Sipdan,” di Kuala Lumpur pada
31 Mei 1997.

5

Melalui surat bersama perjanjian ini kasus sengketa ini disampaikan ke
Mahkamah Internasional di Den Haag pada 2 November 1998 Kedua belah
pihak mempercayai Mahkamah Internasional akan mengambil keputusan yang
adil mengenai siapa yang berdaulat atas kedaulatan Pulau Ligitan dan Sipadan,

3 Wallensteen, Peter. 2002. Understanding Conflict Resolution. (London : Sage Publications),
hal.96

4 Pendekta,2006,Jurnal Ilmu Hukum Universitas Negri Semarang ,Kajian Internasional Terhadap
Terhadap HAM,Volume 2 No.2,Juli-Desember 2008.
5Abdullah, Taufik 2005, Ke arah Penulisan Sejarah Nasional di Tingkat Lokal, ed, UGM Press,
Yogyakarta

9

berdasarkan bukti-bukti yang ada. Indonesia mendasarkan kedaulatan atas
kedua pulau itu menurut Pasal IV Konvensi 1891 antara Belanda dan Inggris.6
Sedangkan Malaysia mendasarkan kepemilikannya menurut dua alur yaitu
alur Sultan Sulu-Spanyol-Amerika Serikat-Inggris-Malaysia dan alur Sultan SuluDen&Overbeck-BNBC-Malaysia

malaysia

juga

berpendirian

bahwa

kedaulatannya atas kedua pulau tersebut berdasarkan fakta bahwa Inggris dan
kemudian Malaysia sejak 1878 secara damai terus menerus mengadmi istrasi
kedua pulau itu. Di depan Mahkamah Internasional, untuk membuktikan
klaimnya,

kedua

belah

pihak

harus

memenuhi

prosedur,

antara

lain

menyampaikan pembelaan tertulis dan memori, memori banding dan replik.
Sampai memasuki tahap penyampaian pembelaan lisan. Pembelaan lisan
terbagi dua, yaitu putaran pertama pada 3 dan 4 Juni 2002 Indonesia
menyampaikan pembelaannya pada dengar pendapat terbuka. Menyusul
Malaysia pada 6 dan 7 Juni. Sedang putaran kedua pada 10 Juni untuk
Indonesia dan pada 12 Juni jawaban Malaysia.
Mengenai cara-cara menyampaikan perkara, batas waktu penyampaian
pembelaan tertulis dan lisan tertera dalam Statuta ICJ. Pembelaan lisan ini,
sebagai kelanjutan pembelaaan tertulis yang berakhir pada Maret 2000, akan
berlangsung sampai 12 Juni 2002 Pemerintah Indonesia berpendirian bahwa
Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan merupakan wilayah Indonesia.
Indonesia mendasarkan kedaulatan atas kedua pulau itu menurut Pasal IV
Konvensi 1891 antara Belanda dan Inggris. Sedangkan Malaysia mendasarkan
kepemilikannya menurut dua alur yaitu alur Sultan Sulu-Spanyol-Amerika
Serikat-Inggris-Malaysia dan alur Sultan Sulu-Den & Overbeck-BNBCMalaysia.
Pada tanggal 17 Desember 2002 lalu, Mahkamah Internasional di Den Haag
memutuskan, Pulau Sipadan dan Ligitan adalah wilayah Malaysia berdasar
kenyataan, Inggris dan Malaysia dianggap telah melaksanakan kedaulatan
yang lebih "efektif" atas pulau itu sebelum tahun 1969. Indonesia menghormati
keputusan itu, apalagi karena Pasal 5 Persetujuan 1997 tegas menyatakan,
kedua pihak agree to accept the judgement of the Court given pursuant to this
Special Agreement as and binding upon th.
6Ibid.
10

Pada tahun 1998 masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ,
kemudian pada hari Selasa 17 Desember 2002 ICJ. Secara rinci tentang
kronologi kasus Sipadan dan Ligitan dapat di lihat pada tabel di bawah ini :
Tahu

Peristiwa

n
1969 Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan muncul pertama kali pada
perundingan mengenai batas landas kontinen antara RI dan
Malaysia

di

Kuala

Lumpur

(9-12

September

1969).

Hasil

Kesepakatan: kedua pihak agar menahan diri untuk tidak
melakukan kegiatan-kegiatan yang menyangkut kedua pulau itu
sampai penyelesaian sengketa.
1970 Malaysia melakukan tindakan sepihak dengan menerbitkan peta
yang memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam wilayah
nasionalnya,

dan

beberapa

tahun

kemudian

melakukan

pembangunan dan pengelolaan fasilitas-fasilitas wisata di kedua
pulau itu.
1989 Pembahasan sengketa oleh Presiden RI Soeharto dan PM
Malaysia Mahathir Muhammad di Yogyakarta, tahun 1989. Hasil
kesimpulan: sengketa mengenai kedua pulau tersebut sulit untuk
diselesaikan dalam kerangka perundingan bilateral.
1997 Kedua pihak sepakat untuk mengajukan penyelesaian sengketa
tersebut ke Mahkamah Internasional dengan menandatangani
dokumen

"Special

Agreement

for

the

Submission

to

the

International Court of Justice on the Dispute between Indonesian
and Malaysia concerning the Sovereignty over Pulau Ligitan and
Pulau Sipadan" di Kuala Lumpur pada tanggal 31 Mei 1997.
1998 Pada tanggal 2 November 1998, kesepakatan khusus yang telah
ditandatangani itu kemudian secara resmi disampaikan kepada
Mahkamah

Internasional,

melalui

suatu

"joint

letter"

atau

notifikasi bersama.
2000 Proses argumentasi tertulis ("written pleadings") dari kedua
belah pihak dianggap rampung pada akhir Maret 2000 di
Mahkamah Internasional. Argumentasi tertulis itu terdiri atas
penyampaian "memorial", "counter memorial", dan "reply" ke
Mahkamah Internasional.
11

2002 Proses penyelesaian sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan di
Mahkamah Internasional memasuki tahap akhir, yaitu proses
argumentasi lisan ("oral hearing"), yang berlangsung dari
tanggal 3-12 Juni 2002. Pada kesempatan itu, Menlu Hassan
Wirajuda selaku pemegang kuasa hukum RI, menyampaikan
argumentasi lisannya ("agent’s speech"), yang kemudian diikuti
oleh presentasi argumentasi yuridis yang disampaikan Tim
Pengacara RI. Mahkamah Internasional kemudian menyatakan
bahwa keputusan akhir atas sengketa tersebut akan ditetapkan
pada Desember 2002.
Pada tanggal 17 Desember 2002, Mahkamah Internasional di Den
Haag menetapkan Pulau Sipadan dan Ligitan menjadi bagian dari
wilayah kedaulatan Kerajaan Malaysia atas dasar “efektivitas”
karena

Malaysia

telah

melakukan

upaya

administrasi

dan

pengelolaan konservasi alam di kedua pulau tersebut.

B Penyebab Indonesia Kalah dalam Sengketa Hukum Internasional
Mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau
Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di
lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang
yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap
dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih
oleh Indonesia.
Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbangan effectivity
(tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas
maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan
tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan
satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun
1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an.
Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi
pertimbangan,

serta

penolakan

berdasarkan

chain

of

title

(rangkaian

kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan batas di
perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di selat Makassar.
12

Berikut ini ada tiga butir Pokok-pokok Putusan Mahkamah Internasional dari
sengketa pulau sipadan ligitan ,yaitu :
1. Menolak argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau sengketa pernah menjadi
bagian dari wilayah yang diperoleh Malaysia berdasarkan kontrak pengelolaan
privat Sultan Sulu dengan Sen-Overbeck/BNBC/Inggris/Malaysia. Mahkamah
juga menolak argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau termasuk dalam
wilayah Sulu/Spanyol/AS/Inggris yang kemudian diserahkan kepada Malaysia
berdasarkan terori rantai kepemilikan (Chain of Title Theory). Menurut
Mahkamah tidak satupun dokumen hukum atau pembuktian yang diajukan
Malaysia berdasarkan dalil penyerahan kedaulatan secara estafet ini memuat
referensi yang secara tegas merujuk kedua pulau sengketa.
2. Menolak argumentasi Indonesia bahwa kedua pulau sengketa merupakan
wilayah berada di bawah kekuasaan Belanda berdasarkan penafsiran atas
pasal IV Konvensi 1891. penafsiran Indonesia terhadap garis batas 4° 10' LU
yang memotong P. Sebatik sebagai allocation line dan berlanjut terus ke arah
timur hingga menyentuh kedua pulau sengketa juga tidak dapat di terima
Mahkamah.
Kejelasan perihal status kepemilikan kedua pulau tersebut juga tidak
terdapat dalam Memori van Toelichting. Peta Memori van Toelichting yang
memberikan ilustrasi sebagaimana penafsiran Indonesia atas pasal IV tersebut
dinilai tidak memiliki kekuatan hukum karena tidak menjadi bagian dari
konvensi 1891.
mahkamah juga menolak dalil alternatif Indonesia mengingat kedua pulau
sengketa tidak disebutkan di dalam perjanjian kontrak 1850 dan 1878 sebagai
bagian dari wilayah Kesultanan Bulungan yang diserahkan kepada Pemerintah
Kolonial Belanda.
3. Penguasaan efektif dipertimbangkan sebagai masalah yang berdiri sendiri
dengan tahun 19

9 sebagai critical date mengingat argumentasi hukum RI

maupun argumentasi hukum Malaysia tidak dapat membuktikan klaim
kepemilikan masing-masing atas kedua pulau yang bersengketa Penyelesaian
sengketa yang akhirnya diserahakan kepada Mahkamah Internasional ini pada
hakikatnya merupakan keberhasilan diplomasi dari pihak Malaysia dan
Indonesia.
13

Cara damai yang ditempuh Indonesia dan Malaysia akan memberikan
dampak yang besar bagi kawasan Asia Tenggara, seperti misalnya cara
penyelesaian kedua belah pihak (Malaysia-Indonesia) yang menyerahkan
persoalan ini seutuhnya kepada Mahkamah Internasional dapat ditiru sebagai
salah satu model penyelesaian klaim-klaim teritorial lain antar negara anggota
ASEAN yang masih cukup banyak terjadi, misalnya klaim teritorial Malaysia dan
Thailand dengan hampir semua negara tetangganya.
Satu hal yang perlu disesali dalam mekanisme penyelesaian konflik Sipadan
dan Ligitan adalah tidak dipergunakannya mekanisme regional ASEAN. ASEAN,
sebagai satu forum kerja sama regional, sangat minimal perannya dalam
pemecahan perbatasan. Hal ini karena dipandang sebagai persoalan domestik
satu negara dan ASEAN tidak ikut campur tangan di atasnya.
Akibat jatuhnya Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia terjadi dampak
domestik yang tak kalah hebatnya, banyak komentar maupun anggapan
bahwa Departemen Luar Negeri-lah penyebab utama lepasnya Sipadan- Ligitan
mengingat seharusnya Deplu dibawah kepemiminan Mentri Luar Negeri.7
Dalam mengantisipasi negosiasi pada tahap berikutnya,maka perlu terus
dilakukan pengkajian mendalam untuk memperkuat posisi tawar menawar kita.
Landasan hukum yang kuat akan menjadi modal dasarnya, namun harus
didukung dengan kepiawaian dalam seni bernegosiasi untuk menyakinkan
pihak lawan.
Dengan alasan apapun, opsi perangsebaiknya tidak digunakan untuk
mencegah berulangnya kejadian serupa, maka Pemerintah Indonesia harus
menangani secara lebih serius masalah wilayah perbatasan dan pulau- pulau
yang

berbatasan

dengan

negara

tetangga.

Bayangkan

saja

untuk

memperjuangkan Sipadan-Ligitan di Mahkamah Internasional harus keluar
dana lebih dari Rp16 miliar.
Dan itu bukan uang yang sedikit terlebih lagi kehilangan satu pulau berarti
ancaman terhadap integritas wilayah Indonesia. Hal ini penting, karena

7 Kartodirdjo, Sartono 1993, Nasionalisme, Kesadaran dan Kebudayaan Nasional, Aditya Media,
Yogyakarta

14

sengketa pulau yang dimiliki Indonesia bukan saja Sipadan-Ligitan, tetapi
banyak pulau lainnya. Selain itu, ini juga bisa menjadi preseden buruk.8
C. Sikap yang seharusnya diambil Indonesia untuk kedepannya dalam
kasus yang serupa
Terhadap pertanggungjawaban pemerintah untuk mempertahankan
eksistensi keutuhan wilayah Ahli hukum internasional, Hilangnya Pulau Sipadan
dan Lingitan di Mahkamah Internasional, menjadi pelajaran yang sangat
berharga sekali, harus diakui bahwa pemerintah memang tidak menggunakan
bantuan dari pengacara atau pakar hukum internasional dari Indonesia, kecuali
ahli-ahli dari Deplu sendiri. Dari sekian ribu pengacara yang ada di Indonesia,
menurut Havas, belum ada satupun yang memiliki keterampilan yang
memadai untuk berlaga di Mahkamah Internasional. Salah satunya adalah
memperkuat dan memperbanyak ahli hukum yang menguasai pengetahuan
tentang hukum internasional.
Menurut Director of Treaties on Political, Security and Teritorial A airs Deplu,
Arif Havas Oegroseno, Indonesia minim sekali orang yang ahli di bidang hukum
internasional.

Namun,

tidak

seharusnya

ketiadaan

para

pakar

hukum

internasional membuat kita menjadi tidak percaya diri. Jangan menggunakan
pengacara asing karena, Selain itu, ia juga berpendapat bahwa pengacara
dalam negeri memiliki sense ofbelonging yang jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan pengacara asing. Sedangkan, pengacara-pengacara asing relatif
melihat kasus tersebut dari sisi bisnisnya semata
Pihak Malaysia membangun resor parawisata baru yang dikelola pihak swasta
Malaysia karena Malaysia memahami status quo sebagai tetap berada di
bawah Malaysia sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia
mengartikan bahwa dalam status ini berarti status kedua pulau tadi tidak boleh
ditempati/diduduki sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini selesai.
. Di atas Sipadan, pulau yang luasnya hanya 4 km2 itu, kini, siap menanti
wisatawan. Pengusaha Malaysia telah menambah jumlah penginapan menjadi
hampir 20 buah. Dari jumlahnya, fasilitas pariwisata itu memang belum bisa
disebut memadai.
8 Moh Burhan Tsani,1990, Hukum dan Hubungan Internasional.Liberty:Yogyakarta

15

Tapi pemerintah Indonesia, yang juga merasa memiliki pulau-pulau itu, segera
mengirim protes ke Kuala Lumpur, minta agar pembangunan di sana disetop
dahulu.
Alasannya, Sipadan dan Ligitan itu masih dalam sengketa, belum diputus
siapa

pemiliknya.

Pada

tahun

1969

pihak

Malaysia

secara

sepihak

memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam peta nasionalnya
Pada tahun 1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara
atau TAC (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT
pertama ASEAN di pulau Bali ini antara lain menyebutkan bahwa akan
membentuk Dewan Tinggi ASEAN untuk menyelesaikan perselisihan yang
terjadi di antara sesama anggota ASEAN akan tetapi pihak Malaysia menolak
beralasan karena terlibat pula sengketa dengan Singapura untuk klaim pulau
Batu Puteh, sengketa kepemilikan Sabah dengan Filipina serta sengketa
kepulauan Spratley di Laut Cina Selatan dengan Brunei Darussalam, Filipina,
Vietnam, Cina, dan Taiwan. Pihak Malaysia pada tahun 1991 lalu menempatkan
sepasukan polisi hutan (setara Brimob) melakukan pengusiran semua warga
negara Indonesia serta meminta pihak Indonesia untuk mencabut klaim atas
kedua pulau.9
Setelah hampir 30 tahun, perundingan tiba pada jalan buntu, karena baik
Indonesia yang bertahan pada posisi dan argumentasi bahwa kedua pulau
tersebut telah menjadi bagian wilayahnya sejak masa penjajahan Belanda,
maupun Malaysia yang juga meyakini kedaulatannya atas pulau-pulau tersebut
sejak masa colonial Inggris, tetap bertahan pada posisi masing-masing. Pada
1997 kedua belah pihak sepakat menempuh jalan hukum yaitu dengan
menyerahkan sengketa tersebut kepada Mahkamah Internasional.10
Sikap pihak Indonesia yang ingin membawa masalah ini melalui Dewan
Tinggi ASEAN dan selalu menolak membawa masalah ini ke ICJ kemudian
melunak. Dalam kunjungannya ke Kuala Lumpur pada tanggal 7 Oktober 1996,
Presiden Soeharto akhirnya menyetujui usulan PM Mahathir tersebut yang
9Thomas Merilin L. I., 2013, Tinjauan Yuridis Penyelesaian Sengketa Tentang
Penetapan Batas Wilayah Laut Negara, Jurnal Lex et Societatis, Volume I No. 2, April –
Juni 2013.
10Booth, Ken, Security in Anarchy: Utopian Realism in Theory and Practice, International Affairs
(Royal Institute of International Affairs 1944), Volume 67 No. 3, July 1991

16

pernah diusulkan pula oleh Mensesneg Moerdiono dan Wakil PM Anwar Ibrahim,
dibuatkan kesepakatan "Final and Binding," pada tanggal 31 Mei 1997, kedua
negara menandatangani persetujuan tersebut. Indonesia meratifikasi pada
tanggal 29 Desember 1997 dengan Keppres Nomor 49 Tahun 1997 demikian
pula Malaysia meratifikasi pada 19 November 1997.
BAB 3
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh Indonesia dan Malaysia dalam
menentukan kedaulatan di Pulau Sipadan dan Ligitan merupakan suatu cara
penyelesaian sengketa secara damai,dimana Indonesia dan Malaysia memilih
Mahkamah Internasional untuk menyelesaikan sengketa ini, dasar hukum di
dalam penyelesaian sengketa ini adalah pasal 2 ayat 3 dan pasal 33 Piagam
PBB.

Sengketa

Pulau

Sipadan

dan

Ligitan

disebabkan

karena

adanya

ketidakjelasan garis perbatasan yang dibuat oleh Belanda dan Inggris yang
merupakan negara pendahulu dari Indonesia dan Malaysia di perairan timur
Pulau Borneo, sehingga pada saat Indonesia dan Malaysia berunding untuk
menentukan garis perbatasan kedua negara di Pulau Borneo, masalah ini
muncul karena kedua pihak saling mengklaimkedaulatan atas Pulau Sipadan
dan Ligitan. Berbagai pertemuan bilateral dilakukan oleh kedua negara dalam
upaya melakukan pemecahan atas sengketa ini namun sengketa ini tidak
dapat diselesaikan, sehingga kedua negara sepakat untuk menyerahkan
penyelesaian sengketa ini kepada Mahkamah Internasional. Berbagai macam
argumentasi dan bukti yuridis dikemukakan kedua pihak dalam persidangan di
Mahkamah

Internasional,

dan

pada

akhirnya

Mahkamah

Internasional

memutuskan bahwa kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Ligitan merupakan
milik Malaysia atas dasar prinsip okupasi, dimana Malaysia dan Inggris sebagai
negara pendahulu lebih banyak melaksanakan efektivitas di Pulau Sipadan dan
Ligitan.
DAFTAR PUSTAKA
Adolf Huala, 2006 , Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika Jakarta.

Wallensteen, Peter. 2002. Understanding Conflict Resolution. (London : Sage
Publications), hal.96
17

Dhakidae, Daniel 2009, Hubungan Cinta – Benci antara Indonesia dan Malaysia,
Prisma, Jakarta

Abdullah, Taufik 2005, Ke arah Penulisan Sejarah Nasional di Tingkat Lokal,
ed,UGM Press, Yogyakarta
Thomas Merilin L. I., 2013, Tinjauan Yuridis Penyelesaian Sengketa Tentang
Penetapan Batas Wilayah Laut Negara, Jurnal Lex et Societatis, Volume I No. 2,
April – Juni 2013.
Booth, Ken, Security in Anarchy: Utopian Realism in Theory and Practice,
International Affairs (Royal Institute of International Affairs 1944), Volume 67
No. 3, July 1991
Pendekta,2006,Jurnal

Ilmu

Hukum

Universitas

Negri

Semarang

,Kajian

Internasional Terhadap Terhadap HAM,Volume 2 No.2,Juli-Desember 2008.

18