UU Pendidikan Tinggi Menjamin Akses Pend

BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA
KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS GADJAH MADA
Gelanggang Mahasiswa UGM Sayap Barat, Bulaksumur ,Yogyakarta
E-mail : bemkm_ugm@yahoo.co.id Web : www.bemkmugm.org

Position Paper
Diskusi Publik Pro dan Kontra UU Pendidikan Tinggi
“UU Pendidikan Tinggi Menjamin Akses Pendidikan untuk
Semua? Tidak!”
Ahmad Rizky Mardhatillah Umar
Wakil Presiden/Koordinator Kebijakan Eksternal
Badan Eksekutif Mahasiswa—Universitas Gadjah Mada
ahmad.rizky.m@mail.ugm.ac.id

RINGKASAN EKSEKUTIF
Pada tanggal 13 Juli 2012, DPR-ri mengesahkan UU Nomor 12 Tahun Pendidikan Tinggi
yang menggantikan UU BHP sebagai payung hukum penyelenggaraan pendidikan tinggi di
Indonesia.
BEM KM UGM berada dalam posisi menolak UU ini. Argumentasi penolakan ini disarikan
ke dalam empat poin: (1) semangat dan substansi UU Pendidikan Tinggi tidak bisa lepas
dari kooptasi kepentingan lembaga keuangan internasional; (2) UU Pendidikan Tinggi

memilah perguruan tinggi dalam 'Badan Hukum' dan Menyajikan Otonomi; (3) semangat
UU PT mencerminkan pelepasan tanggung jawab negara dalam hal pembiayaan; (4) UU
Pendidikan Tinggi tidak memberikan kepastian hukum.
Selama ini, akses terhadap pendidikan tinggi di Indonesia terbilang didominasi oleh
golongan kelas menengah ke atas, dilihat dari besarnya biaya masuk perguruan tinggi dan
tidak memadainya kuota beasiswa. Survey Pamela Nilan di sembilan daerah di Indonesia
menyatakan bahwa anak muda dari kelas menengah ke bawah kehilangan harapan di
masa depan karena biaya pendidikan yang mahal. Konsekuensinya, peran negara untuk
memenuhi hak dasar warga negara untuk mengakses pendidikan yang murah dan
berkualitas menjadi sangat penting, sebab dengan sumber daya yang dimilikinya, negara
memiliki kapasitas untuk membiayai pendidikan dan mendistribusikan kesempatan kepada
seluruh warga negara untuk dapat mengaksesnya secara merata.
Ironisnya, dalam UU Pendidikan Tinggi, peran negara ini dilepaskan atas dalih otonomi.
Dengan adanya otonomi yang diperkuat oleh internasionalisasi pendidikan tinggi, terjadi
proses pencabutan sedikit-demi-sedikit subsidi negara atas pendidikan tinggi. Substansi
UU Pendididikan Tinggi menggeser peran negara dengan melepaskan pengelolaan dan
pembiayaan institusi pendidikan tinggi sebagai entitas yang mandiri dan otonom dalam
mencari dana sendiri. Hal ini memberikan konsekuensi, negara tidak lagi menjadikan
pendidikan tinggi sebagai ‘hak dasar’ yang harus dipenuhi kepada warganya, melainkan
komoditas yang diperebutkan oleh warga negara melalui persaingan dan modal.

Perubahan peran negara atas dalih 'reformasi pendidikan tinggi' yang menjadi agenda
pemerintah pasca-reformasi ini, sebenarnya telah dikampanyekan oleh Bank Dunia dan
WTO sejak tahun 1994. Jika menelaah UU Pendidikan Tinggi secara seksama, kooptasi
kepentingan lembaga keuangan internasional tersebut berlangsung secara diskursif,

BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA
KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS GADJAH MADA
Gelanggang Mahasiswa UGM Sayap Barat, Bulaksumur ,Yogyakarta
E-mail : bemkm_ugm@yahoo.co.id Web : www.bemkmugm.org

dengan memainkan pasal-pasal yang berada di dalamnya, serta memberikan proyekproyek kepada pemerintah untuk menginjeksikan logika pasar bebas dalam pengelolaan
pendidikan tinggi di Indonesia.
Atas dasar itulah BEM KM UGM menyatakan bahwa UU Pendidikan Tinggi tidak sesuai
dengan amanah konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan menjamin hak
warga atas pendidikan. Maka, upaya hukum untuk mencabut UU Pendidikan Tinggi adalah
pilihan tindakan yang patut untuk dipertimbangkan.
****
“Pengelolaan dana secara
mandiri dan prinsip nirlaba
tidak secara otomatis

menjadikan pendidikan
murah bagi peserta didik,
padahal biaya yang
terjangkau adalah salah
satu masalah pendidikan
di Indonesia”.
(Putusan Mahkmah
Konstitusi Nomor 11-1421-126 dan 136/PUUVII/2009)

A. ARGUMENTASI
Dalam menyikapi UU Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, BEM KM UGM
menyatakan sikap untuk menolak keberadaan UU ini. Penolakan tersebut didasarkan atas
empat argumen berikut:
Pertama, semangat dan substansi UU Pendidikan Tinggi masih tidak bisa lepas dari
kooptasi kepentingan lembaga keuangan internasional. Dari hasil kajian BEM KM
UGM, ada dua wacana (discourse) besar yang cukup hegemonik dalam pembangunan
pendidikan tinggi di negara-negara dunia ketiga, yaitu ‘globalisasi pendidikan tinggi’ yang
dikampanyekan oleh WTO dan ‘reformasi Pendidikan Tinggi’ yang dikampanyekan oleh
Bank Dunia. ‘Perjanjian GATS ditandatangani pada tahun 1994 Dalam persetujuan itu,
ada 12 sektor jasa yang sepakat untuk diliberalisasi, salah satunya sektor pendidikan

tinggi. GATS dan kebijakan-kebijakan WTO tersebut didesain untuk ‘membuka pintu
kerjasama internasional perguruan tinggi sehingga membuka keran investasi (Hawkins,
2010: 40).

BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA
KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS GADJAH MADA
Gelanggang Mahasiswa UGM Sayap Barat, Bulaksumur ,Yogyakarta
E-mail : bemkm_ugm@yahoo.co.id Web : www.bemkmugm.org

Sementara itu, Bank Dunia melakukan penetrasi agenda ‘higher education reform’ sejak
dokumen policy framework-nya yang berjuduk, “Higher Education: Lessons of Experience”
diterbitkan pada tahun 1994.Agenda ‘reformasi’ tersebut dapat disarikan ke dalam 4 hal:
Pertama, mendorong diferensiasi Institusi PT, Kedua, mendorong diferensiasi pendanaan
dari publik; Ketiga, mendefinisi ulang peran pemerintah; Keempat, fokus pada kualitas,
performativitas, dan persamaan (World Bank, 1994).
Pada laporannya yang terbaru di Asia (“Putting Higher Education to Work”), Bank Dunia
(2012: 94-95) merekomendasikan pembiayaan yang efisien dan punya prioritas agar
alokasi sumber daya yang digunakan untuk membiayai pendidikan tinggi dapat dapat
mengatasi market failure (2012: 101). Di sektor manajerial, Bank Dunia
merekomendasikan otonomi seiring pembiayaan yang efisien (2012: 127). Sementara di

level pekerjaan, Bank Dunia sangat merekomendasikan pengelolaan perguruan tinggi
yang punya link and match dengan sektor privat (2012: 147)
Di UU pendidikan Tinggi, kooptasi wacana pembangunan dari dua lembaga ini terlihat
dalam beberapa pasal: Pasal 48 (Kerjasama penelitian dengan industri dan dunia usaha),
pasal 65 (wewenang PTN Badan Hukum untuk mendirikan badan usaha dan
mengembangkan dana abadi), pasal 85 (pembiayaan pendidikan tinggi oleh mahasiswa),
pasal 86 (insentif kepada dunia usaha untuk membiayai pendidikan tinggi), pasal 87 (hak
mengelola kekayaan negara), pasal 88 (standar satuan biaya operasional pendidikan),
pasal 89 (pendanaan PTN Badan Hukum), dan yang paling mencolok, pasal 90
(penyelenggaraan pendidikan tinggi oleh PT negara lain).
Kooptasi wacana pembangunan tersebut bersifat diskursif. Jika mempelajari Naskah
Akademik perumusan UU PT ini, pemerintah menyatakan bahwa “untuk meningkatkan
daya saing dalam interaksi global, perlu adanya perguruan tinggi yang sehat, bermutu,
otonom, dan maju”. Rumusan naskah akademik ini jelas menyiratkan discourse globalisasi
yang ditawarkan WTO dan Bank Dunia. Kata kunci “daya saing” (dalam key framework
Bank Dunia: competitiveness) mengantarkan UU PT pada discourse tentang reformasi
pendidikan tinggi yang liberal, pro-pasar, serta lepas dari campur tangan negara.
Kedua, UU Pendidikan Tinggi ini masih memilah perguruan tinggi dalam 'Badan
Hukum' dan Menyajikan Otonomi. Pasal 65 telah menyatakan hal tersebut dengan
gamblang. Konsekuensi dari Pasal 65 ini adalah memberikan hak istimewa pada PTN

Badan Hukum, di antaranya hak mengelola dana, mengangkat dosen sendiri, atau
mendirikan badan usaha dan mengelola dana abadi (pasal 65).
Dalam amar putusan putusan nomor 11-14-21-126-136/PUU tentang pembatalan UU BHP,
terlihat jelas bahwa konsep ‘Badan Hukum’ yang ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi
dimaksud bukanlah nama atau bentuk hukum tertentu, melainkan fungsi penyelenggaraan
pendidikan. Statuta UGM 1950 dan 1977 telah memberikan kerangka 'badan hukum'
secara tegas, bahwa badan hukum adalah fungsi masyarakat hukum kepentingan yang
menjalankan fungsi pendidikan, bukan format kelembagaan.
BEM KM UGM meng-address isu penting terkait Badan Hukum ini. Jika yang dimaksud
adalah ‘Badan Hukum’ secara kelembagaan, konsekuensnya masih akan sangat

BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA
KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS GADJAH MADA
Gelanggang Mahasiswa UGM Sayap Barat, Bulaksumur ,Yogyakarta
E-mail : bemkm_ugm@yahoo.co.id Web : www.bemkmugm.org

memungkinkan PTN melakukan praktik komersialisasi dan liberalisasi, di antaranya
melalui pendirian badan usaha ataupun kerjasama industri. Hal lain yang bermasalah -dan
ini dialami oleh kawan-kawan pekerja di UI- yaitu praktik outsourcing dan ketidakjelasan
status pegawai.

Poin berikutnya adalah soal otonomi. Dalam naskah akademik perumusan UU PT,
pemerintah menyebutkan, “Otonomi Perguruan tinggi menjadi salah satu prasyarat utama
agar peran yang diharapkan dapat dijalankan dengan baik dan dapat menunjukkan
akuntabilitas yang baik pula yang dapat diterima oleh masyarakat luas sesuai dengan
perannya”. Pada naskah akademik UU ini, terlihat jelas bahwa ruh (semangat) UU
Pendidikan Tinggi pada dasarnya adalah otonomi.
Mahkamah Konstitusi dalam amar putusan pembatalan UU BHP menyatakan bahwa UUD
1945 tidak menghendaki adanya otonomi pengelolaan pendidikan. UUD 1945 tidak
meilihat bahwa dalam mewujudkan pendidikan yang berdasarkan pancasila dan UUD
1945 tidak dibutuhkan sistem pengelolaan pendidikan secara otonom Selain itu,
Mahkamah Konstitusi melihat otonomi pendidikan hanya sebatas trial dan error belaka,
tanpa adanya kajian empirik, yang dapat menyebabkan tujuan pendidikan nasional tidak
tercapai.
Berdasarkan tafsiran MK ini, Otonomi jelas problematis. Di satu sisi, ia merupakan ‘injeksi’
dari kepentingan institusi keuangan internasional yang punya kepentingan untuk
memasukkan logika pasar bebas dalam pengelolaan pendidikan tinggi. Di sisi lain, ia juga
tidak berkaitan langsung dengan tujuan pendidikan nasional. Ini yang perlu dikritisi.
Ketiga, semangat UU PT masih mencerminkan pelepasan tanggung jawab negara
dalam hal pembiayaan perguruan tinggi. Jika dicermati, pelepasan tanggung jawab
negara yang muncul dalam substansi UU Pendidikan Tinggi tersebut berlangsung secara

diskursif. UU ini memiliki dua kelemahan. Pemerintah mencoba memberikan tanggung
jawab dengan memberikan redaksi kewenangan yang cukup banyak secara birokratis
(misalnya, tanggung jawab dan sumber pembiayaan pendidikan tinggi “dapat” dibiyai
pemerintah melalui APBN dan APBD di BAB V).
Akan tetapi, di saat yang bersamaan pemerntah menyerahkan pendanaan kepada
masyarakat. pasal 86 memberikan peluang pembiayaan dari dunia usaha dan industri
melalui fasilitasi dan insentif, pasal 88 mengatur standar satuan biaya operasional yang
ditanggung oleh mahasiswa tanpa ada kejelasan regulasi dan jaminan hak rakyat untuk
mendapatkan pendidikan tinggi, serta pasal 89 yang menyatakan dengan jelas bahwa
pendanaan PTN Badan Hukum adalah subsidi.
Beberapa pasal tersebut secara implisit menyatakan bahwa "pemerintah mengatur teknis
pengelolaan pendidikan tinggi, tetapi menyerahkan dana pendidikan kepada mahasiswa,
masyarakat, atau dunia usaha". Apa artinya? Pemerintah diberikan pembebanan untuk
membiayai pendidikan tetapi dengan frase yang sangat longgar, yaitu “dapat memberikan
dukungan dana…” (pasal 83). Jika dicermati, kata “dapat” ini ditafsirkan oleh Mahkamah
Konstitusi (pada amar putusan pencabutan UU BHP) bukan sebagai kewajiban, melainkan

BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA
KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS GADJAH MADA
Gelanggang Mahasiswa UGM Sayap Barat, Bulaksumur ,Yogyakarta

E-mail : bemkm_ugm@yahoo.co.id Web : www.bemkmugm.org

sebagai pilihan, dan memberikan peluang-peluang pelepasan tanggung jawab pada
prosesnya.
Konsekuensi dari pelepasan tanggung jawab negara ini adalah pembebanan tanggung
jawab masyarakat dalam membiayai pendidikan. Dalam konteks pembebanan tanggung
jawab kepada mahasiswa, UU Pendidikan Tinggi berpotensi menutup akses mereka yang
tidak mampu untuk masuk ke perguruan tinggi. Padahal, akses terhadap pendidikan
adalah amanah konstitusi (Pasal 31 UUD 1945). Selain berpotensi menutup akses, UU ini
juga akan menjadikan biaya kuliah tidak terjangkau oleh masyarakat yang miskin dan
bodoh, sehingga pendidikan tidak dapat membebaskan mereka dari kemiskinan
sebagaimana diamanahkan pembukaan UUD 1945.
Keempat, UU PT tidak memberikan kepastian hukum. Hal ini tercermin dari masih
banyaknya peraturan pemerintah dan peraturan menteriyang akan mengiringi UU ini.
Sebagai contoh, masalah standar biaya operasional pendidikan di pasal 88 atau PTN
Badan Hukum di pasal 65. Pasal 88 tidak tegas menyebutkan berapa besar dana yang
ditanggung oleh mahasiswa. Pun pasal 65 tidak dengan tegas menyatakan apa saja
wewenang, peran, dan kategori PTN Badan Hukum. Akan ada peraturan pemerintah dan
peraturan menteri yang akan mengikuti UU PT.
Artinya, UU ini belum memberikan kepastian hukum. Mengapa? Dengan banyaknya

klausa yang akan diatur dalam PP dan Peraturan Menteri, UU ini akan ‘menyesuaikan diri’
dengan kebijakan menteri yang bersangkutan. Belum lagi dengan UU lain yang akan
‘bertabrakan’ seperti UU Ketenagakerjaan yang juga menjadi dasar hukum dari ‘pekerja’ di
kampus-kampus Badan Hukum atau UU Sisdiknas.
Dalam aspek formiilnya, UU PT ini memiliki masalah yang cukup mendasar. Dengan
demikian, peraturan-peraturan yang ada di UU PT tidak memberi arah yang jelas bagi
pengelolaan pendidikan tinggi ke depan. UU ini akan memberikan celah penafsiran yang,
jika mengacu pada amar putusan MK, dapat memicu liberalisasi pendidikan dengan wajah
baru.

B. ANALISIS
Dengan kata lain, UU Pendidikan Tinggi masih berada dalam dislokasi dan tarik-ulur
konsepsi pembangunan internasional dalam pendidikan tinggi. Konsekuensi dari hal ini
adalah menjadikan pendidikan tinggi sebagai entitas 'privat' yang bersaing untuk
melahirkan tenaga kerja yang ujung-ujungnya dieksploitasi, alih-alih mencetak intelektual
yang terlibat aktif dalam produksi pengetahuan dalam semua level profesi yang digeluti.
Poin utama dari penolakan UU Pendidikan Tinggi adalah keberatan bahwa pendidikan
tinggi harus dibuat dengan semangat otonomi. Dalam tulisan (2006) dan pidato
pengukuhan Guru Besar (2012), Heru Nugroho menyatakan bahwa semangat otonomi
yang lahir setelah masa reformasi pada kenyataannya justru melahirkan ‘banalitas

intelektual’, yaitu munculnya intelektual yang gemar mengerjakan proyek, tampil sebagai
selebriti akademik, namun melupakan produksi pengetahuan di kampusnya.

BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA
KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS GADJAH MADA
Gelanggang Mahasiswa UGM Sayap Barat, Bulaksumur ,Yogyakarta
E-mail : bemkm_ugm@yahoo.co.id Web : www.bemkmugm.org

Bentuk 'otonomi' atau 'badan hukum' dalam dunia pendidikan ini dikritik oleh beberapa
pihak (Mamdani, 2007; Rey, 2011; Eagleton, 2010). Argumennya, Bentuk ini
mengimplikasikan adanya penarikan tanggung jawab negara pada pendanaan universitas,
yang tidak hanya berimplikasi pada 'komersialisasi tetapi juga berimplikasi pada
munculnya praktik-praktik kekuasaan baru di universitas, yang seharusnya menjadi arena
berpengetahuan (Mamdani, 2007).
Praktik-praktik kekuasaan baru itu semakin mengarah pada peneguhan "kekuasaan
pasar" yang, menurut Hadiz dan Robison (2004), muncul kembali pasca-keruntuhan Orde
Baru. Konsekuensi paling nampak dari peneguhan kekuasaan pasar adalah komersialisasi
dan pencabutan sedikit-demi-sedikit subsidi atas pendidikan tinggi atas dalih otonomi
kampus.
Masalah pendidikan mahal ini perlu pula dilihat dalam kerangka proses dan cara
berpengetahuan yang ada di kampus. Rey (2011), berargumen bahwa privatisasi
pendidikan membuat kampus menjadi alat reproduksi dari ketimpangan social. Mengutip
Eagleton (2010), Rey menyatakan bahwa kampus dan civitas akademika di dalamnya
justru ‘melayani status quo’ dan tidak memberikan alternatif keadilan, tradisi, atau
kemanusiaan di dalamnya. Cara berpengetahuan seperti ini, yang menurut Eagleton
(2010), lahir dari biaya kuliah yang mahal, berakibat pada hilangnya dimensi kemanusiaan
(humanity) dari pendidikan sehingga berakibat pada “kematian” dari nafas universitas iutu
sendiri.
Nafas yang sama juga diperlihatkan dalam studi Mamdani (2007), yang melihat reformasi
pendidikan neoliberal yang dipromosikan oleh Bank Dunia di Uganda justru berakibat pada
perubahan cara berpengetahuan, di mana pendidikan justru menjadi wahana
komersialisasi, subversi institusi publik oleh kepentingan privat dan mengakibatkan proses
pendidikan dilakukan di atas fondasi komersial, bukan pada knowledge sharing atau
pengembangan pengetahuan.
Dalam studinya di Universitas Makarere, Uganda, Mamdani melihat bahwa reformasi
pendidikan gaya neoliberal yang dijkampanyekan oleh Bank Dunia memberi implikasi
kepada cara-cara berpengetahuan di universitas tersebut. Sebagai contoh sederhana, ia
melihat fenomena 'the winners and the losers': Departemen dan Fakultas yang tidak
memiliki kesempatan pasar yang kuat akan cenderung untuk mengajarkan hal-hal yang
sifatnya practice-industrial ketimbang teoretik atau berbau pengetahuan.
Hal ini, menurut Mamdani, ditopang oleh kebijakan-kebijakan universitas pada bidang
kurikulum yang sangat berorientasi pada permintaan pasar, mengakibatkan struktur
kurikulum dengan mudah diubah menjadi lebih friendly dengan kepentingan pasar.
Akibatnya, kebijakan menjadi sangat desentralistik. Hal ini secara otomatis mengubah
cara universitas dalam memproduksi pengetahuan di berbagai bidang studi yang ada.
Belajar dari analisis ini, liberalisasi pendidikan tinggi bukan sekadar subversi kepentingan
modal atas institusi pendidikan. Lebih dari itu, ia juga merupakan sebuah subversi atas
praktik berpengetahuan yang dilakukan di areal produksi pengetahuan paling vital:

BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA
KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS GADJAH MADA
Gelanggang Mahasiswa UGM Sayap Barat, Bulaksumur ,Yogyakarta
E-mail : bemkm_ugm@yahoo.co.id Web : www.bemkmugm.org

kampus. Dengan ditariknya tanggung jawab negara atas pendidikan tinggi, kepentingankepentingan privat mulai masuk pada praktik-praktik berpengetahuan di kampus.
Sementara itu, di Indonesia, elit-elit birokrasi terlihat sangat menikmati kucuran donor dari
Bank Dunia dan USAID (melalui beberapa program, seperti HPEQ, DUE LIKE, LSE3,
SISWA, dll). Alih-alih menegaskan jati dirinya sebagai kampus kerakyatan dan kampus
perjuangan melawan penjajahan (dalam segala bentuknya), banyak yang justru
mengampanyekan wacana-wacana yang bertaut dengan kepentingan orang lain.

C. POSISI
Berpijak dari analisis tersebut, BEM KM UGM tetap menegaskan sikap:
1. Menolak UU Pendidikan Tinggi dan akan memperjuangkan pencabutannya.
2. Menolak Penetrasi Bank Dunia dan WTO dalam Pengelolaan Pendidikan Tinggi di
Indonesia.
3. Mendesak Pemerintah untuk dapat bertanggung jawab mengelola pembiayaan
pendidikan tinggi sebagai hak dasar rakyat Indonesia.
REFERENSI
Abrahamsen, Rita. (2010). Disciplining Democracy: Good Governance and Discourses of
Development in Africa. London: Zed Books.
Brodjonegoro, Satryo Soemantri. (2012). “Higher Education Reform in Indonesia” in
Sulistyowati Irianto dan Sidharta (eds). Otonomi Perguruan Tinggi: Suatu Keniscayaan.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Carroll, Toby. (2010). Delusion of Development: The World Bank and The PostWashington Consensus in Southeast Asia. New York: Palgrave McMillan.
Eagleton, Terry. (2010). “The Death of Universities”. The Guardian, 17 December.
Foucault, Michael. (2009). The Birth of Biopolitics:Lectures at The College de France,
1978–79 (translated by Graham Burchell). New York: Palgrave-MacMillan.
Hadiz, Vedi R. (2010). Localising Power in Southeast Asia. Stanford: Stanford University
Press.
Hadiz, Vedi R. and Richard Robison. (2004). Reorganising Power in Indonesia: The
Politics of Oligarchy in an Age of Markets. London: RoutledgeCurzon.
Holmwood, John. (2011). “The Idea of Public University” in John Holmwood (ed).
Manifesto for The Public University. London: Bloomsbury.
Mahkamah Konstitusi. (2010). Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11-14-21-126 dan
136/PUU-VII/2009. Jakarta: Mahkamah Konstitusi.
Mamdani, Mahmood. (2007). Scholars in The Marketplace: Dilemmas of Higher Education
Reform in Uganda. Cape Town: HRSC Press.

BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA
KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS GADJAH MADA
Gelanggang Mahasiswa UGM Sayap Barat, Bulaksumur ,Yogyakarta
E-mail : bemkm_ugm@yahoo.co.id Web : www.bemkmugm.org

Nugroho, Heru. (2006). “Ekonomi Politik Pendidikan Tinggi” dalam Vedi R. Hadiz dan
Daniel Dhakidae. Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia. Jakarta: Equinox.
Nugroho, Heru. (2012). "Negara, Universitas dan Banalitas Intelektual: Sebuah Refleksi
Kritis Dari Dalam". Pidato Pengukuhan Guru Besar. Yogyakarta: FISIPOL UGM.
Rey, Dianne. (2011). “Universities and The Reproduction of Inequality” in John Holmwood
(ed). Manifesto for The Public University. London: Bloomsbury.
The World Bank (1994). Higher Education: Lessons of Experience. Washington:
IBRD/World Bank.
The World Bank. (2012). Putting Higher Education to Work: Skills and Research for
Growth in East Asia. World Bank East Asia and Pacific Regional Report, 2012.
Tim Perumus UU Pendidikan Tinggi. (2012). Naskah Akademik UU Pendidikan Tinggi.
Umar, Ahmad Rizky Mardhatillah. (2012). “RUU Pendidikan Tinggi: Bentuk Liberalisasi
Pendidikan Gaya Baru?” Diskusi Publik Pendidikan Nasional, BEM FMIPA Universitas
Negeri Semarang, 13 April 2012.
UU Nomor 12 Tahun 2012.
UUD 1945