ANALISA PENCABUTAN HAK ULAYAT DEMI KEPEN

PENCABUTAN HAK ULAYAT UNTUK KEPENTINGAN UMUM

PROLOG

Dalam hukum adat, antara masyarakat hukum dan lingkungan sekitar yang
ditempatinya terdapat hubungan yang erat sekali, hubungan yang bersumber pada pandangan
yang bersifat religio-magis. Hubungan religio-magis ini menyebabkan masyarakat hukum
memperoleh hak untuk menguasai tanah tersebut, memanfaatkan tanah, memungut hasil
tumbuh-tumbuhan yang hidup diatas tanah itu, juga berburu terhadap binatang-binatang yang
ada disitu1.
Politik pertanahan juga dituangkan dalam Pasal 33 (3) UUD 1945. Hal tersebut
ditegaskan kembali dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA yang menyatakan bahwa “Atas dasar
ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 45 dan hal sebagaimana yang dimaksud dalam pasal
1, Bumi,air, dan ruang angkasa ,termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya pada
tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organ kekuasaan seluruh rakyat”,
pelaksanaan hak menguasai negara tersebut diselenggarakan oleh pemerintah sebagai wakil
negara.
Demkian juga halnya ditegaskan oleh Pasal 3 UU Nomor 5 Tahun 1960 yang berbunyi
sebagai berikut; “Pelaksanaan hak ulayat harus sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan
kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak
bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan lain yang lebih tinggi”. Pun dalam


Pasal 6 UU Nomor 39 Tahun 1999 dikatakan bahwa;
(1) Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam
masyarakat hukum adat harus dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan pemerintah;
(2) Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat
dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.
Adanya hak negara menguasai atas tanah ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh
Rosseau bahwa ketika individu-individu melakukan kontrak sosial, maka individu tersebut
menyerahkan sebagian haknya untuk diatur oleh lembaga yang disebut negara.
Masyarakat pada dasarnya tidak keberatan jika tanah miliknya diambil alih untuk
kepentingan pembangunan yang tujuannya untuk kesejahteraan bersama, namun praktek1

Diakses dari http://e-journal.uajy.ac.id/311/2/1MIH01581.pdf , pada tanggal 1 Mei 2015.

praktek pengambilalihan tanah selama ini seringkali dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok
tertentu utuk kepentingan sendiri berkedok kepentingan umum karena masih biasnya arti
“kepentingan umum” dalam pelbagai peratuaran yang selama ini ada, Tindakan sepihak
Pemerintah tersebut telah menciptakan keraguan pada masyarakat sipil setiap kali ada
pengambilalihan tanah untuk kepentingan umum.
Dari uraian pengantar singkat diatas, hak ulayat merupakan merupakan hak yang telah

hidup dan mendarah daging dalam praktek masyarakat adat di Indonesia dan eksistensinya
diakui oleh UUPA dengan syarat selama masih berlaku. Disatu sisi, dalam praktek realitas
bernegara, pengadaan tanah untuk pembangunan umum sering menimbulkan gejolak konflik
di masyarakat. Lantas, bagimanakah kebijakan negara dalam mengakui hak hukum adat dan
memenuhi pengadaan tanah untuk kepentingan umum serta meminimalisir konflik dalam
pengadaan tanah untuk kepentingan umum ?
Tanah Ulayat Dan Hak Ulayat
Dalam hukum adat, antara masyarakat hukum sebagai kesatuan dengan tanah yang
didudukinya. Terdapat hubungan yang erat sekali, hubungan yang bersumber pada pandangan
yang bersifat religio-magis. Hubungan religio-magis ini menyebabkan masyarakat hukum
memperoleh hak keperdataan untuk mengelola tanah tersebut, memanfaatkan tanah,
memungut hasil tumbuh-tumbuhan yang hidup diatas tanag itu, juga berburu terhadap
binatang-binatang yang ada disitu.2
Secara umum, pengertian hak ulayat dalam hukum adat utamanya berkenaan dengan
hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanah dalam lingkungan wilayahnya. 3
Sebagaimana dikatakan Von Savigny (1779-1861) bahwa hukum merupakan kesadaran
masyarakat (volsgeit). Dia mengatakan bahwa semua hukum berasal dari adat-istiadat dan
kepercayaan.4 Hak ulayat ini kemudian dijadikan dasar dalam menentukan hubungan negara
dan bumi , air serta ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
UUPA sendiri tidak memberikan penjelasan tentang hak ulayat itu, kecuali menyebutkan

bahwa yang dimaksud dengan hak ulayat adalah beschikkingrecht5 dalam kepustakaan hukum
adat6.

2

Diakses dari http://e-journal.uajy.ac.id/311/2/1MIH01581.pdf , pada tanggal 1 Mei 2015.
Maria dan Sumardjono, Tanah dalam perspektif hak ekonomi,social dan budaya. Kompas,Jakarta,
2008, hlm.170.
4
Prof. Dr. Ssoerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2012,hlm. 39.
5
Beschikkingrecht = hak menguasai tanah menurut Van Volen Hoven
6
Hartono Hadisoeprapto, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hal. 110.
3

Hak ulayat ini mempunyai dua unsur, 7 yaitu unsur kepunyaan yang artinya semua
anggota masyarakat mempunyai hak untuk menggunakan dan unsur yang kedua adalah
kewenangan, yaitu untuk mengatur, merencanakan, dan memimpin penggunaanya.
Undang-Undang Pokok Agraria menggunakan istilah hak ulayat untuk menunjukan

pada tanah yang merupakan wilayah lingkungan masyarakat yang bersangkutan. UUPA
mengakui keberadaan masyarakat hukum adat dan hak ulayat. Pengakuan terhadap hak ulayat
dilakukan selama menurut kenyataan masih ada, tidak bertentangan dengan UU dan peraturan
lain yang lebih tinggi derajatnya8. UUD telah tegas mengakui keberadaan hak-hak tradisional
komunitas di Indonesia. Pasal 18B ayat (1) UUD menyatakan bahwa negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisional
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Jadi, jika ada UU yang tidak mengakui keberadaan ha-hak
tradisional komunitas maka UU tersebut jelas-jelas bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar9.
Hak ulayat berlaku dan mengikat ke luar, berlaku larangan orang luar menarik
keuntungan dari tanah itu, kecuali dengan ijin dan sesudah membayar uang pengakuan
(recognitie). Demikian juga orang luar dilarang memiliki tanah perseorangan atas tanah
pertanian10.

A. Kedudukan Hak Ulayat dan Pengaturannya dalam Berbagai Bidang Peraturan
Perundang-Undangan.
1. Dimensi Global Penghormatan dan Perlindungan Hak-Hak Adat
Dalam perkembangannya, berbagai konvensi internasional yang memuat
penghormatan dan perlindungan hak-hak adat yang sempat dicatat adalah sebagai

berikut :
a.

The United Nation Charter (1945)

b.

The Universal Declaration of Human Rights (1948)

c.

The United Nations convention on the Prevention and Punishment of the
Crime of Genocide (1951)

7

Pengakuan dan Perlindungan Hak ulayat Masyarakat Adat Dayak Tidung Desa Sesayap Di Kecamatan
sesayap Hilir di Kabupaten Tana Tidung, hlm 21.
8
Rosmidah, Hukum Adat dan Implementasinya, hal 22.

9
Kurnia Warman, Hukum Agraria Dalam Masyarakat Majemuk, hlm.40.
10
R.Van Dijk.(terjemahan) Suhardi 1964, Pengantar Hukum Adat Indonesia,Bandung, hal.12.,Lihat juga
Achmad Sodiki, Penataan.......op.cit.,hal 19-20.

d.

Rio Declaration of Environment and Development (1992)

e.

Agenda 21 ( UN Conference on Environment and Development,1992)

f.

Technical review of the UN Draft Declaration on the Rights of Indigenous
Peoples, as Agreed Upon by the Members of the Working Group at its
Elevent Session,UN Doc. E/CN.4Sub.2/1994/Add.1 (20 April 1994)


2. Dimensi Nasional Penghormatan dan Perlindungan Hak-Hak Adat
Perlindungan hak-hak adat dapat dicatat antara lain dalam peraturan
perundang-undangan sebagai berikut :
a.

UUD 1945 perubahan Kedua ( Tahun 2000)




b.

Pasal 18 Ayat (2)
Pasal 28 Ayat (3)

TAP MPR NO IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan
Sumber Daya Alam.


Pasal 4


c.

UU No.23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

d.

UU No,39/1999 tentang Hak Asasi Manusia

e.

UU No.41/1999 tentang Kehutanan

f.

UU No.25/2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun
2000-2004

g.


UU No.22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi

h.

UU No.20/2002 tentang Ketenagalistrikan

i.

UU No.7/2004 tentang Sumber Daya Air

j.

UU No.18/2004 tentang Perkebunan

3. Dimensi Regional Penghormatan dan Perlindungan Hak-Hak Adat
a.

UU No.21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua

b.


Perda Sumatra Barat No.9/2000 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan
Negeri

4. Akomodasi Ketentuan tentang Penghormatan dan Perlindungan

Hak-Hak

Masyarakat Adat sesuai Prinsip TAP MPR No IX/MPR/2001
a.

RUU Pengambil alihan/Peroleh Tanah Untuk Kegiatan Pembangunan

b.

RUU tentang Sumberdaya Agraria (lihat uraian Bab II B2 “Permasalahan
Hutan (di atas tanah hak) Ulayat”)

B. Hak Menguasai Tanah Oleh Negara Terhadap Hak Ulayat
Studi tentang hak menguasai oleh negara atas tanah diawali dari membangun

kerangka landasan teoritis yang digunakan sebagai pisau analisis serta untuk membantu
penyelesain masalah mendasar, teori-teori tersebut adalah teori Utilitas sebagai teori
utama sedangkan dan teori analisis terhadap hukum sebagai teori madya. Kemudian
sebagai teori aplikasinya digunakan “stuffen theory” dan “Aliran positivisme”11.
Teori Utilitarian sebagai teori utama menyatakan “kemanfaatan sebesar-besarnya
untuk masyarakat sebagai tujuan utama hukum” yang dipelopori oleh Jeremy Bentham.
Jeremy Bentham memperkenalkan prinsip moral tertinggi yang disebutnya dengan “asas
kegunaan atau kemanfaatan”. Maksudnya, asas yang menghendaki setiap orang utuk
melakukan apa yang menghasilkan kebahagiaan terbesar yang diinginkan manusia 12 .
Rudolph von Ihering (1818-1892) dengan teori social utiitarianism menganggap bahwa
hukum merupakan suatu alat bagi masyarakat untuk mencapai tujuannya. Dia
menganggap hukum sebagai sarana untuk mengendalikan individu-individu 13 yang
melakukan kontrak sosial agar tujuannya sesuai dengan masyarakat dimana mereka
menjadi warganya.
Konsep dasar pemikiran tentang hakikat “hak menguasai oleh negara untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” di Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 33
Ayat (2) dan (3) UUD 1945, diawali dari pemikiran-pemikiran yang dikemukakan dalam
sidang BPUPKI dan PPKI pada tanggal 29 Mei s/d 19 Agustus 1945. Salah satunya
adalah pemikiran Moh. Hatta dalam pidatonya yang menyatakan bahwa :
Tanah harus dipandang sebagai alat atau faktor produksi untuk
kemakmuran bersama, bukan untuk kepentingan orang-perorang, yang
pada akhirnya dapat mendorong terjadinya akumulasi penguasaan tanah
pada segelintir atau sekelompok masyarakat yang pada akhirnya
kelompok masyarakat tersebut menindas kelompok masyarakat lainnya.

Lebih lanjut beliau menegaskan bahwa, tidak boleh seorang pun
menjadikan tanah sebagai alat untuk menindas masyarakat lainnya 14.
11

Subadi,Hak menguasai oleh Negara atas tanah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,disertasi,
Universitas Brawijaya, 2008, hal 49.
12
Utulitarianisme-Penjelasan Singkat https://musakazhim.wordpress.com/2007/05/07/utilitarianismepenjelasan-singkat/ , pada tanggal 30 April 2015.
13
Prof. Dr. Ssoerjono Soekanto, Loc.cit,. 41.
14
Safroedin Bahar,dkk.(penyunting), 1992, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), 29 Mei-19
Agustus,Sekertaris Negara Republik Indonesia, Jakarta, hal 26-36

Kemudian konsep “hak menguasai oleh negara untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat dibakukan melalui pernyataan secara tegas dalam ketentuan pasal 33
ayat 3 UUD 1945 yang menyatakan bahwa : “Bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat”.
Mencermati ketentuan yang diatur dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945 ini, telah
menunjukkan bahwa :
1. Negara menguasai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya.
Kata menguasai ini bukan berarti “dimiliki” melainkan satu pengertian yang
mengandung kewajiban-kewajiban dan wewenang-wewenang dalam bidang
hukum publik.15
2. Bumi, air dan kekayaan alam terkandung di dalamnya dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.16
Disinilah hak menguasai oleh negara berkedudukan sebagai ideologi kerja
(ideology working), pedoman dasar dan sekaligus program yang diaplikasikan dalam
berbagai undang-undang.
Dalam literatur lain, Boedi Hartono berpendapat bahwa, hak menguasai sebagai
hak bangsa Indonesia, tanah dan kepunyaan bersama rakyat Indonesia. Sedangkan hak
menguasai mengandung dua unsur :
a. Unsur kepunyaan yang termasuk dalam bidang hukum privat
b. Unsur tugas kewenangan, mengatur, merencanakan dan memimpin yang
termasuk bidang hukum publik17.
Hak menguasai oleh negara atas tanah termasuk atas tanah dalam kawasan hutan,
pertambangan, transmigrasi, pekerjaan umum dan tanah lainnya yang dikuasai pihak lain
dengan hak milik sekalipun18.
Hak ulayat masyarakat hukum adat diakui keberadaannya kalau memang dalam
kenyataannya masih ada. Dan bila hak ulayat itu akan dipergunakan oleh pihak lain

15

Subadi, Hak Menguasai Ol eh Negara Atas Tanah Untuk Sebesar Besarnya Kemakmuran Rakyat
(Studi Penguasaan dan Pendayagunaan Tanah Kawasan Hutan di Jawa, Disertasi,Universitas Brawijaya, 2008,
hal 119.
16
Ibid,.hal 120
17
Boedi Harsono, Pengunaan dan Penerapan Azas-Azas Hukum Adat Pada Hak Milik Atas Tanah,
Makalah pada Simposium Hak Milik Atas Tanah, Bandung, 1983, hlm 4.
18
Boedi Harsono, Menuju Penyempurnaan

haruslah atas persetujuan masyarakat pemilik hak ulayat tersebut. Pengakuan hak ulayat

ini terdapat dalam UU No.41 Tahun 1999 tentang kehutanan.
Apabila hak ulayat yang diberikan kepada kelompok masyarakat sudah
bertentangan dengan konstitusi dan disalahgunakan. Maka demi kepentingan umum
seluruh Bangsa Indonesia, hak ulayat harus dicabut untuk pelestarian, rehabilitasi dan
perlindungan hutan serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Seperti kasus
dalam masalah kasus PT Freeport Indonesia, PT Newmoon Minahasa, Exon Mobile jelas
bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) UU No.22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas
Bumi yaitu “ Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai
oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat” hak
ulayat yang diberikan keada masyarakat hukum adat malah dipakai oleh pihak asing
untuk kepentingan investor asing sendiri. Dan beberapa kejadian lain bahwa hak ulayat
malah disewakan kepada pihak lain. Memang hak itu bisa dipakai jika dengan
persetujuan oleh masyarakat hukum adat itu sendiri. Namun apabila disalahgunakan,
tentu hal itu idak dapat dibiarkan.
Disisi lain, apabila pemerintah terus mempertahankan kawasan ulayat sebagai
hak masyarakat adat bisa saja hanya memihak kepada kepentingan kaum minoritas
dibandingan dengan kepentingan mayoritas seluruh rakyat Indonesia.

C. Perlindungan Hukum Hak Ulayat
Hak ulayat adalah suatu yang menunjukkan sifat komunalistik yang
menunjukkan adanya hak bersama oleh para anggota masyarakat hukum adat atas
suatu tanah tertentu. Hutan adat atau seringkali disebut hutan ulayat merupakan
hutan yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat. Bentuk hutan ini padanya
umumnya berasal dari hutan alam yang sudah secara turun temurun dikelola dan
dimanfaatkan untuk kepentingan social ekonomi dan budaya yang bersifat kolektif.
Dalam pemberian perlindungan hukum terhadap masyarakat hukum yang
mengusai tanah hak ulayat dapat diurai melalui landasan teori, yaitu teori keadilan.
Berikut beberapa teori keadilan dari beberapa ahli :
1. Teori Keadilan Aristoteles
Pada teorinya, Aristoteles ini sendiri mengemukakan bahwa ada 5 jenis
perbuatan yang tergolong dengan adil. Lima jenis keadilan yang dikemukakan oleh
Aristoteles ini adalah sebagai berikut:






Keadilan Komutatif; yaitu suatu perlakuan kepada seseorang dengan tanpa
melihat jasa-jasa yang telah diberikan.
Keadilan Distributif; yaitu suatu perlakuan terhadap seseorang yang sesuai
dengan jasa-jasa yang telah diberikan.
Keadilan Kodrat Alam; yaitu memberi sesuatu sesuai dengan apa yang
diberikan oleh orang lain kepada kita sendiri.
Keadilan Konvensional; yaitu suatu kondisi dimana jika seorang warga
negara telah mentaati segala peraturan perundang-undangan yang telah



dikeluarkan.
Keadilan Perbaikan; yaitu jika seseorang telah berusaha memulihkan nama
baik seseorang yang telah tercemar.19

2. Teori Keadilan Adam Smith
Alasan Adam Smith hanya menerima satu konsep atau teori keadilan adalah:


Menurut Adam Smith yang disebut keadilan sesungguhnya hanya punya
satu arti

yaitu keadilan komutatif

yang menyangkut kesetaraan,

keseimbangan, keharmonisan hubungan antara satu orang atau pihak


dengan orang atau pihak yang lain.
Keadilan legal sesungguhnya sudah terkandung dalam keadilan komutatif,
karena keadilan legal sesungguhnya hanya konsekuensi lebih lanjut dari
prinsip keadilan komutatif yaitu bahwa demi menegakkan keadilan
komutatif negara harus bersikap netral dan memperlakukan semua pihak



secara sama tanpa terkecuali.
Adam Smith menolak keadilan distributif sebagai salah satu jenis keadilan.
Alasannya antara lain karena apa yang disebut keadilan selalu menyangkut
hak semua orang tidak boleh dirugikan haknya atau secara positif setiap
orang harus diperlakukan sesuai dengan haknya.20

3. Teori Keadilan Distributif John Rawls
Karena kebebasan merupakan salah satu hak asasi paling penting dari manusia
Rawls sendiri menetapkan kebebasan sebagai prinsip pertama dari keadilannya
19

Teori Keadilan menurut aristoteles, diakses dari http://www.habibullahurl.com/2015/01/teorikeadilan-menurut-aristoteles.html , pada tanggal 2 Mei 2015.
20
Teori Keadilan menurut para ahli, diakses dari http://hadasiti.blogspot.com/2012/11/teori-keadilanmenurut-para-ahli.html , pada tanggal 2 Mei 2015.

berupa, "Prinsip Kebebasan yang Sama". Prinsip ini berbunyi "Setiap orang harus
mempunyai hak dan sama atas sistem kebebasan dasar yang sama yang paling luas
sesuai dengan sistem kebebasan serupa bagi semua". Ini berarti pada tempat pertama
keadilan dituntut agar semua orang diakui, dihargai, dan dijamin haknya atas
kebebasan secara sama.21
Mengingat pengambil-alihan tanah menyangkut hak-hak individu atau
masyarakat, maka pengambilalihan harus memperhatikan prinsip keadilan sehingga
tidak merugikan pemilik. Salah satu prinsip dasar dari pengambilalihan tanah yang
universal adalah “no private property shall be taken for public use without just and
fair compensation” artinya proses pengambilalihan dilakukan dengan kompensasi
yang jujur dan adil. Namun demikian dalam prakteknya prinsip tersebut sering
terabaikan dan pemerintah selaku penyelenggara Negara lebih mengedepankan
kekuasaannya melalui tameng hak menguasai Negara dan kepentingan umum.
Perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak masyarakat tercatat kurang
dari 12 konvensi yang terkait dengan hal tersebut, diawali dengan United Nation
Charter

tahun 1945 22 . Dalam konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup dan

Pembangunan yang diadakan di Rio de Janeiro pada juni 1992 juga menghasilkan
sebuah perkembangan baru bagi masyarakat adat tentang hubungan mereka dengan
PPB. Konferensi tersebut mengakui bahwa masyarakat adat dan komunitasnya
memiliki peran yang sangat penting dalam pengelolaan lingkungan dan
pembangunan.23 Kemajuan terpenting dari pengakuan hak ulayat dalam konstitusi di
Indonesia di temukan di dalam UUD 1945 pasal 18B ayat (1) dan ayat (2).
Pengambilalihan hak ulayat tanpa persetujuan masyarakat adat merupakan
bentuk dari pelanggaran Hak Asasi Manusia, hal ini tertuang dalam UU No. 39/1999
tentang Hak Asasi Manusia sebagaimana terdapat dalam Pasal 6 yang berbunyi:
“Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam
masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat,
dan Pemerintah”.24
21

Ibid,.
Maria dan Sumardjono, Tanah dalam perspektif hak ekonomi,social dan budaya. Kompas,Jakarta,
2008,hlm.185.
23
Marchel R.Maramis, Kajian Atas Perlindungan Hukum Hak Ulayat Dalam Perspektif Hak Asasi
Manusia, hlm 103, diakses dari portalgaruda.org , pada tanggal 1 Mei 2015 pukul 08:35
24
Pencabutan hak ulayat terhadap kawasan hutan lindung, diakses dari http://adacemuacemua.blogspot.com/2012/03/pencabutan-hak-ulayat-terhadap-kawasan.html, pada tanggal 3 mei 2015 pukul
12:24
22

Fakta empiris di lapangan menunjukkan bahwa keberadaan masyarakat adat
dan hak-hak tradisonalnya justru turut serta menjaga dan melindungi hutan. Hal ini
ditunjukkan melalui penelitian yang pernah dilakukan oleh Yayasan Sejati di 4
propinsi (Kalimantan Timur, Maluku, Papua dan Nusa Tenggara Timur)
menunjukkan bahwa walaupun sistem-sistem lokal ini berbeda satu sama lain namun
secara umum bisa terlihat beberapa prinsip-prinsip kearifan adat yang masih
dihormati dan dipraktekkan oleh kelompok kelompok masyarakat adat, yaitu antara
lain:
1) masih hidup selaras alam dengan mentaati mekanisme ekosistem di mana
manusia

merupakan

bagian

dari

ekosistem

yang

harus

dijaga

keseimbangannya;
2) adanya hak penguasaan dan/atau kepemilikan bersama komunitas (communal
tenure/"property" rights) atas suatu kawasan hutan adat masih bersifat

eksklusif

sehingga

mengikat

semua

warga

untuk

menjaga

dan

mengamankannya dari kerusakan;
3) adanya sistem pengetahuan dan struktur kelembagaan (pemerintahan) adat
yang memberikan kemampuan bagi komunitas untuk memecahkan
secarabersama masalah-masalah yang mereka hadapi dalam pemanfaatan
sumberdaya hutan;
4) ada sistem pembagian kerja dan penegakan hukum adat untuk mengamankan
sumberdaya milik bersama dari penggunaan berlebihan baik oleh masyarakat
sendiri maupun oleh orang luar;
5) ada mekanisme pemerataan distribusi hasil "panen" sumberdaya alam milik
bersama yang bisa meredam kecemburuan sosial di tengah masyarakat.25

Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum
Pengertian “kepentingan umum” diatas tanah Indonesia hingga sekarang ini masih
sering menimbulkan perdebatan tentang pendefinisiannya dan dibutuhkan penjelasannya
yang cukup. Dalam literatur Belanda, kata “kepentingan umum” digunakan istilah “algemene
belang”. Christian Wolf menyamakan “algemene belang” dengan “bonum commune”, yang
pengertiannya meliputi kehidupan yang bahagia, kedamaian, dan keamanan masyarakat. 26
25

Ibid,.
Ronald Z. Titahelu, Penetapan Asas-Asas Hukum Dalam Penggunaan Tanah Untuk Untuk SebesarBesarnya Kemakmuran Rakyat, Disertasi tidak diterbitkan, Unair, 1993, hal. 177.
26

Menurut R. Sutandi Ardiwilanga, istilah kepentingan umum merupakan terjemahan dari
“algemene belang” atau “ten algemene nutte”.27 Dalam tulisan Ronald Titahelu, kepentingan
umum diartikan “ten algemene nutte” diartikan dengan “untuk kepentingan umum”. Lebih
lanjut kemanfaatan umum dapat meliputi maksud banyak orang yang dapat memperoleh
kemanfaatan, atau banyaknya manfaat yang diperoleh, ataupun arti manfaat yang dapat
dinikmati secara luas oleh siapa saja.28
Dalam ketentuan Pasal 18 UUPA dinyatakan bahwa; “ Untuk kepentingan umum,
termasuk kepentingan bangsa dan negara,...menurut cara yang diatur undang-undang”.

Demikian halnya penjelasan Pasal 18 tersebut tak ditemukan penjelasan spesifik tentang
batasan apa yang dimaksud kepentingan umum.
Salah satu diantara beberapa permasalahan yang muncul sejak dahulu adalah definisi
tentang aspek kepentingan umum. Kepentingan umum sebagai konsep tidak sulit dipahami
tetapi juga tidak mudah diimplementasikan. Hal ini terjadi karena peraturan-peraturan yang
pernah ada di Indonesia hanya memberi penjabaran tidak spesifik.
Menurut Sutandyo Wignjosoebroto menjelaskan kepentingan umum mempersoalkan
apakah kepentingan umum sebagai kepentingan umum sebagai kepentingan orang banyak
atau kepentingan nasional. Kepentingan umum sebagai kepentingan orang banyak akan
mempunyai sifat yang kongkrit dengan waktu yang lebih segera serta prosesnya diputuskan
melalui pilihan dan selera orang banyak melalui proses dari bawah (bottom up). Sedangkan
kepentingan umum sebagai kepentingan nasional lebih bersifat abstrak, merujuk kepada
kemanfaatan yang tidak dapat ditujukan secara eksplisit siapa saja orangnya dan dalam
bentuk apa wujudnya.29
Sebelum reformasi, peraturan-peraturan yang menyangkut mengenai kepentingan
umum masih memberi definisi secara umum tentang apa yang dimaksud dengan
“kepentingan umum”. Sedangkan paska reformasi, Perpres Nomor 36 Tahun 2005 yang
dirubah dengan Perpres Nomor 65 Tahun 2006 dikatakan yang termasuk kepentingan umum
adalah meliputi; jalan umum, jalan tol, rel kereta api (baik diatas tanah, diruang atas tanah,
atau dibawah tanah), saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi,
waduk, bendungan,irigasi, rumah sakit dan pusat kesehatan masyarakat lainnya, pelabuhan,
bandar udara,, stasiun kereta api, dan terminal.

27

R. Sutandi Ardiwilanga, Hukum Agraria Dalam Teori dan Praktek, Nv. Masa Baru, Bandung, 1960.
Ibid., hal. 175.
29
Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional; Dinamika Sosial Politik Dalam
Perkembangan Hukum di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 11.
28

Selain itu yang termasuk kategori kepentingan umum lainnya adalah kantor
pemerintahan, perwakilan negara asing, perserikatan Bangsa-Bangsa,perwakilan BadanBadan Internasional dibawah naungan PBB, fasilitas Polri dan rumah tahanan, rumah susun
sederhana, tempat pembuangan sampah, cagar alam dan cagar budaya, pertamanan, panti
sosial, serta pembangkit, tranmisi dan distribusi tenaga listrik.
Kepentingan umum dalam Perpres Nomor 36 Tahun 2005 didefinisikan sebagai
kepentingan sebagian besar lapisan masyarakat. Sedangkan mengenai kegiatan pembangunan
untuk kepentingan umum dibatasi pada kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh
pemerintah selanjutnya dimiliki pemerintah serta dipergunakan untuk tidak mencari
keuntungan.

Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, meski hak ulayat diakui oleh negara selama
masih ada keberadaannya dalam masyarakat hukum, hak tersebut bukanlah hak dalam arti
yuridis, akan tetapi merupakan hak kepunyaan bersama oleh suatu komunitas hukum adat
(komunalistik) yang diakui oeh negara selaku pemegang hak menguasai atas tanah di seluruh
wilayah Indonesia. Hak ulayat yang merupakan hak yang telah ada sebelum Indonesia
merdeka pada dasarnya hanya diakui oleh negar. Negara sebagai pemegang kekuasaan atas
seluruh tanah Indonesia juga tidak mengatur tentang hal tersebut meski pemerintah juga tidak
menghapusnya.
Namun disisi lain masyarakat hukum adat juga memiliki hak atas tanah yang
dimilikinya. Pengakuan terhadap hak ulayat ini terdapat dalam UUD 1945. Undang-undang
hanya memberikan bentuk pengakuan saja tidak menjamin kepemilikan. Hak ulayat tersebut
bersifat perdata yang mana dalam hak tersebut mengandung tugas, kewajiban mengelola,
mengatur dan memimpin penguasaan, pemeliharaan peruntukan dan penggunaanya
merupakan didalam pengaturan hukum publik.
Pengambilalihan lahan tanah ulayat oleh negara tidak boleh bertentangan dengan aturan
masyarakat adat atau mengganggu sistem adat karena sistem ini terlebih dahulu ada. Dan
disini pemerintah diharapkan dapat menjalankan tugasnya untuk mensejahterakan rakyatnya
dengan cara mengharmonisasikan atau mensinergikan antara Negara dan masyarakat yang
memiliki hak atas tanah yang dimilikinya. Mengeluarkan sebuah kebijakan yang mampu
melindungi dan menjamin kepemilikan dari hak tanah yang dimiliki oleh masyarakat hukum
adat.