TUGAS dan tanggung jawab secara UMUM

TUGAS UMUM
JENIS-JENIS BENTUK SEDIAAN FARMASI

Oleh
Dewa Ayu Pramesti Utari
1708551063

PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
2018

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Kesehatan merupakan salah satu hal yang penting dan bahkan menjadi
prioritas sebagian besar masyarakat. Tidak heran jika banyak orang
mempertimbangkan banyak hal dalam pola hidupnya untuk menjaga suatu
kestabilan kondisi fisik dan psikis. Untuk mencapai keadaan tersebut, baik
mencegah, maupun megobati penyakit menjadi bagian dari hal itu. Sejak

zaman dahulu masyarakat khususnya di Indonesia sendiri sudah lazim
memanfaatkan bahan-bahan alam di sekitar mulai dari mencoba-coba hingga
menemukan khasiat dari masing-masing bahan temuan mereka. Terlebih lagi
kondisi alam di Indonesia yang berlimpah akan ketersediaan sumber daya
alam. Pengobatan tradisional pun semakin diperbaharui seiring berjalannya
waktu.
Dewasa ini sering kali terjadi kasus-kasus yang terjadi akibat kesalahan
penggunaan obat. Meskipun kesehatan menjadi prioritas, tidak menutup
kemungkinan bagi masyarakat untuk menempuh cara mereka sendiri yang
terkadang justru tidak sesuai dengan yang diharapkan atau berdampak lebih
buruk. Kesalahan dalam pemilihan obat kerap kali menjadi perbincangan
publik. Begitu juga dalam pemilihan bentuk sediaan obat yang sering
diabaikan oleh masyarakat. Oleh sebab itu dengan dibuatnya makalah dengan
judul “Jenis-Jenis Bentuk Sediaan Farmasi” dapat bermanfaat bagi masyarakat
untuk memperluas penyebaran informasi guna tercapainya pemahaman yang
lebih mendalam lagi terkait bagaimana sediaan farmasi yang sesuai dengan
kebutuhan pasien agar nantinya lebih efisien dalam menimbulkan efek yang
sesuai dengan harapan.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1


Apa yang dimaksud dengan bentuk sediaan farmasi?

1.2.2

Bagaimana jenis-jenis sediaan berdsarkan bentuk sediaannya?

1.2.3

Bagaimana pengaruh pemilihan bentuk sediaan?

1

1.3 Tujuan
1.3.1

Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan bentuk sediaan farmasi

1.3.2


Mengetahui

bagaimana

pengelompokan

jenis-jenis

sediaan

berdasarkan bentuk sediannya
1.3.3

Agar mengetahui pengaruh pemilihan bentuk sediaan agar dapat
memilih bentuk sediaan yang tepat guna tercapainya efektifitas kerja
obat

2

BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Bentuk Sediaan Farmasi
Bentuk sediaan obat adalah sediaan farmasi dalam bentuk tertentu
dengan kebutuhan, mengandung suatu zat aktif atau lebih dalam pembawa
yang digunakan sebagai obat dalam maupun luar. Bentuk sediaan obat (BSO)
dapat diperlukan agar penggunaan senyawa atau zat berkhasiat dalam
famakoterapi dapat juga digunakan secara aman, efisien, dan atau memberikan
efek yang optimal. Pada umumnya BSO mengandung senyawa tertentu/
vehikulum yang diperlukan untuk formulasi tertentu (Murini, 2013).
2.2 Jenis-Jenis Sediaan
Obat dapat digolongkan berdasarkan banyak hal. Obat dapat
digolongkan berdasarkan kegunaannya, berdasarkan cara penggunaannya,
berdasarkan cara kerjanya, berdasarkan undang-undang, berdasarkan sumber
obat, berdasarkan proses fisiologis dan biokimia dalam tubuh, serta
berdasarkan bentuk sediaan obat atau yang dikenal dengan bentuk sediaan
farmasi (Syamsuni, 2006). Berikut ini jenis-jenis bentuk sediaan farmasi,
diantaranya sebagai berikut:
A. Padat/ Solid
a. Serbuk
Serbuk adalah campuran homogen dua atau lebih obat yang

diserbukkan. Cara pembuatan serbuk kasar terutama dari simplisia
nabati yakni: simplisia digerus sampai derjat halus terentu setelah itu
dikeringkan pada suhu tidak lebih dari 50oC, bagian yang mudah
mnguap dikeringkan dengan pertolongan kapur tohor atau bahan
pengering lain yang sesuai, kemudian digiling, ditumbuk, dan digerus.
(Anief, 2010.) Serbuk umumnya digunakan dalam pemakaian secara
oral atau topikal.
b. Tablet / compressi
Tablet adalah sediaan padat mengandung bahan obat dengan
atau tanpa bahan pengisi. Tablet berbentuk kapsul umumnya disebut
3

kaplet (Depkes RI, 1995) Cara pembuatann dapat dilakukan dengan
tiga cara: cara granulasi basah, granulasi kering, dan cara kempa
langsung. Cara granulasi basah dilakukan dengan mencampur zat
khasiat, zat pengisi, dan zat penghancur sampai homogen, lalu dibasahi
dengan larutan bahan pengikat, ditambahkan pewarna (jika perlu),
diayak menjadi granul, dikeringkan (tidak lebih dari 60oC), diayak
kembali, ditambahan peici, dan dicetak dengan mesin tablet
(Syamsuni, 2006). Biasanya digunakan untuk pemakaian oral.

c. Pil/ pillulae
Pil atau pillulae berasal dari kata “pila ” yang berarti bola kecil.
Pil ialah suatu sediaan berupa massa bulat mengandung satu atau lebih
bahan obat yang digunakan untuk obat dalam dan bobotnya 50-300 mg
per pil, namun ada juga yang menyebut bobot pil 1-5 gram (Depkes
RI, 1979). Cara pembuatannya adalah: campurkan bahan-bahan baik
bahan obat atau zat utama dan zat tambahan sampai homgen,
campuran diteteskan zat pmbasah hingga plastis dan elastis, lalu dibua
bentuk batang den dipotong dengan alat pemotong pil, bahan penaur
ditabur pada pil, alat peengguun dan alat potong pil, agar massa pil
tidak melekat. Penyalutan dilakukan apabila perlu dan dikeringkan
terleebih dahulu (Syamsuni, 2006). Kegunaan pil adalah dalam
pengobatan secara oral.
d. Kapsul/ capsulae
Kasul adalah bentuk sediaan padat yang terbungkus dalam
suatu cngkang keras atau lunak yang dapat larut. Cara pembuatan
kapsul yakni dengn menyiapkan terlebih dahulu sedian yang akan diisi
di dalam cangkang kapsul dengan teliti kemudian sediaan tersebut
dimasukkan ke dalam cangkang kapsul hingga penuh. Cangkang
kapsul ditutup dengan rapat (Syamsuni, 2006). Kegunaannya sebagai

pembungkus obat yang memiliki rasa dan aroma tidak enak dan untuk
menggabungkan dua sediaan berbeda.
e. Supositoria/ suppositoria

4

Merupakan sediaan padat dalam berbagai bobot dan bentuk
yang diberikn melalui rektu, vagna atau uretra (Depkes RI, 1995). Cara
pembuatannya dapat dilakukan dengan tangan, dengan encetak hasil
leburan, maupun denga kompresi. Kegunaannya sebagai pengobatan
lokal baik di dalam rektum, vagina, atau uretra. Contohnya pada
penyakit heroid/wasir/ambeien, dan infeksi lainnya (Syamsuni, 2006).
B. Setengah Padat/ Semi Solid
a. Salep/ unguenta/ unguentum/ ointment
Merupakan sediaan setengah padat yang mudah dioleskan dan
digunakan sebagai obat luar (Depkes RI, 1979). Dapat dibuat dengan
zat padat (pellidol, iodium, dan lainnya), zat cair, dan bahan lainnya
(Syamsuni, 2006). Kegunaannya dalam pengobatan topikal.
b. Krim/ cremores
Krim adalah sediaan berupa emulsi yang mengandung satu atau

lebih bahan obat terlaru atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai
(mengandng air tidak kurang dari 60%). Krim dibuat dengan
mencampur bahan seperti pembuatan salep, melibatkan penyabunan,
dan hasilnya berupa emulsi. Kegunaannya dalam pengobatan topikal.
c. Pasta/ pastae
Pasta adalah sediaan semi padat (massa lembek) yang
mengandung satu atau lebih bahan obat yang ditunjukan untuk
pemakaian topikal dengan bahan padat lebih dari 50% (Syamsuni,
2006). Kegunaannya sebagai..............Cara pembuatan....
d. Linimentum
Merupakan sediaan cair atau kental, mengandung analgetik dan
zat yang mempunyai sifat rubefacient unntuk melemaskan otot-otot
atau enghangatkan. Kegunaannya sebagai obat luar yang dioleskan
pada kuli yang tidak dalam keadaan luka. Cara pembuatannya sama
seperti salep melibatkan pencampuran bahan, penyabunan, dan
pembentukan emulsi (Syamsuni, 2006).
e. Gel/ jelly/ gelones

5


Merupakan sediaan yang terdiri atas suspensi yang dibuat dari
partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar,
terpenetrasi

oleh

suatu

cairan.Pembuatan

dilakukan

dengan

memasukan gelatin pada botol agar gelatin mengembang, dipanaskan
di atas tangas air sampai gelatin larut, Zinci oxydum digerus dalam
lumpang bersama glisern, kemudian dimasukan pada botol dan diaduk
hingga rata dan dingin. Gel digunakan untuk pengobatan topikal atau
dimasukkan ke dalam lubang tubuh (Syamsuni, 2006).
f. Occulenta / occulentum/ salep mata

Salep mata adalah alp steril untuk pengobatan mata dengan
menggunkn

dasar

salep

yang

cocok.

Dapat

dibuat

dengan

menambhkan bahan obat sebagai larutan steril atau serbuk streril
termikronisasi pada dasar salep steril, hasilnya dimasukkan secara
aseptik ke dalam tube steril (Syamsuni, 2006).

C. Cair/ Liquid
a. Sirup
Merupakan larutan oral yang mengansung sukrosa atu gula lain
yang berkadar tinggi sekitar 64-66%, kecuali dinyatakan lain
(Syamsuni, 2006). Sirup dibuat dengan menggunakan air sebagai
pelarut yang telah didihkan, kemudian sukrosa yang telah ditimbang
dilarutkan pada air, diakukan penyaringan, ditambahkan zat aktif
hingga tercampur sempurna. Saat sudah homogen, larutan dapat
dimasukkan ke dalam botol.
b. Clysma
Menurut Syamsuni, 2006, clysma merupakan cairan yang
pemakaiannya melalui rektum dan kolon yang berguna untuk
mebersihkan atau menghasilkan efek terapi setempat atau sistemik.
Selain untuk membantu engeluaran feses, clysm juga digunakan untuk
pengobatan misalnya untuk efek karminatif (terpentin), adstringensia
(tawas, tanin), emolien (minyak lemak atau minyak mineral),

6

diagnostig (Ba-sulfat), sedatif (klorhidrat, luminal-Na, paraldehid),
antelmitik (quassiase, tanin).
c. Injeksi
Merupakan sediaan steril berupa larutan emulsi, suspensi, atau
serbuk yang harus dilarutkan atau disuspensikn terlebih dahuusebelum
dgunakan, yang disuntikan dengan cara merbek jaringan ke dalam kulit
atau melalui kulit, atau selaput lendir. Digunakan sebagai obat injeksi,
zat penahan rasa setempat, dan stabilisator (Syamsuni, 2006).
d. Infus intravena
Merupakan sediaan steril berupa laruan atau emulsi, bebas
pirogen dan sedapat mungkin dibuat isotonis dengan darah dan
disuntikan langsung ke dalam vena dalam volume relatif banyak.
Kegunaannya dapat digunakan untuk mengganti cairan tubuh, dalam
bentuk larutan koloid dapat dipakai menggantikan darah manusia,
penambahan kalori, dan sebagai obat lainnya (Syamsuni, 2006).
e. Douche
Merupakan larutan cair yang dimasukkan dengan suatu alat ke
dalam vagina, baik untuk pengobatan maupun pembersihan dan
mengandung

antiseptik.

Disamping

itu

untuk

mempermudah

penggnaannya dapat juga dalam bentuk serbuk atau tablet yang
dilarukan sebelum digunakan (Syamsuni, 2006).
D. Gas
Merupakan sediaan yag engandung satu atau lebih zat berkhasiat
dalam wadah yang diberikan tekanan, berisi propelan atau campuran
propelan yang cukup untuk memancarkan isinya hingga habis. Dapat
digunakan untuk obat luar atau obat dalam dengan menggunakan propelan
yang cocok. Jika digunakan sebagai obat dalam atau secara inhalasi,
aerosol dilengkapi dengan pengatur dosis (Depkes RI, 1979).
a. Inhalasi/ aerosol/ spray
Adalah sediaan obat atau larutan atau suspensi yang terdiri atas
satu atau lebih bahan obat yang dibrikan melalui saluran nafas hidung

7

atau mulut untuk memperoleh efek lokal atau sistemik (Syamsuni,
2006).

2.3 Kelebihan dan Kekurangan Suatu Bentuk Sediaan
Untuk dapat mengetahui bagaimana pengaruh bentuk sediaan maka
salah satu hal yang harus diketahui terlebih dahulu yakni mengenal kelebihan
maupun kekurrangan dari berbagai jenis-jenis bentuk sediaan. Hal ini
dilakukan agar dapat memilih bentuk sediaan yang efektif sesuai kebutuhan
karena setiap sediaan memiliki karakter yang berbeda-beda.

Berkut ini

merupakan kelebihan dan kekuranga dari beberapa bentuk sediaan menurut
Syamsuni tahun 2006:
A. Serbuk
Kelebihan: lebih mudah terdispersi dan lebih larut, mudah dikonsumsi,
masalah stabilitas yang ditemukan pada sediaan cair tidak ditemukan
dalam sediaan serbuk, obt yang ukuranya besar dapat diberkecil dengan
bentuk serbuk, dan dkter menjadi lebih leluasa memilih dosis yang sesuai
engan keadaan pasien.
Kekurangan: tidak tertutupnya rasa dan aroma yang tidak mengenakkan,
serta lebih sulit dalam penyimpanan untuk menghindarkan dari basah dan
lembab.
B. Kapsul
Kelebihan: bentuknya menarik dan praktis, cangkang kapsu tidak berasa
sehingga menutupi rasa dan aroma obat yang tidak mengenakkan, mudah
ditelan, cepat hancur, dapat mengombinasikan beberapa macam obat yang
tidak sefase dengan dosis yang berbeda sesuai kebutuhan pasien,
pembuatan kapsul cepat karena pengisiannya tidak memerlukan zat
tambahan atau penolong seerti pada pembuatan tablet dan pil.
Kekurangan: tidak dapat digunakan untuk zat-zat yang mudah menguap
karena pori-pori kapsul tidak dapat menahan penguapan, tidak dapat
digunakan untuk zat-zat higroskopis, zat yang bereaksi dengan cagkang
kapsul, tidak dapat digunakan untuk balita, dan tidak dapat dibagi-bagi.

8

C. Larutan
Kelebihan: campuran bahan obat telah homogen, dosis obat dapat
diubahubah dalam pembuatannya, dapat diberikan dalam larutan encer,
kerj awal obat lebih cepat karena mudah diabsorpsi, dapat diberi
penambah rasa seperti pemanis, warna, dan lainnya yang menarik minat
anak-anak, dan bentuk larutan mudah digunakan untuk penggunaan luar
Kekurangan: vume bentuk larutan cenderung lebih besar, ada obat yang
tidak stabil jika dibuat dalam bentuk larutan, serta ada obat yang sukar
ditutupi rasa dan baunya dalam bentuk larutan.
D. Supositoria
Kelebihan: dapat menghindari terjadinya iritasi pada lambung, dapat
menghindari kerusakan obat olh enzim pencernaan, obat dapat langsung ke
saluran darah sehingga obat dapat berefek lebih cepat, serta baik bagi
pasien yang mudah muntah atau dalam keadaan tidak sadar.
Kekurangan: supositoria dengan bahan dasar PEG dapat menarik cairan
dari jaringan tubuh setelah dimasukkn sehingga terjadi rasa yang
menyengat

dan

dapat

memperpanjang

waktu

disolusi

sehingga

menghambat pelepasan obat.
E. Aerosol
Kelebihan: mudah digunakan, sedikit melibatkan kontak dengan tangan,
bahaya kontaminasi tidak ada karena wadah tertutup kedap, iriasi karena
pemakaian topikal dapat dikurangi, takran yang dikehendaki dapat diukur,
dan bentuk semprotan untuk sediaan dapat diatur atau disesuaikan dengan
kebutuhan pasien.
Kerugian: aerosol dalam bentuk MDI (Metered Dose Inhalers ) pada
umumnya mengandung bhan obat terdispersi dan masalah yang timbul
berkitan dengan stabilitas fisiknya, kurang efektif, serta efikasi klinik pada
umumnya tergantung pada kemampuan pasien menggunakan MDI dengan
baik dan benar.

9

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, penuis dapat menarik kesimpulan bahwa
alkaloid sebagai senyawa yang dapat diekstrak dari dalam bahan tumbuhan
dapat dikelompokan berdasarkan kajian tersendiri, contohnya berdasarkan
jenis cicin heterosiklik nitrogen dan asal-usul biogenetik. Alkaloid memiliki
keaktifan biologis sehingga selain bermanfaat, namun sebagian kecil
berpotensi sebagai racun. Alkaloid pada tumbuhan penghasil itu sendiri
berfungsi sebagai tandon dan ekstraknya juga memberikan suatu manfaat
seperti piperin; sebagai antifeedant (bioinsektisida).

3.2 Saran
Dengan dibuanya makalah ini penulis berharap masyarakat dapat
mengenal alkaloid itu sendiri dan dapat memanfaatkannya dengan maksimal.
Selain itu adanya kemajuan pengetahuan khususnya terkait alkaloid sangat
diharapkan.

10

DAFTAR PUSTAKA

Anief, M. 2010. Ilmu Meracik Obat. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.
Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.
Murini, T. 2013. Bentuk Sediaan Obat (BSO) dalam Preskripsi. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Syamsuni, H. A. 2006. Ilmu Resep. Jakarta: EGC.

TUGAS UMUM
ALKALOID

Oleh
Dewa Ayu Pramesti Utari
1708551063

PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
2018

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Sejak dahulu masyarakat seringkali menggunakan ekstrak dari
berbagai bagian tumbuhan seperti akar, batang, daun, buah, danbiji-bijian
sebagai obat. Hal tersebut dikarenakan adanya anggapan bahwa banyak
tumbuhan yang mengandung senyawa yang berdampak faali yang nyata.
Terlebih lagi mengingat Indonesia merupakan negara dengan kekayaan alam
yang melimpah. Hampir segala jenis tumbuhan dapat tumbuh di negara ini.
Berbagai zat dari bahan tumbuhan tersebut dapat diisolasi dan ditelusuri
kandungannya.
Secara organoleptik, daun-daunan yang memiliki rasa sepat dan pahit,
biasanya teridentifikasi mengandung alkaloid. Disamping itu, Alkaloida dapat
ditemukan dalam berbagai bagian tumbuhan seperti biji, daun, ranting dan
kulit batang. Alkaloida pada umunya ditemukan dalam kadar yang kecil dan
harus dipisahkan dari campuran senyawa yang rumit dari jaringan tumbuhan.
Dewasa ini telah banyak diketahui bahwa hampir semua alkaloida
yang ditemukan di alam mempunyai keaktifan biologis tertentu. Keaktifan
biologis tersebut sangat beragam, mulai dari yang sangat beracun hingga yang
sangat berguna dalam pengobatan. Sebagai contohnya kuinin, morfin dan
stiknin adalah alkaloida yang terkenal dan mempunyai efek sifiologis dan
fisikologis. Dalam dunia medis dan kimia organik, istilah alkaloid telah lama
menjadi bagian penting dan tak terpisahkan dalam penelitian yang telah
dilakukan selama ini, baik untuk mencari senyawa alkaloid baru ataupun
untuk penelusuran bioaktifitas. Alkaloid sebagai salah satu senyawa organik
dapat memberikan efek farmakologis pada manusia dan hewan. Adanya atom
N (Nitrogen) dalam molekul senyawa tersebut dalam struktur lingkaran
heterosiklik atau aromatis, selain menyebabkan senyawa bersifat basa atau
alkali juga dapat mendukung efek farmakologi dari suatu senyawa. Oleh
karena itu senyawa alakaloid tidak jarang dikelola manfaatnya. Untuk itu

1

dengan dibuatnya makalah ini pembaca dapat lebih memahami hal-hal terkait
alkaloid serta manfaatnya seiring dengan perkembangannya berdasarkan hasil
kajian-kajian ilmiah.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1

Apa yang dimaksud dengan alkaloid?

1.2.2

Bagaimana penggolongan alkaloid?

1.2.3

Bagaimana peran alkaloid?

1.3 Tujuan
1.3.1

Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan alkaloid

1.3.2

Mengetahui bagaimana penggolongan alkaloid

1.3.3

Agar mengetahui peran alkaloid

2

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Alkaloid
Senyawa alkaloid telah banyak ditemukan dengan berbagai variasi
struktur yang unik, mulai dari yang paling sederhana sampai yang paling sulit.
Alkaloid secara umum mengandung paling sedikit satu buah atom nitrogen
yang bersifat basa dan merupakan bagian dari cincin heterosiklik. Kebanyakan
alkaloid berbentuk padatan kristal dengan titik lebur tertentu atau mempunyai
kisaran dekomposisi. Alkaloid dapat juga berbentuk amorf atau cairan.
Alkaloid merupakan senyawa nitrogen dalam tumbuhan yang mengandung
atom nitrogen basa yang dapat diekstrak dari dalam bahan tumbuhan tersebut
dengan asam encer (Fessenden, 1982).
Sifat fisika alkaloid umumnya mempunyai satu atom nitrogen.
Meskipun ada beberapa yang memiliki lebih dari satu atom nitrogen seperti
pada ergotamin yang memiliki 5 atom nitrogen. Atom nitrogen ini dapat
berupa amin primer, sekunder maupun tersier yang semuanya bersifat basa.
Tingkat

keasamannya

tergantung dari struktur molekul

dan

gugus

fungsionalnya. Kebanyakan alkaloid yang telah diisolasi berupa padatan
kristal tidak larut dengan titik lebur yang tertentu atau mempunyai kisaran
dekomposisi. Sedikit alkaloid yang berbentuk amorf dan beberapa seperti:
nikotin dan koniin berupa cairan. Kebanyakan alkaloid tidak berwarna, tetapi
beberapa senyawa yang kompleks, spesies aromatik berwarna, contohnya
berberin berwarna kuning dan betanin berwarna merah). Pada umumnya, basa
bebas alkaloid hanya larut dalam pelarut organik, meskipun beberapa
pseudoalkalod dan protoalkaloid larut dalam air. Garam alkaloid dan alkaloid
quartener sangat larut dalam air (Anjelisa, 2007).
Sifat kimia alkaloid yakni bersifat basa. Sifat tersebut tergantung pada
adanya pasangan elektron pada nitrogen. Jika gugus fungsional yang
berdekatan dengan nitrogen bersifat melepaskan elektron, sebagai contoh:
gugus alkil, maka ketersediaan elektron pada nitrogen naik dan senyawa lebih
bersifat basa. Hingga trietilamin lebih basa daripada dietilamin dan senyawa
3

dietilamin lebih basa daripada etilamin. Sebaliknya, bila gugus fungsional
yang berdekatan bersifat menarik elektron (contoh: gugus karbonil), maka
ketersediaan pasangan elektron berkurang dan pengaruh yang ditimbulkan
alkaloid dapat bersifat netral atau bahkan sedikit asam. Contohnya senyawa
yang mengandung gugus amida. Kebasaan alkaloid menyebabkan senyawa
tersebut sangat mudah mengalami dekomposisi, terutama oleh panas dan sinar
dengan adanya oksigen. Hasil dari reaksi ini sering berupa N-oksida.
Dekomposisi alkaloid selama atau setelah isolasi dapat menimbulkan berbagai
persoalan jika penyimpanan berlangsung dalam waktu

yang lama.

Pembentukan garam dengan senyawa organik (tartarat, sitrat) atau anorganik
(asam hidroklorida atau sulfat) sering mencegah dekomposisi. Itulah sebabnya
dalam perdagangan alkaloid lazim berada dalam bentuk garamnya (Anjelisa,
2007).
Alkaloid adalah senyawa metabolit sekunder terbanyak yang memiliki
atom nitrogen, yang ditemukan dalam jaringan tumbuhan dan hewan.
Sebagian besar senyawa alkaloid bersumber dari tumbuh-tumbuhan, terutama
angiosperm. Lebih dari 20% spesies angiosperm mengandung alkaloid (Wink,
2008). Alkaloid dapat ditemukan pada berbagai bagian tanaman, seperti
bunga, biji, daun, ranting, akar dan kulit batang. Alkaloida umunya ditemukan
dalam kadar yang kecil dan harus dipisahkan dari campuran senyawa yang
rumit yang berasal dari jaringan tumbuhan. Alkaloid jarang ditemui pada
tumbuhan tingkat rendah. Alkaloid juga ditemukan pada jamur Amanita
mappa , selain yang ditemukan pada tumbuhan juga ditemukan pada jaringan

katak Bufo vulgaris (Ikan, 1969). Tidak menutup kemungkinan juga bahwa
dalam satu tumbuhan dapat memiliki lebih dri satu jenis alkaloid, seperti pada
tumbuhan karamunting (Rhodomyrtus tomentosa ) memiliki tujuh alkaloid
pada

batang

yaitu:

maritidin,

berberin,

ismine,

tazettine,

lycorine,

deoxytazettine, dan homolycorine (Ningrum, 2016).
Cara mengidentifikasi alkaloid dapat dilakukan dengan empat
golongan larutan. Golongan I menyebabkan larutan percobaan dengan
alkaloid membentuk garam yang tidak larut seperti: asam siklowolfarmat LP,

4

asam fosfomolibdat LP dan asam fsfowolframat LP. Golongan II
menyebabkan larutan percobaan yang dengan alkaloid membentuk senyawa
kompleks bebas, kemudian membentuk endapan seperti: bourchard Lp dan
wagner LP. Golongn III menyebabkan percobaan yang dengan alkaloid
membentuk senyawa adisi yang tidak larut seperti: mayer LP, dragendorff Lp,
dan Marine LP. Golongan I menyebabkan larutan percbaan yang dengan
alkaloid membentuk ikatan asam organik dengan alkaloid, yakni hager LP
(Depkes RI, 1977).
Mengidentifikasi alkaloid dapat dilakukan dengan tahapan berikut.
Pertama timbang 500 mg serbuk simplisia yang akan diidentifikasi,
tambahkan 1 ml asam klorida 2 M dan 9 ml, panaskan di atas pemanas air
selama 2 menit, dinginkan dan saring. Pindahkan 3 tetes filtrat pada kaca
arloji, tambahkan 2 tetes bouchardat LP. Jika pada kedua percobaan tidak
terjadi endapan, maka serbuk tidak mengandung alkaloid (Depkes RI, 1978).
Jika dengan mayer LP terbentuk endapan menggumpal berwarna putih atau
kuning yang larut dalam metano P dan dengan bouchardat LP terbentuk
endapan dengan warna coklat sampai hitam, maka ada emungkinan terdapat
alkaloid (Depkes RI, 1979). Percoaan tersebut dilanjtkan dengan mengocok
sisa filtrat dengan 3 ml amonia pekat P dan 10 ml campuran 3 bagian volume
eter P dan 1 bagian volume kloroform P. Kemudian fase organik dambil dan
tambahkan ntrium sulfat anhidrat P, dan disaring (Depkes RI, 1980). Filtrat
tersebut diuapkan di atas tangas air, larutkan sisa dalam sedikit asam klorida 2
M. Lakukan percobaan dengan keempat golongan larutan percobaan, serbuk
simplisia mengandung alkaloid jika sekurang-kurangnya terbentuk endapan
dengan menggunakan 2 golongan larutan percobaan yang digunakan (Depkes
RI, 1989).
Selain menggunakan cara di atas, identifikasi alkaloid dapat dilakukan
dengan reaksi warna. Langkah-langkahnya yaitu: penyaringan dengan
campuran eter-kloroform seperti pada cara reaksi pengendapan, pindahkan
beberapa ml filtrat pada cawan porselin, uapkan, pada sisa ditambahkan 1-3
tetes larutan percobaan seperti yang tertera pada masing-masing monografi.

5

Larutan percobaan yang dapat digunakan adalah: asam sulfat P, asam nitrat P,
frohde LP, dan erdmann LP (Depkes RI, 1995)
Reaksi kristal juga merupakan cara mengidentifikasi adanya alkaloid.
Cara ini dapat dilakukan melalui reaksi kristal dragendorf, yaitu dengan
mengaduk zat +HCl, lalu teteskan dragendorf di pinggirnya dan jangan
dikocok, diamkan 1 menit kristal dragendorf maupun reaksi Fe-complex serta
Cu-complex.

2.2 Klasifikasi alkaloid
Alkaloid dibagi menjadi dua bagian utama yakni non heterosiklik atau
alkaloid atipikal, kadang disebut juga proto-alkaloid atau amina biologikal dan
heterosiklik atau alkaloid tipikal. Pada umumnya alkaloida dikelompokkan
menjadi beberapa jenis berdasarkan kajian-kajian tersendiri. Klasifikasi
tersebut dapat dilakukan berdasarkan beberapa cara yaitu:
1. Berdasarkan jenis cicin heterosiklik nitrogen yang merupakan baian dari
struktur molekul, alkaloid dapat dibedakan menjadi beberapa golongan:
a. Golongan piridina, contohnya: piperine, conine, trigonelline, guvacine,
arecoline, arecaidine, cytisine, lobeline, sparteine, anabasine, dan
palletierine.
b. Golongan pyrrolidine: hygrine, cuscohygrine, nikotina.
c. Golongan isokuinolina:

alkaloid-alkaloid

opium

(misalnya:

papaverine, narcotine, dan narceine), sanguinarine, hydrastine,
berberine, emetine, berbamine, dan oxyacanthine.
d. Golongan kuinolina: kuinina,

kuinidina,

dihidrokuinina,

dihidrokuinidina, strychnine, brucine, veratrine, dan cavadine
e. Golongan indola:
-

Tryptamines: serotonin, DMT, 5-MeODMT,bufotenine, psilocybin

-

Ergolines: ergine, ergotamine, dan lysergic acid

-

Beta-carboline: harmine, harmaline, dan tetrahydroharmine

-

Yohimbans: reserpine dan yohimbine

-

Alkaloid vinca: vinblastine dan vincristine

6

-

Alkaloid Kratom: mitragynine, 7-hydroxymitragynine

-

Alkaloid Tabernanthe iboga: ibogaine, voacangine, coronaridine

-

Alkaloid Strychnos nux-vomica: strychnine, dan brucine

2. Berdasarkan asal-usul biogenetik. Berdasarkna hal ini alkaloida dapat
dibedakan atas tiga jenis utama yaitu: Alkaloida alisiklik yang berasal dari
asam-asam amino ornitin dan lisin, Alkaloida aromatik jenis fenilalanin
yang berasal dari fenilalanin, tirosin dan 3,4 – dihidrofenilalanin,
Alkaloida aromatik jenis indol yang berasal dari triptopan.
Selain sistem pengelompokan di atas, sistem klasifikasi yang paling
banyak

diterima

adalah

menurut

Hegnauer,

yang

mana

alkaloid

dikelompokkan menjadi beberapa kelompok seperti pada pengelompokan
berikut, diantaranya yaitu:
1. Alkaloida sesungguhnya, alkaloida ini merupakan racun, senyawa tersebut
menunjukkan aktivitas fisiologis yang luas, hamper tanpa kecuali bersifat
basa. Umumnya mengandung nitrogen dalam cicin heterosiklik,
diturunkan dari asam amino, biasanya terdapat dalam tanaman sebagai
garam asam organik. Beberapa pengecualian terhadap aturan tersebut
adalah kolkhisin dan asam aristolkhoat yang bersifat bukan basa dan tidak
memiliki cicin heterosiklik dan alkaloida quartener yang bersifat agak
asam daripada bersifat basa.
2. Protoalkaloida, merupakan amin yang relative sederhana dimana nitrogen
asam amino tidak terdapat dalam cicin heterosiklik. Protoalkaloida
diperoleh berdasarkan biosintesa dari asam amino yang bersifat basa.
Pengeertian amin biologis sering digunakan untuk kelompok ini.
3. Pseudoalkaloida, tidak diturunkan dari precursor asam amino. Senyawa
ini biasanya bersifat basa. Ada dua seri alkaloida yang penting dalam
kelompok ini yaitu alkaloida steroidal dan purin.

2.3 Peran Alkaloid
Alkaloid sebagian besar dijumpai pada tumbuhan. Pada tumbuhan itu
sendiri, alkaloid memiliki banyak peran. Pada masa sebelumnya, alkaloid

7

berfungsi sebagai hasil buangan nitrogen seperti urea dan asam urat dalam
hewan. Namun seiring berkembangnya pengetahuan, pendapat tersebut tidak
dapat dipertahankan. Berdasarkan hasil penelitian, alkaloid bertindak sebagai
tandon penyimpanan nitrogen meskipun banyak alkaloid ditimbun dan tidak
mengalami metabolisme lebih lanjut meskipun sangat kekurangan nitrogen,
alkaloid dapat melindungi tumbuhan dari serangan parasit atau pemangsa
tumbuhan, pengatur pertumbuhan seperti pematangan buah, layu pada bunga
dan pembusukan, sebagai sumber energi pada kasus defisiensi CO2 dan dapat
mengganti basa mineral dalam mempertahankan kesetimbangan ion dalam
tumbuhan.
Selain bermanfaat bagi tumbuhan penghasil alkaloid itu sendiri,
beberapa jenis alkaloid juga dimanfaatkan oleh masyarakat seperti:

nikotin;

sebagai stimulan pada syaraf otonom, morfin; sebagai analgesik, kodein;
sebagai analgesik, obat batuk, atropin; untuk obat tetes mata, skopolamin;
sebagai sedatif menjelang operasi, kokain; sebagai analgesik, piperin; sebagai
antifeedant (bioinsektisida), quinin; untuk obat malaria, vinkristin; untuk obat

kanker, ergotamin; sebagai analgesik pada migrain, reserpin; untuk
pengobatan simptomatis disfungsi ereksi, mitraginin; sebagai analgesik dan
antitusif, ainblastin; sebagai anti neoplastik, obat kanker, sera saponin; sebagai
antibakteri. Selain itu masih banyak lagi alkaloid yang berkhasiat sebagai anti
diare, anti diabetes, anti mikroba dan anti malaria. Beberapaa alkaloid di atas
merupakan alkaloid yang sudah dimurnikan dan dipakai dalam pengobatan
modern misalnya: ephidrin, codein, morphine, ergomitrine, pilocarpine,
vincristine, hyocine, atropine, erythromycine dan lain-lain.

Akan tetapi beberapa senyawa golongan alkaloid juga ada yang
bersifat racun. Banyak alkaloid golongan pyrrolizidine bersifat racun terutama
terhadap hati (hepatotoxic), juga dapat merangsang pembentukan kanker
(carcinogenic), dapat menyebabkan mutasi sel (mutagenic), dan dapat
menyebabkan kelainan janin (teratogenic). Alkaloid golongan pyrrolizidine
dapat menyebabkan pembesaran hepar (hepatomegali), dalam kasus yang
serius dapat menyebabkan kerusakan hepar bahkan kematian. Banyaknya

8

kasus kanker hepar di Sentral Afrika diantaranya disebabkan pemakaian obat
tradisional yang mengandung alkaloid golongan pyrrozilidine sehingga
diperlukan adanya identifikasi senyawa golongan alkaloid yang dapat
diketahui manfaatnya.

9

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, penuis dapat menarik kesimpulan
bahwa alkaloid sebagai senyawa yang dapat diekstrak dari dalam bahan
tumbuhan dapat dikelompokan berdasarkan kajian tersendiri, contohnya
berdasarkan jenis cicin heterosiklik nitrogen dan asal-usul biogenetik.
Alkaloid memiliki keaktifan biologis sehingga selain bermanfaat, namun
sebagian kecil berpotensi sebagai racun. Alkaloid pada tumbuhan penghasil
itu sendiri berfungsi sebagai tandon dan ekstraknya juga memberikan suatu
manfaat seperti piperin; sebagai antifeedant (bioinsektisida).
3.2 Saran
Dengan dibuanya makalah ini penulis berharap masyarakat dapat
mengenal alkaloid itu sendiri dan dapat memanfaatkannya dengan maksimal.
Selain itu adanya kemajuan pengetahuan khususnya terkait alkaloid sangat
diharapkan.

10

DAFTAR PUSTAKA

Anjelisa, Z.P., Hasibuan, Nainggolan A. 2007. Penentuan Sifat Kimia Fisika
Senyawa Alkaloids Hasil Isolasi dari Daun Bandotan (Ageratum conyzoides
Linn). Jurnal Penelitian MIPA. 1(1). 20-22.
Depkes RI, 1977. Materia Medika Indonesia . Jilid I. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
Depkes RI, 1978. Materia Medika Indonesia . Jilid II Jakarta: Departemen
Kesehatan

Republik Indonesia.

Depkes RI, 1979. Materia Medika Indonesia . Jilid III Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
Depkes RI, 1980. Materia Medika Indonesia . Jilid IV Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
Depkes RI, 1989. Materia Medika Indonesia . Jilid V Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
Depkes RI, 1995. Materia Medika Indonesia . Jilid VI Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
Fessenden, R.J. dan Joan S. F. 1982. Kimia Organik. Edisi Ketiga. Jilid II.
Jakarta: Erlangga.
Ikan, R. 1969. Natural Product A Laboratory Guide. Jerussalem: Israel
Universities Press
Ningrum Retno, Elly P , Sukarson. 2016. Pendidikan Biologi. Jurnal Biologi
FKIP Universitas Muhammdiyah Malang. 2 (3).