Communicative Language Teaching CLT dala

Communicative Language Teaching (CLT) dalam Pengajaran Bahasa Inggris pada
Perguruan Tinggi di Indonesia: Sebuah Kajian Fenomenologi
Dina Rafidiyah, Ahmad Kailani, Arif Ganda Nugroho
Universitas Muhammadiyah Banjarmasin
rafidiyahdina@yahoo.com

Abstrak: Communicative Language Teaching (CLT) atau pengajaran bahasa Inggris
menggunakan pendekatan komunikatif merupakan topik yang masih menjadi
perdebatan panjang terutama dalam keberhasilan pengajaran Bahasa Inggris.
Munculnya CLT ini dilandasi oleh pemikiran bahwa belajar bahasa tidak bisa
dipisahkan dari fungsinya sebagai sarana komunikasi. Tidak terkecuali penerapan
CLT dalam Pembelajaran Bahasa Inggris di Perguruan Tinggi pun masih menjadi
perdebatan antara kemampuan mahasiswa memahami teks-teks ilmiah berbahasa
Inggris atau mampu berkomunikasi dengan baik. Oleh karena itu, tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran tentang penerapan CLT dalam
konteks perguruan tinggi di Indonesia, tantangan-tantangan yang dihadapi para dosen
dalam pelaksanaan CLT serta aktifitas dan materi yang digunakan dalam pelaksanaan
CLT untuk menunjang keberhasilan belajar mahasiswa. Metode penelitian kualitatif
dengan pendekatan fenomenologi digunakan untuk menganalisis secara kritis hasil
refleksi diri dosen-dosen pengasuh mata kuliah Bahasa Inggris. Data didapatkan
melalui teknik wawancara mendalam terkait penggunaan CLT dalam pengajaran

bahasa Inggris untuk pengembangan kemampuan reseptif (mendengar dan membaca)
dan kemampuan produktif (menulis dan berbicara) mahasiswa. Responden adalah
dosen-dosen pengajar mata kuliah Bahasa Inggris yang menerapkan CLT dalam
pengajaran mereka. Responden dipilih secara random dan bersedia memberikan
refleksinya tentang CLT dalam proses belajar mengajar. Implikasi penelitian ini
diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam bidang metodologi pengajaran bahasa
Inggris, khususnya pengajaran bahasa Inggris pada level perguruan tinggi. Strategi
pengajaran tersebut bisa menjadi alternatif masukan bagi dosen-dosen Bahasa Inggris
lainnya.
Kata kunci: CLT, kemampuan komunikatif, kajian fenomenologi
1.

PENDAHULUAN
Penguasaaan bahasa asing, khususnya Bahasa Inggris adalah sebuah keniscyaan
dalam era globalisasi sekarang ini. Hal ini menuntut pengajar bahasa Inggris untuk
memilih pendekatan pengajaran yang menunjang pembentukan kemampuan berbahasa ini.
Dari sekian banyak pendekatan dan metode pengajaran bahasa Inggris, Communicative
Language Teaching (CLT) adalah metode paling kontemporer digunakan pada semua
jenjang pendidikan saat ini dalam pengajaran Bahasa Inggris. Oleh karena itu sangat
menarik sekali mengetahui lebih lanjut bagaimana dosen-dosen Bahasa Inggris di

Indonesia melakukan pendekatan CLT dalam pengajaran mereka. Pada karya tulis ini kami

1

batasi pada dosen-dosen perguruan tinggi, mengingat dosen-dosen Bahasa Inggris dapat
menentukan materi ajar apa yang diajarkan disesuaikan dengan kebutuhan mahasiswanya,
sementara pengajaran Bahasa Inggris di tingkat SD – SMA masih terikat dengan
kurikulum yang ditentukan oleh pemerintah terutama dalam mempersiapkan para siswa
menghadapi UAN (Adi, 2015; Arfiandhani, 2015).
Melihat sejarah panjang Communicative Language Teaching (CLT) dalam pengajaran
bahasa sejak tahun 1960 sampai sekarang, banyak sekali terjadi perdebatan seperti apakah
pengajaran kompetensi berkomunikasi harus diajarkan. Kibbe (2017), Thornbury (2017),
(“Communicative Language Teaching: Jeremy Harmer and Scott Thornbury | The New
School - YouTube,” 2013) menyatakan penerapan CLT dalam pengajaran bahasa asing
terbagi menjadi dua golongan besar, yaitu yang menjalankan CLT yang sangat kaku
berdasarkan dasar teori kompetensi komunikatif. Sedangkan golongan kedua adalah
golongan yang lebih fleksibel menerapkan pendekatan komunikatif.
Sudah bukan saatnya lagi pengajaran Bahasa Inggris menggunakan cara-cara yang
membosankan seperti menghafal kosa kata atau mempelajari tata bahasa, tanpa konteks
komunikatif kapan hal itu bisa dipakai dalam kehidupan siswa. Savignon (2001)

menegaskan bahwa pengajaran Bahasa Inggris harusnya lebih ditegaskan ke kompetensi
komunikatif untuk mempersiapkan siswa menghadapi tantangan abad ke 21. Melihat
pembelajaran Bahasa Inggris saat ini masih sangat kaku mulai dari tingkat dasar, sehingga
pada waktu siswa diharapkan bisa berkomunikasi justru mereka mengalami hambatan.
Seharusnya pembelajaran Bahasa Inggris harus lebih menyenangkan dan tidak
membosankan (Arifah, 2014).
CLT adalah prinsip-prinsip pengajaran Bahasa Inggris yang berhubungan dengan
tujuan pengajaran bahasa sebagai alat komunikasi, bagaimana cara siswa belajar, aktifitasaktifitas yang baik dilakukan di kelas, dan peran guru dan siswa dalam pembelajaran
(Richards, 2006). Pada dasarnya, CLT adalah pendekatan pembelajaran Bahasa Inggris
sehingga siswa dapat berkomunikasi secara effektif di situasi sehari-hari. Pendekatan ini
sangat penting dijalankan mengingat bahwa rata-rata siswa Indonesia setelah belajar
Bahasa Inggris bertahun-tahun, tetap tidak bisa berkomunikasi menggunakan Bahasa
Inggris (Sholihah, 2012).
Sangat menarik untuk melihat bagaimana pelaksanaan CLT di beberapa negara Asia
sebagai perbandingan. Liu (2015) menjelaskan tentang bagaimana pelaksanaan CLT di
China. Ada beberapa hal yang menyebabkan CLT tidak berhasil diimplementasikan di
China, yaitu: (1) Bahasa Inggris hanya dipakai pada saat di kelas saja; (2) Menguasai
komunikasi tidak membantu siswa untuk dapat menjawab soal-soal ujian dan lulus ujian;
(3) Para siswa tidak bisa menghubungkan kompetensi linguistik dan kompetensi
komunikasi; dan (4) Tidak banyak tersedia materi-materi asli (authentic material) yang

bisa digunakan para siswa untuk belajar.
Penelitian lain yang dilakukan di Saudi Arabia untuk mengetahui tantangan
pelaksanaan CLT yang berhasil dilaksanakan di tingkat perguruan tinggi. Menurut Al
Asmari (2015), tantangan tersebut terdiri dari empat faktor yaitu: (1) Tantangan yang
berhubungan dengan guru; (2) Tantangan yang berhubungan dengan siswa; (3) Tantangan
yang berhubungan dengan kebijakan pemerintah; dan (4) Tantangan yang berhubungan
dengan CLT itu sendiri.
Implementasil CLT di Indonesia sendiri sudah dilakukan beberapa penelitian,
misalnya Sholihah (2012) dan Ulfah, Apriliaswati, & Arifin (2015) meneliti tentang
tantangan pelaksanaannya CLT di SMA. Selain itu juga Shinta & Tedjaatmadja (2010) dan
Jamaliah, Fauziah, & Farizawati (2017) melakukan penelitian implementasi CLT di

2

tingkat SMP. Juga ada (Wiyono, Gipayana, & Ruminiati, 2017) yang melakukan penelitian
tentang pelaksanaan CLT di tingkat SD. Sedangkan, Ariatna (2016) menyatakan bahwa
sebenarnya permasalahan CLT dapat diselesaikan, oleh karena itu CLT harus
dipertahankan di Indonesia.
Dalam penelitian ini, kami ingin mencoba mencari jawaban terhadap implementasi
CLT pada tingkat perguruan tinggi di Indonesia. Ada beberapa pertanyaan yang akan

dijawab, yaitu: mengetahui penerapan CLT dalam konteks perguruan tinggi di Indonesia,
mengetahui tantangan-tantangan yang dihadapi para dosen dalam pelaksanaan CLT,
mengetahui aktifitas dan materi yang digunakan dalam pelaksanaan CLT untuk menunjang
keberhasilan belajar mahasiswa. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat
berupa gambaran tentang pemahaman CLT dan penerapannya oleh dosen-dosen Perguruan
Tinggi di Indonesia, sehingga bisa menjadikan inspirasi pengajaran Bahasa Inggris yang
lebih komunikatif.
2.

PENDEKATAN & METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan menggunakan pendekatan
fenomenologi (Padilla-Díaz, 2015), dengan tujuan menggali pengalaman dosen-dosen
berhubungan dengan implementasi CLT. Responden dalam penelitian ini adalah dosendosen Bahasa Inggris yang mengajar di Universitas-universitas di Indonesia. Sampling
diambil menggunakan snowball sampling sebanyak 10 orang, hal ini berdasarkan
pendapat Dukes (1984). Metode sampling ini digunakan untuk mendapatkan fakta
mengenai implementasi CLT oleh dosen-dosen yang menerapkan CLT dalam pengajaran
mereka.
Ada beberapa aktivitas-aktivitas pengumpulan data dengan mengadopsi fenomenologi
ini (Creswell, 2014). Pertama-tama adalah mencari responden yang berkenan melalui
group WhatsApp APSPBI (Asosiasi Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris Indonesia).

Dari responden yang didapatkan, mereka baru menghubungkan ke teman-teman lain yang
menggunakan CLT dalam pengajaran. Setelah itu, pengumpulkan data dilakukan dengan
metode wawancara baik secara langsung maupun wawancara berbasis web (Rubin &
Rubin, 2005). Langkah selanjutnya adalah merekam informasi dan membuat transkripnya.
Apabila ada persoalan lapangan, maka akan diantisipasi agar proses pengumpulan dan
penyimpan file data bisa terlaksana.
Analisa data yang terkumpul menggunakan prosedur yang diperkenalkan oleh
(Moustakas, 1994), yaitu sebagai berikut: (1) Peneliti mendeskripsikan pengalamannya
sendiri tentang fenomen yang dibahas; (2) Peneliti menemukan pernyataan (melalui
wawancara atau sumber lain) tentang fenomena tersebut; (3) Peneliti mengelompokkan
hasil wawancara menjadi unit yang lebih besar atau tema; (4) Peneliti mendeskripsikan
mengenai apa yang terjadi berhubungan dengan tema tersebut (deskripsi tekstural) beserta
contohnya; (5) Peneliti mendiskripsikan bagaimana pengalaman tersebut terjadi
berhubungan dengan latar dan konteksnya (deskripsi struktural); (6) Peneliti
menggabungkan deskripsi tekstural dan deskripsi struktural, sehingga menggambarkan
esensi dari fenomena tersebut yang menampilkan aspek puncak dari penelitian
fenomenologi.
Dalam penelitian aspek fenomenologi yang dimaksud mempunyai dua peranan yang
penting yaitu usaha untuk memahami makna dari pengalaman individu tentang CLT dan
usaha untuk menterjemahkan makna dari konteks tersebut. Peneliti bukan hanya

mendeskripsikan apa yang dikatakan oleh responden, tetapi juga mencoba menggali

3

pemahaman tentang CLT melalui sudut pandang responden. Hal ini diperkenalkan oleh
Smith (2007) sebagai analisa fenomenologi interpretatif.
3.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan dengan mewawancari dosen-dosen universitas negeri dan
swasta yang mengimplementasikan CLT di dalam pengajaran mereka, baik di program
studi Bahasa Inggris maupun program studi non-Bahasa Inggris. Ada sepuluh orang
responden yang didapatkan melalui Group WhatsApp APSPBI yang bersedia di
wawancarai. Wawancara dilakukan menggunakan protokol baik secara langsung maupun
melalui sosial media.
Hasilnya adalah dari sepuluh responden tersebut 40% adalah dosen universitas negeri
dan 60% adalah dosen universitas swasta di Indonesia. Selain itu juga 60% adalah dosen
program studi Bahasa Inggris, sedangkan sisanya adalah dosen program studi Bahasa
Inggris dan English for Specific Purposes (ESP) di bidang teknik, keperawatan, dll. Dari
hasil wawancara maka dibuatkan table untuk bisa melihat hasil penelitian secara

keseluruhan berdasarkan pertanyaan-pertanyaan protokol wawancara dan selanjutnya
dapat menentukan tema-tema inti yang merupakan persamaan dan perbedaan dari masingmasing responden. Tema-tema itulah yang akan dibahas berikut ini:
a. Pengetahuan responden tentang CLT approach.


Enam responden menyatakan bahwa CLT menggunakan Pendekatan
Komunikatif/Interaksi (R1, R3, R4, R6, R8, dan R9). Seperti yang
disampaikan oleh Responden 6 (R6), “CLT adalah sebuah pendekatan
pengajaran target language dimana dalam proses teaching learning lebih
ditekankan pada aspek interaksi, komunikasi dalam mengembangkan
ketrampilan dan kompetensi Bahasa.”



Empat responden menyatakan bahwa CLT menggunakan pendekatan
Students Centered Learning/Siswa Aktif (R1, R5, R7, dan R10). Seperti
misalnya yang dikatakan oleh Responden 2 (R2) “Students are as a learning
center and teachers are as facilitator, guide, and motivator.”




Mengintegrasikan semua skills dan menggunakan authentic material (R1, dan
R8) seperti yang dijelaskan oleh Responden 8 (R8), “Salah satu metodologi
dalam pembelajaran Bahasa Inggris yang menekankan pada pengajaran
komunikatif, terintegrasi semua skills, dan penggunaan autentik material atau
materi yang asli.”



CLT diartikan sebagai pembelajaran komunikatif sejalan dengan pendapatnya
(Savignon, 2001), sedangkan student centered learning adalah pendapat
(Banciu & Jireghie, 2012) dimana siswa adalah pusat pembelajaran.

b. Hal spesifik dari pendekatan ini dibanding dengan pendekatan-pendekatan
lainnya.


Semua responden sepakat bahwa yang spesifik dari CLT adalah partisipasi
aktif siswa pada kegiatan komunikasi, tetapi ada tambahan dari responden 8
(R8) bahwa “Era sekarang ini post method, jadi menggabungkan beberapa

metode, tapi cenderung CLT applicable di semua skills.”

4



Sebagaimana disampaikan oleh (Ju, 2013) CLT memang berdasarkan banyak
penelitian dinyatakan bahwa efektif dan berhasil, bagaimanapun juga tidak
semua masalah pengajaran dapat diselesaikan dengan CLT.

c. Gambaran penerapan CLT di kelas Bahasa Inggris.


Responden 1 (R1) menyatakan bahwa, “Bahan autentik seperti contoh materi
berupa surat lamaran asli atau video dari Youtube sebagai bahan listening
atau discussion, Role-Play untuk pengajaran conversation, dll.”



Responden 2 (R2) menjelaskan bahwa, “I ask students to use the English

language through communicative activities such as games, role plays, and
problem-solving tasks, the use of authentic materials, and activities are
carried out by students in small groups in the implementation of CLT.”



Responden 3 (R3) “Penerapannya melalui kegiatan diskusi, presentasi yang
disertai tanya jawab serta kerja kelompok.”



Responden 4 (R4) menerapkan hal berikut, “Biasanya membagikan teks atau
menayangkan video yang menarik lalu siswa berkelompok untuk berdiskusi
tentang hal-hal yang saya sudah tentukan. Terkadang juga saya membuat
kelompok debat mengenai sebuah isu tertentu.”



Responden 5 (R5) menyatakan bahwa “Saya biasanya di awal pertemuan
menginstruksikan siswa untuk memperkenalkan diri dan kemudian
menceritakan pengalaman pengalaman yang pernah dialaminya diwaktu
lampau. Yang mana hanya siswanya sendiri yang tahu cerita itu.”



Responden 6 (R6) “Contohnya biasanya adalah role play, debat dan
berdiskusi atas topik topik yg kita tentukan selama dlm proses pembelajaran.
Contohnya kita membahas mengenai pengunaan present tense dalam hal
mendeskripsikan maka kita minta anak untuk bermain peran dimana
didalamnya ada unsur unsur bahasa yang sedang dibahas.”



Responden 7 (R7) menyatakan “Selama ini saya lebih banyak mengajar
mata kuliah konten seperti introduction to linguistics, jadi bukan mata kuliah
skill. Cuman dalam mata kuliah itu pun saya berusaha untuk mengajak
mahasiswa itu untuk lebih aktif, tidak selalau menerangkan, saya lebih sering
meminta mahasiswa untuk menjelaskan topik baru kita lebih banyak diskusi
dan nanti pada saat kesemipulan terakhir baru dibenahi semua.”



Responden 8 (R8) mengatakan bahwa “Untuk mata kuliah intensive reading,
mahasiswa tidak cuma membaca tetapi juga berdiskusi mengintegrasikan
reading dengan speaking, kemudian dia bisa juga membuat summary dari
text yang dia baca …”



Responden (R9) sebagai dosen pengajar ESP “… jadi saya harus
mengupayakan bagaimana supaya mahasiswa saya itu bisa mengembangkan
kemampuan bahasa yang akan digunakan nanti di lingkungan kerjanya dalam
konteks Bahasa Inggris …”



Responden 10 (R10) menjelaskan bahwa “Seperti pengalaman saya selama
ini, saya selalu mengajar mata kuliah listening. Seperti kita ketahui listening

5

adalah reseptif skill, salah satu cara supaya pelajaran listening itu tidak
membosankan, saya meminta mereka untuk melakukan suatu project yang
berhubungan dengan listening. Misalnya dengan mereka membuat video
tentang listening in TOEFL/IELTS. Jadi siswa saya kasih soal TOEFL dan
mereka saya minta membuat sebuah video pembelajaran, sehingga mereka
juga aktif dalam pembelajaran.”


Penerapan CLT membawa aspek komunikasi dan keterlibatan siswa secara
aktif, sehingga banyak menggunakan task-based learning dengan
meggunakan games dan cara-cara interaktif lainnya. Sebagaimana
disampaikan oleh (Houston & Turner, 2007)

d. Desain pembelajaran 4 makro skill; listening, speaking, writing, dan reading
dengan pendekatan CLT.


Tujuh responden yang menyatakan bahwa 4 makro skills itu diajarkan secara
terintegrasi (R1, R2, R3, R4, R6, R7, R8, dan R9), sebagai contoh yang
disampaikan oleh Responden 4 (R4), “Saya awali dengan reading atau
listening yaitu dengan membawa teks (reading) dan atau video (listening)
yang menarik. Lalu saya meminta siswa mengomentari isu yang ada dalam
bacaan atau tayangan tadi (speaking). Beberapa siswa akan mengemukakan
pendapat mereka yg mungkin saling berbeda. Pada akhir pertemuan saya
akan meminta siswa menulis (writing) respon mereka akan teks atau video
yang sudah didiskusikan tadi.”



Menurut Responden 2 (R2), “Students are allowed to work in pairs and pose
questions to one another, Pair work (Speaking) but with the questions and
answer model, Eventhough they are answering, grammar practice tends to be
the real intent …”



Responden 5 (R5) menyatakan bahwa “Materinya biasanya adalah yang
berhubungan dengan tenses, bisa simple present, simple past atau present
perfect Aktivitasnya dengan maju ke depan kelas dan bercerita tentang
keluarganya, pengalaman yang tidak terlupakan (Speaking). Yang diakhiri
dengan tepuk tangan dari teman2nya sebagai bentuk support atas usahanya
bercerita di depan kelas Listening dengan mendengarkan siswa lain bercerita
Speaking dengan secara aktif berbicara dengan topik yang disukainya saya
belum pernah mengajar writing dan reading dengan pendekatan CLT.”



Responden 10 (R10) menjelaskan bahwa “Saya juga mengajar extensive
reading, lebih kepada materialnya yang based on the students' interest.
Jadinya misalnya bikin projek siswa itu mereview jurnal (Reading). Jurnal itu
mereka mencari sendiri berdasarkan interest mereka misalnya kepada
speaking, literatur atau linguistik. Nanti mereka presentasikan jurnal itu
(Speaking).”



Sebenarnya semua macro skills bisa dipakai secara integrative dalam
pemdekatan CLT (Akram & Malik, 2010), tetapi memang tergantung kondisi
masing-masing dosen. Oleh karena itu ada beberapa dosen, memang ada
yang mengalami kesulitan untuk mengajarkan beberapa macro skills.

e. Efektifitas penerapan CLT dalam pengajaran 4 makro skill.

6



Tujuh responden menyatakan bahwa CLT dapat diterapkan secara
efektif/sangat efektif (R1, R2, R3, R4, R6, R7, R8, dan R10), sebagaimana
disampaikan oleh Responden 6 (R6) “Menurut saya sangat efektif sepanjang
gurunya paham apa yang ingin diajarkan dan tujuan akhir dari pengajaran
tsb.”



Dua responden yang menyatakan bahwa CLT tidak efektif untuk listening
(R2, dan R9), sebagaimana dikatakan oleh Responden 9 (R9) sebagai berikut:
“Saya membuat dalam metode pembelajaran yang integratif, jadi menyatu.
Misalkan di pertemuan itu saya mengajarkan tentang nursing intervention,
maka di dalamnya saya upayakan ke empat skill itu dimasukkan, tapi dengan
penekanan khusus yaitu dispeakingnya. Karena untuk listening, seperti kita
ketahui listening memerlukan semacam lab bahasa, sedangkan kita kalau
membuat mahasiswa kita dalam lab bahasa mengembangkan kemampuan
listening memerlukan waktu tersendiri dan mahasiswanya kan banyak jadi
gak mungkin dengan spesifik pengajaran listening siterapkan. Jadi saya
hanya memberikan waktu beberapa menit dalam beberapa pertemuan saja.
Itupun karena di STIKES Suaka Insan sekarang lab nya rusak, saya
mengaktifkan laptop dan membawa speaker ke dalam kelas. Secara efektif
bisa tetapi manajemen waktu akan keteteran.”



Menurut Responden 5 (R5) hanya speaking dan listening yang efektif
menggunakan CLT, “Menurut saya yang efektif hanya di 2 skills yaitu
speaking dan listening.”



Mengintegrasikan 4 makro skill adalah hal yang terbaik dapat dilakukan
untuk memaksimalkan penguasaan kompetensi komunikasi diantara para
pembelajar Bahasa Inggris (Akram & Malik, 2010).

f. Kemungkinan penerapan CLT juga dalam pengajaran grammar


Secara langsung maupun tidak langsung semua responden menyatakan bisa
saja menggunakan CLT untuk pengajaran Grammar, seperti yang
disampaikan oleh Responden 9 (R9) sebagai dosen ESP, “Saya kebanyakan
mengajar grammar, comprehend pada pengajaran speaking tadi. Contohnya
tema nursing intervention dimana saya mengajarkan bahasa-bahasa teknik
bagaimana seorang perawat apabila mau melakukan intervensi ke pasien.”



Selain itu juga disampaikan oleh Responden 10 (R10) sebagai perwakilan
dosen program studi Bahasa Inggris, “Saya pernah dulu mengajar Grammar
1, karena grammar itu bukan hanya teori-teori saja, tapi harus langsung
dipraktekkan. Jadi siswa bisa langsung memakai tenses yang sudah diajarkan
kepada mereka.”



Penerapan grammar memang seharusnya tidak lepas dari fokus koteks,
sehingga pengajarannya menjadi bermakna. Menurut (Houston & Turner,
2007), pengajaran grammar yang tidak hanya berfokus pada struktur
pembentukan kalimat adalah pendekatan yang lebih masuk akal dalam
pembelajaran bahasa.

g. Desain pembelajaran grammar dengan pendekatan CLT.

7



Semua responden menyatakan bahwa pengajaran grammar dapat dilakukan
dengan menintegrasikan semua makro skill.



Sebagai contoh Responden 8 (R8) dari program studi Pendidikan Bahasa
Inggris, “Salah satu ciri khas CLT adalah penggunaan games. Jadi grammar
tidak saja terfokus kepada rules tetapi juga ada terintegrasi dengan writing
dan speaking. Pada saat mereka belajar grammar itu harus kontekstual.
Mereka disuruh mengarang sesuai pattern yang sudah dipelajari, atau mereka
bisa membuat percakapan seperti misalnya future tense. Mereka bisa bicara
tentang topiknya planning, jadi gammar sangat tepat penggunaan CLT itu.”



Sebagai contoh jawaban dari Responden 9 (R9) yang mewakili dosen-dosen
ESP, “Misalnya I would like to measure your blood pressure. Ada context I
would like, di situ pelajaran grammar mengikuti konteks speakingnya. Jadi
saya lebih menekankan pada speaking. Bagaimana kamu menyapa pasien,
bagaimana kamu melakukan intervensi, bahasanya dulu yang saya tekankan
baru contohnya. I need to measure your blood pressure, I need to verb +
infinitive baru grammarnya diajarkan. I need to check, I need to observe,
baru ditambah kata lainnya.”



Banyak cara pengajaran grammar dalam CLT, bagaiamanapun menurut
(Chung, 2006) semua itu hanya akan efektif apabila para guru benar-benar
siap mengintegrasikan penggunaan metode itu di dalam pelajaran mereka.



Responden 2 (R2) merasa bahwa kurangnya fasilitas merupakan kendala bagi
dosen untuk mengajar, “Lack of provided facilities by university such as
learning materials, books, and LCD.”



Responden 3 (R3) menegaskan bahwa beberapa mata kuliah perlu banyak
penjelasan, “Kendalanya adalah menerapkan CLT pada mata kuliah teori
yang memerlukan penjelasan.”



Responden 5 (R5) dosen harus selalu inovatif, “Kendala/ tantangan bagi
Anda sebagai dosen pengajar tantangannya adalah terus berkreasi supaya
siswa tidak merasa bosan.”



Dua responden menyatakan bahwa keterbatasan waktu adalah kendala yang
perlu diantisipasi (R6, dan R9). Responden 9 (R9) menyatakan bahwa, “
Waktu yang sangat sempit karena 2 SKS dalam satu minggu, jumlah siswa
yang besar, karena saya lebih banyak ke role play. Dialog-dialog itu
memerlukan waktu yang lama, kadang-kadang saya menyiasatinya dengan
saya suruh mereka merekam suara mereka, kemudian menyampaikan ke
saya.”



Responden 7 (R7) menyatakan bahwa dosen kesulitan membujuk mahasiwa
untuk berperan aktif dalam diskusi di kelas, “Tidak terlalu banyak
sebenarnya, karena mahasiswa Bahasa Inggris disini sudah sangat aktif, but
some students is not really active in the classroom. Untuk mengajak
mahasiswa yang sangat pemalu ini memang agak sedikit berat. Apalagi untuk
masalah komunikasi, di kelas pun ditunjukpun, mereka tidak mau berbicara.
Jadi kita harus mencari cara lain agar mereka mau sharing di kelas.”

8



Tiga responden menyatakan tidak bermasalah dalam pelaksanaan CLT
sebagai dosen (R1, R4, dan R8). Sebagaiman disampaikan oleh Responden 4
(R4),” tidak ada kendala jika pembahasan atau wacana atau teks yg kita bawa
menarik. Tetapi ketika teksnya tidak menarik maka keikutsertaan siswa untuk
aktif biasanya kurang optimal.”



Menurut Al Asmari (2015) ada beberapa hal ang menyebabkan kendala bagi
dosen: (1) dosen mempunyai kesalahan pemahaman tentang CLT; (2) dosen
tidak menggunakan Bahasa inggris pada konteks yang seharusnya; (3) dosen
tidak memahami budaya Inggris; (4) dosen mempunyai sedikit waktu untuk
mengembangkan materi ajar; (5) dosen hanya mempunyai sedikit informasi
tentang pengembangan bahan ajar komunikatif; (6) tidak ada pelatihan
tentang CLT untuk dosen; (7) hanya sedikit kesempatan dosen mengikuti
pelatihan CLT; dan (8) dosen tidak mempunyai bahan ajar yang autentik
untuk mensupport pengajaran.

h. Kendala-kendala yang dihadapi mahasiswa berdasarkan pengamatan dosen yang
menggunakan pendekatan pengajaran CLT.


Kemampuan atau kompetensi mahasiswa yang terbatas (R1, R2, R3, R6, R8,
dan R9, sebagaimana disampaikan oleh Responden 9 (R9), “Seperti yang
Bapak ketahui, Bahasa Inggris adalah Bahasa yang asing bagi mereka,
banyak dari mereka yang tidak pernah kursus atau semacamnya. Mereka
belajar Bahasa Inggris hanya di sekolah saja, pada saat mengikuti pelajaran
bahasa Inggris juga tidak totalitas. Mereka menganggap pelajaran bahasa
Inggris adalah bukan pelajaran keperawatan jadi bukan merupakan prasyarat
kelulusan jadi tidak mereka ikuti benar-benar serius. Keterbatasan dalam
kemampuan Bahasa Inggris sebelumnya. Itu yang merupakan kendala bagi
mahasiswa untuk mengikuti pelajaran Bahasa Inggris ESP ini.”



Responden 4 dan 7 (R4 dan R7) menyatakan bahwa minat mahasiwa untuk
membaca sangat kurang sehingga mempengaruhi keaktifannya dalam diskusi
di kelas,” Sementara ini kendala utama yang berhubungan dengan CLT
adalah mereka harus membaca dulu sebelum masuk kelas, jadi di kelas kita
bisa sharing. Kendalanya adalah mahasiswa tidak suka membaca, jadi
disuruh membacapun mereka tidak mau. Harus ada cara lain agar diskusi bisa
lebih hidup.”



Responden 5 (R5) menyatakan bahwa kecemasan dan kelas besar adalah
kendalanya, ”Tantangannya adalah menghadapi anxiety ketika berada
didepan kelas, yang mana tantangan untuk pengajarnya juga big class.”



Responden 10 (R10) menjelaskan bahwa, “ Mahasiswa sendiri enjoy aja
dengan pembelajarannya, mereka sangat menyukai pembelajaran aktif
daripada yang sekedar mendengarkan dosennya aja. Karena mereka lebih
bisa mempraktekkan bahasa yang sudah mereka pelajari. Kendalanya pada
saat mereka harus menerima pembelajaran yang sangat sulit, misalnya dalam
listening 3 berhubungan dengan TOEFL ada beberapa macam skill, nah
mereka kurang memahami dari skill itu, karena skill yang diajarkan itu susah.
Memerlukan waktu yang lebih lama untuk belajar.”

9



Kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan CLT dari sisi mahasiswa
menurut Al Asmari (2015) adalah (1) kemampuan bahasa mahasiswa yang
sangat rendah; (2) pembelajaran yang pasif; (3) kurang percaya diri dan tidak
terbiasa dengan metode CLT; (4) mahasiswa menolak untuk berpartisipasi di
kelas; dan (5) kurangnya motivasi untuk mengembangan kompetensi
komunikasi.

i. Kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan CLT terkait kebijakan
institusi.


Tidak ada kendala dari kebijakan institusi, bahkan mereka menyatakan
institusi sangat mendukung (R1, R2, R3, R6, R7, R8, dan R9). Menurut
Responden 8 (R8) insitusi sangat mendukung bahkan dengan membagi
mahasiswa sesuai kemampuan mereka, “Untuk jurusan bahasa Inggris, untuk
memudahkan pengajaran, kami membagi siswa kepada berdasarkan
kemampuan/ability, sehingga bisa menyesuaikan materi dengan kemampuan.
Dan ini sangat efektif untuk beberapa tahun ini, seperti kursus. Selama ini
kan mereka masuk ada yang nilainya bagus sekali TOEFL nya 500, ada juga
yang 300an, sehingga ekspektsi pembelajaran kita tidak bisa sama. Bila dapat
nilai 60 untuk level rendah ya kita harus puas.”



Responden 4 (R4) menyatakan bahwa insitusi belum melaksanakan CLT, “
Prodi saya belum melaksanakan pengajaran keterampilan secara terintegrasi
sehingga saya merasa kurang leluasa karena di kelas dengan judul speaking,
misalnya, saya menugaskan mahasiswa untuk menulis. Terkadang saya
khawatir mahasiswa menilai saya tidak konsisten dalam mengajar.”



Menurut Responden 5 (R5), waktu ajar kurang,” Kendala yang berarti adalah
waktu yang kadang melebihi waktu ajar.”



Responden 10 (R10) menyatakan fasilitas yang kurang memadai, “
Penyediaan LCD, listening di lab bahasa itu kalau mau menampilkan videovideo LCD nya harus pasang sendiri. Dari segi fasilitas, meskipun LCD
tersedia tetapi harus disiapkan oleh dosen sendiri.”



Al Asmari (2015) menyatakan bahwa kendala-kendala yang berhubungan
dengan kebijakan institusi adalah: (1) tidak ada dukungan dari pihak institusi;
(2) cara pandang tradisional tentang peran mahasiswa dan dosen yang tidak
sejalan dengan CLT; (3) kelas-kelas yang sangat besar tidak efektif untuk
pelaksanaan CLT; (4) terbatasnya materi-materi untuk aktifitas-aktifitas
komunikasi; (5) CLT belum sesuai dengan evalusi akhir pembelajaran; (6)
Silabus yang belum sesuai dengan aktivitas yang berhubungan dengan
komunikasi; dan (7) kelas tidak dilengkapi dengan audio video yang
diperlukan untuk kegiatan CLT.

j. Kendala-kendala yang dihadapi terkait CLT sebagai sebuah pendekatan
pengajaran Bahasa.


Tiga responden menyatakan bahwa tidak ada kendala yang berhubungan
dengan CLT (R1, R2, dan R10), seperti menurut Responden 10 (R10) yang
menyatakan, “Tidak ada, kalaupun ada bisa aja diatasi oleh teachernya yang
disesuaikan dengan keadaan atau kemampuan siswanya sendiri.”

10



Responden 3 (R3) “Banyak waktu diperlukan untuk pelaksanaan CLT.”



Responden 4 dan 7 (R4 dan R7) meyakini bahwa dosen harus kreatif untuk
membuat mahasiswa aktif, ”Bukan kendala tapi tantangan untuk mencari
materi yg menarik.”



Responden 5 (R5) meskipun materi cukup tetapi perlu media lain untuk
pengajaran menggunakan CLT, “Kadang2 media yang ada tidak mencukupi,
atau membutuhkan usaha khusus untuk menghadirkan media lain. Sedangkan
materinya tidak ada kendala khusus.”



Responden 6 (R6) “Bagaimana membuat semua siswa bisa active secara
penuh.”



Responden 8 dan 10 (R8 dan R10) menyatakan bahwa pelaksanaan CLT
harus sesuai kemampuan mahasiswa, “Ide untuk pelaksanaan CLT yg sesuai
dengan level kemampuan siswa.”



Responden 9 (R9) “CLT sebagai pendekatan/approach udah bagus, cuma dari
situasional penerapan lingkungan saja yang membuat tujuan dari CLT masih
belum secara optimal didapatkan.”



Kendala-kendala yang berhubungan CLT sebagai sebuah pendekatan
menurut Al Asmari (2015) adalah: (1) kurang efektif dan efisiennya
istrumen-instrumen untuk mengakses kompetensi komunikatif; (2) CLT tidak
membedakan perbedaan konteks pembelajaran EFL dan ESL; (3) asumsi
pemikiran dunia barat tidak sesuai dengan konteks lokal; (4) CLT
memerlukan materi-materi ajar yang spesifik; dan (5) kurangnya instrument
penilaian dengan konteks lokal.

k. Solusi yang Anda sarankan untuk mengantisipasi kendala-kendala dalam
penerapan CLT di kelas Anda.








Responden 1 (R1) mengusulkan agar dosen lebih rajin, “Dosen harus lebih
rajin untuk menemukan tasks dan materi baru yang menantang bagi siswa dan
itu bisa terfasilitasi lewat teknologi - Dosen harus lebih sabar dalam
membimbing dan menciptakan atmospir kelas yang menyenangkan sehingga
siswa tidak segan untuk mengekspresikan ide mereka”. Merupakan solusi
untuk kendala pelaksanaan CLT dari sisi dosen pengajar.
Responden 2 (R2) melihatnya dari segi dukungan institusi, “Pihak institusi
harus memberikan fasilitas-facilitas yang mendukung proses pengajaran dan
pembelajaran dalam updated recourse seperti larning materials, links of
journals, English books, LCD dan lain sebagainya”. Merupakan solusi bagi
permasalahan yang berasal dari dukungan institusi.
Responden 3 (R3) menekankan pada, ”Manajemen waktu yang lebih baik,
memotivasi mahasiwa untuk lebih aktif berpartisipasi, serta menyiapkan bahan
diskusi yang menarik dan tepat sasaran”. Merupakan solusi bagi kendala yang
dihadapi mahasiswa dan dosen.
Responden 4 (R4) merasa bahwa institusi perlu mendukung pelaksanaan CLT,
“Mengubah kebijakan pengajaran keterampilan berbahasa sehingga

11













terintegrasi (whole language approach)”. Hal ini adalah solusi untuk
permasalahan yang berhubungan dengan CLT sebagai dukungan institusi.
Responden 5 dan 6 (R5 dan R6) menekankan pada pembelajaran yang lebih
menarik sebagaimana disampaikan oleh Responden 6, “Sebisa mungkin
menstimulate siswa untuk belajar bahasa inggris dengan cara yang menarik,
bahwa belajar juga bisa diluar kelas dan membuat mereka tidak menganggap
bahasa inggris bahasa yang mengerikan.” Hal ini adalah solusi bagi dosendosen agar pelaksanaan CLT dapat mencapai hasil yang terbaik bagi siswa.
Responden 7 (R7) setuju dengan memahami mahasiswa dan topik kita, serta
penggunaan teknologi, “Mengenali karakteristik mahasiswa, harus benarbenar memahami topik yang kita ajarkan, membuat kita disukai mahasiswa,
teknologi juga membantu untuk pelaksanaan CLT.” Masukan ini sangat baik
untuk jadi pertimbangan dosen dalam pelaksanaan CLT.
Responden 8 (R8) menyarankan agar tidak hanya mengunakan CLT, “Selain
CLT kita bisa menggunakan teknik/metode yang lain untuk memaksimalkan
pemahaman mahasiswa terhadap materi. Selain itu juga, pemilihan materi
karena authentic materials itu beda level beda juga disesuaikan dengan
kemampuan mahasiswa.” Masukan ini sangat baik untuk jadi pertimbangan
bagi dosen sebelum mulai mengajar dengan mengunakan pendekatan CLT.
Responden 9 (R9) “Karena saya mengajar bahasa Inggris ESP hanya 2 SKS
pengajaran, mengingat Bahasa Inggris sangat diperlukan oleh mereka untuk
bekal kerja nanti, maka seyogyanya jam Bahasa Inggris ditambah atau paling
tidak ada semacam Kokurikuler yang diwajibkanlah bagi mahasiswa saya
sehingga mahasiswa selain memperoleh bahasa inggris secara akademik,
mereka dapat juga membangun kemampuan Bahasa Inggrisnya di ekstra
kurikuler tersebut. Jadi mereka itu tidak betul-betul gagap dalam mengikuti
Bahasa Inggris yang berupa ESP ini. Karena pada dasarnya kemampuan dasar
Bahasa Inggris merekapun masih belum cukup, untuk mengikuti pelajaran di
kelas.” Hal ini adalah masukan bagi institusi dalam rangka mensupport
peningkatan kemampuan komunikasi para mahasiswa.
Responden 10 menyatakan bahwa CLT harus sesuai skill yang ingin diajarkan,
“Penerapan CLT harus disesuaikan dengan skill yang mau diajarkan ke siswa
dan disesuaikan juga dengan jumlah siswa yang ada di kelas. Misalnya skill
yang ingin kita ajarkan itu listening, speaking, reading atau writing harus
disesuaikan dengan autentik material dan jumlah mahasiswa di kelas itu.
Semakin sedikit siswa maka semakin efektif penerapannya, kalau semakin
banyak kita bisa menggunakan grouping. Bisa-bisanya gurunya lah
menyesuaikan.” Masukan ini berhubungan dengan kendala dari sisi dosen
pengajar, agar pencapaian CLT bisa maksimal.
Masukan dari masing-masing responden memperkaya pengaplikasian CLT
agar dapat mendapatkan hasil yang terbaik, terutama dalam pengajaran
mahasiswa untuk mencapai kompetensi komunikasi yang terbaik.

4.

SIMPULAN
Pengetahuan para dosen terhadap konsep CLT dan implementasinya sangat baik, bila
disandingkan dengan teori-teori tentang CLT sebagai pembelajaran dengan berbasis pada

12

kompetensi komunikasi dan menitikberatkan pada keaktifan siswa di kelas (student
centered learning). Pengajaran dilakukan dengan lebih interaktif dan menggunakan taskbased learning serta materi-materi otentik, sehingga membantu siswa untuk selalu aktif.
Penerapan CLT dalam konteks perguruan tinggi di Indonesia dilihat dari
pengintegrasian makro skill sudah dilakukan oleh semua responden, meskipun menurut
beberapa responden ada skill yang kurang efektif jika diajarkan dengan pendekatan CLT
seperti listening dan speaking. Pengajaran grammar dilaksanakan secara terintegrasi dan
lebih menyenangkan sesuai dengan konteks, tidak berupa pengajaran teori-teori stuktur.
Tanpa konteks yang jelas maka, pengajaran grammar menjadi hal yang membingungkan
untuk diintegrasikan dengan 4 makro skills.
Tantangan maupun hambatan yang dialami oleh para dosen di Perguruan Tinggi di
Indonesia secara garis besar dapat dibagi menjadi 4 kategori yaitu: (1) hambatan-habatan
dari sisi dosen pengajar; (2) hambatan-hambatan dari mahasiswa; (3) hambatan-hambatan
dari kebijakan institusi; dan (4) hambatan-hambatan dari CLT sendiri sebagai suatu
pendekatan pengajaran. Dari empat tantangan tersebut para dosen berusaha memberikan
solusi maupun rekomendasi yang dapat menjadi masukan bagi dosen-dosen lain yang
ingin menerapkan CLT dalam pembelajaran Bahasa Inggris. Diharapkan di masa yang
akan datang ada penelitian lanjutan untuk menguji apakan masukan dari dosen-dosen itu
benar-benar bisa menyelesaikan hambatan dan tantangan dari CLT baik di perguruan
tinggi maupun pada level pendidikan di bawahnya.

DAFTAR RUJUKAN
Adi, S. S. (2015). Communicative Language Teaching: Is it Appropriate for Indonesian
Context? Retrieved June 22, 2018, from
http://sugengadi.lecture.ub.ac.id/2012/01/communicative-language-teaching-is-itappropriate-for-indonesian-context/
Akram, A., & Malik, A. (2010). Integration of language learning skills in second language
acquisition. International Journal of Arts And, 3(14), 231–240. Retrieved from
http://openaccesslibrary.org/images/PRV127_Aneela_Akram.pdf
Al Asmari, A. A. (2015). Communicative Language Teaching in EFL University Context:
Challenges for Teachers. Journal of Language Teaching and Research, 6(5), 976–
984.
Arfiandhani, P. (2015). An Investigation of Challenges Related to Communicative
Language Teaching (CLT) Practices in Indonesian Senior High School. Retrieved
June 22, 2018, from https://arfiandhanisme.wordpress.com/2015/03/13/aninvestigation-of-challenges-related-to-communicative-language-teaching-cltpractices-in-indonesian-senior-high-schools/
Ariatna. (2016). The Need for Maintaining CLT in Indonesia. TESOL Journal, 7(4), 800–
822. http://doi.org/10.1002/tesj.246
Arifah, N. A. (2014). Pengajaran Bahasa Inggris di Indonesia Terlalu Kaku | ABC Radio
Australia. Retrieved January 23, 2018, from
http://www.radioaustralia.net.au/indonesian/2014-05-30/pengajaran-bahasa-inggris-

13

di-indonesia-terlalu-kaku/1318670
Banciu, V., & Jireghie, A. (2012). Communicative Language Teaching. The Public
Administration and Social Policies Review, 1(8), 95–98.
http://doi.org/10.1177/136216889700100303
Chung, S.-F. (2006). A Communicative Approach to Teaching Grammar: Theory and
Practice. The English Teacher, XXXIV, 33–50.
http://doi.org/10.1504/IJCEELL.2005.007707
Communicative Language Teaching: Jeremy Harmer and Scott Thornbury | The New
School - YouTube. (2013). Retrieved June 10, 2018, from
https://www.youtube.com/watch?v=hoUx036IN9Q
Creswell, J. W. (2014). Penelitian Kualitatif & Desain Riset Memilih di Antara Lima
Pendekatan. (S. Z. Qudsy, Ed.) (Edisi Indo). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Dukes, S. (1984). Phenomenological methodology in the human sciences. Journal of
Religion & Health, 23(3), 197–203. http://doi.org/10.1007/BF00990785
Houston, T., & Turner, P. K. (2007). Mindfulness and Communicative Language Teaching.
Academic Exchange.
Jamaliah, Fauziah, & Farizawati. (2017). The Implementation of Communicative
Approach in Teaching English at Junior High School. ISELT-5.
Ju, F. (2013). Communicative Language Teaching (CLT): A Critical and Comparative
Prespective. Theory and Practice in Language Studies, 3(9), 1579–1583.
Kibbe, C. T. (2017). The History of Communicative Language Teaching ( CLT ) and its
Use in the Classroom.
Liu, S. (2015). Reflections on Communicative Language Teaching and Its Application in
China *. Theory and Practice in Language Studies, 5(5), 1047–1052.
http://doi.org/http://dx.doi.org/10.17507/tpls.0505.20
Moustakas, C. (1994). Phenomenological Research Methods. Sage Publication, 154–157.
http://doi.org/10.4135/9781412995658
Padilla-Díaz, M. (2015). Phenomenology in Educational Qualitative Research: Philosophy
as Science or Philosophical Science? International Journal of Educational
Excellence, 1(2), 101–110. http://doi.org/10.18562/IJEE.2015.0009
Richards, J. (2006). Communicative Language Teaching Today. Cambridge University
Press (Vol. 25). http://doi.org/10.1037/a0020992
Rubin, H. J., & Rubin, I. S. (2005). Qualitative Interviewing – The Art of Hearing Data.
(E. H. Bragason, Ed.)SAGE Publications (2 Edition). London, New York: Thousand
Oaks. http://doi.org/http://dx.doi.org/10.4135/9781452226651
Savignon, S. J. (2001). Communicative language teaching for the twenty-first century. In
Teaching English as a second Language (pp. 3–13).
Shinta, I. C. ., & Tedjaatmadja, H. M. (2010). The Implementation of Comunicative
Language Teaching Approach.
Sholihah, H. (2012). The Challenges of Applying Indonesian Senior High School Context.
Encounter, 3(2), 1–17.
Smith, J. A. (2007). Beyond the divide between cognition and discourse : Using
interpretative phenomenological analysis in health psychology beyond the divide
between cognition and discourse : using interpretative phenomenological analysis in
health psychology, (June 2013), 37–41. http://doi.org/10.1080/08870449608400256
Thornbury, S. (2017). Communicative Language Teaching: 40 Years On: A Public
Presentation by Scott Thornbury - YouTube. Retrieved June 11, 2018, from
https://www.youtube.com/watch?v=qf4IfEbxF4s

14

Ulfah, R., Apriliaswati, R., & Arifin, Z. (2015). The Implementation of Communicative
Language Teaching Approach in Teaching Speaking.
Wiyono, B. B., Gipayana, M., & Ruminiati. (2017). The Influence of Implementing
Communicative Approach in the Language Teaching Process on Students’ Academic
Achievement. Journal of Language Teaching & Research, 8(5), 902–908. Retrieved
from http://10.0.68.99/jltr.0805.08%0Ahttp://ezproxy.stir.ac.uk/login?
url=http://search.ebscohost.com/login.aspx?
direct=true&db=ehh&AN=129664592&site=ehost-live

15