Perbandingan Gagasan Immanuel Kant dan J

Cogito, Vol. 2, No. 1, May 2015
Perbandingan Gagasan Immanuel Kant dan Jacques Derrida atas Konsep Hak
Kosmopolitan atas Keramahan (Cosmopolitan Right of Hospitality)
Rizky Alif Alvian
Mahasiswa S-1 Ilmu Hubungan Internasional
Universitas Gadjah Mada
Abstrak
Makalah ini bertujuan untuk membandingkan gagasan Immanuel Kant dan Jacques
Derrida mengenai hak kosmopolitan atas keramahan (cosmopolitan right of hospitality).
Perbandingan ini dilatari oleh menguatnya isu penerimaan imigran, pengungsi, dan
pencari suaka di dalam diskursus hubungan internasional. Perbandingan atas keduanya
menunjukkan bahwa Kant dan Derrida menginterpretasi hak tersebut secara berbeda.
Sementara Kant mengadvokasi hak manusia untuk saling mengunjungi, Derrida
mendorong terciptanya hak manusia untuk diterima. Perbedaan ini berpengaruh
terhadap struktur kosmopolitanisme yang didorong oleh keduanya.
Kata Kunci: Immanuel Kant, Jacques Derrida, Hak Kosmopolitan atas Keramahan,
Kosmopolitanisme.
A. Pengantar
Permasalahan imigran, pengungsi dan pencari suaka merupakan masalah yang memancing
dilema bagi berbagai negara. Di satu sisi, menerima orang-orang asing (stranger/foreigner) bisa
berakibat negatif bagi negara penerima. Sumber daya yang semula dialokasikan negara untuk

warga negaranya kini harus dibagi dengan orang asing tersebut. Imbasnya, warga negara akan
menerima sumber daya yang lebih sedikit dari seharusnya. Di lain sisi, menolak orang asing
untuk memasuki suatu negara beresiko membuat hidup orang asing itu terancam. Imigran,
pengungsi atau pencari suaka umumnya merupakan orang-orang yang meninggalkan tanah
airnya karena keselamatan mereka terancam di kampung halaman. Menolak mereka berarti
mengembalikan mereka ke dalam kondisi berbahaya itu. Artinya, dalam menghadapi orang asing
ini, negara berada dalam posisi dilematis: Apakah negara akan mengorbankan sumber dayanya
yang terbatas dengan menerima orang asing? Ataukah negara akan melindungi sumber dayanya
dengan cara menolak kehadiran orang asing—meskipun hal itu berarti mengembalikan orang
asing ke dalam kondisi berbahaya? Apakah tindakan yang harus diambil?

1

Cogito, Vol. 2, No. 1, May 2015
Immanuel Kant sudah sejak jauh-jauh hari mengantisipasi permasalahan ini. Kant
berpendapat bahwa tiap manusia memiliki hak untuk mengunjungi belahan bumi manapun yang
ia kehendaki walau dengan sejumlah syarat. Hak orang asing untuk berkunjung ini disebut
sebagai hak kosmopolitan atas keramahan (cosmopolitan right of hospitality)—selanjutnya akan
disebut ‘hak kosmopolitan’ atau ‘hak atas keramahan’. Meskipun mencakup hak untuk
berkunjung, hak kosmopolitan ini tidak mencakup hak untuk diperlakukan seperti tamu. Orang

asing tidak dengan serta merta berhak atas pelayanan, sumber daya, dan perlindungan dari
penerimanya. Pikiran Kant ini dapat dipahami mengingat Kant tidak merancang hak
kosmopolitan sebagai instrumen melindungi orang lain, melainkan sebagai alat untuk
membentuk federasi dunia. Dengan saling mengunjungi, Kant berharap manusia bisa saling
memahami satu sama lain dan akhirnya membuat mereka ingin menyatukan diri.
Gagasan Kant di atas memperoleh kritik dari filsuf Perancis, Jacques Derrida. Bagi
Derrida, hak kosmopolitan tidak bersifat instrumental. Sebaliknya, hak kosmopolitan itu
semestinya menjadi fokus utama dari kosmopolitanisme dan bukan menjadi alat untuk mencapai
tujuan yang tiba sesudah hak itu dipraktekkan. Konsekuensinya, bagi Derrida, hukum
internasional seharusnya berisi aturan yang memastikan agar hak kosmopolitanisme ini
dipraktekkan. Esai ini bertujuan menjelaskan kritik Derrida terhadap konsep hak kosmopolitan
tersebut. Untuk menjelaskan hal itu, esai ini akan dibagi menjadi dua bagian besar. Pertama, esai
ini akan menjelaskan konsep hak kosmopolitan menurut Kant. Kedua, esai ini akan memaparkan
gagasan Derrida tentang hak kosmopolitan, termasuk kritiknya terhadap Kant. Terakhir, esai ini
ditutup dengan kesimpulan.
B. Hak Kosmopolitan Kantian
Konsep hak kosmopolitan Kantian harus didudukkan di dalam gagasan Kant tentang
kosmopolitanisme; dan gagasan Kant tentang kosmopolitanisme tersebut harus diletakkan di
dalam gagasannya tentang etika. Oleh karena itu, bagian ini pertama-tama akan mengulas
pandangan Kant tentang etika lebih dahulu sebelum masuk ke dalam topik kosmopolitanisme

dan hak kosmopolitan.
Etika Kant bersifat deontologis. Artinya, bagi Kant, sesuatu harus dilakukan karena
tindakan itu benar terlepas dari apapun konsekuensinya.1 Gagasan Kant ini berbeda dengan,
1

Thomas Donaldson, ‘Kant’s Global Rationalism’, Terry Nardin dan David Mapel (eds.), Traditions of International
Ethics (Cambridge: Cambridge University Press, 1992), hlm. 137.

2

Cogito, Vol. 2, No. 1, May 2015
misalnya, etika Aristotelian yang mengasosiasikan apa yang baik atau benar dengan apa yang
memberi kebahagiaan terbesar. Franz-Magnis Suseno memberi contoh sebagai berikut:
Seseorang ditangkap polisi dan dipaksa membuat fitnah bahwa orang lain telah melakukan
tindakan kriminal. Apabila orang tersebut menolak membuat fitnah, maka ia akan dihukum mati.
Dalam etika Aristotelian, membuat fitnah akan menjadi pilihan yang tepat karena dengan cara itu
ia akan memperoleh kebahagiaan terbesar—dibandingkan dengan tetap diam dan dihukum mati.
Dalam etika Kantian, orang tersebut harus memilih dihukum mati. Pasalnya, membuat fitnah,
adalah sesuatu yang buruk pada-dirinya.2 Pertanyaannya kemudian adalah: darimana manusia
memperoleh standar baik dan buruk itu? Kant berpandangan bahwa etika sejak semula sudah

tertanam di dalam diri manusia. Etika bersifat a priori atau mendahului pengalaman dan bisa
ditemukan jika manusia berpikir rasional.3
Kant berpendapat bahwa pada awalnya manusia tidak menyadari keberadaan etika ini.
Manusia adalah makhluk yang mengejar kepentingan dirinya masing-masing. Manusia bisa
mengejar kepentingannya masing-masing karena tiap manusia pada dasarnya bebas. Akan tetapi,
karena kepentingan tiap orang seringkali berkonflik satu sama lain, kebebasan untuk mencapai
tujuan pribadi membuat kebebasan orang lain untuk mencapai tujuannya sendiri menjadi
terganggu. Di titik ini, manusia menyadari bahwa kebebasan yang tak diatur bisa memberi
dampak buruk. Oleh karena itu, manusia membentuk aturan untuk membatasi kebebasan masingmasing individu sehingga kebebasan satu orang tidak akan mengganggu kebebasan orang lain.
Dengan kata lain, kebebasan tak terbatas seseorang dibatasi dengan hukum agar seluruh
kebebasan individu-individu di dalam masyarakat bisa harmonis. Artinya, walaupun kebebasan
seseorang dikurangi, kebebasan itu sebenarnya adalah kebebasan maksimal yang memungkinkan
harmoni. Andai kebebasan ditingkatkan lagi, maka ‘state of war’-lah yang akan muncul dan
bukannya harmoni.4
Kant menerapkan logika di atas dalam masalah politik internasional. Menurut Kant, pada
prinsipnya tak ada perbedaan besar antara logika individu di dalam masyarakat dengan logika
negara di dalam dunia internasional. Semula, kondisi dunia internasional diwarnai dengan
2

Franz Magnis-Suseno, ‘Moralitas dan Otonomi: Immanuel Kant’, kuliah disampaikan dalam Filsafat Etika dari

Yunani Klasik hingga Jawa, Teater Salihara, 9 Februari 2013.
3
Donaldson, hlm. 136; lihat juga Immanuel Kant, ‘An Answer to the Question: What is Enlightenment?’, Toward
Perpetual Peace and Other Writings, (London: Yale University Press, 2006).
4
Immanuel Kant, ‘Idea for Universal History from a Cosmopolitan Perspective’, Toward Perpetual Peace and
Other Writings, (London: Yale University Press, 2006), hlm. 3-10.

3

Cogito, Vol. 2, No. 1, May 2015
pertentangan kepentingan yang akhirnya memicu perang. State of nature, menurut Kant, adalah
state of war. Namun, seiring dengan waktu, negara-negara menyadari bahwa berperang adalah
tidak rasional. Sebaliknya, menciptakan perdamaian merupakan pilihan yang rasional. Oleh
karena itu, negara-negara kemudian membentuk federasi global untuk menjamin eksistensi
perdamaian tersebut. Federasi Kantian ini membatasi kebebasan negara anggotanya agar
kebebasan tiap negara selaras dengan kebebasan negara lain sehingga perang tak terjadi. Federasi
menetapkan aturan di tingkat global yang mengatur bagaimana negara-negara berinteraksi.
Federasi inilah yang, menurut Kant, menandai terbentuknya dunia kosmopolitan.5
Berdasar uraian di atas, Kant berusaha menunjukkan bahwa manusia—baik di level

masyarakat ataupun dunia internasional—bergerak dari kondisi perang dan konflik menuju
kondisi perdamaian. Manusia bergerak dari keadaan dimana kebebasan tak diatur oleh hukum
menuju keadaan dimana kebebasan diatur oleh hukum. Di antara kedua fase ini, ada fase dimana
manusia memperoleh kesadaran bahwa perang itu tidak baik, melakukan deliberasi, dan akhirnya
membentuk hukum untuk mencegah perang. Fase ini krusial karena, menurut Kant, manusia
pada dasarnya selalu berusaha menerapkan gagasan-gagasan yang sudah lebih dahulu ia miliki.6
Ranah material adalah manifestasi dari ranah ideal. Federasi dunia pun sebenarnya merupakan
penerapan dari gagasan umat manusia tentang federasi dunia. Konsep hak kosmopolitan
diciptakan Kant untuk membantu manusia menemukan gagasan federasi dunia ini. Hak
kosmopolitan memediasi fase state of nature dengan fase kosmopolitan. Hak kosmopolitan
membuat manusia bisa saling mengunjungi, berkomunikasi dan akhirnya menciptakan kehendak
bersama (common will) untuk mengatasi segala perang dengan cara menciptakan federasi dunia.
Lewat proses inilah manusia akan ‘continually progressing toward perpetual peace’.7
Hak kosmopolitan disebut juga sebagai hak atas keramahan (hospitality) atau hak
berkunjung (visitation). Hak ini diatur dalam artikel ketiga dari ‘Perpetual Peace’ yang
berbunyi: The Law of World Citizenship Shall be Limited to Conditions of Universal
Hospitality’. Tiap orang memiliki hak ini karena, menurut Kant, seluruh manusia memiliki hak
asali atas permukaan (surface) bumi sebelum permukaan bumi dikotak-kotakkan dalam batas5

Immanuel Kant, ‘Toward Perpetual Peace: A Philosophical Sketch’, Toward Perpetual Peace and Other Writings,

(London: Yale University Press, 2006), hlm. 78-82.
6
Immanuel Kant, ‘Metaphysics of Moral’, Toward Perpetual Peace and Other Writings, (London: Yale University
Press, 2006), hlm. 135.
7
Kant, ‘Toward Perpetual Peace’, hlm. 85; lihat juga Gideon Baker, Politicising Ethics in International Relations
(New York: Routledge, 2011), hlm. 65-70.

4

Cogito, Vol. 2, No. 1, May 2015
batas negara. Namun, di lain sisi, Kant juga mengakui hak suatu bangsa atas wilayah negara
mereka. Hak kosmopolitan berada dalam tegangan antara hak asali umat manusia atas
permukaan bumi dan hak suatu bangsa atas wilayah mereka. Oleh karena itu, hak kosmopolitan
Kantian memiliki dimensi ganda. Di satu sisi, hak kosmopolitan memberikan hak bagi setiap
individu di bumi untuk mengunjungi negara-negara lain. Keselamatan individu ini tidak boleh
diancam oleh negara penerima apabila individu itu datang dengan damai. Di lain sisi, hak
kosmopolitan hanya mencakup hak untuk berkunjung, berkomunikasi, membuka kontak dan
menunjukkan diri (present) di hadapan negara dan masyarakat yang dikunjungi. Orang asing
yang berkunjung tidak secara otomatis berhak atas sumber daya dari negara penerima. Pelayanan

yang baik dari negara penerima harus diatur dalam perjanjian terpisah. Negara penerima juga
berhak untuk menolak menerima orang asing jika penolakan itu tidak akan berdampak buruk
bagi keselamatan sang pengunjung.8
Dengan demikian, hak kosmopolitan Kantian ini sebenarnya memiliki cakupan yang
sangat minimal. Seseorang hanya bisa diterima sejauh (1) ia tidak berbahaya bagi penerima dan
(2) ia berada dalam keadaan yang sangat kritis sehingga menolak kunjungannya akan
menimbulkan ancaman pada keselamatannya. Bila ia berbahaya, maka negara penerima berhak
untuk menolak. Andaikata sang pengunjung tidak berbahaya sekalipun, negara penerima tetap
berhak untuk menolak sejauh penolakan itu tidak akan berbahaya bagi sang pengunjung.
C. Kritik Derrida
Kritik Derrida terhadap Kant bisa dibaca dengan pertama-tama memahami karakter pemikiran
Derrida, khususnya gagasannya tentang ‘dekonstruksi’. Dekonstruksi—gagasan yang sentral
dalam pemikiran Derrida—merupakan strategi membaca teks yang setidaknya mempunyai dua
ciri. Pertama, dekonstruksi berusaha menunjukkan bahwa sebuah teks selalu bersifat multitafsir.
Teks tidak pernah memiliki makna yang ‘tetap’, ‘benar’, ‘stabil’ atau ‘seharusnya’ karena
hubungan antara teks (sebagai petanda/signifier) dan makna (sebagai tinanda/signified) selalu
bersifat arbitrer. Derrida berusaha menantang pandangan mapan yang mengandaikan bahwa
selalu ada tafsiran yang benar dan salah dalam memahami sebuah teks. Menurutnya, selama ini,
sebuah tafsiran hanya nampak benar karena makna-makna alternatif dari sebuah teks direpresi,
8


Kant, ‘Toward Perpetual Peace’, hlm. 82, ‘Metaphysics of Moral’, hlm. 146; karena sifat ganda ini, Kleingeld
menyebut Kant sebagai ‘kosmopolitan moderat’ dan bukan ‘kosmopolitan radikal’. Lih. Pauline Kleingeld, ‘Kant’s
Cosmopolitan Law: World Citizenship for a Global Order’, Kantian Review, Volume 2, 1998.

5

Cogito, Vol. 2, No. 1, May 2015
dikesampingkan atau dianggap tidak ada.9 Kedua, dekonstruksi juga berusaha menantang tradisi
metafisika Barat yang, seperti kritik Martin Heidegger, mengutamakan apa yang hadir di atas
apa yang memungkinkan kehadiran. Oleh karena itu, metafisika selalu mengasumsikan oposisi
biner (antara hadir lawan tidak hadir, murni lawan tidak murni, sederhana lawan kompleks, baik
lawan buruk, mungkin lawan tidak mungkin) dan memberi keutamaan pada salah satu sisi sambil
di saat yang sama merendahkan sisi yang lain. Metafisika ini, menurut Derrida, selalu tercantum
secara implisit di dalam teks-teks filsafat Barat. Tujuan dekonstruksi adalah untuk merombak
sistem metafisika ini dengan cara menunjukkan bahwa sesuatu sebenarnya tak bisa
dikategorisasikan sebagai bagian dari salah satu oposisi. Pada akhirnya, ada banyak hal yang tak
bisa diputuskan (undecidable) untuk dimasukkan ke dalam sisi oposisi manapun.
Mengapa dekonstruksi Derridean—yang sepintas tak punya hubungan dengan teori
politik—harus lebih dahulu diulas? Selain untuk memahami akar gagasan Derrida, ulasan di atas

juga diperlukan karena Derrida nyaris tak pernah membangun filsafatnya sendiri. Filsafat
Derrida selalu merupakan hasil pembacaan dekonstruktif atas teks tertentu. Derrida mengklaim
bahwa ia tak pernah punya filsafat sendiri karena ia sebenarnya hanya menunjukkan bahwa
sebuah teks yang dikira bermakna tunggal dan stabil sesungguhnya bersifat multitafsir. Artinya,
sejak semula, makna-makna alternatif itu sudah tersimpan di dalam teks yang didekonstruksi.
Derrida hanya membuat makna alternatif itu menjadi lebih jelas. Hal yang sama pun terjadi
dalam konteks hak kosmopolitan. Derrida, alih-alih menciptakan konsep yang baru tentang hak
kosmopolitan, sebenarnya hanya membaca ulang teks-teks Kant—sambil mengaitkannya dengan
teks-teks lain—dengan strategi dekonstruksi di atas.
Pembacaan Derrida terhadap naskah Kant sebagian besar terpusat pada esai ‘Perpetual
Peace’, khususnya pada artikel ketiga yang berbunyi: ‘The Law of World Citizenship Shall be
Limited to Conditions of Universal Hospitality’. Dekonstruksi Derrida ini berusaha
mempertanyakan ulang oposisi-oposisi biner yang tersimpan di dalam teks Kant. Derrida
kemudian menunjukkan bahwa hak kosmopolitan/hak atas keramahan merupakan konsep yang
penuh dengan paradoks.
Derrida memulai pembacaanya dengan menelaah artikel ketiga Perpetual Peace. Dalam
artikel ketiga itu, Kant menulis bahwa hak atas keramahan (hospitality) adalah hak orang asing
9

Jacques Derrida, ‘Structure, Sign and Play in the Discourse of the Human Sciences’, Writing and Difference,

(London: Routledge, 2001), hlm. 351-355; Muhammad Al-Fayyadl, Derrida (Yogyakarta: LKiS, 2005), hlm. 31-71;
Donny Gahral Adian, Pengantar Fenomenologi (Depok: Penerbit Koekoesan, 2010), hlm. 119-142.

6

Cogito, Vol. 2, No. 1, May 2015
untuk diperlakukan tidak dengan permusuhan (hostility). Kant menulis bahwa hak atas
keramahan berarti ‘the right of a stranger not to be treated in a hostile manner’. 10 Dalam hak
kosmopolitan, ‘the host may not treat him [stranger] with hostility’.11 Di titik ini, Derrida
mengidentifikasi oposisi biner di dalam teks Kant, yakni keramahan lawan permusuhan. 12 Lebih
jauh, oposisi ini juga meliputi oposisi antara teman (friend) lawan musuh (enemy) karena di
dalam Metahphysics of Moral, Kant menulis, ‘They [strangers] have a right to try to enter into
it, without the foreigner being justified in confronting him as an enemy’.13
Setelah mengidenfitikasi oposisi biner tersebut, Derrida kemudian berusaha menelaah apa
yang dimaksud dengan keramahan. Derrida berpendapat bahwa konsep ini setidaknya
mensyaratkan dua elemen, yakni penerima/tuan rumah (the host) dan orang asing/pengunjung
(the guest). Sang penerima merupakan pemilik dari teritori. Ia menjadi pihak yang menawarkan
rumahnya untuk disinggahi orang asing atau setidaknya menjadi pihak yang menerima dan
menyambut orang asing. Namun, di lain sisi, sang penerima tetap menjadi penguasa dan
pengendali dari teritori itu. Sang penerima memiliki hukum, bahasa, tradisi, aturan dan norma
yang memaksa tamunya untuk tunduk. Penundukan ini adalah keharusan. Pasalnya, jika sang
penerima tak lagi memiliki kendali atas rumahnya, maka sang tamu bisa mengambil alih
kekuasaan atas rumah dari tangan sang tuan rumah sehingga tak ada lagi yang bisa disebut
sebagai tuan rumah—tuan rumah yang tak punya kendali atas rumahnya tentu tak lagi bisa
disebut sebagai tuan atas rumahnya. Akibatnya, tak ada keramahan lagi yang bisa diberikan—
karena keramahan selalu mensyaratkan keberadaan seorang tuan rumah yang memberikan
rumahnya untuk disinggahi orang asing.14
Menurut Derrida, konsep keramahan ini mengandung paradoks. Walaupun hak atas
keramahan menyatakan bahwa sang penerima harus memperlakukan orang asing bukan sebagai
musuh, hak atas keramahan pada akhirnya selalu mensyaratkan sikap curiga, bermusuhan, dan
keinginan untuk menguasai orang asing itu. Paradoksnya, hal itu dilakukan justru agar posisi
tuan rumah tetap terlindungi sehingga hak atas keramahan itu bisa diterapkan. Oleh karena itu,
konsep hak atas keramahan atau hak kosmopolitan sebenarnya bersifat ambigu. Hak ini berada di
10

Kant, ‘Toward Perpetual Peace’, hlm. 82.
Ibid.
12
Jacques Derrida, ‘Hostipitality’, Angelaki: Journal of the Theoritical Humanities, 2000, 5: 3, hlm. 4.
13
Kant, ‘Metaphysics of Moral’, hlm. 146.
14
Derrida, ‘Hostipitality’, hlm. 4; Jacques Derrida, ‘Step of Hospitality’, Of Hospitality (California: Stanford
University Press, 2000), hlm. 107.
11

7

Cogito, Vol. 2, No. 1, May 2015
antara keramahan (hospitality) dan permusuhan (hostility) sehingga tak bisa secara total
dikategorikan ke dalam keramahan murni atau permusuhan murni. Kondisi tak terputuskan ini
(undecidability) membuat Derrida menciptakan istilah baru: hostipitality.
Paradoks ini bisa dipahami lebih baik jika konsep Derrida tentang orang asing sedikit
diulas lebih dalam. Pasalnya, Derrida punya definisi yang cukup spesifik tentang apa dan siapa
itu orang asing (stranger/foreigner). Bagi Kant, orang asing dalam kasus hak kosmopolitanisme
adalah mereka yang berasal dari negara lain. Bagi Derrida, arti orang asing jauh lebih luas dari
itu. Dengan menarik pengalaman Sokrates di pengadilan yang menghukum mati dirinya, Derrida
berpendapat bahwa orang asing adalah mereka yang berbicara dalam bahasa, nilai atau moralitas
yang berbeda.15 Artinya, bagi Derrida, definisi orang asing tidak selalu berkaitan dengan
kewarganegaraan (citizenship) walaupun pendefinisian orang asing berdasar kewarganegaraan
tetaplah penting. Tak masalah apakah seseorang punya kewarganegaraan atau tidak, sejauh ia
tidak familiar dengan tatanan sosial tempat ia berdiri, maka ia adalah orang asing. Konsep
Derrida ini memberi ruang bagi manusia yang tak punya kewarganegaraan (stateless people)
untuk memperoleh hak atas keramahan. Namun, pengertian orang asing ini menjadi lebih radikal
ketika Derrida menyebut orang asing sebagai ‘liyan absolut’ (absolute other).16 Pengertian
Derrida terhadap liyan ini memiliki kedekatan dengan gagasan Emmanuel Levinas. Bagi Derrida
maupun Levinas, tiap manusia secara absolut berbeda dengan manusia lainnya. Tiap manusia
adalah unik dan tak bisa direduksi ke dalam bentuk pengetahuan apapun—kita bahkan tak bisa
melabelinya dengan identitas apapun karena identitas itu akan selalu bersifat reduksionis.
Konsekuensinya, tiap manusia sebenarnya bersifat asing bagi manusia lainnya—karena kita tak
tahu apapun tentangnya. Tiap manusia adalah orang asing dan oleh karenanya menjadi subyek
hak kosmopolitan; tak peduli siapa ia, darimana ia berasal, kewarganegaraan apa yang ia miliki,
bahasa apa yang ia gunakan atau agama apa yang ia anut. Memaksa seseorang untuk menghapus
keunikan khas dirinya dan menyesuaikan diri dengan tempat ia berdiri, bagi Derrida, adalah
sebuah kekerasan (violence).17 Menurut Derrida dan sahabatnya, Emmanuel Levinas, kehendak
untuk mereduksi perbedaan menjadi kesamaan adalah akar dari segala kekerasan dan
totalitarianisme di Eropa.
15

Jacques Derrida, ‘Foreigner Question’, Of Hospitality (California: Stanford University Press, 2000), hlm. 5-20.
Derrida, ‘Foreigner Question’ hlm. 25.
17
Jacques Derrida, ‘Violence and Metaphysics’, Writing and Difference, (London: Routledge, 2001), hlm. 102; lihat
juga Thomas Hidya Tjaya, Enigma Wajah Orang Lain (Jakarta: KPG, 2012).
16

8

Cogito, Vol. 2, No. 1, May 2015
Konsep di atas sangat berguna untuk memahami paradoks dari hak atas keramahan. Di
satu sisi, seorang manusia adalah orang asing yang berhak atas hak atas keramahan. Sang tuan
rumah tak bisa memilih siapa yang harus ia terima atau tidak karena ia tak bisa
mengkategorisasikan orang asing di hadapannya. Orang asing itu memiliki keberbedaan dan
keunikan absolut yang membuat usaha tematisasi terhadap dirinya selalu gagal. Di lain sisi,
ketika sang orang asing telah diterima di dalam rumah sang penerima, sang orang asing akan
hidup di dalam wilayah sang penerima. Tetapi, ketika sang orang asing menyesuaikan diri
dengan budaya sang tuan rumah, maka di titik ini sang orang asing terpaksa menghilangkan
keunikan khas dirinya. Perbedaan direduksi menjadi persamaan. Selain mencerminkan
kekerasan, reduksi ini juga melukai jantung gagasan keramahan itu sendiri.18 Pasalnya,
keramahan selalu diberikan penerima kepada orang asing dengan segala kekhasannya. Maka,
ketika kekhasan itu direduksi menjadi kesamaan, orang asing itu tak lagi bisa disebut orang asing
dan implikasinya, tak ada keramahan yang bisa diberikan—karena keramahan mensyaratkan
orang asing.
Pada bagian yang lebih awal, esai ini telah menunjukkan bahwa hak kosmopolitan
mensyaratkan superioritas tuan rumah di atas tamunya karena hanya dengan cara demikianlah
sang tuan rumah bisa tetap menjadi tuan rumah dan memberikan keramahan bagi tamunya.
Namun, Derrida menunjukkan bahwa superioritas tuan rumah membuat keramahan yang murni
tak bisa diberikan—karena di dalam keramahan selalu ada sikap bermusuhan. Sedangkan pada
paragraf di atas, esai ini menunjukkan bahwa hak kosmopolitan mensyaratkan superioritas tamu
di atas tuan rumah. Tamu harus tetap menjadi unik dan asing karena jika ia berhenti menjadi
asing maka keramahan tak akan bisa diberikan sama sekali—karena keramahan selalu
mensyaratkan ke-asing-an sang tamu. Lantas, dalam paradoks ini, apakah masih ada yang bisa
dilakukan? Ataukah Derrida hanya berhenti di sini dan membiarkan gagasan hak keramahan
menjadi gagasan abstrak yang tak mungkin diwujudkan?
Paradoks semacam ini sering ditemui dalam filsafat Derrida. Paradoks ini, di satu sisi,
memberi kesan bahwa sebuah pilihan dan tindakan tak bisa dilakukan. Tetapi, di sisi lain,
Derrida menekankan bahwa paradoks semacam ini harus tetap dilampaui. Setidaknya, apabila
pelampauan itu tak bisa dilakukan, manusia harus berusaha untuk membawa paradoks ini ke titik
terjauhnya.
18

Derrida, ‘Step of Hospitality’, hlm. 85 dan ‘Hostipitality’, hlm. 4.

9

Cogito, Vol. 2, No. 1, May 2015
Derrida tidak bisa melampaui paradoks hak kosmopolitan di atas. Akan tetapi, Derrida
masih berusaha untuk membawa konsep hak kosmopolitan ini ke titik terjauhnya. Di satu sisi,
Derrida menyatakan bahwa keramahan, idealnya, merupakan altruisme tak bersyarat yang
diberikan sang tuan rumah pada tamunya. Keramahan ideal ini bersifat absolut, murni dan
bahkan melampaui hukum serta etika. Keramahan bukanlah etika. Sebaliknya, etikalah yang
dideduksikan dari keramahan. Namun, seperti yang telah ditunjukkan esai ini, keramahan yang
murni adalah konsep penuh paradoks yang sukar dibawa ke ranah praktek. Di samping itu,
karena melampaui hukum dan etika, manusia idealnya mempraktekkan keramahan murni karena
kehendaknya sendiri dan bukan karena tuntutan dari hukum atau etika. Dengan kata lain,
manusia idealnya tergerak untuk melindungi orang asing karena ia merasa harus menolong dan
bukan karena etika atau hukum menuntutnya untuk menolong. Tetapi, di sisi lain, Derrida
mengakui betapa tak realistisnya keramahan murni. Oleh karena itu, Derrida berpendapat bahwa
keramahan, mau tidak mau, tidak bisa murni. Pada akhirnya, akan selalu ada superioritas tuan
rumah di atas tamu atau sebaliknya. Akan selalu ada kekerasan yang dipraktekkan tuan rumah
pada tamu; dan akan selalu ada tamu yang menekan kekuasaan tuan rumah. Selain itu,
keramahan harus diformalisasikan menjadi etika dan hukum agar tiap orang dituntut untuk
melindungi orang lain. Tindakan melindungi orang asing tidak bisa semata-mata bersandar pada
altruisme manusia.19
Dengan begitu, Derrida berusaha menjembatani antara ‘keramahan tak terbatas’
(unlimited hospitality) yang ideal, altruis, murni, absolut dan abstrak dengan ‘keramahan
terbatas’ (limited hospitality) yang tak murni, terbatas, dan konkret. Keramahan terbatas tak akan
bisa mencapai keramahan tak terbatas. Namun, keramahan terbatas bisa dibuat sedekat mungkin
dengan keramahan tak terbatas melalui perumusan hukum—utamanya hukum internasional.
Keputusan Derrida ini memiliki satu motif, yakni untuk melindungi manusia lain semaksimal
mungkin sekalipun tindakan melindungi itu tak pernah menjadi tindakan seideal yang
dibayangkan. Daripada membiarkan gagasan keramahan menjadi gagasan yang indah dan
abstrak tetapi tak bisa melindungi manusia, Derrida memilih untuk membuatnya menjadi tidak
murni tetapi bisa melindungi manusia—walaupun masih penuh dengan kekerasan di sana-sini.
D. Penutup
19

Derrida, ‘Step of Hospitality’, hlm. 136-137; Derrida kembali mengulas topik ini dalam Jacques Derrida, ‘On
Cosmopolitanism’, On Cosmopolitanism and Forgiveness (New York: Routledge, 2006).

10

Cogito, Vol. 2, No. 1, May 2015
Di titik ini, posisi Derrida terhadap kosmopolitanisme mulai bisa dibedakan dari Kant. Baik
Derrida maupun Kant sama-sama berpendapat bahwa hukum internasional punya peran penting
untuk menyokong gagasan ideal mereka tentang dunia. Namun, keduanya punya pandangan
yang cukup radikal soal apa isi hukum itu dan bagaimana pandangan mereka tentang hak
kosmopolitan. Kant berpendapat bahwa hukum tersebut berisi pengaturan kebebasan sehingga
benturan kebebasan antar negara tak akan memicu perang. Kant cenderung memahami hak
kosmopolitan sebagai pemantik bagi umat manusia agar mereka saling berinteraksi dan akhirnya
membentuk kehendak bersama untuk menciptakan hukum di atas. Artinya, bagi Kant, hak
kosmopolitan bersifat instrumental. Posisi Derrida—yang sebenarnya hanya menarik gagasan
alternatif dari dalam teks Kant sendiri—sama sekali lain. Hukum yang diharapkan Derrida
bukanlah hukum yang muncul setelah hak kosmopolitan dipraktekkan, melainkan hukum yang
membuat hak kosmopolitan itu bisa dipraktekkan. Derrida berangkat dari keresahan akan
maraknya diskriminasi yang dilakukan negara dan masyarakat kepada kaum imigran. Oleh
karena itu, bagi Derrida, hak kosmopolitan itu baik pada-dirinya dan bukan merupakan
instrumen untuk mencapai tujuan lainnya. Derrida terkesan mengesampingkan konsekuensi dari
pemberian hak kosmopolitan ini karena ia berulangkali menyatakan bahwa memberi keramahan
selalu merupakan pilihan yang penuh resiko dan ketidakpastian. Walau demikian, Derrida
melihat bahwa melindungi orang asing yang datang—dan berarti memperlakukannya layaknya
teman alih-alih musuh___bisa membuat dunia ini menjadi dunia yang dipenuhi persahabatan. 20
Bagi Derrida, dunia seperti itulah yang layak disebut sebagai dunia yang kosmopolitan.**
Daftar Pustaka
Adian, Donny Gahral, Pengantar Fenomenologi (Depok: Penerbit Koekoesan, 2010)
Al-Fayyadl, Muhammad, Derrida (Yogyakarta: LKiS, 2005)
Baker, Gideon, Politicising Ethics in International Relations (New York: Routledge, 2011)
Derrida, Jacques, ‘Foreigner Question’, Of Hospitality (California: Stanford University Press,
2000)
Derrida, Jacques, ‘Hostipitality’, Angelaki: Journal of the Theoritical Humanities, 2000, 5: 3
Derrida, Jacques, ‘Politics of Friendship’, American Imago, 50: 3 (1993: Fall)
Derrida, Jacques, ‘Step of Hospitality’, Of Hospitality (California: Stanford University Press,
2000)
Derrida, Jacques, ‘Structure, Sign and Play in the Discourse of the Human Sciences’, Writing
and Difference, (London: Routledge, 2001)
20

Jacques Derrida, ‘Politics of Friendship’, American Imago, 50: 3 (1993: Fall), hlm. 386-388.

11

Cogito, Vol. 2, No. 1, May 2015
Derrida, Jacques, ‘Violence and Metaphysics’, Writing and Difference, (London: Routledge,
2001)
Derrida, Jacques, On Cosmopolitanism’, On Cosmopolitanism and Forgiveness (New York:
Routledge, 2006).
Donaldson, Thomas, ‘Kant’s Global Rationalism’, Terry Nardin dan David Mapel (eds.),
Traditions of International Ethics (Cambridge: Cambridge University Press, 1992)
Kant, Immanuel, ‘An Answer to the Question: What is Enlightenment?’, Toward Perpetual
Peace and Other Writings, (London: Yale University Press, 2006)
Kant, Immanuel, ‘Idea for Universal History from a Cosmopolitan Perspective’, Toward
Perpetual Peace and Other Writings, (London: Yale University Press, 2006)
Kant, Immanuel, ‘Metaphysics of Moral’, Toward Perpetual Peace and Other Writings,
(London: Yale University Press, 2006)
Kant, Immanuel. ‘Toward Perpetual Peace: A Philosophical Sketch’, Toward Perpetual Peace
and Other Writings, (London: Yale University Press, 2006)
Kleingeld, Pauline, ‘Kant’s Cosmopolitan Law: World Citizenship for a Global Order’, Kantian
Review, Volume 2, 1998.
Magnis-Suseno, Franz, ‘Moralitas dan Otonomi: Immanuel Kant’, kuliah disampaikan dalam
Filsafat Etika dari Yunani Klasik hingga Jawa, Teater Salihara, 9 Februari 2013.
Tjaya, Thomas Hidya, Enigma Wajah Orang Lain (Jakarta: KPG, 2012).

12