Studi Deskriptif Mengenai Coping Stress Bintara Seskoad Yang Akan Mengikuti Seleksi Secapa TNI Angkatan Darat.

(1)

ABSTRAK

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui bentuk coping stress (distancing, escape-avoidance, seeking social support, positive appraisal, self-control, accepting responsibility, planful problem solving dan confrontative coping) pada Bintara Seskoad yang akan mengikuti test seleksi SECAPA-AD dengan rancangan penelitian deskripif. Sampel penelitian merupakan Bintara Seskoad Bandung yaitu sebanyak 22 orang.

Alat ukur yang digunakan untuk mengukur coping stress merupakan hasil modifikasi dari alat ukur Ways of Coping dari Lazarus (1976) sebanyak 55 item. Data yang diperoleh diolah menggunakan rank Spearman dengan program SPSS 21.0, dan diperoleh hasil validitas untuk alat coping stress sebesar 0,308 sampai 0,798. Untuk hasil reliabilitas diolah menggunakan Alpha Cronbach didapat reliabilitas untuk alat ukur coping stress adalah sebesar 0,94.

Berdasarkan hasil pengolahan data diketahui bahwa dari 22 Bintara, 54,50 % Bintara menggunakan emotional focus coping dan 45,50 % Bintara menggunakan problem focus coping. Bintara yang menggunakan problem focus coping, 50 % Bintara menggunakan planful problem solving dan 50 % orang lainnya menggunakan confrontative coping sedangkan untuk emotional focus coping yang paling banyak digunakan adalah accepting responsibility yaitu sebanyak 41,70 % Bintara, positive appraisal sebanyak 25 % Bintara, seeking social support sebanyak 16,70 % Bintara, distancing sebanyak 8,30 % Bintara dan self controlling sebanyak 8,30 % Bintara.kesimpulan dari penelitian ini adalah Bintara Seskoad banyak yang menggunakan emotional focus coping untuk meredakan stress yang mereka hadapi saat akan mengikuti test seleksi SECAPA-AD. Peneliti mengajukan saran agar pada penelitian berikutnya dapat menambahkan pertanyaan yang sudah ada atau dapat melakukannya dengan cara kualitatif yaitu dengan menggunakan wawancara agar jawaban yang terjaring dapat lebih mendalam dan tergambar jelas.


(2)

ABSTRACT

This research was conducted to determine the selection form of stress coping (distancing, escape-avoidance, seeking social support, positive appraisal, self-control, acepting responcibility, planful problem solving and confrontative coping)in Bintara of Seskoad Bandung, this research was conducted with descriptive research design. The research sample are 22 Bintara Seskoad Bandung.

Measuring instruments used to measure stress coping is a modified version of the Ways of Coping measure of Lazarus (1976) 55 item. The data obtained were analyzed using Spearman rank with SPSS 21.0, and the validity of the results obtained to stress coping is 0.308 to 0.798. For the reliability of the results obtained is processed using Cronbach alpha reliability for coping stress is 0.94.

Based on the results of data processing is known that from 22 Bintara, 54,50 % Bintara are used emotional focus coping and 45,50 % Bintara used problem focus coping. Bintara who used problem focus coping, 50 % Bintara used planful problem solving and 50 % other Bintara used confrontative coping while for emotional focus coping that most used by Bintara Seskoad is accepting responsibility 41,70 % Bintara, positive appraisal 25 % Bintara, seeking social support 16,70 % Bintara, distancing 8,30 % Bintara dan self controlling 8,30 % Bintara. The conclusion that Bintara Seskoad are using emotional focus coping to reduce their stress while they take the selection test for SECAPA-AD . Researchers propose suggestions for the next study needs to be add more questions or doing with qualitative methode using interview so the answer could be more deep and clearly defined.


(3)

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN KATA PENGANTAR

ABSTRAK……...………i

ABSTRACT……….ii

DAFTAR ISI……….……….iii

DAFTAR BAGAN……….….…..vii

DAFTAR TABEL……….viii

DAFTAR LAMPIRAN………...ix

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Masalah………..…………...1

1.2Identifikasi Masalah………..………..…...…12

1.3Maksud dan Tujuan Penelitian………..……...…..12

1.4Kegunaan Penelitian………...12

1.5Kerangka Pikir………....13


(4)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Stress..………….………...24

2.1.1 Pengertian stress……..……..………..24

2.1.2 Teori stress Lazarus………..………...………...25

2.1.3 Sumber stress..…...………….…..………..26

2.1.4 Reaksi terhadap stress…………...………..………..…....28

2.2 Penilaian Kognitif ……….………..………..…30

2.2.1 Penilaian Primer…….………...…………..31

2.2.2 Penilaian sekunder……….….………...32

2.2.3 Penilaian kembali………..…………..………32

2.3Derajat stress.………..……….…….……….33

2.4Faktor-faktor yang mempengaruhi proses penilaian ……….34

2.5 Coping Stress .………...……….…....36

2.5.1 Pengertian Coping Stress ……… ……….…….36

2.5.2 Fungsi Coping Stress ………...37

2.5.3 Problem Focus Coping …………...………. ………….…37

2.5.4 Emotional Focus Coping ……….……….……..…38

2.5.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Coping Stress …..………40

2.5.6 Hambatan dalam Menggunakan Coping Stress………..…....….……..43

2.6 Masa Dewasa Awal…...………...44

2.6.1 Pengertian masa dewasa awal ………....44

2.6.2 Karakteristik dewasa awal………..…...……..…45


(5)

2.7.1 Pengertian masa dewasa madya ……….…46

2.7.2 Karakteristik dewasa madya ………...47

2.8 Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD)…….…………....48

2.8.1 Tugas pokok TNI AD..………..……..48

2.8.2 Strata Kepangkatan dalam TNI AD ………...………....50

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian………..……….52

3.2 Bagan prosedur penelitian ………52

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional…………..………53

3.3.1 Variabel Penelitian……..………..53

3.3.2 Definisi konseptual……….………….53

3.3.3 Definisi Operasional…….………….………...53

3.4 Alat Ukur……...………..……….56

3.4.1 Data Pribadi dan data penunjang ……..…...………58

3.4.2 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur……..………...……59

3.4.2.1 Validitas Alat ukur..………..………...59

3.4.2.2 Reliabilitas Alat ukur..………...60

3.5 Populasi dan Teknik Penarikan Sampel…...………60

3.5.1 Populasi Sasaran……...……….60

3.5.2 Karakteristik Populasi………....……….61

3.5 Teknik Analisis Data…..………...……….61


(6)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Sampel ………62

4.1.1 Gambaran populasi berdasarkan jenis kelamin …………..…………...62

4.1.2 Gambaran populasi berdasarkan usia……..………...62

4.2 Hasil Penelitian ………63

4.3 Pembahasan ………...68

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ………71

5.2 Saran ………...72

5.2.1 Saran bagi penelitian lanjutan ………72

5.2.2 Saran guna laksana ……….…72

DAFTAR PUSTAKA………..………..74

DAFTAR RUJUKAN………..……….75


(7)

DAFTAR BAGAN

Skema 1.1 Bagan Kerangka Pemikiran………..…...14 Skema 3.1 Bagan Rancangan Penelitian………..….30


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Tabel skor item positif dan item negatif...………..…….32 Table 3.2 Tabel kisi-kisi alat ukur………....33


(9)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Data penunjang Lampiran 2 Kisi-kisi Alat Ukur Lampiran 3 Tabel Data Mentah

Lampiran 4 Tabel Hasil Perhitungan Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur Lampiran 6 Tabel Tabulasi Silang


(10)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Pada era globalisasi seperti sekarang ini, kedaulatan Negara Republik Indonesia seringkali mendapat ancaman baik dari luar maupun dari dalam seperti adanya pelanggaran batas wilayah oleh Negara lain, adanya kelompok separatisme, terorisme, dan pemberontakan bersenjata. Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai institusi yang bertanggung jawab menyelenggarakan, mengelola sistem dan membina kemampuan pertahanan Negara, senantiasa menyusun dan mengoperasikan organisasi yang diharapkan mampu menjawab tuntutan tugas yang semakin kompleks.

Agar organisasi TNI, termasuk Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD) dapat berjalan secara efektif dan efisien dibutuhkan prajurit-prajurit yang profesional. Untuk dapat menjawab tantangan tersebut, maka diadakan pembinaan bagi seluruh prajurit TNI-AD secara berjenjang dan berkelanjutan agar dapat diciptakan personel yang profesional dan disiplin. Pembinaan dan peningkatan profesionalisme prajurit harus dilakukan secara berkesinambungan, sistematis dan terencana sesuai kebutuhan dan tuntutan tugas yang berkembang masa kini.

Pembangunan organisasi militer sebagai institusi yang bertanggung jawab di bidang pertahanan mempunyai suatu kekhasan tersendiri, karena organisasi militer memiliki tiga faktor utama pembentuk organisasi yaitu orang, kerjasama


(11)

dan tujuan tertentu, dimana ketiga faktor ini saling terkait dan tidak bisa dipisahkan. Selain itu, ada pula pedoman melaksanakan peran, fungsi, dan tugas pokoknya dalam menjalankan strategi pertahanan negara. Dari pedoman inilah kemudian lahir kebijakan-kebijakan, prinsip-prinsip dasar dan langkah-langkah strategis pengelolaan sumber daya pertahanan.

Tentara Nasional Indonesia memiliki jenjang golongan kepangkatan yang ditentukan yaitu Perwira, Bintara, dan Tamtama. Perwira merupakan strata golongan kepangkatan diatas Bintara atau golongan tertinggi dalam tatanan organisasi TNI/TNI AD sebagai pemimpin dan pemikir. Golongan Perwira dibagi menjadi tiga kelompok golongan yaitu : golongan Perwira Pertama (Pama) Golongan Perwira Menengah (Pamen), dan Golongan Perwira Tinggi (Pati). Bintara adalah pelaksana kegiatan yang merupakan komando langsung dari Perwira sebagai perencana, mengatur strategi-strategi, serta mengambil keputusan. Urutan tingkat kepangkatan golongan Bintara adalah Sersan Dua, Sersan Satu, Sersan Kepala, Sersa Mayor, Pembantu Letnan Dua, Pembantu Letnan Satu.

Tamtama merupakan strata golongan kepangkatan terendah prajurit dalam tatanan organisasi TNI/TNI AD sebagai prajurit pelaksana yang terpercaya dengan keterampilan yang tinggi. Urutan tingkat kepangkatan dalam golongan Tamtama adalah Prajurit Dua, Prajurit Satu, Prajurit Kepala, Kopral Dua, Kopral Satu, Kopral Kepala. Tentara juga harus siap untuk bertugas selama 7 hari setiap minggu tanpa mengenal hari libur. Bintara yang dapat mengikuti seleksi


(12)

pendidikan Sekolah Calon Perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (SECAPA-AD) adalah Bintara yang minimal berpangkat sersan kepala (serka).

Lembaga-lembaga pendidikan dan latihan di lingkungan TNI- AD merupakan sumber dan wadah untuk membentuk dan mengembangkan serta melatih dasar-dasar keterampilan prajurit sesuai bidangnya dalam rangka pemenuhan kebutuhan organisasi. Proses pendidikan dan latihan ini merupakan suatu tahapan dalam siklus pembinaan TNI-AD guna menyiapkan prajurit yang profesional di bidangnya untuk dihadapkan pada lapangan penugasan. Dalam hal ini, fungsi dan peran guru/pelatih yang professional sebagai salah satu komponen pendidikan sangat penting dan dibutuhkan. Salah satu lembaga pendidikan dan pelatihan bagi prajurit TNI-AD adalah SECAPA AD yang didirikan pada tanggal 8 Januari 1972, dimaksudkan sebagai wadah pembentukan Perwira-Perwira TNI- AD disamping Akademi Militer (AKMIL).

Setiap Bintara yang memenuhi syarat akan diberi kesempatan mengikuti seleksi pendidikan SECAPA TNI- AD untuk dapat naik tingkat menjadi Perwira serta naik golongan. Setiap satuan akan memberikan penawaran kepada Bintara yang sudah memenuhi syarat untuk mengikuti seleksi, kemudian saat yang bersangkutan menyanggupi untuk mengikuti seleksi pendidikan SECAPA TNI- AD barulah mereka akan didaftarkan. Saat mengikuti seleksi pendidikan calon yang terdaftar biasanya mencapai lebih dari 1000 Bintara laki-laki dan perempuan dari seluruh Indonesia, sedangkan yang diterima sekitar 250 orang saja. Oleh karena itu, para Bintara harus bersaing secara ketat untuk dapat lulus seleksi. Jika


(13)

tidak lulus seleksi maka Bintara dapat mengikuti seleksi lagi tahun depan, begitu seterusnya.

Pendidikan SECAPA TNI- AD untuk wanita dilaksanakan satu kali dalam setahun pada bulan juni sedangkan untuk pria diadakan dua kali dalam setahun yaitu pada bulan Januari-Juli dan Juni-November. Untuk dapat lulus seleksi pendidikan SECAPA TNI- AD, anggota tentara yang berpangkat Bintara harus memenuhi setiap persyaratan yang ditentukan, yaitu masa kerja sebagai bintara minimal selama 5 tahun, memenuhi kelengkapan administrasi, tidak pernah melakukan pelanggaran seperti tidak masuk kerja tanpa izin, mabuk-mabukan, dan lain sebagainya, lulus ujian akademik, psikotest, jasmani, pengetahuan umum dan kesehatan. Waktu pendidikan SECAPA TNI- AD berlangsung selama 9 bulan.

Satuan masing-masing akan mengajukan setiap Bintara yang memenuhi syarat mengikuti pendidikan SECAPA TNI-AD tersebut minimal 1 bulan sebelum seleksi diadakan. Para Bintara biasanya sudah dapat memprediksi kapan ia akan diberi surat perintah untuk mengikuti seleksi pendidikan SECAPA TNI- AD satu tahun sebelumnya sehingga ia bisa mempersiapkan diri dan berlatih. Seorang Bintara harus mengikuti ujian seleksi SECAPA TNI- AD untuk dapat naik pangkat terkecuali Bintara yang sakit atau hamil. Bintara dapat menolak perintah untuk mengikuti seleksi SECAPA TNI-AD namun akan dikenakan sanksi, biasanya tidak ada anggota TNI-AD yang akan menolak setiap tugas yang ditujukan kepadanya karena itu merupakan perintah yang harus dijalankan. Apabila yang bersangkutan tidak bisa mengikuti pendidikan SECAPA TNI-AD


(14)

dikarenakan sakit atau hamil maka yang bersangkutan harus membuat surat ijin yang diketahui dan ditandatangani oleh pimpinan satuannya.

Sejak tahun 2011 ada peraturan baru bagi para peserta seleksi SECAPA- TNI AD yang lebih menekankan pada penilaian aspek fisik. Pada peraturan sebelumnya, penilaian aspek fisik hanya sekitar 40 % dan untuk memperoleh nilai yang baik termasuk mudah karena dibantu oleh pengujinya. Sekarang penilaian fisik diubah menjadi 60 % dari bobot penilaian, dan seleksinya menjadi lebih ketat, perubahan ini merupakan suatu tantangan yang dirasakan cukup memberatkan bagi para peserta seleksi pendidikan SECAPA TNI- AD. Dulu para peserta seleksi cenderung tidak terlalu terbebani untuk melewati tahap penilaian fisik tersebut. Para peserta harus mampu berenang gaya dada 50 meter, nilai minimal 65 pada test fisik. Pada pemeriksaan postur tubuh (berat badan, tinggi badan, dan bentuk badan), bila postur tubuh bintara tidak memenuhi syarat akan diberikan toleransi lulus apabila penilaian fisik diatas 70.

Berdasarkan hasil wawancara pada bintara yang telah mengikuti seleksi pendidikan SECAPA TNI- AD, pengawasan oleh komandan satuan saat menjalani test menjadi hal yang dapat mempengaruhi keberhasilan calon peserta didik. Mereka pada umumnya merasa khawatir dan takut gagal saat test dilihat oleh pimpinan dan malu apabila tidak bisa. Hal tersebut dirasa memberikan tekanan tersendiri bagi para bintara yang akan mengikuti seleksi SECAPA TNI-AD. Para Bintara harus melewati tiga tahapan seleksi yaitu seleksi tingkat satuan, daerah, serta tingkat pusat untuk dapat lulus SECAPA TNI-AD. Persaingan dengan sesama rekan untuk bisa lulus serta tuntutan untuk dapat tetap melakukan


(15)

tugasnya tanpa mengenal waktu merupakan situasi-situasi yang dapat menimbulkan beban mental pada bintara yang mengikuti seleksi pendidikan SECAPA TNI- AD.

Stress terjadi pada individu jika terdapat tuntutan yang melampaui sumber daya yang dimilikinya untuk melakukan penyesuaian diri. Menurut Lazarus dan Folkman (1984), stress adalah hubungan spesifik antara individu dan lingkungan yang dinilai oleh individu sebagai tuntutan atau melebihi sumber dayanya dan membahayakan keberadaannya. Dalam menghadapi situasi yang menimbulkan stress, reaksi setiap individu berbeda-beda. Lazarus (1984) membagi reaksi terhadap stress ini menjadi empat kategori, yaitu reaksi kognitif seperti sulit berkonsentrasi dan gangguan berpikir; reaksi fisiologis seperti meningkatnya tekanan darah dan denyut jantung, serta penurunan metabolisme tubuh, sulit berkonsentrasi dan gangguan berpikir; reaksi emosi seperti mudah marah, takut, cemas, dan tidak sabar; dan reaksi tingkah laku seperti menurunnya produktivitas kerja dan ketidakpuasan dalam bekerja. Dari reaksi yang dimunculkan individu, dapat diketahui bagaimana individu menghayati stress yang mereka alami, apakah derajat stressnya rendah atau tinggi. Bintara yang menghayati stress yang ia alami tinggi ditandai dengan munculnya banyak reaksi atau respon terhadap stress baik dari reaksi kognitif, tingkah laku, emosi, maupun fisiologis, sedangkan Bintara yang menghayati stress yang ia alami rendah ditandai dengan sedikitnya reaksi yang ditimbulkan terhadap stress, baik dari reaksi kognitif, tingkah laku, emosi, maupun fisiologis (Lazarus, 1984).


(16)

Stress juga dapat terjadi di lingkungan kerja TNI-AD, termasuk para Bintara yang akan mengikuti seleksi pendidikan SECAPA TNI-AD yang dituntut untuk selalu berdisiplin tinggi, patuh pada peraturan yang berlaku dan tunduk pada perintah atasan, serta harus cepat dan tanggap dalam menghadapi suatu masalah. Stress pada diri Bintara dapat berupa kondisi fisik mereka yang mungkin dapat mempengaruhi performance mereka saat test seperti rasa lelah akibat berlatih dan tetap bekerja setiap harinya serta sanksi yang berlaku di TNI-AD, perubahan peraturan yang setiap saat dapat terjadi, dan standart yang lebih tinggi untuk dapat lulus seleksi. Namun, masing-masing Bintara memiliki penghayatan yang berbeda-beda terhadap derajat stress yang mereka alami. Hal ini tergantung pada persepsi Bintara, bagaimana Bintara mengenali, mengorganisasi, serta memahami tuntutan yang ada khususnya saat test Secapa TNI-AD. Oleh karena itu, peneliti melakukan wawancara terhadap 10 orang Bintara yang bertugas di Seskoad.

Berdasarkan hasil wawancara 7 dari 10 orang merasakan khawatir, cemas, sakit perut, ingin buang air kecil, pusing/ migrain saat mendekati waktu ujian. Sebanyak 4 dari 10 orang mengalami kesulitan dalam menjalankan peran mereka sebagai Bintara dalam membagi waktu antara tuntutan pekerjaan yang harus dilakukan dengan latihan fisik serta belajar yang baik agar berhasil lulus dalam seleksi.

Sebanyak 7 dari 10 orang merasa aturan baru yang lebih mengedepankan aspek penilaian fisik cukup membebani. Empat orang Bintara menyempatkan waktu untuk berlatih lari sepulang kerja untuk menjaga staminanya. Empat orang


(17)

bintara yang tidak bisa berenang merasa cemas dan mulai belajar renang, mereka mengikuti kursus berenang atau belajar renang pada teman yang sudah bisa renang, sedangkan 6 orang bintara yang sudah bisa berenang rutin melatih keterampilan berenangnya satu sampai tiga kali seminggu selama beberapa jam saat mendekati waktu seleksi pendidikan SECAPA TNI AD. Para Bintara akan di test berenang menggunakan pakaian seragam TNI lengkap dengan sepatunya. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi Bintara untuk tetap menjaga tubuhnya agar tidak tenggelam saat berenang.

Berdasarkan hasil wawancara pada 10 orang bintara, 6 orang berkeluh kesah kepada rekan kerja, teman, atau keluarganya mengenai aturan baru seleksi pendidikan SECAPA TNI AD, mereka merasa khawatir tidak bisa lulus seleksi. Sebanyak 1 orang bintara mengetahui aturan baru tersebut namun tidak melakukan apa-apa hanya pasrah dan berlatih sebisanya. Tiga orang bintara yakin bahwa mereka tetap bisa lulus pendidikan SECAPA TNI AD karena mereka terbiasa melakukan kegiatan fisik sehingga hanya jika ada waktu saja melatih fisik mereka. Lima orang dari mereka merasa sulit untuk meluangkan waktu sepulang kerja dan suka menunda-nunda untuk berlatih fisik maupun belajar teori dan pengetahuan militer sepulang jam kantor, dan biasanya mereka melakukan kegiatan lain seperti tidur, menonton televisi, berkumpul dengan teman atau rekan kerja, dan jalan-jalan padahal mereka mengetahui betapa pentingnya latihan fisik dan belajar teori untuk mempersiapkan diri mengikuti seleksi Pendidikan


(18)

Ketika Bintara berada dalam keadaan stress, produktivitas kerja mereka akan terganggu dan mereka akan kesulitan untuk latihan secara rutin, seperti Bintara menjadi tidak fokus dalam bekerja, sering izin sakit atau datang terlambat, maka dari itu penting sekali untuk menanggulangi stress yang mereka rasakan. Lazarus dan Folkman (1984) memaparkan bahwa untuk mengatasi stress seseorang membutuhkan suatu cara penanggulangan yang disebut sebagai coping stress. Lazarus dan Folkman (1984) mengatakan bahwa coping stress memiliki dua fungsi yaitu untuk mengatur respons emosional negatif (emotion focus coping) dan untuk mengelola atau mengubah keadaan yang menyebabkan perasaan stress (problem focus coping).

Problem focus coping merupakan strategi kognitif yang berfokus pada penyelesaian masalah yang dihadapi sehingga dapat menghilangkan kondisi-kondisi yang menimbulkan stress. Jika bintara menggunakan problem focus coping maka ia akan berlatih dengan giat, mempelajari bahan-bahan test yang belum ia pahami, membentuk kelompok untuk berlatih bersama sehingga dapat lulus test dengan nilai yang baik. Emotion focus coping merupakan strategi penanggulangan stress berfokus pada peregulasian emosi dengan cara mengatur emosinya agar menyesuaikan diri terhadap dampak dari hal-hal yang menimbulkan stress, biasanya menggunakan penilaian defensif atau mekanisme pertahanan tanpa menyelesaikan sumber dari masalah yang dihadapinya. Bintara yang menggunakan emotion focus coping akan bercerita pada orang lain tentang stress yang ia alami, tidak mau memikirkan stress yang ia alami dan lebih


(19)

memilih melakukan hal-hal lain untuk melupakan sejenak stressnya, dan lebih mendekatkan diri pada Tuhan.

Menurut Lazarus & Folkman (1984), terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan penggunaan coping yaitu kesehatan dan energi, keterampilan memecahkan masalah, keyakinan diri yang positif, dukungan sosial, dan sumber daya material. Kesehatan dan energi adalah sumber fisik yang sering dapat mempengaruhi upaya menangani atau menanggulangi masalah, individu lebih mudah menanggulangi upaya jika ia memiliki kondisi tubuh yang sehat, pada Bintara contohnya seperti seringnya Bintara latihan, atau seringnya izin sakit atau tidak. Keterampilan memecahkan masalah termasuk kemampuan untuk mencari informasi, menganalisa situasi dengan tujuan mengidentifikasi masalah dalam rangka mengembangkan dan mempertimbangkan alternatif tindakan, melakukan antisipasi dari suatu alternatif, serta memilih mengimplementasikan rencana tersebut pada suatu bentuk tindakan untuk dapat mengatasi stress yang mereka alami seperti Bintara secara aktif mencari tahu test apa saja yang akan diujikan, membentuk kelompok belajar dan lain-lain..

Keyakinan diri yang positif yaitu melihat diri sendiri secara positif dapat menjadi sumber psikologis yang sangat penting untuk coping stress. Pemikiran yang positif bahwa seseorang dapat mengontrol sesuatu, serta belief yang positif akan keadilan, kebebasan, maupun Tuhan juga menjadi sumber-sumber yang penting seperti Bintara yakin dapat lulus seleksi dengan nilai yang baik. Dukungan sosial tidak hanya mengacu pada jumlah teman yang dimiliki untuk memberikan suatu dukungan, dukungan sosial lebih mengacu pada sejauh mana


(20)

kepuasan yang didapat atau dirasakan individu dari dukungan-dukungan yang diberikan seperti dukungan yang diberikan oleh keluarga pada Bintara saat akan test seleksi. Sumber daya material mengacu pada ketersediaannya uang dalam memperoleh atau mendapatkan barang maupun jasa yang diinginkan oleh individu seperti tersedianya fasilitas berenang, lari dan perpustakaan..

Berdasarkan hasil wawancara, empat dari sepuluh Bintara SESKOAD berusaha untuk belajar dan berlatih lebih keras dengan bertanya pada orang yang dianggap dapat membantu mereka seperti pada atasan dan rekan kerja yang sudah pernah mengikuti ujian seleksi SECAPA AD, mereka yakin dapat lulus seleksi, mengatur jadwal agar waktu istirahat dan berlatih tidak mengganggu waktu bekerja. Dengan kata lain keempat Bintara tersebut menggunakan coping stress dengan strategi fokus pada penyelesaian masalah atau menggunakan problem focus coping. Sedangkan enam Bintara lainnya memilih untuk menfokuskan pada pengendalian emosi dan perasaan atau emotion focus coping dengan menceritakan masalah-masalahnya pada rekan kerja, orang tua, dan orang-orang terdekatnya untuk meredakan emosi yang mereka alami, memilih untuk melupakan atau menghindari perasaan stress yang dialami dengan melakukan hal-hal yang disukai seperti melakukan hobi; makan, tidur, atau menonton televisi.

Dengan melihat hal tersebut, peneliti tertarik untuk melihat lebih jauh bagaimana coping stress yang dimiliki oleh Bintara SESKOAD yang akan mengikuti seleksi pendidikan SECAPA TNI-AD.


(21)

1.2Identifikasi Masalah

Dari penelitian ini, peneliti ingin mengetahui gambaran tentang coping stress Bintara SESKOAD yang akan mengikuti seleksi pendidikan SECAPA TNI-AD.

1.3Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian

Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran tentang coping stress Bintara SESKOAD yang akan mengikuti seleksi pendidikan SECAPA TNI-AD.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran obyektif mengenai coping stress Bintara Seskoad yang akan mengikuti seleksi pendidikan SECAPA TNI-AD, serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. 1.4Kegunaan Penelitian

1.4.1 Kegunaan Ilmiah

- Memberikan informasi tambahan bagi bidang Psikologi khususnya

Psikologi Klinis dan Psikologi Organisasi tentang coping stress Bintara SESKOAD yang akan mengikuti seleksi pendidikan SECAPA TNI AD. - Selanjutnya dapat pula digunakan sebagai bahan pertimbangan dan


(22)

1.4.2 Kegunaan Praktis

- Memberi informasi kepada Dinas Psikologi Angkatan Darat (Dispsiad) tentang coping stress Bintara SESKOAD yang akan mengikuti seleksi pendidikan SECAPA TNI-AD sehingga diharapkan Dispsiad dapat memberikan bimbingan bagi para Bintara untuk dapat menghadapi rintangan-rintangan yang dapat menimbulkan stress untuk meningkatkan kinerja mereka.

1.5 Kerangka Pemikiran

Pada masa dewasa awal dimulai pada saat individu berusia 20-40 tahun merupakan usia yang produktif, mandiri secara ekonomi dan dalam membuat keputusan, usia ini merupakan puncak dari kesehatan paling baik sepanjang rentang kehidupan. Pada usia dewasa madya kebanyakan individu juga masih bekerja secara aktif. Perubahan fisik pada masa middle age ( 40-60 tahun) biasanya bertahap, perubahan fisik ini sangat beragam antara satu dengan yang lain. Faktor genetis dan gaya hidup memainkan peranan penting terhadap munculnya penyakit kronis dan kapan pemunculannya. Kondisi fisik tidak hanya mencapai puncaknya pada awal masa dewasa, tetapi juga mulai menurun selama periode ini dikarenakan stress yang dihadapi. Tidak terkecuali individu yang bekerja sebagai anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI), sangat tidak mudah untuk dapat masuk menjadi anggota TNI dan banyak tugas-tugas Negara yang harus mereka laksanakan.


(23)

Tentara Nasional Indonesia (TNI) merupakan suatu organisasi yang berfungsi untuk menjaga kedaulatan bangsa dan Negara, sedangkan TNI-AD khusus menjaga kedaulatan Republik Indonesia di darat . Agar fungsi tersebut berjalan dengan baik, organisasi harus diawaki oleh para prajurit TNI-AD professional. Untuk dapat menjadi prajurit TNI-AD sangatlah tidak mudah, seseorang harus mengikuti dan lulus beberapa tahapan test dan berbagai macam jenis test. Saat telah menjadi bagian di dalam TNI-AD pun seorang prajurit dituntut untuk selalu dapat mengembangkan diri. Oleh karena itu, banyak Bintara yang berniat untuk menjadi perwira AD melalui pendidikan SECAPA TNI-AD, untuk dapat dididik dan dilatih menjadi prajurit yang professional.

SECAPA TNI-AD adalah lembaga pendidikan khusus Bintara berpangkat minimal Serka yang akan dilantik menjadi Perwira setelah mereka mengikuti dan lulus pendidikan selama 9 bulan. Sedangkan seleksi masuk SECAPA TNI-AD sendiri berlangsung selama kurang lebih satu minggu. Umumnya para Bintara sudah dapat memperkirakan kapan mereka akan diajukan untuk dapat mengikuti seleksi SECAPA TNI-AD sehingga mereka dapat mempersiapkan diri sebaik mungkin agar dapat lulus seleksi. Namun, pekerjaan sehari-hari mereka membuat mereka kurang memiliki waktu untuk melakukan persiapan ujian SECAPA TNI- AD secara optimal, apalagi mereka dituntut untuk setiap saat harus siap menerima perintah pimpinan. Bukan hanya itu, sejak satu tahun yang lalu ada peraturan baru yang lebih menekankan pada aspek penilaian fisik yang meliputi penilaian fisik seperti kesehatan, ketahanan dan ketangkasan., dan mengharuskan seorang


(24)

Bintara yang akan mengikuti seleksi ujian SECAPA TNI-AD mampu berenang gaya dada sejauh 50 meter secara non stop.

Seorang Bintara juga harus lulus materi ujian yang lain dari aspek intelektual, mental ideologi, dan psikologi. Saat akan mengikuti seleksi SECAPA TNI-AD, calon siswa akan diawasi oleh komandan, mereka juga harus memperoleh nilai minimal 65 pada test fisik, melakukan test pemeriksaan postur tubuh, psikotest, dan akademis. Hal ini tentu akan menimbulkan stres tersendiri pada para Bintara. Bintara yang akan mengikuti seleksi pendidikan juga mengalami stress dalam menjalankan peran mereka sebagai prajurit TNI-AD serta saat persiapan mengikuti pendidikan SECAPA TNI-AD. Stress juga dapat terjadi di lingkungan kerja TNI AD dimana para prajuritnya dituntut untuk selalu berdisiplin tinggi, patuh pada peraturan yang berlaku dan tunduk pada perintah atasan, serta harus cepat dan tanggap dalam menghadapi setiap masalah yang berkaitan dengan peran dan fungsinya. Kondisi seperti ini dapat menjadi pemicu timbulnya stress pada diri para bintara tersebut.

Menurut Lazarus dan Folkman (1984), stress adalah hubungan spesifik antara individu dan lingkungan yang dinilai oleh individu sebagai tuntutan atau melebihi sumber dayanya dan membahayakan keberadaannya. Lazarus dan Cohen (1979) mengidentifikasi tiga kategori dari stresor (penyebab stress) yaitu cataclysmic stressor (kejadian yang berdampak pada beberapa orang atau seluruh komunitas dalam waktu yang sama seperti bencana alam), personal stressor (stressor yang mempengaruhi secara individual) seperti berbagai macam test seleksi SECAPA TNI-AD yang harus diikuti Bintara dan background stressor


(25)

(stressor yang merupakan masalah sehari-hari dalam kehidupan), pada Bintara yang akan mengikuti seleksi SECAPA TNI-AD misalnya lingkungan kerja yang kurang mendukung persiapannya secara optimal untuk mengikuti ujian seleksi pendidikan SECAPA TNI-AD.

Pemaknaan kejadian sebagai sesuatu yang stressful tergantung pada faktor individu atau internal dan faktor situasi atau eksternal (Cohen&Lazarus, 1983; Lazarus&Folkman, 1984). Faktor individu adalah faktor yang terdapat dalam diri individu yang dapat menyebabkan stres seperti intelektual, motivasi, dan karakteristik kepribadian, sedangkan faktor lingkungan adalah faktor yang berasal dari lingkungan luar individu yang dapat menyebabkan stress seperti lingkungan keluarga dan lingkungan kerja. Penghayatan akan derajat stress yang dialami setiap Bintara berbeda-beda. Ini tergantung bagaimana persepsi bintara menilai stressor-stressor tersebut sebagai suatu tantangan atau sebagai sesuatu yang mengancam. Penilaian ini disebut sebagai penilaian kognitif atau cognitive appraisal (Lazarus, 1984). Penilaian kognitif ini akan menentukan apakah tuntutan dari lingkungan atau pekerjaan akan melampaui kemampuan yang dimiliki oleh seorang Bintara sehingga dapat menentukan apakah Bintara tersebut merasa stress atau tidak, apakah derajat stress yang dialami bintara derajatnya tinggi, moderat, atau rendah. Bintara yang menghayati stress yang ia alami tinggi ditandai dengan munculnya banyak reaksi atau respon terhadap stress baik dari reaksi kognitif, tingkah laku, emosi, fisiologis maupun kognitif. Reaksi kognitif ditandai dengan sulit berkonsentrasi dan gangguan berpikir. Reaksi fisiologis ditandai dengan meningkatnya tekanan darah dan denyut jantung, munculnya


(26)

gangguan/ penyakit pada tubuh seperti sakit kepala, sakit perut, menyempitnya pembuluh darah seperti cepat lelah, dan otot-otot semakin tegang. Reaksi emosi ditandai dengan mudah marah, takut, cemas, depresi dan tidak sabar. Reaksi tingkah laku ditandai dengan menurunnya produktifitas kerja, tidak termotivasi untuk bekerja dan ketidakpuasan dalam bekerja serta adanya keinginan untuk melawan atau menghindari stresor.

Penilaian kognitif juga mempengaruhi Bintara yang akan mengikuti seleksi pendidikan SECAPA TNI-AD untuk menanggulangi stresnya. Penilaian ini memiliki beberapa tahap yaitu penilaian primer (primary appraisal), penilaian sekunder (secondary appraisal) dan penilaian kembali (reappraisal). Pada primary appraisal , Bintara akan melakukan evaluasi terhadap tuntutan dan kewajibannya sebagai anggota TNI-AD dan dalam rangka persiapan seleksi SECAPA TNI-AD lalu menentukan kedalam tiga kategori yaitu Irrelevant, benign positive appraisal, dan stressful appraisal.

Bintara yang mengevaluasi tuntutannya untuk mengikuti seleksi SECAPA TNI-AD dan kewajibannyanya sebagai anggota TNI-AD merupakan sesuatu yang irrelevant akan beranggapan bahwa kewajiban dan tuntutan yang diberikan merupakan suatu hal yang tidak penting dan cenderung memiliki derajat stress yang rendah. Bintara yang mengevaluasi tuntutan dan kewajibannya sebagai benign positive appraisal akan menganggap bahwa kewajiban dan tuntutan yang diberikan merupakan hal yang positif dan cenderung memiliki derajat stress yang moderat. Sedangkan Bintara yang mengevaluasi sebagai stressful appraisal menganggap kewajiban dan tuntutan tugasnya sebagai suatu gangguan, tantangan,


(27)

atau ancaman bagi kehidupannya. Bintara yang mengevaluasi kewajiban dan tuntutan tugasnya sebagai sesuatu yang stressful appraisal cenderung memiliki derajat stress yang tinggi. Semakin sedikit reaksi stress yang muncul pada Bintara maka derajat stressnya akan semakin rendah, begitupun sebaliknya, semakin banyak reaksi stress yang muncul maka derajat stressnya akan semakin tinggi..

Bintara yang mengevaluasi kewajiban dan tuntutannya sebagai beban (stressful appraisal) akan melakukan secondary appraisal. Secondary appraisal dilakukan untuk menentukan apa yang harus dilakukan untuk meredakan stress yang sedang dihadapi. Pada penilaian primer dan sekunder ini lebih didasarkan pada penilaian subjektif bintara terhadap dirinya sendiri dan situasi yang sedang dihadapinya. Stresor merupakan suatu kondisi yang menunjang timbulnya penghayatan stress yang berkelanjutan, stress yang berkelanjutan tersebut akan menimbulkan reaksi-reaksi tertentu, dan reaksi-reaksi tersebut dikelompokkan menjadi empat macam yaitu Reaksi kognitif, reaksi fisiologis, yang berpengaruh pada kesehatan fisik individu seperti masalah pada sistem kekebalan tubuh, migrain, diare, dan penyakit lainnya yang muncul akibat stres; Reaksi emosi, adanya gangguan psikologis seperti kemarahan, kecemasan, depresi, ketegangan, dan lain-lain; Reaksi tingkah laku, terlihat dari tingkah laku yang dimunculkan oleh individu antara lain, susah tidur, susah atau berlebihan makan, banyak merokok, menghindari pekerjaan, agresif dan lain sebagainya. Seorang Bintara dapat memunculkan salah satu, dua, tiga, atau bahkan keempat reaksi stress tersebut diatas.


(28)

Bintara akan memilih cara yang menurutnya paling efektif untuk meredakan situasi stress yang dialaminya. Baik pada primary appraisal maupun secondary appraisal, lebih didasari pada penilaian subjektif dari Bintara terhadap dirinya sendiri dan juga terhadap situasi yang sedang mereka hadapi. Hasil yang diperoleh dari penilaian-penilaian Bintara inilah yang nantinya dapat menentukan coping stress yang akan mereka gunakan.

Lazarus (1984) memaparkan bahwa untuk mengatasi stress yang dialami oleh seseorang, dibutuhkan suatu cara penanggulangan yang disebut sebagai coping stress. Coping stress merupakan suatu perubahan kognitif dan tingkah laku yang berlangsung secara terus menerus sebagai usaha individu untuk mengatasi tuntutan eksternal dan internal yang dianggap sebagai beban yang melebihi sumberdayanya serta membahayakan keberadaannya.

Lazarus (1984) membagi coping stress sesuai dengan jenis tujuannya yaitu untuk mengatur respons emosional negatif (emotion focus coping) dan untuk mengelola atau mengubah keadaan yang menyebabkan stress (problem focus coping). Problem focus coping merupakan coping yang berfokus pada penyelesaian masalah yang dihadapi berupa strategi kognitif sehingga dapat menghilangkan kondisi-kondisi yang menimbulkan stress. Terdapat dua bentuk problem focus coping¸ yang pertama yaitu planful problem solving dimana Bintara berusaha untuk mengubah keadaan secara hati-hati dengan menganalisis masalah yang dihadapi, membuat perencanaan pemecahan masalah, lalu memilih alternatif pemecahan masalah tersebut. Bentuk yang kedua adalah confrontative


(29)

untuk mengatasi keadaan yang menekan dirinya. Bintara yang menggunakan problem focus coping akan berusaha untuk belajar dan berlatih lebih keras, berusaha mencari alternatif pemecahan masalah, dan tetap menjalankan tugasnya sebagai seorang prajurit TNI-AD, serta mengatur jadwal sehingga lebih teratur dan tertata.

Coping stress yang kedua adalah emotion focus coping, dimana strategi penanggulangan stress berfokus pada peregulasian emosi dengan cara mengatur emosinya agar menyesuaikan diri terhadap dampak dari hal-hal yang menimbulkan stress, biasanya menggunakan penilaian defensif atau mekanisme pertahanan tanpa menyelesaikan sumber dari masalah yang dihadapinya. Emotional focus coping memiliki enam bentuk, yang pertama adalah distancing. Distancing yaitu strategi dimana Bintara berusaha melepaskan diri dan mengambil jarak dengan masalah yang dihadapi dengan menganggap ringan permasalahan yang dihadapinya. Sebagai contoh, ketika Bintara memiliki masalah dengan atasannya, ia akan menjaga jarak dengan atasan nya tersebut, hal ini akan mempengaruhi tugas dan peran nya sebagai prajurit TNI. Bentuk yang kedua yaitu escape-avoidance yang berupa strategi dimana berusaha menghindari atau melarikan diri dari permasalahannya dengan cara melakukan kegiatan-kegiatan yang disukanya seperti melakukan hobi, makan, tidur, atau bahkan meminum obat penenang. Bentuk ketiga yaitu positive appraisal berupa strategi dimana Bintara akan berusaha untuk menciptakan makna positif yang lebih ditujukan untuk pengembangan pribadi, juga melibatkan hal-hal yang religius seperti berdoa.


(30)

Bentuk keempat self-control yaitu strategi dimana Bintara berusaha untuk meregulasi perasaan maupun tindakan yang akan diambil dengan cara menahan diri dan tidak terbawa perasaan. Bentuk kelima seeking social support, yaitu strategi dimana Bintara berusaha mencari dukungan dari pihak-pihak diluar dirinya seperti teman, rekan kerja atau orangtua berupa nasehat ataupun informasi. Bentuk yang terakhir accepting responsibility, yaitu strategi dimana Bintara sadar akan perannya dan bertanggungjawab dalam permasalahan yang dihadapinya dan mencoba memperjelas dan menerima masalahnya secara objektif dengan tetap menjalankan tugasnya sebagai prajurit TNI-AD. Bintara yang menggunakan emotion focus coping menfokuskan pada pengendalian emosi dan penghayatan stress mereka dengan menceritakan masalah-masalahnya pada rekan kerjanya, orang tua, dan orang-orang terdekatnya, memilih untuk menghilangkan stress yang dialami dengan melakukan hal-hal yang disukai seperti melakukan hobi, makan, tidur, atau menonton televisi.

Tuntutan serta tugas yang dapat memicu stress (stressor) yang dihadapi oleh Bintara SESKOAD perlu segera diatasi dengan berbagai strategi coping, baik dengan menggunakan problem focus coping ataupun emotional focus coping agar tidak menimbulkan stress yang berkepanjangan dan tidak mengganggu produktivitas mereka dalam bekerja.


(31)

Skema 1.1 Skema kerangka pikir Bintara

Seskoad Stress

Coping stress Emotional Focus Problem Focus

1. Distancing 2. Avoidance

3. Positive Appraisal 4. Self Control 5. Accepting

Responsibility 6. Seeking Social

Support

1. Planful Problem Solving

2. Confrontative coping

- Kesehatan dan energi

- Keterampilan

memecahkan masalah

- Keyakinan diri yang positif

- Dukungan sosial

- Sumber daya material Test seleksi

Secapa TNI-AD

Persepsi


(32)

1.6 Asumsi

1. Kewajiban dan tuntutan ujian seleksi pendidikan SECAPA TNI-AD dapat menimbulkan stress pada Bintara SESKOAD.

2. Untuk meredakan stress yang dialami, Bintara Seskoad melakukan coping. 3. Coping stress yang dilakukan oleh Bintara Seskoad dibagi menjadi dua

jenis yaitu problem focus coping dan emotional focus coping. Bintara dapat menggunakan kedua bentuk coping stress tersebut.

4. Coping stress dipengaruhi oleh faktor internal seperti kesehatan dan energi yang dimiliki Bintara Seskoad, keterampilan memecahkan masalah, keyakinan diri yang positif, dan keterampilan sosial yang adekuat, selain itu juga dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti dukungan sosial dan sumber material.

5. Coping stress yang efektif digunakan oleh Bintara Seskoad adalah problem focus coping karena Bintara menyelesaikan masalah yang ia hadapi bukan hanya sekedar meregulasi emosinya.

6. Bintara Seskoad mungkin dapat menggunakan kedua jenis coping stress yaitu problem focus coping dan emotional focus coping.


(33)

2.1. Stress

2.1.1. Pengertian Stress

Stress berasal dari bahasa latin “stingere” yang berarti keras (stictus), yang pada akhirnya istilah itu berkembang terus menjadi Stress (Cox, 1978). Pada abad 17, istilah Stress diartikan sebagai kesukaran, kesulitan, atau penderitaan. Selanjutnya pada abad 18, Stress digunakan untuk menunjukkan kekuatan, tekanan, ketegangan atau usaha yang keras yang ditunjukkan pada benda-benda atau manusia, terutama untuk kekuatan mental atau organ manusia (Cooper, Cooper & Eaher, 1988).

Stress sebagai proses yang melibatkan stressor dan strain dan menambahkan dimensi yang penting yaitu hubungan antara individu dan lingkungan. Proses ini merupakan interaksi dan penyesuaian yang berkesinambungan dan disebut sebagai transaksi antara individu dan lingkungan yang dipengaruhi dan mempengaruhi satu sama lain. Menurut pendekatan ini, Stress tidak hanya berperan sebagai stimulus atau respon saja, tetapi suatu proses yang menempatkan individu sebagai agen aktif yang dapat mempengaruhi akibat yang disebabkan oleh stressor melalui tingkah laku, kognisi, dan strategi emosional yang disebut sebagai model pendekatan interaksional (Aldwin, 1994;DeLongis & O’Brien, 1990; Folkman, Lazarus, Dunkel-Schetter, DeLongis,&Gruen,1986 dalam journal of personality 64:4,December 1996).


(34)

Individu dan lingkungan Menurut Lazarus & Folkman (1976), Stress adalah hubungan spesifik antara individu dan lingkungan yang dinilai individu sebagai tuntutan atau melebihi sumber dayanya dan membahayakan keberadaannya.

2.1.2 Teori Stress Lazarus

Lazarus (1976) berpendapat Stress terjadi jika seseorang mengalami tuntutan yang melampaui sumber daya yang dimilikinya untuk melakukan penyesuaian diri, hal ini berarti bahwa kodisi Stress terjadi jika terdapat kesenjangan atau ketidakseimbangan antara tuntutan dan kemampuan. Tuntutan adalah sesuatu yang jika tidak dipenuhi akan menimbulkan konsekuensi yang tidak menyenangkan bagi individu. Jadi Stress tidak hanya bergantung pada kondisi eksternal melainkan juga tergantung mekanisme pengolahan kognitif terhadap kondisi yang dihadapi indiidu bersangkutan. Tuntutan-tuntutan tersebut dapat dibedakan dalam 2 bentuk, yakni :

1) Tuntutan internal yang timbul sebagai tuntutan biologis. Berupa kebutuhan-kebutuhan, nilai-nilai, dan kepuasan yang ada pada diri individu

2) Tuntutan eksternal yang muncul dalam bentuk fisik dan sosial. Tuntutan eksternal dapat merefleksikan aspek-aspek yang berbeda dari pekerjaan seseorang, seperti tugas-tugas yang diberikan dan bagaimana cara menyelesaikan tugas tersebut, lingkungan fisik, lingkungan psikososial dan kegiatan-kegiatan di luar lingkungan kerja.


(35)

2.1.3 Sumber Stress

Untuk lebih memahami Stress, maka perlu dikenali terlebih dahulu penyebab Stress yang biasa disebut dengan istilah stressor. Lazarus dan Cohen (1979) mengidentifikasikan kategori dari stressor, yaitu :

1. Cataclysmic Stresssor

Istilah ini mengacu pada perubahan besar atau kejadian yang berdampak yang beberapa orang atau seluruh komunitas dalam waktu yang sama, serta diluar kendali siapapun. Contohnya bencana alam (gempa bumi, badai), perang, dipenjara dan sebagainya. Pada Stressor, individu seringkali menemukan banyak dukungan dan sumber daya yang dapat digunakan untuk membandingkan perilaku dari orang lain.

2. Personal Stresssor

Yaitu Stressor yang mempengaruhi secara individual. Stressor ini dapat atau tidak dapat diprediksi, akan tetapi memiliki pengaruh yang kuat dan membutuhkan upaya coping yang cukup besar dari seseorang seperti mendeerita penyakit yang mematikan, dipecat, bercerai, kematian orang yang dicintai, dan sebagainya. Stressor ini seringkali lebih sulit ditanggulangi daripada cataclysmic Stresssor karena kurangnya dukungan dari individu lain yang memiliki nasib yang sama.

3. Background Stresssor

Yaitu Stressor yang merupakan “masalah sehari-hari” dalam kehidupan. Stressor ini berdampak kecil namun berlangsung terus-menerus, sehingga


(36)

dapat mengganggu dan menimbulkan stress negatif pada individu (Lazarus & Folkman, 1984) seperti contohnya mempunyai banyak tanggung jawab, merasa kesepian, beradu argument dengan pasangan, dan sebagainya. Walaupun masalah sehari-hari tidak seberat perubahan besar dalam hidup seperti perceraian, kemampuan untuk bisa beradaptasi dengan masalah sehari-hari tersebut menjadi sangat penting dan hal ini juga berkaitan dengan masalah kesehatan (Lazarus & Folkman, 1984).

Lazarus (1976) membagi Stress ke dalam beberapa sumber, yaitu :

1. Frustasi, yang akan muncul apabila usaha yang dilakukan individu untuk mencapai suatu tujuan mendapat hambatan atau kegagalan. Hambatan ini dapat bersumber dari lingkungan maupun dari dalam diri individu itu sendiri.

2. Konflik, Stress akan muncul apabila individu dihadapkan pada keharusan memilih satu di antara dua dorongan atau kebutuhan yang berlawanan atau yang terdapat pada saat yang bersamaan.

3. Tekanan, Stress juga akan muncul apabila individu mendapat tekanan atau paksaan untuk mencapai hasil tertentu dengan cara tertentu. Sumber tekanan dapat berasal dari lingkungan maupun dari dalam diri individu yang bersangkutan.

4. Ancaman, antisipasi individu terhadap hal-hal atau situasi yang merugikan atau tidak menyenangkan bagi dirinya juga merupakan suatu yang dapat memunculkan stress.


(37)

Faktor-faktor yang menjadi sumber munculnya stress disebut Stressor. Pada dasarnya keadaan stress yang dihadapi sama namun penghayatan derajat stress berbeda-beda antara individu yang satu dengan yang lainnya. Hal ini disebabkan karena adanya penilaian kognitif dalam diri individu yang akan memberi bobot pada keadaan atau situasi stress yang dialami, dimana keadaan tersebut dihayati sebagai suatu keadaan yang mengancam atau tidak bagi individu yang bersangkutan.

2.1.4 Reaksi terhadap Stress

Ketika menghadapi suatu situasi yang dapat menimbulkan stress, reaksi setiap individu berbeda-beda. Beberapa respon ini merupakan reaksi yang tidak disadari, sedangkan sebagian lagi disadari oleh individu untuk segera melakukan coping. Lazarus (1984) membagi reaksi-reaksi ini kedalam 4 kategori yaitu:

1. Reaksi Kognitif

Reaksi kognitif terhadap stress meliputi hasil proses appraisal seperti adanya keyakinan mengenai bahaya atau ancaman yang terkandung dalam suatu kejadian atau keyakinan mengenai penyebabnya. Respon kognitif juga memasukkan respon stress tidak sadar seperti membuat jarak, ketidakmampuan konsentrasi, gangguan performance dalam pekerjaan-pekerjaan kognitif, dan pikiran-pikiran yang mengganggu, berulang dan abnormal. Simptom stress dalam bentuk kognitif mencakup pemikiran obsesif dan adanya ketidakmampuan untuk berkonsentrasi.


(38)

2. Reaksi fisiologis

Pada saat menghadapi stress, tubuh memobilisasi diri untuk menangani stress tersebut. Hati mengeluarkan lebih banyak glukosa untuk melumasi otot serta hormon-hormon dikeluarkan untuk menstimulasi perubahan lemak dan protein menjadi gula. Metabolisme tubuh meningkat sebagai persiapan tuntutan energi dari aktifitas fisik. Denyut jantung, tekanan darah, dan pernafasan meningkat serta otot menjadi tegang. Pada saat yang sama, aktifitas yang tidak dibutuhkan seperti digestif dikurangi, saliva dan lendir akan mengering dan sebagai gantinya meningkatnya jumlah udara yang dihirup. Respon psikologis tersebut merupakan hasil dari bekerjanya beberapa sistem tubuh untuk menghadapi stress.

3. Reaksi Emosional

Penilaian atau interpretasi kognitif terhadap lingkungan yang dikaitkan dengan kebutuhan, tujuan, harapan, atau perhatiannya adalah hal yang menentukan bagaimana respon emosi seseorang (Lazarus, 1982). Lazarus & Folkman (1984) mengungkapkan bahwa dominansi emosi negatif seperti cemas, depresi, dan marah merupakan indikasi bahwa individu yang bersangkutan menilai situasi sebagai sesuatu yang menimbulkan stress dan dirasakan melukai atau merugikan (harm/loss), atau memberikan ancaman bahwa akan muncul sesuatu yang dapat melukai atau merugikan keberadaan individu tersebut.


(39)

4. Reaksi tingkah laku

Reaksi tingkah laku berhubungan dengan memunculkannya suatu perilaku baru sebagai upaya individu untuk mengurangi atau menghilangkan kondisi stress yang dialaminya. Perilaku-perilaku yang muncul seperti merokok, mengurangi atau makan berlebih, berolahraga berlebihan, mengkonsumsi alkohol atau obat-obatan terlarang, dan sebagainya. Reaksi tingkah laku ini muncul tergantung pada stressor yang dihadapi, perilaku melawan stressor secara langsung (fight) dan menjauh atau menarik diri dari ancaman (flight) merupakan dua reaksi yang paling ekstrim.

2.2 Penilaian kognitif

Penilaian kognitif (cognitive appraisal) berlangsung secara terus-menerus di sepanjang kehidupan. Penilaian kognitif merupakan suatu proses evaluatif yang menentukan mengapa atau dalam keadaan seperti apa suatu interaksi antara manusia dan lingkungannya dapat menimbulkan stress (Lazarus & Folkman, 1984).

Pada dasarnya penilaian kognitif merefleksikan kekhasan dan perubahan relasi yang berlangsung antara individu dengan karakteristik personal tertentu (seperti nilai motivasi, gaya berpikir, dan penerimaan) dan juga karakteristik lingkungannya yang harus diprediksi dan dimaknakan. Konsep ini akan lebih mudah dipahami dengan cara mengamatinya sebagai suatu proses pemberian kategori terhadap pengalaman serta memperhatikan pula signifikannya terhadap kesejahteraan individu. Proses ini tidak sekedar


(40)

proses pengolahan informasi tetapi lebih bersifat evaluatif yang difokuskan pada makna dan signifikansi, serta terjadi secara terus-menerus sepanjang kehidupan.

Dalam teori appraisal ini telah dibuat perbedaan antara penilaian primer (primary appraisal) dan penilaian sekunder (secondary appraisal). Penilaian primer dan penilaian sekunder tidak dapat dipandang sebagai proses yang terpisah, mereka berinteraksi satu sama lain dan membentuk derajat stress serta kekuatan dan kualitas reaksi emosional saling mempengaruhi antara kedua proses ini sehingga saling menjadi sangat kompleks. Penilaian kognitif merupakan proses berlangsungnya terus-menerus sepanjang hidup, maka turut berperan pada faktor penilaian kembali (reappraisal).

2.2.1 Penilaian primer (primary appraisal)

Penilaian primer merupakan suatu proses mental yang berhubungan dengan aktivitas evaluasi terhadap situasi yang dihadapi. Proses ini terjadi untuk menentukan apakah suatu stimulus atau situasi yang dihadapi individu berada dalam kategori tertentu. Penilaian primer ini terdiri dari tiga kategori, yaitu :

1. Irrelevant (tidak relevan): situasi yang terjadi tidak berpengaruh pada kesejahteraan individu, situasi tersebut dianggap tidak bermakna sehingga dapat diabaikan.

2. Benign positive reappraisal (penilaian positif): situasi yang terjadi dirasakan dan dihayati sebagai hal yang positif dan dianggap dapat meningkatkan kesejahteraan individu.


(41)

3. Stressful appraisal (penilaian yang menimbulkan stress): situasi yang terjadi menimbulkan makna gangguan, kehilangan, ancaman, dan tantangan bagi individu.

2.2.2 Penilaian sekunder (Secondary appraisal)

Penilaian sekunder (Secondary appraisal) merupakan proses yang digunakan untuk menentukan apa yang dapat atau harus dilakukan untuk meredakan stress yang sedang dihadapi. Pada tahap inilah individu akan memilih cara yang menurutnya efektif untuk meredakan stress. Proses ini mencakup :

1. Evaluasi mengenai coping stress yang digunakan yang dinilai paling efektif dalam menghadapi situasi tertentu dengan mempertimbangkan konsekuensi yang muncul sehubungan dengan coping tersebut.

2. Evaluasi terhadap potensi-potensi yang dimiliki individu yang dapat

mendukung upaya coping stress. Proses ini berusaha

mempertimbangkan berbagai sumber yang dimiliki individu dengan memperhitungkan tuntutan yang ada dalam menentukan coping stress yang digunakan.

2.2.3 Penilaian kembali (reappraisal)

Penilaian kembali (reappraisal) merupakan perubahan yang terjadi karena adanya informasi yang baru, baik yang bersumber dari lingkungan


(42)

yang dapat menahan atau memperkuat tekanan bagi individu, maupun informasi dari reaksi individu itu sendiri.

Melalui tahapan penilaian tersebut, seseorang mempertimbangkan makna dan pengaruh situasi terhadap kesejahteraan dirinya. Dengan demikian, selain karakteristik dari suatu situasi yang dapat menimbulkan stress, proses penilaian kognitif sangat berpengaruh bagi seseorang dalam menghayati keadaaan stress.

Ada bentuk lain penilaian kembali yang disebut defensive appraisal. Defensive appraisal termasuk pada beberapa usaha untuk menginterpretasi hal yang lalu dengan positif, atau menghubungkan dengan kekerasan atau ancaman dengan memandang mereka di dalam sedikit kerusakan dan atau cara mengancam.

2.3 Derajat Stress

Tinggi rendahnya stress yang dialami oleh setiap individu bebeda-beda. Menurut Lazarus (1976), tinggi rendahnya stress yang dihadapi setiap orang tergantung pada proses penilaian kognitif, seseorang yang mengevaluasi stressor yang dihadapi sebagai sesuatu yang irrelevant akan beranggapan bahwa stressor tersebut merupakan suatu hal yang tidak penting dan cenderung memiliki derajat stress yang rendah. Seseorang yang mengevaluasi stressor-nya sebagai benign positive appraisal akan menganggap bahwa stressor-nya merupakan hal yang positif yaitu sebagai suatu tantangan yang harus dihadapinya dan cenderung memiliki derajat


(43)

stress yang moderate. Sedangkan seseorang yang mengevaluasi stressor-nya sebagai sesuatu yang Stressful appraisal menganggap stressor-stressor-nya sebagai suatu gangguan atau ancaman bagi kehidupannya dan cenderung memiliki derajat stress yang tinggi.

Selain itu berdasarkan reaksi-reaksi yang muncul, dapat diketahui bagaimana cara seorang individu menghayati stress yang dialaminya. Individu yang memunculkan banyak reaksi baik dalam reaksi kognitif, fisiologis, emosi dan tingkah laku menghayati stress yang mereka alami sebagai stress yang berat atau tinggi. Sebaliknya, Individu yang sedikit memunculkan reaksi baik reaksi kognitif, fisiologis, emosi maupun tingkah laku menghayati stress yang mereka alami sebagai stress yang rendah (Lazarus 1984). Pada derajat stress tertentu, stress dapat memicu seseorang untuk melakukan suatu hal yang lebih baik, namun pada derajat stress yang berlebihan, stress dapat menghambat seseorang mencapai tujuannya. Menurut Lazarus (1976), individu mengalami derajat stress yang tinggi biasanya tidak bisa tidur nyenyak, malas, bosan, memiliki motivasi rendah, sedangka individu yang mengalami derajat stress rendah akan lebih termotivasi.

2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi proses penilaian

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses penilaian seorang individu terdiri dari person factor (commitment, beliefs) dan situation factor (novelty, predictability, temporal factors). Commitment


(44)

menggambarkan apa yang dianggap penting dan bermakna oleh seseorang. Commitment dapat pula berarti pilihan yang dibuat seseorang atau dipersiapkan untuk menjaga nilai ideal mereka atau untuk mencapai tujuan yang mereka inginkan. Beliefs menetapkan apa yang menjadi fakta, bagaimana suatu kejadian di lingkungan, dan mereka membentuk keyakinan dari kejadian tersebut.

Novelty adalah suatu situasi dimana individu belum pernah mempunyai pengalaman sebelumnya. Apabila suatu situasi benar-benar baru baginya dan tidak ada aspek yang sebelumnya dihubungkan secara psikologis dengan sesuatu yang merugikan maka individu tidak akan menilai kejadian tersebut sebagai suatu ancaman. Namun, jika individu sudah memiliki pengalaman sebelumnya, maka individu akan merasa bahwa kejadian tersebut merupakan suatu tantangan. Predictability merujuk pada karakteristik lingkungan yang sudah bisa diramalkan dan bisa dikenali, dipelajari, dan diketahui. Temporal factors terdiri dari imminence, duration, dan temporal uncertainty. Imminence yaitu merujuk pada seberapa banyak waktu yang tersedia sebelum suatu kejadian terjadi. Semakin banyak waktu yang tersedia maka kejadian tersebut semakin dapat diantisipasi oleh individu. Duration merujuk pada berapa lama kejadian yang dianggap stressful terjadi. Temporal uncertainty merujuk pada tidak diketahuinya kapan satu kejadian akan terjadi.


(45)

2.5 Coping Stress

2.5.1 Pengertian Coping Stress

Lazarus (1976) mengatakan bahwa Coping Stress memiliki kesamaan dengan adjustment (penyesuaian diri), hanya saja konsep mengenai adjusment lebih luas dan mengarah pada seluruh reaksi individu terhadap lingkungan dan tuntutan internal. Coping Stress merupakan suatu konsep yang lebih mengarah pada apa yang dilakukan individu untuk mengatasi situasi stress atau tuntutan yang membebani secara emosional.

Coping stress menurut Lazarus (1984) merupakan perubahan kognitif dan tingkah laku yang terus menerus sebagai suatu usaha individu untuk mengatasi tuntutan eksternal dan internal yang dianggap sebagai beban atau melampaui sumber daya yang dimilikinya dan membahayakan keberadaan atau kesejahteraannya.

Coping stress merupakan proses yang terus berubah, dimana pada suatu waktu tertentu individu akan lebih mengandalkan pada satu bentuk coping stress yang disebut sebagai strategi penanggulangan defensive dan pada kesempatan yang lain memilih untuk menggunakan strategi pemecahan masalah. Perubahan yang terjadi merupakan fungsi dari appraisal dan reappraisal yang berkelanjutan terhadap perubahan hubungan individu dengan lingkungannya (Lazarus & Folkman, 1984).


(46)

2.5.2 Fungsi Coping Stress

Coping stress sebagai disposisi menunjukan pada suatu kecenderungan untuk menggunakan tipe coping stress tertentu pada peristiwa menekan. Kita tidak ingin menyamakan fungsi coping dengan hasil dari coping. Fungsi coping mengacu pada tujuan strategi melayani, sedangkan hasil coping mengacu pada efek strategi setelahnya.

Merupakan hal yang umum bagi fungsi coping dijelaskan sebagai perbedaan yang kita yakini sebagai kepentingan utama antara coping yang diarahkan untuk mengelola atau mengubah masalah yang menyebabkan penderitaan, dan coping yang diarahkan pada mengatur respon emosional terhadap masalah. Lazarus dan Folkman (1980) menyebutnya sebagai problem focus coping dan emotional focus coping.

2.5.3 Problem Focus Coping

Problem focus coping merupakan coping stress yang digunakan untuk memecahkan masalah. Upaya yang dilakukan berpusat pada masalah, diarahkan pada mendefinisikan masalah, memunculkan alternatif tindakan dan tingkah laku. Problem focus coping berbeda dengan problem solving, problem focus coping berpusat pada masalah dan diarahkan pula pada kondisi dalam diri individu. Strategi coping ini mencakup perubahan motivasi dan kognitif seperti mengubah level appraisal, mengurangi keterlibatan ego, menemukan alternatif lain, mengembangkan standar atau perilaku baru, dan juga mepelajari keterampilan baru.


(47)

Lazarus menjelaskan bahwa problem focus coping memiliki dua bentuk, yaitu:

1. Planful problem solving, yaitu strategi dimana individu berusaha untuk mengubah keadaan secara hati-hati dengan menganalisis masalah yang dihadapi, membuat perencanaan pemecahan masalah, lalu memilih alternatif pemecahan masalah tersebut.

2. Confrontative coping, yaitu strategi dimana individu secara aktif atau agresif mencari cara untuk mengatasi keadaan yang menekan dirinya.

2.5.4 Emotional Focus Coping

Emotional focus coping merupakan bentuk coping stress yangdiarahkan untuk mereduksi, mengurangi, membatasi atau mentolerir stress emosional yang dihasilkan oleh stressor. Bentuk coping ini mencangkup pengurangan distress emosional, yang mencangkup strategi seperti menghindar, meminimalisir, membuat jarak, melakukan selective attentaion, positive comprarison, serta menilai positif mengenai kejadian yang dialami. Bentuk kognitif dari emotional focus coping ini mengacu pada perubahan cara pandang situasi tanpa mengubah situasi objektif itu sendiri. Strategi coping ini ekuivalen dengan reappraisal.

Lazarus (1966) mengistilahkan penghilangan penilaian dengan mengubah makna dari situasi yang dihadapi sebagai defensive reappraisal. Kata defensive disini bukan berarti bahwa adanya distorsi akan kenyataan yang dihadapi, beberapa reappraisal seperti positive comparison atau memunculkan makna


(48)

positif dari situasi negatif merupakan contoh dilakukannya distorsi terhadap suatu situasi.

Tidak semua reappraisal mengarah pada regulasi emosi secara langsung. Reappraisal yang menggunakan tindakan kognitif untuk mengubah makna tanpa mengubah situasi secara objektif, Lazarus menyebutnya sebagai cognitive reappraisal. Hal ini mencangkup penggunaan kognitif untuk mendapatkan interpretasi realistis ataupun dengan mendistorsi situasi.

Strategi lain yang berpusat pada emosi tidak mengubah secara langsung makna situasi itu seperti halnya cognitve reappraisal. Pada beberapa situasi, makna dapat tetap sama walaupun beberapa aspek telah dihilangkan atau pemikiran mengenai situasi dihilangkan untuk sementara. Beberapa bentuk emotional focus coping yaitu:

1. Seeking social support merupakan strategi dimana individu berusaha mencari dukungan dari pihak-pihak diluar dirinya yang berupa dukungan emosional ataupun informasi.

2. Distancing merupakan strategi dimana individu berusaha melepaskan diri sejenak dan mengambil jarak dari masalah yang dihadapi.

3. Avoidance, strategi dimana individu berusaha menghindari atau melarikan diri dari permasalahannya dengan cara menyangkal.

4. Positive appraisal, strategi dimana individu akan berusaha untuk menciptakan makna positif yang lebih ditujukan untuk pengembangan pribadi, juga melibatkan hal-hal yang religius.


(49)

5. Self control, merupakan strategi dimana individu akan berusaha untuk meregulasi perasaan maupun tindakan yang akan diambil.

6. Accepting responsibility, strategi dimana individu sadar akan perannya dalam permasalahan yang dihadapinya dan mencoba memperjelas masalahnya secara objektif.

Walaupun emotional focus coping nampak tidak sehat karena sering melibatkan self-deception (penipuan diri) ataupun pembiasaan diri akan realitas, akan tetapi Lazarus (1983) menyatakan bahwa sedikit ilusi merupakan sesuatu yang diperlukan demi kebaikan kesehatan mental individu.

2.5.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Coping Stresss

Menurut Lazarus & Folkman (1984), terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan penggunaan coping yaitu:

1. Kesehatan dan Energi

Merupakan sumber fisik yang sering dapat mempengaruhi upaya menangani atau menanggulangi masalah, individu lebih mudah menanggulangi upaya jika ia memiliki kondisi tubuh yang sehat. Saat individu sakit atau dalam keadaan lemah, maka ia akan memiliki energi yang kurang cukup untuk melakukan coping stress secara efektif. Maka dari itu semakin baik kesehatan seseorang, maka orang tersebut akan memiliki kecenderungan untuk memilih menggunakan problem focused coping dalam menghadapi beban Stresss mereka.


(50)

2. Keterampilan dalam memecahkan masalah

Keterampilan memecahkan masalah termasuk kemampuan untuk mencari informasi, menganalisa situasi dengan tujuan mengidentifikasi masalah dalam rangka mengembangkan dan mempertimbangkan alternatif tindakan, melakukan antisipasi dari suatu alternatif, serta memilih mengimplementasikan rencana tersebut pada suatu bentuk tindakan. Semakin tinggi kemampuan problem solving seseorang maka dia akan memilih untuk menggunakan problem focused coping dalam menghadapi beban stress mereka, karena dengan problem solving yang tinggi akan secara efektif mencari alternatif pemecahan masalah yang dihadapinya sehingga membantu mengurangi beban stress yang dirasakan dan dapat memfokuskan diri untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi

.

3. Keyakinan diri yang positif

Melihat diri sendiri secara positif dapat menjadi sumber psikologis yang sangat penting untuk coping stress. Pemikiran yang positif bahwa seseorang dapat mengontrol sesuatu, serta belief yang positif akan keadilan, kebebasan, maupun Tuhan juga menjadi sumber-sumber yang penting. Belief diartikan sebagai suatu lensa perseptual yang menjadi landasan dalam memperkirakan suatu kejadian, menentukan kenyataan apa yang sedang dihadapi, bagaimana sesuatu berlangsung dalam lingkungan, dan mempengaruhi pemahaman terhadap suatu makna.


(51)

4. Dukungan Sosial

Dukungan sosial tidak hanya mengacu pada jumlah teman yang dimiliki untuk memberikan suatu dukungan, dukungan sosial lebih mengacu pada sejauh mana kepuasan yang didapat atau dirasakan individu dari dukungan-dukungan yang diberikan. Istilah dukungan sosial biasanya mengacu pada persepsi kenyamanan, perhatian yang berlebihan, atau bantuan yang diterima individu dari individu lainnya.

5. Sumber daya material

Sumber daya material mengacu pada ketersediaannya uang dalam memperoleh atau mendapatkan barang maupun jasa yang diinginkan oleh individu. Selain hal-hal diatas, keberhasilan individu untuk melakukan suatu coping juga dipengaruhi oleh hambatan yang menghalangi penggunaan sumber daya. Hambatan tersebut dapat berupa hambatan personal dan hambatan lingkungan. Hambatan personal meliputi nilai budaya yang diinternalisasikan serta keyakinan yang dimiliki untuk mengatasi kekurangan dalam diri individu.

Hambatan dari lingkungan merupakan suatu tuntutan yang bertentangan dalam mempergunakan sumber daya individu, sehingga mengancam penggunaan coping. Semakin tinggi tingkat ancaman yang diberikan lingkungan, semakin menghalangi individu untuk menggunakan sumber daya dalam menangani masalah secara lebih efektif.


(52)

2.5.6 Hambatan dalam Menggunakan Coping Stress

Meskipun individu memiliki sumber daya yang cukup besar dan adekuat untuk digunakan, seringkali terjadi kekurangmampuan untuk menggunakan sumber daya tersebut secara baik, adapun hambatan yang terjadi antara lain:

1. Personal constraints, mengacu pada belief internal dan nilai budaya yang terinternalisasi, yang melarang beberapa tindakan atau perasaan, serta kekuarangan secara psikologis karena perkembangan individu yang unik, seperti humor yang secara efektif dapat mengurangi rasa tegang, ternyata menjadi sesuatu yang tidak perlu atau tidak semestinya ketika dilakukan saat pemakaman. Contoh lainnya yaitu keengganan individu untuk meminta pertolongan orang lain karena tidak ingin dipandang sebagai seseorang yang lemah dan tidak ingin memiliki hutang budi.

2. Environtment constraints dapat memunculkan tuntutan yang sama untuk suatu sember daya, hal ini dikarenakan adanya keterbatasan dalam penggunaan sumber yang ada dalam lingkungan seperti uang, dimana keputusan harus diambil untuk bagaimana uang tersebut harus dialokasikan.

3. Level of threat dapat bergradasi dari tingkatan terendah hingga yang ekstrim. Sangat penting untuk diperhatikan bahwa ancaman dengan tingkatan yang tinggi, tidak selalu berarti bahwa salah satu maupun kedua jenis coping akan berkurang kwalitasnya.


(53)

2.6 Masa dewasa awal

2.6.1 Pengertian masa dewasa awal

Masa dewasa awal dimulai pada saat individu berusia 20-40 tahun (Santrock,1985). Rentang usia tersebut merupakan usia produktif, dimana seseorang mampu melepaskan ketergantungannya mula-mula dari orang tua. Selanjutnya dari teman-teman hingga mencapai taraf otonomi baik secara ekonomi maupun pengambilan keputusan. Dimasa ini individu memusatkan dirinya terhadap pertemanan yang cukup dekat (intimacy) dan karir.

Santrock (1985) mengajukan dua kriteria untuk menunjukkan akhir masa muda dan permulaan masa dewasa awal adalah kemandirian secara ekonomi dan kemandirian dalam membuat keputusan. Mungkin yang paling luas diakui sebagai tanda memasuki dewasa adalah ketika seseorang mendapatkan pekerjaan penuh waktu yang kurang lebih tetap. Sedangkan kemampuan untuk membuat keputusan adalah ciri lain yang tidak sepenuhnya terbangun pada masa muda. Yang dimaksud disini adalah pembuatan keputusan secara luas tentang karir, nilai-nilai, keluarga, dan hubungan serta gaya hidup. Selain itu, usia ini merupakan puncak dari kesehatan paling baik sepanjang rentang kehidupan. Namun kondisi fisik tidak hanya mencapai puncaknya pada awal masa dewasa, tetapi juga mulai menurun selama periode ini. Penurunan kemampuan fisik terjadi saat memasuki usia 30an. Hal ini dapat memungkinkan individu pada


(54)

masa dewasa awal memiliki penyakit yang muncul karena Stresss yang dihadapi ketika memasuki masa dewasa awal.

2.6.2 Karakteristik dewasa awal

Peralihan untuk menjadi seorang dewasa ditandai dengan penentuan komitmen, baik yang berhubungan dengan pernikahan, anak, pekerjaan ataupun gaya hidup. Karena hal inilah yang nantinya akan mempengaruhi kehidupan mereka selanjutnya. Dapat dikatakan bahwa masa dewasa awal merupakan periode yang paling banyak mengalami perubahan. Dalam masa ini gaya hidup baru paling menonjol dibidang perkawinan dan peran orang tua. Disamping itu peran orang tua akan menjadi suatu krisis bagi beberapa individu dewasa awal, sementara bagi yang lain malah dipandang sebagai peralihan ke peran yang baru. Individu dewasa awal juga memiliki kesadaran yang besar dalam komitmen untuk memilih pekerjaan. Pemilihan pekerjaan ataupun karir dipengaruhi oleh berbagai macam faktor termasuk kecerdasan, kepribadian, dan pengalaman-pengalaman dalam keluarga (Santrock,1985).

Menurut Piaget, tahap berpikir individu dewasa awal berada pada tahap akhir, yaitu formal operational. Tahap ini ditandai dengan cirri-ciri berpikir logis, berpikir abstrakdan konseptualisasi (Chaplin,1997). Dimasa ini seseorang memiliki kemampuan untuk berpikir secara logis dan pragmatis dalam mencari solusi dari suatu masalah.


(55)

Sementara menurut Erikson, individu dewasa awal mengalami krisis antara intimacy dan isolation. Dimasa ini seseorang diharapkan telah memiliki identitas dan mengetahui siapa dirinya. Orang dewasa muda diharapkan telah merumuskan tujuan hidupnya, membangun identitas, dan menjadi lebih mandiri sebelum bergabung dengan orang lain untuk membentuk suatu keluarga. Mereka diharapkan untuk membentuk suatu hubungan yang intim dengan orang lain diantaranya dengan jalan menikah agar seseorang bisa menjalin sutu hubungan yang berhasil maka dibutuhkan keterbukaan dengan orang lain, serta memiliki kemampuan untuk saling memberi dan menerima. Bila mereka bisa melakukannya maka mereka berada pada tahap intimacy, tapi apabila tidak maka mereka berada pada tahap isolation.

2.7 Masa Dewasa Madya

2.7.1 Pengertian Masa Dewasa Madya

Rentang usia middle age yaitu 40 – 60 tahun. Dewasa madya mulai melihat kehidupan mereka pada tahun-tahun sebelumnya, merefleksikan apa yang telah dilakukan di masa lalu. Mereka melihat ke masa depan dalam konteks melihat berapa banyak waktu yang dimiliki untuk mencapaiapa yang mereka harapkan untuk dilakukan dengan kehidupannya. Pada banyak orang masa ini merupakan waktu kemunduran keterampilan fisik dan mengembangkan rasa tanggung jawab. Suatu periode dimana orang lebih sadar tentang perbedaan muda – tua dan


(56)

penyusutan jumlah waktu yang tersisa dalam hidup. Pada masa ini pula individu mencari sesuatu yang bermakna untuk diteruskan pada generasi selanjutnya.

2.7.2 Karakteristik Masa Dewasa Madya

Perubahan fisik pada masa middle age biasanya bertahap, perubahan fisik ini sangat beragam antara satu dengan yang lain. Factor genetis dan gaya hidup memainkan peranan penting terhadap munculnya penyakit kronis dan kapan pemunculannya. Tanda-tanda penuaan dapat terlihat dari tampilan fisik seperti kulit yang mulai keriput dan kendor, rambut menjadi lebih tipis dan berwarna kelabu, kuku menjadi lebih tipis, kaku dan rapuh.tinggi badan individu menurun dan banyak yang bertambah berat badan. Kelebihan berat badan merupakan masalah kesehatan yang dikritik pada masa dewasa madya.

Kekuatan otot menurun pada pertengahan 40an, kehilangan kekuatan khususnya pada punggung dan kaki. Kemampuan akomodasi mata juga menurun, kemampuan mendengar berkurang, serta retina menjadi kurang sensitif. Akumulasi informasi dan verbal skills terus meningkat, sementara fluid intelligence yaitu kemampuan untuk menalar hal-hal yang bersifat abstrak menurun. Penurunan memori terjadi pada akhir middle age atau pada masa dewasa akhir. Penurunan memori terjadi ketika individu tidak menggunakan strategi memori yang efektif seperti organization dan imagery


(57)

2.8 TNI-AD (Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat)

TNI-AD adalah bagian dari Tentara Nasional Indonesia yang bertanggung jawab atas operasi darat, dipimpin oleh Kepala Staf Angkatan Darat. Dalam rangka melaksanakan fungsinya, TNI-AD memiliki berbagai kecabangan (corps) seperti Infanteri, Kavaleri, Zeni, Perhubungan, Polisi Militer, Keuangan, Topografi, dan lain sebagainya. Agar organisasi TNI-AD selalu dalam kondisi siap operasional, secara bertingkat dan berlanjut dilakukan pembinaan kekuatan dan pembinaan kemampuan seluruh kecabangan yang ada. Pendidikan dan pembentukan perwira di SECAPA TNI-AD merupakan salah satu upaya pembinaan kekuatan yang dilakukan oleh TNI-AD bagi para Bintara yang memenuhi syarat dan telah lulus seleksi.

2.7.1 Tugas Pokok TNI-AD

Sebagai bagian dari TNI, tugas pokok TNI-AD adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.


(58)

1) Melaksanakan tugas TNI matra darat dibidang pertahanan, yaitu dengan melakukan Operasi Militer Untuk Perang (OMP) dan Operasi Militer Selain Perang (OMSP).

2) Melaksanakan tugas TNI dalam menjaga keamanan wilayah perbatasan darat dengan negara lain: yaitu dengan melakukan segala upaya, pekerjaan, dan kegiatan untuk menjamin tegaknya kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa di wilayah perbatasan darat dengan negara lain dan di pulau-pulau terluar/terpencil dari segala bentuk ancaman dan pelanggaran.

3) Melaksanakan tugas TNI dalam pembangunan dan pengembangan kekuatan matra darat, yaitu dengan melakukan segala upaya, pekerjaan, dan kegiatan untuk mewujudkan penampilan postur TNI AD yang merupakan keterpaduan kekuatan, kemampuan, dan gelar kekuatan TNI AD serta tersusunnya komponen cadangan dan komponen pendukung pertahanan negara matra darat.

4) Melaksanakan pemberdayaan wilayah pertahanan di darat dengan menyelenggarakan perencanaan, pengembangan, pengerahan, dan pengendalian wilayah pertahanan untuk kepentingan pertahanan negara di darat sesuai dengan Sistem Pertahanan Semesta (Sishanta) melalui pembinaan teritorial yaitu dengan :

a) Membantu pemerintah menyiapkan potensi nasional menjadi kekuatan pertahanan aspek darat yang dipersiapkan secara dini, yang Meliputi wilayah pertahanan beserta kekuatan pendukungnya, untuk melaksanakan Operasi


(59)

Militer untuk Perang, yang pelaksanaannya didasarkan pada kepentingan negara sesuai dengan Sishanta.

b) Membantu pemerintah menyelenggarakan pelatihan kemiliteran secara wajib bagi warga negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

c) Membantu pemerintah memberdayakan rakyat sebagai kekuatan pendukung.

2.7.2 Strata Kepangkatan dalam TNI AD

Strata kepangkatan di lingkungan TNI AD di bagi mejadi 3 kelompok atau golongan yaitu kelompok Perwira, Bintara dan Tamtama.

2.7.2.1 Perwira

Golongan Perwira merupakan strata golongan kepangkatan diatas Bintara atau golongan tertinggi dalam tatanan organisasi TNI/TNI AD sebagai pemimpin dan pemikir dalam arti luas. Dalam arti sebenarnya, yaitu Pimpinan yang mempunyai nilai kejuangan dan kemampuan profesi yang tinggi. Karena itu Pendidikan Perwira bertujuan membentuk dan mengembangkan Perwira agar mampu, cakap, serta mahir melaksanakan tugas dan jabatan sesuai dengan lapangan penugasan, sebagai kekuatan Pertahanan. Golongan Perwira dibagi menjadi tiga kelompok golongan yaitu : golongan Perwira Pertama (Pama) dengan urutan tingkat kepangkatannya adalah Letnan Dua; Letnan Satu; Kapten. Golongan Perwira Menengah (Pamen) dengan urutan


(60)

kepangkatannya adalah Mayor; Letnan Kolonel; Kolonel. Golongan Perwira Tinggi (Pati) dengan urutan kepangkatannya adalah Brigadir Jenderal; Mayor Jenderal; Letnan Jenderal; Jenderal.

2.7.2.2 Bintara

Golongan Bintara merupakan strata golongan kepangkatan di atas Tamtama dalam tatanan organisasi TNI/TNI AD, sebagai pimpinan unit kecil, guru, pelatih, pengawas serta tulang punggung pelaksana tugas para perwira TNI/TNI AD. Karena itu pendidikan Bintara bertujuan membentuk dan mengembangkan Bintara; agar mampu, cakap serta mahir melaksanakan tugas dan jabatan sesuai dengan lapangan penugasannya. Urutan tingkat kepangkatan golongan Bintara adalah Sersan Dua; Sersan Satu; Sersan Kepala; Sersa Mayor; Pembantu Letnan Dua; Pembantu Letnan Satu.

2.7.2.3 Tamtama

Golongan Tamtama merupakan strata golongan kepangkatan terendah prajurit dalam tatanan organisasi TNI/TNI AD sebagai prajurit pelaksana yang terpercaya dengan keterampilan yang tinggi. Karena itu pendidikan Tamtama bertujuan membentuk dan mengembangkan pemuda-pemuda warga negara Indonesia yang memenuhi syarat sesuai ketentuan untuk menjadi prajurit Tamtama TNI AD dengan pangkat Prajurit Dua. Urutan tingkat kepangkatan dalam golongan Tamtama adalah Prajurit Dua; Prajurit Satu; Prajurit Kepala; Kopral Dua; Kopral Satu; Kopral Kepala.


(61)

2.9 SECAPA TNI-AD

SECAPA TNI-AD didirikan pada tanggal 8 januari 1972 di Bandung, sebagai realisasi prakarsa Jenderal TNI Umar Wirahadikusumah yang saat itu menjabat Kepala Staf TNI-AD. Dalam perkembangannya ia turut mewarnai sejarah perkembangan TNI-AD sepanjang pengabdiannya kepada bangsa dan Negara. Institusi ini dibangun sebagai wadah pembentukan perwira-perwira TNI-AD disamping Akademi Militer. SECAPA TNI-AD sebagai lembaga pendidikan dalam TNI-AD bertugas pokok membentuk Bintara-bintara terpilih berpangkat minimal Serka untuk dididik dan dilatih menjadi Perwira yang handal. Setelah selesai mengikuti pendidikan SECAPA TNI-AD dan dinyatakan lulus, para peserta pendidikan dilantik menjadi perwira dengan pangkat Letnan Dua.

2.8.1 Motto SECAPA TNI-AD

SECAPA TNI AD menggunakan motto “Viyata Binaka Wiradhika” yang maknanya adalah "Pendidikan yang membentuk seorang Prajurit menjadi Perwira yang dapat diandalkan", yaitu Perwira Bhayangkari Negara, berpancasila, bersapta marga, bermental tinggi, cerdas, tangkas, dijiwai semangat juang ’45, bertanggung jawab terhadap keselamatan dan kesejahteraan rakyat serta Negara Kesatuan Republik Indonesia.


(1)

Universitas Kristen Maranatha

- Bagi KOWAD (Korps Wanita Angkatan Darat) tidak sedang dalam keadaaan hamil, jika sudah bersuami harus dilengkapi dengan surat ijin dari suami.

- Usia minimal 33 tahun dan maksimal 44 tahun. - Masa dinas sebagai Bintara selama 4 tahun - Mengikuti seleksi daerah dan pusat

- Ijazah minimal SLTA/sederajat

- Piagam penghargaan prestasi khusus di bidang iptek, olahraga, operasi tempur,intelijen, dan teritorial (bila ada).


(2)

71 Universitas Kristen Maranatha BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan hasil penelitian, maka dapat ditarik suatu gambaran umum mengenai coping stress Bintara Seskoad yang akan mengikuti test seleksi SECAPA-AD dengan kesimpulan sebagai berikut:

1) Mayoritas Bintara Seskoad menggunakan emotional focus coping yaitu sebanyak 12 orang Bintara dan 10 orang Bintara Seskoad lainnya menggunakan problem focus coping.

2) Dari keenam bentuk emotional focused coping (distancing, escape-avoidance, seeking social support, positive appraisal, self-control, dan accepting responsibility), bentuk yang banyak digunakan oleh Bintara Seskoad yang akan mengikuti test seleksi SECAPA-AD adalah bentuk accepting responsibility sebanyak 5 Bintara , positive appraisal 3 orang Bintara, seeking social support 2 orang Bintara, distancing 1 orang Bintara, dan self controlling 1 orang Bintara.

3) Untuk bentuk problem focused coping yaitu planful problem solving dan confrontative coping, dari 10 orang Bintara, 5 orang Bintara masing-masing menggunakan kedua bentuk problem focus coping tersebut.

4) Dari 22 orang Bintara Seskoad, sebagian besar dari mereka memiliki keyakinan yang tinggi untuk dapat lulus seleksi SECAPA-AD yaitu sebanyak 14 orang Bintara.


(3)

Universitas Kristen Maranatha

5.2 Saran

5.2.1 Saran bagi penelitian lanjutan

Apabila ingin melakukan penelitian lebih lanjut mengenai bentuk-bentuk coping stress maka peneliti diharapkan untuk dapat meneliti lebih dalam mengenai hubungan faktor-faktor yang mempengaruhi coping stress, peneliti dapat menambahkan pertanyaan yang sudah ada shingga jumlah itemnya seimbang pada setiap jenis coping stress, serta membuat item negatif atau dapat melakukannya dengan cara kualitatif yaitu dengan menggunakan wawancara agar jawaban yang terjaring dapat lebih mendalam dan tergambar jelas.

5.2.2 Saran guna laksana

1. Bagi Bintara Seskoad yang akan mengikuti test seleksi SECAPA-AD

Agar dapat menggunakan informasi mengenai bentuk-bentuk coping stress ini untuk dapat merefleksikan diri dan mengembangkan diri menjadi Bintara yang mampu menghadapi beban stress yang ditimbulkan pada saat masa persiapan seleksi SECAPA-AD.

2. Bagi bagian personalia Seskoad

Agar dapat menggunakan informasi yang diperoleh melalui penelitian ini untuk dapat membantu dan membina Bintara Seskoad yang akan mengikuti test seleksi SECAPA-AD untuk lebih menggunakan bentuk-bentuk problem focused coping dalam menghadapi tuntutan yang mereka hadapi selama


(4)

73

Universitas Kristen Maranatha

persiapan test SECAPA-AD dibandingkan dengan memilih untuk menggunakan bentuk-bentuk emotional focused coping.


(5)

74 Universitas Kristen Maranatha

Cox, Tom. 1978. Stress. London: The Macmillan Press LTD.

Goldberg,Leo&Shlomo Breznitz.1982. Handbook of Stress. New York:The Free Press.

Lazarus, R.S.,&Folkman, S.1984. Stres, Appraisal and coping. New York:Springer Publishing Company.

Lazarus, R.S.1976.Pattern of adjustment. Tokyo:Mc.Graw Hill Kogasuka,Ltd. Monat, Alan and Richard S.Lazarus. 1991. Strss and Coping: An Anthology 3rd

Edition. New York: Columbia University Press

Nazir,Moh.2003.Metodologi Penelitian.Jakarta:Ghalia Indonesia.

Santrock, John. 1995. Life Span Development. Perkembangan Masa Hidup. Jakarta: Erlangga.


(6)

75 Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR RUJUKAN

2010. Sekolah calon perwira Angkatan Darat. Bandung:Komando Sekolah Calon Perwira TNI-AD.

1951-1989. Karya Juang SESKOAD: PT.Citra Lamtoro Gung Persada. 2009. Majalah SESKOAD, edisi no.112: Karya Vira Jati.

Hidup,Rahasia. 2010. Tentara Indonesia. (tentararepublikidonesia.blogspot.com). diakses tanggal 7 Juni 2013.

Immanuel, Rizky. 2011. Pengertian TNI dan Struktur Jabatan TNI (rezkyimmanuel.blogspot.com). diakses tanggal 12 April 2013.

Komando Pengembangan Pendidikan dan Latihan TNI-AD. 1980. Sewindu, Sekolah calon perwira Angkatan Darat. Bandung: PT.Pangherapan Bru Offset.

Undang-Undang Republik Indonesia No.34 Tentang TNI. 2004. Jakarta

Wijaya, Caroline. 2007. Studi Korelasional antara Derajat Stress dengan Coping Stress pada Guru yang Mengajar di SLB B Bandung.Skripsi.Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.