Studi Deskriptif Mengenai Coping Stress Pada Ibu Yang Memiliki Anak Autis di Sekolah "X" di Kota Bandung.

(1)

Universitas Kristen Maranatha Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui coping stress pada ibu yang memiliki anak autis di sekolah “X” di kota Bandung. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai jenis coping stress yang dominan pada ibu yang memiliki anak autis di sekolah “X” di kota Bandung.

Metode yang digunakan adalah metode deskriptif dengan menggunakan teknik survey. Ukuran sampel yang diteliti sebanyak 20 ibu. Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner ways of coping dari Lazarus & Folkman (1984) yang telah dimodifikasi oleh peneliti. Lazarus (1984) mengemukakan coping stress sebagai usaha untuk mengubah tingkah laku dan kognitif secara konstan untuk mengatur tuntutan-tuntutan internal maupun eksternal yang spesifik yang dinilai sebagai beban atau melampaui sumber daya uang individu.

Berdasarkan hasil uji validitas dan reliabilitas didapat hasil 44 item valid dengan nilai validitas yang berkisar antara 0,313 sampai 0,768 dan nilai reliabilitas 0,918.

Kesimpulan yang diperoleh adalah sebanyak 17 ibu atau 85% menggunakan coping problem focused (strategi penanggulangan stres yang berpusat pada masalah) dan sebanyak 3 ibu atau 15% menggunakan coping emotion focused (strategi penanggulangan stres yang berpusat pada emosi). Coping stress atau strategi penanggulangan stres ini dapat dipengaruhi oleh faktor eksternal, yaitu tingkat pendidikan ibu. Tingkat pendidikan ibu tidak menunjukkan kecenderungan keterkaitan dengan coping dan derajat stres pada ibu yang memiliki anak autis.

Peneliti mengajukan saran bagi penelitian selanjutnya perlu dipertimbangkan dengan melihat dua sekolah atau tempat terapi yang berbeda. Bagi ibu yang memiliki anak autis, coping yang dominan dilakukan ibu yaitu problem focused sudah baik. Hal ini dapat digunakan bagi para ibu untuk tetap mempertahankan coping tersebut. Seperti tetap menetapkan dan melakukan langkah-langkah untuk menangani keadaan anaknya yang autis dan aktif menanyakan perkembangan terapi yang dilakukan pada anaknya yang autis, juga terapi yang kembali harus dilakukan dirumah. Bagi pihak sekolah, baik para guru dan terapis, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan kepada ibu-ibu yang memiliki anak autis untuk dapat mengetahui potensi-potensi yang dimiliki, sehingga ibu dapat menentukan coping yang akan dilakukan untuk dapat meredakan stresnya.


(2)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN

KATA PENGANTAR...i

DAFTAR ISI...iv

DAFTAR TABEL...ix

DAFTAR BAGAN...x

BAB I PENDAHULUAN...1

1.1 Latar Belakang...1

1.2 Identifikasi Masalah...9

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian...9

1.3.1 Maksud Penelitian...9

1.3.2 Tujuan Penelitian...9

1.4 Kegunaan Penelitian...9

1.4.1 Kegunaan Teoritis...9

1.4.2 Kegunaan Praktis...10


(3)

v

Universitas Kristen Maranatha

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...19

2.1 Stres…..………...19

2.1.1 Definisi Stres...19

2.1.2 Teori Stres dari Lazarus...20

2.1.3 Penilaian Kognitif...25

2.1.4 Dampak Stres.………...27

2.2 Teori Perkembangan Masa Dewasa……….28

2.2.1 Perkembagan Masa Dewasa Awal………28

2.2.2 Perkembangan Masa Dewasa Tengah………...28

2.2.3 Perkembangan Kognitif………29

2.2.4 Perkembangan Fisik………..30

2.3 Autisme………...31

2.3.1 Definisi Autisme………...31

2.3.2 Teori Autisme………...31


(4)

2.3.4 Gejala-Gejala Pada Autisme... ...32

2.4 Hal – Hal Pada Orang Tua yang Memiliki Anak Autis………...34

BAB III METODOLOGI PENELITIAN...37

3.1 Rancangan Penelitian...37

3.2 Prosedur Penelitian………...37

3.2.1 Bagan Prosedur Penelitian...37

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional...37

3.3.1 Variabel Penelitian...37

3.3.2 Definisi Operasional...37

3.4 Alat Ukur...40

3.4.1 Kuesioner Ways of Coping……...40

3.4.1.1 Sistem Penilaian...42

3.4.1.2 Uji Coba Alat Ukur………...43

3.4.1.2.1 Validitas...43

3.4.1.2.2 Reliabilitas…………...44


(5)

vii

Universitas Kristen Maranatha

3.5.1 Populasi Sasaran……...45

3.5.2 Karakterisitik Populasi…...45

3.5.3 Teknik Pengambilan Sampel...46

3.6 Teknik Analisis...46

BAB IV PEMBAHASAN………48

4.1 Gambaran Responden……….48

4.1.1 Gambaran Responden Berdasarkan Rentang Usia………..48

4.1.2 Gambaran Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan………49

4.2 Hasil Penelitian……….…..50

4.2.1 Frekuensi Coping Emotion Focused dan Coping Problem Focused….…..50 4.2.2 Derajat Stres…..………...51

4.2.3 Tabulasi Silang Derajat Stres dan Jenis Coping Stress...………52

4.2.4 Tabulasi Silang Jenis Coping Stress dan Tingkat Pendidikan Ibu…..…….53

4.2.5 Tabulasi Silang Jenis Coping Stress dan Usia Ibu………...54


(6)

4.3 Hasil Pembahasan………56

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN………..61

5.1 Kesimpulan……….……….61

5.2 Saran………62

5.2.1 Saran Teoritis………62

5.2.2 Saran Praktis……….62

DAFTAR PUSTAKA...64

DAFTAR RUJUKAN... 65


(7)

ix

Universitas Kristen Maranatha

Tabel 4.1 Gambaran Responden Berdasarkan Rentang Usia...48

Tabel 4.2 Tingkat Pendidikan………49

Tabel 4.3 Frekuensi Coping Emotion Focused dan Coping Problem Focused...50

Tabel 4.4 Derajat Stres..……….…51

Tabel 4.5 Tabulasi Silang Derajat Stres dan Jenis Coping Stress………..52

Tabel 4.6 Tabulasi Silang Jenis Coping Stress dan Tingkat Pendidikan Ibu…...53

Tabel 4.7 Tabulasi Silang Jenis Coping Stress dan Usia Ibu……….54


(8)

DAFTAR BAGAN

Bagan 1.1 Kerangka Pemikiran...18


(9)

1

Universitas Kristen Maranatha PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Anak adalah dambaan dalam setiap keluarga dan setiap orang tua pasti memiliki keinginan untuk mempunyai anak yang sempurna, tanpa cacat. Bagi ibu yang sedang mengandung, kehamilan dapat menjadi salah satu hal yang dapat membuat ibu menjadi stress, misalnya kekhawatiran bahwa anak yang lahir tidak sesuai dengan harapan-harapan ibu, misalnya anak berkebutuhan khusus. Anak berkebutuhan khusus yaitu anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak lain pada umumnya tanpa selalu menunjukan ketidakmampuan mental, emosi atau fisik (menurut Heward, 1996). Salah satu anak berkebutuhan khusus yaitu anak autis.

Terdapat beberapa karakteristik anak autis, yaitu selektif berlebihan terhadap rangsangan, kurangnya motivasi untuk menjelajahi lingkungan baru, respon stimulasi diri sehingga mengganggu integrasi sosial dan respon unik terhadap imbalan, khususnya imbalan dari stimulasi diri. Hal ini menyebabkan anak selalu mengulang perilakunya secara khas (Handojo. Y, 2003).

Autisme merupakan jenis gangguan yang tidak dapat disembuhkan. Keadaan seperti itu dapat membuat keluarga yang memiliki anak autis merasa malu, karena tahap perkembangan anak autis lebih lambat daripada anak non autis, sehingga ada beberapa keluarga yang cenderung menyembunyikan anak


(10)

2

tersebut. Terdapat juga keluarga dengan anak autis yang tetap dapat menerima anaknya tersebut dan membawa anaknya untuk mengikuti terapi secara rutin.

Peranan seorang ibu sangat besar dalam mengasuh dan membimbing anak agar dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Menjadi seorang ibu yang memiliki anak autis mempunyai peranan yang semakin bertambah jika dibandingkan dengan seorang ibu yang memiliki anak non autis. Anak autis membutuhkan terapi untuk meningkatkan kualitas hidupnya, oleh karena itu diperlukan waktu, biaya dan tenaga yang tidak sedikit. Selain itu, tugas ibu juga bertambah karena terapi yang sudah dilakukan di tempat terapi dengan terapis harus pula dilakukan di rumah, karena terapi untuk anak autis harus dilakukan secara berkesinambungan.

Terapi yang perlu diikuti anak autis bersifat individual dikarenakan kondisi dan tingkat keparahan setiap anak autis berbeda-beda. Beberapa terapi yang dapat diikuti adalah terapi bicara, penggunaan gambar untuk mengajarkan suatu ketrampilan tertentu, misalnya mengajarkan aktivitas mandi.

Keterampilan yang dicapai anak setelah mengikuti terapi tidak selalu sesuai dengan harapan ibu, kemajuan atau perkembangan terjadi secara lambat bahkan kadang-kadang terjadi kemunduran. Keadaan ini dapat membuat ibu menjadi stres, ditambah juga dengan pembagian waktu dalam merawat anaknya yang autis dan non autis. Ditambah dengan biaya yang tidak sedikit untuk dapat menjalani terapi bagi anaknya yang autis secara berkesinambungan. Selain ibu harus berperan sebagai terapis di rumah, ibu juga harus memikirkan biaya yang tidak sedikit untuk melakukan terapi tersebut. Jika ibu memiliki anak lain yang


(11)

Universitas Kristen Maranatha

non autis, ibu juga harus dapat membagi waktu untuk merawat anaknya yang non autis dan mengerjakan pekerjaan rumah yang lain. Kondisi stres yang dialami dapat mengganggu kesehatan ibu. Hal tersebut dapat mengakibatkan ibu menjadi tidak maksimal dalam merawat anaknya.

Menurut Coleman (1976), stres merupakan suatu keadaan mental atau emosional dalam diri individu yang dapat menggangu keseimbangan tubuh yang bersangkutan. Dengan kata lain stres merupakan peristiwa yang menunjukkan keadaan atau tuntutan lingkungan atau mental yang membebani atau melampaui sumber adaptif, situasi sosial individu. Stressor bagi ibu yang mempunyai anak autis adalah faktor sosial, psikologis, ekonomi, pendidikan dan pekerjaan.

Berdasarkan hasil wawancara terhadap 10 ibu yang memiliki anak autis di

sekolah “X”, ini merupakan salah satu contoh ibu yang mengalami stress. Salah satu ibu yang memiliki anak autis di sekolah “X” adalah Ny. LS. Ny. LS terlambat mengetahui bahwa anaknya menderita autis, karena itu Ny. LS terlambat melakukan terapi. S kini masih duduk di bangku SD salah satu Sekolah Luar Biasa di kota Bandung. Ny. LS ketika hamil tidak merasakan keluhan-keluhan, begitu juga ketika melahirkan S.

Menurut Ny. LS, ciri yang paling mudah dikenali pada anak autis adalah pada usia 3 bulan, bayi yang biasanya responsif, justru menjadi tidak responsif dan menghindari kontak mata. Ketika diajak untuk berkomunikasi, anak langsung menghindar dan menolak untuk dipeluk.

Anak Ny. LS dapat berbicara secara normal sampai pada usia 2 tahun. Sampai pada suatu ketika S terserang demam tinggi dan Ny. LS tidak langsung


(12)

4

membawa S ke dokter, karena keesokan harinya suhu badan S sudah normal kembali. Setelah melewati demam tinggi tersebut, S menjadi memiliki keterbatasan dalam berbicara atau pelafalan kata-kata saat berbicara kurang jelas, sehingga S tidak dapat menyampaikan keinginannya secara jelas. Hal ini membuat Ny. LS kaget dan bingung, setelah berkonsultasi dengan pihak keluarga maka Ny. LS membawa S ke dokter umum. Karena kondisi tersebut, dokter umum menyarankan untuk membawa S ke Psikolog.

Menurut Psikolog, setelah S menjalani pemeriksaan maka S di diagnosa autis. Kondisi anaknya yang autis membuat Ny. LS menjadi stres. Hal lain yang menyebabkan Ny. LS menjadi stres adalah kondisi S yang hiperkatif, sehingga seringkali membuat Ny. LS kesulitan dalam merawat anaknya yang autis dan non autis. Hal ini dapat terlihat dari kondisi kesehatannya yang menurun, seperti terkadang terserang sakit kepala dan maag. Meskipun demikian, Ny. LS pada akhirnya memutuskan untuk membawa S melakukan terapi. Setelah menjalani terapi selama kurang lebih 3 tahun dan mengikuti diet ketat yang harus diberikan pada S, sekarang S sudah dapat lebih tenang. Karena kondisi tersebut Ny. LS berharap kemajuan pada anaknya. Ny. LS beruntung karena anak keduanya non autis, sehingga dapat membantu mengawasi makanan yang dikonsumsi S.

Menurut Lazarus (1984) terdapat beberapa gejala yang menjadi indikator stres yang dialami seseorang, yaitu fisik, psikologis dan kognitif. Berdasarkan wawancara terhadap 10 ibu, terdapat sebanyak 4 ibu (40%) mengalami gejala fisik antara lain nafsu makan berkurang dan pola makan berubah, terlihat dari ibu menjadi tidak dapat mengikuti kegiatan yang biasa dilakukan di luar rumah,


(13)

Universitas Kristen Maranatha

seperti kegiatan sosial dan interaksi yang dilakukan dengan ibu-ibu lain. Gejala psikologis yang dapat dialami ibu yang memiliki anak autis, diantaranya sulit tidur, dan jam tidur yang menjadi tidak teratur, hal ini dialami oleh sebanyak 3 ibu (30%) yang menjadi sulit tidur, dan jam tidurnya tidak teratur. Keadaan tersebut dihayati ibu bahwa waktunya tersita untuk melakukan kembali terapi dirumah bagi anaknya yang autis, sehingga pekerjaan ibu yang ada di rumah menjadi terbengkalai dan tidak bisa terselesaikan. Gejala kognitif yang dapat dialami ibu antara lain konsentrasi kerja terganggu baik di rumah maupun kegiatan di luar rumah, hal ini dialami oleh atau sebanyak 3 ibu (30%). Sedangkan Dampak negatif yang ditimbulkan bila ibu menghayati stres adalah perawatan dan terapi yang seharusnya dilakukan kembali oleh ibu dirumah terhadap anaknya yang autis menjadi kurang maksimal, juga dengan perhatian yang diberikan ibu pada anaknya yang autis, maupun anak lainnya yang non autis serta suaminya, serta kegiatan rumah tangga menjadi kurang maksimal.

Tuntutan umum yang dapat memunculkan stres diklasifikasikan dalam beberapa bentuk, yaitu frustrasi, konflik, tekanan dan ancaman. Berdasarkan wawancara terhadap 10 ibu, terdapat sebanyak 2 ibu (20%) yang memiliki anak autis mengalami frustrasi, hal itu terjadi saat usahanya mengalami hambatan, seperti ketika setelah menjalani terapi, suatu saat anaknya mengalami kemunduran ketika anaknya sudah dapat memakai sepatunya sendiri, lalu suatu ketika mengalami kesulitan memakai sepatunya sendiri. Terdapat sebanyak 4 ibu (40%) yang memiliki anak autis mengalami konflik, yaitu ketika ibu harus memilih untuk membawa anaknya ke tenpat terapi atau merawat suaminya yang sakit


(14)

6

dirumah. Terdapat sebanyak 2 ibu (20%) yang mengalami tekanan, yaitu ketika ibu dihadapkan pada paksaan untuk mencapai hasil tertentu yang sumbernya dapat berasal dari dalam atau luar diri, ketika ibu mendapat paksaan atau tuntutan dari pihak keluarga agar anaknya yang autis dapat sembuh dan beraktivitas seperti anak-anak sebayanya yang lain. Terdapat sebanyak 2 ibu (20%) yang memiliki anak autis mengalami ancaman atau ketika dihadapkan pada situasi yang membuat ibu merasa kurang nyaman dan kurang menyenangkan, ketika ibu harus mencari tempat terapi yang baru bagi anaknya yang autis karena keterbatasan biaya.

Setiap individu yang mengalami stres akan terdorong untuk meredakan stresnya. Strategi penanggulangan stres yang digunakan setiap ibu yang memiliki anak autis dapat berbeda-beda. Perbedaan-perbedaan cara penanggulangan stres ini tergantung pada bagaimana individu (ibu yang memiliki anak autis) menilai situasi stres yang dihadapi.

Menurut Lazarus (1984), strategi penanggulangan stres adalah perubahan kognitif dan tingkah laku yang terus menerus sebagai usaha individu untuk mengatasi tuntutan internal dan eksternal yang dianggap sebagai beban atau melampaui sumber daya yang dimilikinya. Strategi penanggulangan stres dibagi menjadi dua, yaitu strategi penanggulangan stres yang berpusat pada emosi (emotion focused form coping) dan strategi penaggulangan stres yang berpusat pada masalah (problem focused form of coping). (Lazarus dan Folkman, 1986).

Strategi penanggulangan stres yang berpusat pada emosi terbagi dalam enam bagian, yaitu distancing, self-control, seeking social support, accepting


(15)

Universitas Kristen Maranatha responsibility, escape/avoidance, dan positive reappraisal. Berdasarkan

wawancara terhadap 10 ibu, terdapat 2 ibu, yaitu ibu (A) yang sangat tertutup sehingga ia tidak melibatkan anaknya pada lembaga terapi atau sekolah, jarang mengikuti seminar–seminar tentang autisme atau kurang berkomunikasi dengan pihak sekolah atau lembaga (distancing). Selain itu ada pula ibu (B) yang mengantar anaknya ke sekolah atau lembaga tetapi tidak pernah menanyakan kepada terapis mengenai apa yang telah dipelajari anaknya atau bahkan orang tua yang tidak pernah mengantar anaknya untuk mengikuti kegiatan di sekolah atau lembaga khusus bagi anak autis. Ketika ibu mengalami kelelahan dalam melakukan kembali terapi dirumah, ibu juga berusaha menghindar dari masalah yang ada dengan merokok (escape/avoidance).

Terdapat juga 3 ibu lain yang merasa menjadi lebih mudah tersinggung dan nada berbicara meninggi, baik kepada anaknya, suami ataupun kepada anggota keluarga lain dan teman-teman dari ibu tersebut (self-control). Pada saat-saat tertentu, misalnya ketika ibu selesai mengantarkan anaknya untuk terapi dan harus kembali ke rumah untuk kembali mengerjakan aktivitasnya, seperti memasak untuk anak dan suaminya serta mengerjakan berbagai pekerjaan rumah, pada saat itulah ibu merasa sangat lelah serta seringkali mengeluhkan sakit kepala. Pada akhirnya ibu memilih untuk meninggalkan pekerjaan rumahnya dan segala sesuatunya menjadi terbengkalai. Ada juga ibu yang mencari informasi dari terapis atau dari orang lain yang lebih ahli dalam bidang autisme (seeking social

support). Ibu juga menerima setiap keadaan yang ada pada anaknya yang autis,


(16)

8

mengikuti terapi (accepting responsibility). Ibu juga menerima keadaan anaknya yang autis dengan merasa menjadi ibu yang istimewa (positive reappraisal).

Strategi penanggulangan stres yang berpusat pada masalah terbagi lagi menjadi dua bagian, yaitu planfull problem solving dan confrontative problem

solving. Berdasarkan informasi yang diperoleh, seperti pada salah satu kasus di

Bandung, seorang ibu, Ny. R secara aktif berusaha mencari informasi mengenai autis dan mencari tahu mengenai berbagai terapi yang dapat dan harus dilakukan. Terdapat juga 3 orang tua, khususnya ibu yang secara aktif terlibat dalam kegiatan terapi anak, seperti menanyakan kepada terapis atau psikolog apa yang sudah dipelajari dan apa yang harus dilakukan di rumah (confrontative problem solving).

Terdapat juga ibu atau orang tua yang membawa anaknya untuk mengikuti terapi di suatu pusat terapi khusus untuk anak autis. Sebagai contoh Ny. R membawa anaknya untuk terapi setelah ia pulang kerja dan setelah tiba di rumah Ny. R kembali melakukan terapi yang telah dilakukan terapis di tempat terapi dan berulang, dan hal ini dilakukan secara rutin. Ada juga 1 orang ibu yang bekerja sebagai ibu rumah tangga, dan tetap dapat membagi waktu dan tugas dengan suaminya untuk membawa anaknya terapi (planfull problem solving). Meskipun terkadang kedua orang tua ini juga mengalami keadaan stres dengan adanya situasi tersebut dan tidak jarang mereka bertengkar karena sulit mengontrol emosi, tetapi hal itu tidak terjadi dalam waktu lama.

Berdasarkan penjelasan diatas, terdapat beberapa jenis coping yang dilakukan oleh ibu yang memiliki anak autis, karena itu peneliti tertarik untuk


(17)

Universitas Kristen Maranatha

mengetahui gambaran dan jenis coping stress pada ibu yang memiliki anak autis

di sekolah “X” di kota Bandung.

1.2Identifikasi Masalah

Mengetahui gambaran coping stress apa yang dominan pada ibu yang memiliki anak autis di sekolah “X” di kota Bandung.

1.3Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitan

Untuk memperoleh gambaran mengenai coping stress pada ibu yang memiliki anak autis di sekolah “X” di kota Bandung.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui jenis coping stress yang dominan pada ibu yang memiliki anak autis di sekolah “X” di kota Bandung.

1.4Kegunaan

1.4.1 Kegunaan Teoretis

 Sebagai informasi tambahan bagi ilmu Psikologi Klinis tentang

coping stress pada ibu yang memiliki anak autis di sekolah “X” di

kota Bandung.

 Memberikan informasi bagi penelitian selanjutnya, khususnya yang berhubungan dengan coping stress dalam setting klinis.


(18)

10

1.4.2 Kegunaan Praktis

Memberikan informasi mengenai coping stress kepada ibu, khususnya para ibu yang memiliki anak autis. Informasi ini diharapkan dapat membantu para ibu yang memiliki anak autis untuk mengatasi stres.

Memberikan informasi mengenai coping stress kepada suami, khususnya yang memiliki anak autis. Agar dapat membantu para suami untuk memahami keadaan ibu dalam melakukan terapi dan saling mendukung, guna meredakan stres pada ibu yang memiliki anak autis.

Terapis dapat memberikan informasi mengenai coping stress pada ibu yang memiliki anak autis, sehingga dapat membantu para ibu untuk dapat meredakan stresnya, khususnya ibu yang memiliki anak autis. Misalnya dengan mengadakan seminar-seminar.

1.5Kerangka Pemikiran

Dalam sebuah keluarga menanti kehadiran seorang anak selalu disertai harapan-harapan tertentu dan yang paling umum adalah anak lahir sehat dan tidak kurang suatu apapun. Ada sesuatu yang sangat luar biasa dan sangat membahagiakan ketika memiliki anak, namun ketika orang tua menyadari bahwa anaknya menderita autis, maka kebahagiaan yang dirasakan akan hilang atau berkurang.


(19)

Universitas Kristen Maranatha

Keadaan anak autis, biaya yang diperlukan, waktu dan tenaga yang dibutuhkan dapat menyebabkan ibu yang memiliki anak autis mengalami stres. Stres akan muncul bila seseorang dihadapkan pada berbagai tuntutan lingkungan yang mengganggu dan membebani serta melebihi batas kemampuan penyesuaian dirinya (Lazarus, 1984). Saat terjadi stres terdapat tiga hal yang saling berkaitan, yaitu: sumber stres (stressor), individu yang mengalami stres (the stressed) dan hubungan antar individu yang mengalami stres dengan hal yang menjadi sumber stres (transactions). Hubungan antara individu dengan sumber stres tergantung pada bagaimana individu menilai sumber stres, apakah sebagai suatu ancaman atau tidak. Penilaian ini disebut sebagai penilaian kognitif (cognitive appraisal) (Lazarus, 1984). Penilaian kognitif memiliki beberapa tahapan, yaitu : proses penilaian primer (primary appraisal) dan proses penilaian sekunder (secondary

appraisal).

Menurut Folkman (1984), individu akan mengalami tekanan emosi apabila situasi yang dihadapi dirasakan mengancam dirinya atau apabila tuntutan yang dirasakan melebihi kemampuan yang dimilikinya (Lazarus, 1984). Seorang ibu yang memiliki anak autis melakukan penilaian primer dengan mengevaluasi situasi yang dihadapinya, seperti tugas, peran dan tanggung jawab sebagai seorang ibu dalam merawat dan mendidik anaknya, juga kondisi perkembangan dan kemajuan anaknya yang autis. Apabila situasi yang dihadapi oleh ibu dianggap membebani dan melebihi kemampuan yang dimilikinya, maka ibu akan mengalami stres.


(20)

12

Bila ibu menghayati keadaan anaknya yang autis sebagai suatu situasi yang tidak memengaruhi kesejahteraan dan dapat diabaikan, ibu tetap dapat melakukan berbagai kegiatannya, baik di rumah atau diluar rumah, maka dapat dikatakan sebagai stres rendah (irrelevant). Bila ibu menghayati keadaan anaknya yang autis sebagai suatu keadaan yang masih dapat diatasi oleh ibu, maka dapat dikatakan sebagai stres moderat (benign positive). Bila ibu menghayati keadaan anaknya yang autis sebagai situasi yang mengancam, ibu tidak mau mencari informasi dan mengikuti kegiatan yang berhubungan dengan anaknya yang autis, maka keadaan tersebut dapat dikatakan sebagai stres tinggi (stressfull).

Tuntutan secara umum yang dapat memunculkan stres dapat diklasifikasikan dalam beberapa bentuk, yaitu frustrasi, konflik, tekanan dan ancaman. Jika ibu menghayati keadaan frustrasi, konflik, tekanan dan ancaman sebagai suatu situasi yang melebihi kemampuannya, maka dapat dikatakan sebagai stres tinggi (stressfull).

Menurut Lazarus (1984), penilaian primer dan penilaian sekunder lebih dirasakan pada penilaian subjektif individu terhadap dirinya dan terhadap situasi yang dihadapinya. Hal ini menyebabkan kondisi stres dapat dihayati secara berbeda oleh setiap individu meskipun situasi dan stressor yang dihadapinya. Hal ini dapat dilakukan dengan penilaian yang ibu terhadap potensi-potensi yang dimiliki dirinya untuk menghadapi situasi stres yang dihadapi.

Pada penilaian sekunder individu mengevaluasi potensi-potensi yang ada pada dirinya, baik fisik, psikis, sosial, maupun material untuk menghadapi tuntutan lingkungan terhadap dirinya. Pada penilaian sekunder, ibu akan


(21)

Universitas Kristen Maranatha

mengevaluasi kemampuan dirinya, apakah cukup memiliki kemampuan untuk menghadapi keadaan stres terkait tugas, peran dan tanggung jawabnya sebagai seorang ibu dalam merawat anaknya yang autis. Ibu akan lebih memahami kemampuan dalam hal berelasi dengan orang lain, misalnya ibu dapat mengikuti suatu perkumpulan bersama dengan ibu-ibu lain yang juga memiliki anak autis untuk dapat bertukar pikiran dan pendapat.

Menurut Schaei (dalam Santrok 2003), percaya bahwa orang dewasa muda yang menguasai kemampuan kognitif perlu memonitor perilaku mereka sendiri, sehingga memperoleh kebebasan yang cukup, berpindah ke fase selanjutnya yang melibatkan tanggung jawab sosial. Fase tanggung jawab adalah fase yang terjadi ketika keluarga terbentuk dan perhatian diberikan pada keperluan-keperluan pasangan dan keturunan. Perluasan kemampuan kognitif yang sama diperlukan pada saat karier individu meningkat dan tanggung jawab kepada orang lain muncul dalam pekerjaan dan komunitas.

Setelah melakukan penilaan primer dan sekunder ibu yang menghayati keadaan anaknya yang autis sebagai situasi stres akan menentukan strategi penanggulangan stres yang akan digunakan, karena pada dasarnya setiap individu akan selalu berusaha menyesuaikan strategi yang digunakan dengan situasi yang dihadapinya, begitu juga dengan ibu yang memiliki anak autis. Lazarus (1984) mengemukakan strategi penanggulangan stres sebagai perubahan cara berpikir dan tingkah laku yang terus-menerus sebagai usaha individu untuk mengatasi tuntutan internal dan eksternal yang dianggap sebagai beban atau melampaui sumber daya yang dimilikinya. Strategi penanggulangan stres merupakan faktor


(22)

14

penyeimbang yang membantu ibu dalam menyesuaikan dirinya terhadap tekanan yang dialami, sehingga dapat dikatakan setiap ibu yang mengalami stres akan berupaya untuk mengatasi stres tersebut. Strategi penanggulangan stres dibagi menjadi dua, yaitu strategi penanggulangan stres yang berpusat pada emosi (emosion focused from of coping) dan strategi penanggulangan stres yang berpusat pada masalah (problem focused from of coping).

Strategi penanggulangan stres yang berpusat pada emosi diarahkan untuk mengurangi tekanan emosi yang diakibatkan oleh stres. Strategi ini digunakan untuk memelihara harapan dan optimisme, menyangkal fakta dan akibat yang mungkin dihadapi, menolak untuk mengakui hal terburuk dan bereaksi olah apa yang terjadi tidak menimbulkan masalah, ibu juga akan bereaksi seolah- seolah-olah tugas, peranan dan tanggung jawabnya tidak menimbulkan stres (Lazarus & Folkman, 1984).

Yang termasuk pada penanggulangan stres yang berpusat pada emosi adalah : distancing, dengan cara ini ibu berusaha menampilkan reaksi untuk menjaga jarak dari masalahnya, yaitu dengan usaha melepaskan diri dari masalah yang sedang dihadapi dan tidak terlibat dalam permasalahannya, misalnya ibu tidak memenuhi jadwal terapi yang seharusnya dilakukan.

Self-control, dengan cara ini ibu berusaha melakukan usaha untuk

meregulasi perasaan maupun tindakan tanpa melebih-lebihkan sesuatu terhadap masalah yang menyebabkan ibu menjadi stress secara terus menerus. Misalnya ketika ibu selesai membawa anaknya melakukan terapi dan harus kembali ke rumah untuk melanjutkan aktivitasnya, seperti memasak untuk anak dan


(23)

Universitas Kristen Maranatha

suaminya, meskipun ibu merasa lelah atau jenuh namun ibu mencoba mengatasi dan mengolah rasa lelahnya sehingga tetap dapat menyelesaikan pekerjaan rumah.

Seeking social suport, dengan cara ini ibu juga berusaha untuk mencari

informasi dan nasehat serta dukungan nyata dan dukungan emosional dari orang lain. Misalnya kepada keluarga, terapis atau orang yang lebih ahli dalam bidang autisme, ibu berbagi atau sharing dengan ibu-ibu lain yang memiliki anak autis, juga berkonsultasi dengan terapisnya.

Accepting responsibility, dengan cara ini ibu menyadari akan peran dirinya

dalam permasalahan yang dihadapi dan mencoba untuk mendudukan situasi yang dihadapinya dengan benar dan sebagaimana seharusnya, misalnya ibu menerima setiap keadaan yang ada pada anaknya yang menderita autis, tidak menutupi dan tetap menerima keadaan anaknya yang autis dengan membawa anaknya mengikuti terapi.

Escape/avoidance, dengan cara ini ibu menunjukkan reaksi berkhayal dan

berusaha menghindar dari setiap masalah yang muncul melalui harapan (berharap bahwa situasi ini akan segera berakhir), melalui makan, minum, merokok, menggunakan obat-obatan, atau tidur.

Positive reapprasial, dengan cara ini ibu berusaha mencari

harapan-harapan positif atau menciptakan makna positif dari keadaan yang menekan terkait dengan anaknya yang autis, misalnya ibu dapat mengambil hikmah dari permasalahan yang terjadi dengan merasa menjadi ibu yang istimewa meskipun keadaan anaknya autis.


(24)

16

Strategi penanggulangan stres yang berpusat pada masalah diarahkan pada usaha individu untuk memecahkan masalah yang ada, mencari dan memlih berbagai alternatif yang dapat digunakan untuk menanggulangi stres. Terdapat dua bentuk strategi penanggulangan stres yang berpusat pada masalah, yaitu:

confrontative coping, dengan cara ini ibu akan berusaha mencari cara untuk

mengatasi keadaan yang menyebabkan stres secara aktif. Ibu mencari informasi, sehingga ibu dapat mengenali dan memahami masalah anaknya, sehingga dapat mencari cara yang efektif untuk menangani masalahnya. Misalnya ketika anaknya yang autis tantrum ibu langsung memeluk anaknya. Plantful problem solving, dengan cara ini akan berusaha membuat rencana untuk mengatasi keadaan dan berusaha menjalankan rencananya untuk anaknya yang autis secara berhati-hati, misalkan ibu menetapkan langkah-langkah penanganan dalam melakukan terapi bicara untuk anaknya yang autis.

Menurut Lazarus (1984), terdapat sumber-sumber yang mempengaruhi ibu dalam melakukan dan memilih coping, yaitu sumber internal dan sumber eksternal. Yang merupakan sumber internal yaitu kepribadian dan sumber eksternal yaitu waktu, keuangan, pendidikan dan pekerjaan.

Yang merupakan sumber internal yaitu kepribadian ibu, seperti keterbukaan dan kesediaan, hal ini terlihat dari ibu secara aktif mencari informasi, memberi dan menerima pendapat atau masukan dari orang lain dan orang yang lebih ahli dalam bidang autisme. Ibu juga lebih siap dalam menerima dan mengatasi keadaan anaknya yang autis. Yang merupakan sumber eksternal yaitu waktu, keuangan, pendidikan dan pekerjaan. Ibu yang memiliki tingkat


(25)

Universitas Kristen Maranatha

pendidikan SMA, D3 maupun S1 memiliki perluasan kemampuan kognitif yang sama, sehingga meningkatkan ibu dalam mencari pekerjaan dan tanggung jawabnya dan menentukan coping. Hal ini terlihat dari ibu mencari tempat terapi bagi anaknya yang autis. Relasi ibu dengan ibu-ibu yang memiliki anak autis dan pekerjaan atau keterampilan yang dimiliki dapat membantu ibu dalam memperoleh biaya yang digunakan dalam terapi bagi anaknya yang autis.

Setiap ibu akan menggunakan kedua strategi tersebut untuk menanggulangi stres. Hal yang membedakan adalah perbandingan penggunaan kedua jenis strategi, ada yang cenderung emotion focused, ada yang seimbang atau menggunakan emotion focused dan problem focused, ada yang cenderung

problem focused.

1.6Asumsi

- Ibu yang memiliki anak autis dapat mengalami stres.

- Ibu yang memiliki anak autis akan melakukan penilaian kognitif terhadap situasi stres keadaan anaknya yang autis, yaitu primary appraisal (penilaian primer) dan secondary appraisal (penilaian sekunder).

- Hasil dari primary appraisal ada 3, yaitu irrelevant (tidak relevant), benign

positive (penilaian positif) dan stress appraisal (penilaian yang menimbulkan

stres).

- Secondary appraisal, ibu akan menentukan coping yang dominan. Terdapat 2


(26)

18

- Strategi penanggulangan stres pada ibu yang memiliki anak autis dapat berbentuk emotion focused (berpusat pada emosi), problem focused (berpusat pada masalah) atau keduanya (emotion focused dan problem focused).


(27)

Universitas Kristen Maranatha

Bagan 1.1 Kerangka Pemikiran

Ibu yang memiliki anak

autis di sekolah “X” di

Kota Bandung Kondisi anak autis

Primary Appraisal

Secondary

Appraisal Coping Stress

Emotional focused :

1. Distancing

2. Self control

3. Seeking social

support

4. Accepting

responsibility

5. Escape

avoidance

Problem focused :

1. Confrontatif

coping

2. Planfull problem

solving -Irrelevant

-Stressfull -Benign positive

-Sumber Internal (Kepribadian) -Sumber eksternal (waktu, keuangan, pendidikan, pekerjaan) Derajat stres: - Tinggi - Moderat - Rendah Faktor stres :

-Frustrasi -Konflik -Tekanan -Ancaman


(28)

BAB V

KESIMPULAN & SARAN

Pada bab ini, peneliti akan memaparkan kesimpulan mengenai hasil penelitian yang telah dilakukan pada bab sebelumnya beserta saran yang bernilai praktis yang terarah sesuai dengan hasil penelitian.

5.1 Kesimpulan

Dari pembahasan mengenai coping stress pada ibu yang memiliki anak autis, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Dari penelitian terhadap 20 ibu yang memiliki anak autis, sebagian besar ibu menggunakan problem focused dan sebagian kecil ibu menggunakan emotion focused.

2. Dari 17 ibu yang cenderung menggunakan problem focused, sebanyak 11 ibu diantaranya lebih sering menggunakan planfull problem

solving, sebanyak 4 ibu diantaranya lebih sering menggunakan confrontative coping, dan sebanyak 2 ibu diantaranya seimbang pada planfull problem solving dan confrontative coping.

3. Dari 3 ibu yang cenderung menggunakan emotion focused, sebanyak 2 ibu diantaranya lebih sering menggunakan positive reappraisal, dan sebanyak 1 ibu diantaranya seimbang pada distancing dan


(29)

Universitas Kristen Maranatha

4. Faktor tingkat pendidikan ibu dan derajat stres tidak menunjukkan kecenderungan keterkaitan dengan coping stress pada ibu yang memiliki anak autis.

5.2 Saran

Sehubungan dengan kesimpulan yang diperoleh dari penelitian mengenai

coping stress pada ibu yang memiliki anak autis di sekolah “X” di kota Bandung,

serta dengan menyadari banyaknya kekurangan dalam penelitian ini, maka peneliti memandang perlu mengajukan beberapa saran sebagai berikut :

5.2.1 Saran Teoretis

1. Perlu diadakan penelitian di sekolah atau tempat terapi lain untuk dapat memperoleh gambaran mengenai keterkaitan antara derajat stres dan coping stress pada ibu yang memiliki anak autis, baik dilihat dari tingkat pendidikan, pekerjaan maupun usia ibu.

5.2.2 Saran Praktis

1. Bagi ibu yang memiliki anak autis, coping yang dominan dilakukan ibu yaitu problem focused sudah baik. Hal ini dapat digunakan bagi para ibu untuk tetap mempertahankan coping tersebut. Seperti tetap menetapkan dan melakukan langkah-langkah untuk menangani keadaan anaknya yang autis dan aktif menanyakan perkembangan


(30)

63

terapi yang dilakukan pada anaknya yang autis, juga terapi yang kembali harus dilakukan dirumah.

2. Bagi pihak sekolah, baik para guru dan terapis, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan kepada ibu-ibu yang memiliki anak autis untuk dapat mengetahui potensi-potensi yang dimiliki, sehingga ibu dapat menentukan coping yang akan dilakukan untuk dapat meredakan stresnya.


(31)

64

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA

Gulo, W. 2002. Metodologi Peneletian. Jakarta : Grasindo

Handojo, Y. 2003. Autisma : Petunjuk Praktis dan Pedoman Materi Untuk

Mengajar Anak Normal, Autis dan Perilaku Lain. PT. Bhuana Ilmu

Populer.

Lazarus, R. S., & Folkman, S. 1984. Stress, Appraisal and Coping. New York : Springer Publishing Company.

Monat, Alan., & Lazarus, R. S., 1991. Stress and Coping An Anthology. New York : Columbia University Press.

Santrock, John W. 2004. Life Span Development. Penerbit : Erlangga Indonesia, Jakarta


(32)

DAFTAR RUJUKAN

Ahira, Anna. 2008. Mengenal Gejala dan Terapi Anak Penderita Autis. (http://www.annaahira.com/autis.htm, diakses 2 Oktober 2011).

http://mediacastore.com/artikel/287/Terapi_dan_Diet_Anak_Penderita_Autisme.h tml,diakses 20 September 2011.

Dwiari, Leonilla. 2007. Coping Stress On Maternal And Child Autisma. (http://www.gunadarma.ac.id, diakses 10 Oktober 2011).

Tara, Mariska. 2006. Metodologi Penelitian Lanjutan : Studi Deskriptif mengenai

Strategi Penanggulangan Stress yang Digunakan Dokter jaga Rumah Sakit “X” di Cimahi Fakultas Psikologi Universitas “X” Bandung : Universitas Kristen Maranatha.


(1)

Ibu yang memiliki anak autis di sekolah “X” di Kota Bandung

Kondisi anak autis

Primary Appraisal

Secondary

Appraisal Coping Stress

Emotional focused : 1. Distancing 2. Self control 3. Seeking social support

4. Accepting responsibility 5. Escape avoidance

Problem focused : 1. Confrontatif

coping

2. Planfull problem solving

-Irrelevant -Stressfull -Benign positive

-Sumber Internal (Kepribadian) -Sumber eksternal (waktu, keuangan, pendidikan, Derajat stres:

- Tinggi - Moderat - Rendah Faktor stres :

-Frustrasi -Konflik -Tekanan -Ancaman


(2)

BAB V

KESIMPULAN & SARAN

Pada bab ini, peneliti akan memaparkan kesimpulan mengenai hasil penelitian yang telah dilakukan pada bab sebelumnya beserta saran yang bernilai praktis yang terarah sesuai dengan hasil penelitian.

5.1 Kesimpulan

Dari pembahasan mengenai coping stress pada ibu yang memiliki anak autis, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Dari penelitian terhadap 20 ibu yang memiliki anak autis, sebagian besar ibu menggunakan problem focused dan sebagian kecil ibu menggunakan emotion focused.

2. Dari 17 ibu yang cenderung menggunakan problem focused, sebanyak 11 ibu diantaranya lebih sering menggunakan planfull problem

solving, sebanyak 4 ibu diantaranya lebih sering menggunakan confrontative coping, dan sebanyak 2 ibu diantaranya seimbang pada planfull problem solving dan confrontative coping.

3. Dari 3 ibu yang cenderung menggunakan emotion focused, sebanyak 2 ibu diantaranya lebih sering menggunakan positive reappraisal, dan sebanyak 1 ibu diantaranya seimbang pada distancing dan


(3)

62

4. Faktor tingkat pendidikan ibu dan derajat stres tidak menunjukkan kecenderungan keterkaitan dengan coping stress pada ibu yang memiliki anak autis.

5.2 Saran

Sehubungan dengan kesimpulan yang diperoleh dari penelitian mengenai

coping stress pada ibu yang memiliki anak autis di sekolah “X” di kota Bandung,

serta dengan menyadari banyaknya kekurangan dalam penelitian ini, maka peneliti memandang perlu mengajukan beberapa saran sebagai berikut :

5.2.1 Saran Teoretis

1. Perlu diadakan penelitian di sekolah atau tempat terapi lain untuk dapat memperoleh gambaran mengenai keterkaitan antara derajat stres dan coping stress pada ibu yang memiliki anak autis, baik dilihat dari tingkat pendidikan, pekerjaan maupun usia ibu.

5.2.2 Saran Praktis

1. Bagi ibu yang memiliki anak autis, coping yang dominan dilakukan ibu yaitu problem focused sudah baik. Hal ini dapat digunakan bagi para ibu untuk tetap mempertahankan coping tersebut. Seperti tetap menetapkan dan melakukan langkah-langkah untuk menangani keadaan anaknya yang autis dan aktif menanyakan perkembangan


(4)

63

terapi yang dilakukan pada anaknya yang autis, juga terapi yang kembali harus dilakukan dirumah.

2. Bagi pihak sekolah, baik para guru dan terapis, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan kepada ibu-ibu yang memiliki anak autis untuk dapat mengetahui potensi-potensi yang dimiliki, sehingga ibu dapat menentukan coping yang akan dilakukan untuk dapat meredakan stresnya.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Gulo, W. 2002. Metodologi Peneletian. Jakarta : Grasindo

Handojo, Y. 2003. Autisma : Petunjuk Praktis dan Pedoman Materi Untuk

Mengajar Anak Normal, Autis dan Perilaku Lain. PT. Bhuana Ilmu

Populer.

Lazarus, R. S., & Folkman, S. 1984. Stress, Appraisal and Coping. New York : Springer Publishing Company.

Monat, Alan., & Lazarus, R. S., 1991. Stress and Coping An Anthology. New York : Columbia University Press.

Santrock, John W. 2004. Life Span Development. Penerbit : Erlangga Indonesia, Jakarta


(6)

DAFTAR RUJUKAN

Ahira, Anna. 2008. Mengenal Gejala dan Terapi Anak Penderita Autis.

(http://www.annaahira.com/autis.htm, diakses 2 Oktober 2011).

http://mediacastore.com/artikel/287/Terapi_dan_Diet_Anak_Penderita_Autisme.h tml,diakses 20 September 2011.

Dwiari, Leonilla. 2007. Coping Stress On Maternal And Child Autisma.

(http://www.gunadarma.ac.id, diakses 10 Oktober 2011).

Tara, Mariska. 2006. Metodologi Penelitian Lanjutan : Studi Deskriptif mengenai

Strategi Penanggulangan Stress yang Digunakan Dokter jaga Rumah Sakit “X” di Cimahi Fakultas Psikologi Universitas “X” Bandung : Universitas Kristen Maranatha.