PERLINDUNGAN HUKUM HAK-HAK KORBAN DALAM PROSES PENYELESAIAN PERKARA PIDANA Perlindungan Hukum Hak-Hak Korban Dalam Proses Penyelesaian Perkara Pidana (Studi Kasus Di Kabupaten Sukoharjo).

(1)

(Studi Kasus di Kabupaten Sukoharjo)

NASKAH PUBLIKASI

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Muhammadiyah Surakarta

Oleh :

WIDYA YUNI ASTOMO C 100.090.138

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2013


(2)

(3)

(4)

PERLINDUNGAN HUKUM HAK-HAK KORBAN DALAM PROSES PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

(Studi Kasus di Kabupaten Sukoharjo)

WIDYA YUNI ASTOMO C.100 090 138

Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta Jl. A. Yani Tromol Pos 1 Pabelan Kartasura Surakarta Jawa Tengah

e-mail : Astamanw@yahoo.co.id

ABSTRAK

Dalam hal ini penulis meneliti mengenai Perlindungan hukum hak-hak korban dalam proses penyelesaian perkara pidana (studi kasus di kabupaten Sukoharjo). Hasil penelitian dan pembahasan bahwa Perlindungan hukum hak-hak korban dalam proses penyelesaian perkara pidana yaitu dapat diberikan dalam berbagai cara, bergantung kepada penderitaan/kerugian yang diderita oleh korban, seperti kasus terhadap anak, KDRT, penganiayaan, kecelakaan lalu lintas baik luka ringan maupun meninggalnya seseorang, penipuan, penggelapan. Untuk itu penegak hukum memberikan keamanan si korban dilindungi sebaik mungkin untuk menjaga rasa aman dan kedamaiannya. Pemberian perlindungan sendiri sepenuhnya bertujuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban dalam memberikan keterangan pada semua tahap proses peradilan pidana. Dengan semakin meningkatnya sifat individualisme dalam masyarakat mengakibatkan sifat kebersamaan atau kegotongroyongan dalam masyarakat semakin menurun sehingga masyarakat kurang peka dalam menghadapi kejahatan yang terjadi. Sikap dan pandangan aparat penegak hukum mengenai perlunya upaya-upaya kongkrit pemberian perlindungan hak dan kepentingan korban tindak pidana Sikap dan pandangan aparat bahwa korban adalah orang yang paling dirugikan dengan adanya tindak pidana tersebut. Sehingga sudah seharusnya posisi korban dan masyarakat dalam hukum pidana kita haruslah berada dalam sistem dan juga menjadi tujuan dari pemidanaan untuk dilibatkan dalam proses penyelesaian perkara pidana. Hal ini proses penyelesian perkara pidana pada akhirnya bermuara pada putusan hakim di pengadilan sebagaimana terjadi pada saat ini, tampak cenderung melupakan dan meninggalkan korban.

Kata Kunci: perlindungan hukum, hak-hak korban, perkara pidana.

ABSTRACT

In this case the author examines Legal Protection of the rights of victims in the criminal case resolution process (case study in Sukoharjo district). The results and discussion that the legal protection rights of victims in the criminal


(5)

case resolution process that can be given in a variety of ways, depending on the suffering/loss suffered by the victim, as in the case of children, domestic violence, assault, traffic accidents either minor injuries or death someone, fraud, embezzlement. For that law enforcement provide security of the victim are protected as best as possible to maintain a sense of security and serenity. Giving shelter themselves fully intended to give a sense of security to the witnesses and/or victims to provide information on all stages of the criminal justice process. With the increasing nature of individualism in society resulted in the nature of community or mutual cooperation within the community so that people are less sensitive to decline in the face of the crime that happened. The attitudes of law enforcement officials about the need concrete measures granting protection rights and interests of victims of crime and the attitude of officials view that the victim is the person most harmed by the criminal act. So it should be the position of the victim and the community in the criminal law we must be in the system and also the purpose of the punishment to be involved in the process of completion of the criminal case. This process adjudication criminal case ultimately comes down to the judge's decision in court, as happened in the moment, seem inclined to forget and leave the victim.

Keywords : legal protection, the rights of victims, criminal cases.

Pendahuluan

Dalam perlindungan Hak Asasi Manusia telah banyak perlindungan yang telah dengan jelas dan tegas diatur dalam sebuah peraturan perundang-undangan. Dalam hukum pidana Indonesia selama ini, hak-hak pelaku tindak pidana dalam proses peradilan pidana memperoleh pengaturan secara memadai. Di dalam KUHAP (Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) hak-hak pelaku tindak pidana ditempatkan secara khusus dalam bab tersendiri di bawah titel “Hak-hak Tersangka dan Terdakwa”, Bab VI Pasal 50 hingga Pasal 68. Sementara itu, hak-hak korban sebagai pihak yang menderita kerugian hanya diatur dalam satu pasal yakni Bab VIII Pasal 98 di bawah titel “Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian”.

Dalam perkembangan terkini telah berkembang usaha-usaha untuk memberikan perhatian yang semakin besar kepada korban. Perhatian terhadap


(6)

korban dimaksudkan sebagai upaya untuk memberikan perlindungan terhadap hak dan kepentingannya sebagai pihak yang mengalami kerugian. Upaya ini ditempuh dengan mempertemukan pihak korban dan keluarganya dengan pihak tersangka atau terdakwa dan keluarganya yang dibantu oleh pihak ketiga yang berperan sebagai penengah (mediator). Kemajuan kajian tentang korban tindak pidana telah mendorong meningkatnya kesadaran perlunya jaminan perlindungan hak dan kepentingan korban tindak pidana.Perkembangan dalam skala global ini berdampak pada kebijakan hukum nasional yang ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya berbagai aturan hukum tersebut di atas. Perkembangan ini menandakan mulai bergesernya orientasi hukum dan sistem pidana sehingga kemudian tidak hanya memperhatikan hak dan kepentingan pelaku tindak pidana, tetapi juga memberikan perhatian pada hak dan kepentingan korban tidak pidana. Konsep dan filosofi hukum pidana dan sistem peradilan pidana yang memberikan perlindungan secara berimbang hak dan kewajiban pelaku dan korban tindak pidana, masyarakat dan negara, dewasa ini dikenal dengan peradilan restoratif sebagai konsep peradilan yang menghasilkan keadilan restoratif.1

Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah 1) Bagaimana perlindungan hukum hak-hak korban dalam proses penyelesiaan perkara pidana di kabupaten Sukoharjo, 2) Kendala-kendala apa yang timbul dalam perlindungan hukum hak-hak korban dalam proses penyelesiaan perkara pidana di kabupaten Sukoharjo, dan 3) Bagaimana sikap dan pandangan aparat penegak hukum mengenai perlunya upaya-upaya kongkrit pemberian perlindungan hak dan kepentingan korban tindak pidana.

1


(7)

Berdasarkan perumusan masalah di atas maka peneliti menentukan tujuan penelitian, yaitu: 1) Mengetahui perlindungan hukum hak-hak korban dalam proses penyelesiaan perkara pidana di kabupaten Sukoharjo, 2) Mengetahui kendala-kendala yang timbul dalam perlindungan hukum hak-hak korban dalam proses penyelesiaan perkara pidana di kabupaten Sukoharjo, dan 3) Mengetahui sikap dan pandangan aparat penegak hukum mengenai perlunya upaya-upaya kongkrit pemberian perlindungan hak dan kepentingan korban tindak pidana.

Penelitian ini dilakukan dengan harapan dapat memberikan manfaat, yaitu: 1) Manfaat Teoritis, mampu memberikan pemahaman kepada mahasiswa pada khusunya dan masyarakat luas pada umumnya, terkait perlindungan hukum hak-hak korban dalam proses penyelesiaan perkara pidana, 2) Manfaat Praktis, dapat memperkaya wacana keilmuan terkait perlindungan hukum hak-hak korban dalam proses penyelesiaan perkara pidana bagi kemajuan ilmu hukum di Indonesia khususnya hukum pidana.

Kerangka Pemikiran

Keadilan restoratif (restorative justice) sebagai pendekatan baru dalam penyelesaian tindak pidana, tidak mengabaikan peran formal dari sistem peradilan untuk menjatuhkan pidana pada pelaku yang bersalah.2 Namun lebih dari itu, pendekatan keadilan restoratif (restorative justice) menghendaki penyelesaian khusus yang disertai dengan upaya-upaya untuk merestorasi atau memperbaiki dampak negatif yang dialami korban tindak pidana, memulihkan penderitaan yang dialami si korban, dan memulihkan hubungan antara pihak korban dan pihak

2

Ibid., page 22; Howard Zehr, 2001, Transcending Reflcxions of Crime victims, Pennsylvania : Intercourse, page 194.


(8)

tindak pidana.3 Pendekatan ini membuka kesempatan kepada pihak korban untuk menerima pertanggungjawaban dan juga permohonan maaf dari pelaku tindak pidana.4 Dalam kaitan ini, pernyataan penyesalan dan permohonan maaf yang tulus dan diterima oleh pihak keluarga korban dalam berbagai kasus menjadi dasar terwujudnya perdamaian. Menurut Susanti Adi Nugroho, upaya damai yang demikian itu harus membawa konsekuensi hukum, yaitu menutup perkara bilamana telah dicapai perdamaian.5

Metode Penelitian

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis sosiologis (empiris).6 Dalam pendekatan yang diterapkan dalam penelitian ini bersifat lintas disiplin, yakni mengkaji aspek-aspek normatif dan mencoba melihat bagaimana pelaksanaannya pada tatanan empiris melalui sistem peradilan pidana. Jenis penelitian yang digunakan bersifat deskriptif.7 Lokasi penelitian ini bertempatkan di Kepolisian, Kejaksaan Negeri, dan Pengadilan Negeri yang berada di kabupaten Sukoharjo. Jenis data dalam penelitian ini adalah data sekunder, jenis data ini merupakan data yang bersifat kualitatif, yakni deskripsi naratif. Pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan dan penelitian lapangan dengan melakukan wawancara (interview).8

3

Howard Zehr & Barb Toews eds, 2004, Critical Issues in Restorative Justice, New York: Criminal Justice Press, page 385.

4

Ibid., page. 26 5

Susanti Adi Nugroho, 2009, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jakarta: Telaga Ilmu Indonesia, hal. 173.

6

Bambang Sunggono, 2007, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal. 72-79.

7

Soerjono dan Abdulrahman, 2003, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, hal. 23. 8

M Syamsudin, 2007, Operasionalisasi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal. 67.


(9)

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Perlindungan Hukum Hak-Hak Korban Dalam Proses Penyelesiaan Perkara Pidana di Kabupaten Sukoharjo

Perlindungan hukum hak-hak korban dalam penyelesaian perkara pidana adalah merupakan fenomena hukum acara pidana Indonesia, dimana dalam penegakannya akan selalu bersinggungan dengan para penegak hukum itu sendiri. Perlindungan hukum hak-hak korban sangat diperlukan, terutama para korban dalam proses penyelesaian perkara pidana yang selama ini merasa tidak mendapat perlindungan oleh hukum, dan bahkan kadang kala ada korban dalam kasus pidana yang akhirnya malah dijadikan tersangka.

Secara teoritis, bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan dapat diberikan dalam berbagai cara, bergantung kepada penderitaan/kerugian yang diderita oleh korban. Sebagai contoh, untuk kerugian yang sifatnya mental/psikis tentunya bentuk ganti rugi dalam bentuk materi/uang tidaklah memadai apabila tidak disertai dengan upaya pemulihan mental korban.

Perlindungan hukum hak-hak korban dalam proses penyelesaian perkara pidana di kabupaten Sukoharjo, yaitu: a) Kepolisian Sukoharjo, Berdasarkan keterangan Suparno, Kaur Bin Ops. Sat. Reskrim Polres Sukoharjo bahwa salah satu perlindungan hukum hak-hak korban yang diberikan adalah keamanan si korban wajib diberi pelayanan dan dilindungi sebaik mungkin, untuk menjaga rasa aman, nyaman dan kedamaian si korban baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam perlindungan hukum hak-hak korban di kepolisian dalam kasus KDRT dan kasus anak terdapat perlindungan khusus yang dilakukan oleh polisi


(10)

wanita Unit PPA (Perlindungan Perempuan dan Anak);9 b) Kejaksaan Negeri Sukoharjo, Berdasarkan keterangan Yeni Astuti, Jaksa Kejaksaan Negeri Sukoharjo bahwa perlindungan hukum hak-hak korban yang dilakukan kejaksaan, seperti pada kasus yang korbannya anak jaksa mendampingi secara penuh dalam proses persidangan maupun diluar persidangan. Untuk kasus yang lain jaksa melihat dari keadaan atau kondisi si korban dan menyarankan agar korban meminta perlindungan lebih lanjut ke Kepolisian maupun Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK);10 c) Pengadilan Negeri Sukoharjo, Berdasarkan keterangan Evi Firtiastuti, Hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo bahwa perlindungan hukum hak-hak korban di sidang pengadilan yaitu dengan cara hakim melihat dari keadaan atau kondisi si korban harus diperhatikan betul, dilihat dari luka fisik yang di alami si korban. Dalam kasus pidana khusus yang melibatkan anak, hakim melihat dari usia anak, kondisi psikis dan fisik anak. Hak korban untuk dilindungi orang tua, Lembaga Swadaya Masyarakat dan Penasehat Hukum juga diperhatikan. Semua ini demi perwujudan restoratif justice.11

Beberapa pendapat penegak hukum yang diwawancarai tentang bentuk perlindungan hukum hak-hak korban yang didapatkan selama ini sebagai berikut:

“Perlindungan hukum yang diterima korban selama ini belum sepenuhnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada, baik dalam KUHAP, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang P-KDRT maupun Undang-undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban serta perundang-undangan lainnya. Perlindungan hukum yang diberikan sebaiknya berdasarkan urgensi dari kasus itu dalam pengertian tidak semua korban mendapat perlindungan hukum tergantung dari kasusnya”.

9

Suparno, Kaur Bin Ops. Sat. Reskrim Polres Sukoharjo, Wawancara Pribadi, Sukoharjo, 7 Oktober 2013, pukul 09:30 WIB.

10

Yeni Astuti, Jaksa Kejaksaan Negeri Sukoharjo, Wawancara Pribadi, Sukoharjo, 8 Oktober 2013, pukul 08:00 WIB.

11

Evi Firtiastuti, Hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo, Wawancara Pribadi, Sukoharjo, 7 Oktober 2013, pukul 08:00 WIB.


(11)

Dalam Pasal 98 KUHAP memberi kesempatan kepada korban atau keluarganya untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian ke dalam proses peradilan pidana. Penggabungan gugatan ganti kerugian dalam perkara pidana akan membantu korban atau keluarganya karena tidak perlu mengajukan gugatan tersendiri. Di samping itu dalam KUHAP tidak mengatur apabila pelaku tidak mau atau tidak mampu membayar ganti rugi tersebut kepada korban. Dalam Pasal 99 ayat (2) KUHAP disebutkan bahwa hakim dapat menolak atau menerima permohonan penggabungan gugatan ganti kerugian yang diajukan oleh korban atau keluarganya. Pasal 99 ayat (1) KUHAP mengadakan pembatasan, dimana ganti kerugian yang diajukan hanya ganti kerugian yang bersifat materiil, sedang kerugian yang bersifat immaterial tidak dapat diajukan.

Kendala-kendala Yang Timbul Dalam Perlindungan Hukum Hak-Hak Korban Dalam Proses Penyelesiaan Perkara Pidana di Kabupaten Sukoharjo

Dalam proses penegakan hukum pidana paling sedikit ada dua pihak yang terkait di dalamnya, yaitu pihak pelaku tindak pidana (offenders) dan pihak korban kejahatan (victims).12 Oleh karena itu, maka kedua pihak tersebut harus mendapat perhatian yang seimbang. Dengan demikian, dalam proses penyelesaian perkara pidana tidak ada pihak yang merasa dirugikan baik dipandang dari sudut penegakan hukum pidana maupun dalam usaha penanggulangan kejahatan yang terjadi dalam masyarakat.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan tidak terungkapnya jumlah kriminalitas yaitu:13 a) Korban memang tidak tahu bahwa dirinya menjadi korban, misalnya kehilangan harta milik yang sama sekali tidak dirasakan, karena harta

12

Saparinah Sadli, 2000, Pemberdayaan Peremouan dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, dalam T.O. Ihromi dkk (Eds.), Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita, Bandung: Alumni, hal. 8. 13


(12)

milik tersebut banyak sekali jumlahnya; b) Korban tidak mengetahui bahwa secara yuridis ia dapat menuntut kerugian yang ditimbulkan oleh kecurangan pihak lain, misalnya ada kecurangan dalam jual beli barang konsumsi di toko yang tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Dalam hal ini korban tidak tahu atau tidak tahu harus berbuat apa; c) Korban enggan bersusah payah berhubungan dengan aparat penegak hukum, karena dirasakan kerugiannya tidak terlalu besar dan dapat diabaikan saja, atau merasa bahwa tidak ada gunanya melaporkan; d) Korban justru khawatir akan menderita keadaan yang lebih memalukan jika apa yang dialaminya dilaporkan pada penegak hukum, misalnya dalam hal kejahatan perkosaan dan kejahatan seksual lainnya; e) Korban takut akan terjadinya pembalasan dari pelaku jika ia melaporkan kejadian yang menimpa dirinya dan korban merasa tidak ada kepastian untuk mendapatkan perlindungan.

Menurut Evi Fitriastuti, Hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo, selama ini kendala-kendala perlindungan hukum hak-hak korban dalam proses penyelesaian perkara pidana di kabupaten Sukoharjo, yaitu:14 a) Ganti kerugian yang dilakukan terdakwa secara materiil. Ganti kerugian yang diberikan terdakwa terhadap korban tidak sesuai dengan apa yang diharapkan korban/keluarganya karena keterbatasan ekonomi terdakwa tindak pidana.contohnya pada kasus kecelakaan lalu lintas maupun penganiayaan yang mengalami luka berat, yang dimanakorban menghabiskan biaya operasi dan perawatan hampir berpuluh-puluh juta akan tetapi keluarga tersangka/terdakwa hanya bisa mengganti beberapa persen saja; b) Untuk bentuk kerugian immateriil yakni perasaan takut, sakit, sedih, kejutan psikis dan lain sebagainya dalam perkara pidana tidak bisa dilakukan.

14

Evi Firtiastuti, Hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo, Wawancara Pribadi, Sukoharjo, 7 Oktober 2013, pukul 08:00 WIB.


(13)

Sebagaimana diketahui bahwa Undang-undang Nomor 8 tahun 1981, tentang Kibab Undang-undang Hukum Acara Pidana manganut sistem peradilan pidana yang mengutamakan perlindungan hak-hak asasi manusia, namun apabila ketentuan ketentuan mengenai hal itu diperhatikan secara lebih mendalam, ternyata hanya hak-hak tersangka/terdakwa yang banyak ditonjolkan sedangkan hak hak dari korban kejahatan sangat sedikit diatur. Sejalan dengan asas tersebut masyarakat khususnya media massa lebih banyak menyoroti mengenai hak-hak tersangka/terdakwa daripada mempermasalahkan mengenai perlindungan terhadap korban kejahatan.

Sikap dan Pandangan Aparat Penegak Hukum Mengenai Perlunya Upaya-Upaya Konkrit Pemberian Perlindungan Hak dan Kepentingan Korban Tindak Pidana

1. Sikap Aparat Penegak Hukum

Berdasarkan wawancara dengan aparat penegak hukum di kabupaten Sukoharjo tentang sikap dan pandangan aparat penegak hukum mengenai perlunya upaya-upaya kongkrit pemberian perlindungan hak dan kepentingan korban tindak pidana. Masing-masing lembaga penegak hukum memberikan keterangannya sebagai berikut:

Sikap aparat penegak hukum dalam pemberian perlindungan hak-hak korban, yaitu: a) Kepolisian bersikap pro-aktif, dimana setiap ada laporan/aduan akan segera mungkin untuk menindaklanjuti laporan/aduan tersebut demi memberikan perlindungan hak-hak si korban;15 b) Kejaksaan bersikap pasif, hanya memberikan masukkan kepada kedua belah pihak untuk

15

Suparno, Kaur Bin Ops. Sat. Reskrim Polres Sukoharjo, Wawancara Pribadi, Sukoharjo, 7 Oktober 2013, pukul 09:30 WIB.


(14)

melakukan mediasi perdamaian secara baik-baik;16 c) Pengadilan hanya menjebatani kedua belah pihak, dan hakim memberikan masukan melalui jaksa agar kedua belah pihak melakukan perdamaian secara tertulis dan ditandatangani kedua belah pihak di atas meterai, kemudian jaksa menyerahkan berkah perkara yang sudah terselip surat perdamaian tersebut.17

Perlindungan hukum hak-hak korban dan langkah perlindungan yang diberikan lebih bersifat kurang pro-aktif. Dikatakan kurang pro-aktif karena langkah ini ditujukan kepada mereka yang telah mengalami atau menjadi korban kejahatan dan melaporkannya kepada pihak yang berwajib untuk diproses lebih lanjut. Disini peran kepolisian yang diperlukan untuk mengungkap kasus kejahatan yang terjadi. Peran pro-aktif kepolisian dapat membantu terungkapnya kejahatan yang tidak dilaporkan oleh masyarakat. Dengan demikian, peran pro-aktif kepolisian dapat membantu dalam hal perlindungan hukum hak-hak korban dalam proses penyelesaian perkara pidana, baik dari awal laporan tindak pidana sampai dengan dilaksanakannya putusan hakim. Termasuk dimana Kepolisian dapat memperdamaikan kedua belah pihak antara tersangka dengan korban sebelum kasus dilimpahkan ke kejaksaan. Dengan perdamaian di kepolisian tersebut maka kasus dapat dihentikan, Agar di kemudian hari tidak ada rasa saling balas dendam. Perdamaian yang dilakukan kepolisian dapat dilakukan dengan cara bagaimana kepolisian menjelaskan perkara terhadap tersangka agar meminta maaf dan mengganti kerugian yang dialami korbannya.

16

Yeni Astuti, Jaksa Kejaksaan Negeri Sukoharjo, Wawancara Pribadi, Sukoharjo, 8 Oktober 2013, pukul 08:00 WIB.

17

Evi Firtiastuti, Hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo, Wawancara Pribadi, Sukoharjo, 7 Oktober 2013, pukul 08:00 WIB.


(15)

Perlindungan terhadap korban dalam suatu perkara pidana sudah semestinya harus diberikan jaminan perlindungan hukum oleh Negara, sebagaimana salah satu ciri dari Negara hukum itu sendiri, yaitu harus didasarkan atas asas kesamaan di depan hukum (equality before the law). Dari aspek hak asasi manusia, Arif Gosita menyebutkan bahwa “Perlindungan terhadap korban merupakan kewajiban asasi manusia baik seseorang, sebagai anggota keluarga, masyarakat, maupun pemerintah “.18 2. Pandangan Aparat Penegak Hukum

Perlindungan korban kejahatan dalam sistem hukum nasional nampaknya belum memperoleh perhatian serius. Hal ini terlihat dari masih sedikitnya hak-hak korban kejahatan memperoleh pengaturan dalam perundang-undangan nasional. Menurut Evi Fitriastuti, Hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo memberikan pandangan mengenai perlunya upaya-upaya konkrit perlindungan hak dan kepentingan korban tindak pidana yang dapat dilakukan, yaitu:19 a) Dengan cara penggabungan perkara ganti rugi, untuk memberikan perlindungan hukum hak-hak korban, maka hakim melalui jaksa untuk menjembatani kedua belah pihak agar melakukan perdamaian dan kesepakatan ganti kerugian yang terjadi dengan menceritakan kronologi kejadian dan hukuman yang akan di kenakan kepada pelaku/terdakwa. Dengan cara seperti itu diharapkan keluarga terdakwa mau mencicil ganti kerugian yang dialami korban atau keluarganya; b) Perlunya upaya hukum lebih lanjut mengenai perlindungan korban dengan melihat kondisi si korban tersebut demi terwujudnya restoratif justice.

18

Arif Gosita, 2000, Masalah Korban Kejahatan, Jakarta: Penerbit Akademika Pressindo, hal. 41. 19

Evi Firtiastuti, Hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo, Wawancara Pribadi, Sukoharjo, 7 Oktober 2013, pukul 08:00 WIB.


(16)

Mengingat bahwa korban dalam hukum pidana berada dalam posisi sentral, karena korban adalah orang yang paling dirugikan dengan adanya tindak pidana tersebut. Dengan demikian, sudah seharusnya posisi korban dan masyarakat dalam hukum pidana haruslah berada dalam sistem peradilan pidana dan juga menjadi tujuan dari pemidanaan untuk dilibatkan dalam proses penyelesaian perkara pidana. Penyelesaian perkara pidana diharapkan menguntungkan bagi semua pihak antara pelaku, korban, dan masyarakatpun menjadi wacana yang menarik dalam hukum pidana di Indonesia.

Berdasarkan hal itu maka diperlukan adanya perubahan pandangan baru dalam sistem hukum pidana, yang dimana dengan melihat dari sikap dan perilaku tersangka/terdakwa terhadap korban sesudah terjadinya tindak pidana, kepribadian keseharian tersangka/terdakwa, serta komitmen terhadap penyelesaian kasus yang dihadapinya. Sikap dan perilaku tersangka/terdakwa dapat dilihat bagaimana tersangka/terdakwa menghargai korban, menyesali perbuatan yang telah dilakukan, meminta maaf terhadap korban dan memberikan santunan atau bantuan. Kepribadian keseharian, pernah melakukan perbuatan tindak pidana atau tidak. Sementara itu, perilaku tersangka/terdakwa dalam proses peradilan pidana dapat menjadi pertimbangan hukuman yang meringankan atau memberatkannya.

Penutup

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan penulis dapat disimpulkan bahwa: 1) Perlindungan hukum hak-hak korban dalam proses penyelesaian perkara pidana di kabupaten Sukoharjo yaitu hanya diberikan pada urgensi kasusnya atau bergantung kepada penderitaan/kerugian yang


(17)

diderita oleh korban tindak pidana, seperti kasus terhadap anak, KDRT, penganiayaan luka ringan, kecelakaan lalu lintas baik luka ringan. Untuk penganiayaan luka berat dan kecelakaan lalu lintas dengan meninggalnya seseorang, berkas perkara tetap berjalan walaupun sudah terjadi perdamaian antara kedua belah pihak. Sementara itu, dalam kasus-kasus pembunuhan, asusila atau pemerkosaan, perampokan dan lain sebagainya, belum sepenuhnya para aparat penegak hukum memberikan perlindungan terhadap korban/keluarga korban tindak pidana; 2) Kendala-kendala yang timbul dalam perlindungan hukum hak-hak korban dalam proses penyelesiaan perkara pidana di kabupaten Sukoharjo: a) Pelaku kriminal sendiri, dimana pelaku kejahatan tersebut sangat pandai dalam melakukan kejahatan sehingga tidak ketahuan atau tidak tertangkap; b) Sikap masyarakat, dimana sikap masyarakat yang acuh tak acuh dalam menghadapi kriminalitas yang terjadi di lingkungannya, sehingga masyarakat kurang peka dalam menghadapi kejahatan yang terjadi; c) Ganti kerugian yang diberikan pelaku terhadap si korban tidak sesuai dengan apa yang diharapkan si korban karena keterbatasan ekonomi pelaku tindak pidana; d) Untuk kerugian immateriil dalam perkara pidana tidak bisa dilakukan. 3) Selama ini para aparat penegak hukum belum bersikap pro-aktif dalam pemberian perlindungan hak dan kepentingan korban tindak pidana. Para korban tindak pidana tidak mengetahui tentang adanya gugatan ganti kerugiaan yang dapat mereka ajukan dalam proses penyelesaian perkara pidana. Masih banyak masyarakat yang tidak tahu tentang apa saja hak-haknya sebagai korban tindak pidana dan bagaimana cara mendapatkan hak-haknya tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 4) Perlindungan hak dan


(18)

kepentingan korban tindak pidana dapat dilakukan dengan cara, yaitu: penggabungan perkara gugatan ganti rugi dan upaya hukum mengenai perlindungan korban dengan meminta bantuan perlindungan baik dari aparat penegak hukum maupun dari lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam perlindungan korban tindak pidana.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh penulis, maka penulis dapat memberikan saran sebagai berikut: 1) Dengan minimnya komponen hukum maupun mengenai pendanaan dalam penegakkan perlindungan korban hendaknya tidak menjadikan hukum itu lemah dan tidak efektif; 2) Khusus mengenai formulasi hukum perlindungan hak-hak korban, hendaknya dijadikan satu dalam sebuah undang-undang yang mencakup semua perlindungan hukum bagi semua orang dalam satu sistem hukum yang namanya adalah hukum perlindungan masyarakat, sehingga mudah dipahami oleh masyarakat tentang apa-apa yang dilindungi oleh hukum; 3) Perlindungan hukum bagi korban dalam proses peradilan pidana sangat diperlukan, karena selama ini korban merasa tidak mendapat perlindungan oleh hukum, di sini diperlukan peran aktif para aparat penegak hukum dalam menyampaikan informasi kepada korban tentang apa saja hak-haknya dan bagaimana cara memperoleh hak-haknya tersebut; 4) Penegak hukum harus lebih memperhatikan kondisi dan keadaan korban, karena seorang korban telah mendapat kerugian immateriil dan materiil. Kerugian immateriil dan materiil ini dapat dilakukan dan diberikan kepada korban atau keluarganya tinggal bagaimana kebijaksanaan aparat penegak hukum dalam memberikan perlindungan kepada korban tindak pidana, untuk meringankan beban penderitaan korban atau keluarganya.


(19)

DAFTAR PUSTAKA

Adi Nugroho, Susanti, 2009, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jakarta: Telaga Ilmu Indonesia.

Asshiddiqie, Jimly, 2007, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer.

Atmasasmita, Romli, 2010, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.

Chaerudin & Syarif Fadillah, 2004, Korban Kejahatan dalam Perspektif Viktimologi & Hukum Pidana Islam, Jakarta: Grahadhika Press.

Gosita, Arif, 2000, Masalah Korban Kejahatan, Jakarta: Penerbit Akademika Pressindo.

Gosita, Arif, 2004, Masalah Korban Kejahatan, Jakarta: Bhuana Ilmu Populer – Kelompok Gramedia.

Howard Zehr & Barb Toews eds, 2004, Critical Issues in Restorative Justice, New York: Criminal Justice Press.

Manan, Bagir, 2006, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa, dalam Varia Peradilan No. 248 Juli 2006.

Muhammad, Rusli, 2007, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Bandung: Citra Aditya Bakti.

Muladi, 2005, HAM Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, dalam Muladi, ed., Hak Asasi Manusia Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Bandung: Refika Aditama.

Raharjo, Satjipto, 2010, Masalah Penegakan Hukum, Yogyakarta: Genta Publishing.

Reksodiputro, Mardjono, 2007, Kriminologi Dan Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Pusat Pelayanan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia. Robert Bodgan & Steven J. Taylor, 1993, Kualitatif Dasar-Dasar Penelitian

(Diterjemahkan oleh A. Khizin Afandy), Surabaya: Usaha Nasioanal. Soekanto, Soerjono, 2010, Faktor-faktor Yang Memengaruhi Penegakan Hukum,

Yogyakarta: Genta Publishing.

Soerjono dan Abdulrahman, 2003, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta.


(20)

Sudarto, 1990, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto d/a Fakultas Hukum UNDIP.

Sadli, Saparinah, 2000, Pemberdayaan Peremouan dalam Perspektif Hak Asasi Manusia. Dalam T.O. Ihromi dkk (Eds.), Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita, Bandung: Alumni.

Sudaryono & Natangsa Surbakti, 2005, Buku Pegangan Kuliah Hukum Pidana, Surakarta: Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Sunggono, Bambang, 2007, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja grafindo Persada.

Serikat Putra Jaya, Nyoman, 2006, Sistem Peradilan (Criminal Justice System), Bahan Kuliah, Porgram Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro. Syamsudin, M., 2007, Operasionalisasi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo

Persada.

Termorshuizen, Marjane, 1999, Kamus Hukum Belanda-Indonesia, Jakarta: Penerbit Djambatan.

Wisnubroto, Al., 2002, Praktek Peradilan Pidana Proses Persidangan Perkara Pidana, Jakarta: PT. Galaxy Puspa Mega.

Zehr, Howard, 2002, The Little Book of Restorative Justice, Pennsylvania: Intercourse.

Zehr,Howard, 2001, Transcending Reflcxions of Crime victims, Pennsylvania: Intercourse.

Alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Hasil Amandemen. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam

Rumah Tangga.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Kompensasi, Restituti, dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat.


(1)

Perlindungan terhadap korban dalam suatu perkara pidana sudah semestinya harus diberikan jaminan perlindungan hukum oleh Negara, sebagaimana salah satu ciri dari Negara hukum itu sendiri, yaitu harus didasarkan atas asas kesamaan di depan hukum (equality before the law). Dari aspek hak asasi manusia, Arif Gosita menyebutkan bahwa “Perlindungan terhadap korban merupakan kewajiban asasi manusia baik seseorang, sebagai anggota keluarga, masyarakat, maupun pemerintah “.18 2. Pandangan Aparat Penegak Hukum

Perlindungan korban kejahatan dalam sistem hukum nasional nampaknya belum memperoleh perhatian serius. Hal ini terlihat dari masih sedikitnya hak-hak korban kejahatan memperoleh pengaturan dalam perundang-undangan nasional. Menurut Evi Fitriastuti, Hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo memberikan pandangan mengenai perlunya upaya-upaya konkrit perlindungan hak dan kepentingan korban tindak pidana yang dapat dilakukan, yaitu:19 a) Dengan cara penggabungan perkara ganti rugi, untuk memberikan perlindungan hukum hak-hak korban, maka hakim melalui jaksa untuk menjembatani kedua belah pihak agar melakukan perdamaian dan kesepakatan ganti kerugian yang terjadi dengan menceritakan kronologi kejadian dan hukuman yang akan di kenakan kepada pelaku/terdakwa. Dengan cara seperti itu diharapkan keluarga terdakwa mau mencicil ganti kerugian yang dialami korban atau keluarganya; b) Perlunya upaya hukum lebih lanjut mengenai perlindungan korban dengan melihat kondisi si korban tersebut demi terwujudnya restoratif justice.

18

Arif Gosita, 2000, Masalah Korban Kejahatan, Jakarta: Penerbit Akademika Pressindo, hal. 41.

19

Evi Firtiastuti, Hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo, Wawancara Pribadi, Sukoharjo, 7 Oktober 2013, pukul 08:00 WIB.


(2)

Mengingat bahwa korban dalam hukum pidana berada dalam posisi sentral, karena korban adalah orang yang paling dirugikan dengan adanya tindak pidana tersebut. Dengan demikian, sudah seharusnya posisi korban dan masyarakat dalam hukum pidana haruslah berada dalam sistem peradilan pidana dan juga menjadi tujuan dari pemidanaan untuk dilibatkan dalam proses penyelesaian perkara pidana. Penyelesaian perkara pidana diharapkan menguntungkan bagi semua pihak antara pelaku, korban, dan masyarakatpun menjadi wacana yang menarik dalam hukum pidana di Indonesia.

Berdasarkan hal itu maka diperlukan adanya perubahan pandangan baru dalam sistem hukum pidana, yang dimana dengan melihat dari sikap dan perilaku tersangka/terdakwa terhadap korban sesudah terjadinya tindak pidana, kepribadian keseharian tersangka/terdakwa, serta komitmen terhadap penyelesaian kasus yang dihadapinya. Sikap dan perilaku tersangka/terdakwa dapat dilihat bagaimana tersangka/terdakwa menghargai korban, menyesali perbuatan yang telah dilakukan, meminta maaf terhadap korban dan memberikan santunan atau bantuan. Kepribadian keseharian, pernah melakukan perbuatan tindak pidana atau tidak. Sementara itu, perilaku tersangka/terdakwa dalam proses peradilan pidana dapat menjadi pertimbangan hukuman yang meringankan atau memberatkannya.

Penutup

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan penulis dapat disimpulkan bahwa: 1) Perlindungan hukum hak-hak korban dalam proses penyelesaian perkara pidana di kabupaten Sukoharjo yaitu hanya diberikan pada urgensi kasusnya atau bergantung kepada penderitaan/kerugian yang


(3)

diderita oleh korban tindak pidana, seperti kasus terhadap anak, KDRT, penganiayaan luka ringan, kecelakaan lalu lintas baik luka ringan. Untuk penganiayaan luka berat dan kecelakaan lalu lintas dengan meninggalnya seseorang, berkas perkara tetap berjalan walaupun sudah terjadi perdamaian antara kedua belah pihak. Sementara itu, dalam kasus-kasus pembunuhan, asusila atau pemerkosaan, perampokan dan lain sebagainya, belum sepenuhnya para aparat penegak hukum memberikan perlindungan terhadap korban/keluarga korban tindak pidana; 2) Kendala-kendala yang timbul dalam perlindungan hukum hak-hak korban dalam proses penyelesiaan perkara pidana di kabupaten Sukoharjo: a) Pelaku kriminal sendiri, dimana pelaku kejahatan tersebut sangat pandai dalam melakukan kejahatan sehingga tidak ketahuan atau tidak tertangkap; b) Sikap masyarakat, dimana sikap masyarakat yang acuh tak acuh dalam menghadapi kriminalitas yang terjadi di lingkungannya, sehingga masyarakat kurang peka dalam menghadapi kejahatan yang terjadi; c) Ganti kerugian yang diberikan pelaku terhadap si korban tidak sesuai dengan apa yang diharapkan si korban karena keterbatasan ekonomi pelaku tindak pidana; d) Untuk kerugian immateriil dalam perkara pidana tidak bisa dilakukan. 3) Selama ini para aparat penegak hukum belum bersikap pro-aktif dalam pemberian perlindungan hak dan kepentingan korban tindak pidana. Para korban tindak pidana tidak mengetahui tentang adanya gugatan ganti kerugiaan yang dapat mereka ajukan dalam proses penyelesaian perkara pidana. Masih banyak masyarakat yang tidak tahu tentang apa saja hak-haknya sebagai korban tindak pidana dan bagaimana cara mendapatkan hak-haknya tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 4) Perlindungan hak dan


(4)

kepentingan korban tindak pidana dapat dilakukan dengan cara, yaitu: penggabungan perkara gugatan ganti rugi dan upaya hukum mengenai perlindungan korban dengan meminta bantuan perlindungan baik dari aparat penegak hukum maupun dari lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam perlindungan korban tindak pidana.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh penulis, maka penulis dapat memberikan saran sebagai berikut: 1) Dengan minimnya komponen hukum maupun mengenai pendanaan dalam penegakkan perlindungan korban hendaknya tidak menjadikan hukum itu lemah dan tidak efektif; 2) Khusus mengenai formulasi hukum perlindungan hak-hak korban, hendaknya dijadikan satu dalam sebuah undang-undang yang mencakup semua perlindungan hukum bagi semua orang dalam satu sistem hukum yang namanya adalah hukum perlindungan masyarakat, sehingga mudah dipahami oleh masyarakat tentang apa-apa yang dilindungi oleh hukum; 3) Perlindungan hukum bagi korban dalam proses peradilan pidana sangat diperlukan, karena selama ini korban merasa tidak mendapat perlindungan oleh hukum, di sini diperlukan peran aktif para aparat penegak hukum dalam menyampaikan informasi kepada korban tentang apa saja hak-haknya dan bagaimana cara memperoleh hak-haknya tersebut; 4) Penegak hukum harus lebih memperhatikan kondisi dan keadaan korban, karena seorang korban telah mendapat kerugian immateriil dan materiil. Kerugian immateriil dan materiil ini dapat dilakukan dan diberikan kepada korban atau keluarganya tinggal bagaimana kebijaksanaan aparat penegak hukum dalam memberikan perlindungan kepada korban tindak pidana, untuk meringankan beban penderitaan korban atau keluarganya.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Adi Nugroho, Susanti, 2009, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa,

Jakarta: Telaga Ilmu Indonesia.

Asshiddiqie, Jimly, 2007, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer.

Atmasasmita, Romli, 2010, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.

Chaerudin & Syarif Fadillah, 2004, Korban Kejahatan dalam Perspektif Viktimologi & Hukum Pidana Islam, Jakarta: Grahadhika Press.

Gosita, Arif, 2000, Masalah Korban Kejahatan, Jakarta: Penerbit Akademika Pressindo.

Gosita, Arif, 2004, Masalah Korban Kejahatan, Jakarta: Bhuana Ilmu Populer – Kelompok Gramedia.

Howard Zehr & Barb Toews eds, 2004, Critical Issues in Restorative Justice,

New York: Criminal Justice Press.

Manan, Bagir, 2006, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa, dalam Varia Peradilan No. 248 Juli 2006.

Muhammad, Rusli, 2007, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Bandung: Citra Aditya Bakti.

Muladi, 2005, HAM Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, dalam Muladi, ed., Hak Asasi Manusia Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Bandung: Refika Aditama.

Raharjo, Satjipto, 2010, Masalah Penegakan Hukum, Yogyakarta: Genta Publishing.

Reksodiputro, Mardjono, 2007, Kriminologi Dan Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Pusat Pelayanan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia. Robert Bodgan & Steven J. Taylor, 1993, Kualitatif Dasar-Dasar Penelitian

(Diterjemahkan oleh A. Khizin Afandy), Surabaya: Usaha Nasioanal. Soekanto, Soerjono, 2010, Faktor-faktor Yang Memengaruhi Penegakan Hukum,

Yogyakarta: Genta Publishing.

Soerjono dan Abdulrahman, 2003, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta.


(6)

Sudarto, 1990, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto d/a Fakultas Hukum UNDIP.

Sadli, Saparinah, 2000, Pemberdayaan Peremouan dalam Perspektif Hak Asasi Manusia. Dalam T.O. Ihromi dkk (Eds.), Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita, Bandung: Alumni.

Sudaryono & Natangsa Surbakti, 2005, Buku Pegangan Kuliah Hukum Pidana, Surakarta: Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Sunggono, Bambang, 2007, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja grafindo Persada.

Serikat Putra Jaya, Nyoman, 2006, Sistem Peradilan (Criminal Justice System),

Bahan Kuliah, Porgram Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro. Syamsudin, M., 2007, Operasionalisasi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo

Persada.

Termorshuizen, Marjane, 1999, Kamus Hukum Belanda-Indonesia, Jakarta: Penerbit Djambatan.

Wisnubroto, Al., 2002, Praktek Peradilan Pidana Proses Persidangan Perkara Pidana, Jakarta: PT. Galaxy Puspa Mega.

Zehr, Howard, 2002, The Little Book of Restorative Justice, Pennsylvania: Intercourse.

Zehr,Howard, 2001, Transcending Reflcxions of Crime victims, Pennsylvania: Intercourse.

Alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Hasil Amandemen. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam

Rumah Tangga.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Kompensasi, Restituti, dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat.