Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan Motivasi Kerja dan Budaya Organisasi dengan Kepuasan Kerja Ditinjau dari Jenis Kelamin Pendeta GPI Papua Klasis Fakfak T2 832012003 BAB I

(1)

BAB I PENDAHULUAN

Kepuasan kerja mempunyai perananan yang sangat penting dalam organsasi. Derajat kepuasan yang tinggi dapat mencapai tujuan organisasi. Dimana kepuasan kerja merupakan salah satu aspek penting bagi seorang pendeta dalam menjalankan tugas pelayanannya. Hal ini di anggap penting untuk di teliti karena dalam realita pelayanannya terdapat alasan yang sangat mendasar ketika seorang pendeta mendapat berbagai tantangan internal yang seringkali ditemukan dalam menjalankan tugas pelayanannya. Pada bab ini akan di uraikan beberapa topik yang menjadi pembahasan khusus, antara lain : (1) Fenomena organisasi Gereja GPI Papua Klasis Fakfak, (2) Hubungan antara motivasi kerja, budaya organisasi, dan jenis kelamin terhadap kepuasan kerja pada pendeta Gereja Protestan Indonesia (GPI) di Papua Klasis Fakfak, (3) Kontribusi yang diharapkan yakni dapat memberikan suatu bukti empiris tentang ada tidaknya hubungan antara teori-teori motivasi kerja dan budaya organisasi terhadap kepuasan kerja pendeta yang dapat diterapkan dalam organisasi gereja.

1.1Latar Belakang

Globalisasi dewasa ini telah mengubah kehidupan di seluruh dunia, dan pengaruh globalisasi mengubah pola aliran informasi secara mendasar. Arus globalisasi yang terjadi secara multidimensi akan membawa dampak perubahan terhadap organisasi di Indonesia. Untuk mengantisipasi kompetisi global dalam dunia organisasi, perlu diupayakan adanya sumber daya manusia (SDM) berkualitas. Oleh sebab itu, SDM


(2)

perlu menguasai keterampilan dan pengetahuan serta sikap yang menunjang perkembangan di segala bidang keahliannya, (Abdullah, 2009). SDM mempunyai andil yang besar bagi keberhasilan suatu organisasi, khususnya apabila SDM tersebut sudah siap pakai dan berpengalaman. Namun, organisasi juga tidak dapat menentukan secara pasti bagaimana teknik untuk merekrut, mempertahankan, dan memotivasi SDM yang semakin beragam. Di lain sisi, suatu organisasi juga sering kali terkendala tentang bagaimana cara untuk mendapatkan individu yang memiliki keterampilan, pengetahuan, dan kemampuan yang tepat. Hal ini semua akhirnya bermuara pada bagaimana mengarahkan SDM yang ada, sehingga menjadi sumber keunggulan yang kompetitif (Memon, Mangi & Rohra, 2009).

Sementara itu, Han et al. (2012), menjelaskan bahwa suatu organisasi berkewajiban menciptakan kepuasan kerja bagi karyawan atau pekerja di mana hal penciptaan kepuasan kerja pegawai atau karyawan merupakan cara yang tepat dan sangat efektif sebagai jawaban terhadap efektifitas suatu organisasi. GPI Papua sebagai sebuah organisasi, juga diperhadapkan dengan tuntutan pemenuhan akan kepuasan kerja pendeta yang merupakan pekerjanya. Tujuan pemenuhan kepuasan kerja, telah dijelaskan, namun dalam hubungannya dengan kepuasan kerja pendeta, adalah supaya para pendeta dapat bekerja secara maksimal sesuai dengan kemampuannya demi kemajuan organisasi di mana ia bekerja atau melayani.

Dalam kesempatan wawancara pada tanggal 18 Oktober 2013 dengan seorang pendeta yang melayani pada cakupan GPI Papua klasis Fakfak, dijelaskan mengenai beberapa keluhan yang terkait dengan ketidakpuasan kerja sebagian pendeta. Pada penejelasannya diungkapan


(3)

bahwa sebagian pendeta merasa kesejahteraan sehubungan dengan gaji yang diperoleh belum memadai dan belum dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, padahal iuran atau setoran yang menjadi tanggungan jemaat sangatlah tinggi.

Masalah gaji dan tarif penetapan iuran yang terlalu tinggi ini, dapat dilihat secara menyeluruh maupun khusus untuk daerah pelayanan Klasis Fakfak, misalnya saja untuk pendeta yang bergolongan 3A standar gaji yang ditetapkan berkisar antara Rp 800.000 sampai dengan Rp 1.500.000 sedangkan iuran jemaat yang harus ditanggung perbulannya mencapai Rp 3.000.000 sampai dengan Rp 4.000.0000. Sementara itu, sarana transportasi dan komunikasi yang masih sangat terbatas mengakibatkan para pendeta merasa terisolasi dan sulit mendapatkan akses informasi. Hal tersebut menyulitkan para pendeta untuk mengembangkan karier dan potensi diri. Masalah lain yang terkait dengan tingkat kepuasan seorang pendeta terhadap pekerjaan yang digelutinya adalah terjadinya pergeseran motivasi pelayanan seorang pendeta sebagai hamba yang melayani menjadi peguasa yang otoriter, Kana (2010). Sikap ini akhirnya menjadikan sebuah masalah dalam pelayanan, yang dapat menimbulkan sikap antipati, berdampak pada kesenggangan relasi dalam hubungan interpersonal dengan supervesior hubungan interpesonal dengan bawahan, hubungan dengan rekan kerja, penghambatan prestasi kerja, pertumbuhan pribadi, dsb.

Fenomena-fenomena ini dapat dipahami dengan melihat sumber-sumber kepuasan atau ketidak puasan kerja, sebagaimana yang dijelaskan oleh Herzberg (dalam Malik & Naeem 2013), yang menjelaskan mengenai dua faktor yang memberikan respons kepuasan ataupun ketidak puasan kerja. Respons-respons ini bersumber dari faktor ekstrinsik (Hygiene) dan


(4)

faktor intrinsik (Motivator). Herzberg dalam (Tan & Wahed) menyebutkan terdapat sepuluh faktor pemeliharaan / hygiene factor

sebagai berikut: kebijakan perusahaan dan administrasi, supervisi, hubungan interpersonal dengan supervisor, hubungan interpersonal dengan bawahan, hubungan dengan rekan kerja, gaji, keamanan kerja, kehidupan pribadi,kondisi kerja, status. Sedangkan faktor motivator sebagai berikut: prestasi, penghargaan, kenaikan pangkat, pekerjaan itu sendiri, pertumbuhan pribadi, tanggung jawab.

Fenomena kepuasan maupun ketidak puasan kerja pendeta GPI Papua klasis Fakfak ini didasari oleh Herzberg dalam Robbins & Judge, (2009) pada kenyataanya kepuasan kerja itu berangkat dari beberapa aspek atau segi kepuasan kerja itu sendiri, yang dapat terlihat lewat 1) pekerjaan itu sendiri, 2) bayaran, 3) kenaikan jabatan, 4) pengawasan/supervisor dan 5) rekan kerja. Fenomena di atas mengimplikasikan pentingnya meneliti kepuasan kerja pendeta karena hal tersebut memiliki andil terhadap kemajuan dan produktifitas lembaga gereja.

Fenomena-fenomena tersebut didukung oleh penjelasan dari, Luthans (2006) menyatakan bahwa ada tiga dimensi penting untuk terciptnya kepuasan kerja. Pertama, kepuasan kerja merupakan satu tanggapan emosional terhadap situasi kerja. Sebagian besar hal itu tidak dapat dilihat; hanya dapat dirasakan. Kedua, kepuasan kerja seringkali ditentukan oleh sejauhmana hasil yang diperoleh sesuai harapan. Sebagai contoh jika anggota organisasi merasakan bahwa mereka bekerja lebih keras daripada lainnya dalam suatu organisasi tetapi mereka menerima imbalan yang kecil, mereka mungkin akan mempunyai suatu sikap yang negatif terhadap pekerjaan, bos, dan atau teman kerja. Mereka akan tidak puas. Di sisi lain jika pekerja merasakan diperlakukan sangat baik dan


(5)

dibayar dengan adil, pekerja akan mempunyai suatu sikap yang positif terhadap pekerjaan. pekerja akan terpuaskan oleh pekerjaan. Ketiga, kepuasan kerja mencerminkan beberapa sikap yang saling berhubungan.

Sementara itu, Tella et al. (2007), menyatakan bahwa untuk mencapai efektifitas suatu organisasi, yakni sejauh mana organisasi tersebut dapat mencapai tujuannya secara efektif baik secara kualitas maupun produktifitas, maka organisasi perlu menciptakan serta memastikan tingkat kepuasan kerja setiap anggotanya. Menurut Becker et al. (dalam Eslami & Gharakhani, 2012), lewat kepuasan kerja karyawan maka kinerja, produktivitas organisasi dan isu-isu lain, termasuk perputaran tenaga kerja yang mendorong kemajuan dari organisasi akan dengan sendirinya tercipta.

Tuanakota (2009). Dalam penelitiannya menyatakan bahwa kepuasan kerja dapat tercipta pada organisasi nirlaba termasuk organisasi gereja bila adanya suatu hubungan atau relasi yang baik yang tercipta dan terpelihara, sehingga kemungkinan perpecahan dapat terelakan wujud relasi yang baik ini dapat terlihat lewat saling menegur dan menasehati sebagai satu tubuh Kristus dan menimbulkan kenyamanan serta berdampak pada kepuasan kerja tersendiri dalam diri setiap pekerja pada organisasi gereja.

Intellectual Reserve, Inc (2010) dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa kepuasan kerja para pelayan gereja terhadap pekerjaannya didukung oleh persamaan nilai-nilai organisasi yang mendorong perilaku sportivitas. Hal ini ditunjukkan oleh perilaku para pelayan gereja yang mampu menyelesaikan pekerjaanya meskipun dengan beban kerja yang cukup berat didukung oleh nilai-nilai individu yang dianut pelayan gereja. Perilaku ini akan meningkatkan perilaku sportivitas.


(6)

Ditunjukkan oleh sikap toleransi para pelayan gereja terhadap lembaga gereja di mana dia mengabdi dan melakukan pekerjaannya dengan sungguh-sungguh.

Sejalan dengan penelitian-penelitian tersebut, Yurlinda & Harlyanti (2009), menyatakan bahwa keberhasilan perusahaan untuk berkiprah ditengah tekanan dan persaingan yang cukup tajam untuk meraih premi dari pemegang polis dikarenakan agen sebagai pekerja merasa puas terhadap pekerjaannya. Dengan demikian kepuasan kerja dari karyawan merupakan salah satu hal yang sangat mempengaruhi keberhasilan suatu organisasi baik secara langsung maupun tidak langsung.

Dari penjelasan berdasarkan hasil-hasil penelitian tentang kepuasan kerja ini, maka organisasi gereja perlu menciptkan kepuasan kerja bagi para pendeta sebagai pekerjanya, untuk mencapai tujuan loyalitas dari pendeta demi terciptanya kemajuan organisasi gereja. Kepuasan kerja dari karyawan atau pekerja sebagaimana digambarkan dalam beberapa penelitian terdahulu di atas, terlihat secara jelas dapat memberikan manfaat terhadap kemajuan suatu organisasi, sebaliknya ketidakpuasan kerja dari karyawan atau pekerja tidak akan memberikan manfaat yang baik terhadap suatu organisasi. Hal tersebut telah dijelaskan juga lewat beberapa penelitian terdahulu.

Dampak kepuasan maupun ketidakpuasan kerja sebagaimana dijelaskan di atas lewat beberapa hasil penelitian selanjutnya terlihat dan dirasakan oleh penulis lewat beberapa fenomena yang terjadi di lapangan atau medan pelayanan ketika penulis terlibat dalam pelayanan pada organisasi GPI Papua pada tahun 2009 sampai dengan tahun 2011, di mana situasi kepuasan kerja terhadap pendeta “sama sekali” tidak dimiliki


(7)

oleh beberapa orang pendeta. Hal ini terlihat dari kelalaian seorang pendeta terhadap panggilannya sebagai pemimpin pada suatu gereja dalam lingkungan kerja GPI Papua. Sikap acuh tak acuh terhadap surat keputusan penempatan yang diberikan kepadanya dengan berbagai alasan atau pertimbangan yang dibuat, entah karena pertimbangan kesehatan, suami atau istri yang bekerja di daerah perkotaan bahkan ada juga pendeta yang melalaikan SK penempatan tersebut tanpa alasan apapun, serta meninggalkan daerah pelayanannya selama berhari-hari menjadi kesimpulan awal penulis bahwa hal ini dipengaruhi oleh dampak tidak puasnya seorang pendeta terhadap pekerjaannya.

Dalam penelitiannya Aziri (2011), juga mengungkapkan dampak negatif dari ketidakpuasan kerja yaitu, karyawan akan meresponi dengan reaksi emosional dan mental yang buruk yang terlihat lewat perilaku pekerja yang negatif dalam pekerjaannya. Reaksi tersebut mempengaruhi tingkat pendapatan perusahan yang semakin berkurang. Sementara itu Robbins (1998) menjelaskan bahwa ketidakpuasan kerja terlihat lewat reaksi pada perilaku karyawan. Reaksi ini dinyatakan dengan cara karyawan berhenti, karyawan dapat mengeluh, tidak patuh, mencuri milik organisasi, atau mengelakan sebagian dari tanggung jawab mereka.

Sejalan dengan penelitian tersebut, Nanggoy & Harianti (2005) mengemukakan bahwa reaksi ketidakpuasan kerja karyawan terlihat dari sikap karyawan menarik diri dari pekerjaannya, bahkan keluar atau berhenti dari pekerjaannya. Perilaku tersebut mengakibatkan perusahan mengalami kerugian. Hal ini dikarenakan perusahaan perlu mencari pengganti terhadap karyawan yang keluar. Pergantian karyawan membawa pengaruh yang kurang baik terhadap perusahaan, baik dari segi


(8)

biaya maupun dari segi hilangnya waktu untuk melatih karyawan pengganti dan kesempatan untuk memanfaatkan peluang.

Dalam kaitannya dengan dampak positif maupun negatif kepuasan maupun ketidak puasan kerja dari pekerja sosial terkhusus untuk pendeta, dijelaskan lewat penelitian yang dilakukan oleh Stewart (2009). Dalam penjelasannya, diungkapkan bahwa ketika seorang pendeta tidak puas terhadap pekerjaannya, maka pendeta tersebut akan meninggalkan pelayanannya entah dia berhenti atau mangkir terhadap pelayanan. Perihal ketidak puasan kerja pendeta tersebut, disebabkan oleh berbagai hal baik dari dalam diri (faktor internal) maupun dari luar diri pendeta sendiri (faktor eksternal). Penyebab ketidak puasan kerja dari faktor internal pendeta yaitu pemenuhan kehidupan pribadi pendeta tidak terwujud. Hal ini dirasakan oleh pendeta pada umumnya dikarenakan, relasi dengan keluarga yang sangat minim, siklus hidup yang berantakan, keuangan yang kurang memadai, dan personal akses komunikasi yang terbatas. Ketidak puasan kerja pendeta sebagai akibat faktor eksternal dari kehidupan pendeta sendiri dikarena beberapa penyebab. Diantaranya masalah pemaknaan panggilan melayani, konflik pendeta dengan jemaat, konflik dengan harapan pelayanan yang tidak terpenuhi, serta terisolasi terhadap dunia luar. Sebaliknya disimpulkan dalam penelitian ini, ketika pemenuhan harapan-harapan itu terlaksana maka pendeta akan puas terhadap pekerjaannya. Sejalan dengan penelitian tersebut Colee (2013), Meyatakan bahwa ketika praktek panggilan menghamba dan fungsi kepemimpinan yang melayani dijalankan dengan baik oleh seorang pendeta, dalam organisasi gereja baik dengan rekan sekerja, dengan atasan maupun dengan bawahan akan melahirkan kepuasan kerja dan berdampak pada kehidupan organisasi yang sehat dan kenyamanan orgasasi gereja


(9)

akan tercipta dan dirasakan secara bersama oleh setiap pendeta maupun anggota gereja lainnya.

Atas dasar beberapa penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja dapat memberikan dampak baik secara positif maupun negatif. Apabil kepuasan kerja dirasakan oleh seorang karyawan atau pekerja, maka karayawan atau pekerja bahkan pendeta tersebut menjadi produktif dan turut memengaruhi kemajuan organisasi, sebaliknya bila kepuasan kerja tidak dirasakan oleh seorang karyawan atau pekerja, maka karayawan atau pekerja tersebut menjadi tidak produktif dan sedikitnya turut memengaruhi kemunduran organisasi.

Victor et al. (2012) dalam penelitian mereka menunjukkan bahwa kepuasan kerja merupakan faktor yang paling berpengaruh dan berdampak terhadap perilaku karyawan. Hal ini menjadi unsur utama yang mendorong karyawan untuk memberikan kontribusi lebih dari standar atau

extra role kepada organisasi. Dari penelitian ini, disimpulkan juga bahwa lewat kepuasan kerja, karyawan memberikan kontribusi positif terhadap kemajuan organisasi sehingga secara otomatis akan mendorong tercapainya kesuksesan organisasi. Kemajuan ini ditunjukan dari sikap karyawan yang senang mencari peluang untuk memaksimalkan keterampilan dan kemampuan mereka serta menjamin keamanan pekerjaan pada organisasi di mana mereka bekerja. Sementara itu, Chen et al (dalam Tella et al, 2007) menjelaskan bahwa dampak dari ketidakpuasan kerja karyawan, terlihat pada ketidakhadiran yang terjadi secara berulang-ulang seorang karyawan serta menumpuknya pekerjaan dan berimbas terhadap kerugian organisasi.

Mengenai kepuasan kerja, penelitian-penelitian terdahulu telah mengungkapkan faktor-faktor yang memengaruhi kepuasan kerja.


(10)

Selanjutnya George & Jones (2012) menjelaskan bahwa motivasi kerja merupakan faktor dari kepuasan kerja. Hal ini dikarenakan motivasi kerja merupakan suatu dorongan secara psikologis kepada seseorang, yang menentukan arah dari perilaku (direction of behavior) seseorang dalam suatu organisasi, tingkat usaha (level of effort), dan tingkat kegigihan atau ketahanan dalam menghadapi suatu halangan atau masalah (level of persistence). Dengan demikian seseorang yang memiliki motivasi kerja akan merangsang terciptanya kepuasan kerja bagi dirinya.

Sejalan dengan itu, Salem et al. (2010), menjelaskan bahwa salah satu faktor yang dapat membuat seseorang untuk puas terhadap pekerjaannya adalah motivasi kerja, dimana secara keseluruhan karyawan yang puas dengan pekerjaan mereka akan memiliki minat dalam pekerjaan. Lebih dari rata-rata karyawan yang termotivasi untuk bekerja bagi organisasi, akan menimbulkan efek kepuasan kerja untuk mereka.

Motivasi kerja merupakan suatu hal yang sangat penting dalam diri seorang individu baik untuk dirinya maupun dalam konteks terhadap suatu organisasi bila individu tersebut bekerja pada suatu organisasi ataupun perusahaan. Motivasi kerja penting untuk diteliti, dikarenakan motivasi kerja memiliki hubungan sebab-akibat terhadap kepuasan kerja yang berimbas juga pada terciptanya kemajuan suatu organisasi. Demikian juga dengan pendeta sebagai pekerja gereja perlu memiliki motivasi kerja yang baik sehingga dapat mengalami kepuasan kerja pada organisasi gereja di wilayah kerjanya. Hal ini juga berlaku bagi organisasi gereja GPI Papua klasis Fakfak.

Beberapa penelitian terdahulu telah menunjukan hasil positif maupun negatif atau pro dan kontra dalam melihat hubungan motivasi kerja terhadap kepuasan kerja. Salem et al. (2010) dalam penelitiannya


(11)

menyimpulkan bahwa terdapat hubungan postif seignifikan antara motivasi kerja terhadap kepuasan kerja. Mereka menemukan bahwa secara keseluruhan karyawan yang puas dengan pekerjaan mereka akan memiliki minat dalam pekerjaan, sehingga lebih dari rata-rata karyawan yang termotivasi untuk bekerja bagi organisasi dan menimbulkan efek kepuasan kerja itu sendiri. Khalid et al. (2011) juga dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara motivasi kerja dengan kepuasan kerja di kedua organisasi utilitas air publik dan swasta.

Penelitian-penelitian tersebut didukung oleh penelitian dari Singh & Tiwari (2011), yang menemukan bahwa motivasi kerja merupakan fungsi dari kepuasan kerja dan sebaliknya kepuasan kerja juga merupakan fungsi dari motivasi kerja. Nilai motivasi kerja meningkat dikarenakan meningkatnya nilai kepuasan kerja dan sebaliknya nilai kepuasan kerja meningkat dikarenakan meningkatnya nilai motivasi kerja. Pada peneltian ini didapat korelasi positif yang kuat (r = 0,822134) antara motivasi kerja dan kepuasan kerja karyawan dan hubungan fungsional antara keduanya hal ini di tunjukan, dengan nilai motivasi kerja karyawan meningkat maka kepuasan juga meningkat dan sebaliknya, apabila kepuasan kerja karyawan meningkat maka motivasi kerja karyawan juga meningkat.

Pada kesempatan lain, Ahmed et al. (2010) dalam penelitiannya berkesimpulan bahwa peran penting dalam meningkatkan kepuasan kerja karyawan dimulai dengan menimbulkan motivasi kerja bagi karyawan. Karyawan yang puas dengan imbalan yang merupakan salah satu aspek kepuasan kerja dapat membantu dalam meningkatkan kinerja organisasi. Di sisi lain faktor intrinsik motivasi kerja memiliki hubungan yang signifikan dengan kepuasan kerja karyawan. Hal senada disampaikan oleh


(12)

Tan & Waheed (2011), sehingga dalam penelitiannya mengusulkan agar setiap perusahaan harus memperhatikan dan memprioritaskan empat variabel motivasi kerja dalam merangsang kepuasan kerja agar tercipta produktivitas dan kinerja karyawan yang baik terhadap kemajuan organisasi. Keempat variabel ini meliputi kondisi, pengakuan, kebijakan perusahaan dan faktor upah.

Hal yang diungkapan di atas bertolak belakang dengan penelitian yang dilakukan oleh Dhermawan et al. (2012), yang dalam penelitian mereka menyatakan bahwa motivasi tidak berpengaruh terhadap kepuasan kerja. Penelitian ini juga didukung oleh penelitian dari Kartika & Kaihattu (2010). Berdasarkan hasil penelitian mereka ditemukan kesimpulan bahwa variabel motivasi kurang memiliki sumbangan poisitif terhadap kepuasan kerja karyawan di Pakuwon Food Festival, dan kontribusi variabel motivasi terhadap kepuasan kerja hanya sebesar 13,6% sedangkan sisanya merupakan kontribusi dari variabel lain diteliti oleh peneliti.

Selain motivasi kerja, budaya organisasi merupakan suatu hal yang sangat penting untuk diteliti dalam kaitan dengan kepuasan kerja, terkhusus untuk kepentingan penelitian ini, yang difokuskan untuk melihat hubungan budaya organisasi terhadap kepuasan kerja pendeta GPI Papua klasis Fakfak. Berikut ini Robbins (1998) menyatakan sebuah referensi bahwa, budaya organisasi merupakan makna dari paham yang dianut bersama, dapat menjadi sebuah pemaknaan bertindak dan berlaku, sehingga organisasi mampu menumbuhkan sikap yang poitif terhadap bagaimana karyawan bekerja pada organisasi dan juga hasilnya dapat menimbulkan kepuasan kerja terhadap apa yang telah dilakukan, bila sesuai dengan prinsip-prinsip budaya organisasi itu sendiri.


(13)

Kemudian Kotter & Hesket (1998) dalam peneltian mereka yang didukung oleh Schein (1992), menjelaskan bahwa budaya organisasi merupakan faktor kepuasan kerja, oleh karena itu secara operasional dapat di ajarkan kepada setiap anggota dalam suatu organisasi dalam menghadapi persoalan penyesuaian diri pada lingkungannya dan integritas dirinya yang telah teruji kegunaannya. Dengan demikian, patut diajarkan kepada para anggota baru sebagai cara yang benar dalam berorganisasi. Dengan penjelasan tersebut maka secara langsung maupun tidak langsung dapat dikatakan bahwa budaya organisasi dapat menentukan seseorang untuk puas atau tidak puas terhadap pekerjaanya dan juga puas ataupun tidak puas terhadap organisasi dimana dia bekerja.

Gagasan yang memandang organisasi sebagai budaya, dimana ada suatu sistem dari makna yang dianut bersama dikalangan anggota-anggota. Dalam memandang budaya organisasi, Robbins (1998) menjelaskan bahwa organisasi juga memiliki kepribadian persis seperti individu; bisa tegar atau fleksibel, tidak ramah atau mendukung, inovatif atau konservatif. Lebih lanjut Robbins (1998 ) menyatakan bahwa Para teorotis organisasi, telah mengakui dengan menyadari pentingnya peran yang dimainkan budaya organisasi terhadap anggota-anggota organisasi yang memengaruhi sikap dan perilaku karyawan dalam suatu pelembagaan. Bila suatu organisasi menjadi terlembaga, organisasi itu memiliki kehidupannya sendiri, terlepas dari siapa pendirinya ataupun siapapun anggotanya. Di samping itu bila organisasi itu menjadi terlembaga, organisasi itu dihargai untuk dirinya, tidak sekedar untuk barang atau jasa yang dihasilkan. Organisasi itu memperoleh keabadian. Jika tujuan aslinya tidak lagi relevan, organisasi itu tidak gulung tikar, malahan mendefinisikan ulang dirinya.


(14)

Dengan suatu budaya organisasi yang baik, maka harapan maupun pada kenyataan kepuasan kerja akan didapati oleh setiap pekerja yang ada pada suatu organisasi. Sabri et al. (2011) menjelaskan bahwa Adanya budaya organisasi yang baik “seharusnya” dapat berdampak pada kepuasan kerja, hal ini dikarenakan kinerja yang maksimal akan dilakukan oleh pekerja dari suatu organisasi, dengan demikian ada harapan dari seorang pekerja yang mesti dipenuhi dari hasil kerja yang diberikan oleh organisasi tempatnya bekerja. Budaya organisasi banyak diyakini organisasi, sebagai budaya kerja yang berdampak besar terhadap kinerja organisasi. Kemudian Munandar (2001) menyatakan bahwa organisasi secara kelembagaan/organisasi sebagai pola asumsi dasar yang telah dikemukakan oleh sekelompok tertentu, dikemukakan atau dikembangkan untuk dipelajari cara mengatasi perilaku anggota organisasi.

Pada kesempatan berbeda Robbins (2002), mengemukakan bahwa budaya organisasi sebagai variabel campur tangan manajemen secara keseluruhan sebenarnya berawal dari para karyawan membentuk suatu persepsi subjektif kepada organisasi berdasarkan faktor-faktor seperti toleransi resiko, tekanan pada tim, dan dukungan orang. Selanjutnya persepsi keseluruhan ini menjadi budaya atau kepribadian organisasi, persepesi yang mendukung ini kemudian memengaruhi kinerja dan kepuasan kerja karyawan.

Beberapa penelitian terdahulu telah menunjukan hasil positif maupun negatif atau pro dan kontra dalam melihat hubungan budaya organisasi terhadap kepuasan kerja. Dalam sebuah kesempatan Sabri et al.

(2011) menemukan bahwa budaya organisasi yang berkaitan dengan karyawan memainkan peran yang lebih kuat dalam menciptakan kepuasan kerja guru lembaga pendidikan tinggi dan universitas. Penelitian ini


(15)

didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Shurbagi & Zahari (2012) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif signifikan antara budaya organisasi dan kepuasan kerja di NOC Libya. Variabel (budaya organisasi) memberikan kontribusi signifikan dalam variabilitas (kepuasan kerja) sebesar 51% dari total variabilitas. Penilitian ini juga didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Sempane et al. (2002) yang memperoleh hasil korelasi positif yang signifikan yang ditemukan antara dua variabel (r = 0, 743). Dengan demikian disimpulkan dalam penelitian ini bahwa terdapat hubungan positif antara budaya organisasi dan kepuasan kerja.

Beberapa penelitian tentang adanya hubungan atau pengaruhnya budaya organisasi terhadap kepuasan kerja ini, bertolak belakang dengan penelitian yang dilakukan oleh Rukhviyanti (2011) dengan tujuan penelitiannya untuk mengetahui pengaruh budaya organisasi, yang dikelompokan dalam budaya birokrasi, budaya inovatif dan budaya suportif terhadap kepuasan kerja pada salah satu bank di Rangkasbitung. Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa budaya organisasi tidak memiliki pengaruh terhadap kepuasan kerja, hal ini terbutkti karena hanya budaya suportif saja yang berpengaruh terhadap kepuasan kerja, sedangkan budaya birokrasi dan budaya inovatif tidak berpengaruh terhadap kepuasan kerja. Penelitian tersebut didukung oleh penelitian dari Parimita

et al. (2013) yang meneliti tentang Pengaruh lingkungan kerja dan budaya organisasi terhadap kepuasan kerja karyawan pada bank BTN (Persero) Cabang Bekasi, pada penelitian tersebut, diperoleh kesimpulan bahwa walaupun budaya organisasi dalam perusahaan sudah cukup baik, namun kepuasan kerja karyawan belum dapat dirasakan oleh seluruh karyawan, karena masih terdapat sebagian karyawan yang merasakan ketidakpuasan


(16)

kerja pada dimensi promosi dan pengawasan, sehingga masih belum cukup baik untuk dirasakannya kepuasan kerja.

Sejumlah penelitian juga mengemukakan arti pentingnya motivasi kerja dan budaya organisasi secara bersama-sama terhadap kepuasan kerja. Astuti & Oswari (2011) dalam penelitiannya menemukan hubungan yang signifikan antara variabel motivasi kerja karyawan dan budaya perusahaan yang secara bersama-sama memengaruhi kepuasan kerja karyawan. Dalam penelitian ini dijelaskan bahwa ketika karyawan memiliki motivasi kerja dan diimbang dengan budaya organisasi yang baik, maka karyawan akan memiliki semangat juang yang tinggi. Oleh karena itu diperlukan motivator bagi karyawan dalam pemenuhan fisik dan non-fisik. Disamping itu, perusahaan juga perlu menciptakan budaya organisasi yang baik demi terciptanya kepuasan kerja dari karyawannya. Kepuasan dalam pekerjaan yang dinikmati lewat hasil kerja, berdampak pada penempatan diri serta perilaku yang baik sehingga karyawan dengan sendirinya menciptakan suasana kerja, sehingga dapat meningkatkan kehidupan organisasi atau perusahaan tersebut. Sejalan dengan penelitian tersebut, Yamsul et al (2013) juga menjelaskan bahwa motivasi kerja dan budaya organisasi memiliki dampak yang signifikan terhadap kepuasan kerja. Dalam penelitian ini, diungkapkan bahwa bila seseorang karyawan telah terlebih dahulu merasa puas akan pekerjaannya, yang dikonstruksikan oleh budaya organisasi yang baik maupun faktor motivasi kerja yang tinggi dari karyawannya, maka organisasi tersebut akan berkembang dikarenakan komitmen dan loyalitas karyawan

Pentingnya kepuasan kerja serta factor-faktor yang memengaruhinya telah dijelaskan dalam uraian-uraian di atas, namun yang menjadi pertentangan hingga saat ini adalah kepuasan kerja ditinjau dari


(17)

jenis kelamin. Rafif & Ayub (2011) dalam penelitian mereka, menemukan hubungan perbedaan jenis kelamin terhadap kepuasan kerja diantara karyawan perempuan dengan karyawan laki-laki, pada penelitian mereka, disimpulkan bahwa ada perbedaan pada kepuasan kerja dalam hubunganya dengan jenis kelamin. Beberapa alasan yang dikemukakan yang mengakibatkan perbedaan kepuasan kerja berdasarkan jenis kelamin yaitu, laki-laki biasanya menekankan pada gaji, sementara perempuan lebih menekankan pada pertumbuhan professional kerja, sehingga karyawan laki-laki jauh lebih puas terhadap pekerjaan dibandingkan dengan karyawan perempuan. Perbedaan jenis kelamin sebagai penentu kepuasan kerja juga di jelaskan oleh Ahmed et al. (2010), namun sedikit berbeda dengan yang dijelaskan oleh Rafif dan Ayub yang menyatakan laki-laki lebih puas terhadap pekerjaannya, dalam penelitian ini ditemukan Perbedaan yang signifikan dicatat mengenai kepuasan kerja antara karyawan pria dan wanita dengan karyawan perempuan yang memiliki kepuasan kerja lebih dari karyawan laki-laki.

Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Peerbai (2006) yang menemukan bahwa untuk kepuasan kerja faktor jenis kelamin tidak memiliki hubungan sama sekali dalam merangsang kepuasan kerja ataupun membuat seseorang tidak puas terhadap pekerjaannya. Hal ini dilihat berdasarkan temuan nilai (p = 0,78> 0,05). Penelitian tersebut didukung oleh penelitian dari Ifeoluwa et al. (2014) yang mana dari temuan penelitian mereka, terbukti bahwa staf perpustakaan laki-laki dan perempuan memiliki tingkat kepuasan kerja yang sedang atau biasa saja. Hal ini menegaskan bahwa pustakawan umumnya puas dengan pekerjaan mereka. Meskipun persentase sedikit terlihat berbeda pada tingkat kepuasan kerja, namun hal ini menunjukan bahwa perbedaan jenis


(18)

kelamin terhadap kepuasan kerja tidak signifikan. Dengan demikian, perbedaan jenis kelamin ditemukan tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kepuasan kerja.

Dalam melihat hubungan antara motivasi kerja dan jenis kelamin terhadap kepuasan kerja, beberapa peneliti telah melakukan penelitian terkait hal tersebut. Dalam suatu kesempatan, Bojanić (2014) dalam penelitiannya menemukan bahwa pekerja wanita, mengekspresikan motivasi kerja relatif rendah dibandingkan pekerja pria, sehingg berimbas terhadap rendahnya kepuasan kerja diri mereka. Hal tersebut diakibatkan karena aspek-aspek penunjang terhadap kepuasan kerja yang dirasakan oleh mereka kurang terpenuhi di tempat mereka bekerja. Ketidakpuasan kerja sebagai reaksi dari rendahnya motivasi kerja ini, terutama berkaitan dengan manfaat kerja, pencapaian pribadi seperti promosi, kemajuan diri, pengakuan orang lain, jumlah gaji dan juga tunjangan yang dirasakan oleh pekerja wanita masih sangat terbatas dibandingkan dengan pekerja pria. Oleh karena itu, kebanyakan dari pekerja wanita berpendapat bahwa mereka tidak cukup dihargai berdasarkan pekerjaan yang mereka lakukan. Berbeda dengan pekerja wanita, para pekerja pria jauh lebih termotivasi untuk bekerja, serta lebih puas terhadap pekerjaan yang mereka lakukan. Hal tersebut dikarenakan pekerja pria paling sering memegang posisi penting dalam pekerjaan. Pada penelitian ini, masalah motivasi kerja dan kepuasan kerja berdasarkan jenis kelamin berbasis pada paradigma masyarakat dan sosial budaya atau terkait dengan status sosial perempuan di masyarakat, yang lebih rendah dibandingkan dengan status sosial kaum pria. Peneilitian yang dilakukan oleh Bojanić, berbeda dengan hasil penelitian dari Edrak et al (2013). Dalam penelitiannya ditemukan bahwa, motivasi diidentifikasi sebagai prediktor kepuasan kerja, dengan demikian,


(19)

jenis kelamin tidak dapat secara signifikan memengaruhi kepuasan kerja dari karyawan. Dalam penelitiannya, Edrak mengemukakan juga bahwa ketika perusahaan dapat menjaga kekuatan kepuasan kerja karyawannya, maka setiap karyawan baik laki-laki maupun perempuan akan terlibat dalam pekerjaan, sehingga pekerjaan yang dilakukan oleh setiap karyawan, dilakukan dengan penuh kesungguhan.

Selain hubungan antara motivasi kerja dan jenis kelamin terhadap kepuasan kerja yang penting untuk dilihat terkait dengan penelitian ini, hubungan antara budaya organisasi dan jenis kelamin terhadap kepuasan kerja juga penting untuk dilihat. Lok & Crawford (dalam, Belias & Koustelios) dalam suatu kesempatan mengungkapkan bawa, saat membicarakan tentang karakteristik demografi, Perbedaan yang signifikan secara statistik tentunya akan ditemukan mengenai efek dari jenis kelamin terhadap kepuasan kerja. Hal ini dikarenakan, karakteristik demografi khususnya jenis kelamin dianggap memiliki efek yang positif terhadap kepuasan kerja karyawan. Dengan demikian, jika budaya organisasi tertentu cenderung memengaruhi kepuasan kerja karyawan, maka jenis kelaminpun turut memengaruhi kepuasan kerja karyawan. Lebih lajut dalam penelitian ini juga disimpulkan bahwa, dilihat dari budaya organisasi yang menuntut persaingan yang kompetitif antara karyawan laki-laki dan perempuan, maka kepuasan kerja, sebagai hasil dari budaya organisasi yang kompetitif, juga akan dipengaruhi oleh jenis kelamin dari setiap karyawannya.

Mengingat kepuasan kerja merupakan hal yang penting dalam suatu organisasi sebagaimana telah dijelaskan pada bab ini, dimana dengan menciptakan kepusan kerja dapat meningkatkan produktifitas karyawan yang juga turut menentukan kemajuan suatu organisasi. Dari


(20)

penjelasan terebut, sebagai organisasi gereja, GPI Papua klasis Fakfak terlihat mengalami masalah dalam hal kepuasan kerja, sedangkan kepuasan kerja itu dapat dipengaruhi oleh motivasi kerja, budaya organisasi dan jenis kelamin, sebagaimana telah dijelaskan oleh penelitian-penelitian terdahulu. Dari hasil penelitian terdahulu telah menyelidiki faktor-faktor tersebut secara terpisah, untuk itu penulis tertarik untuk meneliti faktor-faktor tersebut secara bersamaan dalam konteks yang berbeda. Maksud dari ketertarikan penulis ini adalah, untuk melihat hubungan motivasi kerja dan budaya organisasi terhadap kepuasan kerja ditinjau dari jenis kelamin pendeta GPI Papua klasis Fakfak.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Apakah ada hubungan secara simultan antara motivasi kerja dan budaya organisasi terhadap kepuasan kerja ditinjau dari jenis kelamin pada pendeta Gereja Protestan Indonesia (GPI) di Papua Klasis Fakfak?.

Adapun petanyaan penelitian yang di ajukan antara lain sebagai berikut :

1. Apakah ada hubungan antara motivasi kerja dan budaya organisasi terhadap kepuasan kerja pada pendeta Gereja Protestan Indonesia (GPI) di Papua Klasis Fakfak?

2. Apakah ada pengaruh interaksi antara motivasi kerja dan jenis kelamin terhadap kepuasan kerja pada pendeta Gereja Protestan Indonesia (GPI) di Papua Klasis Fakfak?


(21)

3. Apakah ada pengaruh interaksi antara budaya organisasi dan jenis kelamin terhadap kepuasan kerja pada pendeta Gereja Protestan Indonesia (GPI) di Papua Klasis Fakfak?

4. Apakah ada perbedaan kepuasan kerja ditinjau dari jenis kelamin pendeta Gereja Protestan Indonesia (GPI) di Papua Klasis Fakfak.

1.3Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan moivasi kerja dan budaya organisasi terhadap kepuasan kerja pada pendeta Gereja Protestan Indonesia (GPI) di Papua Klasis Fakfak. Adapun tujuan secara rinci dalam penelitian ini yaitu untuk mengetahui:

1. Hubungan antara motivasi kerja dan budaya organisasi terhadap kepuasan kerja pada pendeta Gereja Protestan Indonesia (GPI) di Papua Klasis Fakfak?

2. Pengaruh interaksi antara motivasi kerja dan jenis kelamin terhadap kepuasan kerja pada pendeta Gereja Protestan Indonesia (GPI) di Papua Klasis Fakfak?

3. Pengaruh interaksi antara budaya organisasi dan jenis kelamin terhadap kepuasan kerja pada pendeta Gereja Protestan Indonesia (GPI) di Papua Klasis Fakfak

4. Perbedaan kepuasan kerja ditinjau dari jenis kelamin pendeta Gereja Protestan Indonesia (GPI) di Papua Klasis Fakfak


(22)

1.4Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan dua kontribusi. Kontribusi pertama adalah kontribusi teori dan kotribusi kedua adalah kontribusi praktis

1. Secara teori, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu bukti empiris bahawa teori-teori motivasi kerja dan budaya organisasi memiliki atau tidaknya hubungan terhadap kepuasan kerja, bisa di terapkan didalam organisasi gereja. Hasil penelitian ini juga dapat dijadikan sebuah informasi, referensi dan pertimbangan bagi penelitian selanjutnya.

2. Kedua, kontribusi praktis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi gereja terkait pentingnya mengetahui hasil kepuasan kerja pendeta dan memiliki atau tidaknya kepuasan kerja pendeta pada organisasi dimana dia bekerja. Selanjutnya dapat memberikan pengaruh terhadap pendeta dalam meningkatkan kinerjanya di lapangan.


(1)

jenis kelamin. Rafif & Ayub (2011) dalam penelitian mereka, menemukan hubungan perbedaan jenis kelamin terhadap kepuasan kerja diantara karyawan perempuan dengan karyawan laki-laki, pada penelitian mereka, disimpulkan bahwa ada perbedaan pada kepuasan kerja dalam hubunganya dengan jenis kelamin. Beberapa alasan yang dikemukakan yang mengakibatkan perbedaan kepuasan kerja berdasarkan jenis kelamin yaitu, laki-laki biasanya menekankan pada gaji, sementara perempuan lebih menekankan pada pertumbuhan professional kerja, sehingga karyawan laki-laki jauh lebih puas terhadap pekerjaan dibandingkan dengan karyawan perempuan. Perbedaan jenis kelamin sebagai penentu kepuasan kerja juga di jelaskan oleh Ahmed et al. (2010), namun sedikit berbeda dengan yang dijelaskan oleh Rafif dan Ayub yang menyatakan laki-laki lebih puas terhadap pekerjaannya, dalam penelitian ini ditemukan Perbedaan yang signifikan dicatat mengenai kepuasan kerja antara karyawan pria dan wanita dengan karyawan perempuan yang memiliki kepuasan kerja lebih dari karyawan laki-laki.

Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Peerbai (2006) yang menemukan bahwa untuk kepuasan kerja faktor jenis kelamin tidak memiliki hubungan sama sekali dalam merangsang kepuasan kerja ataupun membuat seseorang tidak puas terhadap pekerjaannya. Hal ini dilihat berdasarkan temuan nilai (p = 0,78> 0,05). Penelitian tersebut didukung oleh penelitian dari Ifeoluwa et al. (2014) yang mana dari temuan penelitian mereka, terbukti bahwa staf perpustakaan laki-laki dan perempuan memiliki tingkat kepuasan kerja yang sedang atau biasa saja. Hal ini menegaskan bahwa pustakawan umumnya puas dengan pekerjaan mereka. Meskipun persentase sedikit terlihat berbeda pada tingkat kepuasan kerja, namun hal ini menunjukan bahwa perbedaan jenis


(2)

kelamin terhadap kepuasan kerja tidak signifikan. Dengan demikian, perbedaan jenis kelamin ditemukan tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kepuasan kerja.

Dalam melihat hubungan antara motivasi kerja dan jenis kelamin terhadap kepuasan kerja, beberapa peneliti telah melakukan penelitian terkait hal tersebut. Dalam suatu kesempatan, Bojanić (2014) dalam penelitiannya menemukan bahwa pekerja wanita, mengekspresikan motivasi kerja relatif rendah dibandingkan pekerja pria, sehingg berimbas terhadap rendahnya kepuasan kerja diri mereka. Hal tersebut diakibatkan karena aspek-aspek penunjang terhadap kepuasan kerja yang dirasakan oleh mereka kurang terpenuhi di tempat mereka bekerja. Ketidakpuasan kerja sebagai reaksi dari rendahnya motivasi kerja ini, terutama berkaitan dengan manfaat kerja, pencapaian pribadi seperti promosi, kemajuan diri, pengakuan orang lain, jumlah gaji dan juga tunjangan yang dirasakan oleh pekerja wanita masih sangat terbatas dibandingkan dengan pekerja pria. Oleh karena itu, kebanyakan dari pekerja wanita berpendapat bahwa mereka tidak cukup dihargai berdasarkan pekerjaan yang mereka lakukan. Berbeda dengan pekerja wanita, para pekerja pria jauh lebih termotivasi untuk bekerja, serta lebih puas terhadap pekerjaan yang mereka lakukan. Hal tersebut dikarenakan pekerja pria paling sering memegang posisi penting dalam pekerjaan. Pada penelitian ini, masalah motivasi kerja dan kepuasan kerja berdasarkan jenis kelamin berbasis pada paradigma masyarakat dan sosial budaya atau terkait dengan status sosial perempuan di masyarakat, yang lebih rendah dibandingkan dengan status sosial kaum pria. Peneilitian yang dilakukan oleh Bojanić, berbeda dengan hasil penelitian dari Edrak et al (2013). Dalam penelitiannya ditemukan bahwa, motivasi diidentifikasi sebagai prediktor kepuasan kerja, dengan demikian,


(3)

jenis kelamin tidak dapat secara signifikan memengaruhi kepuasan kerja dari karyawan. Dalam penelitiannya, Edrak mengemukakan juga bahwa ketika perusahaan dapat menjaga kekuatan kepuasan kerja karyawannya, maka setiap karyawan baik laki-laki maupun perempuan akan terlibat dalam pekerjaan, sehingga pekerjaan yang dilakukan oleh setiap karyawan, dilakukan dengan penuh kesungguhan.

Selain hubungan antara motivasi kerja dan jenis kelamin terhadap kepuasan kerja yang penting untuk dilihat terkait dengan penelitian ini, hubungan antara budaya organisasi dan jenis kelamin terhadap kepuasan kerja juga penting untuk dilihat. Lok & Crawford (dalam, Belias & Koustelios) dalam suatu kesempatan mengungkapkan bawa, saat membicarakan tentang karakteristik demografi, Perbedaan yang signifikan secara statistik tentunya akan ditemukan mengenai efek dari jenis kelamin terhadap kepuasan kerja. Hal ini dikarenakan, karakteristik demografi khususnya jenis kelamin dianggap memiliki efek yang positif terhadap kepuasan kerja karyawan. Dengan demikian, jika budaya organisasi tertentu cenderung memengaruhi kepuasan kerja karyawan, maka jenis kelaminpun turut memengaruhi kepuasan kerja karyawan. Lebih lajut dalam penelitian ini juga disimpulkan bahwa, dilihat dari budaya organisasi yang menuntut persaingan yang kompetitif antara karyawan laki-laki dan perempuan, maka kepuasan kerja, sebagai hasil dari budaya organisasi yang kompetitif, juga akan dipengaruhi oleh jenis kelamin dari setiap karyawannya.

Mengingat kepuasan kerja merupakan hal yang penting dalam suatu organisasi sebagaimana telah dijelaskan pada bab ini, dimana dengan menciptakan kepusan kerja dapat meningkatkan produktifitas karyawan yang juga turut menentukan kemajuan suatu organisasi. Dari


(4)

penjelasan terebut, sebagai organisasi gereja, GPI Papua klasis Fakfak terlihat mengalami masalah dalam hal kepuasan kerja, sedangkan kepuasan kerja itu dapat dipengaruhi oleh motivasi kerja, budaya organisasi dan jenis kelamin, sebagaimana telah dijelaskan oleh penelitian-penelitian terdahulu. Dari hasil penelitian terdahulu telah menyelidiki faktor-faktor tersebut secara terpisah, untuk itu penulis tertarik untuk meneliti faktor-faktor tersebut secara bersamaan dalam konteks yang berbeda. Maksud dari ketertarikan penulis ini adalah, untuk melihat hubungan motivasi kerja dan budaya organisasi terhadap kepuasan kerja ditinjau dari jenis kelamin pendeta GPI Papua klasis Fakfak.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Apakah ada hubungan secara simultan antara motivasi kerja dan budaya organisasi terhadap kepuasan kerja ditinjau dari jenis kelamin pada pendeta Gereja Protestan Indonesia (GPI) di Papua Klasis Fakfak?.

Adapun petanyaan penelitian yang di ajukan antara lain sebagai berikut :

1. Apakah ada hubungan antara motivasi kerja dan budaya organisasi terhadap kepuasan kerja pada pendeta Gereja Protestan Indonesia (GPI) di Papua Klasis Fakfak?

2. Apakah ada pengaruh interaksi antara motivasi kerja dan jenis kelamin terhadap kepuasan kerja pada pendeta Gereja Protestan Indonesia (GPI) di Papua Klasis Fakfak?


(5)

3. Apakah ada pengaruh interaksi antara budaya organisasi dan jenis kelamin terhadap kepuasan kerja pada pendeta Gereja Protestan Indonesia (GPI) di Papua Klasis Fakfak?

4. Apakah ada perbedaan kepuasan kerja ditinjau dari jenis kelamin pendeta Gereja Protestan Indonesia (GPI) di Papua Klasis Fakfak.

1.3Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan moivasi kerja dan budaya organisasi terhadap kepuasan kerja pada pendeta Gereja Protestan Indonesia (GPI) di Papua Klasis Fakfak. Adapun tujuan secara rinci dalam penelitian ini yaitu untuk mengetahui:

1. Hubungan antara motivasi kerja dan budaya organisasi terhadap kepuasan kerja pada pendeta Gereja Protestan Indonesia (GPI) di Papua Klasis Fakfak?

2. Pengaruh interaksi antara motivasi kerja dan jenis kelamin terhadap kepuasan kerja pada pendeta Gereja Protestan Indonesia (GPI) di Papua Klasis Fakfak?

3. Pengaruh interaksi antara budaya organisasi dan jenis kelamin terhadap kepuasan kerja pada pendeta Gereja Protestan Indonesia (GPI) di Papua Klasis Fakfak

4. Perbedaan kepuasan kerja ditinjau dari jenis kelamin pendeta Gereja Protestan Indonesia (GPI) di Papua Klasis Fakfak


(6)

1.4Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan dua kontribusi. Kontribusi pertama adalah kontribusi teori dan kotribusi kedua adalah kontribusi praktis

1. Secara teori, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu bukti empiris bahawa teori-teori motivasi kerja dan budaya organisasi memiliki atau tidaknya hubungan terhadap kepuasan kerja, bisa di terapkan didalam organisasi gereja. Hasil penelitian ini juga dapat dijadikan sebuah informasi, referensi dan pertimbangan bagi penelitian selanjutnya.

2. Kedua, kontribusi praktis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi gereja terkait pentingnya mengetahui hasil kepuasan kerja pendeta dan memiliki atau tidaknya kepuasan kerja pendeta pada organisasi dimana dia bekerja. Selanjutnya dapat memberikan pengaruh terhadap pendeta dalam meningkatkan kinerjanya di lapangan.


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan Motivasi Kerja dan Budaya Organisasi dengan Kepuasan Kerja Ditinjau dari Jenis Kelamin Pendeta GPI Papua Klasis Fakfak T2 832012003 BAB II

1 11 43

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan Motivasi Kerja dan Budaya Organisasi dengan Kepuasan Kerja Ditinjau dari Jenis Kelamin Pendeta GPI Papua Klasis Fakfak T2 832012003 BAB IV

0 0 27

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan Motivasi Kerja dan Budaya Organisasi dengan Kepuasan Kerja Ditinjau dari Jenis Kelamin Pendeta GPI Papua Klasis Fakfak T2 832012003 BAB V

0 0 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan Motivasi Kerja dan Budaya Organisasi dengan Kepuasan Kerja Ditinjau dari Jenis Kelamin Pendeta GPI Papua Klasis Fakfak

0 2 19

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan Motivasi Kerja dan Budaya Organisasi dengan Kepuasan Kerja Ditinjau dari Jenis Kelamin Pendeta GPI Papua Klasis Fakfak

0 0 30

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perbedaan Penyesuaian Diri pada Pendeta Baru Ditinjau dari Jenis Kelamin

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perbedaan Penyesuaian Diri pada Pendeta Baru Ditinjau dari Jenis Kelamin

0 0 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perbedaan Perilaku Cybersex Ditinjau dari Jenis Kelamin

0 0 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Mutasi Pendeta-Pendeta di GKPB Ditinjau dari Manajemen Gerejawi T1 712007015 BAB I

0 1 11

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perbedaan Kestabilan Emosi Ditinjau dari Jenis Kelamin

0 0 12