Mengharamkan Pengemis.

Pikiran Rakyat
o Selasa
4~7
20

21

o Mar

OApr

.

0

22
OMei

"" -.-"H'_.' ,_"

', _fu'-#_.","'


0

Rabu

8
23

Kamis

0

9
10
24
25

OJun

OJul


___,

Jumat

11

. Sabtu
o Minggu
12

26

27

0 Ags 8Sep

13
28
OOkt


14

15
29
ONov

16
30

ODes

Mengharaml(.an Pengemis
Oleh SOEROSO DASAR
Ben hamba sedekah tuan
Belum makan dan pagi
Tolonglah hamba wahai tuan
Seteguk air sesuap nasi
(Ali Hasymi)


D

I atas tadi penggalan
sajak pujangga besar
dari Aceh pada zamannya bernama Ali Hasymi yang
harns penolis hafal dalam mata
pelajaran bahasa ketika masih
sekolah dasar di Banda Aceh.
Sajak itu harus dibacakan di
depan kelas, dan diawasi oleh
ibu guru. Apabila tidak hafal,
ganjaran akan muncol. Prof. A1i
Hasymi, pujangga besar itu tak
lama kemudian menjadi Gubernur Aceh. "Roh" yang tersirat dari bait-bait sajak tersebut
adalah bagaimana kita berempati kepada kaum fakir miskin,
duafa, dan mustad'afin yang
sangat membutuhkan uluran
tangan sesama Muslim. Pada
waktu itu, dengan mata telanjang mudah sekali kita mendeteksi siapa sebenarnya tetangga
ataupun masyarakat yang tergolong miskin. Bukankah bila

kita menyia-nyiakan anak yatim dan orang miskin dalam
AIquran dianggap sebagai pen7
dusta agama?
Kini puluhan tahun sudah
berlalu, persoalan kaum miskin
kembali terungkap ke permukaan setelah fatwa Majelis Ulama Slimenep Madura mengatakan bahwa pengemis itu haram. Gayung pun bersambut,
dan ternyata pro dan kontra
pun muncul menanggapi fatwa
tersebut. Persoalan haramnya
pengemis semakin memanas
tatkala pemerintah DKI Jakarta menjatuhkan hukuman kepada mereka yang memberikan
sedekah kepada pengemis di
persimpangan jalan. Bukan
konteks haramnya mengemis
menurut pemda sele.pJ>at,te~- _

,
,yang
~.
pi perilaku memberikan sedekah di persimpangan jalan

yang merupakan acuan dari
hukuman itu. Tetapi paling tidak upaya mengerdilkan pengemis di persimpangan jalan
(selama Ramadan) sebagai
shock therapy terasa ampuh.
Uhatlah di persimpangan jalan
di Kota Bandung yang biasanya
setiap Ramadan begitu banyak
pengemis mangkal di sana dengan berbagai cara mempertontonkan kemiskinannya, belakangan ini molai berkurang.
Secara tersirat, mengharamkan pengemis atau pemintaminta sudah lama dikemukakan dan ditulis oleh kiai kondang dari Bandung, Abdullah
Gymnastiar atau dikenal dengan Aa Gym. Dalam bukunya
Malu Jadi Benalu jelas dikatakan, sedekah yang diberikan
kepada mereka yang sebenarnya masih kuat untuk bekeIja
adalah tidak layak atau haram.
Mungkin banyak juga ulama
yang sependapat bahwa memberikan sedekah kepada mereka di persimpangan jalan adalah sama saja dengan menjerumuskan mereka untuk menjadi
orang malas. Tetapi kini masalah itu menjadi polemik_dan ~

wacana di berbagai tempat, terutama dalam menafsirkan fatwa Majelis Ulama tadi. Sebenarnya, ada hadis Rasulullah
yang mengatakan, "Apabila
umatku sudah molai memintaminta tanpa ikhtiar, tunggu saja kemiskinan akan teIjadi pada dirinya." Apabila disimak lebih jauh, sangatlah tepat bila

kita telaah lebih mendalam tentang fatwa haram dari pekeIjaan menjadi pengemis. Bahkan,
berkali-kali Rasolullah menunjukkan bagaimana Islam mengagungkan etos keIja dan ikhtiar
untuk menjalani kehidupan di
atas dunia.
Potret pengemi~ saat ini sudah sangat berbeda dengan apa
pernah ditulis A1iHasymi.
Di simpangjalan di Kota Bandung, Jawa Barat, mungkinjuga di seluruh Indonesia, potret
pengemis yang benar-benar
miskin dan wajib dibantu dengan mereka yang berpura-pura jadi pengemis untuk dijadikan mata pencaharian sulit dibedakan. Melalui tayangan televisi, terlihat bagaimana megahnya kampung pengemis
yang mencengangkan kita di
daerah Sumenep, Madura. Bisa
jadi kasus serupa teIjadi di Kota Bandung, Jawa Barat, atau
daerah lainnya. Dahulu disinyalir di kawasan Sukajadi
Bandung juga terdapat perkampungan pengemis yang dikoordinasi secara rapi dengan
tingkat kehidupan yang cukup
lumayan. Ramadan bolan yang
penuh berkah dan ampunan
itu, sering dijadikan momenturn untuk mengembangkan
kegiatan mengemis, sehingga
popolasinya terus meningkat.

Secara teori, orang miskin sebenarnya dapat. dibagi dua.
Pertama, mereka yang miskin
secara kultural. Miskin secara
kultural adalah mereka yang
memang tidak mampu mengangkat kehidupan karena keterbatasan fisiknya untuk bisa
hi