Materi Sosiologi SMA Kelas XII (Beberapa Perspektif Perubahan Sosial)

Materi Sosiologi SMA Kelas XII (Beberapa Perspektif Perubahan Sosial)
A. Beberapa Perspektif Perubahan Sosial
Pada bagian ini, kita akan mempelajari suatu perubahan sosial dilihat dari beberapa perspektif
atau sudut pandang yang pernah dilakukan oleh para ahli sosiologi dan ilmu-ilmu humaniora.
Dari beberapa perspektif itu, akhirnya melahirkan beberapa teori yang diyakini sebagai dasar
berpijaknya para ilmuwan untuk mengungkapkan perjalanan perubahan sosial dalam masyarakat.
Untuk lebih jelasnya, marilah kita simak beberapa teori yang diungkapkan oleh para ahli tersebut
sebagai buah perspektif mereka dalam melihat perubahan sosial dalam masyarakat.
1. Perspektif Evolusi
Perspektif ini pada dasarnya berpijak pada perubahan yang memerlukan waktu yang cukup lama
atau proses yang cukup panjang. Dalam proses tersebut terdapat beberapa tahapan yang harus
dilalui untuk mencapai perubahan yang diinginkan.
Dari perspektif ini akhirnya melahirkan bermacam-macam teori tentang evolusi. Teori tersebut
adalah unilinear theories of evolution, universal theories of evolution, dan multilined theories of
evolution.
a. Unilinear Theories of Evolution
Teori ini berpendapat bahwa manusia dan masyarakat, termasuk kebudayaannya akan mengalami
perkembangan sesuai dengan tahapan-tahapan tertentu dari bentuk yang sederhana ke bentuk
yang kompleks, dan akhirnya sempurna. Pelopor teori ini di antaranya adalah Auguste Comte
dan Herbert Spencer.
b. Universal Theories of Evolution

Teori ini menyatakan bahwa perkembangan masyarakat tidak perlu melalui tahap-tahap tertentu
yang tetap. Menurut Herbert Spencer, prinsip teori ini adalah bahwa masyarakat merupakan hasil
perkembangan dari kelompok homogen menjadi kelompok yang heterogen.
c. Multilined Theories of Evolution

Teori ini lebih menekankan pada penelitian terhadap tahap-tahap perkembangan tertentu dalam
evolusi masyarakat. Misalnya melakukan penelitian tentang perubahan pola hidup dari
masyarakat tradisional yang memiliki pola pikir religio-magic ke masyarakat industri yang
memiliki pola pikir realistis-praktis.
Paul B. Horton dan Chester L. Hunt berpendapat bahwa ada beberapa kelemahan dalam Teori
Evolusi yang perlu mendapat perhatian, di antaranya adalah sebagai berikut.
a. Data yang menunjang penentuan tahapan-tahapan dalam masyarakat menjadi sebuah
rangkaian tahapan seringkali tidak cermat. Dengan demikian tahap perkembangan suatu
masyarakat ditentukan sesuai dengan tahapan yang paling cocok dengan teori ini.
b. Urut-urutan dalam tahap-tahap perkembangan tidak sepenuhnya tegas, karena ada beberapa
kelompok masyarakat yang mampu melampaui tahapan tertentu dan langsung menuju pada tahap
berikutnya, dengan kata lain melompati suatu tahapan. Sebaliknya, ada pula kelompok
masyarakat yang justru berjalan mundur, tidak maju seperti yang diinginkan oleh teori ini.
c. Pandangan yang menyatakan bahwa perubahan sosial akan berakhir pada puncaknya ketika
masyarakat telah mencapai kesejahteraan dalam arti yang seluas-luasnya, sepertinya perlu

ditinjau ulang. Hal ini karena jika perubahan memang merupakan sesuatu yang konstan, ini
berarti bahwa setiap urutan tahapan perubahan akan mencapai titik akhir.
2. Perspektif Konflik
Perspektif ini menjelaskan bahwa pertentangan atau konflik bermula dari pertikaian kelas antara
kelompok yang menguasai modal atau pemerintahan dengan kelompok yang tertindas secara
materiil, sehingga akan mengarah pada perubahan sosial. Sumber yang paling penting dalam
perubahan sosial menurut perspektif ini adalah konflik kelas sosial di dalam masyarakat.
Perspektif ini memiliki prinsip bahwa konflik sosial dan perubahan sosial merupakan dua hal
yang selalu melekat pada struktur masyarakat.
Perspektif ini menilai bahwa sesuatu yang konstan atau tetap ada dalam suatu masyarakat adalah
konflik sosial, bukan perubahan sosial. Mengapa? Karena perubahan hanyalah akibat dari adanya
konflik sosial yang terjadi di masyarakat. Mengingat konflik berlangsung terus-menerus, maka

perubahan juga akan mengikutinya. Dua tokoh yang pemikirannya menjadi pedoman dalam
perspektif konflik ini adalah Karl Marx dan Ralf Dahrendorf.
Secara umum, perspektif konflik berpandangan bahwa perubahan sosial di masyarakat terjadi
karena faktor-faktor berikut ini.
a. Setiap masyarakat terus-menerus berubah.
b. Setiap komponen masyarakat biasanya menunjang perubahan masyarakat.
c. Setiap masyarakat biasanya berada dalam ketegangan dan konflik.

d. Kestabilan sosial akan tergantung pada tekanan terhadap golongan yang satu oleh golongan
yang lainnya.

3. Perspektif Fungsionalis
Konsep yang berkembang dari perspektif ini adalah cultural lag (kesenjangan budaya). Konsep
ini mendukung perspektif fungsionalis untuk menjelaskan bahwa pada dasarnya perubahan sosial
itu tidak lepas dari hubungan antara unsur-unsur kebudayaan dalam masyarakat. Menurut
perspektif ini, beberapa unsur kebudayaan bisa saja berubah dengan sangat cepat, sementara
unsur yang lainnya berubah sangat lambat, sehingga tidak dapat mengikuti kecepatan perubahan
unsur yang berjalan sangat cepat tersebut. Unsur yang berubah sangat cepat umumnya yang
berhubungan dengan kebudayaan materiil, sedangkan unsur yang berubah secara perlahan atau
lambat adalah unsur yang berhubungan dengan kebudayaan nonmateriil. Dengan demikian, yang
terjadi adalah keterting- galan unsur yang berubah secara perlahan tersebut. Akibatnya muncul
kesenjangan sosial dalam masyarakat atau yang dikenal dengan istilah cultural lag.
Misalnya pengrusakan terhadap telepon umum. Telepon umum sebagai fasilitas umum sangat
efektif untuk melakukan komunikasi, sehingga sudah selayaknyalah dirawat dan dijaga.
Kenyataannya, banyak telepon umum yang justru dirusak oleh masyarakat. Kenyataan ini
menunjukkan bahwa dalam masyarakat terjadi cultural lag, di mana alam pikiran manusia
(nonmateriil) tidak mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan atau kemajuan teknologi
(materiil).


Para penganut perspektif ini lebih menerima perubahan sosial sebagai sesuatu yang konstan dan
tidak memerlukan penjelasan. Perubahan dianggap sebagai suatu hal yang mengacaukan
keseimbangan masyarakat. Proses pengacauan ini berhenti pada saat perubahan itu telah
diintegrasikan dalam kebudayaan. Apabila perubahan itu ternyata bermanfaat maka dapat
dikatakan bahwa perubahan itu bersifat fungsional dan akhirnya diterima oleh masyarakat, tetapi
jika terbukti disfungsional atau tidak bermanfaat, maka perubahan itu akan ditolak. Tokoh dari
perspektif ini adalah William Ogburn.
Pandangan perspektif fungsionalis dalam melihat suatu perubahan sosial dalam masyarakat
adalah sebagai berikut.
a. Setiap masyarakat relatif bersifat stabil.
b.Setiap komponen masyarakat biasanya menunjang kestabilan masyarakat.
c. Setiap masyarakat biasanya relatif terintegrasi.
d. Kestabilan sosial sangat tergantung pada kesepakatan bersama (konsensus) di kalangan
anggota kelompok masyarakat.

4. Perspektif Siklis
Menurut perspektif ini, suatu perubahan sosial itu tidak dapat dikendalikan sepenuhnya oleh
siapapun dan oleh apapun. Hal ini karena dalam setiap masyarakat sudah terdapat perputaran
atau siklus yang harus diikutinya. Perspektif ini berpandangan bahwa kebangkitan dan

kemunduran suatu kebudayaan atau kehidupan sosial merupakan hal yang wajar dan tidak dapat
dihindari. Oleh karena itu tidak menutup kemungkinan suatu perubahan sosial itu akan
membawa kemunduran, atau sebaliknya perubahan sosial akan membawa ke arah yang lebih
baik.
Adapun beberapa bentuk Teori Siklis yang lahir dari perspektif ini adalah sebagai berikut.
a. Teori Oswald Spengler (1880–1936)

Menurut Spengler, setiap peradaban besar itu mengalami proses pentahapan mulai dari kelahiran,
pertumbuhan, dan akhirnya keruntuhan. Proses siklus ini memakan waktu sekitar seribu tahun.
b. Teori Pitirim A. Sorokin (1889–1968)
Dalam teorinya, Sorokin berpendapat bahwa semua peradaban besar itu berada dalam siklus tiga
sistem kebudayaan yang berputar tanpa akhir. Siklus tiga sistem kebudayaan ini adalah sebagai
berikut.
1) Kebudayaan ideasional, yaitu kebudayaan yang didasari oleh nilai-nilai dan kepercayaan
terhadap kekuatan supranatural.
2) Kebudayaan idealistis, yaitu kebudayaan di mana kepercayaan terhadap unsur adikodrati
(supranatural) dan rasionalitas yang berdasarkan fakta bergabung dalam menciptakan masyarakat
ideal.
3) Kebudayaan sensasi, yaitu kebudayaan di mana sensasi merupakan tolok ukur dari kenyataan
dan tujuan hidup.

c. Teori Arnold Toynbee (1889–1975)
Peradaban besar menurut pandangan Toynbee berada dalam siklus kelahiran, pertumbuhan,
keruntuhan, dan akhirnya kematian. Beberapa peradaban besar menurut Toynbee telah
mengalami kepunahan, kecuali peradaban Barat yang dewasa ini beralih menuju ke tahap
kepunahannya.