MUGYOUSHA: FENOMENA GENERASI PENGANGGURAN TERBUKA DI JEPANG TAHUN 1990 - 2003.
SKRIPSI
diajukan untuk memenuhi sebagian syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Sejarah
oleh
Heryati Puspitasariningsih NIM 0906458
DEPARTEMEN PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
(2)
DI JEPANG TAHUN 1990 - 2003
disetujui dan disahkan oleh pembimbing : Pembimbing I
Dr. Agus Mulyana, M.Hum. NIP. 19660808 199103 1 002
Pembimbing II
Dra. Lely Yulifar, M. Pd. NIP. 19641204 199001 2 002
Mengetahui,
Ketua Departemen Pendidikan Sejarah
Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Pendidikan Indonesia
Dr. Agus Mulyana, M.Hum. NIP. 19660808 199103 1 002
(3)
Skripsi ini berjudul “Mugyousha: Fenomena Generasi Pengangguran Terbuka di
Jepang Tahun 1990-2003”. Masalah utama yang dibahas dalam skripsi ini adalah mengenai Bagaimana Eksistensi Mugyousha sebagai Pengangguran Terbuka bisa Berkembang di Jepang. Masalah utama tersebut kemudian dibagi menjadi 4 pertanyaan penelitian, yaitu 1) Bagaimana latar belakang kemunculan fenomena
Mugyousha di Jepang, 2) Bagaimana perkembangan fenomena Mugyousha di Jepang
pada tahun 1990-2002, 3) Bagaimana dampak yang ditimbulkan fenomena
Mugyousha terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat Jepang yang terjadi tahun
2002-2003, dan 4) Bagaimana kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah Jepang untuk mengatasi perkembangan Mugyousha pada tahun 2003. Skripsi ini menggunakan metode historis dengan menggunakan empat langkah penelitian, yaitu heuristik sebagai upaya pencarian sumber, kritik terhadap sumber, interpretasi atau analisis terhadap sumber, dan historiografi atau penulisan. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa fenomena kemunculan Mugyousha disebabkan oleh faktor internal, yakni pecahnya gelembung ekonomi akibat kredit macet yang terjadi di Bank Jepang pada tahun 1990. Besarnya dampak yang ditimbulkan dari pecahnya gelembung ekonomi menyebabkan beberapa perusahaan terpaksa tidak beroperasi dan berdampak pada semakin sedikitnya bursa kerja yang ditawarkan kepada angkatan kerja muda. Menariknya, ketika kondisi ekonomi Jepang sudah kembali membaik memasuki tahun 1997-an, jumlah angka pengangguran tidak mengalami penurunan. Dari hasil penelitian ternyata ditemukan ada beberapa alasan angkatan kerja muda menolak untuk memasuki dunia kerja, diantaranya karena sebagian dari mereka mengalami trauma akibat lamaran kerjanya yang terus-menerus ditolak, sedangkan yang lainnya sudah merasa nyaman dengan kondisinya sebagai pengangguran. Situasi angkatan kerja muda yang berusia 15-35 tahun dan menolak untuk bekerja ini kemudian dikenal masyarakat Jepang dengan sebutan Mugyousha. Para pelaku Mugyousha ini telah menimbulkan berbagai dampak sosial dan ekonomi bagi Jepang, dimulai dengan dilanggarnya nilai tradisional on dan giri untuk melaksanakan ninjo, berkembangnya perilaku hikikomori, parasite single, dan otaku, munculnya trend untuk jadi pekerja paruh waktu (freeter), dan semakin sedikitnya pajak pensiun yang tersedia di kas pemerintahan Jepang. Fenomena Mugyousha kemudian dianggap sebagai permasalahan nasional di Jepang pada tahun 2003 terutama setelah angka-angka natalitas juga mengalami penurunan. Munculnya fenomena ini menjadi hal menarik terutama jika melihat bahwa kondisi Mugyousha
yang „menganggur‟ berada di tengah-tengah masyarakat Jepang yang dikenal
sebaggai bangsa yang „pekerja keras‟.
Kata Kunci: Mugyousa, Pengangguran Terbuka, Jepang, Gelembung Ekonomi, Kredit Macet, Bursa Kerja, Angkatan Kerja Muda, Nilai Tradisional.
(4)
The research titled “Mugyousha: Fenomena Generasi Pengangguran Terbuka di Jepang Tahun 1990-2003”. The main question of the research is How Mugyousha as open unemployment could get existence and develop in Japan. Afterwards its divided into 4 other research questions, that are 1) What kind of situation that become a background of Mugyousha’s appear in Japan, 2) What kind of development that Mugyousha has during 1990-2002, 3) What kind of influence that Mugyousha gives to Japanese in social economic situation during 2002-2003, and 4) What kind of government’s policies that Japanese do to solve Mugyousha in 2003. The research used historic method that has four steps, stand of heuristic which fill of sources search, critic to criticize the sources, interpretation to construe and make an analysis from the sources, and historiography to write of all the result. The result of the research show that internal factor become the right reason of Mugyousha’s existence in Japan, it is happen especially after the bubble economy get smashed caused of the credit stuck in Bank of Japan at 1990. The impact of it feels so huge and makes some business collapsed until wrought out the job stock exchange slightly for the freshman graduates as a side effect. The situations become more interesting in 1997s while the economic Japan success to tidy up but the number of unemployment does not decrease. The result of government’s research says that there is a couple of reason that make the young generation refuse to get a work, such as a traumatic because of his/her application kept on pushed away or even, obviously that he/she has been feeling comfortable with his/her situation. The young generation age aroung 15-35 that refused to work then known as Mugyousha in Japan. The existence of Mugyousha has made many influences in social and economic sector in Japan. In social sector, not only Mugyousha has broken the traditional norms like on and giri to choose ninjo, but also it has made negative behavior among the young generation like hikikomori, parasite single, and otaku. In economic sector, Mugyousha rather influence to increase the number of part timer (freeter) and decrease the amount of pension fund. In 2003, the government of Japan decided that Mugyousha become the highest priority problem that should to solve immediately, especially after they discover the decreases of number of birth rate. The existence of Mugyousha who jobless become more and more interesting because it has been appear among the Japanese who known as the workaholic.
Key Words: Mugyousa, open unemployment, Japan, Bubble Economy, Credit Stuck, Job Stock Exchange, Young Generation, Traditional Norms.
(5)
DAFTAR ISI
ABSTRAK ...i
UCAPAN TERIMA KASIH ...iii
KATA PENGANTAR...v
DAFTAR ISI ...vi
DAFTAR GAMBAR ...viii
DAFTAR TABEL ...ix
DAFTAR LAMPIRAN ...x
BAB I PENDAHULUAN ...1
A. Latar Belakang Penelitian...1
B. Identifikasi dan Perumusan Masalah Penelitian ...8
C. Tujuan Penelitian ...9
D. Metodologi Penelitian...9
E. Manfaat/Signifikansi Penelitian ...10
F. Struktur Organisasi Skripsi ...12
BAB II KAJIAN PUSTAKA ...14
A. Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat Jepang. ...16
B. Mugyousha: Fenomena Generasi Pengangguran Terbuka di Jepang ...25
C. Nilai-Nilai Tradisional yang Dipatuhi Bangsa Jepang...31
D.Teori ...34
1. Teori Teknologi dan Ketinggalan Budaya ...34
2. Teori Konflik ...37
BAB III METODE PENELITIAN ...41
A.Metode Penelitian...41
B. Persiapan Penelitian ...46
C. Pelaksanaan Penelitian ...50
(6)
E. Laporan Penelitian ...59
BAB IV EKSISTENSI MUGYOUSHA SEBAGAI KEBANGKITAN GENERASI PENGANGGURAN TERBUKA DI JEPANG TAHUN 1990-2003...61
A. Latar Belakang Munculnya Fenomena Mugyousha tahun 1945-1990 ...63
1. Recovery Economy oleh Jenderal Doughlas Mac Arthur (1945-1952) ...63
2. Keajaiban Ekonomi Jepang tahun 1953-1970 ...69
3. Krisis Ekonomi Jepang tahun 1971-1990 ...75
B. Perkembangan Fenomena Mugyousha Tahun 1990-2002 ...82
1. Mengenal Kemunculan Generasi Mugyousha Pertama Tahun 1990-1997 ...85
2. Hilangnya Tenaga Kerja Jepang pada Tahun 1998-2002 ...96
C. Dampak Fenomena Mugyousha Tahun 2002-2003...101
1. Menguatnya Perilaku Hikikomori sampai Terjadinya Jisatsu...103
2. Perkembangan Dunia Otaku ...106
3. Dari Freeter sampai Parasite Single ...107
4. Isu Dana Pensiun ...110
D. Program Pemerintah Jepang Mengatasi Mugyousha Tahun 2003 ...112
1. Program Job Café...113
2. Program Pendidikan Karir (Kyaria Kyouiku) ...114
3. Program Sodateage Net...115
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ...116
A. Simpulan ...116
B. Saran ...118
(7)
DAFTAR GAMBAR
Gambar 4.1. Annual Increases or Decreases in Regular Employees and
Part-time or Temporary Workers...87
Gambar 4.2. Alasan Masyarakat Jepang Berhenti Mencari Pekerjaan...88
Gambar 4.3. Definition used in “Labor Force Survey” and Wher “Jobless Youth” Fall Into ...89
Gambar 4.4. Sumber Penghasilan Shitsugyousha dan Mugyousha (dalam persen) ...93
Gambar 4.5. Jenis Pekerjaan yang Disukai Generasi Muda...95
Gambar 4.6. Alasan Wanita Jepang Menunda Pernikahannya...99
Gambar 4.7. Birth, Deaths, and the Over-65 Population in Japan...100
Gambar 4.8. The Ratio of Academic Qualifications of Regular Workers, Temporary Workers (Freeter) and Other (NEET) (Data from ESS2002) ...101
Gambar 4.9. Perkembangan Freeter di Jepang...108
Gambar 4.10. Perbandingan Usia Penduduk Jepang dalam Kaitannya dengan Dana Pensiun ...110
(8)
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1. Perubahan Perekonomian Jepang oleh SCAP...67 Tabel 4.2. Penghasilan selama Pemesdsanan Perbekalan Amerika pada
Perang Korea (dalam ribuan dollar) ...68 Tabel 4.3. Bagian dari Sepuluh Perusahaan Niaga Teratas dalam
Perdagangan Luar Negeri dalam Tahun 1950-an ...70 Tabel 4.4. Minat Masyarakat Jepang terhadap Sekolah ...77 Tabel 4.5. Compositions of Employed and Non-Employed, Unmarried
Youths Aged 15-34 Who Do Not Attend School ...90
Tabel 4.6. Proportion of Annual Househols Income by Jobless Youth Type
(Per cent) ...92
Tabel 4.7. Independent Variable and the Percentage of Total Jobless Youths
(Those Unmarried and Aged 15-34 Who Do Not Attend School
in 2002)...97
(9)
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Peta Jepang ...127
Lampiran 2. Peta Industri Jepang ...128
Lampiran 3. Contoh Pelaku Mugyousha ...129
Lampiran 4. Contoh Suasana Kamar Pelaku Hikikomori ...130
Lampiran 5. Contoh Suasana Kamar Pelaku Otaku...131
Lampiran 6. Contoh Freeter di Akihabara Jepang ...132
Lampiran 7. Contoh Suasana Pelatihan Kerja di Sodateage.net ...133
(10)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Generasi muda adalah generasi penerus harapan bangsa atau dikenal juga dengan sebutan the leader of tomorrow. Penyebutan istilah ini tidak terlepas dari fakta bahwa generasi muda adalah penerus yang akan menentukkan nasib bangsa dan negaranya di masa yang akan datang, akan „dibentuk‟ menjadi developing country
atau under developing country. Selama ini generasi muda dipandang sebagai pribadi yang memiliki kekuatan fisik dan pola berpikir yang sangat produktif, maka sebagai penerus bangsa, generasi muda diharapkan memiliki kemampuan untuk selalu mengembangkan berbagai kompetensi yang dimiliki oleh dirinya.
Di dalam perkembangan sejarah bangsa Jepang telah tampak jelas peran aktif generasi muda untuk memajukan bangsa dan negaranya. Pada era Meiji misalnya, generasi muda Jepang telah banyak memperlihatkan hasrat kuat untuk membangun masyarakat yang progresif (Pyle, 1988, hlm. 33), begitupun generasi muda Jepang yang hidup di akhir masa pendudukan Sekutu, mereka telah berperan aktif untuk melaksanakan berbagai perubahan yang luar biasa di bidang teknologi dan industri yang hasilnya dapat dinikmati hingga sekarang. Perkembangan-perkembangan tersebut dapat dicapai karena muncul sikap inisiatif dan kemantapan diri di dalam generasi muda Jepang untuk selalu belajar dan bekerja dengan baik. Hasil yang paling luar biasa yang diciptakan generasi muda Jepang adalah kondisi negaranya yang dapat kembali normal setelah 20 tahun berlalu sejak kekalahan Jepang pada Perang Dunia II (1 September 1939-2 September 1945) yang mengakibatkan Jepang berada dalam kondisi terpuruk dan selama terjadinya pendudukan Sekutu (1945-1952) (Susilo, 2009, hlm. 12).
Dengan berakhirnya pendudukan Sekutu di Jepang melalui penandatanganan perjanjian perdamaian San Francisco pada bulan September 1951, perekonomian Jepang mulai kembali normal. Normalnya perekonomian tersebut sebenarnya tidak
(11)
terlepas dari faktor campur tangan kebijakan Jenderal MacArthur selama pendudukan Amerika di Jepang, yang tujuannya untuk menghilangkan sifat Ultra-nasionalisme dan Militerisme dari bangsa Jepang (Mattulada, 1979, hlm. 187-188).
Beragam perusahaan besar maupun perusahaan kecil mulai mampu beroperasi kembali secara aktif. Kondisi seperti ini sangat menguntungkan bagi anak-anak muda Jepang yang saat itu baru saja lulus dari sekolah formal mereka. Hampir seluruh pemuda Jepang yang baru lulus mampu mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan minat mereka. Hal ini menyebabkan lapangan pekerjaan yang disediakan pemerintah mampu terpenuhi dengan jumlah angkatan kerja yang sesuai dengan kebutuhannya. Senada dengan pendapat Oshima (1981, hlm. 7):
Di Jepang,… tingkat pengangguran “terbuka” boleh dikatakan rendah, barangkali di bawah 5% dari angkatan kerja.... Pada awal tahun 1960-an, tingkat pengangguran “terbuka” turun demikian rendahnya sehingga keadaan ekonomi bekerja penuh sudah tercapai kelihatannya beberapa tahun yang lalu. Indeks harga konsumen terus menanjak, terutama harga jasa yang tidak bisa diimpor. Upah nyata buruh kasar, terutama golongan terendah terus naik, seirama dengan semakin berkurangnya buruh kasar.
Terpenuhinya jumlah angkatan kerja di Jepang menyebabkan tingkat kemakmuran masyarakatnya juga semakin membaik dan mampu hidup dengan lingkungan yang lebih modern. Banyak pandangan menilai bahwa dampak negatif dari kemunculan lingkungan dan pola hidup yang lebih modern akan menyebabkan nilai dan tradisi yang dimiliki suatu masyarakat akan terhapus secara alami, namun pandangan ini tampaknya tidak bisa berlaku sama di Jepang. Menjadi sesuatu yang menarik untuk mengetahui bahwa, walaupun kemajuan ekonomi Jepang telah berhasil membuatnya menjadi salah satu anggota negara paling maju di dunia sejak terjadinya keajaiban ekonomi pada tahun 1960-an, tapi kekuatan kecepatan impor teknologi mereka berjalan sama cepat dengan perkembangan impor kebudayaan dan telah menyebar di antara penduduk (Vogel, 1982, hlm. 35).
Bertahannya kepatuhan masyarakat terhadap nilai dan tradisi di Jepang di tengah-tengah arus modernisasi dapat dipahami dengan memperhatikan pola pengajaran yang penuh dengan pembatasan yang diberikan para orangtua terhadap anak-anak mereka. Gaya hidup tersebut dilakukan sejak dini dan dilakukan dalam
(12)
tahapan yang berkelanjutan hingga mencapai taraf usia dewasa. Tujuannya untuk membuktikan bahwa apapun yang diinginkan oleh anak tersebut bukanlah yang paling penting di dunia ini, sehingga anak akan terbiasa untuk tidak merajuk, tidak merengek, dan tidak menangis jika keinginannya tidak terpenuhi. Pembatasan ini dipandang sebagai salah satu jalan untuk melatih mental (shuyo) dan mendatangkan hasil-hasil yang bisa dicapai tanpa mementingkan keinginan pribadi (Benedict, 1982, hlm. 265-266).
Pembatasan yang dilakukan biasanya akan berjalan menuju tahapan-tahapan berikutnya, seiring dengan bertambahnya kewajiban yang harus ditanggung oleh setiap anggota masyarakat Jepang. Kewajiban ini biasanya disebut on dan sepanjang hidupnya orang Jepang akan menerima on dari orang lain. Cara membayar on atau kewajiban tersebut dapat dilakukan orang Jepang dengan melakukan gimu dan giri.
Gimu dan giri, keduanya memiliki konsep dan pengertian yang berbeda satu sama
lain. Bersumber pada pendapat Mattulada (1979, hlm. 285), menyatakan bahwa gimu adalah:
… sekumpulan kewajiban atau tugas yang dipunyai oleh seseorang semenjak kelahirannya sampai kepada kematiannya untuk dilakukan tanpa batas dan tanpa akhir. Kewajiban atau tugas kepada lingkungan keluarga dekat, kepada penguasa yang menjadi simbol negerinya, yang telah mengikat kesetiannya semenjak seseorang itu lahir dalam lingkungan keluarga dan bangsanya. Berbeda dengan gimu yang diuraikan Mattulada, Benedict (1982, hlm. 140-141) berpandangan bahwa konsep giri adalah yang paling berat untuk ditanggung jika dibandingkan dengan gimu. Hal ini karena dilihat dari proses pembayaran on atau kewajiban yang penuh dengan perasaan yang tidak nyaman dan proses perhitungan yang tepat jika on atau kewajiban tersebut akan dibayar melalui proses giri, yang jumlah pembayarannya harus disesuaikan dengan kebaikan yang telah diterima dan dilakukan dengan batas waktu tertentu. Bagi bangsa Jepang, kewajiban membayar
giri dan gimu harus selalu dipatuhi dan tidak boleh diacuhkan hanya karena perasaan
pribadi atau ninjo, yang biasanya datang secara tiba-tiba dan dapat menumbuhkan perasaan egois di dalam diri, sehingga dapat mengalahkan keinginan untuk membayar kewajiban atau on yang telah diterima dari orang lain.
(13)
Contoh pembayaran on atau kewajiban terberat yang dimiliki setiap anggota masyarakat Jepang adalah proses pembayaran terhadap negaranya sendiri, karena menurut bangsa Jepang, selama hidupnya mereka telah mendapat banyak sekali kebaikan dari negaranya. Kebaikan-kebaikan yang mereka terima dari negara tersebut, mereka anggap sebagai on yang harus dibayar dengan cara bekerja keras dan disiplin untuk kemajuan negaranya, baik dari aspek sosial, ekonomi, maupun politik. Pola hidup masyarakat Jepang yang dipenuhi dengan nilai-nilai tradisional seperti on,
giri¸dan gimu telah banyak mengakibatkan sisi positif dan negatif. Sisi positifnya,
terbukti nyata dengan kemajuan Jepang yang berhasil dicapai hingga saat ini, di sisi yang lain, pola hidup bangsa Jepang yang dipenuhi dengan berbagai tuntutan kewajiban sepanjang hidupnya juga telah mampu menjaga nilai dan tradisi masyarakat Jepang di tengah-tengah arus modernisasi ini. Sisi negatifnya adalah munculnya pola hidup sebagian besar masyarakat Jepang yang selalu menomersatukan pekerjaannya dibandingkan dengan kehidupan pribadinya, seperti kehidupan keluarga. Di Jepang, beberapa kali telah terdengar berita mengenai pekerja yang meninggal karena kelelahan bekerja. Berita-berita tersebut tampaknya menjadi bukti nyata betapa keras perjuangan hidup orang Jepang untuk membalas budi (on) yang telah mereka terima.
Di luar sisi positif dan negatif yang muncul akibat nilai-nilai budaya on, giri, dan gimu, dampak lain yang mulai terlihat muncul adalah kegelisahan yang mendalam di kalangan generasi muda bangsa Jepang dewasa ini (Reischauer, 1982, hlm. 194-195). Generasi muda yang gelisah tersebut mayoritas adalah mereka yang telah terbawa arus modernisasi, memiliki berbagai fasilitas dan teknologi yang sangat menunjang kehidupan mereka, dan orangtua yang mampu dan mau untuk memenuhi apapun keinginan anaknya. Kebiasaan orangtua Jepang dewasa ini yang dengan mudah memberikan kenyamanan kepada anak mereka didasari kepada pengalaman hidup mereka yang penuh dengan penderitaan dan kerja keras pasca Perang Dunia II (1939-1945), sehingga tidak ingin kehidupan yang pahit itu dapat dirasakan kembali oleh anaknya. Pola hidup yang telah dipengaruhi modernisasi ini akhirnya menimbulkan ketimpangan dan sikap hidup yang berbeda bagi generasi muda Jepang
(14)
berikutnya jika dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Sikap-sikap hidup yang berbeda tersebut di antaranya adalah sikap hedonis, individualis, dan kebiasaan untuk menutup diri dari realitas sosial yang popular dengan sebutan hikikomori, yang akhirnya dapat menyebabkan generasi muda saat ini tidak memiliki keberanian untuk hidup mandiri.
Berawal dari rasa gelisah yang diakibatkan pola hidup yang berbeda antara dirinya dengan masyarakat sekitarnya, generasi muda Jepang mulai mengalami puncak pola hidup yang destruktif. Hal ini ditandai dengan munculnya golongan pemuda yang berinisiatif menjadi pengangguran terbuka karena telah kehilangan gairah untuk beraktifitas, yang bahkan sampai kepada sikap tidak mau melakukan kegiatan apapun seumur hidupnya, seperti bersekolah ataupun bekerja, padahal mereka sudah mencapai usia kerja dan termasuk dalam golongan angkatan kerja. Golongan pemuda ini sekarang telah dikenal dengan sebutan Mugyousha yang di dunia internasional dikenal dengan sebutan NEET (Not Employment, Education, or
Training) Generation dan dianggap sebagai suatu penyimpangan sosial dan bukti
sedang terjadinya krisis degenerasi bangsa. Genda (2007, hlm. 24) dalam Social
Science Japan Journal menyatakan bahwa:
Some described NEETs as a lazy, spoiled, and undisciplined, while other emphasized that they face obstacle to employment… Nevertheless, in spite of such limitations, several researchers from the academic fields of sociology and economics have made some important discoveries. For example, … NEETs include a relatively higher proportion of less-educated workers such as junior high school graduated and high-school dropouts; … that many NEETs have no friends and are more likely to lack good communication skills…
Beberapa ahli berpendapat bahwa kemunculan fenomena Mugyousha sebagai salah satu penyebab kemunduran perekonomian Jepang, sehingga saat ini ekonomi Jepang berada di titik „stagnan‟ dan tidak bisa maju kembali seperti saat terjadi keajaiban ekonomi di Jepang tahun 1960-an. Hal ini dimulai tahun 1990 ketika terjadi deflasi akibat resesi ekonomi yang memaksa Bank Central Japan melaksanakan kebijakan pengetatan, saat itu juga adalah awal pertama diketahui bahwa fenomena
(15)
Mugyousha dianggap masyarakat Jepang sebagai masalah keluarga atau internal yang
tidak boleh dicampuri oleh orang lain. Namun setelah terjadinya krisis ekonomi yang melanda Jepang di tahun 1997, fenomena Mugyousha ini semakin menguat dan akhirnya mendapat perhatian yang besar, baik dari pemerintah maupun dari masyarakat Jepang.
Perhatian yang muncul khususnya dari pemerintah, lebih banyak dilatar- belakangi oleh fakta berkurangnya salah satu faktor produksi yang dimiliki Jepang, yaitu tenaga kerja aktif yang dari tahun ke tahun semakin menurun. Hal ini lalu diiringi dengan semakin berkurangnya jumlah angka kelahiran di Jepang. Bentuk piramida penduduk Jepang yang seperti guci terbalik (constructive pyramid), menyebabkan Jepang lebih dikenal sebagai negara yang lebih banyak memiliki anggota penduduk generasi tua daripada generasi mudanya atau dikenal dengan sebutan koreika shakai. Kelangkaan sumber daya manusia ini semakin diperparah oleh sikap generasi mudanya, yang selain memiliki keengganan untuk membangun rumah tangga dan memiliki keturunan, juga karena sebagiannya memiliki sifat menyimpang sebagai Mugyousha.
Melihat betapa seriusnya masalah kelangkaan sumber daya manusia yang dialami Jepang, masalah perilaku menyimpang seperti Mugyousha telah menjadi isu masalah sosial yang sangat besar dan harus segera ditindak lanjuti. Di Jepang,
Mugyousha terbagi ke dalam empat tipe (Afifa, 2005, hlm. 17-20):
Tipe pertama adalah tipe berkelakuan buruk, biasanya didominasi oleh mereka yang berpendidikan rendah… mugyousha tipe ini lulus atau keluar
sekolah tanpa menyadari rencana yang pasti mengenai masa depan mereka… Tipe ke kedua adalah tipe penyendiri atau di Jepang disebut juga dengan
hikikomori, tipe ini biasanya memiliki latar belakang pendidikan yang cukup
tinggi, walaupun demikian karena mereka tidak memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan masyarakat, banyak dari tipe ini lebih memilih tinggal di rumah dan tidak melakukan tindakan apapun yang berarti…. Tipe ketiga adalah tipe ragu-ragu, mugyousha tipe ini biasanya adalah lulusan perguruan tinggi, namun karena tidak memahami bakat dan kemampuan diri sendiri,
mugyousha tipe ini jadi ragu-ragu dalam mencari pekerjaan yang sesuai untuk
mereka… Tipe keempat adalah tipe yang kehilangan kepercayaan diri,
mugyousha tipe ini ditunjukkan bagi orang-orang yang pernah memiliki
pengalaman bekerja namun karena banyak hal, mereka mengalami kegagalan dan merasa trauma untuk bekerja kembali.
(16)
Dampak yang disebabkan fenomena Mugyousha beragam, dimulai dari nilai-nilai tradisi leluhur yang semakin dilanggar dan diacuhkan, kewajiban-kewajiban sosial yang tidak dilaksanakan dengan baik, bertambahnya jumlah pengangguran, sampai kepada terkuaknya skandal ekonomi yang dilakukan oleh beberapa petinggi bank-bank umum selama deflasi berlangsung di Jepang. Fenomena Mugyousha juga telah turut berperan aktif di dalam menambah jumlah anggota kelompok yang melakukan kegiatan unik namun merugikan pemerintah Jepang, seperti hikikomori yang hanya memiliki kegiatan berdiam diri di kamar, yankee yang menghabiskan hidupnya dengan bersenang-senang dan menggantungkan hidupnya pada orangtuanya yang mapan sebagai parasite freeter, ataupun otaku yang memusatkan diri mereka terhadap suatu objek yang mereka gemari, seperti komik, anime, ataupun game.
Bertambahnya jumlah Mugyousha, telah merugikan Jepang baik dari sisi budaya maupun dari sisi ekonomi. Kerugian yang dilihat dari sisi budaya dapat dilihat dengan semakin pudarnya nilai-nilai tradisi leluhur yang selama ini telah dijaga dengan baik oleh bangsa Jepang, sedangkan kerugian dari sisi ekonomi yang di derita Jepang muncul dari perhitungan pajak yang semakin berkurang untuk pembayaran uang pensiun. Kerugian ini muncul karena anggota Mugyousha tidak memiliki kegiatan yang menghasilkan pendapatan, sehingga mereka tidak membayar pajak. Akibatnya pemerintah Jepang terpaksa mengambil sikap untuk mengantisipasi bertambahnya jumlah Mugyousha di Jepang di tahun-tahun berikutnya. Berbagai program telah dilakukan oleh pemerintah Jepang pada tahun 2003, bekerjasama dengan perusahaan pemerintah atau negeri maupun perusahaan swasta. Program-program tersebut antara lain adalah adanya kegiatan pengarahan, konseling, pengenalan dunia kerja, dan tawaran untuk melakukan job-training bagi para
Mugyousha, dan diharapkan bisa menumbuhkan rasa percaya diri mereka untuk
terjun ke dunia kerja.
Jepang telah dikenal dunia internasional sebagai negara yang memiliki anggota masyarakat yang penuh dengan dedikasi dan semangat kerja keras, walaupun secara kuantitas mereka lebih sedikit dibandingkan negara-negara lain, namun kualitas mereka tidak kalah dengan negara maju manapun di dunia. Hal yang patut
(17)
disayangkan, kini telah muncul fenomena Mugyousha yang dipenuhi anak-anak muda yang memiliki karakteristik yang jauh berbeda, pemalas namun unik, hedonis dan terbiasa dengan peralatan canggih namun tidak mampu bersosialisasi dengan baik, telah membuat fenomena ini menjadi menarik untuk diteliti. Angka tahun 1990 terpilih sebagai tahun awal penelitian, karena pada tahun tersebutlah fenomena
mugyosha mulai muncul di Jepang dan masih dianggap sebagai masalah keluarga
atau pribadi. Diakhiri dengan angka tahun 2003, setelah pemerintah Jepang mulai menganggap fenomena Mugyousha sebagai masalah serius yang harus ditangani oleh negara.
Maka berdasarkan penjelasan latar belakang yang telah disampaikan, peneliti merasa tertarik dan ingin mencoba untuk memahami lebih jauh fenomena Mugyousha tersebut, dan membahasnya melalui skripsi yang berjudul “Mugyousha: Fenomena Generasi Pengangguran Terbuka di Jepang Tahun 1990-2003”
B. Identifikasi dan Perumusan Masalah Penelitian
Dalam penelitian ini yang menjadi masalah utama adalah “Bagaimana
eksistensi Mugyousha sebagai generasi pengangguran terbuka bisa berkembang
di Jepang?”. Berdasarkan permasalahan utama tersebut, peneliti telah membatasinya
menjadi beberapa pertanyaan penelitian berikut ini:
1. Bagaimana latar belakang kemunculan fenomena Mugyousha di Jepang? 2. Bagaimana perkembangan fenomena Mugyousha di Jepang pada tahun
1990-2002?
3. Bagaimana dampak yang ditimbulkan fenomena Mugyousha terhadap kondisi kehidupan sosial ekonomi masyarakat Jepang yang terjadi tahun 2002-2003?
4. Bagaimana kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah Jepang untuk mengatasi perkembangan Mugyousha pada tahun 2003?
(18)
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini secara umum adalah untuk menjawab permasalahan penelitian yang berkaitan dengan perkembangan
Mugyousha sebagai fenomena generasi pengagguran terbuka di Jepang yang terjadi
tahun 1990-2003. Namun, secara khusus tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk memperoleh gambaran umum mengenai deskripsi dan pengertian
Mugyousha sebagai fenomena pengangguran terbuka di Jepang serta latar
belakang yang menyebabkan Mugyousha bisa muncul di Jepang.
2. Untuk memahami proses tumbuh dan berkembangnya fenomena
Mugyousha di Jepang yang terjadi tahun 1990-2002.
3. Untuk mengidentifikasi dampak keberadaan Mugyousha terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat Jepang selama fenomena
Mugyousha berkembang di Jepang.
4. Untuk mengkaji kebijakan yang dilakukan pemerintah Jepang di dalam mengatasi perkembangan Mugyousha setelah fenomena tersebut dianggap sebagai masalah degenerasi nasional bangsa Jepang.
D. Metode Penelitian
Metode yang akan dipakai untuk penelitian ini adalah dengan menggunakan metode historis. Kuntowijoyo (1994, hlm. 111) berpandangan bahwa metode ini membantu peneliti untuk tetap memiliki cara pandang yang kritis, walaupun jati diri sumber-sumber yang digunakan terbentuk di masa lampau. Adapun langkah-langkah yang akan peneliti gunakan dalam melakukan penelitian sejarah ini sebagaimana dijelaskan oleh Ismaun (2005, hlm. 48-50):
1. Heuristik yaitu tahap pengumpulan sumber-sumber yang dianggap relevan dengan topik penelitian yang dipilih. Peneliti sendiri memilih untuk menggunakan sumber tertulis yang diperoleh dari Kedutaan Besar Jepang dan Japan Fondation yang kantornya berada di Jakarta. Sumber tertulis
(19)
lain berupa tulisan-tulisan ilmiah pun peneliti cari dari berbagai perpustakaan dan situs web resmi yang diketahui peneliti.
2. Kritik yaitu memilih dan menyaring validitas sumber-sumber yang telah ditemukan. Pada tahap ini, peneliti mulai membandingkan kualitas satu sumber literatur dengan sumber literatur lainnya, termasuk dengan mengkritik latar belakang penulis dari sumber literatur itu sendiri.
3. Interpretasi yaitu memaknai atau memberikan penafsiran terhadap fakta-fakta yang diperoleh dengan cara menghubungkan fakta-fakta-fakta-fakta tersebut satu dengan yang lain. Peneliti disini mencoba menafsirkan perkembangan fenomena Mugyousha di Jepang.
4. Historiografi yaitu tahapan akhir dalam penulisan sejarah. Pada tahapan ini peneliti menyajikan hasil temuannya dengan cara menyusun data yang sudah ditafsirkan dalam bentuk tulisan yang jelas dengan tata bahasa penulisan yang baik dan benar.
Dalam upaya mengumpulkan bahan-bahan yang diperlukan di dalam penyususunan proposal skripsi, peneliti telah melakukan teknik pengumpulan sumber dengan menggunakan studi literatur. Teknik penulisan skripsi sendiri telah disesuaikan dengan buku pedoman penulisan karya tulis ilmiah yang diterbitkan oleh UPI pada tahun 2014. Adapun hal-hal yang berkaitan dengan pembahasan metode dan teknik penelitian akan dijelaskan lebih mendetail pada bab tiga.
E. Manfaat/Signifikansi Penelitian
Manfaat/signifikansi penelitian dapat dilihat dari segi tataran teoritis/akademis dan tataran praktis, seperti berikut ini:
1. Teoritis/Akademis
a. Memperkaya kajian-kajian karya tulis ilmiah di Universitas Pendidikan Indonesia, khususnya di Jurusan Pendidikan Sejarah. Khususnya karya tulis ilmiah yang memiliki hubungan dengan kajian penulisan sejarah kawasan dengan tema nilai dan kebudayaan di Jepang ataupun dengan tema perkembangan penduduk di Jepang.
(20)
b. Menambah ilmu dan pengetahuan bagi peneliti maupun pembaca skripsi mengenai perkembangan Mugyousha sebagai sebuah salah satu isu sosial mengenai kebangkitan beberapa pemuda Jepang yang memiliki sifat pemalas sehingga menimbulkan masalah degenerasi nasional, yang akhirnya berdampak negatif terhadap berbagai aspek kehidupan bangsa Jepang.
c. Untuk dijadikan sebagai salah satu sumber pembantu bagi karya tulis yang memiliki kajian yang sejenis.
d. Diharapkan mampu membantu di dalam pengembangan materi pembelajaran sejarah di sekolah-sekolah, khususnya materi pembelajaran yang memiliki kaitan bahasan dengan sejarah Jepang. Sehingga guru dan siswa diharapkan mampu memperkaya wawasan keilmuannya dalam memahami dan mengeksplorasi sejarah dan budaya bangsa Jepang.
2. Praktis
a. Mengkaji lebih dalam mengenai kondisi sosial dan ekonomi bangsa Jepang, terutama nilai-nilai dan tradisi yang telah menjadi landasan etos kerja bangsa Jepang selama ini.
b. Memahami perkembangan generasi muda bangsa Jepang yang memiliki perbedaan pola hidup dan sikap hidup yang berbeda dengan generasi sebelumnya yang disebabkan oleh pola kehidupan mereka yang lebih modern, sehingga menimbulkan masalah degenerasi bangsa dan penyimpangan sosial yang mengakibatkan masalah-masalah baru yang lebih besar terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat Jepang. c. Mengkaji langkah-langkah kebijakan pemerintah Jepang yang
berkaitan dengan cara penanganan mereka untuk mengantisipasi bertambahnya jumlah generasi muda Jepang yang memiliki kecenderungan untuk menjadi salah satu anggota Mugyousha.
(21)
F. Struktur Organisasi Skripsi
Struktur organisasi yang ditulis dalam penulisan skripsi ini telah disesuaikan dengan buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah yang diterbitkan oleh Universitas Pendidikan Indonesia tahun 2014. Struktur organisasi yang dimaksud adalah sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan. Di dalam bab ini terdapat uraian latar belakang dan masalah yang menguraikan hal-hal umum mengenai Mugyosha di Jepang. Dengan uraian latar belakang dan masalah tersebut, diharapkan mampu memperjelas ketertarikan peneliti untuk mengangkat tema Mugyousha sebagai sebuah penelitian. Di dalam bab ini juga diuraikan masalah yang ingin dibahas dan perumusan dan pembatasan masalahnya, agar permasalahan tidak menjadi melebar. Terdapat juga sedikit penjelasan mengenai metode dan teknik penelitian yang dilakukan peneliti, manfaat dan tujuan dari penelitian, serta struktur organisasi penulisan skripsi yang akan menjadi kerangka berpikir dan pedoman di dalam penulisan penelitian ini.
Bab II Kajian Pustaka, berisi berbagai sumber literatur yang digunakan peneliti untuk mendukung tema penelitian yang sedang dibahas, termasuk mengenai pembahasan penelitian terdahulu yang relevan. Bab ini berfungsi untuk menunjukkan kedudukan masalah penelitian yang sedang ditulis. Di dalam bab ini, peneliti bertugas untuk membandingkan, mengontraskan, dan memposisikan kedudukan masing-masing sumber literatur yang telah diperoleh satu sama lain dan menjelaskan posisi serta latar belakang dari setiap penulis sumber tersebut.
Bab III Metode Penelitian, berisi pemaparan kegiatan dan cara yang dilakukan dalam penyusunan skripsi. Metode yang digunakan adalah metode penelitian sejarah, di mana langkah-langkahnya terbagi menjadi heuristik atau pengumpulan sumber, kritik terhadap sumber, interpretasi sumber, hingga tahap historiografi. Bab ini berfungsi untuk meyakinkan pembaca bahwa setiap sumber yang digunakan sudah diuji melalui tahapan-tahapan yang akademis sehingga dapat dipertanggungjawabkan.
Bab IV Eksistensi Mugyousha sebagai Kebangkitan Generasi Pengangguran Terbuka di Jepang tahun 1990-2003. Bab empat ini berisi pemaparan mengenai latar belakang pendukung munculnya Mugyousha di Jepang, kondisi sosial ekonomi
(22)
masyarakat Jepang selama fenomena ini terjadi pada tahun 1990-2003, pengertian dari konsep Mugyousha sebagai pengangguran terbuka, dampak kehadiran
Mugyousha, dan kebijakan pemerintah Jepang yang bertujuan untuk mengatasi laju
perkembangan Mugyousha.
Bab V Kesimpulan dan Saran, terdapat uraian mengenai penafsiran dan pemaknaan peneliti terhadap hasil jawaban penelitian. Bab ini juga berisi uraian padat mengenai kesimpulan peneliti terhadap seluruh pembahasan yang ditulis pada bab-bab sebelumnya.
(23)
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Pada bab ini akan dipaparkan langkah-langkah di dalam penyusunan penulisan karya tulis ilmiah yang berkaitan dengan kajian masalah skripsi yang
berjudul “Mugyousha: Fenomena Generasi Pengangguran Terbuka di Jepang Tahun
1990-2003”. Di dalam penyusunan skripsi ini peneliti menggunakan metode penelitian historis yang berkaitan erat dengan kajian ruang dan waktu di masa lampau dan merupakan konsep di dalam penelitian sejarah.
Penjelasan mengenai metode diberikan oleh Wirartha (2006, hlm. 76) yang menyatakan pendapat bahwa:
Metode penelitian terdiri atas dua kata, metode dan penelitian. Metode berasal dari bahasa Yunani yaitu methodos yang berarti cara atau jalan untuk mencapai sasaran atau tujuan dalam pemecahan suatu permasalahan. Kata yang mengikutinya adalah penelitian yang berarti suatu usaha untuk mencapai sesuatu dengan metode tertentu, dengan cara hati-hati, sistematik, dan sempurna terhadap permasalahan yang sedang dihadapi. Jadi, metode penelitian adalah suatu cara atau prosedur untuk memperoleh pemecahan terhadap permasalahan yang sedang dihadapi. Metode penelitian mencangkup alat dan prosedur penelitian.
Pandangan lain adalah pembahasan mengenai metode sejarah yang diungkapkan oleh Gottschalk (1986, hlm. 32):
…dinamakan metode sejarah disini adalah proses menguji dan menganalisa
secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau. Rekontruksi yang imajinatif daripada masa lampau berdasarkan data yang diperolah dengan menempuh proses itu disebut historiografi (penulisan sejarah). Dengan mempergunakan metode sejarah dan historiografi (yang sering dipersatukan dengan nama metode sejarah) sejarawan berusaha untuk merekontruksi sebanyak-banyaknya daripada masa lampau manusia.
Bersumber kepada pendapat Gray (dalam Sjamsuddin, 2007, hlm. 89-90; Supardan, 2009, hlm. 289-290, 307) menyatakan bahwa paling tidak terdapat enam tahapan yang harus ditempuh peneliti di dalam penelitian sejarah, yaitu:
(24)
1. Memilih suatu pembahasan topik yang sesuai,
2. Mengusut semua evidensi (bukti) yang didapatkan dari berbagai data yang relevan dengan topik bahasan,
3. Membuat catatan-catatan yang berhubungan dengan topik bahasan yang dianggap penting dan relevan. Isi dari catatan-catatan tersebut dapat berupa data-data yang ditemukan saat penelitian sedang berlangsung, 4. Melakukan kritik terhadap sumber dan data yang telah diperoleh dengan
cara melakukan evaluasi secara kritis terhadap semua evidensi (bukti) yang telah dikumpulkan,
5. Menyusun data-data hasil penelitian secara sistematis dengan pola yang baik dan benar, termasuk di dalamnya pencatatan fakta-fakta,
6. Menyajikan data-data hasil penelitian semenarik mungkin sehingga mampu menarik perhatian dari para pembaca. Penyajian data-data ini juga harus mampu memberikan pemahaman bagi para pembacanya hingga penyajiannya harus bersifat komunikatif.
Sedangkan menurut Gottschalk (1986, hlm. 18) untuk membuat suatu penulisan sejarah bertumpu terhadap empat kegiatan pokok:
1. Mengumpulkan bahan-bahan kajian yang relevan dan sesuai dengan kurun waktu objek kajian yang sedang diteliti, baik yang berbentuk tulisan ataupun lisan.
2. Memilih sumber-sumber yang dapat dipakai dan tidak diperlukan dalam proses penyusunan penelitian dari objek yang sedang diteliti.
3. Memberikan analisis atau kesimpulan terhadap bahan-bahan yang telah diseleksi untuk digunakan selama proses penyusunan penelitian.
4. Dilakukan penyusunan berupa hasil tulisan dari hasil penelitian yang dilakukan agar dapat dimanfaatkan oleh berbagai kalangan, baik umum ataupun pihak akademisi.
Menurut Sjamsuddin (2007, hlm. 86-89) untuk menulis karya tulis ilmiah dengan tema sejarah, seorang penulis sejarah harus memiliki beberapa rambu-rambu yang diperlukan di dalam melakukan kegiatan penelitian sejarah hingga tahap penulisannya, di antaranya sejarawan diharuskan untuk:
1. Memiliki kemampuan untuk mengekspresikan secara baik ilmu pengetahuan yang dimilikinya baik secara lisan maupun tertulis, hingga hasil karya ilmiahnya dapat dipahami oleh berbagai lapisan masyarakat yang memiliki latar belakang pendidikan yang berbeda-beda.
2. Memiliki kemampuan untuk memahami dan berbicara di dalam beberapa bahasa selain bahasa Indonesia, termasuk di dalamnya bahasa asing ataupun bahasa daerah.
3. Memiliki pengetahuan atau bahkan menguasai bidang-bidang ilmu lain, terutama bidang ilmu sosial selain ilmu sejarah.
(25)
4. Memiliki pemahaman terhadap sumber-sumber yang telah diperolehnya, baik pengertian yang tersurat maupun pengertian yang tersirat, hingga dapat mengembangkan kemampuan imajinasi dan sikap empatinya terhadap kajian yang sedang diteliti.
5. Memiliki sikap profesional sebagai seorang peneliti, sehingga bisa membedakan penelitiannya sebagai suatu penelitian ilmiah bukan hanya sekedar hobi.
6. Memiliki pengalaman hidup dengan latar belakang pendidikan yang baik sejak kecil.
7. Memiliki pandangan hidup untuk selalu menyatakan dan menuliskan kejadian yang sebenarnya tanpa ada yang ditutupi.
Di dalam melakukan proses penulisan karya tulis skripsi ini, peneliti telah berusaha untuk melaksanakan semua poin rambu-rambu yang harus diikuti. Alasan utama di dalam dilakukannya rambu-rambu tersebut berkaitan erat dengan proses penelitian yang sedang dilakukan peneliti mengenai suatu fenomena yang anomali yang terjadi di kalangan generasi muda Jepang yang lebih dikenal dengan
Mugyousha. Peristiwa anomali tersebut lalu peneliti kategorikan sebagai tindakan
yang sosiopatis, hal ini karena terjadinya fenomena tersebut tidak diterima di tengah-tengah kalangan masyarakat Jepang. Di dalam penelitian ini, peneliti tidak bermaksud untuk menghakimi apakah fenomena Mugyousha tersebut salah ataupun benar ataupun dampaknya akan menjadi positif ataupun negatif. Maksud peneliti di dalam menulis fenomena tersebut hanya untuk menjelaskan peristiwa terjadinya suatu fenomena yang unik, dan karenanya penulisan ini pun dilakukan dengan hati-hati dengan menggunakan metode yang tepat.
Di dalam penulisan karya tulis ilmiah yang berkaitan dengan kajian bidang sejarah, tentulah harus memiliki kerangka berpikir yang logis dan sistematis. Terdapat langkah-langkah ilmiah yang harus dipakai peneliti. Secara umum menurut Ismaun (2005, hlm. 48-51), langkah- langkah penelitian sejarah tersebut terdiri dari:
1. Heuristik, yaitu proses mencari dan megumpulkan data yang dapat membantu dalam proses penelitian sejarah berupa sumber-sumber sejarah yang relevan yang dilakukan setelah dilakukan proses pencarian literatur. Menurut Sjamsuddin (2007, hlm. 110-129) di dalam proses pencarian sumber (heuristik) atau yang dikenal dengan quellenkunde dalam bahasa
(26)
Jerman dapat dilakukan seorang peneliti di beberapa tempat di antaranya di perpustakaan, arsip, ataupun museum, dan hasil datanya sendiri dapat berupa kronik, autobiografi, memoir, surat kabar, publikasi umum, surat-surat pribadi, catatan harian, notulen rapat, ataupun sastra.
2. Kritik sumber yang didasari etos ilmiah yang menginginkan, menemukan, dan mendekati kebenaran. Setelah menemukan sumber sejarah yang diperlukan lalu harus ditentukan bagian-bagian yang sesuai dan diperlukan dalam proses penelitian, dengan demikian diperlukan proses seleksi terhadap data-data dan sumber-sumber yang telah diperoleh. Sjamsuddin (2007, hlm. 131-132) menyatakan bahwa kegiatan ini harus dilakukan seorang sejarawan baik terhadap bahan materi (ekstern) sumber maupun terhadap isi dari sumber-sumber penelitian sehingga karya penulisan sejarah merupakan suatu hasil produksi yang dapat dipertanggungjawabkan karena melalui proses yang ilmiah.
3. Interpretasi atau tahap penafsiran yang di dalam bahasa Jerman dikenal dengan sebutan auffassung mulai dilakukan untuk memecahkan masalah yang lebih berat. Dianggap berat karena disadari ataupun tidak pada tahapan ini sejarawan harus mampu untuk menafsirkan data-data yang sudah berhasil untuk disaring untuk dikisahkan sebagai suatu karya tulis ilmiah. Karena data yang tersedia bukan hanya berada pada satu sumber, maka sejarawan selain harus mampu menyusun hasil data-data yang telah dikumpulkan juga harus mampu untuk bersikap tidak memihak pada salah satu sumber dan mengisahkan hasil penelitian dengan objektif dan mengurangi sedikit mungkin kekeliruan yang mungkin terjadi.
4. Historiografi atau dalam bahasa Jerman disebut darstellung adalah tahapan terakhir yang kegiatannya adalah mengadakan sintesis sejarah dengan cara menuliskan hasil penafsiran yang sudah dilakukan sebelumnya menjadi suatu karya tulis ilmiah. Menurut Sjamsuddin (2007, hlm. 236) bahwa wujud dari penulisan karya tulis tersebut merupakan pemaparan, penyajian dalam bentuk tulisan, dan penampilan hasil
(27)
penulisan tersebut dalam proses presentasi. Sehingga hasil akhir dari penyusunan karya tulis tersebut adalah dapat dibaca oleh berbagai kalangan masyarakat.
Berdasarkan penjelasan langkah-langkah penelitian yang dijelaskan oleh Gray dan Ismaun tersebut, maka proses penyusunan karya tulis ilmiah ini dilakukan. Untuk mempertajam analisis di dalam penyusunan skripsi juga telah digunakan pendekatan multidisipliner yang meminjam beberapa konsep dari ilmu-ilmu sosial lainnya, seperti Ekonomi, Geografi, Sosiologi, Antropologi, dan Psikologi. Dilakukannya pendekatan multidisipliner oleh peneliti berkaitan erat dengan tema penelitian yang peneliti mengenai sejarah sosial yang menekankan terhadap penyatuan kolaborasi antara model penelitian sinkronik dan diakronik. Adapun perbedaan dari kedua model tersebut, mengutip pendapat Kuntowijoyo (1994, hlm. 36-38) adalah:
Dalam sebuah model yang sinkronis masyarakat digambarkan sebagai sebuah sistem yang terdiri dari struktur dan bagiannya. Pendekatan struktural dan fungsional dalam ilmu-ilmu sosial menyaran pada model sinkronis yang melihat potret masyarakat dalam keadaan statis, dalam keadaan waktu nol… sebuah model sinkronis lebih mengutamakan lukisan yang meluas dalam ruang dengan tidak memikirkan terlalu banyak mengenai dimensi waktunya. Sebaliknya model yang diakronis lebih mengutamakan memajangnya lukisan yang berdimensi waktu, dengan sedikit saja luasan ruangan. Model sinkronis kebanyakan digunakan oleh ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi, politik, ekonomi, antropologi, dan juga arkeologi, sedangkan model diakronis
digunakan oleh ilmu sejarah… Model diakronis akan menjadi pelengkap yang sempurna bagi penulisan yang sinkronis.
Konsep-konsep yang dipinjam dari ilmu Ekonomi adalah skarsitas, produksi, konsumsi, investasi, uang, bank, dan perpajakan yang berfungsi untuk membantu menjelaskan mengenai kondisi ekonomi masyarakat Jepang yang mendorong timbulnya fenomena Mugyousha. Sedangkan untuk konsep-konsep yang dipinjam dari ilmu Geografi adalah tempat, sensus penduduk, lingkungan, kota, mortalitas, dan wilayah, yang membantu di dalam menganalisis masalah-masalah yang berkaitan dengan keadaan alam di Jepang.
Peneliti juga menggunakan konsep-konsep dari ilmu Sosiologi seperti masyarakat, norma, interaksi sosial, konflik sosial, perubahan sosial, penyimpangan,
(28)
dan globalisasi, yang digunakan peneliti untuk memahami lebih mendalam kehidupan sosial masyarakat Jepang untuk menganalisis latar belakang yang mendorong munculnya fenomena Mugyousha dan membantu perkembangan tersebut tetap eksis dan bertahan. Sedangkan untuk konsep-konsep yang dipinjam dari ilmu Antropologi di antaranya adalah evolusi, kebudayaan, enkulturasi, dan tradisi, yang berfungsi untuk memahami nilai-nilai tradisional yang telah dipakai oleh masyarakat Jepang selama ini dan bertahan hingga sekarang.
Konsep-konsep yang dipinjam dari ilmu sosial terakhir yaitu psikologi di antaranya adalah motivasi, sikap, persepsi, konsep diri, pikiran, dan kepribadian yang berfungsi untuk memahami lebih jauh pola pikir masyarakat Jepang, baik yang peduli dan masih melaksanakan berbagai nilai-nilai tradisional masyarakat Jepang ataupun bagi generasi muda Jepang yang mulai merasa tidak cocok untuk mengikuti nilai dan tradisi mereka.
Untuk teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik studi kepustakaan dan studi dokumentasi. Digunakannya kedua teknik tersebut untuk memperoleh data didasari oleh pertimbangan bahwa objek kajian penelitian yang sedang diteliti merupakan fenomena yang terjadi di negara lain dan akan cukup sulit untuk menggunakan teknik wawancara. Di dalam proses pencarian buku-buku yang relevan, peneliti telah banyak melakukan kunjungan di berbagai tempat baik di Bandung ataupun di Jakarta.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka terdapat beberapa langkah yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan penelitian sehingga menjadi karya tulis yang sesuai dengan tuntutan ilmiah. Adapun langkah- langkah tersebut terbagi menjadi:
B. Persiapan Penelitian
Di dalam proses persiapan penelitian terdapat beberapa langkah yang harus dilakukan sebelum melakukan penelitian lebih lanjut, di antaranya;
1. Penentuan dan Pengajuan Tema Penelitian
Menurut Tan (1994, hlm. 15-17) di dalam melakukan penelitian diperlukan dua pertimbangan pokok yaitu mengenai manfaat dari penelitian
(29)
yang akan dilakukan dan ketersediaan data-data selama penelitian berlangsung. Hal senada juga diungkapkan oleh Gottschalk (1986, hlm. 41-42) yang menyatakan bahwa sebagai seorang pemula maka tema yang diajukan pertama kali akan lebih baik jika berbentuk pertanyaan bukan berbentuk suatu tema penelitian. Pertanyaan yang diajukan untuk diteliti terdiri dari empat perangkat, pertama yaitu perangkat pertanyaan yang bersifat geografis sehingga penelitian dapat fokus untuk mencangkup suatu wilayah tertentu, kedua bersifat biografis sehingga penelitian dapat dilakukan dengan lebih terfokus pada kelompok manusia tertentu, ketiga bersifat kronologis dan interogatif sehingga penelitian dapat dilakukan pada cangkupan waktu kejadian tertentu, dan yang terakhir yang bersifat fungsional dan berhubungan dengan minat dari peneliti sendiri.
Peneliti pun melaksanakan proses penentuan dan pengajuan tema penelitian berdasarkan penjelasan tersebut. Untuk langkah pertama, peneliti telah menentukan Jepang sebagai perangkat pertanyaan yang bersifat geografis. Alasannya karena Jepang adalah kawasan di benua Asia yang sangat unik karena termasuk sebagai negara maju, namun kehidupan sehari-harinya penuh dengan nilai-nilai tradisional. Langkah kedua, sebagai perangkat pertanyaan yang bersifat biografis, peneliti memfokuskan kajian penelitian terhadap fenomena degenerasi bangsa yang dikenal dengan sebutan
Mugyousha. Alasannya karena fenomena ini terjadi pada generasi muda
Jepang yang tidak mau melaksanakan nilai-nilai tradisional yang biasanya dilakukan oleh masyarakat Jepang. Hal ini menjadi kajian yang semakin menarik karena artinya keberadaan fenomena Mugyousha tersebut bertentangan dengan pola hidup dan kebiasaan masyarakat Jepang.
Langkah ketiga, peneliti telah merumuskan cangkupan waktu yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu sejak awal munculnya fenomena
Mugyousha akibat resesi ekonomi di Jepang pada tahun 1990 hingga tahun
2003 ketika pemerintah Jepang mulai serius mengangani fenomena kemuncuan Mugyousha ini karena telah merugikan Jepang di beberapa aspek
(30)
kehidupan. Terakhir, yaitu langkah keempat yang dilihat dari sifat penelitian yang fungsional dan berhubungan dengan minat peneliti. Berbekal latar belakang tersebut peneliti lalu mencoba mengajukan tema penelitian tersebut pada Tim Pertimbangan Penulisan Skripsi (TPPS) Pendidikan Sejarah, dan setelah dinyatakan lolos diperbolehkan untuk dilanjutkan hingga tahap penyusunan proposal.
2. Penyusunan Rancangan Penelitian
Pada tahapan penyusunan rancangan penelitian ini, peneliti mulai dengan mengumpulkan data dan fakta yang berhubungan erat dengan tema yang akan diteliti. Tahapan ini dimulai pertama kali dengan kegiatan membaca berbagai sumber tertulis yang berhubungan dengan objek penelitian. Setelah data dan fakta mulai terbentuk dan dapat disusun menjadi sebuah proposal penelitian, hasilnya harus diajukan kembali kepada TPPS Jurusan Pendidikan Sejarah. Apabila proposal yang diajukan tersebut disetujui, maka tahap selanjutnya, proposal tersebut akan mendapatkan kesempatan untuk mengikuti proses seminar, yaitu proses mempresentasikan hasil rancangan penelitian yang telah disusun di hadapan para dosen dan mahasiswa lainnya.
Selama proses penyusunan rancangan penelitian (proposal) yang akan didaftarkan kepada TPPS Pendidikan Sejarah peneliti telah mendapat banyak bantuan melalui kegiatan kuliah mata pelajarannya bernama Seminar Penulisan Karya Ilmiah yang memiliki tim dosen pengajar yang terdiri dari Dra. Murdiyah Winarti, M. Hum dan Drs. Ayi Budi Santosa, M. Si. Melalui mata kuliah tersebut peneliti dapat memahami struktur penyusunan rancangan penelitian atau proposal penelitian yang benar, sehingga dapat diajukan ke TPPS. Isi dari perencanaan penelitian sendiri terdiri dari beberapa langkah yaitu meliputi: judul penelitian, latar belakang, rumusan masalah dan pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitian, struktur organisasi, dan daftar pustaka.
Di dalam prosesnya, penyusunan rancangan penelitian (proposal) yang diajukan telah mendapat banyak sekali masukan dan bantuan, baik berupa
(31)
saran ataupun peminjaman buku sumber dari para dosen jurusan Pendidikan Sejarah dan beberapa teman sesama mahasiswa yang mengontrak mata kuliah yang sama. Untuk menambah sumber rujukan yang dibutuhkan di dalam rangka penyusunan rancangan penelitian, peneliti juga telah melakukan kunjungan ke berbagai perpustakaan di universitas-universitas lainnya di Bandung dan Jakarta selain di Perpustakaan Pusat Universitas Pendidikan Indonesia.
Setelah proposal berhasil diseminarkan dan disetujui, maka penelitian tersebut telah sah dan dapat dilanjutkan kepada tahap bimbingan dengan dosen yang telah ditunjuk untuk menjadi pembimbing di dalam penyusunan skripsi. Tahap terakhir yang harus dilakukan peneliti sebelum bisa melakukan proses pada tahap bimbingan adalah dengan membuat Surat Keputusan yang dibuat TPPS dan diketahui oleh Ketua Jurusan Pendidikan Sejarah
Setelah Surat Keputusan dengan nomor 010/TPPS/JPS/PEM/2013 keluar dan disahkannya Dr. Agus Mulyana, M. Hum sebagai dosen pembimbing I dan Dra. Lely Yulifar, M. Pd sebagai dosen pembimbing II, maka proses bimbingan skripsi mulai dapat dilaksanakan. Di dalam proses perbaikan seminar sendiri terdapat beberapa masukan yang diberikan baik oleh Dosen Pembimbing I maupun Dosen Pembimbing II, di antaranya bahwa sumber-sumber skripsi harus dimiliki langsung oleh peneliti, harus ditambahnya jumlah buku-buku sumber yang dijadikan referensi, dan diperbaikinya latar belakang proposal penelitian sebelum memasuki tahap penyusunan bab satu.
3. Proses Bimbingan
Skripsi adalah karya tulis ilmiah yang menggambarkan kemampuan akademik peneliti dalam memahami hasil bacaan yang terkait dengan objek penelitian dan melaporkan hasil penelitiannya berdasarkan kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan hasil penelitian ilmiah yang dilakukan melalui proses bimbingan dengan para dosen pembimbing (UPI, 2013, hlm. 10; Soemanto, 2002, hlm. 6). Skripsi merupakan produk hasil kolaborasi antara
(32)
peneliti (mahasiswa) dengan dosen pembimbingnya, oleh karena itu tahapan proses bimbingan sangatlah penting untuk dilakukan.
Di dalam melakukan proses bimbingan, peneliti mendapatkan banyak sekali kritik dan masukan baik mengenai isi dari materi skripsi ataupun tata cara penulisan ilmiah yang baik dan benar. Melalui proses bimbingan ini peneliti juga telah banyak belajar sedikit demi sedikit mengenai merumuskan masalah yang baik, menarik, dan tepat pada sasaran. Peneliti juga sangat berterimakasih kepada para dosen pembimbing yang dengan sabar menjelaskan konsep-konsep ilmu sosial yang masih asing dipahami oleh peneliti. Hal ini berkaitan erat dengan pendekatan yang dilakukan peneliti selama proses pembuatan skripsi, yaitu dengan dilakukannya proses pendekatan antara ilmu sejarah dan ilmu-ilmu sosial lain atau dikenal dengan
rapprochement. Supardan (2009, hlm. 336) dalam bukunya menjelaskan
bahwa:
Dengan adanya rapprochement antara ilmu-ilmu sosial dan sejarah, diharapkan akan terhindar dari kemacetan-kemacetan dan kekeringan kajian dalam studi sejarah. Ibarat suatu sistem, di mana sejarah bersifat diakronis perlu pula diimbangi dengan pendekatan sinkronis, atau sebaliknya. Namun yang jelas, dalam mendefinisikan unsur-unsur sistem tersebut yang saling mempengaruhi tidak ada satu faktor atau dimensi yang deterministik. Artinya unsur-unsur tersebut saling memengaruhi dan saling ketergantungan, serta bersama-sama mendukung fungsi sistem itu.
C. Pelaksanaan Penelitian
Di dalam proses penulisan skripsi, isi dari karya tulis ilmiah tersebut harus bersifat sistematis dan logis. Oleh karena itu, untuk mencapai syarat tersebut, selama pelaksanaan penelitian berlangsung peneliti telah melakukan beberapa tahapan penelitian di dalam metode historis. Seperti dijelaskan oleh Ismaun (2005, hlm. 48-51) bahwa tahapan tersebut terdiri dari pengumpulan sumber (heuristik), kritik sumber baik yang eksternal maupun internal, interpretasi hasil penyelsian sumber, dan penulisan karya tulis ilmiah (historiografi). Berikut adalah penjelasannya:
(33)
1. Pengumpulan Sumber (Heuristik)
Tahapan pengumpulan sumber atau disebut dengan heuristik adalah suatu tahapan penting yang dilakukan untuk mencari berbagai sumber yang memuat data-data yang membantu di dalam proses penyusunan skripsi. Data-data yang diperoleh berfungsi sebagai alat bukti yang membantu peneliti untuk mempertanggungjawabkan hasil tulisannya. Tahapan heuristik sangat diperlukan bagi sejarawan yang mempelajari manusia dengan menggunakan dokumen-dokumen yang memiliki potensi untuk mengungkapkan gejala sosial dalam masa lampau (Kartodirdjo, 1994, hlm 45-46).
Menurut Sjamsuddin (2007, hlm. 86) proses heuristik adalah proses yang sangat melelahkan karena selain menyita waktu, tenaga, pikiran, dan biaya, juga terkadang sangat sulit dilakukan, terutama jika sumber-sumber yang kita inginkan tidak tersedia di manapun. Karena kendala-kendala tersebut maka akan sangat baik jika sebelum melakukan proses pencarian ke berbagai tempat, seorang peneliti terlebih dahulu memusatkan pikirannya untuk membuat strategi mengenai cara memperoleh sumber tersebut. Selain itu juga harus dipikirkan tempat untuk memperoleh data tersebut dan besar biaya yang harus dikeluarkan selama proses pencarian sumber tersebut.
Pada prakteknya, setelah tema penelitian yang diajukan peneliti disetujui oleh tim TPPS Pendidikan Sejarah dan sebelum proposal diajukan kembali, peneliti telah melakukan pencarian sumber-sumber yang lebih luas dan relevan di Bandung dan Jakarta. Sebenarnya beberapa sumber literatur yang dibutuhkan sudah dimiliki oleh peneliti sebagai koleksi pribadi, namun pencarian sumber-sumber penelitian yang lebih luas telah membawa peneliti untuk mencari di berbagai perpustakaan di kota Bandung maupun di kota Jakarta. Mengenai pencarian sumber di kota Jakarta, peneliti haturkan terimakasih terhadap bantuan teman peneliti yang berkuliah di Jurusan Fisika Universitas Indonesia Depok, karena atas bantuannya peneliti dapat mengunjungi berbagai perpustakaan yang ada di Jakarta. Beberapa tempat yang dikunjungi oleh peneliti di antaranya:
(34)
a. Perpustakaan Kedutaan Besar Jepang Jakarta, di perpustakaan ini peneliti menemukan buku yang telah banyak membantu peneliti di dalam memahami lebih jauh nilai-nilai dan kepribadian masyarakat Jepang. b. Perpustakaan Japan Foundation Jakarta, peneliti terbantu sekali dengan
diperolehnya sumber mengenai pembahasan fenomena Mugyousha di Jepang melalui Social Science Japan Journal.
c. Perpustakaan Pusat Universitas Pendidikan Indonesia Bandung, peneliti dibantu dengan adanya berbagai sumber yang memuat materi mengenai Jepang terutama dilihat dari perkembangan faktor ekonomi dan budayanya.
d. Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia Jakarta, membantu peneliti untuk memperoleh berbagai data mengenai pola kehidupan generasi muda Jepang dewasa ini yang ditulis dalam berbagai surat kabar dan majalah, serta data-data mengenai pola kebudayaan masyarakat Jepang.
e. Perpustakaan Sejarah Batu Api Jati Nangor, telah membantu penulis untuk melengkapi data-data yang memuat berbagai penjelasan mengenai perkembangan kebudayaan dan pola berpikir masyarakat Jepang, dan f. Perpustakaan Museum Asia Afrika Bandung, yang membantu peneliti
untuk melengkapi data mengenai pendidikan di Jepang.
2. Kritik Sumber
Kritik sumber adalah suatu kegiatan bertujuan untuk membantu sejarawan di dalam menganalisis mengenai keakuratan isi data yang termuat dalam sumber-sumber yang telah dikumpulkan. Sjamsuddin (2007, hlm. 131-132) menjelaskan bahwa tujuan diadakannya kegiatan kritik sumber adalah:
Tujuan dari kegiatan-kegiatan itu ialah bahwa setelah sejarawan berhasil mengumpulkan sumber-sumber dalam penelitiannya, ia tidak akan menerima begitu saja apa yang tercantum dan tertulis pada sumber-sumber itu. Langkah selanjutnya ia harus menyaringnya secara kritis, terutama terhadap sumber-sumber pertama, agar terjaring fakta yang menjadi pilihannya. Langkah-langkah inilah yang disebut kritik sumber, baik terhadap bahan materi (ekstern) sumber maupun terhadap substansi (isi) sumber.
(35)
Kritik sumber umumnya dilakukan terhadap sumber-sumber pertama. Kritik ini menyangkut verifikasi sumber yaitu pengujian mengenai kebenaran atau ketepatan (akurasi) dari sumber itu. Dalam metode sejarah dikenal dengan cara melakukan kritik eksternal dan kritik internal.
Di dalam melakukan kegiatan penelitian yang bersifat ilmiah, tidak boleh ada anggapan bahwa perumusan masalah yang dipertanyakan adalah suatu hal yang baru dan tidak terpikirkan oleh orang lain. Sedangkan setiap melakukan pemeriksaan terhadap sumber-sumber penelitian dapat mempengaruhi pola pikir originalitas peneliti dan menghilangkan aslinya. Menurut Tan (1994, hlm. 18-19) di dalam memeriksa data-data di buku-buku sumber yang dibaca, harus diingat beberapa fungsinya, yaitu:
a. Untuk memperdalam pengetahuan tentang masalah yang diteliti b. Untuk menegaskan kerangka teoritis yang dijadikan landasan pikiran c. Untuk mempertajam konsep-konsep yang digunakan sehingga
mempermudah perumusan hipotesis- hipotesis
d. Untuk menghindarkan terjadinya pengulangan dari suatu penelitian
Seperti yang sudah dijelaskan oleh Sjamsuddin (2007, hlm. 132) bahwa di dalam metode penulisan sejarah kegiatan kritik sumber dikenal dengan cara melakukan kritik eksternal dan kritik internal. Menurut Gottschalk (1986, hlm. 80-84) kritik eksternal adalah penelitian yang dilakukan untuk memeriksa otentisitas dari sumber-sumber yang telah ditemukan yang dilihat dari masalah-masalah seperti dokumen palsu, dokumen yang cacat, dan restorasi teks. Sedangkan menurut Sjamsuddin (2007, hlm. 133-134) menyatakan bahwa:
Adapun yang dimaksud dengan kritik eksternal ialah suatu penelitian atas asal-usul dari sumber, suatu pemeriksaan atas catatan atau peninggalan itu sendiri untuk mendapatkan semua informasi yang mungkin, dan untuk mengetahui apakah pada suatu waktu sejak asal mulanya sumber itu telah diubah oleh orang-orang tertentu atau tidak. Kritik eksternal harus menegakkan fakta dari kesaksian.
Kartodirdjo (1994, hlm. 59) juga menambahkan bahwa:
Dalam metodologi kritik ekstern, dokumen adalah pangkal, sedangkan fakta dalam dokumen merupakan tujuan penelitian, sedangkan dalam metodologi ilmu-ilmu sosial, suatu kontruksi konsep atau teorilah
(36)
yang merupakan tujuan penelitian. Analisa mendetail yang dilakukan untuk meneliti dokumen serta menemukan fakta, terutama masuk bidang metodologi sejarah dan lazim disebut kritik historis.
Pada prakteknya, peneliti cukup mengalami beberapa kesulitan di dalam memahami proses kritik eksternal yang baik, hal ini dikarenakan kritik eksternal ini sebenarnya belum memiliki aturan baku yang mengatur mengenai hal-hal yang harus dibuktikan sebelum suatu sumber boleh dipakai atau tidak dalam suatu penelitian. Untuk mencari otentisitas dalam kritik sumber dapat dilakukan dengan beberapa langkah yang cukup membantu, yaitu: langkah pertama adalah mengidentifikasi penulis dari sumber yang dipakai, langkah kedua adalah dengan mencari tanggal dari penulisan (komposisi) atau dihasilkan (produksi), dan langkah terakhir atau langkah yang ketiga adalah dengan mencari informasi mengenai originalitas dari penulisan (Sjamsuddin, 2007, hlm. 134-137).
Untuk membantu di dalam melakukan kritik eksternal ini peneliti melaksanakan ketiga tahapan berikut berdasarkan penjelasan dari Sjamsuddin. Untuk langkah pertama, peneliti telah menggunakan buku-buku sumber yang ditulis dan disusun oleh orang-orang yang professional di bidangnya. Untuk membuktikannya, peneliti telah mencantumkan sejarah singkat latar belakang pendidikan setiap penulis yang peneliti jabarkan pada bab dua sebelumnya. Pada langkah kedua, peneliti menggunakan sumber-sumber yang memiliki tahun terbit. Adapun tahun-tahun terbit buku-buku sumber yang dipakai peneliti berbeda satu dengan lainnya, baik diterbitkan pada tahun 1900-an atau bahkan buku terbitan tahun 2012. Buku-buku tersebut digunakan untuk membantu peneliti di dalam menjelaskan berbagai konsep yang peneliti pinjam dari beberapa ilmu- ilmu sosial yang lain.
Pada langkah ketiga atau yang terakhir, mengenai isu originalitas. Karena buku-buku sumber yang dipakai peneliti dibuat oleh orang-orang yang professional yang mereka lakukan dalam rangka untuk meraih gelar akademis maupun penelitian, maka para penulis buku tersebut memahami dengan baik
(37)
bagaimana teknik mengutip. Hal ini menjadi nilai tambah tersendiri bagi peneliti, karena dengan adanya berbagai kutipan dari buku-buku sumber yang peneliti gunakan, peneliti bisa berusaha untuk memperoleh buku sumebr utamanya. Walaupun memang pada kenyataannya buku-buku sumber utama tersebut sulit sekali dicari dan sangat sudah jarang berada di toko buku.
Di dalam proses penyusunan skripsi, peneliti banyak menggunakan sumber-sumber selain buku yang diterbitkan, namun juga terdapat surat kabar, dokumen pemerintah, jurnal, dan majalah. Surat kabar adalah bahan dokumen yang sangat berharga yang selain berfungsi sebagai penyebar informasi tapi juga untuk meletakan pengaruh kepada publik. Pada dasarnya penelitian yang menggunakan surat kabar menurut Kartodirdjo (1994, hlm. 54) harus memperhatikan mengenai kepribadian pengarang atau wartawannya, sumber informasinya, norma-norma ketelitiannya, dan interpretasi penggunaan warna dalam peristiwa yang sedang diceritakan.
Mengenai sumber dokumen pemerintah Kartodirdjo (1994, hlm. 56-58) masih di dalam buku yang sama menyatakan bahwa karena sumber dokumen pemerintah dibuat dengan sungguh-sungguh, bersifat lebih objektif, memberikan detail berbagai peristiwa dengan lebih eksak, dan bersifat resmi, maka penggunaan sumber penelitian berupa dokumen pemerintah biasanya diterima sebagai badan otentik sehingga penggunaannya tidak memerlukan kritik eksternal. Di dalam penelitian skripsi ini peneliti menggunakan sumber dokumen pemerintah berupa buku yang diterbitkan Kemetrian Luar Negeri di Jepang yang memuat banyak sekali pemahaman terhadap pola hidup masyarakat Jepang.
Tahap selanjutnya adalah kritik internal, menurut Gottschalk (1986, hlm. 95) kritik internal adalah kegiatan yang dilakukan untuk mencari kredibilitas dari sumber-sumber yang telah ditemukan. Sedangkan Sjamsuddin (2007, hlm. 143-154) menyatakan bahwa kritik internal menekankan kegiatan evaluasi terhadap isi dari sumber setelah melakukan kegiatan kritik eksternal. Kegiatan evaluasi di dalam kritik internal dapat
(38)
dilakukan oleh seorang sejarawan dengan melakukan beberapa hal, pertama adalah dengan mencari arti yang sebenarnya dari kalimat-kalimat yang dituangkan dalam sumber-sumber yang dipakai, apakah memiliki pengertian harfiah berdasarkan huruf atau pengertian berdasarkan arti yang sesungguhnya. Karenanya agar mampu melaksanakan kegiatan pertama ini, seorang peneliti sejarawan harus memiliki kemampuan untuk melatih retorik dan hermeneutisnya sendiri.
Di dalam mempraktekkan proses pertama kritik internal ini, peneliti melakukannya terhadap semua buku sumber peneliti, terutama yang membahas materi ilmu-ilmu sosial yang tidak bertemakan sejarah. Dilakukannya kegiatan pencarian arti yang sebenarnya terhadap buku-buku tersebut dikarenakan terdapat banyak konsep dan istilah yang masih cukup asing didengar oleh peneliti, hingga wajib sekali untuk memahami apakan yang ditulis tersebut hanya memiliki arti sesuai dengan yang tertulis atau memiliki makna lain yang tersembunyi.
Kegiatan kedua yang dapat dilakukan seorang sejarawan adalah dengan bersikap di antara mudah percaya dan skpetis atau ragu di dalam mengevaluasi isi dari sumber-sumber sejarah yang dimiliki hingga mencapai kredibilitas yang baik. Maksud dari kegiatan kedua ini adalah untuk menghindari pengamatan yang keliru terhadap sumber-sumber sejarah yang telah dikumpulkan. Hal ini bertujuan untuk menghindari pandangan yang subjektif akibat salah paham yang terjadi terhadap sesuatu atau serangkaian peristiwa yang salah ditulis akibat pengamatannya yang keliru.
Di dalam prakteknya, untuk menegakkan kredibilitas dan melaksanakan kegiatan kedua dari proses kritik intern ini peneliti melakukan berbagai perbandingan terhadap sumber-sumber yang peneliti miliki. Peneliti juga berusaha untuk melacak berbagai perbedaan yang mungkin dimiliki oleh sumber-sumber tersebut dan melihat kesesuaian atau ketimpangan isi materi dari satu sumber dengan sumber lainnya. Contohnya saja peneliti menemukan terdapat ketimpangan yang menarik dari sumber-sumber peneliti yang
(39)
berhubungan dengan kisah Restorasi Meiji di buku yang ditulis Mattulada (1979), Rosidi (1981), dan Susilo (2009), yang menyatakan bahwa Restorasi Meiji telah membawa dampak yang positif tanpa menimbulkan berbagai kekacauan yang lain. Tapi menurut Pyle (1988) dan Reischauer (1982) berbeda, bahwa datangnya pengaruh nilai-nilai Barat yang datang kemudian, telah menimbulkan kekacauan terhadap identitas kebangsaan yang dimiliki oleh bangsa Jepang, terutama jika dilihat dari pola dan sikap hidup generasi muda Jepang.
D. Interpretasi
Menurut Sjamsuddin (2007, hlm. 155) interpretasi atau dalam bahasa Jerman dikenal dengan istilah Auffassung adalah kegiatan penafsiran dan pengelompokkan fakta-fakta dalam berbagai hubungan. Kegiatan penafsiran dilakukan dengan dilakukannya penyusunan data-data yang sudah berhasil dikumpulkan dan dikritisi baik bagian intern dan eksternnya hingga membentuk suatu kisah sejarah yang utuh dan dapat dipertanggungjawabkan dan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian yang dipertanyakan dalam rumusan masalah.
Untuk membuat sejarah dengan kisah yang utuh dan dapat dipertanggung-jawabkan, maka peneliti menggunakan pendekatan yang multidisipliner. Dengan menggunakan pendekatan multidisipliner ini artinya bukan hanya ilmu sejarah yang digunakan untuk melakukan kegiatan interpretasi, namun berbagai ilmu sosial lainnya sebagai tambahan ilmu bantu. Diharapkan dengan dilakukannya pendekatan yang multidisipliner, dapat membantu memperkaya materi objek penelitian yang sedang diteliti, dapat mendekati sikap yang objekti, dan juga mampu untuk mempertajam daya analisis terhadap permasalahan penelitian yang sedang dibahas.
Dilakukannya tahap interpretasi salah satunya bertujuan untuk memperkecil kesempatan terjadinya kekeliruan yang mungkin terjadi selama tahap penelitian. Menurut Sjamsuddin (2007, hlm. 171-179) seringkali di dalam melakukan proses penasiran, seorang sejarawan melakukan beberapa kesalahan atau kekeliruan. Agar peneliti dapat menghindari kekeliruan tersebut, peneliti telah melakukan beberapa
(1)
119
ekonomi dan meningkatnya angka pengangguran yang ada di Indonesia. Akan menjadi hal yang patut dikhawatirkan jika seandainya jumlah pengangguran yang cukup banyak di Indonesia nyatanya bertambah bukan karena tidak adanya lapangan pekerjaan, tetapi karena para generasi muda yang berada pada usia produktif (15-35 tahun) memang menolak untuk memiliki pekerjaan dan ingin terus menjadi tanggungan bagi kedua orangtuanya, seperti fenomena Mugyousha di Jepang.
(2)
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Abdullah, T & Abdurrachman, S. (1985). “Arah Gejala dan Perspektif Studi Sejarah
Indonesia”, dalam Ilmu Sejarah dan Historiografi Arah dan
Perspektif. Jakarta: PT Gramedia.
Akihiko, M. (2006). Shrinking-Population Economics Lessons from Japan. Japan: International House of Japan.
Benedict, R. (1982). Pedang Samurai dan Bunga Seruni. Jakarta: Sinar Harapan. Chie, N. (1981). Japanese Society. Great Britain: Hazell Watson & Viney Ltd.
Davies, R. J. & Osamu I. (Eds). (2002). The Japanese Mind. United State: Periplus Editions (HK) Ltd.
Genda, Y. (2006). Jobless Youths in Japan. Japan: University of Tokyo. Gottschalk, L. (1986). Mengerti Sejarah. Jakarta: UI Press.
Hall, J. W. (1985). “Historiografi Jepang”, dalam Ilmu Sejarah dan Historiografi
Arah dan Perspektif. Jakarta: PT Gramedia.
Hassan, F & Koentjaraningrat. (1994). “Beberapa Azas Metodologi Ilmiah”, dalam Metode-Metode Penelitian Masyarakat Edisi Ketiga. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Ismaun. (2005). Pengantar Belajar Sejarah Sebagai Ilmu dan Wahana Pendidikan. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Ishii, R. (1988). Sejarah Institusi Politik Jepang. Jakarta: PT Gramedia.
Kaplan, D. E. & Alec, D. (2011). Yakuza: Sejarah Dunia Hitam Jepang. Depok: Komunitas Bambu.
Kartodirdjo, S. (1994). “Metode Penggunaan Bahan Dokumen”, dalam
Metode-Metode Penelitian Masyarakat Edisi Ketiga. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
(3)
Kodansha. (1994). Japan: Profile of a Nation. Tokyo: Kodansha International Ltd. Koentjaraningrat. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Krugman, P. (2001). Kembalinya Depresi Ekonomi. Bandung: Institut Teknologi
Bandung.
Kunio, Y. (1987). Sogo Shosha Pemandu Kemajuan Ekonomi Jepang. Jakarta: PT Gramedia.
Kuntowijoyo. (1994). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya. Mangunhardjana, A. M. (1989). Pendampingan Kaum Muda. Yogyakarta: Kanisius. Mattulada. (1979). Pedang dan Sempoa. Kyoto: Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Nakane, C. (1981). Japanese Society. Great Britain: Hazel Watson &Viney Ltd.
Oshima, H. T. (1981). “Penyerapan Tenaga Kerja di Asia Timur dan Asia
Tenggara-Sebuah Ringkasan dengan Tafsir Atas Pengalaman Selama Zaman Setelah Perang”, dalam Teori Ekonomi dan Penerapannya di Asia-Buku Kedua Ekonomi Makro dan Ekonomi Mikro. Jakarta: PT. Gramedia.
Pyle, K. B. (1988). Generasi Baru Zaman Meiji. Jakarta: PT. Gramedia.
Ranjabar, J. (2008). Perubahan Sosial Dalam Teori Makro - Pendekatan Realitas Sosial. Bandung: Alfabeta.
Reischauer, E. O. (1982). Manusia Jepang. Jakarta: Sinar Harapan.
Ritzer, G & Douglas J. G. (2012). Teori Sosiologi Modern Edisi Keenam. Jakarta: Kencana.
Rosidi, A. (1981). Mengenal Jepang. Jakarta: Pusat Kebudayaan Jepang Jakarta. Saifuddin, A. F. (2006). Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis Mengenai
Paradigma. Jakarta: Kencana.
Sjamsuddin, H. (2007). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.
Soekanto, S. (2005). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Soemanto, W. (2002). Pedoman Teknik Penulisan Skripsi (Karya Ilmiah). Jakarta: PT
(4)
Supardan, D. (2009). Pengantar Ilmu Sosial Sebuah Kajian Pendekatan Struktural. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Susilo, T. A. (2009). Spirit Jepang. Yogyakarta: Garasi.
Takafusa, M. (1994).Lectures on Modern Japanese Economic History 1926-1994. Japan: LTCB International Library Foundation.
Tan, M. G (1994). “Masalah Perencanaan Penelitian”, dalam Metode-Metode
Penelitian Masyarakat Edisi Ketiga. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
The Japan Institute for Labour Policy and Training. (2005). Labor Situation in Japan and Analysis: Detailed Exposition 2005/2006. Japan: The Japan Institute for Labour Policy and Training.
UPI. (2013). Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
___ . (2014). Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Vogel, E. F. (1982). Jepang Jempol. Jakarta: Sinar Harapan.
Wirartha, I. M. (2006). Metodologi Penelitian Sosial Ekonomi. Yogyakarta: CV. Andi Offset.
Wu, W. G. (1985). “Historiografi Asia Selatan dan Asia Tenggara”, dalam Ilmu
Sejarah dan Historiografi Arah dan Perspektif. Jakarta: PT Gramedia. Yoshikawa, H. (2002). Japan’s Lost Decade. Japan: The International House of
Japan
DiterbitkanLembagaPemerintah:
Kementrian Luar Negeri. (1979). Jepang Dewasa Ini. Jepang: Kementrian Luar Negeri.
(5)
Skripsi:
Adiningtyas, R. S. (2008). Fenomena Jisatsu di Jepang pada Masa Sebelum dan Sesudah Perang Dunia II. Skripsi pada FIPB UI Depok: tidak diterbitkan.
Afifa, D. Y. (2005). Niito: Fenomena Baru Generasi Muda Jepang. Skripsi pada FIPB UI Depok: tidak diterbitkan.
Hertesa, Y. (2007). NEET dan Hubungannya dengan Nilai-Nilai Masyarakat Jepang. Skripsi pada FIPB UI Depok: tidak diterbitkan.
Puriandari, U. (2007). Otaku dalam Subkultur Jepang. Skripsi pada FIPB UI Depok: tidak diterbitkan.
Puspitasari, E. (2008). Label Positif dalam Masalah Hikikomori. Skripsi pada FIPB UI Depok: tidak diterbitkan
Jurnal:
Genda, Y. (2007). “Jobless Youths and the NEET Problem in Japan”.Sosial Science
Japan Journal.10. (1), 23-40
_________ . (2005). “The “NEET” Problem in Japan”.Sosial Science Japan Journal,
32. 3-5
Hommerich, C dan Florian K. (2010). “Free No More”. The ACCJ Journal. 36-38
Inui, A. (2005). “Why Freetes and NEET are Misunderstand: Recognizing the New
Precarious Conditions of Japanese Youth”. Social Work & Society,
3.(2). 244-251
Kosugi, R. (2005). “The Problem of Freeters and “NEETs” Under the Recovering
Economy”.Sosial Science Japan Journal, 32. 6-7
Kudo, Kei. (2005). “Outreach: Helping “NEETs” Become Active Members of
Society”. Sosial Science Japan Journal, 32. 10-11
Lunsing, W. (2008). “Niitotteiuna! (Don’t call us NEET!)”. Social Science Japan
(6)
_______ . (2007). “The Creation of the Social Category of NEET (Not in Education,
Employment or Training): Do NEET Need This?”.Social Science
Japan Journal.10. (1). 105-110
Yuki, H. (2003). “The Reality of the Japanese School-to-Work Transition System at
the Turn of the Century: Necessary Disillusionment”. Social Science
Japan Journal. 8-12
Majalah/ SuratKabar
Chapman, D. E dan Daniel C. D. (2005). “NEETs, “Freeters” & Social Loafers:
Impressions of Japan’s Perceived Undesirables”. BuletinHijiyama
University. (Desember 2005)
Fackler, M. (2011). “In Japan, Young Face Generational Roadblock”. The New York
Times (27 Januari 2011)
Inaizumi, R. (2002). “Young People Gravitating to “Faceless Occupations””.Japan
Close Up (September 2002)
Mitsuharu, I. (1985). “Jobs Lost and Gained Through Microelectronics”. Japan Echo
(Agustus 1985)
Miyamoto, M. (2001). “The Era When “Those Whom You’d Like to Give Birth”