STUDI KELAYAKAN MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH DI SEKOLAH DASAR : Studi Kasus terhadap Kesiapan Sekolah Dasar dalam Menyongsong Pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah Se-Kecamatan Rancasari Kota Bandung.

STUDI KELAYAKAN MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
Dl SEKOLAH DASAR

(Studi Kasus terhadap Kesiapan Sekolah Dasar dalam
Menyongsong Pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah

Se-Kecamatan Rancasari Kota Bandung)

TESIS
Diajukan untuk memenuhi sebagian syarat
Memperoleh gelar Magister Pendidikan
Program Studi Administrasi Pendidikan

Oleh:

Hj. IIS HINDASAH
NIM.999600

ADMINISTRASI PENDIDIKAN (S2)

PROGRAM PASCASARJANA


UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2001

Disetujui dan disyahkan oleh:

Pembimbing I

Prof.Dr.H. Mohamad Idochi Anwar

Pembimbing ii

Prof.Dr.H. Djam'an Satori, MA

Program Pascasarjana
Universitas Pendidikan Indonesia
2001

Mengetahui,
Ketua Program Studi Administrasi Pendidikan


Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia

Prof.Dr.H

bin Syamsuddin Makmun, MA

Program Pascasarjana
Universitas Pendidikan Indonesia
2001

ABSTRAK
STUDI KELAYAKAN MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
DI SEKOLAH DASAR

(Studi Kasus terhadap Kesiapan Sekolah Dasar dalam
Menyongsong Pelaksanaan Manajemen Berbasis sekolah
Se-Kecamatan Rancasari Kota Bandung)

Peneiitian ini bertujuan untuk menggali, menghimpun, dan

memaknai tingkat kesiapan sekolah dasar yang ada di Kecamatan
Rancasari dalam menyongsong pelaksanaan Manajemen Berbasis
Sekolah. Permasalahan dalam peneiitian ini adalah: "bagaimana kesiapan
sekolah dasar dalam melaksanakan Manajemen Berbasis Sekolah di
Kecamatan Rancasari?"

Metode peneiitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan

pendekatan menggunakan peneiitian kualitatif. Alat pengumpul data yang
digunakan adalahwawancara, observasi, dan telaah dokumentasi dengan
subyek peneiitian adalah kepala SD, guru, perwakilan orang tuasiswadan
Kepala Cabang Dinas Pendidikan setempat.
Analisis lingkungan pendidikan sekolah dasar dalam menyongsong

pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah, dapat dijelaskan sebagai
berikut:

1. Kekuatan: (1) UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 25 Tahun
1999; (2) sosialisasi MBS (3) kesadaran dan kontrol masyarakat
terhadap pendidikan dan (4) adanya bantuan dana dari "British

Education Project'.

2. Kelemahan: (1) belum meratanya kemampuan kepala SD dan guru;

(2) belum meratanya daya dukung masyarakat dalam pendidikan.
3. Peluang: (1) niak baik pemerintah melaksanakan MBS; (2) adanya
perusahaan di lingkungan pendidikan; dan (3) adanya KKG.
4. Tantangan: (1) posisi SD dalam pendidikan selanjutnya; (2)
desentralisasi pendidikan; (3) kecenderungan masyarakat terhadap
mutu pendidikan, akuntabilitas, dan transfaran.
Kesiapan sekolah dasar dalam menyongsong pelaksanaan

Manajemen Berbasis Sekolah, dapat dilihat dari sisi organisasi,
pengelolaan kurikulum, SDM, pengeiolaan siswa, sarana prasarana,
anggaran pendidikan, dan partisipasi masyarakat.

Upaya Kepala Sekolah Dasar Dalam Melaksanakan Dimensi

Pendukung MBS adalah akuntabilitas publik, peningkatan mutu
pendidikan, dan sosialisasi MBS.


DAFTAR ISI

Hal

PERNYATAAN
LEMBAR PENGESAHAN
ABSTRAK

j
H
jjj

KATA PENGANTAR

iv

UCAPAN TERIMA KASIH

vj


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR

ix
xiv
xv

DAFTAR LAMPIRAN

xvi

BAB I

-,
1
8
13
13

15
16

BAB II

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Paradigma Peneiitian
C. Rumusan Masalah
D. Pertanyaan Peneiitian
E. Tujuan Peneiitian
F. Manfaat Peneiitian
LANDASAN TEORITIS
A. Konsep Administrasi Pendidikan
1. Pengertian Administrasi Pendidikan
2. Kepemimpinan Dalam Konteks Administasi
Pendidikan

18
18

18
23

B. Peranan Kepala Sekolah Dalam Meningkatkan Mutu

.

Pendidikan
1. Konsep Dasar Mutu Pendidikan

24
24

2. Jabatan Kepala Sekolah Dasar Sebagai Profesional
Dalam Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan
3. Fungsi dan Peranan Profil Kepemimpinan Kepala

29

Sekolah


30

C.) Konsep Manajemen Berbasis Sekolah

35

1. Latar Belakang Munculnya Konsep Manajemen
Berbasis Sekolah Dalam Sistem Pendidikan

Di Indonesia
2. Nilai Filosofis Manajemen Berbasis Sekolah

35
40

3. Implikasi Manajemen Berbasis Sekolah Terhadap
Pengelolaan Sekolah Dasar

45


4. Strategi Pengembangan Manajemen Berbasis Sekolah
di Sekolah Dasar
D. Studi Terdahulu Yang Relevan

ix

50
55

BAB III

BAB IV

METODE PENELITIAN
A. Metode Peneiitian
B. Lokasi Peneiitian

57
57

59

C. Subyek Peneiitian
D. Teknik Pengumpulan Data

62
63

E. Teknik Analisa Data
F. Keabsahan Hasil Peneiitian

66
68

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

70

A. Deskripsi Data Peneiitian

70

1. Analisis SWOT Karakteristik Lingkungan Pendidikan
Di Sekolah Dasar Se Kecamatan Rancasari Dalam

Pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah
2. Kesiapan Sekolah Dasar Dalam Pelaksanaan

70

Manajemen Berbasis Sekolah
3. Upaya Yang Dilakukan Kepala Sekolah Dalam

105

Melaksanakan Dimensi Pendukung Manajemen
Berbasis Sekolah

B. Rangkuman dan Pembahasan Hasil Peneiitian

140

146

1. Analisis SWOT Lingkungan Pendidikan Sekolah
Dasar Dalam Pelaksanaan Manajemen Berbasis
Sekolah

146

2. Profil Kesiapan Sekolah Dasar Dalam Pelaksanaan
Manajemen Berbasis Sekolah di Kecamatan
Rancasari

150

3. Upaya Yang Dilakukan Kepala Sekolah Dasar Dalam
Melaksanakan Dimensi Pendukung Manajemen
Berbasis Sekolah

BABV

153

KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

158

A. Kesimpuian
B. Implikasi

158
166

C. Saran

168

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

DAFTAR TABEL
Hal

No 1; Daftar Nama Sekolah Dasar di Wilayah Kerja Cabang
Dinas Pendidikan Kecamatan Rancasari Kota Bandung

Tahun Ajaran 2000-2001

60

No 2; Daftar Jumlah Murid Sekolah Dasar di Kecamatan
Rancasari Tahun Ajaran 2000-2001

61

No 3; Alokasi Pembiayaan Rencana Kegiatan Gugus Bina BEP
Tahun Anggaran 2001

84

No 4; Laporan Penilaian Kinerja Kepala Sekolah Dasar di
Cabang Dinas Pendidikan Kecamatan Rancasari
Kota Bandung Tahun 1999-2000

86

No 5; Pembentukan Dewan Sekolah Pada Sekolah Dasar

' Se Kecamatan Rancasari Tahun 1999-2000

106

No 6; Rangkuman Data Peneiitian Perbedaan Wewenang
Kepala Sekolah Sebelum dan Sesudah MBS
Dilaksanakan

12°

No 7; Rangkuman Data Peneiitian Perbedaan Wewenang
Guru Sebelum dan Sesudah MBS Dilaksanakan

123

No 8; Partisipasi Masyarakat Dalam Pendidikan di Kecamatan
Rancasari Tahun 2001

140

No 9 Rangkuman Data Tentang Analisis SWOT Dalam
Pelaksanaan MBS di Sekolah Dasar

146

No10;Profil Kesiapan Sekolah Dasar Dalam Pelaksanaan
Manajemen Berbasis Sekolah di Kecamatan
Rancasari Tahun 2000-2001

150

No11; Upaya Yang Dilakukan Kepala Sekolah Dasar Dalam
Melaksanakan Dimensi Pendukung MBS di

Kecamatan Rancasari

154

No 12; Kondisi Sekolah Dasar di, Kecamatan Rancasari Dalam
Menyongsong Pelaksanaan Manajemen Berbasis
Sekolah Tahun 2001

156

XI

DAFTAR GAMBAR
Hal

No 1; Paradigma Peneiitian

12

No 2; Paradigma Strategi MBS

46

No 3; Profesional isme Kepala Sekolah dan Guru Dalam
Menyongsong MBS di Kecamatan Rancasari

Xll

125

DAFTAR LAMPIRAN

1. Instrumen Peneiitian

2. Rangkuman Hasil Wawancara
3. SK Pembimbing Tesis

4. Surat Ijin Peneiitian

5. Surat Keterangan Meiakukan Peneiitian
6. Riwayat Hidup

xin

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Berdasarkan hasil peneiitian berkenaan dengan kualitas pendidikan

pada jenjang Sekolah Dasar menunjukkan masih rendah dalam arti
kemampuan yang terukur. Tes diagnostik yang pernah dilakukan oleh
Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah menunjukkan bahwa pada

tingkat SD ditemukan hanya kira-kira 59 persen dari bahan pelajaran yang
diajarkan (Dikdasmen, 1990).

Demikian pula kesimpuian hasil temuan peneiitian Bank Dunia

(1998), terungkap ada tiga faktor dominan yang menjadi kendala kualitas
pendidikan dasar termasuk jenjang SD di Indonesia, dan termasuk dalam

posisi krisis. Pertama, institusi pemerintah yang mengelola tingkat

pendidikan dasar (SD/MI) sangat rumit dan kurang terkoordinasi, yaitu
antara instansi Depdikbud, dan Depdagri, serta Depag (Implikasi dari PP
No. 28 Tahun 1990, sebagai perpanjangan jiwa PP No. 65 Tahun 1951).

Kedua, anggaran pendidikan nasional dikelola secara kaku dan terkotak-

kotak, baik jenis anggarannya maupun instansi yang menanganinya.

Anggaran Rutin (DIK) untuk pendidikan disiapkan oleh tiga instansi, yaitu
Departemen Keuangan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
(sekarang Depdiknas) dan Departemen Dalam Negeri. Adapun anggaran

Pembangunan (DIP) disiapkan oleh Bappenas, Depdikbud dan Depdagri.

Masing-masing jenis anggaran ini memiliki ketentuan sendiri yang kaku

dan prosedur yang dianggap tidak efisien. Ketiga, manajemen sekolah
yang tidak efektif. Sekolah merupakan institusi yang memegang peranan

penting dalam menentukan mutu pendidikan dan kepala sekolah adalah
pelaku utama yang memainkan peranan sekolah. Peningkatan mutu
sekolah memeriukan kepala sekolah yang mampu: (a) memandang
bahwa sumber daya yang ada adalah guna menyediakan dorongan yang

memadai bagi guru-guru, (b) mencurahkan banyak waktu untuk

pengelolaan dan koordinasi proses instruksional, dan (c) berkomunikasi
secara teratur dengan staf, orang tua, siswa, dan anggota masyarakat

disekitarnya. Akan tetapi pada umumnya kepala sekolah negeri di
Indonesia memiliki otonomi yang terbatas dalam mengelola sekolah dan

mengalokasi sumber daya yang diperlukan. Tambahan pula, kepala
sekolah kebanyakan tidak dilengkapi dengan kemampuan manajerial atau

kepemimpinan yang memadai. Banyak di antara kepala sekolah yang

hanya mengikuti pelatihan beberapa hari tentang konsep administrasi dan
orientasi peraturan kebijakan pendidikan ketika mereka baru menjabat
sebagai kepala sekolah. Selain itu promosi sebagai kepala sekolah secara
ketat didasarkan pada urutan jenjang kepangkatan, dan belum ada suatu
pola yang mantap (World Bank Study, 1988).
Michael Fulan (1999:12), mengemukakan isu pokok lemahnya

peranan kepala sekolah dalam mengelola lembaganya. Ada tiga faktor,
yaitu: pertama, pada umumnya kepala sekolah (khususnya sekolah

negeri) memiliki otonomi yang sangat terbatas dalam mengelola
sekolahnya atau dalam memutuskan pengalokasian sumber daya. Kedua,

pada sisi kepala sekolah sendiri, diidentifikasi bahwa kepala sekolah
kurang memiliki keterampilan untuk mengelola sekolah dengan baik.

Ketiga, kecilnya peran serta masyarakat dalam pengelolaan sekolah,

padahal perolehan dukungan dari masyarakat merupakan bagian dari
peran kepemimpinan kepala sekolah.

Ketiga faktor tersebut, selaras dengan rekomendasi Bank Dunia
untuk memberikan otonomi

dalam manajemen sekolah

yang

accountability. Pada intinya rekomendasi tersebut memandang perlu
dikembangkan manajemen yang berbasis sekolah (School-Based

Management), yang dilengkapi tiga sistem pokok, yaitu: (1) kepala
sekolah dipilih oleh masyarakat, (2) penghargaan terhadap kepala sekolah

yang berprestasi, dan (3) program-program "modular training" untuk
kepala sekolah. Acuan dari berbagai literatur yang mendukung kelebihan
sistem ekonomi

sekolah

tersebut.

Rizvi

dan Lingard

(1992)

berargumentasi bahwa "otonomi sekolah dapat menyertakan masyarakat
dalam melaksanakan keputusan-keputusan sekolah". Sudutpandang lain
dikemukakan oleh Peach (1994) yang disepakati oleh Cranston (1995)

dan Rizvi (1994), hal utama dari ekonomi sekolah adalah meningkatkan

manajemen sekolah untuk membebaskan pengalokasian sumber daya
dari kepentingan yang bersifat administratif ke kepentingan yang lebih
bersifat edukatif.

Namun demikian, muncul berbagai pertanyaan apakah dengan

pemberian otonomi sekolah tersebut akan menyelesaikan semua

persoalan yang dihadapi? Jawabannya tentu tidak, bahkan mungkin

menimbulkan masalah baru, sepanjang kriteria yang ditetapkan tidak

dilaksanakan sebagaimana seharusnya. Oleh karena itu perlu

mempertimbangkan pendapat Caldwell (1993), mengenai alasan
restrukturisasi manajemen sekolah, yaitu antara lain karena salah satu

atau beberapa faktor berikut; efisiensi administrasi pendidikan umum, efek
resesi ekonomi, kompleksitas permasalahan pendidikan, memberdayakan

guru dan orang tua, keperluan akan "fleksibility" dan "responsive",
efektifitas sekolah dan "school improvement". Oleh sebab itu, diperlukan

seperangkat pendekatan konseptual yang dapat memberikan arahan
praktik organisasi, ekonomi dan sosial.

Asumsi yang melandasi School Based Management, merupakan

adanya suatu model altematif program desentralisasi bidang pendidikan,
sebagai wujud dari reformasi pendidikan di Indonesia. Manajemen
berbasis sekolah mempunyai potensi menawarkan partisipasi masyarakat,

pemerataan, efisiensi, serta manajemen yang bertumpu di tingkat sekolah.
Model ini dimaksudkan untuk menjamin semakin rendahnya kontrol pusat,

tetapi semakin meningkatkan otonomi sekolah untuk menentukan sendiri
apa yang perlu diajarkan dan mengelola sumber-sumber daya untuk
berinovasi. Demikian pula memiliki potensi dalam menciptakan kepala

sekolah, guru dan administrator yang profesional. Keadaan tersebut,

diharapkan mengarah kepada kesimpuian kompetitif, responsif terhadap
kebutuhan masing-masing tingkat.

Michael Fulan (1999:16), mengidentifikasi manajemen berbasis
sekolah di Indonesia, yakni sekolah memiliki kebebasan yang tinggi dalam

pengelolaan tanpa mengabaikan kebijakan dan prioritas pemerintah.
Namun demikian strategi yang dianggap memadai meliputi: (1) kurikulum

yang bersifat inklusif; (2) proses belajar mengajar yang efektif, (3)
lingkungan sekolah yang mendukung; (4) sumber daya yang berasas

pemerataan; (5) standarisasi dalam bidang-bidang monitoring, evaluasi
dan tes. Kelima strategi tersebut harus menyatu ke dalam empat lingkup

fungsi sekolah, yakni manajemen (organisasi, kepemimpinan), proses

belajar mengajar, sumber daya manusia, dan administrasi sekolah.
Berdasarkan kondisi persekolahan di Indonesia, dapat diklasifikasikan

sekolah yang maju, sedang dan kurang. Pada saat ini diperkirakan
minimal tiga tingkatan model, yaitu sekolah yang dapat memberlakukan

manajemen berbasis sekolah secara penuh, sekolah dengan berbasis
sekolah tingkat menengah (sedang) dan sekolah dengan manajemen
berbasis sekolah secara minimal. Kriteria dari masing-masing tingkatan
tersebut ditentukan oleh sejumlah indikator.

Bertolak dari uraian yang dipersiapkan oleh pihak pemerintah,

tentunya diperlukan berbagai kesiapan yang serius dari pihak aparatyang
ada di lini persekolahan, melalui berbagai pemikiran dan konsep yang

relevan bagi pengembangan wilayah pendidikan. Oleh sebab itu, menarik

perhatian penulis untuk menganalisis upaya-upaya apa yang dapat
disumbangkan kepada suatu rencana dan pelaksanaan di masa depan
berkenaan dengan pendidikan, khususnya menyongsong manajemen
berbasis sekolah dalam rangka otonomi daerah di Indonesia. Salah satu

yang menjadi perhatian, baik secara konseptual maupun praktik di
lapangan pendidikan, yaitu peranan kepala sekolah.

Richard C. Williams (1974:19), mengemukakan bahwa "The leader

behavioral school principal is one determinant of the ability of a school to
attain its stated educational goal". Pandangan tersebut, menunjukkan

bahwa setiap tingkah laku kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan di
arahkan untuk membantu

pencapaian tujuan pendidikan.

Dengan

demikian, kemampuan kepemimpinan kepala sekolah dapat menciptakan
inovasi dan perubahan-perubahan sekolah.

Paul

Harling

(1984:30)

mengemukakan

"The

importance

leadership in the process of innovation and change within an educational
organizations is widely acknowledged". Kepemimpinan merupakan faktor
yang sangat menentukan terjadinya inovasi dan perubahan di sekolah.
Kedua pendapat tersebut, masih relevan dijadikan suatu inspirasi

bahwa begitu pentingnya peran dan fungsi kepala sekolah dalam rangka
pembaharuan dan perubahan di lingkungannya, yang mengarah kepada
peningkatan kualitas pendidikan.
Secara realitas di lapangan, nampak bahwa masalah kepala

sekolah masih menjadi suatu persoalan bahkan tidak terlepas dari

fenomena yang muncul ke permukaan mulai dari rekruitmen (promosi),
dengan penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan sumber daya,
dan kemerosotan wibawa kepemimpinan. Yang seluruhnya saling terkait
dalam sistem, dan mekanisme yang ada. Fenomena tersebut dihadapkan

kepada berbagai percepatan tuntutan masyarakat yang begitu mendesak,

namun secara dinamika organisasi, dapat dijadikan suatu peluang untuk

perbaikan di masa depan. Salah satu hal yang menurut pandangan
penulis berkenaan dengan kepala sekolah, yang mengarah kepada

manajemen berbasis sekolah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah
perlu adanya suatu formulasi peniiaian objektif dan selaras dengan
tuntutan dan kewilayahan.

Cabang Dinas Pendidikan Kecamatan Rancasari, sebagai bagian
dari Dinas Pendidikan Kota Bandung sedang meiakukan berbagai

pembenahan dalam rangka menyongsong pelaksanaan Manajemen
Berbasis Sekolah. Hal tersebut, nampak dengan dirumuskannya visi, misi,

dan strategi pencapaian visi misi. Dari telaah dokumentasi, rumusan visi

Cabang Dinas Pendidikan Kecamatan Rancasari adalah: "menjadikan
Cabang Dinas Pendidikan Kecamatan Rancasari dalam suasana "MEKAR
SERASI", yakni menjalin kerjasama, semangat, ramah, dan sinergi".
Sementara rumusan

misi

Cabang

Dinas

Pendidikan

Kecamatan

Rancasari, yakni sebagai berikut:

1. Menjalin kerjasama personal, interlembaga, antar lembaga, dan
lintas lembaga.
2. Memberi motivasi untuk menumbuhkan semangat berprestasi.

3. Memberikan pelayanan prima dan ramah kepada pengguna
pelayanan jasa.

4. Menciptakan sinergi pada stakeholders intern dan sinergi pada
stakeholder ekstern.

Untuk mewujudkan tercapainya visi dan

misi yang telah

dirumuskan, Cabang Dinas Pendidikan Kecamatan Rancasari sudah
merumuskan strategi pencapaiannya, yakni sebagai berikut:

1. Menjalin kerjasama dengan Camat selaku Kepala Wilayah
2. Mewujudkan kerjasama dengan Cabang PGRI kecamatan.
3. Membuka peluang/kesempatan kerjasama dengan Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM).

4. Membuka peluang kerjasama dengan lembaga bisnis.
5. Memasarkan program peningkatan mutu kepada publik.

6. Mengembangkan peran serta masyarakat melalui tokoh
masyarakat.

7. Menjalin kerjasama pendidikan persekolahan dengan lembaga
pemerintah setempat berserta camat/lintas sektoral.
Secara konseptual dapat dipahami bahwa dengan rumusan visi,
misi dan strategi pencapaiannya tersebut, Kecamatan Rancasari

dipandang siap untuk melaksanakan Manajemen Berbasis Sekolah. Akan
tetapi hal tersebut, memerlukan kesiapan dan dukungan nyata dari
segenap komponen penyeienggara pendidikan yang ada di Kecamatan
Rancasari. Berangkat dari pemikiran dan kenyataan tersebut, maka upaya

untuk menggali dan menghimpun kesiapan lingkungan pendidikan

merupakan langkah pertama dan utama, sebagai bahan informasi dalam
merumuskan strategi pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah.

B. Paradigma Peneiitian

Perilaku kepemimpinan kepala sekolah dalam melaksanakn tugas
sehari-hari di sekolah, sangatlah kompleks mulai dari pengelolaan

ketenagaan, pendanaan, proses belajar dan berbagai kegiatan lainnya,
sehingga secara rutin kepala sekolah tanpa berorientasi pada tugas

sehingga kebutuhan dan pembinaan keprofesionalan dirinya sering
terabaikan. Demikian pula, selama ini terjadi suatu power replection dari

profil pejabat di atasnya. Artinya kepala sekolah juga tidak dapat
dihindarkan dari suatu pola kepemimpinan secara nasional, yang bersifat

penyambung lidah atasan kepada para bawahannya, hal itu nampak pada
rapat-rapat dinas di sekolah. Rapat dinas sudah bukan rahasia umum lagi,
hanya

bersifat

penyampaian

juklak

dan

juknis,

kurang

menumbuhkembangkan sikap demokrasi, dan menilai bawahan yang kritis
dengan sikap kontra produktif.

Fakry Gafar (1985:3-4), mengemukakan bhawa kepemimpinan

pendidikan, dapat dilihat dari ciri perilaku khas dalam fenomena

kepemimpinan, yaitu: (1) partenalistik, (2) kepatuhan semu, (3)
kemandirian lemah, (4) konsensus, dan (5) evasive (selalu dihindarkan).

Implikasinya terhadap organisasi sekolah, persepsi, sikap dan

perilaku anggota tampak

tidak sesuai dengan tuntutan organisasi

pendidikan, yang mengarah kepada nuansa dan wacana pendidikan
hakiki.

Lazaruruth

(1987:60),

menyatakan ada

dua

alasan

yang

menyebabkan peran kepala sekolah, yakni: (1) berkewajiban memelihara
hubungan kerja sama yang erat dengan guru, personil lain, siswa dan
orang tua, (2) mempunyai pengaruh yang langsung terhadap program
pengajaran, rencana, dan pelaksanaan pendidikan.

Sebagaimana

disebutkan

di

atas,

dewasa

ini

sedang

disosialisasikan Manajemen Berbasis Sekolah yang diasumsikan sebagai
alternatif dalam meningkatkan mutu pendidikan. Namun demikian,

sehebat apapun sebuah pola manajemen sekolah, terletak pada

kemampuan manajerial kepala sekolah, apalagi dalam Manajemen

Berbasis Sekolah tersebut menitikberatkan pada kemampuan manajerial
kepala sekolah secara otonomi.
Sisi lain yang ikut mempengaruhi keberhaslan pelaksanaan

Manajemen Berbasis Sekolah, adalah menyangkut perangkat perundangundangan

atau

kebijakan

yang

memberikan

dasar dalam

tahap

implementasinya. Implikasinya bagi para praktisi pendidikan termasuk
kepala sekolah perlu memahami wawasan yang komprehensif tentang UU
No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (UUPD), dan UU No. 25
tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah
(UUPK). Sehubungan dengan hal tersebut. Mulyani (1999), menyebutkan

tiga macam dasar pemikiran yang mendasari ditetapkannya UU No. 22
tahun 1999, yakni sebagai berikut:
1.

Dalam rangka memberikan keleluasaan kepada daerah untuk
menyelenggarakan otonomi daerah.
2. Penyeienggaraan otonomi daerah itu diharapkan dilakukan
dengan prinsip demokrasi, peran serta masyarakat,
pemerataan dan keadilan, kemandirian, memperhatikan
potensi dan keanekaragaman daerah, menjaga keserasian
hubungan pusat dan daerah, serta meningkatkan peran dan
fungsi legislatif, azas dekonsentrasi yang diikuti dengan
dukungan pembiayaannya.
3. Semua itu dimaksudkan guna mengahdapi tantangan
persaingan global dengan memberikan kewenangan luas,
nyata, dan bertanggung jawab secara proporsional.
Dari kandungan yang dirumuskan dalam UU No. 22 tahun 1999,
sebenarnya

telah

memberikan

dukungan

yang

positif

pemerintahan daerah untuk melaksanakan pembangunan,
pembangunan

pendidikan

dengan

memasukkan

terhadap

termasuk

pertimbangan-

pertimbangan kontekstual daerah. Manakala hal tersebut dilaksanakan

pada level persekolahan, maka diperlukan model pengelolaan yang

11

searah dengan konsep otonomi atau kemandirian. Mencermati kajian
konseptual tersebut, maka pengembangan kerangka atau konsep
Manajemen Berbasis Sekolah penting dilaksanakan pada tatanan
sekolah.

Studi tentang kelayakan pelaksanaan Manajemen Berbasis

Sekolah pada level sekolah, perlu menyertakan analisis SWOT (Strenght,
Weakness, Opportunity, Threats). Dalam analisis SWOT ini, akan
diidentifikasi faktor-faktor intern dan faktor-faktor ekstern.

Faktor-faktor intern, terdiri atas kekuatan dan kelemahan yang

dapat dianalisis dalam lingkungan pendidikan sekolah dasar yang ada di
Kecamatan

Rancasari

Kota

Bandung.

Untuk

membantu

dalam

menganalisis faktor-faktor intern ini dapat dilakukan dengan meiakukan

pendalaman terhadap komponen-komponen yang ada dalam lingkungan
institusi sekolah dasar, seperti kepemimpinan kepala sekolah, kompetensi

guru, kondisi pembiayaan sekolah, dan perangkat perundang-undangan
pendukung.

Faktor-faktor ekstem, terdiri atas peluang dan ancaman yang dapat
dianalisis dengan mencermati berbagai fenomena yang ada di luar sistem
institusi sekolah dasar yang memiliki hubungan, baik secara struktural

maupun fungsional dengan penyelenggaraan pendidikan di sekolah dasar.
Untuk membantu menganalisis peluang dan ancaman ini, dapat dilakukan

dengan memahami komponen penunjang penyelenggaraan pendidikan di
sekolah dasar, seperti potensi sumber daya alam daerah setempat, dan

peran serta stakeholders lokal sekolah.

12

Uraian konseptual di atas, dapat digambarkan dalam paradigma

peneiitian sebagai berikut:

r

Dasar Hukum

Standar

UU No. 22 dan 25
Tahun 1999

• Kondisi Empiris

Acuan Normatif

Implementasi
MBS

T
Dimensi Pendukung

Analisis SWOT

• Pertanggungjawaban

-Kondisi Internal

(Kekuatan & Kelemahan)

Publik

-Kondisi Ekstemal

- Jaminan Mutu

(Peluang & Ancaman)

- Tanggung Jawab

Kelayakan

Tindak Lanjut

l_ Masukan

Evaluasi

Gambar 1

Paradigma Peneiitian

13

C. Rumusan Masalah

Berangkat dari latar belakang di atas, penulis memandang bahwa

kepemimpinan kepala sekolah memegang peranan yang sangat
menentukan

dalam

mengantarkan

keberhasilan

pengembangan

Manajemen Berbasis Sekolah yang sekarang sedang disosialisasikan.
Sehingga dengan demikian, studi mengenai kemampuan manjaerial
kepala sekolah dalam Manajemen Berbasis Sekolah, dipandang penting
untuk mendeskripsikan kondisi aktual.

Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan konsep

Manajemen Berbasis Sekolah termasuk adalah analisis terhadap potensi,
kebutuhan, dan permasalahan yang dihadapi dalam setting persekolahan,

yang dalam hal ini adalah lingkungan kontekstual sekolah dasar di
Kecamatan Rancasari Kota Bandung.

Atas dasar pemikiran tersebut, rumusan masalah dalam peneiitian

ini adalah sebagai berikut: "Bagaimana kesiapan sekolah dasar dalam

melaksanakan konsep Manajemen Berbasis Sekolah di Kecamatan
Rancasari Kota Bandung?".

D. Pertanyaan Peneiitian
Untuk menjabarkan rumusan masalah di atas, penulis rumuskan
pertanyaan peneiitian sebagai berikut:

1. Bagaimana kondisi lingkungan pendidikan di sekolah dasar se
Kecamatan Rancasari manakala Manajemen Berbasis Sekolah
dilaksanakan?

14

a. Kekuatan apa yang terdapat di lingkungan pendidikan sekolah
dasar se Kecamatan Rancasari manakala Manajemen Berbasis
sekolah dilaksanakan?

b. Kelemahan apa yang terdapat di lingkungan pendidikan sekolah
dasar se Kecamatan Rancasari manakala Manajemen Berbasis
sekolah dilaksanakan?

c. Peluang apa saja yang perlu diakomodasi oleh lingkungan

pendidikan sekolah dasar se Kecamatan Rancasari manakala
Manajemen Berbasis sekolah dilaksanakan?

d. Ancaman apa saja yang perlu diantisipasi oleh lingkungan

pendidikan sekolah dasar se Kecamatan Rancasari manakala
Manajemen Berbasis sekolah dilaksanakan?

2. Bagaimana kesiapan sekolah dasar se kecamatan

Rancasari

manakala Manajemen Berbasis Sekolah dilaksanakan?

a. Bagaimana kesiapan organisasi sekolah dalam menyongsong
pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah?

b. Bagaimana kesiapan pengelolaan kurikulum dalam menyongsong
pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah?

c. Bagaimana kesiapan Sumber Daya Manusia dalam menyongsong

pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah?
d. Bagaimana kesiapan pengelolaan siswa dalam menyongsong

pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah?

e. Bagaimana kesiapan sarana dan prasarana sekolah dalam

menyongsong pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah?

15

f. Bagaimana kesiapan anggaran/pembiayaan dalam menyongsong
pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah?

g. Bagaimana kesiapan partisipasi masyarakat dalam menyongsong
pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah?

3. Bagaimana

upaya yang

dilakukan kepala sekolah dalam

melaksanakan dimensi pendukung Manajemen Berbasis Sekolah?

a. Upaya apa saja yang dilakukan kepala sekolah dalam
melaksanakan akuntabilitas publik tentang pendidikan yang
dilaksanakannya?

b. Upaya apa saja yang dilakukan kepala sekolah untuk
meningkatkan mutu pendidikan?

c. Upaya apa saja yang dilakukan kepala sekolah untuk
mensosialisasikan konsep Manajemen Berbasis Sekolah kepada
guru dan stakeholder?

E. Tujuan Peneiitian

1. Tujuan Umum

Secara umum peneiitian ini bertujuan untuk mendiagnosis kesiapan

lingkungan pendidikan sekolah dasar se Kecamatan Rancasari Kota
Bandung dalam menyongsong pelaksanaan konsep Manajemen Berbasis
Sekolah. Tujuan studi ini didasarkan pada pemikiran bahwa pelaksanaan

konsep Manajemen Berbasis Sekolah perlu memperhatikan potensi,
kebutuhan, dan permasalahan di lingkungan sekolah dasar. Hal tersebut,

dilakukan mengingat lingkungan sekolah dasar memiliki karakteristik

16

tersendiri, sehingga diperlukan upaya penyesuaian konsep manajemen
berbasis sekolah dari konsep atau teori yang telah ada.

2. Tujuan Khusus

Secara operasional, peneiitian ini bertujuan sebagai berikut:
a. Menganalisis aspek-aspek kekuatan, kelemahan,

peluang,

dan

tantangan yang dihadapi oleh sekolah dasar se kecamatan Rancasari
manakala Manajemen Berbasis Sekolah dilaksanakan.

b. Mendeskripsikan tingkat kesiapan sekolah dasar dalam menyongsong
pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah se Kecamatan Rancasari,
yang

meliputi aspek-aspek seperti: (1) organisasi sekolah,

(2)

kurikulum, (3) SDM, (4) kesiswaan, (5) sarana dan prasarana
pendidikan, (6) anggaran, dan (7) partisipasi masyarakat.
c. Mendeskripsikan

upaya yang

dilakukan kepala sekolah dalam

melaksanakan dimensi pendukung Manajemen Berbasis Sekolah,
yang

meliputi

pendidikan,

pelaksanaan
peningkatan

konsep akuntabilitas

publik dalam

mutu

dan

pendidikan,

upaya

mensosialisasikan konsep Manajemen Berbasis Sekolah kepada guru
dan stakeholder.

F. Manfaat Peneiitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil peneiitian ini dapat dijadikan sebagai bahan kajian bagi

pengembangan konsep Manajemen Berbasis Sekolah dalam lingkungan
kontekstual

sekolah

dasar.

Dengan

dideskripsikannya

kesiapan

17

lingkungan pendidikan sekolah dasar dalam menyongsong pelaksanaan
Manajemen Berbasis Sekolah, maka dapat dilakukan pengembanagn

konsep-konsep Manjaemen Berbasis Sekolah dalam setting aplikasi di
sekolah dasar.

2. Manfaat praktis

Dalam tatanan aplikasi, hasil peneiitian ini diharapkan memiliki
manfaat sebagai berikut:

a. Dapatdijadikan data masukan bagi pihak terkait, seperti Cabang Dinas
Pendidikan Kecamatan tentang permasalahan yang dihadapi oleh
sekolah dasar sehubungan dengan program sosialisasi Manajemen
Berbasis Sekolah.

b. Dapat dijadikan data masukan bagi pihak terkait, seperti Cabang Dinas
Pendidikan tentang potensi yang dihadapi oleh sekolah dasar

sehubungan dengan program sosialisasi Manajemen Berbasis Sekolah.
c. Dapat dijadikan data kajian bagi para administrator pendidikan tentang

pola pengembangan konsep Manajemen Berbasis Sekolah dalam
lingkungan kontekstual sekolah dasar.

d. Dapat dijadikan bahan masukan bagi pihak sekolah dalam rangka
mempersiapkan pelaksanaan konsep Manjaemen Berbasis Sekolah di
lingkungan sekolah.

e. Membantu upaya kepala sekolah dalam mendorong peningkatan mutu
pendidikan pada level sekolah.

.-]

t.i

P.-ss "-

.A_V-:4-!! •



.

57

BAB Hi

METODE PENELITIAN

A. Metode Peneiitian

Peneiitian adalah suatu upaya sistematis dalam menemukan.

menganalisis dan menafsirkan bukti-bukti empirik untuk memahami gejala-

gejala atau untuk menemukan jawaban terhadap suatu permasalahan
yang terkait dengan qejala itu.

Berangkat dari fokus permasalahan dalam peneiitian ini. maka

pendekatan peneiitian ini menggunakan pendekatan naturalistik kualitatif.
S. Nasution, merumuskan batasan tentang peneiitian naturalistik kualitatif
sebagai berikut: "Peneiitian kualitatif pada hakikatnya adalah mengamati

orang dalam lingkungannya. berinteraksi dengan mereka. berusaha
memahami bahasa dan tafsiran merekatentang dunia sekitarnya". Stuart

A. Schlegel (1984) dalam Lexy Moleong (1990: 34), menegaskan bahwa

"tahap akhir dari peneiitian kualitatif ialah peneliti harus menafsirkan hasilhasil penelitiannya". Dalam referensi yang disampaikan oleh Lexy J.
Moleong (1990) dikatakan bahwa "peneiitian kualitatif (qualitative
research) berakar pada latar alamiah sebagai keutuhan, mengandalkan
manusia sebagai alat peneiitian. memanfaatkan metode kualitatif, dan
mengadakan analisis data secara induktif.

Dalam rangka mengumpulkan data peneiitian, peneliti meiakukan

kontak langsung (face to face) dengan respcnden agar dapat mengamati

perilaku, pendapat, sikap, dan pendayagunaanya berdasarkan pandangan

subjek peneiitian. Peneiitian yang bersifat deskriptif lebih mementingkan

58

proses dari pada hasil, membatasi studi dengan fokus, memiliki
seperangkat kriteria untuk memeriksa keabsahan data, sasaran peneiitian
diarahkan kepada usaha menemukan teori-teori dasar, responden dapat
menilai kembali data dan informasi yang diberikan perlu direvisi atau untuk
melengkapi data dan informasi baru.

Bogdan CR dan Biklen CK, (1982: 29), mengemukakan lima
karakteristik peneiitian kualitatif, sebagai berikut:
1. Qualitative research has the natural setting as the direct
source of data and the researchers is the key instrument.
2. Qualitative research is descriptive .

3. Qualitative researchers are concerned with process rather
than simply with outcomes or product.
4. Qualitative researchers tend to analyze their data inductively.

5. Meaning is of essential concern to the qualitative approach.

Dari pernyataan di atas, dapatdimaknai bahwa peneiitian kualitatif
memiliki karakteristik sebagai berikut:

1. Peneliti sebagai instrumen utama langsung mendatangi sumber data.

2. Data yang dikumpulkan cenderung berbentuk kata-kata daripada
angka-angka.

3. Peneliti lebih menekankan pada proses, bukan semata-mata pada
hasil.

4. Peneliti meiakukan analisis induktif cenderung mengungkapkan makna
dari keadaan yang diamati.

5. Kedekatan peneliti (dengan responden) sangat penting dalam
peneiitian.

59

B. Lokasi Peneiitian

Peneiitian ini dilakukan di Kecamatan Rancasari Kota Bandung

dan pengambilan sumber data (informan) dalam peneiitian ini
menggunakan teknik "pupossive sampling". Tentang teknik "pupossive

sampling" ini, S. Nasution (1988: 29), menjelaskan sebagai berikut: teknik
pengambilan sampel yang didasarkan atas pilihan peneliti tentang aspek
apa dan siapa yang dijadikan fokus pada saat situasi tertentu dan karena
itu terus- menerus sepanjang peneiitian, sampling bersifat purpossif yakni
tergantung pada tujuan fokus pada suatu saaf.

Sumber data dalam peneiitian ini digali dari para sekolah dasar dan

guru SD se wilayah kerja Cabang Dinas Pendidikan Kecamatan Rancasari
Kota Bandung, Kepala Cabang Dinas Pendidikan kecamatan setempat,

dan perwakilan masyarakat yang tergabung dalam kepengurusan Dewan
Sekolah. Jumlah sekolah dasar yang ada di wilayah kerja Cabang Dinas

Pendidikan Kecamatan Rancasari Kota Bandung, adalah sebanyak

delapan belas unit sekolah. Dari studi dokumentasi di Kantor Cabang
Dinas Pendidikan Kecamatan Rancasari Kota Bandung, jumlah sekolah
dasar yang ada disajikan dalam tabel berikut:

60

Tabel 1

Daftar Nama Sekolah Dasar di Wilayah Kerja

Cabang Dinas Pendidikan Kecamatan Rancasari Kota Bandung
Tahun Ajaran 2000-2001

No

Nama Sekolah

Alamat

SDN Rancaloa I
SDN Rancaloa II
SDN Rancaloa III

Jl. Cipamokolan No. 62
Jl. Cipamokolan No. 62
Jl. Cipamokolan No. 62
Jl. Derwati No. 40
Jl. Derwati No. 40
Jl. Derwati No. 40

8

SDN Cipamokolan I
SDN Cipamokolan II
SDN Cipamokolan III
SD Inpres Cisaranten Kidul I
SD Inpres Cisaranten Kidul II

9

SDN Cisaranten Kidul III

10

SDN Cisaranten Kidul IV

11

SDN Cisaranten Kidul V
SDN Derwati I

1
2

3
4
5

6
7

12
13
14

15
16
17
18

SD Inpres Derwati
SDN Cimincrang
SDN Panghegar
SD Inpres Sondariah
SDN Cempaka Arum
SD Inpres Rancasagatan

Komp.
Komp.
Komp.
Komp.
Komp.

Riung
Riung
Riung
Riung
Riung

Bandung
Bandung
Bandung
Bandung
Bandung

Jl. Derwati No. 40
Jl. Derwati No. 40

Jl. Cilameta-Mekar Mulya
Jl. Pamekar Barat V

Kp. Rancanumpang
Kp. Rancanumpang
Kp. Rancanumpang

Sumber. Kantor Cabang Dinas Pendidikan Kecamatan Rancasari

Merujuk pada tabel di atas, sampai tahun 2000-2001 di Kecamatan
Rancasari telah dibangun sebanyak 18 unit gedung Sekolah Dasar, yang
terdiri dari 13 buah gedung Sekolah Dasar Negeri dan 5 buah gedung

Sekolah Dasar Inpres, sementara belum ada atau dibangunan gedung
untuk sekolah dasar yang berstatus swasta. Dari hasil observasi yang

dilaksanakan, ditemukan pada beberapa sekolah dasar yang meiakukan

rehabilitasi bangunan dan penambahan ruangan yang disesuaikan

dengan program pembelajaran. Biaya pembangunan tersebut, tidak
semuanya bersumber dari anggaran pemerintah, akan tetapi ada juga

61

yang bersumber dari peran serta masyarakat dan usaha swadaya sekolah
lainnya.

Sementara mengenai jumlah murid untuk masing-masing sekolah

dasar yang ada di wilayah kerja Cabang Dinas Pendidikan Kecamatan
Rancasari Kota Bandung, padatahun ajaran 1999-2000, dapatdijelaskan
dalam tabel berikut ini:
Tabel 2

Daftar Jumlah Murid Sekolah Dasar

Di Kecamatan Rancasari Tahun Ajaran 1999-2000
Kelas

1

2
3
4
5

6

I

II

III

IV

V

VI

SDN Rancaloa I
SDN Rancaloa II
SDN Rancaloa III

39

51

41

52

50

40

. 273

i

41

43
40

. 272
290

|
!

SDN Cipamokolan I
SDN Cipamokolan II
SDN Cipamokolan III

44

43

53

55

52

46

41

56

36

40

37

24

31

39

35

32

30

29

31

33

• 198
! 184

!
!

41

28

29

26

34

28

: 187

!

30

i 277

l

49

51

47

52

55

62

60

49

54

49

: 326

49

39

42

38

51

46

; 262

43

32

42

30

25

22

' 144

44

54

45

61

52

49

' 314

36

64

35

63

64

61

; 340

22

21

21

19

7

-

; 90

27

24

40

20

19

' 131

48

12
13

SDN Cempaka Arum

8
9
10
11

14

SD Inp Rancasagatan

21

15

SD Inp Cis Kidul III
SD Inp Cis Kidul IV
SD Inp Derwati I
SD Inp Sondariah

62

51

58

49

58

54

62

47

51

47

41

36

332
i 284

28

36

34

27

35

26

! 196

33

18

. 157

717

617

i 4325

16
17

18

Jumlah

1

48

SDN Cimincrang
SDN Cis. Kidul I
SDN Cis. Kidul II
SDN Derwati
SDN Cis. Kidul III
SDN Panghegar

7

i
Jumlah

Nama SD

No

30

26

34

16

777

744

732

712

Sumber. Kantor Cabang Dinas Pendidikan Kecamatan Rancasari

Dari data mengenai jumlah murid tersebut, dapat dipahami bahwa

penyebaran jumlah murid untuk setiap sekolah dasar dan kelas tiap-tiap
sekolah tidak merata. Menurut hasil wawancara dengan kepala sekolah

dasar, dikatakan beberapa faktor yang menyebabkan tidak meratanya

jumlah murid pada setiap sekolah, yakni: (1) mutu pendidikan yang

62

dihasilkan oleh sekolah; (2) letak atau- lokasi sekolah yang mudah

dijangkau atau berada di tengah-tengah masyarakat yang memiliki jumlah
anak usia pendidikan sekolah dasar; dan (3) belum adanya peraturan atau
ketentuan yang tegas. Kondisi tersebut berbeda dengan kondisi yang
dialami dalam memasuki pendaftaran siswa baru untuk tahun ajaran baru

(2000-20001) Dinas Pendidikan Kota Bandung telah memberikan edaran
kepada masing-masing kepala sekolah bahwa penerimaan siswa baru
tidak boleh melebihi dari 40 orang.

C. Subjek Peneiitian

Sumber data dan informasi peneiitian yang merupakan data primer

dalam peneiitian ini diperoleh melalui responden utama yaitu kepala
sekolah dasar. Untuk mencapai tingkat validitas data dan informasi ini,

peneliti menggali informasi juga dari para guru sekolah dasar pada setiap
SD se Kecamatan Rancasari, di mana para kepala sekolahnya menjadi
sumber data primer, Kepala Cabang Dinas Pendidikan kecamatan

setempat, dan perwakilan masyarakat yang tergabung dalam
kepengurusan Dewan Sekolah. Untuk mendukung data primer itu,
diperlukan pula data sekunder yang diangkat dari berbagai dokumen
kearsipan pekerjaannya. Pada dasarnya face to face antara peneliti
dengan responden itu sudah mendapatkan data dan informasi yang lebih
berarti.

S. Nasution (1988: 32) memandang bahwa "untuk memperoleh

informasi tertentu, sampling dapat diteruskan sampai dicapai taraf

63

redundancy, ketuntasan atau kejenuhan, artinya bahwa dengan

menggunakan responden, boleh dikatakan tidak lagi diperoleh tambahan
informasi baru yang berati". Ini menunjukkan apabila informasi yang

dikejar sudah didapat pada responden yang ada, maka jumlah responden
tidak perlu lagi diperbesar kerana peneiitian dengan metode kualitatif lebih
mengutamakan kedalaman data dan informasi dari jumlah respondennya.
Instrumen peneiitian dengan metode kualitatif ini adalah peneliti
sendiri (human instrument) diasumsikan bahwa data dan informasi secara

rasional dapat dipertanggungjawabkan, sebab peneliti sendiri berusaha
untuk menyesuaikan diri dengan sumber informasi baik secara fisik

(adaptation) maupun secara kejiwaan (adjusment). Untuk mengatasi
keterbatasan. peneliti berusaha menggunakan peralatan, seperti buku

catatan lapangan, tape recorder, dan kamera sebagaimana disarankan
oleh Bogdan CR dan Biklen CK(1982: 73-74) bahwa "keberhasilan suatu

peneiitian naturalistik atau kualitatif sangat tergantung kepada ketelitian
dan kelengkapan catatan lapangan (field notes) yang disusun peneliti".

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam

peneiitian kualitatif pada umumnya menggunakan teknik observasi,
wawancara, dan stude' dokumenter. Atas dasar konsep tersebut, maka

ketiga teknik pengumpulan data di atas digunakan dalam peneiitian ini.

64

1.

Observasi

Teknik observasi (pengamatan) ini digunakan untuk mengamati

secara langsung tentang perilaku personel sekolah terutama kepala
sekolah dan guru-guru dalam menyongsong pelaksanaan Manajemen
Berbasis Sekolah.

2.

Wawancara

Teknik wawancara (interview) menurut S. Nasution (1988: 72)

pada dasarnya dilakukan dengan dua bentuk yaitu "wawancara
berstruktur dan wawancara tak berstruktur". Teknik berstruktur dilakukan

melalui pertanyaan-pertanyaan yang telah disiapkan sesuai dengan

permasalahan yang akan diteliti, sementara wawancara tak berstruktur
timbul apabila jawaban berkembang di luar pertanyaan-pertanyaan
terstruktur namun tidak lepas dari permasalahan peneiitian.

3.

Studi Dokumentasi

Teknik studi dokumentasi, digunakan untuk mempelajari berbagai

sumber dokumentasi, terutama yang berada di sekolah itu sendiri dan

didukung oleh sumber dokumentasi yang berada di kantor Cabang Dinas
Pendidikan Kecamatan Rancasari Kota Bandung.

Tiga teknik pengumpulan data dan informasi yang digunakan
tersebut akan dapat saling melengkapi untuk memperoleh data primerdan
sekunder. Observasi dan interview digunakan untuk menjaring data primer

yang berkaitan dengan kesiapan sekolah dasar dalam menyongsong

pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah. Sementara studi dokumenter

65

digunakan untuk menjaring data sekunder yang dapat diangkat dari
berbagai dokumentasi tentang tugas pokok dan pengelolaan administrasi
sekolah dasar.

Pelaksanaan Pengumpulan data, di mana peneliti dapat berfungsi

sebagaiinstrumen peneiitian selalu berpedoman pada prosedur dan tahap
peneiitian yang dikemukakan oleh S. Nasution (1988:33) yaitu 'tahap
orientasi, tahap eksplorasi, dan tahap membercek".
1. Tahap Orientasi

Kegiatan yang dilakukan peneliti dalam tahap orientasi adalah :
a. Meiakukan prasurvey ke lokasi dan sekaligus meiakukan kegiatan ke
iembaga-lembaga terkait (kantor dinas/instansi/sekolah)
b. Meiakukan studi dokumentasi dan studi kepustakaan sehubungan

dengan karakteristik masalah yang akan disusun ke dalam pradisain
c. Setelah menjalani seminar pradisain dan konsultasi disain, maka
proses penyusunan tesis mulai dilaksanakan.
2. Tahap Eksplorasi

Kegiatan dalam tahap eksplorasi ini merupakan kegiatan
pengumpulan data di lokasi, yaitu:
a. Meiakukan wawancara dengan Kepala Cabang
Kecamatan

Dinas Pendidikan

Rancasari dan Kepala Sekolah Dasar di wilayah kerja

Cabang Dinas Pendidikan Kecamatan Rancasari Kota Bandung.
b. Meiakukan wawancara dan mempelajari dokumentasi secara intensif

dengan kepala sekolah dan personil sekolah sebagai responden,

66

sehubungan dengan

pedoman (instrumen) yang telah peneliti

sediakan.

c. Meiakukan observasi (non-participant), yang mendukung kinerja
sekolah, seperti: penataan dan pendayagunaan sarana prasarana,
hubungan sekolah dengan lingkungan.

3. Tahap Member Chek

Kegiatan member-chek dilakukan setiap setesai memperoleh data
dan informasi baik melalui observasi dan wawancara maupun studi

dokumentasi. Responden diberikan kesempatan untuk menilai kembali
data dan informasi yang telah diberikannya, apakah ada data atau
informasi baru untuk dilengkapi atau merevisi data dan informasi yang

ada. Data yang diangkat dari dokumentasi dilakukan audit trail dengan
maksud menchek keabsahan data sesuai dengan sumber aslinya.

Pengolahan data senantiasa dilakukan triangulasi yaitu menchek
kebenaran data dengan cara membandingkan data yang diperoleh

dengan sumber lain. Dengan demikian tujuan memberchek dapat menguji
validitas, reliabilitas, dan objektivitas.

E. Teknik Anaiisa Data

Data yang diperoleh dari responden melalui teknik observasi,
wawancara, dan studi dokumentasi merupakan deskripsi tentang

pendapat pengetahuan, pengalaman, dan aspek lainnya untuk dianalisis
dan disajikan sehingga memiliki makna. Analisis dan interpretasi dilakukan

67

dengan merujuk pada landasan teoritis dan berdasarkan consensus
judgement.

Menurut Lexy J. Moleong (1990:112) yang mengutip pendapat
Patton bahwa analisis data dalam peneiitian kualitatif adalah 'proses

mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola,
kategori, dan situasi uraian data'. Pada dasarnya dalam peneiitian
kualitatif belum ada metode yang baku dalam menganalisis data. Subino
Hadisubroto (1988:20) mengemukakan bahwa:
"... dalam analisis data kuantitatif itu metodenya sudah jelas dan

pasti, sedangkan dalam analisis data kualittaif, metode seperti ini
belum tersedia. Oleh sebab itu ketajaman dan ketepatan analisis

data kualitatif ini sangat tergantung ketajaman melihat data oleh

peneliti serta kekayaan pengalaman dan pengetahuan yang tealh
dimiliki peneliti".

Miles, MB and Huberman, MA, (1984:21) menganjurkan untuk

menggunakan langkah-langkah penganalisisan data, yaitu:
1. Reduksi data

2. Display data, dan

3. Pengambilan kesimpuian dan verifikasi.
Reduksi data merupakan kegiatan merangkum kembali catatan-

catatan lapangan dengan memilih hal-hal pokok yang berhubungan

dengan kinerja sekolah dasar ditinjau dari profit kepemimpinan kepala
sekolah. Rangkuman catatan-catatan lapangan itu kemudian disusun
secara sistematis agar memberikan gambaran yang lebih tajam serta
mempermudah pelacakan kembali apabila data diperlukan.

Display data berguna untuk melihat gambaran keseluruhan hasil

peneiitian, baik dalam bentuk matriks maupun dalam bentuk pengkodean.

68

Dari hasil reduksi data dan display data itulah selanjutnya peneliti dapat

menarik suatu kesimpuian dan memverifikasi sehingga menjadi
kebermaknaan data.

Untuk menetapkan kesimpuian lebih grounded (beralasan) dan

tidak lagi bersifat tentatife (coba-coba) maka verifiaksi dilakukan

sepanjang peneiitian berlangsung sejalan dengan memberchek,
triangulasi, dan audit trail, sehingga menjamin signifikansi atau
kebermaknaan hasil peneiitian.

F. Keabsahan Hasil Peneiitian

Menurut Lincoln dan Guba (1981) dan S. Nasution (1988:114-124),

menjelaskan kriteria keabsahan data, sebagai berikut:

1. Kredibilitas, untuk menunjukkan seberapa jauh kebenaran hasil

peneiitian dapat dipercaya. Derajat kepercayaan (credibility)
menggantikan konsep validitas internal pada peneiitian non kuatitatif.
Kredibilitas dalam peneiitian kualitatif akan menggambarkan

kecocokan konsep peneliti dengan yang ada pada responden. Untuk

mencapai kredibilitas akan digunakan teknik: (a) triangulasi, yaitu
proses pengecekan kebenaran data yang diperoleh dengan cara
membandingkannya dengan data yang diperoleh dari sumber lain, (b)

peer-debriefing (pembicaraan dengan kolega), yaitu kegiatan untuk
membahas dan membicarakan hasil-hasil peneiitian di lapangan

dengan teman; dan (c) penggunaan bahan referensi.

69

2. Transferabilitas, yaitu untuk mengetahui sejauhmana hasil peneiitian

dapat diaplikasikan dalam situasi lain, hal ini diserahkan kepada
pembaca dan pemakai. Untuk meiakukan pengalihan tersebut
seorang peneliti hendaknya mencari dan mengumpulkan kejadian-

kejadian empiris tentang kesamaan konteks. Dalam hal ini, peneliti
bertanggungjawab untuk menyediakan datadeskriptif untuk membuat

keputusan tentang pengalihan tersebut.

Untuk itu peneliti

memverifikasi hasil-hasil peneiitian. Maka transferabilitas dari hasil

peneiitian ini kemungkinan dapatditerapkannya hasil temuan tentang
mutu kepala sekolah dasar yang dijadikan obyek peneiitian di atas
pada situasi

lain dengan mengadakan

penyesuaian tanpa

mengabaikan asumsi-asumsi yang mendasarinya.

3. Dependabilitas, akan berguna untuk melihat sejauhmana hasil
peneiitian bergantung pada keandatan. Dependabilitas ini dapat
diusahakan dengan meiakukan "audit trial", yaitu dengan mempelajari

laporan-laporan lapangan dan laporan-laporan selanjutnya, sampai
laporan peneiitian selesai untuk mengetahui kekonsistenan peneliti
dalam setiap aspek peneiitian.

4. Confirmabilitas, yaitu sejauhmana hasil peneiitian dapat dibuktikan
kebenarannya, sejauhmana hasil peneiitian cocok dan sesuai dengan

data yang telah dikumpulkan, dan sejauhmana kebulatan hasil
peneiitian tanpa mengandung unsur-unsur yang bertentangan.

158

BABV

KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

Dalam bab terakhir ini, disajikan kesimpuian yang merupakan
intisari

dari

keseluruhan

pelaksanaan

peneiitian

yang

sekaligus

merupakan jawaban atas pertanyaan peneiitian yang telah dirumuskan.
Untuk mensikapi munculnya berbagai permasalahan yang muncul selama
peneiitian ini dilaksanakan, maka dalam bab ini pula dirumuskan beberapa
saran yang diharapkan merupakan solusi pemecahan atas permasalahan
yang dihadapi di lapangan.

A. Kesimpuian

1.

Kesimpuian Umum

Manajemen Berbasis Sekolah merupakan alternatif pengelolaan
sekolah yang secara konseptual maupun empiris telah terbukti mampu
mendorong terwujudnya pengelolaan pendidikan yang bermutu. Konsep
Manajemen Berbasis Sekolah ini merupakan konsep yang diadopsi dari
paradigma pengelolaan pendidikan dari luar negeri dengan konsep
semula disebut dengan School Based Management

Dalam batas

operasional Manajemen Berbasis Sekolah dapat diartikan sebagai model
pengelolaan yang memberikan otonomi atau kemandirian kepada sekolah
dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan
secara langsung semua warga sekolah sesuai dengan standar pelayanan

yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, propinsi, kabupaten dan kota.

159

Konsep Manajemen Berbasis Sekolah dalam prakteknya akan
menggambarkan sifat-sifat otonomi sekolah dan oleh karenanya sering
pula disebut sebagai "Site-Based Management", yang merujuk pada

periunya memperhatikan kondisi dan potensi kelembagaan setempat
dalam mengelola sekolah. Dalam hal ini dapat dipahami bahwa makna
"berbasis sekolah" dalam konsep Manajemen Berbasis Sekolah sama

sekali tidak meninggalkan kebi