IDENTIFIKASI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERILAKU KONSUMEN SAYURAN ORGANIK DI KOTA PADANG.

(1)

IDENTIFIKASI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

PERILAKU KONSUMEN SAYURAN ORGANIK DI KOTA

PADANG

OLEH YUNI SAFITRA

06 114 019

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG 2012


(2)

IDENTIFIKASI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

PERILAKU KONSUMEN SAYURAN ORGANIK DI KOTA

PADANG

ABSTRAK

Salah satu manfaat yang ditawarkan oleh pertanian organik adalah unsur kesehatan karena produk organik yang minim bahan kimia. Selain itu, adanya gaya hidup sehat yang berkembang di masyarakat membuat konsumen beralih untuk mengkonsumsi produk hasil pertanian organik yang tentunya lebih sehat.

Penelitian dengan judul “Identifikasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Konsumen Sayuran Organik di Kota Padang” ini telah dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan September 2011. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan profil konsumen sayuran organik dan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen sayuran organik di Kota Padang. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumen sayuran berusia antara 46 sampai dengan 55 tahun dan sebagian besar sudah menikah/berkeluarga. Sebagian

besar konsumen memiliki pendidikan terakhir di perguruan tinggi. Dalam hal pendapatan per bulan, konsumen umumnya memiliki pendapatan antara Rp 2.500.000,- sampai dengan Rp 3.500.000,-. Kebanyakan konsumen belum membeli

dan mengkonsumsi sayuran organik secara rutin. Khasiat sayuran organik menjadi alasan pembelian konsumen dan mereka menganggap harga sayuran organik sesuai/pas dengan manfaatnya. Informasi mengenai produk organik diperoleh sendiri

oleh konsumen. Adapun pihak yang menganjurkan dan menemani konsumen dalam membeli produk organik adalah dari pihak keluarga. Pengujian Cochran Q-Test

menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen sayuran organik adalah nilai gizi sayuran organik, rasa sayuran organik, daya tahan sayuran organik,

manfaat mengkonsumsi sayuran organik bagi kesehatan, kemudahan akses untuk memperoleh sayuran organik, mengikuti gaya hidup sehat, dan sertifikasi/label


(3)

IDENTIFICATION OF FACTORS INFLUENCING CONSUMER BEHAVIOR OF ORGANIC VEGETABLES IN PADANG CITY

ABSTRACT

The title of the research is "Identification of Factors Influencing Consumer Behavior Organic Vegetables in Padang City" was conducted in August to September 2011. The purposes of this study are to describe the profile of consumers of organic vegetables and to identify factors that influence the consumer behavior in Padang. The method used in this study is a survey method.

The result shows that the age of the consumers is between 46 to 55 years old and most of them are married. The highest education of the consumers is college. Meanwhile in terms of revenue per month, consumers generally have incomes between Rp 2,500,000, - to Rp 3.500.000, -. Most consumers do not buy and consume organic vegetables on a regular basis. Furthermore, efficacy of organic vegetables is the reason why consumers purchase it and they believe that the price of organic vegetables is match with its benefits. Additionally information about organic products was obtained by the consumers themselves. Furthermore, Cochran Q-test showed that the factors that influence consumer behavior are the nutritional value of organic vegetables, the taste, the durability, the benefits for health, the access to organic vegetables, healthy lifestyle, and certification / organic labels.


(4)

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting bagi perekonomian Indonesia. Peran pertanian antara lain adalah (1) sektor pertanian menyumbang sekitar 22,3 % dari Produk Domestik Bruto (PDB), (2) sektor pertanian menyediakan sekitar 54% dari angkatan kerja yang ada, dan bahkan di provinsi tertentu kontribusinya melebihi angka tersebut, (3) sektor pertanian mampu menyediakan menu pangan dan karenanya sektor pertanian sangat mempengaruhi konsumsi dan gizi masyarakat, (4) sektor pertanian mampu mendukung sektor industri, baik industri hulu maupun hilir, (5) ekspor hasil pertanian yang semakin meningkat menyumbang devisa yang semakin besar (Soekartawi, 2003).

Pada masa orde baru, arah pembangunan pertanian ditujukan untuk memacu peningkatan produksi pangan secara cepat agar kebutuhan pangan rakyat terpenuhi dan impor beras yang tinggi dapat dikurangi. Menurut Esje dan Daniel (1998), untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah mengadopsi kebijakan revolusi hijau dari negara Barat. Secara sempit, revolusi hijau dapat diartikan sebagai pola pertanian intensif dengan paket teknologi modern yang dicirikan oleh penggunaan input eksternal yang tinggi seperti pupuk anorganik, pestisida kimia, benih varietas unggul, pemanfaatan infrastruktur penunjang seperti sistem irigasi dan permodalan (kredit) dalam skala besar serta penerapan mekanisasi pertanian dalam pengolahan tanah dan penanganan pasca panen.

Pemerintah mulai memberikan subsidi yang sangat besar dalam pengadaan pupuk dan pestisida, mendatangkan berbagai varietas benih padi unggul ke Indonesia, mengimpor dan memproduksi berbagai alat/mesin pertanian dalam jumlah besar, serta mengatur penyediaan dan distribusi saprotan secara sentralistik melalui berbagai BUMN, PUSKUD, INKUD sampai ke tingkat bawah (KUD). Dalam sub-sistem budidaya, intervensi dan pengendalian pemerintah dalam pelaksanaan revolusi hijau dilakukan secara intensif dan sistematis. Pemerintah memperkenalkan suatu pola budidaya baru kepada petani lewat program Bimbingan Massal (BIMAS)


(5)

2

intensifikasi. Awalnya teknologi revolusi hijau di Indonesia dapat menaikkan tingkat produksi pangan khususnya padi. Akan tetapi, kesuksesan ini tidak bertahan lama. Berdasarkan data BPS, terjadinya gejala penurunan produktivitas lahan menunjukkan adanya penurunan efisiensi penggunaan pupuk di mana tingkat kenaikan produksi per satuan pupuk yang digunakan makin menurun. Penggunaan pupuk kimia yang berlebih dan secara terus - menerus merupakan faktor penyebab utama merosotnya produktivitas lahan-lahan sawah. Sektor pertanian yang bertumpu pada potensi sumber daya alam banyak mengalami pengurasan sehingga ketersediaan dan kualitas sumber daya alam makin menurun. Akibatnya, kondisi pertanian nasional dihadapkan pada berbagai masalah, antara lain menurunnya kesuburan dan produktivitas lahan, berkurangnya daya dukung lingkungan, meningkatnya konversi lahan pertanian produktif, meluasnya lahan kritis, serta meningkatnya pencemaran dan kerusakan lingkungan (Saptana dan Ashari, 2007).

Selain kerusakan lingkungan dan ancaman kelangsungan hidup manusia, teknologi revolusi hijau juga telah memunculkan masalah lain yaitu ketergantungan petani diantaranya adalah ketergantungan petani terhadap input eksternal buatan pabrik, seperti pupuk kimia, pestisida dan bahan sintetis lain. Masuknya revolusi hijau lalu mereduksi dan menghilangkan pranata sosial-budaya masyarakat lokal seperti: tanggung jawab sosial dalam penyediaan lapangan kerja, pengelolaan sumberdaya alam secara kolektif misalnya lumbung desa, bank kompos, pengaturan air, tradisi gotong-royong, serta teknologi dan pengetahuan lokal hampir tidak dikenal lagi bahkan jika dilihat dari kerusakan lingkungan yang telah terjadi, revolusi hijau telah mengancam kelangsungan makhluk hidup di muka bumi (Esje dan Daniel, 1998). Oleh sebab itu, maka terjadi perubahan terhadap paradigma pembangunan pertanian.

Pembangunan pertanian harus selaras dan sejalan dengan lingkungan hidup, yang dikenal dengan istilah pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture). Menurut Sudirja (2008), pertanian berkelanjutan adalah pemanfaatan sumber daya yang dapat diperbaharui (renewable resources) dan sumberdaya tidak dapat diperbaharui (unrenewable resources) untuk proses produksi pertanian dengan


(6)

3

menekan dampak negatif terhadap lingkungan seminimal mungkin. Keberlanjutan yang dimaksud meliputi penggunaan sumberdaya, kualitas dan kuantitas produksi, serta lingkungannya. Proses produksi pertanian yang berkelanjutan akan lebih mengarah pada penggunaan produk hayati yang ramah terhadap lingkungan.

Penerapan pertanian organik merupakan salah satu dari pendekatan dalam pertanian berkelanjutan. Badan Standardisasi Nasional menyatakan pengertian pertanian organik adalah sistem manajemen produksi holistik yang meningkatkan dan mengembangkan kesehatan agro-ekosistem, termasuk keragaman hayati, siklus biologi, dan aktivitas biologi tanah. Pertanian organik memprioritaskan pemanfaatan bahan-bahan yang tersedia di lokasi setempat (Badan Standardisasi Nasional, 2010).

Besarnya potensi Sumatera Barat dalam pengembangan pertanian organik didukung oleh kondisi lahan pertanian Sumatera Barat yang sangat cocok dengan sistem pertanian organik. Hasil survey Dinas Pertanian Tanaman Pangan Sumatera Barat bekerjasama dengan PT AFTA Agro Consultant mendapatkan banyak daerah yang cocok untuk pengembangan sistim pertanian yang ramah lingkungan ini (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Sumbar, 2009).

Keuntungan pengembangan pertanian organik dapat dilihat dalam aspek luas dan multi dimensi. Dari dimensi ekonomi misalnya dapat membantu dalam mensejahterakan petani. Hal ini dilihat dari adanya tekanan biaya yang dapat dirasakan bila menggunakan faktor-faktor produksi organik yang dapat diperoleh di sekitar petani. Dari dimensi sosial pertanian organik membangun semangat bergotong royong. Sedangkan dari sisi dimensi budaya, membuat petani dapat berlaku lebih arif karena dalam pelaksanaan usahatani organik tidak ada makhluk hidup yang teraniaya, misalnya dengan hama yang biasa dibasmi dengan menggunakan pestisida, pada pertanian organik tidak dilakukan. Jika dilihat dari dimensi politik, pertanian organik dapat membuat petani lebih mandiri, misalnya dalam hal pengadaan faktor produksi pupuk kompos. Petani dapat membuat pupuk kompos dengan menggunakan bahan-bahan yang ada di sekitar petani. Apabila hal ini berjalan dengan baik, maka pertanian organik akan membuat petani menjadi lebih mandiri (Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura, 2007).


(7)

4

Keuntungan dan manfaat pertanian organik juga dapat dirasakan oleh konsumen yang mengkonsumsi produk pertanian organik yang sudah sangat minim kandungan bahan-bahan kimia yang dapat membahayakan kesehatan. Produk makanan organik jauh lebih menyehatkan karena tidak ada racun yang menempel sehingga vitamin dan mineral dapat diserap tubuh secara optimal (Jaker, 2009).

Berdasarkan uraian di atas, diketahui bahwa banyaknya manfaat dan keuntungan yang diperoleh dengan mengkonsumsi produk pertanian organik. Hal ini menyebabkan adanya perubahan sikap masyarakat daerah perkotaan yang memiliki akses untuk memperoleh informasi lebih baik dari masyarakat di pedesaan, yang sebelumnya mengkonsumsi produk pertanian biasa (konvensional) berubah menjadi mengkonsumsi produk pertanian organik. Dengan adanya suatu alternatif sikap atau perilaku masyarakat kota dalam mengkonsumsi bahan makanan yang lebih sehat, yang dalam hal ini adalah sayuran organik, membuat penelitian tentang analisa perilaku konsumen sayuran organik penting untuk dilakukan.

1.2 Perumusan Masalah

Kota Padang sebagai ibukota Provinsi Sumatera Barat merupakan salah satu daerah kota terbesar di wilayah Sumatera Barat (Lampiran 1). Selain itu, Kota Padang memiliki jumlah penduduk terbanyak untuk wilayah kota di Provinsi Sumatera Barat (Lampiran 2), sehingga sangat potensial dalam pengembangan pemasaran produk pertanian organik.

Awalnya di Kota Padang terdapat outlet khusus penjualan produk organik, yakni pada outlet pertanian organik AFTA (Alumni Fakultas Pertanian) Agro Bisnis yang terletak di daerah Lapai, Kota Padang. Outlet ini menyediakan produk organik seperti beras, sayuran, dan buah-buahan. Berdasarkan hasil penelitian Latifah (2010), semenjak outlet ini didirikan, komoditi yang paling diminati oleh konsumen adalah beras organik, sedangkan sayuran dan buah-buahan kurang begitu diminati. Hal ini menyebabkan terjadinya pengurangan permintaan komoditi terhadap sayuran dan buah-buahan. Tetapi lama kelamaan karena penurunan permintaan yang drastis, outlet ini pun ditutup.


(8)

5

Berdasarkan hasil pra survey yang telah dilakukan, khusus untuk sayuran, konsumen tidak terlalu memperhatikan apakah sayuran yang mereka beli organik atau tidak. Mereka cenderung memilih sayuran dengan harga yang lebih murah. Oleh karena itu, produsen sayuran organik, terlebih lagi yang belum mendapatkan sertifikasi dan label organik, belum mampu menjual produknya dengan standar harga produk organik yang biasanya lebih tinggi dibandingkan harga produk pertanian konvensional. Hal ini menjadi kurang adil bagi petani atau produsen yang telah menjalankan usahatani organik yang harusnya bisa meraih keuntungan yang lebih besar dalam penjualan produknya.

Permasalahan yang sama juga terjadi di lapangan berdasarkan informasi dari pihak toko sayuran organik. Saat ini, satu-satunya toko yang menyediakan sayuran organik berlabel di Kota Padang adalah Foodmart Basko Plaza. Akan tetapi, berdasarkan hasil wawancara dan pra survey, konsumen umumnya cenderung lebih memilih sayuran anorganik. Hal ini terkait dengan harga sayuran organik yang dua atau bahkan tiga kali lebih tinggi dibandingkan harga sayuran biasa (anorganik). Sebagai contoh, bayam organik seberat 150 gram dijual seharga Rp 11.500,- sementara bayam anorganik dijual seharga Rp 8.500,- per satu ikat.

Konsumen memiliki pertimbangan dan alasan tersendiri dalam membeli dan mengkonsumsi sayuran organik. Adanya perilaku yang berbeda pada tiap konsumen dalam mengkonsumsi sayuran organik, membuat analisis perilaku konsumen sayuran organik di Kota Padang penting untuk dilakukan.

Berdasarkan permasalahan di atas, maka dirasa perlu dilakukan suatu penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen sayuran organik di Kota Padang. Oleh karena itu timbul pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana profil konsumen sayuran organik di Kota Padang ?

2. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi konsumen dalam melakukan pembelian sayuran organik di Kota Padang ?


(9)

6

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mendeskripsikan profil konsumen sayuran organik di Kota Padang.

2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi konsumen dalam melakukan pembelian sayuran organik di Kota Padang.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan solusi bagi para produsen serta pelaku bisnis produk pertanian organik, khususnya sayuran organik, dalam pengembangan usaha produk pertanian organiknya, serta memberikan gambaran tentang konsumsi sayuran organik masyarakat Kota Padang.

2. Penelitian ini juga diharapkan mampu menjadi informasi serta acuan untuk penelitian berikutnya.


(1)

1.1 Latar Belakang

Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting bagi perekonomian Indonesia. Peran pertanian antara lain adalah (1) sektor pertanian menyumbang sekitar 22,3 % dari Produk Domestik Bruto (PDB), (2) sektor pertanian menyediakan sekitar 54% dari angkatan kerja yang ada, dan bahkan di provinsi tertentu kontribusinya melebihi angka tersebut, (3) sektor pertanian mampu menyediakan menu pangan dan karenanya sektor pertanian sangat mempengaruhi konsumsi dan gizi masyarakat, (4) sektor pertanian mampu mendukung sektor industri, baik industri hulu maupun hilir, (5) ekspor hasil pertanian yang semakin meningkat menyumbang devisa yang semakin besar (Soekartawi, 2003).

Pada masa orde baru, arah pembangunan pertanian ditujukan untuk memacu peningkatan produksi pangan secara cepat agar kebutuhan pangan rakyat terpenuhi dan impor beras yang tinggi dapat dikurangi. Menurut Esje dan Daniel (1998), untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah mengadopsi kebijakan revolusi hijau dari negara Barat. Secara sempit, revolusi hijau dapat diartikan sebagai pola pertanian intensif dengan paket teknologi modern yang dicirikan oleh penggunaan input eksternal yang tinggi seperti pupuk anorganik, pestisida kimia, benih varietas unggul, pemanfaatan infrastruktur penunjang seperti sistem irigasi dan permodalan (kredit) dalam skala besar serta penerapan mekanisasi pertanian dalam pengolahan tanah dan penanganan pasca panen.

Pemerintah mulai memberikan subsidi yang sangat besar dalam pengadaan pupuk dan pestisida, mendatangkan berbagai varietas benih padi unggul ke Indonesia, mengimpor dan memproduksi berbagai alat/mesin pertanian dalam jumlah besar, serta mengatur penyediaan dan distribusi saprotan secara sentralistik melalui berbagai BUMN, PUSKUD, INKUD sampai ke tingkat bawah (KUD). Dalam sub-sistem budidaya, intervensi dan pengendalian pemerintah dalam pelaksanaan revolusi hijau dilakukan secara intensif dan sistematis. Pemerintah memperkenalkan suatu pola budidaya baru kepada petani lewat program Bimbingan Massal (BIMAS)


(2)

intensifikasi. Awalnya teknologi revolusi hijau di Indonesia dapat menaikkan tingkat produksi pangan khususnya padi. Akan tetapi, kesuksesan ini tidak bertahan lama. Berdasarkan data BPS, terjadinya gejala penurunan produktivitas lahan menunjukkan adanya penurunan efisiensi penggunaan pupuk di mana tingkat kenaikan produksi per satuan pupuk yang digunakan makin menurun. Penggunaan pupuk kimia yang berlebih dan secara terus - menerus merupakan faktor penyebab utama merosotnya produktivitas lahan-lahan sawah. Sektor pertanian yang bertumpu pada potensi sumber daya alam banyak mengalami pengurasan sehingga ketersediaan dan kualitas sumber daya alam makin menurun. Akibatnya, kondisi pertanian nasional dihadapkan pada berbagai masalah, antara lain menurunnya kesuburan dan produktivitas lahan, berkurangnya daya dukung lingkungan, meningkatnya konversi lahan pertanian produktif, meluasnya lahan kritis, serta meningkatnya pencemaran dan kerusakan lingkungan (Saptana dan Ashari, 2007).

Selain kerusakan lingkungan dan ancaman kelangsungan hidup manusia, teknologi revolusi hijau juga telah memunculkan masalah lain yaitu ketergantungan petani diantaranya adalah ketergantungan petani terhadap input eksternal buatan pabrik, seperti pupuk kimia, pestisida dan bahan sintetis lain. Masuknya revolusi hijau lalu mereduksi dan menghilangkan pranata sosial-budaya masyarakat lokal seperti: tanggung jawab sosial dalam penyediaan lapangan kerja, pengelolaan sumberdaya alam secara kolektif misalnya lumbung desa, bank kompos, pengaturan air, tradisi gotong-royong, serta teknologi dan pengetahuan lokal hampir tidak dikenal lagi bahkan jika dilihat dari kerusakan lingkungan yang telah terjadi, revolusi hijau telah mengancam kelangsungan makhluk hidup di muka bumi (Esje dan Daniel, 1998). Oleh sebab itu, maka terjadi perubahan terhadap paradigma pembangunan pertanian.

Pembangunan pertanian harus selaras dan sejalan dengan lingkungan hidup,

yang dikenal dengan istilah pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture).

Menurut Sudirja (2008), pertanian berkelanjutan adalah pemanfaatan sumber daya

yang dapat diperbaharui (renewable resources) dan sumberdaya tidak dapat


(3)

menekan dampak negatif terhadap lingkungan seminimal mungkin. Keberlanjutan yang dimaksud meliputi penggunaan sumberdaya, kualitas dan kuantitas produksi, serta lingkungannya. Proses produksi pertanian yang berkelanjutan akan lebih mengarah pada penggunaan produk hayati yang ramah terhadap lingkungan.

Penerapan pertanian organik merupakan salah satu dari pendekatan dalam pertanian berkelanjutan. Badan Standardisasi Nasional menyatakan pengertian pertanian organik adalah sistem manajemen produksi holistik yang meningkatkan dan mengembangkan kesehatan agro-ekosistem, termasuk keragaman hayati, siklus biologi, dan aktivitas biologi tanah. Pertanian organik memprioritaskan pemanfaatan

bahan-bahan yang tersedia di lokasi setempat (Badan Standardisasi Nasional, 2010).

Besarnya potensi Sumatera Barat dalam pengembangan pertanian organik didukung oleh kondisi lahan pertanian Sumatera Barat yang sangat cocok dengan sistem pertanian organik. Hasil survey Dinas Pertanian Tanaman Pangan Sumatera Barat bekerjasama dengan PT AFTA Agro Consultant mendapatkan banyak daerah yang cocok untuk pengembangan sistim pertanian yang ramah lingkungan ini (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Sumbar, 2009).

Keuntungan pengembangan pertanian organik dapat dilihat dalam aspek luas dan multi dimensi. Dari dimensi ekonomi misalnya dapat membantu dalam mensejahterakan petani. Hal ini dilihat dari adanya tekanan biaya yang dapat dirasakan bila menggunakan faktor-faktor produksi organik yang dapat diperoleh di sekitar petani. Dari dimensi sosial pertanian organik membangun semangat bergotong royong. Sedangkan dari sisi dimensi budaya, membuat petani dapat berlaku lebih arif karena dalam pelaksanaan usahatani organik tidak ada makhluk hidup yang teraniaya, misalnya dengan hama yang biasa dibasmi dengan menggunakan pestisida, pada pertanian organik tidak dilakukan. Jika dilihat dari dimensi politik, pertanian organik dapat membuat petani lebih mandiri, misalnya dalam hal pengadaan faktor produksi pupuk kompos. Petani dapat membuat pupuk kompos dengan menggunakan bahan-bahan yang ada di sekitar petani. Apabila hal ini berjalan dengan baik, maka pertanian organik akan membuat petani menjadi lebih mandiri (Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura, 2007).


(4)

Keuntungan dan manfaat pertanian organik juga dapat dirasakan oleh konsumen yang mengkonsumsi produk pertanian organik yang sudah sangat minim kandungan bahan-bahan kimia yang dapat membahayakan kesehatan. Produk makanan organik jauh lebih menyehatkan karena tidak ada racun yang menempel sehingga vitamin dan mineral dapat diserap tubuh secara optimal (Jaker, 2009).

Berdasarkan uraian di atas, diketahui bahwa banyaknya manfaat dan keuntungan yang diperoleh dengan mengkonsumsi produk pertanian organik. Hal ini menyebabkan adanya perubahan sikap masyarakat daerah perkotaan yang memiliki akses untuk memperoleh informasi lebih baik dari masyarakat di pedesaan, yang sebelumnya mengkonsumsi produk pertanian biasa (konvensional) berubah menjadi mengkonsumsi produk pertanian organik. Dengan adanya suatu alternatif sikap atau perilaku masyarakat kota dalam mengkonsumsi bahan makanan yang lebih sehat, yang dalam hal ini adalah sayuran organik, membuat penelitian tentang analisa perilaku konsumen sayuran organik penting untuk dilakukan.

1.2 Perumusan Masalah

Kota Padang sebagai ibukota Provinsi Sumatera Barat merupakan salah satu daerah kota terbesar di wilayah Sumatera Barat (Lampiran 1). Selain itu, Kota Padang memiliki jumlah penduduk terbanyak untuk wilayah kota di Provinsi Sumatera Barat (Lampiran 2), sehingga sangat potensial dalam pengembangan pemasaran produk pertanian organik.

Awalnya di Kota Padang terdapat outlet khusus penjualan produk organik, yakni pada outlet pertanian organik AFTA (Alumni Fakultas Pertanian) Agro Bisnis yang terletak di daerah Lapai, Kota Padang. Outlet ini menyediakan produk organik seperti beras, sayuran, dan buah-buahan. Berdasarkan hasil penelitian Latifah (2010), semenjak outlet ini didirikan, komoditi yang paling diminati oleh konsumen adalah beras organik, sedangkan sayuran dan buah-buahan kurang begitu diminati. Hal ini menyebabkan terjadinya pengurangan permintaan komoditi terhadap sayuran dan buah-buahan. Tetapi lama kelamaan karena penurunan permintaan yang drastis, outlet ini pun ditutup.


(5)

Berdasarkan hasil pra survey yang telah dilakukan, khusus untuk sayuran, konsumen tidak terlalu memperhatikan apakah sayuran yang mereka beli organik atau tidak. Mereka cenderung memilih sayuran dengan harga yang lebih murah. Oleh karena itu, produsen sayuran organik, terlebih lagi yang belum mendapatkan sertifikasi dan label organik, belum mampu menjual produknya dengan standar harga produk organik yang biasanya lebih tinggi dibandingkan harga produk pertanian konvensional. Hal ini menjadi kurang adil bagi petani atau produsen yang telah menjalankan usahatani organik yang harusnya bisa meraih keuntungan yang lebih besar dalam penjualan produknya.

Permasalahan yang sama juga terjadi di lapangan berdasarkan informasi dari pihak toko sayuran organik. Saat ini, satu-satunya toko yang menyediakan sayuran

organik berlabel di Kota Padang adalah Foodmart Basko Plaza. Akan tetapi,

berdasarkan hasil wawancara dan pra survey, konsumen umumnya cenderung lebih memilih sayuran anorganik. Hal ini terkait dengan harga sayuran organik yang dua atau bahkan tiga kali lebih tinggi dibandingkan harga sayuran biasa (anorganik). Sebagai contoh, bayam organik seberat 150 gram dijual seharga Rp 11.500,- sementara bayam anorganik dijual seharga Rp 8.500,- per satu ikat.

Konsumen memiliki pertimbangan dan alasan tersendiri dalam membeli dan mengkonsumsi sayuran organik. Adanya perilaku yang berbeda pada tiap konsumen dalam mengkonsumsi sayuran organik, membuat analisis perilaku konsumen sayuran organik di Kota Padang penting untuk dilakukan.

Berdasarkan permasalahan di atas, maka dirasa perlu dilakukan suatu penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen sayuran organik di Kota Padang. Oleh karena itu timbul pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana profil konsumen sayuran organik di Kota Padang ?

2. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi konsumen dalam melakukan


(6)

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mendeskripsikan profil konsumen sayuran organik di Kota Padang.

2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi konsumen dalam

melakukan pembelian sayuran organik di Kota Padang.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan solusi bagi para produsen serta

pelaku bisnis produk pertanian organik, khususnya sayuran organik, dalam pengembangan usaha produk pertanian organiknya, serta memberikan gambaran tentang konsumsi sayuran organik masyarakat Kota Padang.

2. Penelitian ini juga diharapkan mampu menjadi informasi serta acuan untuk